Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

ANALISIS ISI PERMENKUHAM NOMOR 10 TAHUN 2020 DAN NOMOR 32 TAHUN 2020 TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN ASIMILASI DAN HAK INTREGRASI BAGI NARAPIDANA UNTUK PEMENUHAN HAK ASASI NARAPIDANA

 

Masridawati, Junaedi, Waluyadi

Proram Magister Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Indonesia

E-mail: [email protected]

 

Abstrak

Kebijakan Asimilasi yang hanya mempertimbangkan faktor kedisiplinan sebagai persyaratannya menunjukkan ketidaksinkronan. Kebijakan yang diterbitkan memuat pertimbangan kondisi pandemi Covid-19 sebagai bencana nonalam. Peneletian ini berjenis Doktrinal yang mengkaji doktrin hukum dengan pendekatan yang digunakan dalam menyelesaikan masalah penelitian ini adalah pedekatan perbandingan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat pengumpulan data yaitu: studi kepustakaan, atau studi dokumen (documentary study). Dari hal ini sudah jelas bahwa pencabutan seluruh dan sebagian hak-hak tertentu yang dapat diberikan oleh pemerintah (pemberian hak asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat) kepada narapidana tindak pidana narkotika dengan masa pidana minimal 5 (lima) tahun dalam rangka pencegahan dan penyebaran Covid-19 merupakan kewenangan Hakim (yudikatif) dan bukan kewenangan badan eksekutif. Penyebab Empiris Permenkum HAM Nomor 10 Tahun 2020 diganti dengan Permenkum HAM Nomor 32 Tahun 2020 adalah overcording dalam Lembaga Pemasyarakatan yang mengharuskan adanya program Asimilasi untuk pencegahan dan penanggulangan Covid-19. Berdasarkan perspektif Hak Asasi Manusia, Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020 Lebih prospektif dalam Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi karena terdapat evaluasi dan penyempuranaan terkait pengaturan Asimilasi di masa pandemi covid-19 yang memudahkan untuk pelaksanaan program serta pengawasan, prosedur dan syarat juga lebih memadai.

 

Kata Kunci: Kebijakan Asimilasi, Pandemi Covid-19, Hak Asimilasi.

 

Abstract

Assimilation policies that only consider disciplinary factors as a requirement show dissynchrony. The published policy contains consideration of the Covid-19 pandemic conditions as non-natural disasters. This research is a doctrinal type that examines legal doctrine with the approach used in solving this research problem is a comparative approach. This research was conducted using data collection tools, namely: literature study, or document study (documentary study). From this, it is clear that the revocation of all and part of certain rights that can be granted by the government (granting assimilation rights, parole, leave before release and conditional leave) to drug crime prisoners with a minimum sentence of 5 (five) years in the context of preventing and spreading Covid-19 is the authority of the Judge (judiciary) and not the authority of the executive body. The Empirical Cause of Permenkum HAM Number 10 of 2020 replaced by Permenkum HAM Number 32 of 2020 is overcording in prisons which requires an Assimilation program for the prevention and control of Covid-19. Based on the perspective of Human Rights, Permenkumham Number 32 of 2020 is more prospective in the provision of Assimilation and Integration Rights because there are evaluations and improvements related to Assimilation arrangements during the COVID-19 pandemic which facilitate the implementation of programs and supervision, procedures and conditions are also more adequate.

 

Keywords: Assimilation Policy, Covid-19 Pandemic, Assimilation Rights.

 

Pendahuluan

Indonesia sedang dalam pandemi covid-19 yang mana seyogyanya adanya pelepasan narapidana sebagai salah satu upaya untuk mencegah penularan virus corona, dalam pembebasan narapidana atau asimilasi tentunya tidak lepas dari peran Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya disingkat LAPAS) yang merupakan unit pelaksana teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, bahwa LAPAS, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara merupakan sebuah institusi tertutup yang memiliki tingkat hunian tinggi, sangat rentan terhadap penyebaran dan penularan Covid-19 (Tirtakusuma, 2020). Upaya pemberian Hak Asimilasi dan Cuti Menjelang Bebas bagi Narapidana merupakan langkah penyelamatan terhadap Narapidana dan Anak yang berada di LAPAS, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara, perlu dilakukan pengeluaran dan pembebasan melalui Asimilasi dan Integrasi untuk pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.

LAPAS sebagai tempat pembinaan dengan tujuan agar Narapidana dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik yang menyadari segala kesalahannya serta dapat kembali ke dalam masyarakat dengan menjadi manusia yang baik. Pembinaan Narapidana adalah suatu sistem maka Pembinaan Narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk satu tujuan (Pettanase, 2019). Pembinaan Narapidana merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam proses penegakan hukum karena berkaitan dengan Eksekusi Putusan Pidana yang dilakukan Jaksa sebagai penegak hukum, Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab, serta berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab (Indonesia, 1998).

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang menentukan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan, dalam hal ini Narapidana berhak mendapatkan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang mempunyai tugas melakukan pengawasaan juga melaksanakan koordinasi dengan aparat penegak hukum dan juga berkoordinasi dengan instansi dan aparat pemerintah setempat seperti perangkat desa/kelurahan. Aparat Penegak Hukum, Pemerintah, dan Masyarakat diminta bantuan untuk bekerja sama dalam mengawasi Narapidana, langkah pencegahan dilakukan dalam pengawasan dengan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait, seperti Kepolisian, Instansi dan Aparat Pemerintah Desa (Arifin et al., 2017).

Peran serta Masyarakat yang mempunyai potensi dalam bidang pelaksanaan kegiatan kerja sangat dibutuhkan guna menunjang keberhasilan dari program pembinaan yang telah ditentukan. Dalam melakukan pembinaan terhadap Narapidana diperlukan program pembinaan yang menunjang ke arah Integrasi dengan masyarakat. Seluruh proses pembinaan Narapidana selama proses pemasyarakatan merupakan satu kesatuan yang integral guna menuju kepada tujuan mengembalikan Narapidana ke masyarakat bebas dengan bekal kemampuan (mental, fisik, keahlian, keterampilan, sedapat mungkin finansial dan materi) yang dibutuhkan untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna (Jufri & Anisariza, 2017).

Asimilasi adalah proses pembinaan Narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dalam kehidupan masyarakat (Surbakti & Anwar, 2023). Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Terbuka secara khusus melaksanakan pembinaan lanjutan terhadap Narapidana pada tahap Asimilasi yaitu dengan masa pidana antara 1/2 sampai dengan 2/3 dari masa pidana yang harus dijalani oleh Narapidana yang bersangkutan. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Terbuka merupakan implementasi dari Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (HAM RI) Nomor: M.03.PR.07.03 Tahun 2003 tanggal 16 April 2003 perihal pembentukan 6 LAPAS Terbuka yaitu LAPAS Terbuka Pasaman, Jakarta, Kendal, Nusakambangan, Mataram, Waikabubak. Kebijakan ini perlu karena selama ini di LAPAS Tertutup pun dilakukan Asimilasi terhadap Narapidana. Namun untuk mewujudkan salah satu tujuan pemidanaan yaitu menjadikan Narapidana menjadi warga masyarakat yang baik dan dapat kembali berintegrasi dengan masyarakat di sekitarnya, maka dibentuklah LAPAS Terbuka (Jufri & Anisariza, 2017).

Pemberias Asimilasi baru-baru ini diberikan kepada Narapidana, Pemeintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat Bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 menggantikan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid 19 (Violina & Wibowo, 2021).

Tahun 2020, Menteri Hukum dan HAM RI menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM yaitu PERMENKUMHAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, Program Asimilasi dan Reintegrasi bukanlah sesuatu yang baru melaikan program yang sudah berjalan lama sebelum permasalahan Covid-19 terjadi di Negara Indonesia. Dapat kita lihat bersama pada PERMENKUMHAM Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cata Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat mengenai Syarat Pemberian Asimilasi tidak berbeda dengan yang ada pada PERMENKUMHAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi Dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 (Siregar, 2020).

Peraturan Menteri tersebut ditujukan tidak lain adalah untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Indonesia, khususnya bagi Warga Binaan Pemasyarakatan yang sedang menjalani masa pembinaan di LAPAS diseluruh wilayah Indonesia. Seperti diketahui, mayoritas LAPAS/RUTAN di Indonesia mengalami over capacity, artinya jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan yang menghuni LAPAS/RUTAN melebihi jumlah kapasitas normal suatu LAPAS atau Rutan. Hal ini akan sangat berisiko, mengingat penyebaran Covid-19 yang sangat rentan pada kerumunan manusia. Dengan adanya Peraturan Menteri tersebut banyak Warga Binaan Pemasyarakatan yang sudah menerima program Asimilasi dan bisa berkumpul dengan keluarganya lebih awal selama tahun 2020 melalui PERMENKUMHAM Nomor 10 Tahun 2020 sebagai upaya pencegahan penyebaran virus Covid-19 di lingkungan Pemasyarakatan. Narapidana mempunyai hak-hak yang wajib dilindungi berdasarkan Undang-Undang, hak-hak Narapidana secara umum diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2022 dimana salah satu hak Narapidana mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga, hak-hak sebagaimana tertulis di dalam Pasal 10 adalah merupakan hak yang harus diberikan kepada seluruh Narapidana, kecuali dalam hal-hal tertentu, misalnya Narapidana yang melanggar aturan atau disiplin Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) (Jufri & Anisariza, 2017).

Terdapat hal yang dirasa perlu diperbaiki untuk tahun 2021 terkait PERMENKUMHAM Nomor 10 Tahun 2020 seperti pengecualian terhadap Tindak Pidana Narkotika, Proporsi Narapidana dan tahanan tertinggi, jauh di atas ketegori lain mengindikasikan bahwa pemerintah bersifat setengah-setengah untuk mengakomodasi Terpidana Narkotika, yang sebagian terbukti sebagai pengguna yang seharusnya direhabilitasi.

Syarat-syarat yang telah ditentukan menunjukkan bahwa Asimilasi semasa pandemi diberikan berdasarkan pertimbangan kedisiplinan dan lama masa pidana yang telah dijalani Narapidana, bukan berdasarkan faktor resiko kesehatan. Pelepasan tahanan dan Narapidana sebaiknya juga memperhatikan Anak dan Perempuan secara khusus. Perspektif serupa juga digaungkan oleh Komite Eropa Untuk Pencegahan Penyiksaan dan Hukuman yang Merendahkan atau Tidak Manusiawi yang menyatakan bahwa dipenjara harus memperhatikan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan orang yang terpenjara, khususnya mereka yang rentan seperti mereka yang sudah tua atau yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, Program penanganan dan penanggulangan Covid-19 di penjara juga sepatutnya mempertimbangkan kelompok-kelompok rentan. Untuk itu, analisis ini juga mencoba melihat apakah kebijakan ini melindungi tiga kelompok rentan, yaitu orang yang memiliki penyakit/kondisi medis tertentu, perempuan dan anak (Ikhtiar, 2020).

Kebijakan Asimilasi yang hanya mempertimbangkan faktor kedisiplinan sebagai persyaratannya menunjukkan ketidaksinkronan. Kebijakan yang diterbitkan memuat pertimbangan kondisi pandemi Covid-19 sebagai bencana nonalam. Namun, isi dari peraturan ini terkesan tidak bersinggungan dengan bagian pertimbangan karena mengabaikan kondisi kesehatan tahanan. Selain luputnya pertimbangan kesehatan, kebijakan Asimilasi juga memiliki masalah keterbukaan data. Pemerintah seharusnya tidak menyepelekan persoalan keterbukaan informasi kepada publik yang sejatinya berhak terhadap keterbukaan informasi publik, apabila data tentang pelepasan tahanan dan Narapidana ini tidak akurat, banyak pihak akan meragukan integritas pemerintah, dan sekaligus, kepastian hukum sendiri. Pemerintah memilki tanggung jawab keterbukaan informasi kepada publik (Ikhtiar, 2020).

Mengingat kebijakan program Asimilasi dan Integrasi terkait pencegahan penyebaran Covid-19 diperpanjang hingga 30 Juni 2021. Oleh karena itu Menteri Hukum dan HAM membuat perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun 2020 Tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, keterkaitan antara Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 dengan Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020 sama-sama dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, hanya saja dalam subtansinya terdapat pembaharuan dalam regulasi yang baru (Nasip et al., 2020).

Kedua Permenkumham tersebut terbit dalam setahun dan jangka waktunya hanya 10 bulan. Ada banyak alasan dan perbedaan substansi sehingga perlu dibandingkan dalam perspektif HAM. Isi aturan hukum yang dibandingkan dalam penelitian ini adalah persyaratan Asimilasi dan Integrasi bagi Narapidana (syarat narapidana pelaku tindak pidana umum, syarat pelaku tindak pidana tertentu), dokumen yang disertakan, proses penentuan narapidana yang memperoleh asimilasi dan integrasi, pelaksanaan (bentuk, waktu, cara), pengawasan, akibat hukum jika terjadi pelanggaran persyaratan. Perbandingan tersebut akan menghasilkan analisis berupa ditemukannya perbedaan dan persamaan aturan hukum, penyebab dan akibat perbedaan dan persamaan aturan hukum ditelaah dari teori perbandingan hukum (Jamil, 2017). Hasil analisis tersebut bermanfaat dalam rangka memenuhi HAM, baik Narapidana maupun Masyarakat.

Adanya penyempurnaan aturan mengenai Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, program Asimilasi dan Integrasi yang diberikan kepada narapidana lebih tepat sasaran dan mampu meminimalisir kekurangan-kekurangan yang ada sebelumnya. Berdasarkan identifikasi latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam suatu karya ilmiah tesis dengan mengambil judul "Analisis isi Permenkuham Nomor 10 Tahun 2020 Dan Nomor 32 Tahun 2020 Tentang Pengaturan Pemberian Asimilasi dan Hak Intregrasi Bagi Narapidana untuk Pemenuhan Hak Asasi Narapidana".

Penelitian ini bertujuan untuk; (1) Mengetahui persamaan dan perbedaan peraturan hukum dalam Permenkum HAM Nomor 10 Tahun 2020 dengan Permenkum HAM Nomor 32 Tahun 2020. (2) Untuk memahami peraturan hukum dalam Permenkum HAM Nomor 10 Tahun 2020 diganti dengan Permenkum HAM Nomor 32 Tahun 2020. (3) Untuk memahami Permenkum HAM yang lebih prospektif dalamPemberian Asimilasi dan Hak Integrasi yang ada di dalam dan luar Lapas ditinjau dari Perspektif HAM Narapidana di luar dan di dalam Lapas.

Manfaat penelitian ini diharapkan menjadi bahan untuk mengevaluasi pemberian asimilasi terhadap narapidana saat pandemi bencana nasional dan diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagipembuat kebijakan dalam membuat kebijakan saat pandemi bencana nasional.

 

Metode Penelitian

1.      Jenis Penelitian

Sesuai dengan judul dan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dan supaya dapat memberikan hasil yang bermanfat maka penelitian ini dilakukan dengan penelitian Doktrinal. Peneletian Doktrinal mengkaji doktrin hukum, yang secara konkret objeknya termasuk tetapi tidak terbatas pada asas hukum, norma hukum, peraturan hukum, konsep hukum dan pengertian hukum. Peneliti berusaha melakukan pengkajian secara sistematis, kritis, analisis untuk mengevaluasi peraturan hukum, prinsip atau doktrin dan keterkaitan diantara objek-objek tersebut. Tidak jarang, penelitian ini juga diberkaitan dengan upaya melakukan peninjauan kritis terhadap undang-undang dan proses pengambilan keputusan dan kebijakan yang mendasarinya. Penelitian hukum tersebut meliputi suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Tan, 2021).

2.      Metode Pendekatan

Pendakatan yang digunakan dalam menyelesaikan masalah penelitian ini adalah pedekatan perbandingan, yaitu cara pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian Normatif dengan cara membandingkan satu Lembaga Hukum dari sebuah Sistem Hukum dengan Lembaga Hukum dari Sistem Hukum yang lainnya. Ketentuan peraturan perundang-udanngan yang dibandingkan adalah Permenkuham Nomor 10 Tahun 2020 Dan Nomor 32 Tahun 2020, Unisr yang dibandingkan adalah persamaan dan perbedaan substansi.

Alasan digunakannya pendekatan perbandingan adalah menekankan penjelasan mengenai perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan yang seharusnya ada pada perbandingan hukum. Hal ini suai dengan pendapat Marzuki bahwa perbandingan hukum adalah pendekatan perbandingan yang dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum (Marzuki & SH, 2021).

3.      Bahan Hukum

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat pengumpulan data yaitu: studi kepustakaan, atau studi dokumen (documentary study), untuk mengumpulkan data primer penulis mengacu kepada peraturan Permenkuham Nomor 10 Tahun 2020 Dan Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020 sedangkan untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari hasil-hasil penelitian dan dokumen- dokumen meliputi literatur, buku, perundang-undangan, jurnal, makalah, internet, koran, majalah yang merupakan keterangan melalui pustaka.

4.      Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum dikumpulkan melalui prosedur inventarisasi dan identifikasi peraturan perundang-undangan, serta klasifikasi dan sistematisasi bahan hukum sesuai permasalahan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Studi Kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, menelaah, mencatat dan membuat ulasan bahan-bahan pustaka. Selain itu juga dilakukan dengan cara mengakses internet browsing, telaah karya ilmiah sarjana, telaah artikel ilmiah, dan studi dokumen. Untuk memperoleh data yang relevan dengan judul program penelitian tersebut, maka peneliti melakukan pengumpulan data bahan hukum dengan teknik sebagai berikut:

a.    Penelitian Kepustakaaan

Penelitian kepustakaan dilakukan guna untuk meneliti teori, Peraturan Undang-Undang, makalah-makalah, serta penelitian tentang perbandingan hukum.

b.    Studi Dokumentasi Hukum

Studi Dokumentasi Hukum dilakukan terhadap Undang-Undang yang berkaitan dan berhubungan dengan Perbandingan Isi Permenkuham Nomor 10 Tahun 2020 Dan Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020.

c.    Internet Browsing

Studi yang dilakukan dengan cara browsing atau mencari di internet perihal kasus-kasus atau pembahasan tentang penelitian dsini. Studi ini juga dapat digunakan sebagai penunjang dalam penelitian.

d.   Metode Analisis

Bahan hukum yang telah diperoleh tersebut kemudian dianalisa dengan melalui penelitian doktrinal yang melakukan pengkajian pada teks otoritatif, dan tidak memperhatikan faktor-faktor non hukum yang ada di luar teks. Tujuannya bukan hanya mempelajari dan mendeskripsikan doktrin, tetapi harus juga merumuskan rekomendasi untuk penyelesaian suatu kasus hukum yang dikaji (prespektif)), termasuk mengkaji semua konsisitensi, koherensi, dan keharmonisan unsur-unsur yang ada dalam doktrin (Pratama, 2021).

 

Hasil dan Pembahasan

A.           Persamaan dan Perbedaan Peraturan Hukum dalam Permenkum HAM Nomor 10 Tahun 2020 dengan Permenkum HAM Nomor 32 Tahun 2020.

Persamaan dan perbedaan di antara sistem -sistem hukum yang diperbandingkan dengan sendirinya mencuatkan pertanyaan mengapa, salah satu tugas hukum yang paling menarik dan paling penting ialah berupaya menjelaskan persamaan dan perbedaan seperti itu. Saat mencari penjelasan yang dapat dimengerti itulah akan diketahui faktor-faktor mana yang mempengaruhi sturuktur, perkembangan, dan muatan-muatan substansif sistem hukum tersebut.

Persamaan dan perbedaan di antara sistem-sistem hukum adalah dua sisi mata uang yang sama. Persamaan menujukkan kurangnya perbedaan, sementara perbedaan menujukkan kurangnya persamaan. Karena itu, baik persamaan maupun perbedaan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sama, walaupun arahnya berlawanan.

Dari peraturan menteri hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Nomor 32 Tahun 2020 akan dikaji lebih dalam terkait dengan persamaan dan perbedaan dan melakukan perbandingan dengan pembahasan melihat dari penyebab dan tujuan serta prosedur yang dilakukan untuk mendapatkan Program Asimilasi dalam Pandemi Covid-19.

1.             Persamaan Penyebab Pembentukan

Lembaga pemasyarakatan memiliki tingkat hunian tinggi sangat rentan terhadap penyebaran dan penularan Covid-19. Pandemi Covid-19 telah ditetapkan sebagai Bencana Nasional Non Alam sehingga perlu dilakukan langkah cepat sebagai upaya penyelamatan terhadap Narapidana dan anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Pandemi Covid-19 masih berlangsung sehingga perlu penanganan lanjutan untuk pencegahan dan penanggulangan Covid-19.

2.             Persamaan Tujuan Pembentukan

Tujuan dari pembentukan yakni untuk melakukan upaya penyelamatan terhadap narapidana dan anak yang berada di lembaga pemasyarakatan dan lembaga pembinaan khusus anak, dilakukan pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi, pembebasan bersyarat cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat guna pencegahan dan penanggulangan Covid-19.

3.             Persamaan Dasar Hukum Pembentukan

Produk hukum yang menetapkan penerima dalam melaksanakan Asimilasi Narapidana berlandaskan pada Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020.

4.             Persamaan Syarat dan Prosedur bagi Narapidana Umum

Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 (selanjutnya disebut PERMENKUMHAM No.10 Tahun 2020) dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Pemberian Asimilasi Dan Hak Integarasi Bagi Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebearan Covid-19. Selanjutnya, Asimilasi hanya diberikan kepada Narapidana yang melakukan tindak pidana selain tindak pidana Terorisme, Narkotika dan Prekursor Narkotika, Psikotropika, Korupsi, Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dan Kejahatan Hak Asasi Manusia Yang Berat serta Kejahatan Transnasional Terorganisasi, Warga Negara Asing. Berikut adalah kriteria mengenai pengeluaran Narapidana dan Anak melalui asimilasi di rumah berdasarkan surat edaran yang ditandangani oleh Plt. Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Tirtakusuma, 2020).

5.             Persamaan Syarat dan Prosedur bagi Narapidana Khusus

Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 memiliki beberapa bagian pada Bab II pemberian Asmilasi bagi Narapidana yang melakukan tindak pidana selain Tindak Pidana Terorisme, Narkotika dan Prekursor Narkotika, Psikotropika, Korupsi, Kejahatan terhadap keamanan negara dan Kejahatan Hak Asasi Manusia yang berat, serta kejahatan Transnasional Terorganisasi, Warga Negara Asing.

6.             Perbedaan Penyebab Pembentukan

Kebijakan mengenai asimilasi dibuatkan dan dikhususkan untuk keadaan genting yaitu dengan adanya pandemi Covid-19 maka Menteri Hukum dan HAM menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 10 Tahun 2020 Tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Peraturan ini dibuatkan melalui permasalahan yang ada di Lembaga Pemasyarakat dan Rumah Tahanan karena merupakan tempat yang ideal bagi penyebaran virus Corona dengan alasan populasi yang padat, sanitasi rendah, akses fasilitas kesehatan rendah, sanitasi yang rendah dan narapidana yang punya penyakit bawaan (Palilingan, 2021).

7.             Perbedaan Tujuan Pembentukan

Asimilasi didefinisikan sebagai pembauran suatu kebudayaan yang disertai hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Adapun dari perspektif Pemasyarakatan, Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan Anak dengan membaurkan dalam kehidupan bermasyarakat. Pada tataran implementatif, Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 menyatakan Asimilasi dapat dilaksanakan dalam bentuk kegiatan pendidikan, latihan keterampilan, kegiatan kerja sosial, dan pembinaan lainnya di lingkungan masyarakat. Bahkan, dalam beberapa pidana tertentu yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 ditetapkan pelbagai bidang, seperti agama, pertanian, pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, kemanusiaan, kebersihan, dan pelayanan masyarakat/kemanusiaan.

8.             Perbedaan Dasar Hukum Pembentukan

Produk hukum yang menetapkan penerima dalam melaksanakan Asimilasi Narapidana berlandaskan pada PERMENKUMHAM Nomor 32 Tahun 2020.

9.             Perbedaan Syarat dan Prosedur Tindak Pidana Umum

Dibalik keberhasilan pencapaian pelaksanaan program Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat yang dilakukan, dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun 2020 disebutkan bahwa yang berhak menerima pelaksanaan program ini hanya Narapidana Tindak Pidana Umum.

10.         Perbedaan Syarat dan Prosedur Tindak Pidana Khusus

Bagi narapidana yang termasuk dalam Tindak Pidana Khusus sebagaimana termuat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 34 Ayat (1), khusus bagi Narapidana Tindak Pidana Narkotika terdapat pasal pengecualian yaitu pada:

1.             Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020, Pasal 8.

2.             Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020, Pasal 22.

3.             Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun 2020 Pasal 11 ayat (l) dan (2) dan

4.             Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun 2020 Pasal 31 ayat (1) dan (2).

B.            Penyebab penggantian Peraturan Hukum dalam Permenkum HAM Nomor 10 Tahun 2020 dengan Permenkum HAM Nomor 32 Tahun 2020.

Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 yang di ganti dengan Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020 merupakan sebuah hasil evaluasi dan perbaikan terhadap pengatuuran Asimilasi di masa Pandemi Covid-19, dalam perumusan konsep perubahan suatu kebijakan harus melihat dan mempertimbangkan landasan Yuridis, Empiris, dan Filosofis, dan Teoritis yang mana hal ini dianggap sangat perlu dan dipandang sebagai awal pendeskripsian dari Sumber Hukum. Dengan melihat dan mempertimbangkan empat tinjauan tersebut, maka nantinya kebijakan tentang pengaturan Asimilasi di masa Pandemi Covid-19.

Landasan Filosofis yang merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum dan Landasan Yuridis yang merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisis kekosongan hukum dengan dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat dan Hukum Empiris merupakan hukum yang dianut oleh masyarakat dalam hal ini secara nyata hukum yang ada benar-benar dijalani dan dijadikan sebagai landasan oleh masyarakat, dan teori hukum yang selanjutnya berfungsi sebagai dasar dan landasan teoritis dalam menganalisis serta melakukan kajian terhadap permasalahan.

1.             Alasan Empiris

Asimilasi merupakan sebuah proses pembinaan Narapidana dan Anak yang dilaksanakan dengan membaurkan Narapidana dan Anak dalam kehidupan masyarakat, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Asimilasi adalah penyesuain (peleburan) sifat asli yang dimiliki dengan sifat lingkungan sekitar, yang artinya untuk mencegah dan menanggulangi penyebaran Covid-19 pada Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang memiliki over kapasitas, Narapidana Dewasa maupun Anak dipulangkan kembali menyatu dengan Masyarakat. Kebijakan Asimilasi dan Integrasi ditengah Pandemi Covid-19 ini diambil memang bukan tanpa pertimbangan yang matang, karena sebelumnya banyak diberitakan di mediasosial terkait kondisi sel tahanan yang penuh sesak, sempit, dan sangat tidak layak. Dalam satu sel diisi puluhan orang dan posisinya berimpitan antara satu dengan yang lainnya. Pada saat mewabahnya pandemi Covid-19, hal ini menjadi momok menakutkan bagi Para Narapidana, karena peluang menular antar sesama Narapidana menjadi sangat mudah dan luas.

Tertdapat kendala-kendala yang dihadapi dalam Pelaksanaan Pemberian Asimilasi dan Integrasi Covid-19 dalam melaksanakan Program Asimilasi dan Integrasi Covid-19 pasti terdapat kendala yang dapat menghambat baik dari dalam maupun luar Lembaga Pemasyarakatan. Kendala yang dihadapi antara lain (Violina & Wibowo, 2021):

1.             Waktu yang diberikan untuk mengajukan usulan sangat singkat.

2.             Keterbatasan Sumber Daya Petugas.

3.             Beberapa Narapidana dan Anak tidak memiliki keluarga dekat sehingga tidak dapat memenuhi persyaratan asimilasi dan integrasi yang mengharuskan kerabatnya datang sebagai penjamin mereka dalam melaksanakan program ini.

4.             Ketidak jelasan alamat yang akan dituju oleh Narapidana dan Anak untuk melaksanakan Program Asimilasi Rumah.

5.             Stigma Masyarakat terhadap Narapidana dan Anak yang mengakibtkan mereka susah untuk melakukan interaksi sosial.

Upaya untuk mengatasi kendala dalam pelaksanaan pemberian Asimilasi dan Integrasi Covid-19 dalam menyikapi kendala yang ada Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) melakukan upaya yang dapat mengatasi kendala yang terjadi dalam pelaksanaan program Asimilasi dan Integrasi Covid-19. Upaya yang dilakukan antara lain (Violina & Wibowo, 2021):

1.             Petugas Pemasyarakatan yang bertugas dalam pengajuan usulan harus bekerja ekstra agar mendapatkan hasil yang maksimal.

2.             Mengharuskan adanya keluarga yang dapat menjamin Narapidana dan Anak dalam melaksanakan program ini.

3.             Mengharuskan keluarga Narapidana dan Anak datang untuk menjemput untuk memastikan bahwa mereka memiliki tempat tinggal yang jelas.

4.             Melakukan sosialisasi kepada masayrakat bahwa program ini sudah di lakukan setiap tahun.

5.             Melakukan kontrol Narapidana dan Anak yang bebas Asimilasi dan Integrasi Covid-19 berupa kunjungan kerumah atau video call melalui pihak Balai Pemasayarakatan (BAPAS).

2.             Alasan Yuridis

Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi merupakan wujud jaminan Hak Asasi Manusia terhadap Para Narapidana. Karena, pemerintah menjamin keselamatanpara Narapidana dari potensi terkena wabah virus Covid-19 yang bisa saja menginfeksi Lembaga Pemasyarakatan dan jika itu terjadi maka kerusakan yang ditimbulkan akan lebih besar, mengingat overcrowded di Lembaga Pemasyarakatan tidak memungkinkan Para Narapidana menerapkan physical distancing sebagaimana anjuran pemerintah.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan kebijakan terkait pemberian program Asimilasi dan Integrasi melalui Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Syarat Pemberian Asimilasi Dan Hak Integrasi Bagi Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penyebaran Covid-19 yang saat ini masih mendapatkan pertentangan dibeberapa kalangan masyarakat. Masyarakat memiliki pandangan bahwa kebijakan tersebut adalah sebuah kekeliruan sebab di dalam Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan, Para Narapidana seolah sedang dikarantina dan mendukung program pemerintah untuk berdiam diri di rumah (Rahmasari et al., 2022). Sehingga dikeluarkan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas Dan Cuti Bersyarat Bagi Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penyebaran Covid-19.

Merujuk pada hierarki peraturan perundang-undangan, pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang sekarang berlaku, susunan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut (Undang-Undang, 2017):

1.             Undang-Undang Dasar (UUD 1945).

2.             Ketetapan Majelis Permusyawaratan Raktat (TAP MPR).

3.             Undang-Undang (UU) / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU).

4.             Peraturan Pemerintah (PP).

5.             Peraturan Presiden.

6.             Peraturan Daerah Provinsi.

7.             Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Melihat pada hierarki tersebut, terlihat jelas adanya ketidakpastian dan inkonsistensi baik di lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta Pemerintah dalam menempatkan suatu bentuk dan jenis peraturan dengan peraturan yang lainnya. Nomor urut menjadi faktor penentu, karena tidak bersifat alternatif (pilihan) melainkan affirmatif (penegasan) yang terkait secara langsung dengan levelitas suatu produk hukum peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukan arti bahwa nomor urut 1 (satu) merupakan peraturan paling tinggi atau secara sederhana, peraturan perundangan tertinggi merupakan sumber lahirnya peraturan perundang-undangan, dan peraturan perundang-undangan berikutnya merupakan penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, tidak boleh ada yang bertentangan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya akan tetapi harus bersinergitas satu dengan dengan lainnya.

Landasan Yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ini sangat penting karena setiap produk hukum haruslah mempunyai dasar berlaku secara yuridis (jurisdische gelding). Dasar yuridis ini akan menunjukan bahwa (Undang-Undang, 2017):

a.              Keharusan adanya kewenangan dari pembuat produk-produk hukum. Setiap produk-produk hukum harus dibuat oleh pejabat yang berwenang. Produk hukum yang tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang akan batal demi hukum (van rechtswetgenietig) atau dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal demi hukum.

b.             Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis produk-produk hukum dengan materi yang diatur, terutama apabila diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi atau sederajat. Ketidaksesuaian bentuk atau jenis dapat menjadi alasan untuk membatalkan atau dapat dibatalkan (vemietigbaar) produk hukum tersebut.

c.              Keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tertentu yang diharuskan tidak diikuti, maka produk-produk hukum tersebut belum mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat dibatalkan demi hukum.

d.             Keharusan bahwa peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

e.              Produk-produk hukum yang dibuat untuk umum dapat diterima oleh masyarakat secara wajar, bahkan spontan.

3.             Alasan Teoritis

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan sebagai negara hukum, maka untuk menjalankan suatu negara dan perlindungan hak asasi manusia harus berdasarkan hukum. Kondisi ini menyebabkan peraturan perundang-undangan memegang peranan yang sangat strategis sebagai landasan dan strategi negara untuk mencapai tujuan sebagaimana yang telah ditentukan. Dalam hal menentukan suatu perbuatan yang dilarang atau tindak pidana dalam suatu peraturan perundang - undangan digunakan kebijakan hukum pidana.

Negara hukum dalam perkembangannya senantiasa dipautkan dengan Konstitusi Negara, terutama dalam hal pengaturan dan penegasan tentang pembatasan kekuasaan negara untuk menjamin kemerdekaan dan hak-hak dasar warga negara dan perlindungannya (Nurul Qamar, 2022).

Aspek hukum dalam pengaturan Asimilasi dan Hak Integrasi terhadap Narapidana terus diperbaharui, hal ini dilakukan demi menyesuaikan dengan kondisi lapas dan kepastian hukum terhadap narapidana. Hal ini tidak lepas dari peran Pemerintah melalui Pengawasan Asimilasi dan Integrasi yang dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan sebagai Organ Pemerintahan yang ditugasi untuk melakukan Pembimbingan Kemasyarakatan. Tindakan ini dilakukan dengan maksud untuk terus mengamati dan menilai terhadap pelaksanaan program layanan, pembinaan dan pembimbingan warga binaan.

4.             Alasan Filosofis

Dilihat berdasarkan landasan filosofis maka peraturan dikeluarkan berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. Saat ini kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di Indonesia memiliki tingkat hunian yang sangat tinggi atau overcrowded sehingga dianggap rentan terhadap penyebaran dan penularan Covid-19. Sedangkan Landasan Yuridis menekankan pada aspek hukum yang penting bagi masyarakat. Tanpa keberadaan hukum tidak akan terwujud masyarakat yang tertib dan harmonis. Berdasarkan Landasan Yuridis, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 20 Tahun 2020 dan kemudian Nomor 32 Tahun 2020 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas Dan Cuti Bersyarat Bagi Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penyebaran Covid-19.

Dalam suatu Negara sudah pasti terdapat masalah berupa masalah kenegaraan yang perlu dicarikan solusinya, sehingga masalah tersebut tidak menjadi faktor penghambat dalam mencapai tujuan nasional, dengan demikian dicarikannya solusi atau jalan keluar terhadap masalah kenegaraan tersebut yang dilakukan melalui pendekatan kebijakan dalam rangka untuk mencapai suatu tujuan untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan sosial (Ravena & SH, 2017).

Berdasarkan peraturan perundang-undangan pemerintah atau Pejabat Administrasi Negara dapat menetapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat bebas. Kebijakan yang bersifat bebas ditetapkan oleh Pejabat Administrasi Negara berdasarkan kewenangan kebebasan bertindak, kebijakan yang bersifat bebas ditetapkan dan dijalankan oleh Pejabat Administrasi Negara dalam rangka menyelesaikan suatu keadaan yang pada dasarnya belum ada aturannya atau belum diatur dalam Undang-Undang (Siby, 2021).

C.           Perbandingan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Narapidana dan Anak dalam Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi antara Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkum HAM) Nomor 10 Tahun 2020 dengan Permenkum HAM Nomor 32 Tahun 2020 juncto Permenkum HAM NO. 24 tahun 2021.

Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah memperpanjang kebijakan pemberian hak asimilasidi rumah bagi narapidana dan anak. Kebijakan tersebut diambil guna mencegah penyebaran Covid-19 di lingkungan LAPAS. Kebijakan mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 24 Tahun 2021 sebagai perubahan atas Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat bagi narapidana dan anak dalam Rangka Pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.

Perubahan aturan aimilasi di masa pandemi harus segera dilakukan sebagai penanganan lanjutan dalam upaya mencegah semaksimal mungkin potensi penyebaran Covid-19 di Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara. Perpanjangan tersebut bersifat mendesak menyusul ancaman potensi penularan Covid-19 yang masih berlangsung yang mana potensi penularan virus masih sangat tinggi ke dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Perubahan Permenkumham tidak hanya berkaitan dengan perpanjangan Asimilasi di rumah. Perubahan juga terkait dengan perubahan rujukan regulasi terbaru dan perluasan jangkauan penerima Hak Integrasi dan Asimilasi di rumah.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat akibat muatan didalam peraturan tersebut mengecualikan narapidana tindak pidana narkotika dengan masa pidana minimal 5 (lima) tahun melalui perlakuan diskriminatif dengan tidak diberikan hak asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat dalam rangka pencegahan dan penanganan Covid-19.

Ketentuan di atas secara tegas telah menyatakan tidak ada pembedaan perlakuan dan pelayanan terhadap hak sesama Narapidana, namun pada kenyataan implementasi kebijakan hukum dilapangan menimbulkan diskriminasi hak Narapidana, secara khusus hak Narapidana tindak pidana Narkotika tidak terpenuhi dan membuat permasalahan overcrowded pada Lapas dan Rutan belum terselesaikan.

Kebijakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menjatuhkan hukuman kepada Narapidana Tindak Pidana Narkotika dengan masa pidana minimal 5 (lima) tahun (dengan cara perlakuan diskriminatif berupa "penghapusan" pemberian hak asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat) berdasarkan delik undang-undang saat proses ajudikasi adalah tindakan yang seharusnya tidak dilakukan karena bukan kewenangannnya. Terlebih dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang mengatur tentang Pemasyarakatan tidak mengatur adanya perbedaan perlakuan diantara sesama Narapidana (Eryansyah, 2022).

Dari hal ini sudah jelas bahwa pencabutan seluruh dan sebagian hak-hak tertentu yang dapat diberikan oleh pemerintah (pemberian hak asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat) kepada narapidana tindak pidana narkotika dengan masa pidana minimal 5 (lima) tahun dalam rangka pencegahan dan penyebaran Covid-19 merupakan kewenangan Hakim (yudikatif) dan bukan kewenangan badan eksekutif. Demikian pula bagi kejahatan luar biasa lainnya. Oleh karena itu, pencabutan seluruh dan sebahagian hak-hak tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana oleh hakim harus dicantumkan dalam undang-undang terkait (sebagai lex specialis), bukan melalui Peraturan Pemerintah apalagi Peraturan Menteri.

 

Kesimpulan

Persamaan isi Permenkumham Nomor 10 dengan Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020 adalah sebagai pengaturan Asimilasi dimasa pandemi Covid-19. Perbedaan isi Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 dengan Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020 adalah penambahan substansi yang sebelumnya sudah dievaluasi untuk perbaikan pengaturan. Penyebab perbedaan adalah evaluasi yang dilakukan untuk perbaikan Permenkumhan. penyebab persamaan adalah pengaturan Asimilasi di masa pandemi Covid-19. Perbedaan dan perbedaan tersebut wajar terjadi karena Permenkumham di buat dalam keadaan darurat untuk pencegahan dan penanggulangan Covid-19.

Penyebab Empiris Permenkum HAM Nomor 10 Tahun 2020 diganti dengan Permenkum HAM Nomor 32 Tahun 2020 adalah overcording dalam Lembaga Pemasyarakatan yang mengharuskan adanya program Asimilasi untuk pencegahan dan penanggulangan Covid-19. Penyebab lain secara yuridis adalah rentannya penyebaran Covid-19 di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan sebagai penyelamatan terhadap Narapidana, penyebab secara teoritis adalah upaya pencegahan dan penyelamatan Narapidana dan Anak yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, dan penyebab filosofisnya adalah kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang rentan terhadap penyebaran virus Covid-19. Penggantian tersebut sah berdasarkan teori keadilan, pembentukan hukum dan Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan perspektif Hak Asasi Manusia, Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020 Lebih prospektif dalam Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi karena terdapat evaluasi dan penyempuranaan terkait pengaturan Asimilasi di masa pandemi covid-19 yang memudahkan untuk pelaksanaan program serta pengawasan, prosedur dan syarat juga lebih memadai.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Arifin, R., Utari, I. S., & Subondo, H. (2017). Upaya Pengembalian Aset Korupsi Yang Berada di Luar Negeri (Asset Recovery) Dalam Penegakan Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia. IJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies), 1(1), 105�137.

 

Eryansyah, A. M. (2022). Hakikat Sistem Pemasyarakatan Sebagai Upaya Pemulihan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan= The Nature of the Correctional System as a Recovery Effort for the Correctional Assisted Citizens. Universitas Hasanuddin.

 

Ikhtiar, H. (2020). Analisis Kebijakan Asimilasi dan Integrasi Narapidana di Masa Pandemi Covid-19. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat.

 

Indonesia. (1998). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakiman.

 

Jamil, R. (2017). HUKUM WARIS DAN WASIAT (Sebuah Perbandingan antara Pemikiran Hazairin dan Munawwir Sjadzali). Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam, 10(1), 99�114.

 

Jufri, E. A., & Anisariza, N. U. (2017). Pelaksanaan Asimilasi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta. ADIL: Jurnal Hukum, 8(1), 1�26.

 

Marzuki, P. M., & SH, M. S. (2021). Pengantar ilmu hukum. Prenada Media.

 

Nasip, N., Yuliartini, N. P. R., & Mangku, D. G. S. (2020). Implementasi Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemsyarakatan Terkait Hak Narapidana Mendapatkan Remisi Di Lembaga Pemasyasrakatan Kelas II B Singaraja. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 6(2), 560�574.

 

Nurul Qamar, S. H. (2022). Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi: Human Rights In Democratiche Rechtsstaat. Sinar Grafika.

 

Palilingan, T. B. (2021). Kebijakan Pemerintah Terhadap Tahanan Di Rutan Dalam Proses Asimilasi Karena Pandemi Covid-19. Lex Administratum, 9(4).

 

Pettanase, I. (2019). Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan. Solusi, 17(1), 57�63.

 

Pratama, K. J. (2021). Meninjau Politik Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dalam Keadaan Pandemi. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 10(1), 151.

 

Rahmasari, H., Iskandar, S., & Karo, L. B. (2022). Kajian Yuridis Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 Sebagai Upaya Pencegahan Covid-19. Wajah Hukum, 6(2), 410�416.

 

Ravena, H. D., & SH, M. H. (2017). Kebijakan Kriminal:[Criminal Policy]. Prenada Media.

 

Siby, J. J. (2021). Pemberian Asimilasi Bagi Narapidana Di Era Pandemi Covid-19 Ditinjau Dari Peraturan Menteri Hukum Dan HAM Nomor 10 Tahun 2020. Lex Crimen, 10(7).

 

Siregar, F. R. (2020). Pembebasan Narapidana Ditinjau dari Permenkumham RI Nomor 10 Tahun 2020 Sebagai Upaya Pencegahan Covid-19 di Indonesia. Riau Law Journal, 4(2), 200�218.

 

Surbakti, D. L., & Anwar, U. (2023). Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) Terhadap Asimilasi Narapidana Pada Bapas Kelas I Palembang. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 5(2), 420�427.

 

Tan, D. (2021). Metode Penelitian Hukum: Mengupas Dan Mengulas Metodologi Dalam Menyelenggarakan Penelitian Hukum. Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 8(8), 2463�2478.

 

Tirtakusuma, A. E. (2020). Modifikasi Pelaksanaan Putusan Pengadilan (Kajian Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19). Jurnal Hukum Dan Bisnis (Selisik), 6(1), 15�29.

 

Undang-Undang. (2017). Undang-Undang Pasal 1 ayat (4) Nomor 12 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

 

Violina, Y., & Wibowo, P. (2021). Pemberian Program Asimilasi Dan Integrasi Bagi Narapidana Dan Anak Sebagai Langkah Pencegahan Penyebaran Virus Corona. Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 8(1), 200�206.

 

Copyright holder:

Masridawati, Junaedi, Waluyadi (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: