Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesiap�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

KONSEP KEBIJAKAN KOMPENSASI BAGI MASYARAKAT PEMILIK HAK ULAYAT DI KAWASAN CAGAR KABUPATEN KEPULAUAN YAPEN PROVINSI PAPUA

 

Ibrahim Kristofol Kendi

Administrasi Perkantoran Fisip Uncen, Indonesia

e-mail : gattuso[email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini merupakan analisis konseptual mengenai kebijakan kompensasi bagi masyarakat pemilih hak ulayat yang ditetapkan sebagai kawasan cagar alam di Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua. Sehingga dibutuhkan konsep yang tepat untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat adat pemilik hak ulayat untuk mengelolag hak ulayatnya dan juga pembangunan infrastruktur yang galang oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Yapen tetap dilaksanakan tanpa mengurangi atau mengganggu areal yang ditetapkan sebagai kawasan cagar alam di daerah tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka terhadap sejumlah undang-undang dan regulasi ditingkat pusat, Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Kabupaten Kepulauan Yapen. Kajian ini menunjukan bahwa kebijakan baik berskala nasional, provinsi dan kabupeten cukup memberi ruang untuk menentukan model pengelolaan sumber daya alam terutama masyarakat pemilik hak ulayat dalam bentuk ekotorismse, hal ini akan terwujud manakala sinergitas antara pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Kepulauan Yapen mampu mengakomodir kepentingan masyarakat pemilik hak ulayat dalam bentuk produk kebiajkan daerah agar aktivitas masyarakat tetap berlangsung tanpa mengurangi prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang baik sesuai harapan semua pihak.

 

Kata Kunci : Kebijakan Kompensasi, Kawasan Cagar Alam, Masyarakat Pemilik Hak Ulayat, Kearifan Lokal.

 

Abstract

This research is a conceptual analysis of compensation policies for customary rights voters designated as nature reserve areas in Yapen Islands Regency, Papua Province. So that the right concept is needed to accommodate the needs of indigenous peoples who own customary rights to manage their customary rights and also the infrastructure development that is mobilized by the Yapen Islands Regency Government is still carried out without reducing or disturbing the area designated as a nature reserve area in the area. The research method used in this paper is a type of qualitative research with a case study approach. Data collection techniques are carried out by literature study of a number of laws and regulations at the central level, Papua Provincial Government and Yapen Islands Regency. This research shows that policies on a national, provincial and district scale are sufficient to provide space to determine natural resource management models, especially communities that own customary rights in the form of ekotorismse, this will be realized when the synergy between the central government, the Papua Provincial government and the Yapen Islands Regency is able to accommodate the interests of the customary rights owners in the form of regional policy products so that community activities continue withoutreduce the principles of good environmental management in accordance with the expectations of all parties.

 

Keywords: compensation policy, nature reserve area, community customary rights owner, local wisdom.

 

Pendahuluan

Merujuk agenda aksi Sustainable Consumption and Production/SCP yang telah disepakati dalam Konferensi Pembangunan Berkelanjutan (Rio+20) bulan Juni 2012, saat ini bumi berpenghuni sekitar 7,2 milyar jiwa (Mahson, 2022). Untuk itu diperlukan sumber daya alam yang besar untuk pemenuhan kebutuhan dasar untuk pewujudan kesejahteraan, melalui kegiatan konsumsi dan produksi dalam kehidupan sehari-hari (Sari & Pratiwi, 2018). Kebutuhan konsumsi dan produksi tersebut dapat menimbulkan tekanan yang besar pada keberlanjutan sumberdaya alam dan kualitas lingkungan hidup kita (Fadli & Lutfi, 2016).

Kebijakan penetapan kawasan cagar alam tidak lain adalah untuk menjaga kelangsungan hidup makluk hidup termasuk manusia akan dan bagaimana perilaku manusia terhadap lingkungan yang ditempatinya (Sinapoy, 2018). Indonesia merupakan salah satu Negara penghasil karbon tebesar dunia dimana pulau-pulai terbesar di Indonesia misalnya Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua merupakan kawasan produksi oksigen terbesar dunia (Yuniati et al., 2023). Dengan status kawasan produksi karbon terbesar di dunia ini pulau-pulau tersebut (Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua) kemudian dipaksakan melakukan sejumlah kebijakan pemerintah yang sifatnya kontra pruduktif. Salah satu diantaranya adalah Kebijakan pembangunan yang berkelanjutan (sustanaible development) (Wulandari et al., 2014).

Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi dengan luas wilayah konservasi cagar alam yang luas. Ini ditentukan oleh regulasi pemerintah dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah yang mengatur tentang batas-batas wilayah konservasi cagar alam (Prabowo, 2016). Penetapan kawasan cagar alam ini tentunya meliputi kawasan-kawasan yang secara adat dimiliki oleh masyarakat pemilik hak ulayat (Fatem & Asem, 2015). Dikeluarkannya keputusan pemerintah untuk menetapkan sebuah kawasan sebagai kawasan cagar alam dan lain-lain tentunya berpengaruh pada pola interaksi masyarakat dengan alam yang telah menyatu dengan mereka sepanjang kehidupan mereka. Kawasan-kawasan yang meliputi pesisir, kepulauan, pegunungan, lautan yang merupakan sumber penghidupan masyarakat menjadi areal yang tidak lagi disentuh oleh mereka ini tentunya berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup mereka (Kuswana & Hakim, 2016).

Masyarakat Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua memiliki mata pencaharian yang beragam, baik sebagai nelayan, petani, peternak, pengrajin tenun noken kemungkinan kehilangan bahan baku sebagai bahan dasar olahan mereka. Sehingga ungkapan yang sering muncul ketika kami mengajak berdialog adalah �Kami dilarang berkebun, melaut, dan mengambil bahan baku di areal yang merupakan hak ulayat kami sendiri (Barri et al., 2019).

Penetapan kawasan cagar alam Kabupaten Kepulauan Yapen mengakibatkan masyarakat tidak leluasa melakukan aktifitasnya. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik antara pemerintah dan masyarakat, terutama masyarakat pemilik hak ulayat (Situngkir, 2022).

Bukan hanya masyarakat adat, Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Yapen sebagai salah satu daerah yang sangat lambat dalam pertumbuhan ekonomi daerah dan infrastruktur. Lalulinta arus perdagangan antar kabupaten/kota di daerah ini sangat tidak maksimal oleh karena dibatasi oleh terbatasnya sarana konektivitas (bandara, pelabuhan jalan jembatan dan lain-lain). Bukan hanya itu kantor-kantor pemerintah daerah pun tidak mengalami perubahan puluhan tahun lamanya. Kontribusi PAD terhadap APBD sangat minim. Semua ini diakibatkan oleh ruang gerak pemerintah daerah yang dibatasi oleh kebijakan pemerintah pusat terkait hampir 80% luas Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua ditetapkan sebagai kawasan cagar alam. Sebagai contoh pembangunan Bandara Perintis Stevanus Rumbewas di Kampung Kamanap Distrik Kosiwo Kabupaten Kepualaun Yapen Provinsi Papua yang melibatkan masyarakat adat pemilik hak ulayat, Pemerintah Daerah Kabupetn Kepulauan Yapen dan Pemerintah Pusat mengakibatkan terhambatnya dibangunnya bandara tersebut puluhan tahun lamanya. Permasalahan yang dialami adalah Bandara tersebut dibangun di kawasan cagar alam begitu pula dengan dengan akses jalan yang menghubungkan bandara tersebut dengan pusat Ibu Kota Kabupaten yang juga melewati kawasan cagar alam sehingga pembangunan bandara tersebut menjadi lambat karena tidak mendapatkan ijin oleh pemerintah pusat.

Salah satu konsep pengembangan obyek wisata yang dikenal dengan Ekowisataatau ekoturisme merupakan salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan. Ekowisata dimulai ketika dirasakan adanya dampak negatif pada kegiatan pariwisata konvensional. Dampak negatif ini bukan hanya dikemukakan dan dibuktikan oleh para ahli lingkungan tetapi juga para budayawan, tokoh masyarakat dan pelaku bisnis pariwisata itu sendiri. Dampak berupa kerusakan lingkungan, terpengaruhnya budaya lokal secara tidak terkontrol, berkurangnya peran masyarakat setempat dan persaingan bisnis yang mulai mengancam lingkungan, budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Pada mulanya ekowisata dijalankan dengan cara membawa wisatawan ke objek wisata alam yang eksotis dengan cara ramah lingkungan. Proses kunjungan yang sebelumnya memanjakan wisatawan namun memberikan dampak negatif kepada lingkungan mulai dikurangi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model kebijakan yang akan ditawarkan adalah adanya kebijakan kompensasi yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat dan juga pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan Yapen yang secara administrasi memiliki kewenangan terhadap kawasan-kawasan tersebut agar tidak terjadi konflik dan lain-lain. Model kebijakan kopensasi ini nantinya akan disalurkan melalui APBN dan ABPD untuk pemerintah Daerah sedangkan untuk masyarakat adat disalurkan melalui Alokasi Dana Desa (ADD).

 

Literature Review

Kebijakan publik senantiasa ditujukan untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan publik untuk meningkatkan kehidupan publik itu sendiri. Jadi core kebijakan publik adalah �intervensi�. Kenapa demikian? sederhana saja meskipun kebijakan publik adalah �apa yang dipilih untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan pemerintah�, sebenarnya yang menjadi fokus adalah apa yang dikerjakan pemerintah karena bersifat aktif. (Nugroho, 2014).

Menurut Kamus Administrasi Publik oleh Susanti (2019), public policy adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Bahkan Candler dan Plano juga beranggapan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang kontinum oleh pemerintah demi kepentingan orang-orang yang tidak berdaya dalam masyarakat agar mereka bisa hidup dan ikut berpartisipasi dalam pemerintah (Kristian, 2022).

Kebijakan publik menitikberatkan pada apa yang Dewey (1927) katakan sebagai publik dan problem-problemnya. Kebijakan publik membahas soal bagaimana isu-isu dan persoalan-persoalan tersebut disusun, (constructed) dan didefinisikan, dan bagaimana kesemuanya itu diletakan dalam agenda kebijakan dan agenda politik, (Person 2008 : 1). Dikatakan oleh Person (2008) bahwa selain itu kebijakan publik juga merupakan studi tentang �bagaimana, mengapa dan apa efek dari tindakan (action) dan pasif (inaction) pemerintah�.

Kebijakan publik merupakan arah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Area studi ini meliputi segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan mempunyai pengaruh terhadap kepentingan masyarakat seacra luas (Winarno et al., 2016).

Intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa aspek, misalnya menurut Kristian (2022) kebijakan dalam bentuk Pertama: regulatory yaitu mengatur perilaku orang, misalnya salah satu penyebab tingginya kecelakaan lalulintas dan kriminalitas di Provinsi Papua adalah minuman keras, maka dikeluarkanlah kebijakan pelarangan minuman keras melalui Perda Nomor 15 tahun 2013 tentang pelarangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol di Provinsi Papua. Jadi substansi dari pada bentuk kebijakan regulatory adalah bersifat memaksa dan berakhir dengan panishment (hukuman) agar masyarakat tunduk kepada pemerintah terkait hal-hal yang merugikan kepentingan banyak orang.

Kedua: kebijakan redistributive yang mendistribusikan kembali kekayaan yang ada atau mengambil kekayaan dari yang kaya lalu memberikannya kepada yang miskin. Jadikebijakan redistributif adalah kebijakan yang bersifat menarik sesuatu dari warga masyarakat untuk selanjutnya didistribusikan kembali. Contohnya Kebijakan pajak pendapatan dan pajak kekayaan. Dari hasil pungut tersebut didistribusikan untuk pembangunan berbagai fasilitas umum seperti, jalan ataupun jembatan.

Ketiga, distributive yaitu melakukan distribusi atau memberikan akses yang sama terhadap sumber daya tertentu. Misalnya Penggunaan anggaran belanja daerah untuk membiayai sekolah gratis dan subsidi bahan bakar minyak dan lain-lain. Empat, bentuk constituent yaitu yang ditunjukan untuk melindungi negara. Masing-masing bentuk ini menurut Kristian dapat dipahami dari tujuan dan target suatu program atau proyek sebagai wujud konkrit atau terjemahan dari suatu kebijakan.

Beberapa konsep diatas menempatkan pemerintah sebagai aktor utama dalam konsep kebijakan itu sendiri mengapa demikian? karena di tangan pemerintah segala keputusan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Proses kebijakan publik yang begitu panjang dan melelahkan, sumber daya yang begitu banyak dikerahkan namun apabila kebijakan tersebut oleh pemerintah dipandang sebagai sesuatu yang berpotensi merugikan banyak orang, maka pemerintah berhak menghentiannya. Agar lebih elegan, implementor tidak dapat menghindar dari proses politik, hal ini biasanya terlihat pada proses evaluasi yang mana keterlibatan lembaga indepen menjadi tidak penting, kecenderungan mengenia deal-deal antara evaluator dan implementor menjadi orientasi utama agar kebijakan tersebut dihentikan dengan mudah.

 

Regulasi Penetapan Kawasan Cagar Alam Provinsi Papua

Pasal 63 UU 21/2001 juncto UU 35/2008 tentang Otsus Papua yang mengatur tentang �Pembangunan di Provinsi Papua dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, kelestarian lingkungan, manfaat dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah�, dan Perdasi No. 23/2013 tentang RTRW Provinsi Papua yang menetetapkan Kawasan Lindung 60% dan kawasan hutan 90% dari total luas Papua, Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Yapen Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Yapen Tahun 2012�2032 yang kemudian mengakibatkan masyarakat tidak diperkenaankan berkebun atau jenis kegiatan lainnya diatas hak ulayat mereka. Berkaitan dengan itu Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menetapkan Surat Keputusan No. 76/IV-KKBHL/2015 Tentang Nomor Register Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru dimana menetapkan Kawasan Pegunungan Tengan Kabupaten Kepulauan dengan Nomor Registrasi 100217218 sebagai kawasan Cagar Alam dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.43/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Di Sekitar Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam yang meliputi Penetapan Sasaran, Rencana Pemberdayaan Masyarakat, Pengembangan Kapasitas Masyarakat, Bentuk Pemberdayaan Masyarakat, Penghargaan, Pembiayaan, Pembinaan dan Pengendalian.

Di skala daerah Provinsi ditetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahuan 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua Pasal 43 yang menitikberatkan pada pengakuan, penghormatan, perlindungan, pemberdayaan, dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat. Kebijakan tersebut diperkuat dengan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua (Perdasus) Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah dan pengakuan keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah.

Pada skala kebijakan pemerintah daerah kabupaten telah ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Yapen Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Yapen Tahun 2012 2032 mengenai Pola Ruang Wilayah Umum yang meliputi Kawasan lindung dan kawasan budidaya. Bagian Kedua Kawasan Lindung terdiri atas kawasan hutan lindung, kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya. Kebijakan inilah merupakan dasar hukum perumusan kebijakan kompensasi bagi masyarakat yang terdampak penetapan kawasan cagar alam di daerah tersebut.

Regulasi tersebut mengatur beberapa hal penting terkait pemetaan wilayah karakteristik potensi yang ada yakni Kebijakan penataan ruang terdiri atas Pengembangan kegiatan perikanan, pertanian, pariwisata secara terpadu dan berkelanjutan dalam sistem minapolitan dan agropolitan. Pengembangan industri pengolahan dan pariwisata dengan memperhatikan ekonomi kerakyatan. Peningkatan kualitas pelayanan prasarana wilayah meliputi transportasi, energi, sumber daya air, telekomunikasi dan prasarana perkotaan dalam mendukung kemandirian serta kesejahteraan masyarakat. Pengembangan dan peningkatan kawasan budidaya yang memperhatikan harmonisasi lingkungan alam dan lingkungan buatan serta mempertimbangkan mitigasi bencana. Pemantapan pelestarian dan peningkatan fungsi kawasan lindung secara berkelanjutan melalui pemberdayaan masyarakat dan menjunjung kearifan lokal. Penataan Wilayah Pesisir dan Kelautan, dan Peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan observasi mengenai program-program pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dan sejumlah data diperoleh dari Pemda Papua seperti Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Dana Otsus di bidang lingkungan hidup dan beberapa regulasi teknis Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Dinas Pariwisata Provinsi Papua, BAKSDA Kabupaten Kepulauan Yapen, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Yapen.

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

Kebijakan Skala Nasional

Untuk merumuskan kebijakan dalam kaitannya dengan pemberian kompensasi bagi masyarakat pemilik hak ulayat yang ditetapkan sebagai kawasan cagar alam di Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua, maka hal mendasar yang perlu diperhatikan adalah struktur kebijakan lingkungan mulai dari undang-undang hingga Standart Operating Procedire (SOP) Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait sebagai satu mata rantai sekaligus landasan hukum bagi proses implementasinya.

Berkaitan dengan itu Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menetapkan dua kebijakan terkait pengelolaan kawasan cagar alam dan hubungannya dengan pemberdayaan masyarakat pemilik hak ulayat, Pertama:Surat Keputusan No. 76/IV-KKBHL/2015 Tentang Nomor Register Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru dimana menetapkan Kawasan Pegunungan Tengan Kabupaten Kepulauan dengan Nomor Registrasi 100217218 sebagai kawasan Cagar Alam.

Kedua: Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.43/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Di Sekitar Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam yang meliputi Penetapan Sasaran, Rencana Pemberdayaan Masyarakat, Pengembangan Kapasitas Masyarakat, Bentuk Pemberdayaan Masyarakat, Penghargaan, Pembiayaan, Pembinaan dan Pengendalian.

 

Kebijakan Skala Daerah Provinsi Papua

Undang-Undang Nomor 21 Tahuan 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua Pasal 43 menyebutkan Pemerintah Propinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.

Selain itu Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua (Perdasus) Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah dalam pasal 2 ayat 1 menyebutkan Pemerintah Daerah mengakui keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah.

 

Kebijakan Skala Derah Kabupaten Kepulauan Yapen

Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Yapen Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Yapen Tahun 2012 2032 ditetapkan Pola Ruang Wilayah Umum meliputi Kawasan lindung dan kawasan budidaya. Bagian Kedua Kawasan Lindung terdiri atas kawasan hutan lindung, kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya.

Kawasan hutan lindung sebagaimana terdapat di Distrik Kepulauan Ambai, Poom, Teluk Ampimoi, Windesi, Wonawa, Yapen Barat, Yapen Selatan, dan Yerui. Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya adalah Kawasan Resapan Air yang tersebar diseluruh distrik yang ada di Kepulauan Yapen.

Kawasan Perlindungan Setempat terdiri atas kawasan sempadan pantai, kawasan sempadan sungai, kawasan sekitar mata air kawasan dan Ruang Terbuka Hijau perkotaan. Kawasan sempadan pantai terdapat disemua Distrik yang ada di Kepulauan Yapen dengan ketentuan daratan sepanjang tepian laut dengan jarak minimal 100 meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat atau daratan sepanjang laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai. Kawasan sempadan sungai terdapat di seluruh Distrik yang ada dikepulauan Yapen dengan ketentuan daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul diluar kawasan permukiman dengan lebar 100 (seratus) meter dari tepi sungai, daratan sepanjang tepian anaksungai tidak bertanggul diluar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai untuk sungai dikawasan permukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10-15 meter.Kawasan sekitar mata air di semua Distrik yang ada di Kepulauan Yapen .

Penetapan ruang terbuka hijau terdiri atas : Pengadaan taman dan hutan kota Penetapan luas RTH perkotaan minimum 30% dari luas kawasan perkotaan. Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Budaya terdiri atas kawasan suaka alam, kawasan cagar budaya. Kawasan suaka alam terdapat di Distrik Angkaisera, Distrik Kosiwo, Distrik Raimbawi, Distrik Ampimoi, Distrik Windesi, Distrik Yapen Barat, Distrik Yapen Timur, Distrik Yapen Selatan, dan Distrik Yapen Utara.

Kawasan Cagar Budaya terdapat di Distrik Yapen Selatan dan Distrik Kepulauan Ambai. Penetapan kawasan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Yapen Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Yapen Tahun 2012 2032 mengacu pada Peratutan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, yakni Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : SK. 76/IV-KKBHL/2015 Tentang Nomor Register Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam Dan Taman Buru menetapkan Kawasan Pegunungan Tengan Kabupaten Kepulauan dengan Nomor Registrasi 100217218 sebagai kawasan cagar alam berada pada hak ulayat masyarakat adat yang kemudian berdampak minimnya produksi pertanian dan perkebunan tradicional sehingga membutuhkan akselerasi kebijakan baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui program pembangunan yang berbasis pada pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi pariwisata dengan menitikberatkan masyarakat adat sebagai aktor utama dan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi papua dan pemerintah daerah Kebupaten Kepulauan Yapen sebagai fasilitator, sesuai kewenangan masing-masing.

Kawasan hutan lindung sebagaimana terdapat di Distrik Kepulauan Ambai, Poom, Teluk Ampimoi, Windesi, Wonawa, Yapen Barat, Yapen Selatan, dan Yerui. Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya adalah Kawasan Resapan Air yang tersebar diseluruh distrik yang ada di Kepulauan Yapen.

Kawasan Perlindungan Setempat terdiri atas kawasan sempadan pantai, kawasan sempadan sungai, kawasan sekitar mata air kawasan dan Ruang Terbuka Hijau perkotaan. Kawasan sempadan pantai terdapat disemua Distrik yang ada di Kepulauan Yapen dengan ketentuan daratan sepanjang tepian laut dengan jarak minimal 100 meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat atau daratan sepanjang laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai. Kawasan sempadan sungai terdapat di seluruh Distrik yang ada dikepulauan Yapen dengan ketentuan daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul diluar kawasan permukiman dengan lebar 100 (seratus) meter dari tepi sungai, daratan sepanjang tepian anaksungai tidak bertanggul diluar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai untuk sungai dikawasan permukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10-15 meter.Kawasan sekitar mata air di semua Distrik yang ada di Kepulauan Yapen.

 

Pembahasan

Dasar Pemberian Kompensasi bagi Masyarakat Pemilik Hak Ulayat yang ditetapkan Sebagai Kawasan Cagar Alam di Kabupaten Kepulauan Yapen

Penetapan kawasan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Yapen Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Yapen Tahun 2012 2032 mengacu pada Peratutan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, yakni Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : SK. 76/IV-KKBHL/2015 Tentang Nomor Register Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam Dan Taman Buru menetapkan Kawasan Pegunungan Tengan Kabupaten Kepulauan dengan Nomor Registrasi 100217218 sebagai kawasan cagar alam berada pada hak ulayat masyarakat adat yang kemudian berdampak minimnya produksi pertanian dan perkebunan tradicional sehingga membutuhkan akselerasi kebijakan baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui program pembangunan yang berbasis pada pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi pariwisata dengan menitikberatkan masyarakat adat sebagai aktor utama dan pemerintah sebagai fasilitator, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Yapen berdasarkan kewenangan masing-masing.

Model kebijakan kompensasi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat dititikberatkan pada upaya pemberdayaan masyarakat local yang terkena dampak diimplementasikannya Keputusan Menteri Pertanian Nomor. 755/KPTS/UM/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982 dengan luas kawasan 119.140 Ha sebagai kawasan lindung, Cagar Alam Pegunungan (CAP) Yapen Tengah Papua, implementasi Perdasi No. 23/2013 tentang RTRW Provinsi Papua yang menetetapkan Kawasan Lindung 60% dan kawasan hutan 90% dari total luas Papua, dan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Yapen Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Yapen Tahun 2012 2032.

Kompensasi tersebut dikelolah secara normatif mengacu pada Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.43/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Di Sekitar Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam yang meliputi Penetapan Sasaran, Rencana Pemberdayaan Masyarakat, Pengembangan Kapasitas Masyarakat, Bentuk Pemberdayaan Masyarakat, Penghargaan, Pembiayaan, Pembinaan dan Pengendalian yang dilakukan melalui program Ekonomi Wisata (ekotourisme) yang dikelola secara permanen oleh masyarakat local dan diawasi oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Keuangan, Kementerian Desa, Pemerintah Provinsi Papua serta Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Yapen yang secara teknis ditangani oleh Dinas Pariwisata, Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Pemerintah Kampung. Alokasi anggaran dalam rangka kebijakan tersebut bersumber dari ABPN, ABPB (DAK, DAU) dan alokasi Dana Desa (ADD).

Jenis kebijakan yang dihasilkan untuk mengakomodir kepentingan masyarakat terkait dengan kompensasi pengelolaan lingkungan hidup tertuang dalam type kebijakan substantif dan distributive yang pada prinsipnya mengatur hal-hal amat sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat, misalnya pendidikan, kesehatan, insfrastruktur, bantuan bagi usaha kecil dan menengah, sedangkan kebijakan distributif, adalah kebijakan yang bersifat membagikan sesuatu kepada masyarakat. Kebijakan kompensasi kepemilikan hak ulayat serta daerah pemilik kawasan kompensasi melibatkan tiga actor, yaitu (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua, (2) Pemerintah Kepulauan Yapen, dan (3) Masyarakat Adat pemilik hak ulayat.

 

Model Kompensasi Berbasis Masyarakat Lokal (Normative Model)

Model kompensasi yang dimaksud akan dialokasikan ke Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang berupa program dan proyek pembangunan yang dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat ekotourisme atau ekonomi pariwisata dengan beberapa obyek wisata seperti Obyek Wisata Telaga Pamoi, Pasir Panjang Pulau Miosnum dan lain-lain.

Bentuk Pemberdayaan Masyarakat, Penghargaan, Pembiayaan, Pembinaan dan Pengendalian yang dilakukan melalui program Ekonomi Wisata (ekotourisme) yang dikelola secara permanen oleh masyarakat local dan diawasi oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Keuangan, Kementerian Desa, Pemerintah Provinsi Papua serta Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Yapen yang secara teknis ditangani oleh Dinas Pariwisata, Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Pemerintah Kampung. Alokasi anggaran dalam rangka kebijakan tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (ABPN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan Alokasi Dana Desa (ADD). Mekanisme pengelolaan tersebut digambarkan dalam bagan dibawah ini :

 

Gambar 1

Mekanisme Pengelolaan Kompensasi dalam Bentuk Ekonomi Pariwisata Berbasus Masyarakat Lokal (Normatif Model)

 

Ekowisata atau ekotorisme adalah salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan social bidaya ekonomi masyarakat local serta aspek pembelajaran dan pendidikan.

Pengembangan suatu kawasan menjadi sebuah destinasi ekowisata memerlukan suatu analisis untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kawasan tersebut, sehingga perencanaan dan pengembangan kawasan dapat dilaksanakan dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut. Berdasarkan hasil analisis potensi obyek daya tarik wisata alam, karakteristik pengunjung dan dampak adanya pengunjung selanjutnya diidentifikasi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) untuk mendapatkan strategi pengelolaan di kawasan CAPS dengan adanya permasalahan ekowisata.

Untuk mewujudkan konsep ekowisata tersebut pemerintah perlu membijakinya dengan menyiapkan regulasi untuk mengatur sistem pengelolaan dan mendistribusikan kewenangan pengelolaannya secara simultan kepada warga masyarakat sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat local pemilik hak ulayat. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat.

Agung (2015) mengatakan bahwa masalah yang sering dihadapi oleh pelaku industri kreatif selalu terkait dengan sumber daya insani, seperti rendahnya tenaga terampil, kreatif dan produktif, kurangnya tempat pelatihan untuk industri kreatif, kesulitan dalam mencari sumber daya manusia yang mau bekerja keras, kesulitan dalam mencari lembaga pendidikan dan pelatihan yang menghasilkan lulusan untuk industri kreatif. Antara (2018) menjelaskan bahwa kreativitas akan merangsang daerah tujuan wisata untuk menciptakan produk-produk inovatif yang akan memberi nilai tambah dan daya saing yang lebih tinggi dibanding dengan daerah tujuan wisata lainnya.

Model kebijakan kompensasi yang ditawarkan adalah ekonomi wisata berbasis kerifan lokal (Normative Model) atau Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Yapen tentang pemberian kompensasi bagi masyarakat terkena dampak kebijakan penatapan hak ulayat mereka sebagai kawasan cagar alam. Dasar pembentukan kebijakan tersebut antara lain Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.43/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Di Sekitar Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam yang meliputi Penetapan Sasaran, Rencana Pemberdayaan Masyarakat, Pengembangan Kapasitas Masyarakat, Bentuk Pemberdayaan Masyarakat, Penghargaan, Pembiayaan, Pembinaan dan Pengendalian. Sementara teknis pelaksanaan kebijakan tersebut mengacu pada kebijakan teknis ditingkat kementerian lingkungan hidup, kementerian desa dan kementerian keuangan.

Peraturan Daerah tersebut mengakomodir empat hal penting, antara lain alokasi dan distribusi sumber daya, mekanisme pengelolaan, pembinaan dan pengawasan. Sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya finasial dan infrastruktur pariwisata yang disiapkan Oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Yapen. Sumber daya finasial yang bersumber dari Pemerintah Pusat dalam bentuk APBN dapat dialokasikan melalui TAPE (Transfer Anggaran Berbasis Ekologi) dalam bentuk format Dana Alokasi Umum(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), sementara alokasi dana yang bersumber dari APBD Provinsi dapat dikolaborasikan melalui program lintas sektor antara Dinas Pariwisata Provinsi Papua dan Kabupaten Kepulauan Yapen, lembaga teknis Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup yakni BKSDA, sementara alokasi sumber daya finansial yang besumber dari APBD Kabupaten Kepulauan Yapen disalurkan melalui intansi terkait Dinas Pariwisata dan lembaga teknis lainya. Untuk alokasi Dana Kampung atau Dana Desa tentunya mengikuti proses pengelolaan sebagaimana diatur dalam petunjuk tenis pengelolaan kementerian terkait yakni kemenerian keuangan dan kementerian desa mengenai fleksibilitas penggunaan alokasi dana kampung/desa.��

Terkait mekanisme pengelolaan tentunya tidak terlepas usulan masyarakat pemilik hak ulayat yang dikontekskan dengan karakteristik potensi wisata yang berhubungan langsung dengan pola kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pelestarian kawasan cagar alam tersebut antara lain wisata bahari, wisata budaya, wisata pertanian, wisata cagar alam dan wisata alam. Mekanismen pengelolaan diusulkan melalui Musyawaran Perencanaan Pembangunan (Musrembang) kampung/desa yang akan dikawal hingga tingkat provinsi. Sementara itu pembinaan dan pengawasan melibatkan dinas terkait dalam hal ini dinas pariwisata, dinas lingkungan hidup, dinas kesehatan dan perangkat daerah lainnya yang tentunya didasarkan atas tugas pokok dan fungsinya.

 

Kesimpulan

Kebijakan berskala nasional, daerah Provinsi Papua dan Kabupaten Kepulauan Yapen sangat memberi ruang yang cukup luas bagi kebijakan kompensasi bagi masyarakat pemilik hak ulayat dalam bentuk ekowisata atau ekoturisme yang merupakan salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan.

Koordinasi lintas sektor yang melibatkan instansi terkait baik lembaga kementerian serta organisasi perangkat daerah di tingkat Provinsi Papua dan Kabupaten Kepulauan Yapen bila bersinergi maka kebijakan tersebut dengan mudah dirumuskan dan sangat tepat untuk mengatasi ketidakleluasaan masyarakat pemilik hak ulayat untuk beraktivitas terutama kegiatan ekonomi baik di bidang pertanian perkebunan perikanan yang tercover dalam satu paket kegiatan ekowisata atau ekoturisme.

Dari segi sumber daya finansial, alokasi dana melalui APBN dalam format Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) serta dana Transfer Anggaran Berbasis Ekologi (TAPE) dan Alokasi Dana Desa/Kampung (ADD)/) (ADK) merupakan sumber dana yang dipastikan akan membiayai kegiatan tersebut.

Usulan-usulan masyarakat pemilik hak ulayat dipastikan konskrit karena kegiatan yang diusulkan merupakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan untuk menghidupi kebutuahn hidup mereka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Agung, A. A. G. (2015). Pengembangan model wisata edukasi-ekonomi berbasis industri kreatif berwawasan kearifan lokal untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora, 4(2).

 

Antara, M., & Yogantari, M. V. (2018). Keragaman Budaya Indonesia Sumber Inspirasi Inovasi Industri Kreatif. SENADA (Seminar Nasional Manajemen, Desain Dan Aplikasi Bisnis Teknologi), 1, 292�301.

 

Barri, M. F., Condro, A. A., Apriani, I., Cahyono, E., Prawardani, D. D., Hamdani, A., Syam, M., Ngingi, A. J., Habibie, A., & Oktaviani, A. R. (2019). Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya. Hasil Studi Baseline Mengenai Hutan Dan Manusia Di Bioregion Papua. Forest Watch Indonesia (FWI), Indonesia.

 

Fadli, M., & Lutfi, M. (2016). Hukum dan Kebijakan lingkungan. Universitas Brawijaya Press.

 

Fatem, S. M., & Asem, G. (2015). Conservation district as political action of local government for natural resources management; case study of Tambrauw district West Papua, Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 1(6), 1403�1410.

 

Kristian, I. (2022). Implementasi Kebijakan Program Keluarga Harapan di Kecamatan Pamulihan Kabupaten Garut. Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara, 9(1), 23�37.

 

Kuswana, D., & Hakim, A. (2016). Dampak industri terhadap pergeseran nilai sosial budaya masyarakat: Studi deskriptif di Kecamatan Cipendeuy & Kecamatan Purwadadi Kabupaten Subang. LP2M UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

 

Mahson, M. (2022). Penegakan Hukum Lingkungan Administratif Terhadap Pengelolaan Limbah B3 Medis dan Limbah Cair Rumah Sakit Dalam Mewujudkan Sustainable Development di Kota Pekalongan. Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

 

Nugroho, R. (2014). Public Policy: Teori, Manajemen, Dinamika, Analisis, Konvergensi, dan Kimia Kebijakan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

 

Prabowo, C. (2016). Resentralisasi Dalam Pembagian Kewenangan Pemanfaatan Energi Panas Bumi. Veritas et Justitia, 2(2), 380�396.

 

Sari, M. E. P., & Pratiwi, D. A. (2018). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Hidup Masyarakat Suku Laut Pulau Bertam Kota Batam. Jurnal Trias Politika, 2(2), 137�152.

 

Sinapoy, M. S. (2018). Kearifan lokal masyarakat adat Suku Moronene dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Halu Oleo Law Review, 2(2), 513�542.

 

Situngkir, D. A. (2022). Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Adat Dalam Hukum Positif di Indonesia. Ensiklopedia Education Review, 4(3), 255�263.

 

Susanti, T., & Marom, A. (2019). Evaluasi Program Puskesmas Mampu PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar) di Puskesmas Bangetayu Semarang. Journal of Public Policy and Management Review, 8(2), 148�168.

 

Winarno, O. T., Alwendra, Y., & Mujiyanto, S. (2016). Policies and strategies for renewable energy development in Indonesia. 2016 IEEE International Conference on Renewable Energy Research and Applications (ICRERA), 270�272.

 

Wulandari, C., Setyarso, A., Kartodihardjo, H., Djajono, A., Suwarno, E., Mustofa Sardjono, A., & Nugroho, B. (2014). Strategi Pengembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia. FORCLIME dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

Yuniati, D., Saputra, M. H., Januar, H. I., Kuswandi, R., Hadiyan, Y., Hadi, E. E. W., Hidayah, I., Humaida, N., & Sukmawati, J. G. (2023). Karbon Hijau Savana Nusa Tenggara Timur. Media Sains Indonesia.

Copyright holder:

Ibrahim Kristofol Kendi (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: