Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

PENJATUHAN PIDANA MINIMUM KHUSUS DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA PADA PENGADILAN NEGERI KUNINGAN

 

Rahmawan, Junaedi, Waluyadi

Proram Magister Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Swadaya Gunung Jati, Indonesia

E-mail: [email protected]

 

Abstrak

Penjatuhan pidana minimum khusus dalam tindak pidana narkotika telah menjadi perhatian yang signifikan di Pengadilan Negeri Kuningan. Tindak pidana narkotika menjadi salah satu masalah serius yang mempengaruhi masyarakat dan menimbulkan dampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam upaya menangani masalah ini, pengadilan negeri di Kuningan menerapkan pidana minimum khusus sebagai langkah yang efektif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi dan dampak dari penjatuhan pidana minimum khusus dalam tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Kuningan. Metode yang digunakan adalah pendekatan studi kepustakaan dan analisis dokumen yang melibatkan peraturan perundang-undangan terkait, putusan pengadilan, serta penelitian terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengadilan negeri di Kuningan telah berhasil menerapkan penjatuhan pidana minimum khusus dengan baik dalam tindak pidana narkotika. Pidana minimum khusus ini memberikan sinyal yang jelas tentang seriusnya penanganan tindak pidana narkotika dan memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan. Namun, penelitian ini juga mengungkapkan beberapa tantangan yang dihadapi dalam implementasi penjatuhan pidana minimum khusus, seperti masalah penilaian terhadap tingkat keterlibatan pelaku, kualitas bukti, dan peran rehabilitasi dalam proses penanganan kasus narkotika. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi yang komprehensif dan pembaruan kebijakan serta kerjasama yang lebih baik antara instansi terkait untuk memperbaiki dan memperkuat efektivitas dari penjatuhan pidana minimum khusus dalam tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Kuningan.

 

Kata Kunci: Penjatuhan pidana, Pidana minimum khusus, Tindak pidana narkotika.

 

Abstract

The imposition of a special minimum sentence for narcotics crimes has become a significant concern at the Kuningan District Court. Narcotics crime is a serious problem that affects society and has a negative impact on various aspects of life. In an effort to deal with this problem, the district court in Kuningan applied a special minimum sentence as an effective measure. This study aims to analyze the implementation and impact of imposing a minimum sentence specifically for narcotics crimes at the Kuningan District Court. The method used is a literature study approach and document analysis involving related laws and regulations, court decisions, and related research. The results of the study show that the district court in Kuningan has been successful in imposing specific minimum sentences well in narcotics crimes. This special minimum sentence provides a clear signal about the seriousness of handling narcotics crimes and provides a deterrent effect for perpetrators of crime. However, this research also reveals some of the challenges faced in implementing specific minimum sentences, such as the problem of assessing the level of involvement of the perpetrator, the quality of evidence, and the role of rehabilitation in the process of handling narcotics cases. Therefore, a comprehensive evaluation and policy update is needed as well as better cooperation between related agencies to improve and strengthen the effectiveness of imposing a special minimum sentence for narcotics crimes at the Kuningan District Court.

 

Keywords: Criminal conviction, Special minimum crime, Narcotics crime.

 

Pendahuluan

Sejak diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, Indonesia telah lahir sebagai Negara hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah menegaskan bahwa �Negara Indonesia adalah negara hukum�. Hal ini berarti bahwa segala suatu perbuatan yang mencakup kehidupan benegara harus didasarkan dan memiliki konsekuensi sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia (Chuasanga & Victoria, 2019).

Negara Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, mengatur setiap tingkah laku warga negaranya tidak terlepas dari segala peraturan-peraturan yang bersumber dari hukum. Negara hukum menghendaki agar hukum senantiasa harus ditegakkan, dihormati dan ditaati oleh siapapun juga tanpa ada pengecualian. Hal ini bertujuan untuk menciptakan keamanan, ketertiban, kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Yuliardi, 2021).

Dalam upaya melaksanakan pembangunan disegala bidang, terutama dibidang hukum yang sekarang sedang berlangsung di Negara Indonesia maka semua masyarakat disadarkan pada peran penting hukum sebagai sarana pengayaoman untukmanata kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara di berbagai bidang kehidupan. Peran hukum sebagai pengayoman tercermin melalui fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial (social control), perubahan sosial (social engineering), dan hukum sebagai sarana integrative (Zainal, 2016).

Perkembangan hukum saat ini pun telah mengakomodir pemberlakuan sistem pidana minimal khusus (di luar KUHP), sebagai contoh dalam ketentuan Undang- Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Dengan adanya sistem pidana minimal khusus ini seakan memberikan batasan terhadap kebebasan yang dimiliki Hakim di dalam menjatuhkan putusan, meskipun mengenai sistem pidana minimum khusus ini tidak ada aturan/pedoman dalam hal penerapannya. adahal sejatinya, penentuan pidana ini secara khusus merupakan bagian dari wilayah otoritas Hakim, bahkan pada wilayah ini tidak seorangpun dapat mempengaruhi kehendak Hakim dalam menentukan seberapa besar pidana yang pantas dijatuhkan kepada Terdakwa, hal ini juga termasuk dalam wilayah hati nurani setiap Hakim sebagai wilayah yang paling abstrak yang sangat mungkin sama atara Hakim yang satu dengan yang lainnya (Latumaerissa, 2019).

Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.[1]

Mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia.[2] Menurut penulis, bahwa tindak pidana Narkotika bukan lagi sebagai tindak pidana/kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan sudah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).Kejahatan narkotika termasuk extra ordinary crimeatau kejahatan luar biasa, sehingga membutuhkan upaya yang luar biasa untuk memberantasnya. Tindak pidana narkotika yang telah bersifat trasnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang terus berkembang telah menimbulkan korban yang begitu luas yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyalahguna Narkotika yang sebagian besar merupakan generasi muda bangsa (kalangan usia produktif) telah ada tahap sangat mengkhawatirkan, sehingga tidak heran pada tahun 2015 Indonesia telah dinyatakan darurat narkoba. Indonesia merupakan Negara terbesar ketiga dalam skala peredaran narkobanya setelah Kolombia dan Meksiko.

Tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara.[3]

Pada tahun 2021 Badan Narkotika Nasional telah berhasil mengungkap 85 jaringan sindikat narkotika baik Nasional maupun Internasional. Jaringan sindikat Internasional yang paling banyak diungkap berasal dari Golden Triangel dan Golden Crescent. Dari jaringan yang diungkap, BNN mengungkap 760 kasus tindak pidana narkoba dan mengamankan 1.109 orang tersangka. Barang bukti narkoba yang disita pada tahun 2021 adalah 3.313 Ton Shabu, 115,1 Ton Ganja, 50,5 Hektar Lahan Ganja, dan 191.575 butir ekstasi.[4]

Berdasarkan data BNN tahun 2021 terdapat 760 kasus tindak pidana narkotika dengan total tersangka sebanyak 1.109 orang menunjukan bahwa angka penyalahgunaan narkotika masih sangat banyak di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan adanya penegakan hukum yang sangat kuat dan sosialisasi kepada masyarakat terkait bahaya penyalahgunaan narkotika beserta sanksi hukum bagi pelanggar.

Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pada saat ini pasca reformasi pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dahulu diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang diundangkan dan dinyatakan berlaku pada tanggal 12 Oktober 2009, yang pada intinya mengatur sebagai berikut:[5]

  1. Pembatasan terhadap kepemilikan narkoba,
  2. Pengobatan dan Rehabilitasi,
  3. Keberadaan Badan Narkotika Nasional (BNN),
  4. Peran Serta Masyarakat,
  5. Tindakan Terhadap Penyalahgunaan Narkotika,
  6. Ketentuan Pidana.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Narkotika bertujuan:

a.    menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

b.    mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika,

c.    memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dan

d.   menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.

Selain itu, ditetapkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan konsistensi sikap proaktif Indonesia mendukung gerakan dunia internasional dalam memerangi segala bentuk tindak pidana Narkotika dan suatu cerminan bahwa Pemerintah Indonesia sudah tidak main-main lagi dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, yang diaplikasikan dengan pemberian sanksi pidana yang begitu berat. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 terlihat sanksi pidana yang dirumuskan sanksi pidana minimal, baik pidana penjara maupun pidana denda. Contohnya bagi pengedar Narkotika ke masyarakat, maka ancamana sanksi pidananya, yaitu berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 1 milyar sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang menentukan bahwa:

(1)     Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2)     Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

 

Ancaman sanksi pidana minimal yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 lebih berat dibandingkan yang tertulis di UU Narkotika sebelumnya. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika ini memiliki sanksi yang lebih jelas dan lebih tegas dibandingkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997. Sanksinya lebih jelas, dan banyak perubahan dalam UU yang baru ini, dimana sanksi pidana minimal diatur dalam UU ini. Ini perbedaan dengan UU yang lama dimana tidak diatur pidana minimal, yang ada hanya maksimal, seperti untuk pengedar Narkotika golongan satu, dimana di dalam UU lama tidak diterangkan sanksi minimal, namun di Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika jelas dibunyikan ancaman sanksi pidana minimal. Namun demikian, walaupun dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 telah dirumuskan ancaman sanksi pidana minimal, baik pidana penjara maupun pidana denda, dan telah pula diterapkan dalam praktik peradilan pidana, yaitu terlihat dalam putusan-putusan (vonis) yang menjatuhkan hukuman pidana minimal terhadap terdakwa tindak pidana Narkotika,

Hakim dalam menjatuhkan putusan tindak pidana narkotika berdasarkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dapat berupa penggabungan pidana penjara dan denda. Adapun Hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan Batasan minimal atau paling sedikit besarnya pidana denda jumlahnya cukup tinggi. Batas minimal pidana denda terendah dalam Undang-Undang ini paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah), sedangkan pidana denda tertinggi paling banyak Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah).

Perkembangan hukum saat ini pun telah mengakomodir pemberlakuan sistem pidana minimal khusus (di luar KUHP), sebagai contoh dalam ketentuan Undang- Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Dengan adanya sistem pidana minimal khusus ini seakan memberikan batasan terhadap kebebasan yang dimiliki Hakim di dalam menjatuhkan putusan, meskipun mengenai sistem pidana minimum khusus ini tidak ada aturan/pedoman dalam hal penerapannya.[6]

Padahal sejatinya, penentuan pidana ini secara khusus merupakan bagian dari wilayah otoritas Hakim, bahkan pada wilayah ini tidak seorangpun dapat mempengaruhi kehendak Hakim dalam menentukan seberapa besar pidana yang pantas dijatuhkan kepada Terdakwa, hal ini juga termasuk dalam wilayah hati nurani setiap Hakim sebagai wilayah yang paling abstrak yang sangat mungkin sama atara Hakim yang satu dengan yang lainnya.[7]

Otoritas Hakim ini akan digunakan dalam memberikan penilaian terhadap suatu permasalahan hukum termasuk di dalamnya kewenangan untuk menafsirkan ketentuan tentang pidana minimum khusus utamanya dalam undang-undang tindak pidana narkotika, yang nantinya akan diejawantahkan ke dalam putusan Hakim sebagai suatu produk (output) dari kewenangan mengadili setiap perkara yang ditangani dan didasarkan atas surat dakwaan serta fakta hukum yang terungkap di persidangan kemudian dihubungkan dengan penerapan dasar hukum yang jelas, termasuk halnya mengenai berat ringannya penerapan pidana penjara (pidana perampasan kemerdekaan).

Dalam asas hukum pidana, lebih khususnya terhadap asas legalitas yang diatur pada Pasal 1 ayat (1) KUHP sendiri menerangkan bahwa Hukum Pidana harus bersumber pada undang-undang artinya pemidanaan haruslah berdasarkan undang-undang penerapan berat ringannya pidana yang dijatuhkan tentu bagi seorang Hakim disesuaikan dengan apa yang menjadi motivasi dan akibat perbuatan si pelaku, khususnya dalam penerapan jenis pidana penjara, namun dalam hal undang-undang tertentu telah mengatur secara normatif tentang pasal-pasal tertentu tentang pemidanaan dengan ancaman minimal khusus.[8]

Sebuah Putusan Hakim setidaknya harus memiliki nilai kualitas tersendiri dengan menitikberatkan pada pertimbangan hukum yang sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan, sesuai undang-undang dan keyakinan dalam diri hakim tanpa terpengaruh dari berbagai intervensi eksternal dan internal sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara profesional kepada publik (the truth and justice). Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa putusan Hakim adalah suatu pernyataan Hakim, dalam kapasitasnya sebagai pejabat yang diberi wewenang itu oleh UU, berupa ucapan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau suatu sengketa antara para pihak.

Namun yang lebih penting adalah perlunya penghayatan terhadap asas proporsionalitas dalam penjatuhan pidana, yakni proporsionalitas atas kepentingan masyarakat, kepentingan Negara, kepentingan si pelaku tindak pidana dan kepentingan si korban tindak pidana. Yang dikehendaki bukan paritas pidananya (parity sentencing) seperti dianut oleh aliran klasik melainkan sejauh mana pidana tersebut cukup beralasan atas dasar pedoman pemidanaan.[9]

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, khususnya yang berkaitan dengan penjatuhan hukuman pidana minimal terhadap terdakwa tindak pidana Narkotika, maka penulis tertarik untuk menyusun penulisan hukum dalam bentuk tesis, yang penulis beri judul: Penjatuhan Pidana Minimum Khusus Dalam Tindak Pidana Narkotika Pada Pengadilan Negeri Kuningan.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengetahui tentang pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana minimum khususdalam tindak pidana narkotika.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran teoritisdalam rangkapengembangan teoriIlmu Hukum Pidana, khususnya mengenai penyelesaiantindak pidana Narkotika.

 

Metode Penelitian

Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris yaitu penelitian yang sumber datanya dari data primer, yakni data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan yang dilakukan baik melalui pengamatan (observasi), dan wawancara dengan responden terkait dengan pelaksanaan terkait dengan penjatuhan pidana minimum khusus dalam tindak pidana narkotika.

Teknik pendekatan yuridis empiris dimanfaatkan untuk menganalisis dan memberikan jawaban tentang masalah hukum sesuai dengan target yang dituju.[10] Menurut Soerjono Soekanto mengenai penelitian yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta (fact-finding), yang kemudian menuju pada identifikasi (problem-identification) dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah (problem-solution).[11]

 

A.  Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis data yang digunakan penulis adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber yang telah ada. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka yaitu dengan cara menelusuri dan mengkaji bahan-bahan pustaka, laporan hasil penelitian dan dokumen-dokumen lain berkaitan dengan penelitian ini. Sedangkan data primer adalah data yang didapat secara langsung dari narasumber atau responden.[12] Data primer diperoleh dengan cara mengadakan interview atau wawancara dengan Majelis Hakim.

  1. Fokus Penelitian

Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan yaitu yuridis empiris, maka spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Menurut Soerjono Soekanto, deskriptif analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.[13] Penelitian deskriptif analitis sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, karena dalam penelitian ini penulis berusaha menguraikan fakta-fakta yang ada dan mendeskripsikan sebuah masalah yang terdapat pada penjatuhan pidana minimum khusus dalam tindak pidana narkotika.

  1. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang pertama studi kepustakaan, merupakan teknik untuk mendapatkan data sekunder melalui dokumen-dokumen yang terkait dengan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.[14] Guna mendukung data kepustakaan atau data sekunder maka penulis melakukan wawancara dan interview, penulis melakukan wawancara dengan narasumber untuk menggali informasi yang lebih mendalam tentang berbagai aspek yang berhubungan dengan permasalahan yang diajukan.

  1. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan Teknik analisis data secara kualitatif, analisis data kualitatif yaitu data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi di lapangan yang didukung dengan peraturan-peraturan terkait.[15] Metode Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode pendekatan kualitatif, yaitu suatu pembahasan yang dilakukan dengan cara memadukan antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan yang dilakukan adalah membandingkan peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan, dan buku referensi, serta data yang diperoleh, kemudian dianalisis secara kualitatif yang akan memberikan gambaran menyeluruh tentang aspek hukum yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.[16]

 

 

Hasil Penelitian dan Pembahasan

A.  Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Minimum Khusus Dalam Tindak Pidana Narkotika

Penjatuhan pidana oleh Hakim terhadap pelaku tindak pidana narkotika diantara batas-batas yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Narkotika. Dimana Undang-Undang Narkotika memiliki batas minimum dan maksimum pada ancaman pidananya sehingga hal ini menjadi pedoman dalam Hakim menjatuhkan vonis dalam batas minimal ataupun maksimal;

Kasus narkotika merupakan suatu hal yang telah dikenal oleh khalayak ramai baik dalam negeri maupun luar negeri. Tingginya angka pengonsumsi narkotika di dunia internasional dipertegas dengan data penyalahgunaan narkotika di Amerika Serikat, dimana pengonsumsi narkotika tidak hanya pria namun juga wanita dari usia 15-19 tahun hingga usia dewasa sampai dengan 50 tahun bahkan hingga menyebabkan kematian. Seperti halnya di Indonesia, penyalahgunaan narkotika yang semakin meningkat dari waktu ke waktu mendorong pemerintah mengeluarkan peraturan ketat.

Narkotika merupakan zat berbahaya yang bersifat alamiah karena bahan yang diambil berasal dari tanaman, sintesis maupun semi sintesis yang dapat memicu timbulnya kecanduan maupun halusinasi serta dapat meningkatkan daya rangsang. Perkembangan narkotika seringkali disalahgunakan sebagian besar orang terlebih disertai penyebaran secara illegal yang meresahkan hingga merugikan masyarakat. Penyebarannya pun dapat dilakukan dengan cara sistem online. Bisnis narkoba yang menjanjikan penghasilan cepat bertambah telah berhasil mempengaruhi segelintir anak negeri untuk memproduksi, mengedarkan, memperjualbelikan narkoba dalam berbagai jenis seperti sabu-sabu, ekstasi, ganja, candu, morfin, heroin, dan lain-lain. Walaupun sudah banyak pihak yang ditangkap, dipenjara, dan jenis-jenis narkoba dimusnahkan, namun masih tetap saja selalu ada generasi penerusnya. Hal tersebut terjadi karena bisnis ini adalah bisnis yang menjanjikan tanpa peduli terhadap risiko ditangkap maupun dihukum berat seperti halnya pidana mati.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan dasar hukum penegakan hukum pidana dalam rangka pemberantasan dan penanggulangan kejahatan narkotika di Indonesia. Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah dilakukan oleh penegak hukum mulai dari tindakan penyidikan, penuntutan hingga proses persidangan yang bermuara pada suatu putusan pengadilan. Namun dalam suatu proses peradilan bukan tidak mungkin terdapat suatu kendala. Dalam hal ini terkait penegakan hukum dalam rangka pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Salah satu kendala tersebut dalam hal putusan hakim terkait pidana pokok denda yang diatur secara minimum khusus.

Beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur mengenai sanksi pidana pokok antara penjara dan denda yang disusun secara kumulatif yang artinya kedua sanksi pidana tersebut digabung menjadi satu sanksi terhadap suatu delik yang dalam praktek penjatuhan pidana terhadap terdakwa wajib dijatuhkan kedua-duanya. Tidak hanya pengaturan sanksi pidana secara kumulatif, bahkan semangat pemberantasan narkotika di Indonesia dengan mempertimbangkan dampaknya yang sangat besar, berpengaruh pada pembentukan undang-undang yang mengatur sanksi pidana secara kumulatif dengan pembatasan minimum khusus.

Memperhatikan bentuk sanksi pidana secara kumulatif dengan minimum khusus tersebut, pengadilan dalam hal ini hakim sebagai muaranya suatu proses peradilan dengan putusannya, pastinya dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa harus didasarkan pada minimal 2 (dua) alat bukti yang sah, yang mana dari alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang terbukti bersalah melakukakannya. Ketentuan tersebut sebagaimana Pasal 183 KUHAP.

Selain berpedoman pada Pasal 183 KUHAP, seorang hakim dalam menjatuhkan suatu putusan tentunya memperhatikan pula ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana Pasal 50 ayat (1) yang mengatur bahwa putusan pengadilan selain memuat alasan dan dasar putusan juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau dasar tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Pertimbangan hakim dalam memutus perkara pidana selain terkait pembuktian unsur-unsur pasal yang didakwakan, selanjutnya akan bermuara pada proses musyawarah antar majelis untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Proses inilah yang cukup menarik perhatian khususnya perkara tindak pidana narkotika, karena beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur sanksi pidana pokok yang bersifat kumulatif, bahkan terdapat ketentuan minimum khusus baik pidana penjara maupun denda. Adanya pengaturan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mewajibkan untuk menjatuhkan pidana secara kumulatif dan terdapatnya ketentuan minimum khusus, utamanya terkait pidana denda, maka hal tersebut akan berimplikasi pada penerapan dan pelaksanaan putusannya, meskipun dalam Pasal 148 terdapat ketentuan mengenai pidana penjara sebagai pengganti pidana denda, apabila terpidana tidak mampu membayar. Sehingga suatu putusan hakim mengenai denda tersebut harus dipertimbangkan secara matang dengan memperhatikan segala aspek yang ada pada diri seorang terdakwa.

Setiap wilayah Indonesia pun tak lepas dari pengaruh narkotika, seperti halnya di Kuningan. Penyidik berhasil menangkap para bandar narkotika yang sedang melakukan kegiatan jual beli narkotika dengan cara menyamar sebagai pembeli narkotika. Perkara tindak pidana narkotika dalam Putusan Hakim Nomor Pada Putusan Pengadilan Negeri Kuningan Nomor 121/Pid.Sus/2022/PN Kng yang mengadili perkara jual beli narkotika atas Terdakwa Husaini bin Abdul Samad sebagai perantara jual beli dalam perkara tindak pidana Narkotika Golongan I jenis sabu. Dalam kasus ini, Terdakwa dijerat dengan ketentuan pidana penjara 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000, 00 (Satu Milyar) rupiah, apabila tidak dapat membayar denda tersebut diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan. Kasus ini dimulai dari penyidik yang mendapat laporan dari masyarakat bahwa Terdakwa Suheri bin Alm Naisan menjadi perantara dalam jual beli narkotika dan sangat meresahkan. Kemudian, para penyidik melakukan penangkapan terhadap Terdakwa dengan menggunakan operasi under cover buy atau pembelian terselubung.

Terfokus pada besarnya denda yang ditetapkan oleh Hakim dalam perkara tersebut adalah sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar) rupiah rupiah yang mana nominal tersebut tergolong tidak sedikit dan diharap dapat memberi efek jera padaPara Terdakwa serta dapat merealisasikan hukum berdasar pada tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Hakim dalam perkara ini menetapkan besarnya pidana denda yang harus ditanggung oleh Terdakwa ialah Rp 1.000.000.000,00 (Satu Milyar) rupiah. Pasalnya, Hakim telah menjatuhkan besar pidana denda dibawah ketentuan pidana minimum yang ditetapkan dalam pasal yang didakwakan kepada Terdakwa.

Pada ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), terdapat pengaturan mengenai pidana minimum khusus yang menyimpangi ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Namun dalam beberapa putusan pengadilan, hakim menyimpangi pengaturan tersebut. Pada Putusan Pengadilan Negeri Kuningan Nomor 121/Pid.Sus/2022/PN Kng misalnya, Terdakwa dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 132 ayat (1) juncto Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika, dalam pasal tersebut terdapat pengaturan pidana minimum khusus, yaitu pidana penjara lima tahun.

Demikian juga dalam putusan Pengadilan Negeri Kuningan Nomor 10/Pid.Sus /2022/PN Kng terdakwa dijatuhi pidana penjara Empat tahun, padahal dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 112 UU Narkotika dengan ketentuan pidana minimum khusus, yaitu pidana penjara empat tahun. Keberadaan Undang-Undang Narkotika bertujuan untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, serta mencegah penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika. Pada UU Narkotika terdapat ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Bab XV yang terdiri atas 48 pasal, dimulai dari Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Kecuali Pasal 127, 128, 134, 138, 142, UU Narkotika mengatur ketentuan pidana minimum khusus, yaitu ada yang berupa pidana penjara paling singkat satu tahun, empat tahun, dan lima tahun. Demikian pula dengan pidana denda yang juga terdapat pengaturan pidana minimumnya.

Pidana minimum khusus memang tidak dikenal dalam KUHP, namun banyak diterapkan dalam UU pidana di luar KUHP salah satunya UU Narkotika, sehingga berlaku asas lex specialis derogat legi generalis yang berarti hukum khusus mengesampingkan hukum umum (despeciale regel verdringtdealgemene). Tujuan dari penerapan pidana minimum khusus adalah untuk menghindari disparitas (disparity of sentencing) putusan pengadilan terhadap suatu tindak pidana. Pada kenyataannya banyak dijumpai adanya disparitas dalam putusan hakim, yaitu penjatuhan pidana yang bobotnya tidak sebanding dalam perkara yang sebenarnya sejenis atau dapat disebandingkan.Pidana minimum khusus juga diterapkan untuk tindak pidana yang dinilai memiliki tingkat keseriusan tinggi dan perlu ditanggulangi dengan tegas agar jangan sampai pelakunya dihukum terlalu ringan. Dengan demikian, adanya ketentuan pidana minimum khusus dalam UU Narkotika menunjukkan bahwa tindak pidana narkotika merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga diperlukan adanya ancaman pidana yang dapat memberikan efek jera kepada pelaku dan membuat takut masyarakat yang berpotensi menjadi pelaku. Keberadaan ketentuan pidana minimum khusus memiliki sisi negatif karena seringkali menimbulkan benturan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.

Wilayah keadilan memang tidak atau belum tentu sama dengan wilayah hukum positif yang lebih menekankan pada aspek kepastian. Hal ini mengakibatkan timbulnya jarak antara hukum positif (undang-undang) dan keadilan. Demikian halnya dalam perkara tindak pidana narkotika, hakim seringkali menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dalam Undang-Undang Narkotika karena lebih mengedepankan keadilan dibanding kepastian hukum. Artinya, jika ketentuan pidana minimum khusus diterapkan maka akan menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa karena tindak pidana yang dilakukan tidaklah sebanding dengan ancaman pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang.

Kajian terhadap penyimpangan ketentuan pidana minimum khusus ini perlu dilakukan agar jelas kriteria yang digunakan hakim dalam melakukan penyimpangan tersebut. Apabila kriteria yang digunakan hakim tidak jelas, maka hakim bisa menerapkan penyimpangan tersebut dalam banyak kasus sehingga tujuan adanya ketentuan pidana minimum khusus dalam Undang-Undang Narkotika menjadi tidak tercapai. Pada saat memutus suatu perkara, hakim harus memiliki kriteria yang melatarbelakangi putusannya. Hal ini menyangkut apakah putusan yang dijatuhkan sudah tepat pada sasarannya. Sasaran pertama adalah kepada terdakwa, yaitu apakah putusan itu telah memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa dan keluarganya, kemudian apakah telah memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

Hakim haruslah memeriksa perkara dan mempertimbangkannya terlebih dahulu. Pertimbangan Hakim dibagi menjadi 2 (dua) yakni pertimbangan Hakim yuridis dan non yuridis. Macam pertimbangan yuridis dibedakan menjadi beberapa sebagai berikut :

1. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

2. Tuntutan Pidana

3. Keterangan Saksi

4. Keterangan Terdakwa

5. Barang-barang bukti

6. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Terkait

 

Pertimbangan yang bersifat non yuridis dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yakni sebagai berikut :

1.    Pertimbangan dalam Aspek Sosiologis

���� Digunakan untuk mengkaji latar belakang sosial Terdakwa yang melakukan suatu tindak pidana.

2.    Pertimbangan dalam Aspek Psikologis

���� Digunakan untuk mengkaji kondisi psikologis Terdakwa yang menjadi sebab ia melakukan tindak pidana, pada saat melakukan tindak pidana, dan setelah menjalani tindak pidana.

3.    Pertimbangan dalam Aspek Kriminologis

���� Digunakan untuk mengkaji sebab-sebab ia melakukan tindak pidana dan sikap Terdakwa saat melakukan tindak pidana.

Sebelum Hakim menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa yakni sebagai berikut:

1.    Keadaan yang memberatkan:

���� Perbuatan Terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam usaha memberantas narkotika.

2.    Keadaan yang meringankan:

���� Terdakwa menyesali perbuatannya dan terdakwa memiliki tanggung jawab untuk menafkahi keluarganya.

 

Pasal 183 KUHAP yang berbunyi �Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya keterangan Terdakwa digolongkan sebagai alat bukti�. Dalam perkara ini Hakim telah mengaitkan beberapa alat bukti yakni keterangan saksi, keterangan Terdakwa, surat, dan petunjuk. Berdasar pada Pasal 183 KUHAP petunjuk dikaitkan dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dimana satu dengan yang lain saling sesuai sehingga menunjukkan bahwa Terdakwa Suheri bin Alm Naisan telah melakukan suatu tindak pidana pada hari kamis tanggal 9 Junisampai dengan 10 Juni 2022 sekira Pukul 16.00 WIB menjadi perantara transaksi jual beli Narkotika Golongan I tanpa adanya izin resmi dari pejabat yang berwenang.

Hakim berpendapat dalam pertimbangannya bahwa semua alat bukti saling berkaitan dan bersesuaian satu Pasal 193 ayat (1) KUHAP berbunyi: �Jika Pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didawakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana�. Kesinambungan makna antara Pasal 183 dan Pasal 193 ayat (1) menjadi dasar Penulis menganalisis keyakinan hakim juga berdasar pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP bermakna bahwa apabila Hakim berpendapat berdasar pada keyakinannya Terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan maka Hakim dapat menjatuhkan pidana kepadanya. Van Bemmelen berpendapat Een veroordeling zal de rechter uitspreken, als hij de overtuiging heeft verkregen, dat de verdachte het the laste gelegde feit heeft begaan en hij feit en verdachte ook strafbaar acht yang berarti bahwa putusan pemidanaan dijatuhkan oleh Hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan Terdakwa dapat dipidana. Oleh karena paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan perkara ini telah sesuai dengan Pasal 183 KUHAP juncto Pasal 193 ayat (1) KUHAP.

Menelaah lebih dalam perihal Putusan Hakim dalam perkara ini bahwa Terdakwa telah diputus dengan pidana penjara selama 5 (enam) tahun dan denda sejumlah sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar) rupiah. Mengulik pada pertimbangannya, tindakan Hakim telah benar dalam memutus perkara berdasar pada surat dakwaan. Sejatinya, Hakim kurang sesuai dalam menerapkan hukum sebagaimana mestinya dalam menetapkan besarnya pidana denda bagi Terdakwa. Hakim menjatuhkan pidana denda bagi Terdakwa hanya sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar) rupiah yang mana putusan Hakim kurang sesuai dengan ketetapan pidana minimum yang tercantum dalam Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tindakan Hakim kurang sesuai dengan asas legalitas Pasal 1 ayat (1) KUHP yakni nulla poena sine lege yang memberi makna bahwa Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana selain apa yang ditetapkan dalam undang-undang.

 

Undang-Undang narkotika merupakan salah satu undang-undang yang mengatur pidana khusus. Dalam undang-undang tersebut telah tercantum pidana minimum khusus dan maksimum khusus bagi Terdakwa yang melanggar tindak pidana narkotika yang terkait.Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga didasarkan pada beberapa asas yakni sebagai berikut :

1. Keadilan;

2. Pengayoman;

3. Kemanusiaan;

4. Perlindungan;

5. Keamanan;

6. Nilai-nilai ilmiah; dan

7. Kepastian Hukum.

 

Melihat pada asas yang tercantum dalam undang-undang tersebut bahwa asas keadilan diletakkan pada urutan teratas. Penulis menganalisis bahwa hal ini menunjukkan dalam penanganan tindak pidana Narkotika, Hakim haruslah meletakkan atau mendahulukan asas keadilan bagi Terdakwa dibanding dengan asas lain. Menelaah pada analisis sebelumnya bahwa Hakim dalam memutus perkara pastilah harus berdasar pada surat dakwaan, alat bukti, dan fakta yang terungkap dalam persidangan. Kesesuaian dari rantai pemeriksaan di muka sidang yang saling menguatkan satu sama lain memberikan keyakinan Hakim dalam memutus perkara ini. Sebagaimana diketahui bahwa dalam perkara pidana berlaku asas pembuktian beyond reasonable doubt yang berarti dalam menjatuhkan putusannya, Hakim bukan hanya terikat dengan alat bukti yang sah, melainkan harus ditambah dengan adanya keyakinan hakim. Hal ini menjadikan Hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan nalar dan hati nurani, jika keyakinan Hakim dalam putusan tersebut dapat memberikan rasa keadilan maka hal tersebut dapat dilakukan.

Adapun terkait dengan pembahasan mengenai putusan diatas ada beberapa Teori yang saling berhubungan diantaranya adalah Teori absolut berorientasi ke masa lalu (backward looking) bukan ke masa depan. Pidana merupakan penderitaan sebagai tebusan karenatelah dilakukan kejahatan atau dosa (quiapeccatum), dan Teori Kedua adalah teori relatif atau tujuan. Teori relatif bertumpu pada tujuan yang hendak dicapai oleh penjatuhan pidana, yaitu agar menimbulkan efek pencegahan sehingga tidak terjadi kejahatan lagi di masa yang akan datang. Teori ini menekankan kepada pencegahan (prevensi) terhadap pengulangan kejahatan. Teori prevensi umum menyatakan bahwa penjatuhan pidana pada dasarnya bertujuan untuk memberikan efek jera kepada masyarakat luas agar tidak melakukan tindak pidana. Teori pencegahan umum dibagi menjadi dua, yaitu afschrikkingstheorieen yang bertujuan untuk membuat jera warga masyarakat agar tidak melakukan kejahatan-kejahatan, dan deleer van depsychologis yang berarti ancaman pidana harus dapat mencegah niat orang untuk melakukan kejahatan-kejahatan. Sedangkan teori prevensi khusus bertujuan untuk mencegah penjahat dalam mengulangi kejahatannya dengan cara memperbaikinya. Pemidanaan dalam teori ini mempunyai tujuan kombinasi terutama memperbaiki dan membuat jera pelaku kejahatan.

Berdasarkan pembahasan diatas penulis menyimpulkan mulai dari batasan minimum khusus pidana denda yang terlalu tinggi, tidak terdapatnya ketentuan yang secara lengkap dan jelas mengatur penghitungan berat ringannya penjara pengganti denda, serta ketentuan yang mengatur serangkaian tindakan atau upaya yang dapat dilakukan oleh jaksa selaku eksekutor agar setiap putusan pidana denda yang telah dijatuhkan oleh pengadilan dapat sepenuhnya dilaksanakan, maka sudah seharusnya dilakukan peninjauan kembali terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai upaya penerapan pidana denda yang lebih berkeadilan dan bernilai kepastian hukum.

 

B.  Kemanfaatan Penjatuhan Pidana Minimum Khusus Oleh Hakim Ditinjau Dengan Tujuan Pemidanaan

 

Pidana minimum khusus itu sendiri merupakan penyimpangan dari asas�asas hukum pidana umum, karena dalam hukum pidana umum tidak mengenal pidana minimum khusus, dan hanya mengenal pidana minimum umum yakni selama 1 (satu) hari dan pidana maksimum umum selama 15 (lima belas) tahun atau 20 (dua puluh) tahun untuk tindak pidana pemberatan.

Dalam rangka penegakan hukum "Law Enforcement", terdapat kehendak agar hukum tegak, sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan melalui instrumen hukum yang bersangkutan dapat diwujudkan. Dalam menggunakan hukum, cita-cita yang terkandung dalam hukum belum tentu secara sungguh-sungguh hendak dicapai, sebab hukum tersebut digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang dilakukan.

Bicara mengenai pengekan hukum di Indonesia, maka perlu diketahui tujuan dari penegakan hukum tersebut adalah untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat dari semua tindakan criminal yang mungkin terjadi, segingga dengan demikian negara berkewajiban untuk mengadakan pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Hal ini tidak terlepas dari diterapkannya hukum pidana oleh negara, dimana hukum pidana merupakan salah satu bagian aturan hukum sebagai alat untuk melindungimasyarakat.

Selanjutnya dipertegas, bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Dari rumusan tujuan pemidanaan tersebut, dapat dikatakan bahwa mengacu pada filsafat pembinaan dengan sasaran yang dituju, tidak hanya kepada si pelaku tindak pidana, tetapi masyarakat pada umumnya, baik untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan tindak pidana maupun menimbulkan rasa damai dalam masyarakat.

Teori tujuan membenarkan pemidanaan berdasarkan atau tergantung kepada tujuan pemidanaan, yaitu untuk pelindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. Perbedaan dari beberapa teori yang termasuk teori tujuan terletak pada caranya untuk mencapai tujuan dan penilaian terhadap kegunaan pidana. Diancamkannya suatu pidana dan dijatuhkannya suatu pidana dimaksudkan untuk memperbaiki si penjahat. Berbeda dengan teori pembalasan, maka teori tujuan mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan kepada penjahat atau kepada kepentingan masyarakat. Dipertimbangkan juga pencegahan untuk masa yang akan datang.

Untuk mengantisipasi semakin luasnya penyalahgunaan narkotika dan untuk melaksanakan pemberantasan peredaran gelap narkotika, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai hal-hal yang berkenaan dengan narkotika, dimana saat ini Undang-Undang yang berlaku adalah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12 Oktober 2009, yang menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67). Pada bagian menimbang dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 huruf e dikemukakan:

�Bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang � Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut�.

Sanksi Pidana bagi pelaku tindak pidana narkotika telah ditentukan dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ada tiga jenis sanksi pidana yang diatur dalam undang-undang ini, yang meliputi:

a)                                        Sanksi pidana bagi pelaku tindak pidananarkotika;

b)                                       Sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana prekursor narkotika;dan

c)                                        Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pengurus atau pimpinan, yang menghalang-halangi, residivis, pencucian uang, WNA danlainnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sanksi terbagi atas 3 bagian,yaitu:

1)  Pidana Mati : dimana dalam Undang-Undang Tersebut terdapat beberapa Pasal yang menggunakan pidana mati, dalam pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2), Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menyebutkan bahwa pelaku tindak pidana dapat dipidana dengan pidana mati atau penjara, yang artinya tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang dapat dihukum mati apabila melakukan tindak pidana yang telah diatur oleh undang-undang itusendiri.

2)  Pidana Penjara : Dalam Undang-Undang ini menyatakan juga beberapa pasal yang menggunakan pidana penjara, yang mana berada dalam�Pasal 111 ayat (2), Pasal 112 ayat (2), 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2), Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga menyebutkan alternatif dari pidana mati yaitu berupa penjara seumur hidup.�Pidana Berupa Rehabilitasi : tindakan untuk pengambilan kehormatan dan pemulihan nama baik.�Dalam arti mengisolasikan seseorang kesuatu tempat tertentu untuk dipulihkan, karena suatu penyakit atau keadaan. Hal ini merupakan salah satu strategi pemberatasan masalah narkotika.

Dengan adanya sistem pidana Minimum khusus, sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka diharapkanterhadap para pelaku tindak pidana penyelahgunaan narkotika dapat dikenai hukuman yang berat, hal ini dikarenakan setiap tahun jumlah pelaku tindakpidana narkotika atau para penyalah guna narkotika semakin meningkat, yang mana salah satu penyebabnya tidak terlepas dari ringannya putusan yang dijatuhkan oleh Hakim, atau dapat dikatakan faktor penjatuhan pidana.

Sistem pemidanaan pada tindak pidana narkotika menetapkan ancaman minimum khusus dan maksimum khusus, baik mengenai pidana penjara maupun pidana dendanya. Namun dalam pasal tertentu juga menetapkan ancaman pidanamaksimum saja seperti yang diatur dalam KUHP (semisal Pasal 127, 131, 134 dan 138). Maksimum khusus pidana penjara dalam tindak narkotika yang diancamkan jauh melebihi maksimum umum dalam KUHP (15 tahun), yakni paling tinggi sampai 20 tahun. Dalam menjatuhkan pidana penjara sampai melebihi batas maksimum 15 (lima belas) tahun yakni 20 (dua puluh tahun) diperbolehkan dalam KUHP dalam hal apabila terjadi pengulangan atau perbarengan (karena dapat ditambah sepertiganya) atau tindak pidana tertentu sebagai alternatif dari pidana mati semisal dalam Pasal 104, 340, 365 ayat 4 KUHP. Dalam tindak pidana narkotika ancaman maxsimum khusus untuk paling lama 20 (dua puluh) tahun tidak harus dengan pengulangan atau perbarengan, tetapi sudah ditentukan dalam pasal tertentu seperti dalam Pasal 114. Sedangkan untuk ketentuan pidana minimum umum dalam KUHP adalah 1 (satu) hari.Hal ini berbeda dengan ketentuan pidana minimal khusus dalam Undang- Undang Narkotika yang yang sudah ditentukan dalam bunyi pasalnya seperti pidana minimal khusus selama 4 (tahun) untuk Pasal 111 atau Pasal112.

Dalam hal ini contoh ketentuan pidana minimum khusus yang diambil pada Pasal 111 atau Pasal 112 Undang-Undang Narkotika yang menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 111

 

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)tahundanpalinglama12(duabelas)tahundanpidanadendapalingsedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

1)    Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3(sepertiga).

 

Pasal 112

 

1)                             Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah);

2)                             Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3(sepertiga).

 

Bahwa dalam pasal tersebut dapat ketentuan minimum khusus sebagai berikut :

Tabel 2. Pasal Yang Memuat Ketentuan minimum khusus

Pasal

Pidana penjara dan Denda Minimum

Pidana Penjara dan Denda Maksimum

111 ayat (1)

4 Tahun dan 800 juta Rupiah

2 Tahun dan denda 8 milyar rupiah

111 ayat (2)

5 Tahun dan dendan ayat 1 ditambah 1/3

Seumur hidup atau 20 tahun dan denda ayat 1 ditambah 1/3

112 ayat (1)

4 Tahun dan 800 juta Rupiah

12 Tahun dan 8 Milyar Rupiah

112 ayat (2)

5 Tahun dan denda maksimal ayat 1 ditambah 1/3

Seumur Hidup atau 20 Tahun dan denda max (ayat 1) ditambah 1/3

 

Sumber : Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

 

Adapun teori yang tepat guna menjawab permasalahan ini adalah Teori tujuan membenarkan pemidanaan berdasarkan atau tergantung kepada tujuan pemidanaan, yaitu untuk pelindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. Perbedaan dari beberapa teori yang termasuk teori tujuan terletak pada caranya untuk mencapai tujuan dan penilaian terhadap kegunaan pidana. Diancamkannya suatu pidana dan dijatuhkannya suatu pidana dimaksudkan untuk memperbaiki si penjahat. Berbeda dengan teori pembalasan, maka teori tujuan mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan kepada penjahat atau kepada kepentingan masyarakat. Dipertimbangkan juga pencegahan untuk masa yang akan datang.

Berdasarkan pembahasan diatas penulis menyimpulkan bahwa Kemanfaatan Penjatuhan Pidana Minimum Khusus Oleh Hakim Ditinjau Dengan Tujuan Pemidanaantujuan pemidanaan tersebut, dapat dikatakan bahwa mengacu pada filsafat pembinaan dengan sasaran yang dituju, tidak hanya kepada si pelaku tindak pidana, tetapi masyarakat pada umumnya, baik untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan tindak pidana maupun menimbulkan rasa damai dalam masyarakat. Dimana dijelaskan juga dalam teori tujuan mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan kepada pelaku untuk dapat Dipertimbangkan juga pencegahan untuk masa yang akan datang.

 

 

 

Kesimpulan

Pada penulisan ini, penulis dapat menarik kesimpulan dari pembahasan permasalahan. Adapun kesimpulannya, yaitu: (1) Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan tindak pidana narkotika berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur sanksi pidana pokok dengan sistem kumulatif-minimum khusus, utamanya mengenai pidana pokok denda, tidak dapat dilepaskan dari 2 (dua) faktor, yaitu faktor yuridis berkaitan dengan penafsiran hakim terkait bentuk pengaturan sanksi pidana dan faktor non yuridis berkaitan penilaian hakim terhadap latar belakang terdakwa yang salah satunya keadaan sosial ekonomi. Kedua faktor tersebut selalu melekat bagi hakim dalam rangka menjatuhkan pidana, disamping karena permasalahan keterbatasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang tidak memberikan suatu pedoman lengkap dalam hal penghitungan besaran denda yang dapat dijatuhkan, terlebih sanksi pidana denda diatur secara minimum khusus dengan besaran minimum yang cukup tinggi yang kemungkinan kecil hakim menyimpanginya dan dirasa tidak sesuai dengan keadaan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia khususnya di daerah hukum Pengadilan Negeri Kuningan yang rata-rata pelaku delik narkotika merupakan masyarakat golongan bawah, sehingga ketentuan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjadikan pandangan alternatif bagi hakim sebagai pertimbangan penjatuhan pidana denda yang bersifat minimum khusus dengan memperhatikan pula keadaan sosial-ekonomi terdakwa dihubungkan barang terkait tindak pidana, sehingga bermuara pada putusan pidana penjara sebagai pengganti denda dengan waktu lebih singkat yang dirasa lebih rasional dan berkeadilan. (2) Kemanfaatan Penjatuhan Pidana Minimum Khusus Oleh Hakim Ditinjau Dengan Tujuan Pemidanaan tujuan pemidanaan tersebut, dapat dikatakan bahwa mengacu pada filsafat pembinaan dengan sasaran yang dituju, tidak hanya kepada si pelaku tindak pidana, tetapi masyarakat pada umumnya, baik untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan tindak pidana maupun menimbulkan rasa damai dalam masyarakat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdul Azis Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan I, 2011.

Abdul Muni�m, Ilmu Kedokteran Kehakiman, CV. Gunung Agung, Jakarta, 1986.

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,2004.

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I), Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2001.

Adi Sulistiyono, Negara Hukum, Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral, LPP UNS dan UNS Press, Surakarta, Cetakan I, 2007.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Ed.1-3, 2006.

Andi Hamzah, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Jakarta: Sinar Grafika, 1994.

A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, Cetakan Kedua, 2005.

AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Asri Wijayanti dan Lilik Sofyan Achmad, Strategi Penulisan Hukum, Lubuk Agung, Bandung, 2011.

Bahder Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, cv. Mandar Maju, Bandung, 2008.

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, 1985.

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.

B.A. Sitanggang, Pendidikan Pencegahan PenyalahgunaanNarkotika, Karya Utama, Jakarta, 1981.

C.S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Pengertian Hukum Tata Negara dan Perkembangan Pemerintah Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 Hingga Kini), PT Rineka Cipta, Jakarta, Cet. Pertama, Ed.2, 2008.

Denny I. Yatim Irwanto, et all,Kepribadian, Keluarga dan Narkotika (Tinjauan Sosial-Psikologi), Archan, Jakarta, Cet-IV, 1993.

A.      Utrecht, Hukum Pidana 1, Penerbit Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986.

Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011.

B.       Esmi Warrasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama, Semarang, 2005

Fuad Thohari, Miras Periode Pengharaman Dan EksesDestruktif (Mimbar Indonesia), Suara Majelis Ulama, Jakarta, 1996.

Gatot Supramono, Hukum Narkotika Indonesia. Djambatan, Jakarta. 2009

Hasan Shadily (editor), �Ensiklopedi Indonesia�, Penerbit Ichtiar Baru, Van Hoeve, tt, Jilid-IV, Jakarta.

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana (untuk Mahasiswa dan Praktisi serta Penyuluh Masalah Narkoba), CV, Mandar Maju, Bandung, 2003.

Kusno Adi, Kebijakan Kriminal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009.

M. Arief Hakim, Bahaya Narkoba, Alkohol: Cara Islam Mencegah, Mengatasi, & Melawan, Nuansa, Bandung, 2004.

Mardani, Penyalahgunaan Narkotika dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, PT. Rja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

Martiman Prodjohamidjoyo Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, 2, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.

Moh. Taufik Makarao, dkk, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Bogor, Cetakan Kedua, 2005.

M. Ridha Ma�ruf, Narkotika, Bahaya dan Pernanggulangannya, Kharisna Indonesia, Jakarta, 1986.

M. Syamsudin, Operasional Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Ed.1-1, 2007.

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Cetakan Ke-3, 2007.

Mukti Fajar ND. dan Yulianto Achmad, Dualisme Peneltian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni, Bandung, 2002.

Oe. Rendra Widjaya, dkk, Visi Revolusi: Nayatakan Perang Terhadap Narkoba, Humaniora, Bandung, 2004.

Rahman Hermawan. S., Penyalahgunaan Narkotika oleh Remaja, PT. Eresco, Bandung, 1986.

Ridha Ma�roef, Narkotika, Bahaya dan Penanggulangannya, Kharisma Indonesia, Jakarta, 1986.

Romi Librayanto, Trias Politica dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PuKAP-Indonesia, Makassar, Cetakan pertama, 2008.

Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Genta Publishing, Yogyakarta, Cetakan II, 2009,

Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Sebagai Tinjauan Sosiologis. Genta Publishing. Yogyakarta.2009

Soedjono D, Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara, Bandung 1977

Soedjono Dirdjosisworo, �Patologi Sosial�, Alumni, Bandung, 1997.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Pres), Jakarta,Cet.3., 1986& 2006.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995& 2006.

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2004

Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999

Sumarno Ma�sum, Penyalahgunaan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan obat, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1987.

Tri Andrisman. 2010. Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP (Tindak Pidana Ekonomi, Korupsi, Pencucian Uang dan Terorisme). Bandar Lampung. Universitas Lampung.

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2002.

Wilson Nadaek,.Korban dan Masalah Narkotika, Indonesia Publing House, Bandung, (1983).

Yusup Apandi, Katakan Tidak Pada Narkoba, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2010.

Zainul Bahri, Kamus Umum Khususnya Bidang Hukum dan Politik, Angkasa, Bandung, 1996.

C.      Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062).

Copyright holder:

Rahmawan (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under:

 

 



[1] Konsideran bagian menimbang huruf c UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

[2] Konsideran bagian menimbang huruf d UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

[3] Konsideran bagian menimbang huruf e UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

[4]https://bnn.go.id/press-release-akhir-tahun/ diakses pada tanggal 16 Januari 2023

[5] Muhammad Yamin, Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm.186-189

 

[6] Barda Nawai Arief, Tinjauan Terhdap Pengenaan Sansi Pidana Minimal, Jakarta, hlm. 87

[7] Supandriyo, Asas Kebebasan Hakim dalam Penjatuhan Pidana : Kajian komprehensif terhadap tindak pidana dengan ancaman minimum khusus, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2019, hlm. 18

[8] Gress Gustia Adrian, Analisis Yuridis Penjatuhan Pidana oleh Hakim dalam Tindak Pidana Korupsi, April 2014, I (1), hlm. 36.

[9] Gregorius Aryadi, Putusan Hakim dalam Perkara Pidana, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 1995, hlm. 3-5

[10] Burhan Ashshofa, Metode Penelitian, Media Press, Semarang, 2007, hlm.46

[11] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2007, hlm. 10

[12] Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm.81

[13] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 10

[14] Soerjono Soekanto, Op.Cit, 1984, hlm. 252

[15]Ibid, hlm. 112

[16] Amiruddin dan Asikin Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 2022, hlm. 37