Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 05, Mei
2022
KAJIAN YURIDIS PENERAPAN TURUT TERGUGAT
DALAM GUGATAN WANPRESTASI DAN SITA JAMINAN
Victor Ary Subekti, Rocky Marbun
Fakultas Hukum, Universitas Pancasila
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Dalam hukum perdata, permasalahan dalam ranah hukum dapat terjadi karena adanya perbuatan seseorang yang merugikan orang lain, bersinggungan dengan ranah hukum dalam artian terjadinya ketidaksesuaian maksud dengan tujuan dalam suatu perjanjian atau perikatan. Perbuatan seseorang atau pihak tertentu dalam suatu perjanjian atau perikatan, yang merugikan pihak lain secara nyata diatur dalam undang-undang disebut juga perbuatan melawan hukum, sedangkan yang merugikan orang lain karena adanya kelalaian, kealpaan, atau ingkar janji dikenal dengan istilah wanprestasi atau cidera janji. Penelitian ini akan mengulas mengenai kedudukan Turut Tergugat dalam gugatan wanprestasi, yang bertujuan untuk memberikan penjelasan legal standing Turut Tergugat, selain Penggugat maupun Tergugat, dalam suatu perkara perdata. Meskipun eksistensi Turut Tergugat dalam peraturan perundang-undangan belum diatur, namun telah banyak pakar ahli hukum yang membahasnya dan banyak pula yurisprudensi Mahkamah Agung yang dapat jadikan landasan. Dalam menyusun jurnal ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengumpulkan data-data yang diambil dari sumber kepustakaan hukum perdata sehingga menghasilkan ringkasan penjelasan yang dapat dipergunakan sebagai rujukan dalam beracara di hukum perdata.
Kata Kunci: Turut Tergugat; Wanprestasi; Sita Jaminan.
Abstract
-In civil law, problems in the legal realm
can occur due to someone's actions that harm others, intersecting with the
legal realm in the sense of a non-conformity of intent with the purpose in an
agreement or agreement. The actions of a person or certain party in an
agreement or agreement, which harms other parties are actually regulated in law
are also called unlawful acts, while those that harm others due to negligence,
negligence, or broken promises are known as defaults or defaults. This study
will review the position of the Defendant in a tort lawsuit, which aims to
provide an explanation of the legal standing of the Defendant, other than the
Plaintiff or Defendant, in a civil case. Although the existence of Defendants
in laws and regulations has not been regulated, there have been many legal
experts who discuss it and there are also many Supreme Court jurisprudence that
can be used as a basis. In compiling this journal, the author uses qualitative
research methods by collecting data taken from civil law literature sources so
as to produce a summary of explanations that can be used as a reference in
proceedings in civil law.
Keywords: defendants;
Default; Confiscate Collateral
Pendahuluan
KUH Perdata mengatur perikatan yang lahir dari perjanjian, yakni yang memang dikehendaki oleh para pihak yang membuat suatu perjanjian, dan perikatan yang lahir dari undang-undang, yakni perikatan yang ditentukan undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan (Prayogo, 2016). Kedua hal ini diatur bersamaan dalam satu generik, yakni perikatan (Subekti et al., 1998). Hukum Acara Perdata ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang menentukan (Zia et al., 2020).
Menurut sistem HIR dan RBg beracara di muka persidangan Pengadilan Negeri dapat dilakukan secara langsung, dapat juga secara tidak langsung. Apabila beracara secara tidak langsung, maka pihak-pihak yang berperkara dapat mewakilkan perkaranya itu kepada pihak lain, yaitu penerima kuasa (Hipan, 2017). Perwakilan atau pemberian kuasa ini diatur dalam Pasal 123 HIR dan Pasal 147 RBg. Menurut ketentuan tersebut, pihak-pihak yang berperkara dapat memberi kuasa perkaranya kepada orang lain dengan surat kuasa khusus (special authorization), sedangkan bagi penggugat dapat juga dilakukan dengan mencantumkan pemberian kuasa itu dalam surat gugatannya (Widiyanto & Sudarmaji, 2022).
Prof. Sudikno Mertokusumo mempergunakan istilah gugatan, berupa tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain, begitu pula dengan Prof. R. Subekti yang mempergunakan sebutan gugatan yang dituangkan dalam surat gugatan (Harahap, 2017). Dengan demikian setiap perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan Negeri dituangkan dalam bentuk surat gugatan. Sebagai syarat sah formil dari surat gugatan tersebut, wajib disebutkan identitas para pihak sesuai dengan KUHAP Pasal 143 ayat (2) huruf a, meliputi nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir atau umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan.
Bilamana yang digugat atau penggugatnya perseroan, maka penyebutan jabatan yang mewakili perseroan, yaitu biasanya direktur, dapat juga disebutkan dan tercantum dalam surat gugatan (Pradana, 2021). Gugatan perdata yang berbentuk contentiosa, yaitu melibatkan dua pihak (Hipan, 2017). Pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat, dan pihak yang satu lagi ditarik dan berkedudukan sebagai tergugat. Pihak penggugat dan tergugat adalah orang dan/atau badan hukum yang benar-benar memiliki kedudukan dan kapasitas yang tepat menurut hukum (Sinaga & Syahputra, 2023). Keliru dan salah bertindak sebagai penggugat, atau menarik orang dan/atau badan hukum yang tidak memiliki kedudukan dan kapasitas yang tepat dapat menyebabkan gugatan mengandung cacat formil, istilah hukumnya adalah error in persona (Prasetyo et al., 2021).
Orang dan/atau badan hukum dapat didiskualifikasi dalam gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri, dari pihak penggugat dapat dicontohkan apabila orang yang tidak ikut dalam perjanjian atau mendapatkan kuasa khusus dari yang memiliki kedudukan dan kapasitas menuntut pembatalan perjanjian atau mengajukan gugatan wanprestasi/cidera janji. Orang yang berada di bawah umur atau perwalian, tidak cakap melakukan tindakan hukum juga dapat didiskualifikasi karena tidak memenuhi syarat, karena syarat untuk kategori orang ini adalah wajib diajukan dengan bantuan orang tuan atau wali untuk menghindari cacat formil.
Sedangkan dari pihak tergugat, error in persona mungkin terjadi sebagai akibat keliru menarik orang dan/atau badan hukum (gemis aanhoeda nigheid). Bentuk yang lainnya adalah gugatan kurang pihak (plurium litis consortium), seperti contoh adanya gugatan yang tidak lengkap yang mana masih ada orang dan/atau badan hukum yang mesti ditarik sebagai tergugat (Ariansyah & Rochmiatun, 2021). Dalam beracara di pengadilan, pihak advokat baik dia yang mewakili pihak penggugat atau tergugat akan mencantumkan para pihak yang memiliki hubungan secara langsung maupun tidak langsung, dari perkara wanprestasi yang timbul dengan dasar perjanjian atau perikatan yang telah disepakati para pihak.
Seperti dalam suatu contoh kasus wanprestasi yang terjadi antara 2 (dua) pihak, pihak Penggugat sebagai pihak yang memiliki piutang, mengajukan gugatan cidera janji kepada tergugat dari suatu perjanjian pembayaran ganti rugi untuk jasa pengiriman barang yang dilaksanakan Tergugat, yang mana penggugat menderita kerugian pada pengiriman barang tersebut, dan telah disepakati sebelumnya bahwa Tergugat telah berjanji untuk mengganti jumlah kerugian yang diderita Penggugat dalam suatu bentuk surat pernyataan namun dalam perkembangannya baik jumlah angsuran utang yang dibayarkan maupun waktu pembayaran angsuran tidak sesuai dengan apa yang pernah dijanjikan sebelumnya oleh pihak Tergugat.
Sehingga Penggugat melakukan gugatan cidera janji tersebut kepada perusahaan ekspedisi (badan hukum) sebagai Tergugat I, si direktur (orang atau perseorangan) sebagai satu-satunya direksi dalam perusahaan tersebut sebagai Tergugat II, dan orang tua Tergugat II sebagai Turut Tergugat. Upaya ini dilakukan oleh Penggugat dalam permohonan sita jaminan (conservatoir beslag) dengan dalih menghindari usaha Tergugat II untuk mengalihkan harta kekayaannya kepada pihak lain, berupa anah berikut bangunan rumah permanent yang berdiri di atasnya dengan sertifikat hak milik atas nama Turut Tergugat.
Dari contoh kasus di atas perlunya suatu pembahasan yuridis mengenai penerapan pihak lain dalam hal ini disebut sebagai Turut Tergugat, yang ditarik dan dihubungkan dengan kasus perkara tersebut sebagai upaya Penggugat untuk melengkapi gugatan yang diajukan, dalam hal ini menghindari gugatan kurang pihak dalam permohonan sita jaminan yang diajukan, meskipun dalam Pasal 1340 KUH Perdata dinyatakan persetujuan hanya mengikat atau berlaku antara pihak yang membuatnya, yang disebut juga sebagai prinsip contract party, dan semestinya persetujuan tidak dapat menimbulkan kepada pihak ketiga, yaitu pihak Turut Tergugat.
Selain itu perlunya pemahaman dari hukum acara dalam praktik di pengadilan mengenai penerapan dari Turut Tergugat dengan menyandingkan beberapa tinjauan teoritis dari ahli-ahli hukum dan keputusan lembaga hukum di Indonesia dapat menegakkan proses pengadilan yang berfalsafahkan Pancasila.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan
hasil penelitian yuridis normatif yang menggunakan data sekunder yang berupa bahan hukum
primer, dengan metode penelitian kualitatif menggunakan data sekunder atau daftar kepustakaan hukum dan dokumen-dokumen hukum.
Hasil dan Pembahasan
A. Para Pihak yang Timbul dari Perjanjian/Perikatan
Suatu tindakan hukum memerlukan suatu kehendak yang ditujukan untuk
menimbulkan akibat hukum dengan cara mengungkapkannya dengan suatu pernyataan
keluar. Suatu kehendak yang tidak atau dengan cara lain tidak diungkapkan
(diutarakan), tidak memiliki arti hukum. Hal utama yang relevan bagi hukum
adalah para pihak telah saling memberitahukan kehendaknya dengan cara apapun,
baik melalui bahasa atau tanda-tanda, lisan atau tertulis, langsung atau
melalui pihak ketiga, dengan sikap, gerak tubuh tindakan, atau perkataan, atau
pada keadaan tertentu hanya dengan berdiam diri.
Sesuai dengan gambaran contoh kasus pada bab pendahuluan, para pihak
(penggugat dan tergugat), telah menyatakan suatu kehendak bersama dalam output
Surat Pernyataan, yang mana dapat dikategorikan sebagai perjanjian obligatoir.
Kesesuaian kehendak para pihak dapat digambarkan sebangai pernyataan kehendak
yang bersesuaian yang saling diletakkan para pihak yang berkontrak sehingga
membentuk suatu perjanjian.
Kesesuaian kehendak yang dimaksud dalam perjanjian obligatoir memiliki
makna dengan perbuatan mengikatkan diri dari satu pihak ke pihak yang lain yang
menerima hak atas prestasi, dalam hal ini Tergugat I dan Tergugat II diminta
membayar seluruh ganti rugi atas cidera janji yang diperbuat kepada Penggugat,
dan dalam permohonan sita jaminan juga menarik pihak ketiga yaitu Orang Tua
Tergugat II sebagai Turut Tergugat sebagai pemilik obyek sita jaminan, dengan
alasan demi menghindari usaha TergugatT II untuk mengalihkan harta kekayaannya
kepada pihak lain, karena disinyalir turut ambil bagian dalam membayar angsuran
kredit kepemilikan rumah atas nama Turut Tergugat.
Dalam Gugatan Contentiosa atau yang lebih dikenal dengan Gugatan Perdata,
yang berarti gugatan yang mengandung sengketa di antara pihak-pihak yang
berperkara. Dikenal beberapa istilah para pihak yang terlibat dalam suatu
Gugatan Perdata yaitu Penggugat, Tergugat, dan Turut Tergugat. Dalam Hukum
Acara Perdata, orang yang merasa haknya dilanggar disebut sebagai Penggugat.
Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak Penggugat, maka disebut dalam
gugatannya dengan �Para Penggugat�.
Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka Pengadilan karena dirasa telah
melanggar hak Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak pihak yang
digugat, maka pihak-pihak tersebut disebut; Tergugat I, Tergugat II, Tergugat
III dan seterusnya. Pihak yang dinyatakan sebagai Turut Tergugat dipergunakan
bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu. Namun, demi lengkapnya suatu gugatan, maka mereka
harus disertakan. Dalam pelaksanaan hukuman putusan hakim, pihak Turut Tergugat
tidak ikut menjalankan hukuman yang diputus untuk Tergugat,
namun hanya patuh dan tunduk terhadap isi putusan
tersebut.
Selain pihak Penggugat, Tergugat dan Turut Tergugat dalam hal-hal tertentu secara kasuistis terdapat pihak ketiga yang berkepentingan yang turut campur atau mencampuri (intervensi) ke dalam sengketa yang sedang berlangsung antara Penggugat dan Tergugat, dalam bentuk voeging (menyertai), tussenkomst (menengahi atau intervensi) dan vrijwaring/garantie (penanggungan/pembebasan). Apabila ada pihak ketiga yang mengajukan gugatan intervensi, menurut Putussan Mahkamah Agung No. 3213 K/Pdt/1974: �Hakim berkewajiban memeriksa dan mengadili gugatan intervensi tersebut (Budiarto, 2005)�. Baik Penggugat, Tergugat, Turut Tergugat maupun Pihak Ketiga yang berkepentingan, kesemuanya merupakan subyek hukum yang terdiri dari orang perseorangan (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtspersoon).
B.
Kedudukan Turut Tergugat
Istilah Turut Tergugat tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan, namun muncul dalam praktik di pengadilan. Kebutuhan hukum meniscayakan subyek hukum Turut Tergugat karena tidak memenuhi kriteria legal standing sebagai Penggugat maupun Tergugat dalam suatu perkara perdata, namun kehadirannya dibutuhkan, bahkan tanpa dia terkadang perkara dinyatakan kurang pihak (plurium litis consortium) dan berakhir NO (niet ontvenkelijke verklaard) (Harjono & SH, 2008).
Meskipun eksistensi Turut Tergugat dalam peraturan perundang-undangan belum diatur, namun
telah banyak pakar dan ahli hukum yang membahasnya dan banyak pula yurisprudensi Mahkamah Agung yang dapat dijadikan pijakan, antara lain pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1642 K/Pdt/2005 yang menggariskan kaidah hukum, �Dimasukkan seseorang� sebagai pihak yang digugat atau minimal didudukkan sebagai Turut Tergugat dikarenakan adanya keharusan para pihak dalam gugatan harus
lengkap sehingga tanpa menggugat yang lain-lain itu maka subjek
gugatan menjadi tidak lengkap�.
Pendapat Pakar hukum yang mengupas perihal Turut Tergugat diantaranya adalah Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata menyatakan, �Dalam praktek perkataan Turut Tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, hanya demi lengkapnya suatu gugatan harus diikutsertakan. Mereka dalam petitum hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan Hakim (Retnowulan & Oeripkartawinata, 1997)�.
Dari rumusan tersebut di atas diperoleh tiga kriteria bahwa Turut Tergugat adalah orang/pihak yang tidak menguasai objek sengketa, tidak berkewajiban melakukan sesuatu, dan hanya diikutsertakan untuk melengkapi gugatan. Perlunya diikutsertakan Turut Tergugat dalam gugatan menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1642 K/Pdt/2005 adalah karena �dimasukkan sebagai pihak yang digugat atau minimal didudukkan sebagai Turut Tergugat. Hal ini terjadi dikarenakan adanya keharusan para pihak dalam gugatan harus lengkap sehingga tanpa menggugat yang lain-lain itu maka subjek gugatan menjadi tidak lengkap�.
Berdasarkan dari kedudukan Turut Tergugat yang tidak tersangkut dengan pokok perkara seperti halnya Tergugat dan sifat jawaban yang tidak wajib, pendapat penulis Turut Tergugat tidak perlu memberikan bantahan terhadap pokok perkara. Akan tetapi, Turut Tergugat bisa saja mengajukan jawaban selama dipandang perlu. Hal ini berkaitan dengan urgensi kepentingan hukum yang perlu dibela. Artinya, urgensi dibuatnya jawaban oleh Turut Tergugat disesuaikan dengan pembelaan kepentingan Turut Tergugat itu sendiri.
C. Sita Jaminan Milik Turut Tergugat
Hukum acara membolehkan
tindakan penyitaan terhadap harta kekayaan tergugat atau debitur sebagaimana
diatur dalam Pasal 227 jo. Pasal 197 HIR. Pasal 720 Rv juga mengatur kebolehan penyitaan. Dalam hukum materiil membenarkan penyitaan seperti dijelaskan dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menegaskan seluruh harta debitur
menjadi tanggungan pembayaran utangnya kepada kreditur.
Sesuai dengan contoh
kasus yang telah disebutkan sebelumnya, Penggugat melakukan permohonanan untuk melakukan sita jaminan (conservatoir beslag), yang diatur dalam Pasal 227 ayat (1) HIR, Pasal 261 ayat (1) RBG atau Pasal 720 Rv, yaitu
menyita barang debitur selama belum dijatuhkan putusan dalam perkara
tersebut; tujuannya agar barang itu tidak
digelapkan atau diasingkan Tergugat selama proses persidangan berlangsung, sehingga pada saat putudsan dilaksanakan,
pelunasan pembayaran utang
yang dituntut Penggugat dapat terpenuhi, dengan jalan menjual
barang sitaan itu.
Hal tersebut merupakan penyitaan milik Tergugat untuk menjamin pembayaran utang, dengan landasan di Pasal 227 ayat (1) HIR menjelaskan penerapan sita jaminan pada dasarnya hanya terbatas pada sengketa perkara utang-piutang yang ditimbulkan oleh cidera janji atau
wanprestasi. Apabila Tergugat tidak memenuhi pembayaran secara sukarela maka pelunasan hutang atau ganti
rugi dapat diambil secara paksa dari barang
sitaan melalui penjualan lelang (Harahap, 2017).
Terhadap objek sita dalam sengketa
utang atau ganti rugi dapat diterapkan
alternatif yaitu meliputi seluruh harta kekayaan Tergugat yang mana utang atau tuntutan ganti rugi tidak dijamin
dengan agunan tertentu, baik harta kebendaan yang bergerak atau yang tidak bergerak yang menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan, dan atas permintaan Penggugat (Syuhada, 2019). Penyitaan barang tergugat yang berada di tangan pihak ketiga (conservatoir
beslag onder derden/derden beslag/sita pihak ketiga)
dapat diajukan oleh Penggugat terhadap hak milik Tergugat
yang berada di tangan pihak ketiga, dengan
tujuan yang sama yaitu melindungi kepentingan Penggugat agar terjamin pemenuhan pembayaran yang dituntutnya (Harahap, 2017).
Dalam situasi Penggugat memohon conservatoir beslag milik Turut Tergugat
yang merupakan Orang Tua Tergugat II dengan dalih Tergugat II turut ambil bagian
dalam membayar angsuran kredit kepemilikan rumah atas nama Turut
Tergugat, dan demi menghindari
usaha Tergugat II untuk mengalihkan harta kekayaannya kepada pihak lain,
adalah tidak dibenarkan demi hukum. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kaidah hukum dari
seorang Turut Tergugat adalah, �Dimasukkan seseorang sebagai pihak yang digugat atau minimal didudukkan sebagai Turut Tergugat dikarenakan adanya keharusan para pihak dalam gugatan harus
lengkap sehingga tanpa menggugat yang lain-lain itu maka subjek
gugatan menjadi tidak lengkap�, sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1642 K/Pdt/2005. Turut Tergugat yang tidak tersangkut dengan pokok perkara seperti
halnya Tergugat dan sifat jawaban yang tidak wajib. Turut
Tergugat hanya tunduk pada isi putusan hakim di pengadilan karena Turut Tergugat
ini tidak melakukan sesuatu (perbuatan).
Dilihat dari sisi kepemilikan dari objek sita
jaminan yang menjadi Turut Tergugat merupakan deviasi dari pengertian sita jaminan yang diatur dalam Pasal
226 dan Pasal 227 HIR atau
720 RV, maupun berdasarkan
SEMA No.5 Tahun 1975, yaitu
sita jaminan tidak dapat ditetapkan
dan putuskan oleh hakim tanpa
adanya pengajuan dari penggugat untuk diletakkan sita atas harta/benda baik bergerak
mapun tidak bergerak milik tergugat, hal ini
merupakan penerapan salah satu asas dalam
hukum acara perdata, bahwa hakim bersifat pasif. Artinya, hakim tidak bisa memutus
atau menetapkan tentang sesuatu hal tanpa diminta
oleh Penggugat. Sedangkan permohonan sita jaminan yang dilakukan oleh Penggugat dalam contoh kasus adalah
sita jaminan milik Turut Tergugat,
bukan milik Tergugat II.
Dengan alasan adanya dugaan dari
Penggugat bahwa Tergugat II turut ambil bagian dalam
membayar angsuran kredit kepemilikan rumah atas nama
Turut Tergugat, dan demi menghindari usaha Tergugat II untuk mengalihkan harta kekayaannya kepada pihak lain, wajib
dibuktikan melalui proses pembuktian, apakah dugaan tersebut benar adanya bahwa
Tergugat II tidak dapat membayar ganti rugi kepada
Penggugat karena harta kekayaannya digunakan untuk membayar angsuran kredit kepemilikan rumah yang dijadikan objek sita jaminan
dan dimiliki oleh Turut Tergugat. Penggugat wajib membuktikan apa yang telah menjadi dalil atau
dugaannya, namun bilamana Tergugat II juga mengajukan dalil bantahan dalam rangka melumpuhkan hak yang didalilkan pihak lain (Penggugat), kepadanya juga diwajibkan untuk membuktikan dalil bantahan tersebut.
Lebih lanjut dalam beban pembuktian menurut teori hak, yang wajib dibuktikan oleh Penggugat hanya terbatas pada fakta khusus sedangkan fakta umum baru wajib dibuktikan apabila pihak lawan (Tergugat II) menyangkalnya. Fakta umum dalam suatu perkara adalah ketentuan hukum yang melekat pada diri personal para pihak yang menyangkut dengan kualitas para pihak untuk melakukan tindakan hukum (Moertiono, 2019). Atau bisa juga ketentuan umum yang berkenaan dengan perjanjian meliputi syarat-syarat yang digariskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata; tentang kehendak bebas, kesepaktan (objek atau harga), tidak mengandung kausa haram.
Sedangkan fakta khusus yang paling utama dapat diklasifikasi adalah yang menimbulkan hak, menghalangi hak, dan menghapuskan hak. Dugaan dalam gugatan sita jaminan milik Turut Tergugat merupakan dalil yang patut dibuktikan dan diklasifikasikan sebagai fakta khusus, yaitu menghalangi hak yang seharusnya diterima oleh Penggugat, yaitu pembayaran ganti rugi oleh Tergugat I dan Tergugat II.
Putusan MA No. 2152 K/Pdt/1983
menerapkan pedoman pembagian beban pembuktian sesuai Pasal 163 HIR, ditegaskan tindakan judex facti (pengadilan tingkat pertama) telah sesuai dengan prinsip
pembebanan wajib bukti dalam kasus
perkara dengan cara memberi kesempatan
kepada Penggugat membuktikan dalil gugatannya (yaitu sita jaminan milik
Turut Tergugat dengan alasan agar harta kekayaan Tergugat II tidak jatuh ke pihak
lain dalam bentuk pembayaran kredit kepemilikan rumah yang dijadikan objek sita jaminan). Berdasarkan pedoman yang digariskan Pasal 1865 KUH Perdata, Pasal 163 HIR adalah Putusan MA No. 1547 K/Pdt/1983, dijelaskan bilamana Penggugat tidak dapat membuktikan
dalil gugatan berdasar alat bukti
yang sah sedangkan Tergugat berhasil mempertahankan dalil bantahannya, dengan demikian gugatan ditolak (Harahap, 2017).
Dalam kaitan dengan status dari objek sita jaminan yang merupakan milik dari Turut Tergugat dalam bentuk Sertipikat Hak Milik (SHM) atas nama Turut Tergugat, maka secara hukum permohonan objek sita jaminan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena bukan milik dari Tergugat. Sertipikat Hak Milik atau hak milik adalah hak terkuat dan tertinggi atas tanah, bersifat turun-temurun, tetap, dan berlaku seumur hidup. SHM memiliki kekuatan legalitas yang paling tinggi karena tidak ada campur tangan pihak lain dalam kepemilikannya (Harsono, 2003).
Pembatalan Sertifikat dapat dilakukan di luar pengadilan dengan mengajukan surat kepada Menteri/Kepala BPN/ Kementrian Agraria dan Tata Ruang. Adapun alasan
yang mendasari yakni karena adanya cacat
hukum secara administratif. Sehingga bilamana dikaitkan dengan pokok perkara
untuk kasus perdata wanprestasi dengan sita jaminan
milik pihak yang tidak terikat secara
langsung dalam kesepakatan, yaitu Penggugat, Tergugat I, dan Tergugat II, sepatutnya tidak dimohonkan dan dibatalkan demi hukum.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, penulis dapat membuat kesimpulan Penerapan Turut Tergugat dalam gugatan wanprestasi merupakan suatu hal yang muncul di praktik pengadilan. Turut Tergugat, yang ditarik dan dihubungkan ke suatu kasus perkara perdatamerupakanupaya Penggugat untuk melengkapi gugatan yang diajukan, bahkan tanpa dia terkadang perkara dinyatakan kurang pihak dan berakhir NO (niet ontvenkelijke verklaard).
Turut Tergugat adalah orang/pihak yang tidak menguasai objek sengketa, tidak berkewajiban melakukan sesuatu, dan diikutsertakan untuk melengkapi gugatan. Dalam suatu kasus yang diajukan, apakah benar Turut Tergugat
tidak melakukan sesuatu (perbuatan), baik wanprestasi (ingkar janji) atau
perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat. Misalnya, dalam kasus perbuatan
melawan hukum (PMH), Tergugat melakukan suatu perbuatan sehingga digugat PMH, namun Turut Tergugat
ini hanyalah pihak terkait yang tidak melakukan suatu perbuatan. Tapi, pihak tersebut oleh Penggugat turut digugat sebagai Turut Tergugat sehingga pada akhirnya Turut Tergugat tunduk pada isi putusan pengadilan.
Dalam kasus wanprestasi yang mana Turut Tergugat ditarik ke dalam
perkara karena adanya permohonan sita jaminan yang merupakan milik dari Turut Tergugat
yang memiliki kekerabatan erat dengan Tergugat,
maka permohonan tersebut demi hukum wajib ditolak karena
tidak sesuai dengan KUH Perdata dan Hukum Agraria Indonesia, meskipun untuk menjamin objek sita jaminan
agar terpenuhinya pembayaran
ganti rugi yang digugat atau dituntut
oleh Penggugat. Karena objek
sita jaminan tersebut adalah milik Turut Tergugat
yang memiliki sertipikat hak milik dan memiliki
legalitas yang tinggi.
Dan
dalil yang diberikan oleh Penggugat dengan memberikan wacana bahwa harta kekayaan
Tergugat dialihkan ke pihak lain,
dalam hal ini Terguagat, untuk membayar angsuran kredit kepemilikan rumah Turut Tergugat, wajib dibuktikan dipengadilan dan Penggugat wajib membuktikan apa yang didalilkannya di hadapan Hakim.
Kendatipun demikian, dalam praktik pengadilan perdata modern yang kasusnya semakin kompleks memungkinkan munculnya Turut Tergugat di luar tiga kriteria
tersebut. Hal-hal yang belum diatur dalam
aturan formal bahkan belum terpikirkan saat ini tidak
mustahil akan muncul di kemudian hari, dan menjadi suatu keharusan utuk terus mengikuti
perkembangan hukum.
BIBLIOGRAFI
Ariansyah, J., & Rochmiatun, S. (2021). Analisis
Penerapan Asas Gugatan Kurang Pihak (Prulium Litis Consortium) Sebagai Alasan
Hakim Menolak Gugatan Waris (Studi Putusan Nomor 0735/Pdt. G/2015/PA. Bgr). Usroh:
Jurnal Hukum Keluarga Islam, 5(1), 31�54.
Budiarto,
A. (2005). Kompilasi Kaidah Hukum Putusan mahkamah Agung Hukum Acara perdata
Masa Setengan Abad. Swara Justitia. Jakarta.
Harahap,
M. Y. (2017). Hukum acara perdata: tentang gugatan, persidangan, penyitaan,
pembuktian, dan putusan pengadilan. Sinar Grafika.
Harjono,
D., & SH, M. C. L. (2008). Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa. Sekjen Dan
Kepanitraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat.
Harsono,
B. (2003). Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya. Djambatan, Jakarta.
Hipan,
N. (2017). Tinjauan Tentang Gugatan Tidak Dapat Diterima Pada Perkara Perdata
Di Pengadilan Negeri (Studi Terhadap Beberapa Putusan Pengadilan Negeri Luwuk).
Jurnal Yustisiabel, 1(1), 44�55.
Moertiono,
R. J. (2019). Ketentuan Hukum Terhadap Pelaksanaan Iktikad Baik Dalam Kerja
Sama. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian, 2(2),
1425�1451.
Pradana,
F. (2021). Tanggung Jawab Notaris Sebagai Akibat Tidak Dapat Diberitahukannya
Hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa Tentang Perubahan Data Perseroan
Kepada Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Berdasarkan
Putusan Pengadilan Tinggi Palangka Raya Nomor 47/PDT/2017/PT PL. Indonesian
Notary, 3(4), 40.
Prasetyo,
D. J., Rusli, T., & Anggalana, A. (2021). Tinjauan Yuridis Error in Persona
dalam Penggadaian Sertifikat Hak Milik Yang Dijaminkan Kepada Koperasi Simpan
Pinjam Bina Bersama (Studi Putusan Nomor 8/Pdt. G/2019/PN. Kbu). Wajah Hukum,
5(1), 202�211.
Prayogo,
S. (2016). Penerapan batas-batas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dalam
perjanjian. Jurnal Pembaharuan Hukum, 3(2), 280�287.
Retnowulan,
S., & Oeripkartawinata, I. (1997). Hukum Acara Dalam Teori Dan Praktek. Bandung:
CV. Mandar Maju.
Sinaga,
D. S., & Syahputra, A. (2023). Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Niet
Ontvankelijke Verklaard dalam Perkara Gugatan Kurang Pihak. Jurnal Hukum,
39(1), 40�54.
Subekti,
R., Perjanjian, H., & Intermasa, P. T. (1998). The Law of Contracts in
Indonesia. Remedies of Breach (Jakarta: CV Haji Masagung, 1998).
Syuhada,
T. (2019). Pelaksanaan Sita Jaminan Terhadap Objek Sengketa Yang Berada Di
Tangan Pihak Ketiga Dalam Penanganan Perkara Perdata. De Lega Lata: Jurnal
Ilmu Hukum, 4(1), 42�53.
Widiyanto, H., & Sudarmaji, W. (2022).
Buku Ajar Hukum Acara Perdata.
Zia,
H., Agusta, M., & Afriyanti, D. (2020). Pengetahuan Hukum Tent Ang Hukum
Acara Perdata. Rio Law Jurnal, 1(2).
Copyright holder: Victor Ary
Subekti, Rocky Marbun (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |