Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, October 2022

 

ETIKA PROFESI GURU TEKNOLOGI INFORMASI, DAN KOMUNIKASI DALAM MEMINIMALISASI PELANGGARAN KODE ETIK

 

R. Suyato Kusumaryono

Magister Teknologi Pendidikan, Institut Pendidikan Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Kemajuan teknologi dan informasi yang berjalan begitu cepat, telah membawa dampak perubahan khususnya pada dunia pendidikan, seperti berbagai informasi yang dibutuhkan dengan cepat dan mudah dapat di akses. Munculnya inovasi pembelajaran yang berbasis komputer atau sistem elektronik, telah banyak membantu guru pada peningkatan kualitas proses pendidikan. Namun dampak dari pemanfaatan kemajuan teknologi informasi tersebut, secara langsung ataupun tidak langsung bisa beresiko yang mengarah kepada perbuatan tidak terpuji, atau bahkan perbuatan melawan hukum, seperti plagiasi, menggunakan dan mengakses komputer atau sistem elektronik dengan cara apapun tanpa hak untuk memperoleh, mengubah, merusak, dan menghilangkan, atau dengan kata lain pelanggaran HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Keadaan demikian tersebut pastinya sangat membuat tidak nyaman bagi para guru yang seringkali memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam proses pembelajaran, tidak terkecuali pada guru TIK. Apalagi kedudukan guru TIK dalam mengemban tugas dan tanggungjawabnya dapat dikatakan memiliki peran ganda, disatu sisi melekat profesi guru seperti pada umumnya yang harus mampu menjaga harmonisasi hubungan baik dengan peserta didik, rekan guru sejawat, tenaga kependidikan, orang tua/wali siswa, serta masyarakat. Namun diisisi lain juga melekat profesi yang terkait langsung dengan penggunaan akses komputer atau sistem elektronik. Maka untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya pelanggaran etika profesi tersebut, diperlukan sebuah pedoman dan landasan moral bagi guru untuk bagaimana bersikap serta berprilaku baik dalam melaksanakan tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari.

 

Kata Kunci :Etika Profesi, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Kode Etik Guru.

 

Abstract

Advances in technology and information that run so fast, have brought an impact on changes, especially in the world of education, such as various information needed quickly and easily accessible. The emergence of computer-based learning innovations or electronic systems, has helped teachers a lot in improving the quality of the educational process. However, the impact of the use of advances in information technology, directly or indirectly can be at risk that leads to dishonorable acts, or even unlawful acts, such as plagiarism, using and accessing computers or electronic systems in any way without the right to obtain, change, damage, and eliminate, or in other words violations of IPR (Intellectual Property Rights). Such a situation is certainly very uncomfortable for teachers who often use Information and Communication Technology (ICT) in the learning process, including ICT teachers. Moreover, the position of ICT teachers in carrying out their duties and responsibilities can be said to have a dual role, on the one hand attached to the teaching profession as in general which must be able to maintain harmonization of good relations with students, fellow teachers, education staff, parents / guardians of students, and the community. But on the other hand, it is also attached to professions that are directly related to the use of computer access or electronic systems. So to minimize the possibility of violations of professional ethics, a guideline and moral foundation are needed for teachers to behave and behave both in carrying out duties and in daily life.

 

Keywords: Professional Ethics, Information and Communication Technology (ICT), Teacher Code of Ethics.

 

Pendahuluan

Tantangan Pendidikan pada saat sekarang ini sedang dihadapkan pada kondisi berat dalam pusaran arus globalisasi, yang ditandai dengan keterbukaan, padatnya arus informasi, tuntutan layanan prima secara profesional, dan utamanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi dan komunikasi. Berdasarkan hasil survei ECAR Student Study� Mobil TIK di tahun 2010, pencarian informasi dalam penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang dilakukan oleh peserta didik menempati posisi teratas. Posisi kedua ditempati pada penggunaan TIK untuk mengakses jejaring sosial, disusul mengakses E-Mail, Maps, akses musik, dan lainnya. Dengan akses terhadap informasi yang dilakukan peserta didik, tentu saja proses pembelajaran TIK di abad 21 ini merupakan suatu keharusan, terlebih melaluipembelajaran yang mendayagunakan kemajuan teknologi pendidikan kiranya akan lebih memotivasi peserta didik dalam belajar. Begitu cepatnya dinamika kemajuan teknologi informasi atau disebut dengan revolusi teknologi informasi, telah mengubah cara kerja manusia mulai dari cara berkomunikasi, cara memproduksi, cara mengkoordinasi, cara berpikir, hingga cara belajar mengajar. Terkait dengan cara belajar mengajar ternyata telah disadari penerimaan dan pengakuannya dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, bahwa sudah bukan masanya mengandalkan pendekatan konvensional saja dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Bukan hanya di ruang tertutup dengan buku dan guru yang setiap saat ditemui, diminta tolong, namun dengan sumber yang dapat diperoleh melalui kemajuan teknologi informasi oleh peserta didik setidaknya dapat memenuhi hasratnya untuk menjadi pintar, lebih cerdas, lebih baik dan lebih sejahtera dalam hidupnya (Darmawan, 2012).

Dalam menyikapi tantangan era globalisasi tersebut tentunya harus diimbangi dengan pendidikan berkualitas, yang ditangani secara professional oleh guru-guru professional. Payung hukumnya sudah jelas, bahwa guru merupakan pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, serta menengah (Pasal 1, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Melalui pendidikan berkualitas pastinya akan menghasilkan peserta didik yang memiliki kadar kompetensi tinggi baik secara personal, sosial, akademik, dan vokasional, sebagai SDM Indonesia unggul serta berdaya saing bagi kemajuan bangsa. Karena pada hakekat pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003).

Didalam mewujudkan pendidikan berkualitas diera globalisasi yang sarat dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasinya, pastinya memiliki konsekwensi besar yang harus disikapi oleh para guru tidak tekecuali Guru TIK, dimana Guru TIK memiliki peran tugas dan tanggung jawabnya dapat mewujudkan situasi pembelajaran yang mendukung potensi peserta didik melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengeksplorasi sumber belajar secara efektif dan efisien. Melalui pelaksanaan pembimbingan dan pelayanan TIK terhadap peserta didik, guru, dan tenaga kependidikan, serta berkewajiban dalam: a) membimbing peserta didik SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau yang sederajat untuk mencari, mengolah, menyimpan, menyajikan, serta menyebarkan data dan informasi dalam berbagai cara untuk mendukung kelancaran proses pembelajaran; b) memfasilitasi sesama guru SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau yang sederajat untuk mencari, mengolah, menyimpan, menyajikan, serta menyebarkan data dan informasi dalam berbagai cara untuk persiapan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran; dan c) memfasilitasi tenaga kependidikan SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau yang sederajat untuk mengembangkan sistem manajemen sekolah berbasis TIK (Permendikbud No. 45 Tahun 2015).

Dengan demikian pada implementasinya tugas dan tanggung Guru TIK tidaklah sederhana, melainkan dihadapkan tantangan yang begitu berat bahkan dapat dikatakan memiliki peran ganda, disatu sisi melekat profesi guru seperti pada umumnya yang berhadapan langsung dengan peserta didik dengan segala problematikanya, serta harus bisa pula menjaga harmoni hubungan baik dengan rekan guru sejawat, tenaga kependidikan, orang tua/wali siswa, dan masyarakat yang tidaklah mudah, terlebih banyaknya kejadian kasus guru yang melakukan praktik-praktik tidak terpuji, contohnya sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris PGRI Jawa Tengah Muhdi, SH, M.H., pada Konferensi Kerja PGRI Kota Semarang, �Saat ini saja PGRI mencatat setiap minggu selalu ada tiga hingga empat kasus pelanggaran yang dilakukan guru, baik saat menunaikan tugas di dalam kelas dan sekolah maupun sehari-hari mereka dimasyarakat,� (https://pendis.kemenag.go.id/read/mendesak-ketegasan-kode-etik-guru). Bahkan sampai pada tindakan kekerasan pada anak yang terjadi di lingkungan sekolah. Terbukti dari 1.000 siswa mulai dari jenjang SD sederajat hingga SMA sederajat di Sembilan propinsi Indonesia yang disurvei oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 87,6% mengaku pernah mengalaminya. Dari jumlah itu, 29,9% siswa mengaku bahwa pelakunya adalah gurunya sendiri (Kompas, 30 Juli 2012).

Disisi lain pada Guru TIK sekaligus melekat pula profesi terkait dengan substansi pada penggunaan sistem teknologi informasi dan komunikasi, berupa akses pada komputer atau sistem elektronik itu sendiri. Mulai dari mencari, mengolah, menyimpan, menyajikan, serta menyebarkan data dan informasi, yang resikonya bisa pada pelanggaran etika yang bisa berujung pada pelanggaran hukum. Contoh kecil pelanggaran etika profesi seperti yang disampaikan oleh Najelaa Shihab, sebagai penggerak edukasi sekaligus Founder Sekolah Murid Merdeka, menyatakan bahwa para pengajar perlu lebih sering menggunakan dan membagikan konten pembelajaran dari sumber digital yang terpercaya. Karena kadang-kadang masih banyak sumber-sumber digital yang sebetulnya dibagi frekuensinya lebih sering, tetapi seringkali dengan metode-metode yang tidak tepat (https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/pentingnya-etika-dalam-mengajar-online-di-masa-pandemi-covid-19). Lebih lanjut ketika berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, hal yang akan dihadapi dan beresiko terhadap kemungkinan pelanggaran etika, diantaranya sebagai berikut: (1) Menggunakan sumber daya teknologi informasi tanpa izin; (2) Memberitahu seseorang tentang password pribadi yang merupakan akun yang tidak dapat dipindahkan-tangankan; (3) Melakukan akses dan/atau upaya mengakses berkas elektronik, disk, atau perangkat jaringan selain milik sendiri tanpa izin yang sah; (4) Melakukan interferensi terhadap sistem teknologi informasi atau kegunaan lainnya dan sistem tersebut, termasuk mengkonsumsi sumber daya dalam jumlah yang sangat besar termasuk ruang penyimpanan data (disk storage), waktu pemrosesan, kapasitas jaringan, dan lain-lain, atau secara sengaja menyebabkan terjadinya crash pada sistem komputer melalui bomb mail, spam, merusak disk drive pada sebuah komputer PC milik Universitas, dan lain-lain); (5) Menggunakan sumber daya lembaga sebagai sarana (lahan) untuk melakukan crack (hack, break into ke sistem lain secara tidak sah; (6) Mengirim pesan (message) yang mengandung ancaman atau bahan lainnya yang termasuk kategori penghinaan; (7) Pencurian, termasuk melakukan duplikasi yang tidak sah (illegal) terhadap bahan-bahan yang memiliki hak-cipta, atau penggandaan, penggunaan, atau pemilikan salinan (copy) perangkat lunak atau data secara tidak sah; (8) Merusak berkas, jaringan, perangkat lunak atau peralatan; (9) Mengelabui identitas seseorang (forgery), plagiarisme, dan pelanggaran terhadap hak cipta, paten, atau peraturan peraturan perundang-undangan tentang rahasia perusahaan; (10) Membuat dengan sengaja, mendistribusikan, atau menggunakan perangkat lunak yang dirancang untuk maksud kejahatan untuk merusak atau menghancurkan data dan/atau pelayanan komputer (virus, worms, mail bombs, dan lain-lain) (http://fatmawati-fatmawatializaid.blogspot.com/2015/03/masalah-etika-dalam-teknologi-informasi.html). Maka untuk meminimalisasi terhadap berbagai pelanggaran etika profesi tersebut, perlu adanya norma dan etika yang diwujudkan dalam rupa Kode Etik Guru sebagai pedoman sekaligus landasan moral yang mengikat prilaku guru termasuk Guru TIK dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Dengan demikian guru-guru akan memahami sesuatu hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, sehingga kualitas serta martabat profesi guru senantiasa dapat dijunjung tinggi dan dapat terjaga marwahnya.

 

Metode Penelitian

Pendekatan penelitian dalam karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu metode yang membahas dan menerangkan hasil penelitian tentang kasus yang dapat diuraikan dengan kalimat. Jenis penelitian atau metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yang merupakan penelitian untuk menggambarkan alur komunikasi ilmiah dan menganalisa masalah yang ada, disajikan secara deskriptif melalui pendekatan library research atau dilakukan melalui studi pustaka. Studi pustaka merupakan penelaahan terhadap bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dengan cara mengakomodasi, membaca, mencatat serta mengolah berbagai bahan bacaan yang bersumber dari data primer berupa jurnal, buku referensi, laporan penelitian, dan sumber data sekunder berupa referensi, konsep dan teori diperoleh dari literatur. Teknik Analisa data dilakukan dengan cara triangulasi, dengan menganalisis secara normatif kualitatif yang dikaji secara mendalam. Diawali dengan mencatatat poin-poin penting data penelitian, kemudian membandingkan hasil kajian dari referensi primer dan referensi sekunder lainnya, selanjutnya menginterpretasikan data kedalam bangunan karya ilmiah ini.

 

 


 

Hasil dan Pembahasan

1. Etika Profesi

Konsep �Etika Profesi� sebagaimana dinarasikan di atas sepertinya menjadi kata kunci dalam menjaga marwah guru. Etika merupakan suatu konsep mengenai penilaian baik buruk manusia sesuai dengan norma-norma yang berlaku sebagai pedoman. Tolok ukurnya tidak terlepas dari hakikat dari keberadaan norma-norma itu sendiri, tujuannya yakni untuk menciptakan suatu ketertiban dan keteraturan dalam bertingkah laku. Bicara etika tentunya bicara tentang moral, mengingat Etika merupakan bagian penting dari ilmu filsafat yaitu filsafat moral, sementara filsafat moral merupakan cabang dari filsafat tentang tindakan manusia. Pada akhirnya melalui etika, membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan atau perbuatan apa yang perlu kita lakukan dan yang tidak perlu dilakukan (Serlika, 2019).

Secara etimologis kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos dan ethikos, ethos yang berarti sifat, watak, adat, kebiasaan, tempat yang baik. Ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), etika adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral; Kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak; Nilai mengenai yang benar dan salah yang dianut masyarakat. Beberapa pengertian etika lainya berdasarkan pandangan para ahli (dalam Firmansyah), diantaranya menurut O. P. Simorangkir, Etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. Disisi lain menurut Sidi Gajalba, etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal; dan selanjutnya menurut Burhanudin Salam, etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya. Pendapat lainnya menurut Sagala (2007), Etika artinya tata susila (etika) atau hal-hal yang berhubungan dengan kesusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaan.

Selanjutnya Profesi adalah suatu bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan) tertentu. Adapun yang menjadi ciri dan syarat profesi menurut Robert W. Richey (dalam Saud, 2009), meliputi sebagai berikut: (1) Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi; (2) Seorang pekerja profesional, secara aktif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya; (3) Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan; (4) Memiliki Kode Etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap dan cara kerja; (5) Membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi; (6) Adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi, serta kesejahteraan anggotanya; (7) Memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi, dan kemandirian; dan (8) Memandang profesi suatu karier hidup (a live career) dan menjadi seorang anggota yang permanen.

Seringkali kita mempertanyakan apa hubungan antara �profesi� dengan konsep �professional� mengingat konsep professional sering kali dihubungkan dengan profesi guru, yang dibunyikan dalam UU Sisdiknas guru sebagai pendidik professional. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005), Profesional dimaksudkan: (1) bersangkutan dengan profesi, (2) memerlukan keahlian khusus untuk menjalankannya dan (3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya. Professional bisa juga menunjuk pada dua hal. Pertama, orang yang menyandang suatu profesi, misalnya, �dia seorang professional�. Kedua, penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya (Satori, 2012).

Dengan mencermati ketentuan syarat profesi tersebut, maka jabatan guru dipastikan merupakan pendidik profesional, alasannya: (1) Membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi, memiliki kemampuan, keterampilandan keahlian yangditempuh dalam kurun waktu yang panjang melalui LPTKdalam proses menjadi guru; (2) Memberikan layanan pendidikan yang prima kepada masyarakat dalam rangka mencerdaskah anak bangsa, diatas kepentingan pribadi; (3) Menjanjikan karir hidup secara permanen, terlebih ditunjang dengan sistem kenaikan pangkat berdasarkan angka kredit; (4) memiliki organisasai profesi; (5) memiliki kode etik guru sebagai standar baku dalam berprilaku para anggotanya, disertai dengan sanksi tertentu; (6) Berhak untuk memperoleh imbalan finansial dan materi (sertifikasi).

Bagaimana hubungan antara etika dan profesi, seperti dijelaskan oleh Chung (1981), Nilai profesional dapat disebut juga dengan istilah etis. Dalam etis sedikitnya ada empat asas etis, yaitu: menghargai harkat dan martabat; peduli dan bertanggung jawab; integritas dalam hubungan; dan tanggung jawab terhadap masysrakat. Maka etika dan profesi keguruan memiliki hubungan erat satu sama lain, bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup dengan landasan moral dan berprilaku menurut ukurandan nilai yang baik sehingga tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang menyebabkan ketidaksesuaian dalam layanan professional terhadap peserta didik dalam proses Pendidikan.

2. Kode Etik Profesi

Keberadaan etika profesi guru yang dirupakan dalam ketentuan Kode Etik Guru. Secara harfiah kode etik diambil dari dua kata dasar �kode� dan �etik�, Kode yang dimaksud yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita, keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Sedangkan etik atau Etika sebagaimana telah disinggung di atas, diartikan sebagai susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Guru dan Dosen No.14 Tahun 2005 Pasal 43 Ayat 2, bahwa kode etik adalah norma dan etika yang mengikat prilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalannya. Sementera itu dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI Nomor 48 Tahun 2020 Tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai, disebutkan bahwa kode etik adalah norma dan asas yang harus dipatuhi oleh pegawai dalam melaksanakan tugas dan fungsi organisasi. Selanjutnya pada UU. No. 8 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Kode etik yang merupakan salah satu ciri dari syarat profesi, dimaksudkan untuk tujuan kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri, karena hakekatnya Kode Etik Profesi lahir dari dalam lembaga atau organisasi profesi itu sendiri.

Menurut Soetjipto (2007) pada dasarnya tujuan merumuskan kode etik dalam suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Secara umum tujuan mengadakan kode etik adalah sebagai beerikut: (a) Untuk menjunjung tinggi martabat profesi. Dalam hal ini kode etik dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka tidak sampai memandang rendah atau remeh terhadap profesi yang bersangkutan. Oleh karenanya, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak-tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi terhadap dunia luar. Dari segi itu, kode etik juga sering disebut dengan kode kehormatan; (b) Untuk menjaga dan memilihara kesejahteraan para anggotanya. Kesejahteraan disini meliputi baik kesejahteraan lahir (material) maupun kesejahteraan batin (spritual atau mental). Dari hal kesejahteraan lahir para anggota profesi, kode etik umumnya memuat larangan-larangan kepada para anggotanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kesejahteraan para anggotanya; (c) Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi. Tujuan lain kode etik dapat juga berkaitan dengan peningkata kegiatan pengabdian profesi, sehingga bagi para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya; (d) Untuk meningkatkan mutu profesi, kode etik juga membuat norma-norma dan anjuran agar para anggota profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para anggotanya; dan (e) Untuk meningkatkan organisai profesi, maka kewajiban kepada setiap anggota untuk secara aktif berpatisipas dalam membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi. Dari tujuan kode etik di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan suatu profesi menyusun kode etik adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memilihara kesejahteraan para anggota, meningkatkan pengabdian anggota profesi, dan meningkatkan mutu profesi dan mutu organisasi profesi.

Secara umum kode etik ini diperlukan dengan beberapa alasan; (1) Untuk melindungi pekerjaan sesuai dengan ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan berdasarkan perundangan yang berlaku; (2) Untuk mengontrol terjadinya ketidakpuasan dan persengketaan dari para pelaksana, sehingga dapat menjaga dan meningkatkan stabilitas internal dan eksternal pekerjaan; (3) Melindungi para praktisi di masyarakat, terutama dalam hal adanyakasus-kasus penyimpangan tindakan; dan (4) Melindungi anggota masyarakat dari praktek-praktek yang menyimpangdari ketentuan yang berlaku (Surya, 2010).

 

3. Etika Profesi dalam Bidang Teknologi Informasi

Meskipun antara profesi Guru TIK dengan profesi teknologi informasi berbeda, disatu sisi bidang pendidikan dan disis lain non kependidikan. Namun menurut hemat penulis terdapat banyak irisan yang saling terkait terutama pada substansinya ke-TIK-annya, maka ketika berbicara etika profesi yang menyangkut teknologi informasi, oleh kedua profesi tersebut sama-sama bisa menjadi bahan rujukan untuk dipedomani seperti pada Undang-Undang tentang Teknologi Informasi  di Indonesia, antara lain; 1) UU HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektua), meliputi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam; dan 2)   Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang di dalamnya mengatur tentang: a) Pornografi di Internet; b) Transaksi di Internet; dan 3) Etika pengguna Internet.

Lebih jauh mengutif apa yang disampaikan Richard Masson (http://fatmawati-fatmawatializaid.blogspot.com/2015/03/masalah-etika-dalam-teknologi-informasi.html), masalah etika Teknologi Informasi dapat diklasifikasi menjadi empat hal, meliputi sebagai berikut berikut : 1) Privasi, yaitu hak individu untuk mempertahankan informasi pribadi dari pengaksesan orang lain yang memang tidak berhak untuk melakukannya; 2) Akurasi, layanan informasi harus diberikan secara tepat dan akurat sehingga tidak merugikan pengguna informasi. 3) Property, perlindungan kekayaan intelektual yang saat ini digalakkan oleh HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) mencakup tiga hal : a) Hak cipta (copy right), hak yang dijamin kekuatan hukum yang melarang menduplikasi kekayaan intelektual tanpa seizin pemegangnya. Diberikan selama 50 tahun; b)  Paten, bentuk perlindungan yang sulit diberikan karena hanya diberikan bagi penemuan inovatif dan sangat berguna. Berlaku selama 20 tahun; dan 4) Akses, Semua orang berhak untuk mendapatkan informasi. Perlu layanan yang baik dan optimal bagi semua orang dalam mendapatkan informasi yang diinginkan. Dengan demikian adanya etika tersebut dipandang perlu sebagai perilaku yang mengikat oleh siapapun pengguna teknologi informasi.

4. Kode Etik Guru Indonesia

Memaknai manfaat dan tujuan dari keberadaan kode etik dalam suatu profesi khususnya profesi guru termasuk guru TIK di dalamnya, akan menyadari sepenuhnya dalam melaksanakan tugas profesinya. Menurut Basyuni dalam pidato kongres PGRI XIII (dalam Herawati, 2009), Kode Etik Guru adalah landasan moral dan pedoman tingkah laku guru. Lebih lanjut Barnawi (2012), menyatakan bahwa kode etik guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia sebagai pedoman sikap dan prilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara.

Lahirnya Kode Etik Guru Indonesia (KEGI), tidak lepas dari serangkaian sejarah yang Panjang, dimulai dari seminar tentang Etika Jabatan Guru tahun 1971 yang diikuti oleh kepala Perwakilan Departemen P & K Provinsi Jawa Timur. Disusul dengan Kode Etik Guru Indonesia oleh PGRI melalui Kongres PGRI ke XIII tahun 1973 di Jakarta yang menetapkan Kode Etik Guru Indonesia sebagai tonggak kekuatan yuridis, artinya bahwa apabila para guru melakukan pelanggaran atas kode etik maka akan dikenakan sanksi. Dilanjutkan dengan Konferensi Pusat PGRI Nomor V/Konpus II/XIX/2006 tanggal 25 Maret 2006 di Jakarta yang disahkan pada Kongres XX PGRI No. 07/Kongres/XX/PGRI/2008 tanggal 3 Juli 2008 di Palembang, yang menetapkan tentang Kode Etik Guru Indonesia (KEGI) menjadi Kode Etik tunggal bagi setiap orang yang menyandang profesi guru di Indonesia, atau menjadi referensi bagi organisasi asosiasi profesi guru selain PGRI untuk merumuskan Kode Etik bagi anggotanya. Terakhir Keputusan Konres XXI Persatuan Guru Republik Indonesia tahun 2013 tentang Kode Etik Guru Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta, sebagai penyempurnaan hasil Kongres PGRI sebelumnya di Palembang tahun 2008, terungkap bahwa KEGI merupakan pedoman perilaku guru Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas keprofesiannya.

Berikut petikan hasil Keputusan Kongres XXI Persatuan Guru Republik Indonesia No. VI/Kongres/XXI/PGRI/2013 tentang Kode Etik Guru Indonesia, yang diselenggarakan di Jakarta dari tanggal 1 sampai dengan 5 Juli 2013. Hasil keputusannya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: Mukadimah, bagian kesatu, dan bagian kedua. Mukadimah/Pembukan, meliputi 5 alinea yang berisi; Guru sebagai pendidik adalah jabatan profesi yang mulia. Oleh sebab itu, moralitas guru harus senantiasa terjaga karena martabat dan kemuliaan sebagai unsur dasar moralitas guru itu terletak pada keunggulan perilaku, akal budi, dan pengabdiannya. Guru merupakan pengemban tugas kemanusiaan dengan mengutamakan kebajikandan mencegah manusia dari kehinaan serta kemungkaran dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun watak serta budaya, yang mengantarkan bangsa Indonesia pada kehidupan masyarakat yang maju, adil dan makmur, serta beradab berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Guru dituntut untuk menjalankan profesinya dengan ketulusan hati dan menggunakan keandalan kompetensi sebagai sumber daya dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik menjadi manusia utuh yang beriman dan bertakwa serta menjadi warga negara yang baik, demokratis, dan bertanggung jawab. Pelaksanaan tugas guru Indonesia terwujud dan menyatu dalam prinsip �ing ngarsasung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani�.

Untuk itu, sebagai pedoman perilaku guru Indonesia dalam melaksanakan tugas keprofesionalan perlu ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia. Bagian kesatu berkaitan dengan kewajiban guru secara umum yang dituangkan dalam Pasal 1, berisi: (1) menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah atau janji guru; (2) menyatakan; melaksanakan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pada bagian keduameliputi pasal 2 sampai dengan pasal 8, berisi kewajiban guru dengan stakeholder-nya, antara lain sebagai berikut: Pasal 2, Kewajiban Guru terhadap peserta didik, meliputi: (1) bertindak professional dalam melaksanakan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi proses hasil belajar peserta didik; (2) memberikan layanan pembelajaran berdasarkan karakteristik individual serta tahapan tumbuh-kembang jiwa peserta didik; (3) mengembangkan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan; (4) menghormati martabat dan hak-hak serta memperlakukan peserta didik secara adil dan objektif; (5) melindungi peserta didik dari segala tindakan yang dapat mengganggu perkembangan, proses belajar, kesehatan, dan keamanan bagi peserta didik; (6) menjaga kerahasiaan pribadi peserta didik, kecuali dengan alasan yang dibenarkan berdasarkan hukum, kepentingan pendidikan, kesehatan, dan kemanusiaan; dan (7). menjaga hubungan profesional dengan peserta didik dan tidak memanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok dan tidak melanggar norma yang berlaku.

Pasal 3, Kewajiban guru terhadap orang tua atau wali peserta didik, yaitu: (1) menghormati hak orang tua atau wali peserta didik untuk berkonsultasi dan memberikan informasi secara jujur serta objektif mengenai kondisi dan perkembangan belajar peserta didik; (2) membina hubungan kerjasama dengan orang tua atau wali peserta didik dalam melaksanakan proses pendidikan untuk kepentingan mutu pendidikan; dan (3) menjaga hubungan profesional dengan orang tua atau wali peserta didik serta tidak memanfaatkan untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Pasal 4, Kewajiban guru terhadap masyarakat, antara lain: (1) menjalin komunikasi yang efektif dan bekerjasama secara harmonis dengan masyarakat untuk mamajukan dan mengembangkan pendidikan; (2) mengakomodasi aspirasi dan keinginan masyarakat dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan; (3) bersikap responsif terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat dengan mengindahkan norma dan sistem nilai yang berlaku; (4) bersama-sama dengan masyarakat berperan aktif untuk menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif; dan (5) menjunjung tinggi kehormatan dan martabat serta menjadi panutan bagi masyarakat.

Pasal 5, Kewajiban guru terhadap teman sejawat, meliputi: (1) membangun suasana kekeluargaan, solidaritas, dan saling menghormati antar teman sejawat baik di dalam maupun di luar sekolah; (2) saling berbagi ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan, seni dan pengalaman serta saling memotivasi untuk meningkatkan profesionalitas dan martabat guru; (3) menjaga kehormatan  dan rahasia pribadi teman sejawat; dan (4) menghindari tindakan yang berpotensi menciptakan konflik antar teman sejawat.

Pasal 6,  Kewajiban guru terhadap profesi, antara lain: (1) menjunjung tinggi jabatan guru sebagai profesi; (2) mengembangkan profesionalisme secara berkelanjutan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan mutu pendidikan; (3) melakukan tindakan dan/atau mengeluarkan pendapat yang tidak merendahkan martabat profesi; (4) dalam melaksanakan tugas, tidak menerima janji dan pemberian yang dapat mempengaruhi keputusan dan tugas keprofesionalannya; dan (5) melaksanakan tugas secara bertanggung jawab terhadap kebijkan pendidikan.

Pasal 7, Kewaiiban guru terhadap organisasi profesi, antara lain: (1) mentaati peraturan dan berperan aktif dalam melaksanakan program organisasi profesi; (2) mengembangkan dan memajukan organisasi profesi; (3) mengembangkan organisasi profesi untuk menjadi pusat peningkatan profesionalitas guru dan pusat informasi tentang pengembangan pendidikan; (4) menjunjung tinggi kehormatan dan martabat organisasi profesi; dan (5) melakukan tindakan dan/atau mengeluarkan pendapat yang tidak merendahkan organisasi profesi.

Pasal 8, Kewajiban guru terhadap pemerintah, sebagai berikut: (1) berperan serta menjaga persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; (2) berperan serta dalam melaksanakan program pembangunan pendidikan; dan (3) melaksanakan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. 

Berdasarkan berbagai kewajiban di atas, maka sebenarnya KEGI bukan hanya menjadi landasan bagi guru dalam berperilaku saja, tetapi juga menjadi suatu standar perilaku yang harus ditampilkan oleh guru. Ketika standar perilaku tersebut terpenuhi, maka terjadilah hubungan yang harmonis antara guru dengan dirinya, peserta didik, wali peserta didik, teman sejawat, masyarakat, organisasi profesi, dan pemerintah. Jadi, pada kode etik profesi guru tersebut setidaknya terdapat dua unsur pokok. Pertama, kode etik profesi guru adalah landasan moral bagi guru. Kedua, kode etik profesi guru merupakan pedoman bagi guru dalam berperilaku.

Dalam penerapannya guru dan organisasi profesi guru bertanggungjawab atas pelaksanaan Kode Etik Guru Indonesia. Guru dan organisasi guru berkewajiban mensosialisasikan Kode Etik Guru Indonesia kepada rekan sejawat, penyelenggara pendidikan, masyarakat, dan pemerintah. Perilaku menyimpang dan atau tidak melaksanakan Kode Etik Guru Indonesia dan ketentuan perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan profesi guru ditetapkan sebagai pelanggaran. Guru yang melanggar Kode Etik Guru Indonesia dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Jenis pelanggaran meliputi pelanggaran ringan, sedang, dan berat. Sanksi bagi pelanggar kode etik adalah sanksi moral (dicela, dikucilkan), sedangkan bagi pelanggar berat dapat dikeluarkan dari organisasi. Setiap pelanggaran dapat melakukan pembelaan diri dengan atau tanpa bantuan organisasi profesi guru atau penasehat hukum sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan dihadapan Dewan Kehormatan Guru Indonesia. Wewenang Dewan kehormatan Guru Indonesia adalah memberika rekomendasi sanksi terhadap guru yang melakukan pelanggaran terhdap Kode Etik Guru Indonesia. Pemberian sanksi oleh Dewan Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana dimaksud harus objektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian menjadi sangat berarti untuk memaknai, memegang teguh, dan mengaplikasikan Etika Profesi yang dirupakan kedalam Kode Etik Guru Indonesia sebagai landasan moral yang dipedomani insan guru Indonesia tidak terkecuali Guru TIK, sehingga dalam menjalani tanggungjawab profesinya dapat memahami sesuatu hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

 

Kesimpulan

Kasus pelanggaran kode etik pada profesi guru tidak lepas dari situasi dan kondisi yang berkembang saat sekarang di era globalisasi, dimana kita hidup dalam kondisi masyarakat yang majemuk, serta berada dalam pola perubahan sosial budaya yang begitu dinamis imbas dari kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi, sehingga dinamika tersebut bisa mempengaruhi cara pandang, sikap, dan tindakan manusia, akibatnya dalam mencapai maksud dantujuannya tersebut terkadang lalai dengan mengesampingkan unsur penting etika profesi berupa pelanggara pada Kode Etik Guru ketika berinteraksi dengan peserta didik, rekan guru sejawat, pimpinan sekolah, orang tua/wali peserta didik, masyarakat.

Hakekat Kode etik guru Indonesia merupakan norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia sebagai landasan moral dan pedoman sikap berprilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara. Implikasinya bagi guru Indonesia pada umumnya dan guru TIK pada khususnya, yang notabene bersinggungan langsung dengan akses komputer atau sistem elektronik dengan segala dampak resiko yang akan dihadapinya. Maka dengan keberadaan Kode Etik Guru selain sebagai pedoman, utamanya sebagai landasan moral, maksudnya dapat senantiasa menjaga moralitasnya, sebab unsur penting dasar moralitas terletak pada keunggulan perilaku, akal budi, dan pengabdiannya, sehingga menjadikan profesi guru TIK lebih bermartabat, mengingat guru merupakan pengemban tugas kemanusiaan dengan mengutamakan kebajikan dalam rangka mencerdaskan anak bangsa, agar memiliki potensi kecerdasan secara kognitif, afektif, dan psikomotor, yang kelak akan membawa Indonesia menuju bangsa yang maju, dan mandiri.

Pada akhirnya dengan adanya etika profesi guru yang dirupakan melalui Kode Etik, pastinya memberikan banyak manfaat, seperti lebih meningkatkan professional, lebih bertanggungjawab dalam menjalankan profesinya, layanan prima pada proses pendidikan, sistem kerja yang lebih tertib dan teratur, serta dapat meningkatkan produktivitas dan efektivitas kerja. Manfaat langsungnya seperti: (1) tertanam dalam nilai-nilai etika keguruan;�� (2) memandu guru untuk berprilaku sesuai etika profesibaik dalam menjalin relasi dengan peserta didik, wali peserta didik, rekan sejawat, dan masyarakat; (3) menghasilkan kualitas pribadi, kinerja yang efektif, efisien, dan produktif dalam dalam praktek kependidikan; dan (4) melalui kode etik guru, merupakan upaya preventif untuk meminimalisasi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh guru dalam melaksanakan tanggungjawab profesinya. Kita berharap semoga dengan menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan pada Kode Etik Guru Indonesia, akan menjadikan guru Indonesia pada umumnya dan khususnya Guru Teknologi Informasi, dan Komunikasi lebih mulia, terhormat, bermartabat, dan professional.

 


 

BLIBLIOGRAFI

 

Barnawi dan Muhammad Arifin. (2012). Etika dan Profesi Kependidikan. Jogjakarta : AR-Ruzz Media.

 

Chung, K.H. dan L.C. Megginson. (1981). Organizational Behavior: Developing Managerial Skill. New York: Harper & Row.

Darmawan, Deni (2012). Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung; Penerbit Rosda Karya.

Firmansyah, Yoki. Modul Etika Profesi Teknologi, Informasi dan Komunikasi, Program Studi Sistem Informasi Kampus Kota Pontianak, Fakultas Teknologi dan Informasi, Universitas Bina Sarana Informatika.(ok)

Herawati, Susi. (2009).Etika dan Profesi Keguruan, Batusangkar: STAIN Press.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998) AR � Ruzz Media

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Keputusan Kongres XXI Persatuan Guru Republik Indonesia No. VI/Kongres/XXI/PGRI/2013 tentang Kode Etik Guru Indonesia.

Kompas, 30 Juli 2012, Kekerasan Di Sekolah Pernah Dialami 87,6 Persen Siswa. Dan ABC Australia, 20 Desember 2012, Kekerasan Di Sekolah Meningkat, Mendesak KebijakanSekolah Ramah Anak.

Mujtahid. (2011). Pengembangan Profesi Guru. Malang : UIN-Maliki Press.

Permendikbud) RI Nomor 48 Tahun 2020 Tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai,

Permendikbud No 45 Tahun 2015, tentang perubahan atas peraturan Mendikbud RI Nomor 68 Tahun 2014 tentang peran Guru teknologi Informasi dan Komunikasi dan Guru Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi dalam Implementasi Kurikulum 2013

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI Nomor 48 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai.

PGRI. (19730. Buku Kenang-keangan Kongres PGRi ke XIII 21 s/d.25 November 1973 dan HUT PGRI ke XXII.

Saondi, dan Aris Suherman. (2009). Etika Profesi Keguruan. Bandung : PT Refika Aditama.

Satori, Djam�an, dkk. (2012). Profesi keguruan. Tangerang Selatan: Penerbit Universitas Terbuka.

 

Saud, Udin Syarifuddin, Pengembangan Profesi Guru, Bandung: Alfabeta, 2009

Serlika, Afrita, Etika Profesi Hukum, Palembang; Penerbit REfika, 2019 (ok)

Soetjipto, dan Raflis Kosasi. (2007). Profesi Keguruan. Jakarta : Rineka Cipta. (ok)

Sagala, S. (2007) Manajemen strategik dalam peningkatan mutu pendidikan, Bandung: Alfabeta.

Suparlan, (2006). Guru sebagai Profesi. Yogjakarta: Hikayat

Surya, Mohamad. (2010). Landasan Pendidikan Menjadi Guru Yang Baik. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

Trianto dan Titik Triwulan Tutik, Tinjauan Yuridis Hak Serta Kewajiban Pendidik Menurut UU Guru dan Dosen, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), h.165

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

(https://pendis.kemenag.go.id/read/mendesak-ketegasan-kode-etik-guru)

(https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/pentingnya-etika-dalam-mengajar-online-di-masa-pandemi-covid-19).

(http://fatmawati-fatmawatializaid.blogspot.com/2015/03/masalah-etika-dalam-teknologi-informasi.html).


Copyright holder:

R. Suyato Kusumaryono (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: