Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, October 2022
ETIKA PROFESI GURU TEKNOLOGI INFORMASI, DAN KOMUNIKASI
DALAM MEMINIMALISASI PELANGGARAN KODE
ETIK
R. Suyato
Kusumaryono
Magister Teknologi Pendidikan, Institut Pendidikan Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Kemajuan teknologi dan informasi yang berjalan begitu cepat, telah membawa
dampak perubahan khususnya pada dunia pendidikan,
seperti berbagai informasi yang dibutuhkan dengan
cepat dan mudah dapat di akses. Munculnya inovasi pembelajaran yang berbasis komputer
atau sistem elektronik, telah banyak membantu
guru pada peningkatan kualitas proses pendidikan. Namun dampak dari pemanfaatan kemajuan teknologi informasi tersebut, secara
langsung ataupun tidak langsung bisa beresiko yang mengarah kepada perbuatan tidak
terpuji, atau bahkan perbuatan melawan hukum, seperti plagiasi, menggunakan dan mengakses komputer atau sistem
elektronik dengan cara apapun tanpa hak untuk memperoleh, mengubah, merusak,
dan menghilangkan, atau dengan kata lain pelanggaran HAKI (Hak Atas Kekayaan
Intelektual). Keadaan demikian tersebut pastinya sangat membuat tidak nyaman bagi para
guru yang seringkali memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam proses
pembelajaran, tidak
terkecuali pada guru TIK. Apalagi kedudukan guru TIK dalam mengemban tugas dan
tanggungjawabnya dapat dikatakan memiliki peran ganda, disatu sisi melekat
profesi guru seperti pada umumnya yang harus mampu menjaga harmonisasi hubungan
baik dengan peserta didik, rekan guru sejawat, tenaga kependidikan, orang tua/wali
siswa, serta masyarakat. Namun diisisi lain juga melekat profesi yang terkait langsung
dengan penggunaan akses komputer atau sistem elektronik. Maka untuk
meminimalisir kemungkinan terjadinya pelanggaran etika profesi tersebut, diperlukan sebuah pedoman dan landasan moral bagi guru untuk
bagaimana bersikap serta berprilaku baik dalam melaksanakan tugas maupun
dalam kehidupan sehari-hari.
Kata Kunci :Etika Profesi, Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK), Kode Etik Guru.
Abstract
Advances in technology and
information that run so fast, have brought an impact on changes, especially in the
world of education, such as various information needed quickly and easily accessible.
The emergence of computer-based learning innovations or electronic systems, has
helped teachers a lot in improving the quality of the educational process. However,
the impact of the use of advances in information technology, directly or indirectly
can be at risk that leads to dishonorable acts, or even unlawful acts, such as plagiarism,
using and accessing computers or electronic systems in any way without the right
to obtain, change, damage, and eliminate, or in other words violations of IPR (Intellectual
Property Rights). Such a situation is certainly very uncomfortable for teachers
who often use Information and Communication Technology (ICT) in the learning process,
including ICT teachers. Moreover, the position of ICT teachers in carrying out their
duties and responsibilities can be said to have a dual role, on the one hand attached
to the teaching profession as in general which must be able to maintain harmonization
of good relations with students, fellow teachers, education staff, parents / guardians
of students, and the community. But on the other hand, it is also attached to professions
that are directly related to the use of computer access or electronic systems. So to minimize the possibility of violations of professional
ethics, a guideline and moral foundation are needed for teachers to behave and behave
both in carrying out duties and in daily life.
Keywords: Professional Ethics, Information
and Communication Technology (ICT), Teacher Code of Ethics.
Pendahuluan
Tantangan Pendidikan pada saat sekarang
ini sedang dihadapkan pada kondisi berat dalam pusaran arus globalisasi, yang ditandai
dengan keterbukaan, padatnya arus informasi, tuntutan layanan prima
secara profesional, dan utamanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya teknologi informasi dan komunikasi. Berdasarkan hasil survei ECAR
Student Study� Mobil TIK di tahun 2010, pencarian informasi dalam penggunaan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang dilakukan oleh peserta didik
menempati posisi teratas. Posisi kedua ditempati pada penggunaan TIK untuk
mengakses jejaring sosial, disusul mengakses E-Mail, Maps, akses musik, dan
lainnya. Dengan akses terhadap informasi yang dilakukan peserta didik, tentu
saja proses pembelajaran TIK di abad 21 ini merupakan suatu keharusan, terlebih
melalui� pembelajaran
yang mendayagunakan kemajuan teknologi pendidikan kiranya akan lebih memotivasi
peserta didik dalam belajar. Begitu cepatnya dinamika kemajuan teknologi
informasi atau disebut dengan revolusi teknologi informasi, telah mengubah cara
kerja manusia mulai dari cara berkomunikasi, cara memproduksi, cara
mengkoordinasi, cara berpikir, hingga cara belajar mengajar. Terkait dengan
cara belajar mengajar ternyata telah disadari penerimaan dan pengakuannya dalam
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, bahwa sudah bukan masanya mengandalkan
pendekatan konvensional saja dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasional.
Bukan hanya di ruang tertutup dengan buku dan guru yang setiap saat ditemui,
diminta tolong, namun dengan sumber yang dapat diperoleh melalui kemajuan
teknologi informasi oleh peserta didik setidaknya dapat memenuhi hasratnya
untuk menjadi pintar, lebih cerdas, lebih baik dan lebih sejahtera dalam
hidupnya (Darmawan, 2012).
Dalam menyikapi tantangan era
globalisasi tersebut tentunya harus diimbangi dengan ��pendidikan
berkualitas, yang ditangani secara professional oleh guru-guru professional.
Payung hukumnya sudah jelas, bahwa
guru merupakan pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, serta menengah
(Pasal 1, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Melalui pendidikan berkualitas
pastinya akan menghasilkan peserta didik yang memiliki kadar kompetensi tinggi baik
secara personal, sosial, akademik, dan vokasional, sebagai SDM Indonesia unggul
serta berdaya saing bagi kemajuan bangsa. Karena pada hakekat pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003).
Didalam mewujudkan pendidikan berkualitas
diera globalisasi yang sarat dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasinya,
pastinya memiliki konsekwensi besar yang harus disikapi oleh para guru tidak
tekecuali Guru TIK, dimana Guru TIK memiliki peran tugas dan tanggung jawabnya
dapat mewujudkan situasi pembelajaran yang mendukung potensi peserta didik melalui
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengeksplorasi sumber
belajar secara efektif dan efisien. Melalui pelaksanaan pembimbingan dan
pelayanan TIK terhadap peserta didik, guru, dan tenaga kependidikan, serta berkewajiban
dalam: a) membimbing peserta didik SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau yang
sederajat untuk mencari, mengolah, menyimpan, menyajikan, serta menyebarkan
data dan informasi dalam berbagai cara untuk mendukung kelancaran proses
pembelajaran; b) memfasilitasi sesama guru SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau yang
sederajat untuk mencari, mengolah, menyimpan, menyajikan, serta menyebarkan
data dan informasi dalam berbagai cara untuk persiapan, pelaksanaan, dan penilaian
pembelajaran; dan c) memfasilitasi tenaga kependidikan SMP/MTs, SMA/MA,
SMK/MAK, atau yang sederajat untuk mengembangkan sistem manajemen sekolah
berbasis TIK (Permendikbud No. 45 Tahun 2015).
Dengan demikian pada implementasinya tugas dan tanggung
Guru TIK tidaklah sederhana, melainkan dihadapkan tantangan yang begitu berat
bahkan dapat dikatakan memiliki peran ganda, disatu
sisi melekat profesi guru seperti pada umumnya yang berhadapan langsung dengan
peserta didik dengan segala problematikanya, serta harus bisa pula menjaga harmoni
hubungan baik dengan rekan guru sejawat, tenaga kependidikan, orang tua/wali
siswa, dan masyarakat yang tidaklah mudah, terlebih banyaknya kejadian kasus guru yang melakukan praktik-praktik
tidak terpuji, contohnya sebagaimana disampaikan
oleh Sekretaris PGRI Jawa Tengah Muhdi, SH, M.H.,
pada Konferensi Kerja PGRI Kota Semarang,
�Saat ini saja PGRI mencatat setiap minggu
selalu ada tiga hingga empat kasus pelanggaran yang dilakukan guru, baik saat
menunaikan tugas di dalam kelas dan sekolah maupun sehari-hari mereka dimasyarakat,�
(https://pendis.kemenag.go.id/read/mendesak-ketegasan-kode-etik-guru). Bahkan sampai pada tindakan �kekerasan pada anak yang terjadi di
lingkungan sekolah. Terbukti dari 1.000 siswa mulai dari jenjang SD sederajat hingga
SMA sederajat di Sembilan propinsi Indonesia yang disurvei oleh Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI), 87,6% mengaku pernah mengalaminya. Dari jumlah itu,
29,9% siswa mengaku bahwa pelakunya adalah gurunya sendiri (Kompas, 30 Juli
2012).
Disisi
lain pada Guru TIK sekaligus melekat pula profesi terkait dengan substansi pada penggunaan sistem teknologi informasi dan komunikasi,
berupa akses pada komputer atau sistem elektronik itu
sendiri. Mulai dari mencari, mengolah, menyimpan, menyajikan, serta
menyebarkan data dan informasi,
yang resikonya bisa pada pelanggaran etika yang bisa berujung pada pelanggaran
hukum. Contoh kecil pelanggaran etika profesi seperti yang disampaikan oleh Najelaa Shihab, sebagai penggerak edukasi
sekaligus Founder Sekolah Murid Merdeka, menyatakan bahwa para pengajar perlu
lebih sering menggunakan dan membagikan konten pembelajaran dari sumber digital
yang terpercaya. Karena kadang-kadang masih banyak sumber-sumber digital yang
sebetulnya dibagi frekuensinya lebih sering, tetapi seringkali dengan
metode-metode yang tidak tepat (https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/pentingnya-etika-dalam-mengajar-online-di-masa-pandemi-covid-19).
Lebih lanjut ketika
berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi, hal yang akan dihadapi dan beresiko terhadap kemungkinan
pelanggaran etika, diantaranya sebagai berikut: (1) Menggunakan sumber
daya teknologi informasi tanpa izin; (2) Memberitahu seseorang tentang password pribadi yang merupakan akun
yang tidak dapat dipindahkan-tangankan; (3) Melakukan akses dan/atau upaya
mengakses berkas elektronik, disk, atau perangkat jaringan selain milik sendiri
tanpa izin yang sah; (4) Melakukan interferensi terhadap sistem teknologi
informasi atau kegunaan lainnya dan sistem tersebut, termasuk mengkonsumsi
sumber daya dalam jumlah yang sangat besar termasuk ruang penyimpanan data (disk storage), waktu pemrosesan,
kapasitas jaringan, dan lain-lain, atau secara sengaja menyebabkan terjadinya crash pada sistem komputer melalui bomb mail, spam, merusak disk drive pada
sebuah komputer PC milik Universitas, dan lain-lain); (5) Menggunakan sumber
daya lembaga sebagai sarana (lahan) untuk melakukan crack (hack, break into ke sistem lain secara tidak sah; (6)
Mengirim pesan (message) yang
mengandung ancaman atau bahan lainnya yang termasuk kategori penghinaan; (7)
Pencurian, termasuk melakukan duplikasi yang tidak sah (illegal) terhadap bahan-bahan yang memiliki hak-cipta, atau
penggandaan, penggunaan, atau pemilikan salinan (copy) perangkat lunak atau data secara tidak sah; (8) Merusak
berkas, jaringan, perangkat lunak atau peralatan; (9) Mengelabui identitas
seseorang (forgery), plagiarisme, dan
pelanggaran terhadap hak cipta, paten, atau peraturan peraturan
perundang-undangan tentang rahasia perusahaan; (10) Membuat dengan sengaja,
mendistribusikan, atau menggunakan perangkat lunak yang dirancang untuk maksud
kejahatan untuk merusak atau menghancurkan data dan/atau pelayanan komputer
(virus, worms, mail bombs, dan lain-lain) (http://fatmawati-fatmawatializaid.blogspot.com/2015/03/masalah-etika-dalam-teknologi-informasi.html). Maka untuk meminimalisasi terhadap berbagai pelanggaran
etika profesi tersebut, perlu adanya norma dan etika yang diwujudkan
dalam rupa Kode Etik Guru sebagai pedoman sekaligus landasan moral yang mengikat
prilaku guru termasuk Guru TIK dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.
Dengan demikian guru-guru akan memahami sesuatu hal yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan, sehingga �kualitas serta martabat profesi guru senantiasa
dapat dijunjung tinggi dan dapat terjaga marwahnya.
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian dalam karya ilmiah ini menggunakan metode
penelitian kualitatif yaitu metode yang membahas dan menerangkan hasil
penelitian tentang kasus yang dapat diuraikan dengan kalimat. Jenis penelitian
atau metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah �deskriptif analitis yang
merupakan penelitian untuk menggambarkan alur komunikasi ilmiah dan menganalisa
masalah yang ada, disajikan secara deskriptif melalui
pendekatan library research atau
dilakukan melalui studi pustaka. Studi pustaka merupakan penelaahan terhadap
bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dengan cara mengakomodasi, membaca, mencatat serta mengolah
berbagai bahan bacaan yang bersumber dari data primer berupa jurnal, buku referensi, laporan penelitian, dan sumber data sekunder berupa
referensi, konsep dan teori diperoleh dari literatur.
Teknik Analisa data dilakukan dengan cara triangulasi, dengan menganalisis
secara normatif kualitatif yang dikaji
secara mendalam. Diawali dengan mencatatat poin-poin penting data penelitian,
kemudian membandingkan hasil kajian dari referensi primer dan referensi
sekunder lainnya, selanjutnya menginterpretasikan data kedalam bangunan karya
ilmiah ini.
Hasil dan Pembahasan
1. Etika Profesi
Konsep
�Etika Profesi� sebagaimana dinarasikan di atas sepertinya menjadi kata kunci
dalam menjaga marwah guru. Etika merupakan suatu konsep mengenai
penilaian baik buruk manusia sesuai dengan norma-norma yang berlaku sebagai pedoman. Tolok
ukurnya tidak terlepas dari hakikat
dari keberadaan norma-norma itu sendiri, tujuannya yakni untuk menciptakan suatu ketertiban dan keteraturan
dalam bertingkah laku. Bicara etika tentunya bicara
tentang moral, mengingat Etika merupakan bagian penting dari ilmu
filsafat yaitu filsafat moral, sementara filsafat
moral merupakan cabang dari filsafat tentang tindakan manusia. Pada akhirnya melalui
etika, membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan atau perbuatan �apa yang perlu
kita lakukan dan yang tidak perlu dilakukan (Serlika, 2019).
Secara etimologis kata etika berasal
dari bahasa Yunani yaitu ethos dan ethikos, ethos yang
berarti sifat, watak, adat, kebiasaan, tempat yang baik. Ethikos berarti
susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), etika adalah
Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral;
Kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak; Nilai mengenai yang benar dan
salah yang dianut masyarakat. Beberapa pengertian etika lainya
berdasarkan pandangan para ahli (dalam Firmansyah), diantaranya menurut O. P.
Simorangkir, Etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut
ukuran dan nilai yang baik. Disisi lain menurut Sidi
Gajalba, etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang
dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal; dan selanjutnya
menurut Burhanudin Salam, etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai
nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya. �Pendapat lainnya menurut Sagala (2007), Etika
artinya tata susila (etika) atau hal-hal yang berhubungan dengan kesusilaan
dalam mengerjakan suatu pekerjaan.
Selanjutnya Profesi adalah suatu bidang pekerjaan yang dilandasi
pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan) tertentu. Adapun
yang menjadi ciri dan syarat profesi menurut Robert W. Richey (dalam Saud, 2009),
meliputi sebagai berikut: (1) Lebih
mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan
dengan kepentingan pribadi; (2) Seorang
pekerja profesional, secara aktif memerlukan waktu
yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta
prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang mendukung
keahliannya; (3) Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan; (4) Memiliki Kode Etik yang
mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap dan
cara kerja; (5) �Membutuhkan suatu kegiatan
intelektual yang tinggi; (6) Adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi, serta
kesejahteraan anggotanya; (7) Memberikan kesempatan untuk kemajuan,
spesialisasi, dan kemandirian; dan (8) Memandang
profesi suatu karier hidup (a live career) dan
menjadi seorang anggota yang permanen.
Seringkali kita mempertanyakan apa
hubungan antara �profesi� dengan konsep �professional� mengingat konsep
professional sering kali dihubungkan dengan profesi guru, yang dibunyikan dalam
UU Sisdiknas guru sebagai pendidik professional. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Depdiknas, 2005), Profesional dimaksudkan: (1) bersangkutan dengan
profesi, (2) memerlukan keahlian khusus untuk menjalankannya dan (3)
mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya. Professional bisa juga
menunjuk pada dua hal. Pertama, orang yang menyandang suatu profesi, misalnya,
�dia seorang professional�. Kedua, penampilan seseorang dalam melakukan
pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya (Satori, 2012).
Dengan mencermati ketentuan syarat profesi tersebut,
maka jabatan guru dipastikan merupakan pendidik profesional, alasannya: (1) Membutuhkan
suatu kegiatan intelektual yang tinggi,
memiliki kemampuan, keterampilan� dan
keahlian yang� ditempuh dalam
kurun waktu yang panjang melalui LPTK� dalam proses menjadi guru; �(2)
Memberikan layanan pendidikan yang prima kepada masyarakat dalam rangka
mencerdaskah anak bangsa, diatas kepentingan pribadi; (3) Menjanjikan karir hidup secara permanen, terlebih
ditunjang dengan sistem kenaikan pangkat berdasarkan angka kredit; (4)
memiliki organisasai profesi; (5) memiliki kode etik guru sebagai standar baku
dalam berprilaku para anggotanya, disertai dengan sanksi tertentu; (6) Berhak
untuk memperoleh imbalan finansial dan materi (sertifikasi).
Bagaimana hubungan antara etika dan profesi, seperti dijelaskan
oleh Chung (1981), Nilai profesional dapat disebut juga dengan istilah etis.
Dalam etis sedikitnya ada empat asas etis, yaitu: menghargai harkat dan
martabat; peduli dan bertanggung jawab; integritas dalam hubungan; dan tanggung
jawab terhadap masysrakat. Maka �etika
dan profesi keguruan memiliki hubungan erat satu sama lain, bahwa etika profesi
adalah sebagai sikap hidup dengan landasan moral dan berprilaku menurut
ukuran� dan nilai yang baik sehingga
tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang menyebabkan ketidaksesuaian dalam layanan
professional terhadap peserta didik dalam proses Pendidikan.
2. Kode Etik Profesi
Keberadaan etika profesi guru yang dirupakan dalam ketentuan Kode Etik Guru. Secara harfiah kode etik diambil dari dua kata dasar �kode�
dan �etik�, Kode yang dimaksud yaitu
tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang
disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita,
keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Sedangkan etik atau Etika
sebagaimana telah disinggung di atas, diartikan sebagai susila,
keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Sebagaimana
dijelaskan dalam Undang-Undang Guru dan Dosen No.14 Tahun 2005
Pasal 43 Ayat 2, bahwa kode etik adalah norma dan etika yang mengikat prilaku
guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalannya. �Sementera
itu dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI Nomor
48 Tahun 2020 Tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai, disebutkan bahwa kode etik adalah norma dan asas yang
harus dipatuhi oleh pegawai dalam melaksanakan tugas dan fungsi organisasi. Selanjutnya pada UU. No. 8 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan
perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. �Kode etik yang
merupakan salah satu ciri dari syarat profesi, dimaksudkan untuk tujuan kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu
sendiri, karena hakekatnya Kode Etik Profesi lahir dari dalam lembaga
atau organisasi profesi itu sendiri.
Menurut
Soetjipto (2007) pada dasarnya tujuan merumuskan kode etik dalam suatu profesi
adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu
sendiri. Secara umum tujuan mengadakan kode etik adalah sebagai beerikut: (a)
Untuk menjunjung tinggi martabat profesi. Dalam hal ini kode etik dapat menjaga
pandangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka tidak sampai
memandang rendah atau remeh terhadap profesi yang bersangkutan. Oleh karenanya,
setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak-tanduk atau
kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi terhadap
dunia luar. Dari segi itu, kode etik juga sering disebut dengan kode
kehormatan; (b) Untuk menjaga dan memilihara kesejahteraan para anggotanya.
Kesejahteraan disini meliputi baik kesejahteraan lahir (material) maupun
kesejahteraan batin (spritual atau mental). Dari hal kesejahteraan lahir para
anggota profesi, kode etik umumnya memuat larangan-larangan kepada para
anggotanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kesejahteraan
para anggotanya; (c) Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi. Tujuan
lain kode etik dapat juga berkaitan dengan peningkata kegiatan pengabdian
profesi, sehingga bagi para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas
dan tanggung jawab pengabdian dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu,
kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota
profesi dalam menjalankan tugasnya; (d) Untuk meningkatkan mutu profesi, kode
etik juga membuat norma-norma dan anjuran agar para anggota profesi selalu
berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para anggotanya; dan (e) Untuk
meningkatkan organisai profesi, maka kewajiban kepada setiap anggota untuk
secara aktif berpatisipas dalam membina organisasi profesi dan
kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi. Dari tujuan kode etik di atas
dapat disimpulkan bahwa tujuan suatu profesi menyusun kode etik adalah untuk
menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memilihara kesejahteraan para
anggota, meningkatkan pengabdian anggota profesi, dan meningkatkan mutu profesi
dan mutu organisasi profesi.
Secara
umum kode etik ini diperlukan dengan beberapa alasan; (1) Untuk melindungi
pekerjaan sesuai dengan ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan
berdasarkan perundangan yang berlaku; (2) Untuk mengontrol terjadinya
ketidakpuasan dan persengketaan dari para pelaksana, sehingga dapat menjaga dan
meningkatkan stabilitas internal dan eksternal pekerjaan; (3) Melindungi para
praktisi di masyarakat, terutama dalam hal adanya� kasus-kasus penyimpangan tindakan; dan (4)
Melindungi anggota masyarakat dari praktek-praktek yang menyimpang� dari ketentuan yang berlaku (Surya, 2010).
3.
Etika Profesi dalam Bidang Teknologi Informasi
Meskipun antara profesi Guru TIK dengan
profesi teknologi informasi berbeda, disatu sisi bidang pendidikan dan disis
lain non kependidikan. Namun menurut hemat penulis terdapat banyak irisan yang
saling terkait terutama pada substansinya ke-TIK-annya, maka ketika berbicara
etika profesi yang menyangkut teknologi informasi, oleh kedua profesi tersebut
sama-sama bisa menjadi bahan rujukan untuk dipedomani seperti pada Undang-Undang tentang Teknologi Informasi di
Indonesia, antara lain; 1) UU HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektua), meliputi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Serah Simpan
Karya Cetak dan Karya Rekam; dan 2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik yang di dalamnya
mengatur tentang: a) Pornografi di Internet; b) Transaksi di Internet; dan
3) Etika pengguna Internet.
Lebih jauh mengutif
apa yang disampaikan Richard Masson (http://fatmawati-fatmawatializaid.blogspot.com/2015/03/masalah-etika-dalam-teknologi-informasi.html), masalah etika Teknologi Informasi dapat diklasifikasi menjadi empat hal, meliputi sebagai berikut berikut :
1) Privasi, yaitu hak individu untuk mempertahankan informasi pribadi
dari pengaksesan orang lain yang memang tidak berhak untuk melakukannya; 2) Akurasi, layanan informasi harus
diberikan secara tepat dan akurat sehingga tidak merugikan pengguna informasi.
3) Property, perlindungan
kekayaan intelektual yang saat ini digalakkan oleh HAKI (Hak Atas Kekayaan
Intelektual) mencakup tiga hal : a) Hak cipta (copy right), hak yang dijamin kekuatan
hukum yang melarang menduplikasi kekayaan intelektual tanpa seizin pemegangnya.
Diberikan selama 50 tahun; b) Paten, bentuk
perlindungan yang sulit diberikan karena hanya diberikan bagi penemuan inovatif
dan sangat berguna. Berlaku selama 20 tahun; dan 4) Akses, Semua orang berhak untuk mendapatkan informasi. Perlu layanan
yang baik dan optimal bagi semua orang dalam mendapatkan informasi yang
diinginkan. Dengan demikian adanya etika tersebut dipandang perlu sebagai perilaku yang mengikat
oleh siapapun pengguna teknologi informasi.
4. �Kode Etik Guru Indonesia
Memaknai manfaat dan tujuan dari keberadaan kode etik dalam
suatu profesi khususnya profesi guru termasuk guru TIK di dalamnya, akan
menyadari sepenuhnya dalam melaksanakan tugas profesinya. Menurut
Basyuni dalam pidato kongres PGRI XIII (dalam Herawati, 2009), Kode Etik Guru
adalah landasan moral dan pedoman tingkah laku guru. Lebih
lanjut Barnawi (2012), menyatakan bahwa kode etik guru Indonesia adalah
norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia sebagai
pedoman sikap dan prilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik,
anggota masyarakat, dan warga negara.
Lahirnya
Kode Etik Guru Indonesia (KEGI), tidak lepas dari serangkaian sejarah yang
Panjang, dimulai dari seminar tentang Etika Jabatan Guru tahun 1971 yang
diikuti oleh kepala Perwakilan Departemen P & K Provinsi Jawa Timur. Disusul
dengan Kode Etik Guru Indonesia oleh PGRI melalui Kongres PGRI ke XIII tahun 1973
di Jakarta yang menetapkan Kode Etik Guru Indonesia sebagai tonggak kekuatan
yuridis, artinya bahwa apabila para guru melakukan pelanggaran atas kode etik
maka akan dikenakan sanksi. Dilanjutkan dengan Konferensi Pusat PGRI Nomor
V/Konpus II/XIX/2006 tanggal 25 Maret 2006 di Jakarta yang disahkan pada
Kongres XX PGRI No. 07/Kongres/XX/PGRI/2008 tanggal 3 Juli 2008 di Palembang, yang
menetapkan tentang Kode Etik Guru Indonesia (KEGI) menjadi Kode
Etik tunggal bagi setiap orang yang menyandang profesi guru di Indonesia, atau
menjadi referensi bagi organisasi asosiasi profesi guru selain PGRI untuk
merumuskan Kode Etik bagi anggotanya. Terakhir Keputusan
Konres XXI Persatuan Guru Republik Indonesia tahun 2013 tentang Kode Etik Guru Indonesia
yang diselenggarakan di Jakarta, sebagai penyempurnaan hasil Kongres PGRI
sebelumnya di Palembang tahun 2008, terungkap bahwa KEGI merupakan pedoman
perilaku guru Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas keprofesiannya.
Berikut petikan hasil Keputusan Kongres XXI Persatuan Guru Republik
Indonesia No. VI/Kongres/XXI/PGRI/2013 tentang Kode Etik Guru Indonesia, yang
diselenggarakan di Jakarta dari tanggal 1 sampai dengan 5 Juli 2013.
Hasil keputusannya terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu: Mukadimah, bagian kesatu, dan bagian kedua. Mukadimah/Pembukan, meliputi
5 alinea yang berisi; Guru sebagai pendidik adalah jabatan profesi yang mulia.
Oleh sebab itu, moralitas guru harus senantiasa terjaga karena martabat dan
kemuliaan sebagai unsur dasar moralitas guru itu terletak pada keunggulan
perilaku, akal budi, dan pengabdiannya. Guru merupakan pengemban tugas
kemanusiaan dengan mengutamakan kebajikandan mencegah manusia dari kehinaan
serta kemungkaran dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun
watak serta budaya, yang mengantarkan bangsa Indonesia pada kehidupan
masyarakat yang maju, adil dan makmur, serta beradab berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Guru dituntut untuk menjalankan profesinya dengan ketulusan hati dan
menggunakan keandalan kompetensi sebagai sumber daya dalam mewujudkan tujuan
pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik menjadi manusia
utuh yang beriman dan bertakwa serta menjadi warga negara yang baik,
demokratis, dan bertanggung jawab. Pelaksanaan tugas guru Indonesia terwujud
dan menyatu dalam prinsip �ing ngarsasung tuladha, ing madya mangun karsa, tut
wuri handayani�.
Untuk itu, sebagai pedoman perilaku guru Indonesia dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan perlu ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia. Bagian
kesatu berkaitan dengan kewajiban guru secara umum yang dituangkan dalam Pasal
1, berisi: (1) menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah atau janji
guru; (2) menyatakan; melaksanakan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Pada bagian kedua�
meliputi pasal 2 sampai dengan pasal 8, berisi kewajiban guru dengan
stakeholder-nya, antara lain sebagai berikut: Pasal 2, Kewajiban Guru terhadap
peserta didik, meliputi: (1) bertindak professional dalam melaksanakan tugas
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
proses hasil belajar peserta didik; (2) memberikan layanan pembelajaran
berdasarkan karakteristik individual serta tahapan tumbuh-kembang jiwa peserta
didik; (3) mengembangkan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan; (4) �menghormati martabat
dan hak-hak serta memperlakukan peserta didik secara adil dan objektif; (5)
melindungi peserta didik dari segala tindakan yang dapat mengganggu
perkembangan, proses belajar, kesehatan, dan keamanan bagi peserta didik; (6)
menjaga kerahasiaan pribadi peserta didik, kecuali dengan alasan yang
dibenarkan berdasarkan hukum, kepentingan pendidikan, kesehatan, dan
kemanusiaan; dan (7). menjaga hubungan profesional dengan peserta didik dan
tidak memanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok dan tidak
melanggar norma yang berlaku.
Pasal 3, Kewajiban guru terhadap orang tua atau wali peserta didik,
yaitu: (1) menghormati hak orang tua atau wali peserta didik untuk
berkonsultasi dan memberikan informasi secara jujur serta objektif mengenai
kondisi dan perkembangan belajar peserta didik; (2) membina hubungan kerjasama
dengan orang tua atau wali peserta didik dalam melaksanakan proses pendidikan
untuk kepentingan mutu pendidikan; dan (3) �menjaga hubungan profesional dengan orang tua
atau wali peserta didik serta tidak memanfaatkan untuk memperoleh keuntungan
pribadi.
Pasal 4, Kewajiban guru terhadap masyarakat, antara lain: (1)
menjalin komunikasi yang efektif dan bekerjasama secara harmonis dengan
masyarakat untuk mamajukan dan mengembangkan pendidikan; (2) mengakomodasi
aspirasi dan keinginan masyarakat dalam pengembangan dan peningkatan mutu
pendidikan; (3) bersikap responsif terhadap perubahan yang terjadi dalam
masyarakat dengan mengindahkan norma dan sistem nilai yang berlaku; (4)
bersama-sama dengan masyarakat berperan aktif untuk menciptakan lingkungan
sekolah yang kondusif; dan (5) menjunjung tinggi kehormatan dan martabat serta
menjadi panutan bagi masyarakat.
Pasal 5, Kewajiban guru terhadap teman sejawat, meliputi: (1)
membangun suasana kekeluargaan, solidaritas, dan saling menghormati antar teman
sejawat baik di dalam maupun di luar sekolah; (2) saling berbagi ilmu pengetahuan,
teknologi, keterampilan, seni dan pengalaman serta saling memotivasi untuk
meningkatkan profesionalitas dan martabat guru; (3) menjaga kehormatan dan
rahasia pribadi teman sejawat; dan (4) �menghindari tindakan yang berpotensi
menciptakan konflik antar teman sejawat.
Pasal 6, Kewajiban guru terhadap profesi, antara lain: (1)
menjunjung tinggi jabatan guru sebagai profesi; (2) mengembangkan
profesionalisme secara berkelanjutan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk meningkatkan mutu pendidikan; (3) melakukan tindakan
dan/atau mengeluarkan pendapat yang tidak merendahkan martabat profesi; (4)
dalam melaksanakan tugas, tidak menerima janji dan pemberian yang dapat
mempengaruhi keputusan dan tugas keprofesionalannya; dan (5) melaksanakan tugas
secara bertanggung jawab terhadap kebijkan pendidikan.
Pasal 7, Kewaiiban guru terhadap organisasi profesi, antara lain:
(1) mentaati peraturan dan berperan aktif dalam melaksanakan program organisasi
profesi; (2) mengembangkan dan memajukan organisasi profesi; (3) mengembangkan
organisasi profesi untuk menjadi pusat peningkatan profesionalitas guru dan
pusat informasi tentang pengembangan pendidikan; (4) menjunjung tinggi
kehormatan dan martabat organisasi profesi; dan (5) melakukan tindakan dan/atau
mengeluarkan pendapat yang tidak merendahkan organisasi profesi.
Pasal 8, Kewajiban guru terhadap pemerintah, sebagai berikut: (1) berperan
serta menjaga persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dalam wadah NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; (2) berperan serta dalam
melaksanakan program pembangunan pendidikan; dan (3) melaksanakan ketentuan
yang ditetapkan oleh pemerintah.
Berdasarkan berbagai kewajiban di atas, maka sebenarnya KEGI bukan
hanya menjadi landasan bagi guru dalam berperilaku saja, tetapi juga menjadi
suatu standar perilaku yang harus ditampilkan oleh guru. Ketika standar
perilaku tersebut terpenuhi, maka terjadilah hubungan yang harmonis antara guru
dengan dirinya, peserta didik, wali peserta didik, teman sejawat, masyarakat,
organisasi profesi, dan pemerintah. Jadi, pada kode etik profesi guru tersebut setidaknya
terdapat dua unsur pokok. Pertama, kode etik profesi guru adalah
landasan moral bagi guru. Kedua, kode etik profesi guru merupakan
pedoman bagi guru dalam berperilaku.
Dalam penerapannya guru
dan organisasi profesi guru bertanggungjawab atas pelaksanaan Kode Etik Guru Indonesia. Guru
dan organisasi guru berkewajiban mensosialisasikan Kode Etik Guru Indonesia
kepada rekan sejawat, penyelenggara pendidikan, masyarakat, dan pemerintah. Perilaku
menyimpang dan atau tidak melaksanakan Kode Etik Guru Indonesia dan ketentuan
perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan profesi guru ditetapkan sebagai
pelanggaran. Guru yang melanggar Kode Etik Guru Indonesia dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Jenis
pelanggaran meliputi pelanggaran ringan, sedang, dan berat. Sanksi bagi
pelanggar kode etik adalah sanksi moral (dicela, dikucilkan), sedangkan bagi
pelanggar berat dapat dikeluarkan dari organisasi. Setiap pelanggaran dapat
melakukan pembelaan diri dengan atau tanpa bantuan organisasi profesi guru atau
penasehat hukum sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan dihadapan Dewan
Kehormatan Guru Indonesia. Wewenang Dewan kehormatan Guru Indonesia adalah
memberika rekomendasi sanksi terhadap guru yang melakukan pelanggaran
terhdap Kode Etik Guru Indonesia. Pemberian sanksi oleh Dewan Kehormatan Guru Indonesia
sebagaimana dimaksud harus objektif, tidak diskriminatif, dan tidak
bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan
perundang-undangan.
Dengan demikian menjadi sangat berarti
untuk memaknai, memegang teguh, dan
mengaplikasikan Etika Profesi yang dirupakan
kedalam Kode Etik Guru Indonesia sebagai landasan moral yang dipedomani insan guru
Indonesia tidak terkecuali Guru TIK, sehingga dalam menjalani tanggungjawab profesinya dapat
memahami sesuatu hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Kesimpulan
Kasus pelanggaran kode etik pada
profesi guru tidak lepas dari situasi dan kondisi yang berkembang saat sekarang
di era globalisasi, dimana kita hidup dalam kondisi masyarakat yang majemuk,
serta berada dalam pola perubahan sosial budaya yang begitu dinamis imbas dari
kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi, sehingga dinamika tersebut bisa
mempengaruhi cara pandang, sikap, dan tindakan manusia, akibatnya dalam mencapai
maksud dan� tujuannya tersebut terkadang lalai
dengan mengesampingkan unsur penting etika profesi berupa pelanggara pada Kode
Etik Guru ketika berinteraksi dengan peserta didik, rekan guru sejawat,
pimpinan sekolah, orang tua/wali peserta didik, masyarakat.
Hakekat Kode etik guru Indonesia merupakan
norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia sebagai landasan
moral dan pedoman sikap berprilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai
pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara. Implikasinya bagi guru Indonesia
pada umumnya dan guru TIK pada
khususnya, yang notabene bersinggungan langsung dengan akses komputer atau sistem
elektronik dengan segala dampak resiko yang akan dihadapinya. �Maka dengan
keberadaan �Kode Etik Guru selain sebagai
pedoman, utamanya sebagai landasan moral, maksudnya dapat senantiasa menjaga moralitasnya,
sebab unsur penting dasar moralitas terletak pada keunggulan perilaku, akal
budi, dan pengabdiannya, sehingga menjadikan profesi guru TIK lebih �bermartabat, mengingat guru merupakan
pengemban tugas kemanusiaan dengan mengutamakan kebajikan dalam rangka mencerdaskan
anak bangsa, agar memiliki potensi kecerdasan secara kognitif, afektif,
dan psikomotor, yang kelak akan membawa Indonesia menuju bangsa yang maju, dan
mandiri.
Pada akhirnya dengan
adanya etika profesi guru yang dirupakan melalui Kode
Etik, pastinya memberikan banyak
manfaat, seperti lebih meningkatkan professional, lebih bertanggungjawab dalam
menjalankan profesinya, layanan prima pada proses pendidikan, sistem kerja yang
lebih tertib dan teratur, serta dapat meningkatkan produktivitas dan efektivitas
kerja. Manfaat langsungnya seperti: (1) tertanam dalam nilai-nilai etika keguruan;��
(2) memandu guru untuk berprilaku sesuai etika profesi� baik dalam menjalin relasi dengan peserta
didik, wali peserta didik, rekan sejawat, dan masyarakat; (3)
menghasilkan kualitas pribadi, kinerja yang efektif, efisien, dan produktif
dalam dalam praktek kependidikan; dan (4) melalui kode etik guru, merupakan upaya preventif untuk meminimalisasi
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh guru dalam melaksanakan tanggungjawab
profesinya. Kita berharap semoga dengan menjunjung
tinggi, menghayati, dan mengamalkan pada Kode Etik Guru Indonesia, akan menjadikan
guru Indonesia pada umumnya dan khususnya Guru Teknologi Informasi, dan
Komunikasi lebih mulia, terhormat, bermartabat, dan professional.
BLIBLIOGRAFI
Barnawi
dan Muhammad Arifin. (2012). Etika dan
Profesi Kependidikan. Jogjakarta : AR-Ruzz Media.
Chung, K.H. dan L.C. Megginson. (1981). Organizational Behavior: Developing
Managerial Skill. New York: Harper & Row.
Darmawan, Deni (2012). Pendidikan Teknologi Informasi
dan Komunikasi. Bandung; Penerbit Rosda Karya.
Firmansyah,
Yoki. Modul Etika Profesi Teknologi,
Informasi dan Komunikasi, Program Studi Sistem Informasi Kampus Kota
Pontianak, Fakultas Teknologi dan Informasi, Universitas Bina Sarana Informatika.(ok)
Herawati, Susi. (2009).Etika dan Profesi
Keguruan, Batusangkar: STAIN Press.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1998) AR � Ruzz Media
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka.
Keputusan Kongres XXI Persatuan Guru Republik Indonesia No. VI/Kongres/XXI/PGRI/2013
tentang Kode Etik Guru Indonesia.
Kompas, 30 Juli 2012, Kekerasan
Di Sekolah Pernah Dialami 87,6 Persen Siswa. Dan ABC Australia, 20 Desember
2012, Kekerasan Di Sekolah Meningkat, Mendesak KebijakanSekolah Ramah Anak.
Mujtahid. (2011). Pengembangan Profesi Guru. Malang : UIN-Maliki Press.
Permendikbud)
RI Nomor 48 Tahun 2020 Tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai,
Permendikbud No 45 Tahun 2015, tentang
perubahan atas peraturan Mendikbud RI Nomor 68 Tahun 2014 tentang peran Guru
teknologi Informasi dan Komunikasi dan Guru Keterampilan Komputer dan
Pengelolaan Informasi dalam Implementasi Kurikulum 2013
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Permendikbud) RI Nomor 48 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku
Pegawai.
PGRI. (19730. Buku Kenang-keangan Kongres
PGRi ke XIII 21 s/d.� 25 November 1973
dan HUT PGRI ke XXII.
Saondi,
dan Aris Suherman. (2009). Etika Profesi
Keguruan. Bandung : PT Refika Aditama.
Satori, Djam�an, dkk. (2012). Profesi keguruan.
Tangerang Selatan: Penerbit Universitas Terbuka.
Saud, Udin Syarifuddin, Pengembangan
Profesi Guru, Bandung: Alfabeta, 2009
Serlika, Afrita, Etika Profesi Hukum, Palembang; Penerbit REfika, 2019 (ok)
Soetjipto, dan Raflis Kosasi. (2007).
Profesi Keguruan. Jakarta
: Rineka Cipta. �(ok)
Sagala, S. (2007) Manajemen
strategik dalam peningkatan mutu pendidikan, Bandung: Alfabeta.
Suparlan, (2006). Guru sebagai
Profesi. Yogjakarta: Hikayat
Surya, Mohamad. (2010). Landasan Pendidikan Menjadi Guru Yang Baik. Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia.
Trianto
dan Titik Triwulan Tutik, Tinjauan Yuridis Hak Serta Kewajiban Pendidik Menurut
UU Guru dan Dosen, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), h.165
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang
Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta.
�Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang
Paten.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Serah
Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
(https://pendis.kemenag.go.id/read/mendesak-ketegasan-kode-etik-guru)
(http://fatmawati-fatmawatializaid.blogspot.com/2015/03/masalah-etika-dalam-teknologi-informasi.html).
R.
Suyato Kusumaryono (2022) |
First publication
right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |