Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
11, November 2022
GOVERNANCE OF RISK MANAGEMENT: STUDI KASUS DI BANK
MANDIRI
Mahardika
Dwi Jayanti, Rachim Chan, Teddy
Maulana Putra, Muhammad Fikry Alfisyahrin, Kresna Nurdianto, Paras Dita,
Lintang Putri Enggaringtyas, Dewi Hanggraeni
Magister Manajemen, Universitas
Indonesia
Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia,
Universitas Pertamina
Email: [email protected]
�
Abstrak
Sebagai
upaya mengurangi risiko yang dihadapi sektor perbankan akibat dampak pandemi COVID-19,
maka perlu adanya penerapan manajemen risiko yang berkiblat pada Basel III yang
merupakan kerangka kerja peraturan perbankan internasional. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis praktik tata kelola manajemen risiko secara
spesifik di Bank Mandiri dengan metode kualitatif dengan membandingkan komponen
permodalan, likuiditas dan pengawasan di Bank Mandiri dengan kerangka Basel III, POJK, dan SEOJK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Bank Mandiri telah mengaplikasikan Basel III, POJK dan SEOJK sebagai acuan risk
management govenance dengan cukup baik sehingga mampu memenuhi ekspektasi dan
melebihi standar yang dipersyaratkan.
Namun, Bank Mandiri masih perlu meningkatkan manajemen risikonya terutama pada
komponen likuiditas dan pengawasan agar dapat semakin meningkatkan mitigasi
atas risiko masa depan. Secara keseluruhan dalam konteks governance of risk
management, aspek pemodalan, likuiditas dan pengawasan saling mempengaruhi
untuk memastikan proses manajemen risiko berjalan efektif dengan kepatuhan
terhadap regulasi yang ada demi keberlanjutan bisnis Bank Mandiri maupun
lembaga keuangan secara umum.
Kata kunci: Manajemen Risiko, Tata Kelola,
POJK, Standar Basel.
Abstract
In an effort
to reduce the risks faced by the banking
sector due to the impact of the COVID-19 pandemic, it is necessary to implement
risk management oriented to Basel III, which is an international banking
regulatory framework. This study aims to analyze specific risk management
governance practices at Bank Mandiri with qualitative methods by comparing the
capital, liquidity and supervision components at Bank Mandiri with the Basel
III, POJK, and SEOJK frameworks. The results showed that Bank Mandiri had
applied Basel III, POJK and SEOJK as a reference for risk management governance
well enough to be able to meet expectations and exceed the required standards.
However, Bank Mandiri still needs to improve its risk management, especially in
the liquidity and supervision components in order to further improve mitigation
of future risks. Overall, in the context of governance of risk management,
aspects of capital, liquidity and supervision influence each other to ensure
that the risk management process runs effectively with compliance with existing
regulations for the sustainability of Bank Mandiri's business and financial
institutions in general.
Keywords: Risk Management, Governance, POJK, Basel Standard.
Pendahuluan
Pandemi
Covid-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020 sangat berpengaruh terhadap kinerja
pasar modal di Indonesia. Baker et. al (2020) menyatakan bahwa tidak ada wabah
penyakit─termasuk Spanish Flu─yang lebih memiliki pengaruh sangat
besar terhadap kondisi pasar sebesar Covid-19. Pada saat itu, IHSG mengalami
penurunan hingga ke titik paling rendahnya sejak tahun 2015 yaitu ke level
3.937,6 per tanggal 24 Maret 2020.� Industri
perbankan termasuk ke dalam industri yang terdampak Covid-19, tidak terkecuali
bank dengan capital yang besar (Maria et. al, 2022).
Kejadian
pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa hal apapun bisa terjadi dalam pasar. Selain
itu, adanya perubahan terus-menerus pada struktur pasar dan pergerakannya dapat
menyebabkan kemungkinan munculnya kondisi pasar yang tidak terduga (Bogle,
2008). Berkaca dari situasi ekonomi Indonesia pasca krisis pandemi (Post-Pandemic
Crisis) hingga saat ini, maka mitigasi risiko pandemi yang responsif
menjadi sangat penting untuk memperkuat fungsi intermediasi dan kinerja
perbankan khususnya di masa pandemi (Mentari et. al, 2020) sebagai langkah
antisipasi risiko di masa depan.
Pada praktik
manajemen risiko perbankan, terdapat regulasi standar perbankan sebagai fundamental yang
telah disepakati secara
internasional yang sangat ketat terkait dengan operasional dan
aturan perbankan yang dirumuskan oleh The Basel Committee on Banking
Supervision (BCBS) yaitu Standar Basel yang kemudian Indonesia sebagai
negara anggota telah menerapkan aturan tersebut melalui Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Bank Mandiri
sebagai salah satu bank BUMN terbesar di Indonesia berupaya untuk
mengimplentasikan pedoman yang tertuang pada Basel III dan POJK sebagai
salah satu wujud tata kelola manajemen risiko yang baik karena menyadari
pentingnya hal tersebut sebagai prinsip dasar yang harus dijalankan agar bisnis
berjalan baik serta terhindar dari kegagalan perbankan akibat risiko yang tidak
termitigasi. Di industri perbankan, corporate governance menjadi sangat
penting karena risiko yang dihadapi sangat besar (Gruening et, al, 2009).
Banyak lembaga keuangan yang sangat berfokus pada return yang tinggi
sehingga ada kemungkinan lembaga keuangan akan memilih instrumen berisiko
tinggi tanpa risk assessment yang memadai sehingga menyebabkan munculnya
asymmetric information yang besar dan sistem keuangan yang tidak stabil
(Morgan, 2002).
Penelitian ini akan membahas penerapan tata
kelola manajemen risiko (Governance of Risk Management) pada Bank
Mandiri berdasarkan pedoman yang berlaku, yakni Basel III dan POJK.
Landasan
Teori
Governance of Risk Management
Governance
of Risk Management atau dalam bahasa indonesia disebut sebagai tata
kelola manajemen risiko, merujuk pada struktur prinsip, proses, maupun praktik
yang digunakan untuk mengatur bagaimana perusahaan mengelola risiko yang dihadapi.
Sektor perbankan tidak terlepas dari aspek tata kelola (governance) yang
mengikat yang walaupun bukan suatu kewajiban namun secara global telah
disepakati untuk dijalankan karena merupakan aspek mendasar yang apabila
prinsip-prinsip tata kelola ini dijalankan maka akan berdampak baik pada
performa perusahaan tersebut secara menyeluruh karena telah memasukkan seluruh
aspek pengelolaan risiko yang dianggap perlu.
Governance of Risk Management (risk governance) belakangan menjadi
topik penelitian yang sedang �trend�, sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan
masalah risk governance setelah krisis keuangan global tahun 2008. Penelitian
yang dilakukan Hayati dan Ibrahim (2022) membahas mengenai pengaruh moderasi
intensitas persaingan di sektor perbankan serta bagaimana hal tersebut
mempengaruhi hubungan antara risk governance dengan performance bank terkait.
Pada
praktiknya, perangkat tata kelola dapat dijalankan melalui tiga komponen utama,
yaitu (1) struktur tata kelola; (2) mekanisme tata kelola; dan (3) prinsip tata
kelola (Hanggraeni,2015). �Governance
Structure atau struktur tata kelola merupakan seperangkat hubungan tanggungjawab
serta peran pada struktur organ utama dalam suatu perusahaan, dalam hal ini
adalah pemegang saham, dewan komisaris, direksi, manajer dan perusahaan
perbankan biasanya membentuk Komite Manajemen Risiko untuk memastikan
pengelolaan risiko berjalan dengan akuntabel. Struktur tata kelola ini membagi
peran tanggung jawab sehingga dapat menjalankan masing-masing tugasnya secara
professional, mandiri serta bebas dari conflict of interest. Dapat
dikatakan bahwa struktur tata kelola ini menjaga aspek akuntabilitas serta
independensi manajemen perusahaan agar fungsi manajemen risiko dapat berjalan
secara optimal.
Governance
Mechanism, atau mekanisme tata kelola dalam manajemen risiko adalah suatu tata
cara bagaimana mekanisme tata kelola risiko perusahaan tersebut dijalankan
dengan tujuan bahwa perusahaan harus bertanggung jawab untuk memenuhi harapan
para stakeholders (Najamuddin et al, 2022). Melalui governance
mechanism ini maka perusahaan berusaha untuk meminimalisir risiko yang akan
dihadapi di masa depan agar terhindar dari kegagalan bank maupun krisis yang
mungkin terjadi. Mekanisme tata kelola manajemen risiko ini biasanya melibatkan
proses (mekanisme) eksternal dan internal yang digunakan untuk menerapkan
kerangka tata kelola perusahaan. Mekanisme eksternal seperti pemegang saham (investors),
akuntan publik (audit eksternal), serta otoritas hukum atau regulator serta
Lembaga pengawasan mempengaruhi mekanisme tata kelola risiko perusahaan. Mekanisme
internal berkaitan dengan proses yang dipengaruhi dari internal perusahaan itu
sendiri seperti komisaris, direksi, komite audit internal, maupun komite
risiko. Adapun prinsip tata kelola yang secara umum berlaku terdiri dari
Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi, dan Fairness atau
Keadilan, yang sering disingkat dengan TARIF (Hanggraeni, 2015).
Regulasi
Sebagai
respon terhadap ketidakpastian kondisi keuangan dan kondisi pasar, oleh BCBS
maupun OJK telah disusun pedoman yang mengatur mengenai permodalan, likuiditas
dan pengawasan. Adapun pedoman tersebut dituangkan ke dalam kerangka berikut
ini:
1. Basel III
Standar Basel adalah sebuah kerangka
kerja peraturan perbankan internasional yang dikembangkan oleh The Basel
Committee on Banking Supervision (BCBS). Pada perkembangannya standar basel
ini mengalami beberapa kali perubahan sejak awal dikeluarkannya tahun 1988
(Basel I), tahun 2004 (Basel II), kemudian pada tahun 2010 (Basel III) sebagai
respon atas krisis keuangan global tahun 2008. Tujuan utama dari Standar Basel
adalah untuk meningkatkan kekuatan modal bank dan meningkatkan keseluruhan
stabilitas sistem keuangan internasional. Kerangka Basel ini dijadikan sebagai
salah satu acuan dalam perumusan POJK yang disesuaikan dengan kondisi di dalam
negeri.
Basel III memperkenalkan persyaratan
modal yang lebih ketat dan lebih komprehensif, dan juga memperkenalkan
persyaratan likuiditas baru dan lebih ketat bagi bank. Persyaratan modal Basel
III mengharuskan bank untuk mempertahankan modal inti yang lebih tinggi,
seperti saham biasa dan laba ditahan, dan memperkenalkan definisi baru untuk
instrumen modal Tier 1 dan Tier 2. Persyaratan modal ini juga memperkenalkan
rasio leverage yang membatasi jumlah hutang yang dapat digunakan oleh bank
untuk memaksimalkan keuntungan mereka. Selain persyaratan modal yang lebih
ketat, Basel III juga memperkenalkan persyaratan likuiditas baru yang lebih
ketat bagi bank. Ini termasuk persyaratan bahwa bank harus mempertahankan cadangan
likuiditas yang mencukupi untuk bertahan dalam kondisi pasar yang sulit dan
menetapkan batas waktu untuk mencapai tingkat likuiditas yang diharapkan.
Secara keseluruhan, Basel III dirancang untuk meningkatkan kekuatan dan
stabilitas sistem perbankan internasional, dan mengurangi risiko kebangkrutan
bank dan krisis keuangan global di masa depan.
2. Peraturan OJK No. 42/POJK.03/2015
tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage
Ratio) Bagi Bank Umum
Aturan ini diterbitkan untuk mendorong
perbankan memiliki dan meningkatkan kecukupan likuiditas yang memadahi dalam
rangka mengatasi kondisi krisis. Kecukupan Likuiditas tersebut dihitung dengan
menggunakan LCR, yang ditetapkan paling rendah 100% (seratuspersen) secara
berkelanjutan. OJK berwenang menetapkan LCR yang lebih tinggi dari kewajiban
pemenuhan LCR sebagaimana dimaksud POJK No. 42/POJK.03/2015 dalam hal Otoritas
Jasa Keuangan menilai suatu Bank membutuhkan likuiditas yang lebih besar.
3. Peraturan OJK No. 4/POJK.03/2016 tentang
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum
Penerbitan aturan dilakukan dalam
rangka penilaian kesehatan bank dengan pendekatan berbasis risiko yang kemudian
disesuaikan dengan penerapan pengawasan konsolidasi. Sejalan dengan POJK ini,
maka disusun SEOJK No 14/SEOJK.03/2017 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum sebagai petunjuk dalam pelaksanaan self-assessment
sesuai format yang telah ditentukan.
4.
Peraturan OJK No. 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
Dalam rangka
menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu berkembang serta memiliki
daya saing maka diperlukan penyediaan modal minimum sesuai profil risiko yang
berfungsi dalam mengatasi krisis yang mengganggu stabilitas keuangan.
5.
Peraturan OJK No 18/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen
Risiko Bagi Bank Umum
Peraturan
ini dibuat dengan pertimbangan semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan usaha
perbankan akan meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola yang baik (good governance) serta
fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko bank. Bank
perlu melakukan pengelolaan risiko termasuk dalam mengevaluasi dan memantau risiko
likuiditas secara berkala, serta melakukan simulasi dan stres testing untuk
mengukur kemampuan mereka dalam menghadapi situasi pasar yang sulit. Hal ini
dilakukan untuk memastikan bahwa bank mampu mengelola risiko likuiditas dengan
baik, sehingga dapat mengurangi risiko kebangkrutan dan krisis likuiditas pada
sistem keuangan.
6.
Peraturan OJK No. 55/POJK.03/2016 tanggal 9 Desember
2016 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum
Aturan ini menyebutkan
bahwa Tata Kelola yang baik adalah suatu tata cara pengelolaan Bank yang
menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability),
pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan
kewajaran (fairness).
7.
Surat Edaran OJK No. 20/SEOJK.03/2016 tentang Fitur
Konversi Menjadi Saham Biasa atau Write Down Terhadap Instrumen Modal Inti
Tambahan dan Modal Pelengkap
Surat edaran
ini setidaknya mengatur perihal modal bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia diharuskan
terdiri atas modal inti (Tier 1) yang
meliputi Common Equity Tier &
Additional Tier; dan modal pelengkap (Tier
2). Tier 2 antara lain meliputi
saham preferen yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen
lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain) secara kumulatif, instrumen hutang
atau investasi yang memiliki karakteristik modal bersifat subordinasi dan
bersifat kumulatif (cumulative
subordinated debt) dan
instrumen hutang atau investasi yang memiliki karakteristik seperti modal yang
secara otomatis tanpa persyaratan dapat dikonversi menjadi saham setelah
memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (mandatory convertible).
8. Surat Edaran OJK No. 12/SEOJK.03/2018 tentang
Penerapan Manajemen Risiko dan Pengukuran Risiko Pendekatan Standar untuk
Risiko Suku Bunga dalam Banking Book atau IRRBB (Interest Rate Risk in The Banking Book) bagi Bank Umum
IRRBB merupakan risiko yang ada saat
ini atau yang akan datang terhadap permodalan dan penghasilan bank yang timbul
dari pergerakan suku bunga yang mempengaruhi posisi banking book pada
bank. Apabila tingkat suku bunga berubah, present value dan timing dari
future cash flows mengalami perubahan. Hal ini pada saatnya akan
mengubah nilai bank yang berhubungan dengan aset, kewajiban dan rekening
administratif serta economic value. Perubahan tingkat suku bunga juga
mempengaruhi penghasilan bank dengan mengubah pendapatan dan biaya yang
sensitif terhadap suku bunga, yang akan mempengaruhi net interest income (NII).
IRRBB yang berlebihan dapat menimbulkan ancaman yang signifikan terhadap
current capital base dan/atau penghasilan di masa depan apabila tidak
dikelola dengan tepat.
Pedoman Penerapan Manajemen Risiko untuk IRRBB setidaknya
memuat:
a.
Selain penerapan manajemen risiko secara umum sebagaimana
tertuang dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko
bagi bank umum, bank harus menambahkan aspek pengelolaan risiko untuk IRRBB.
b.
Penilaian profil Risiko, yang mencakup penilaian terhadap
risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko dalam aktivitas
operasional bank. Dalam menilai profil risiko, bank juga memperhatikan cakupan
mekanisme penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan
OJK mengenai tingkat kesehatan bank.
Kebijakan Manajemen Risiko (KMR) Bank Mandiri
Bank Mandiri
secara proaktif menerapkan pengelolaan risiko untuk mencapai pertumbuhan
keuangan maupun operasional yang sehat dan berkelanjutan serta berkomitmen
dengan jalan menyusun kebijakan, proses, kompetensi, akuntabilitas, pelaporan
dan teknologi pendukung yang bertujuan agar pengelolaan risiko di dalam
organisasi berjalan efektif dan efisien. Tiga kerangka manajemen risiko yakni Risk
Oversight, Risk Policy and Management, dan Risk Identification,
Measurement�Mitigation, and Control didukung oleh Unit Kerja Audit dan Independent
Assurer sehingga menjamin efektivitas pelaksanaannya. Kebijakan Manajemen
Risiko Bank Mandiri dikembangkan berdasarkan empat pilar manajemen risiko
berikut:
a.
Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi.
Komisaris dan Direksi menjalankan fungsi risk oversight, dan risk policy,
sementara Executive Committee berperan pada Risk Management &
Credit Policy Committee, Asset and Liabilities Committee, Capital, and Subsidiaries
Committee, dan Integrated Risk Committee. Kebijakan Manajemen Risiko
Bank Mandiri juga secara rinci mengatur tugas dan tanggung jawab Komisaris,
Direksi dan satuan kerja dibawahnya terkait pengelolaan risiko.
b.
Kecukupan Kebijakan, Prosedur, dan Penetapan Limit.
Berkenaan dengan area bisnis yang lebih spesifik, Bank Mandiri memiliki
kebijakan dan prosedur pengelolaan risiko yang lebih khusus di bidang
perkreditan, treasury, operasional dan lainnya. Seluruh kebijakan dan
prosedur di Bank Mandiri merupakan bentuk pengelolaan risiko yang melekat pada
setiap aktivitas operasi perseroan yang dievaluasi dan di-update minimal
sekali dalam setahun.
c.
Kecukupan Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan,
dan Pengendalian Risiko, Serta Sistem Informasi Manajemen Risiko (ERM). Proses
Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian Risiko, serta Sistem
Informasi Manajemen Risiko dijalankan melalui kerangka kerja Enterprise Risk
Management (ERM).
d.
Sistem Pengendalian Intern (Internal Audit). Praktik
pengelolaan risiko yang efektif di seluruh unit kerja Bank Mandiri adalah
dengan menerapkan Three Line of Defense: 1) Unit Kerja sebagai risk
owner merupakan first line of defense yang bertanggungjawab terhadap
pengelolaan risiko unit kerjanya 2) Unit Risk Management berperan sebagai second
line of defense yang menjalankan fungsi oversight. 3) Unit Internal
Audit sebagai third line of defense yang menjalankan fungsi independent
assurance.
Metode Penelitian
Penelitian
menggunakan metode kualitatif untuk membandingkan antara kerangka Basel III, POJK,
dan SEOJK terhadap penerapannya di Bank Mandiri yang tercermin dari Kebijakan
Manajemen Risiko Bank Mandiri. Perbandingan tersebut kemudian dituangkan ke
dalam tabel analisis perbandingan. Untuk membatasi lingkup penulisan, perbandingan
hanya dipusatkan terhadap tiga komponen utama pada perbankan yaitu permodalan, likuiditas
dan pengawasan.
Hasil dan
Pembahasan
Pemodalan: Beberapa standar Basel III di
bidang perbankan telah diadopsi dalam peraturan Perbankan Indonesia. Capital
Loss Absorption at the Point of Non-Viability (PONV) merupakan salah satu
prinsip utama dalam standar Basel III yang mengacu pada kemampuan bank untuk
menyerap Capital Loss saat kondisi
kegagalan keuangan dimana sebuah bank dianggap tidak dapat mempertahankan operational
tanpa adanya intervensi dari pihak eksternal.�
PONV mengharuskan bank memiliki struktur modal yang dapat memenuhi Capital
Loss Absorption secara efektif, dengan tujuan untuk meminimalkan risiko
terhadap kestabilan sistem keuangan dan mencegah adanya beban pada pihak-pihak
eksternal, seperti pemerintah atau kontributor dana publik. Prinsip PONV
mengharapkan bank untuk untuk memiliki instrumen modal yang dapat dikonversi
menjadi ekuitas atau dikurangi nilainya (write-down) secara otomatis
saat bank mencapai posisi non-viability. Hal ini memberikan perlindungan
kepada pemegang instrumen modal dan mengurangi kebutuhan adanya bailout
oleh pemerintah atau intervensi dari pihak eksternal.
PONV
mensyaratkan beberapa hal yang harus dipenuhi pada penerapannya, diantaranya
ukuran bank, regulasi, tingkat modal, ketersediaan data dan informasi serta
persetujuan otoritas terkait. Sebagai salah satu BUMN di Indonesia, Bank
Mandiri tentunya dapat memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, kecuali pada
poin persetujuan otoritas terkait yang di luar kendali Bank Mandiri. Penerapan
prinsip PONV merupakan bagian penting dari upaya global untuk memperkuat
regulasi perbankan dan mengurangi risiko sistemik dalam industri keuangan.
Berbeda
dengan PONV, standar Common Equity Tier (CET) 1, Additional Tier (AT) 1, Tier 2
Capital Conservation Buffer (CCB), Countercyclical Buffer (CCyB), dan Capital Surcharge
untuk bank sistemik
telah diimplementasikan oleh Bank Mandiri. Hal tersebut sejalan dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 11/POJK.03/2016 tanggal 2 Februari 2016
tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, yang disempurnakan dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 34/POJK.03/2016 tentang Perubahan atas
POJK No. 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
Bank Mandiri
pada tahun 2022, telah memenuhi standar modal inti utama (CET 1) sebesar 18,55%
dari standar minimum yang ditetapkan Basel III
dan POJK sebesar 4,5% dari aset tertimbang menurut risiko (RWA), CCB sebesar
2,5% dan Capital Surcharge untuk Bank Sistemik sebesar 2,5%. selain itu buffer
dari modal inti utama sebesar 9,75%, dari standar minimum 2,5% dari RWA.
Ini menunjukkan bahwa Bank Mandiri telah memiliki instrumen modal
berkualitas tinggi yang lebih dari cukup untuk menyerap risiko yang disebabkan
kondisi krisis ataupun lonjakan pertumbuhan kredit.
Melihat
kondisi CET 1 saat ini, maka Bank Mandiri dapat dikatakan jauh dari risiko terganggu
dari kelangsungan usahanya (PONV). Dalam pengungkapan fitur instrumen
pemodalannya, Bank Mandiri telah menyiapkan fitur write down sesuai POJK dimana
instrumen modal pelengkapnya dapat diubah menjadi saham biasa melalui mekanisme
write down saat CET 1 nya lebih rendah atau sama dengan 5,125% dari RWA baik secara individu
maupun konsolidasi dengan entitas anak. Dengan mekanisme ini, maka dalam
kondisi CET 1 di batas bawah pun, Bank Mandiri masih memenuhi standar minimum
Basel III yang mensyaratkan CET 1 sebesar minimal 4,5% dari RWA.
Pada
kerangka kewajiban pemenuhan rasio
pendanaan stabil bersih (Net Stable Funding Ratio/NSFR),
Basel III dan POJK mensyaratkan minimum sebesar 100%, dan Bank Mandiri telah
melampaui batas minimum tersebut dengan persentase NSFR sebesar 121,60% di
Desember 2022. NSFR menjamin kemampuan bank untuk mengurangi risiko likuiditas
untuk jangka waktu yang cukup panjang dan memitigasi risiko kesulitan pendanaan
pada periode di masa depan.
Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan
Stabil Bersih (Net Stable Funding Ratio)
Mengacu pada
penerapan framework Basel III terkini
(Basel III reform) Perseroan akan
melakukan revisi standar risiko operasional terhadap beberapa elemen dari
rerangka sebelumnya untuk meningkatkan keandalan dan sensitivitas.
Menindaklanjuti hal tersebut, telah dilakukan Qualitative Impact Study
(QIS) berdasarkan Consultative Paper (CP) OJK dalam perhitungan modal
minimum untuk risiko operasional menggunakan pendekatan standar.
Sebagai
upaya meningkatkan pengelolaan risiko akibat pergerakan suku bunga yang
berpengaruh terhadap pendapatan dan permodalan (Interest Rate Risk in
Banking Book/IRRBB), Bank Mandiri telah melakukan penerapan Basel IV sesuai
dengan ketentuan OJK dalam SEOJK No. 12/SEOJK.03/2018 tentang Penerapan
Manajemen Risiko dan Pengukuran Risiko Pendekatan Standar untuk Risiko Suku
Bunga dalam Banking Book (Interest Rate Risk in the Banking Book)
bagi Bank Umum. Proses implementasi penerapan ketentuan IRRBB tersebut,
meliputi perbaikan atas sistem yang dimiliki, penyesuaian kebijakan internal,
review metodologi beserta limitnya, review asumsi dan model, serta pembuatan
tools konsolidasi untuk Entitas Anak. Hasil pengukuran IRRBB sesuai dengan
ketentuan telah dilaporkan secara triwulanan kepada OJK mulai Juni 2019.
Pada tahun
2021, IRRBB Bank Mandiri konsolidasi dengan anak perusahaannya, dengan metode
pengukuran pada nilai ekonomis dari ekuitas, yaitu sebesar 7,54% dan tahun 2022 turun
menjadi 6,78%, jauh dibawah standar 13% dari OJK untuk masuk kategori low
risk untuk risiko pasar, ini menunjukkan bahwa Bank Mandiri mampu menjaga
risiko suku bunga dari potensi pergerakan suku bunga saat ini maupun di saat
mendatang.
Likuiditas: POJK No. 42/POJK.03/2015 tentang
Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio)
Bagi Bank Umum sesuai standar LCR di Basel III.
Tabel 2
Minimum LCR
yang ditetapkan Basel III dan POJK
|
1 Januari
2015 |
1 Januari
2016 |
1 Januari
2017 |
1 Januari
2018 |
1 Januari
2019 |
|||||
Minimum
LCR |
60% |
70% |
80% |
90% |
100% |
|
||||
LCR adalah indikator likuiditas
jangka pendek dan NSFR merupakan perhitungan kebutuhan likuiditas jangka
panjang. Fungsinya dari keduanya adalah untuk menjaga kemampuan bank agar dapat
memenuhi kebutuhan likuditas dengan baik. Untuk menilai apakah suatu bank masih
sehat dan solid dapat dilihat dari cerminan rasio cakupan likuiditas yang
melimpah atau liquidity coverage ratio (LCR) dan kewajiban pemenuhan
rasio pendanaan stabil bersih atau Net Stable Funding Ratio (NSFR) yang
mencukupi. Tabel 1 menjelaskan adanya peningkatan LFR dari tahun ke tahun dalam
rangka meningkatkan stabilitas sektor perbankan. Peningkatan nilai LFR ini
menunjukkan komitmen untuk memperkuat likuiditas bank dan meningkatkan daya
tahan bank terhadap risiko likuiditas.
LFR dan NSFR merupakan hasil dari stress
test generik yaitu sebuah teknik pengujian yang digunakan untuk
mengevaluasi seberapa kuat suatu sistem atau organisasi dalam menghadapi
situasi ekstrim atau stress. Dalam konteks keuangan, stress test generik
digunakan untuk menguji seberapa tahan bank atau lembaga keuangan dalam
menghadapi kondisi pasar yang sulit atau tekanan ekonomi yang berat. Stress
test ini juga ditujukan agar perbankan dapat mengantisipasi terjadinya
risiko atas guncangan pasar dan memastikan bank memiliki perlindungan modal
yang sesuai, termasuk mengatasi potensi gangguan likuditas yang bersifat jangka
pendek dan mampu mengganggu pasar.
Tabel 2
Liquidity coverage ratio (LCR) dan Net
Stable Funding Ratio (NSFR) KBMI 4 Tahun 2022
Company |
LCR |
NSFR |
Bank Central Asia Tbk |
393.50% |
180.70% |
Bank Negara Indonesia Tbk |
219.00% |
164.10% |
Bank Rakyat Indonesia Tbk |
199.72% |
142.24% |
Bank Mandiri Tbk |
186.80% |
186.80% |
Sumber: CNBC Indonesia, 2023
�
Mengacu pada POJK Nomor
42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas Bagi
Bank Umum pada pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa Bank wajib memelihara kecukupan
likuiditas yang memadai. Selanjutnya dijelaskan pula pada ayat 4 bahwa LCR yang
memadai adalah minimum sebesar 100% secara berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa
bank besar dalam KBMI 4 yang tercantum pada Tabel 2 sudah memenuhi syarat
likuiditas yang memadai dengan LCR di atas 100%.
Selain itu, POJK No. 50
/POJK.03/2017 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan Stabil Bersih/Net
Stable Funding Ratio (NSFR) menyebutkan bahwa bank wajib memelihara
pendanaan stabil yang memadai dan ditetapkan paling rendah sebesar 100%. Berdasarkan
data yang tercantum pada Tabel 2, ketentuan tersebut pun sudah dipenuhi oleh
empat bank besar tersebut.
Namun, Bank Mandiri yang selama ini
dianggap sebagai representasi bank besar milik negara hanya berada di posisi
keempat di antara perusahaan-perusahaan KBMI 4. Meskipun secara regulasi
memenuhi, akan tetapi hal ini menjadi tantangan bagi Bank Mandiri karena
tertinggal sangat jauh dari Bank Central Asia (BCA). Hal ini juga dapat menjadi
warning bagi Bank Mandiri untuk terus berupaya meningkatkan rasio
kecukupan likuiditas agar dapat bersaing dengan perusahaan lainnya dan terus
tumbuh dengan sehat.
Apabila ditinjau dari aspek hukum,
berdasarkan Laporan Tahunan Bank Mandiri tahun 2022, tercatat sebanyak enam
kasus perdata yang secara signifikan mempengaruhi perseroan. Perkara tersebut telah
dilakukan proses penanganan oleh pihak pengadilan. Adapun risiko yang timbul
sebagai pengaruh terhadap kondisi perusahaan adalah berupa tuntutan ganti rugi materiil
hingga lebih dari Rp100.000.000.000,-. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya adanya
tuntutan hukum akan mendorong timbulnya risiko likuiditas sebagai konsekuensi
atas putusan pengadilan, baik berupa ganti rugi maupun hilangnya aset milik perusahaan.
Pengawasan: POJK No. 4/POJK.03/2016 Tentang
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum sejalan dengan Monitoring Tools
for Intraday Liquidity Management dalam Basel III. POJK ini mengatur
tentang penilaian tingkat kesehatan bank umum termasuk aspek pengelolaan risiko
likuiditas yang mencakup pengelolaan likuditas intraday dan bank diharapkan
mampu menggunakan alat pemantauan dan sistem yang efektif untuk memantau dan
mengelola likuiditas intraday mereka.
Likuiditas
intraday mengacu pada ketersediaan dana serta kemampuan untuk melunasi kewajiban
pembayaran dalam satu hari. Basel III menekankan pentingnya mengelola risiko likuiditas
intraday untuk memastikan stabilitas dan ketahanan sistem keuangan. Oleh
karena itu, sebuah bank diharuskan memiliki monitoring
tools yang cakap dalam mengelola posisi likuiditas
intraday bank tersebut. Monitoring tools ini diantaranya membantu
bank dalam memantau serta mengendalikan arus kas, kebutuhan pendanaan, dan
kewajiban pembayaran secara realtime. Selain itu, monitoring tools
yang cakap juga mampu memberikan visibilitas atas posisi likuiditas intraday dan
melakukan identifikasi atas kekurangan atau kelebihan likuiditas, termasuk
mengambil tindakan yang sesuai untuk mengelola risiko tersebut.
Berdasarkan
laporan tahunan 2022, Bank Mandiri telah melakukan self-assessment
profil risiko untuk melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan pendekatan
risiko (Risk-based Bank Rating) sebagaimana mengacu pada POJK no 4/POJK.03/2016
dan menggunakan lampiran pada SEOJK No 14/SEOJK.03/2017 sebagai petunjuk dalam
melakukan selfassessment. Bentuk pelaporan self-assessment yaitu menyampaikan
Laporan Hasil Penilaian Tingkat Kesehatan Bank, Penilaian Faktor Profil Risiko,
Penilaian
Analisis Risiko, Penilaian Faktor Tata Kelola, Penilaian Faktor Rentabilitas, dan
Penilaian Faktor Permodalan
Hasil self-assessment Bank Mandiri
secara individu per-31 Desember 2022 berada pada Peringkat Komposit 1 (PK-1).
Hal ini mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sangat sehat sehingga
dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan
kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya. Bank Mandiri telah memenuhi
standar yang ditetapkan di POJK karena tidak perlu menyampaikan rencana tindak
(action plan) kepada Otoritas Jasa Keuangan atas hasil self-assessment
karena yang perlu melaporkan tersebut adalah untuk bank yang memiliki peringkat
komposit 3-5 sesuai POJK No. 4/POJK.03/2016 pasal 13.
Kemudian dari sisi operasional, Bank
Mandiri tidak terlepas dari risiko terhadap bisnis mereka. Salah satu aspek
yang memberikan manfaat besar bagi perusahaan namun menyimpan risiko yang besar
pula yaitu dari aspek perkembangan teknologi informasi. Perkembangan penggunaan
teknologi informasi yang pesat dapat berdampak pada kegiatan operasional yang
lebih efisien. Hal tersebut juga meningkatkan risiko yang harus dihadapi Bank
Mandiri sehingga dalam hal ini perusahaan di-challenge untuk dapat
menerapkan manajemen risiko yang efektif untuk mengimbangi perkembangan
tersebut.
Bahwa sejalan dengan hal tersebut,
OJK telah mengeluarkan Peraturan No.38/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen
Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum. Salah satu poin
yang diangkat dalam peraturan tersebut adalah pentingnya pengawasan aktif dari
direksi dan dewan komisaris. Bank Mandiri sendiri dalam kebijakan manajemen
risiko mereka telah mencantumkan terkait tugas, tanggung jawab, dan wewenang
Direksi berkenaan dengan manajemen risiko antara lain memantau perkembangan
kondisi teknologi serta melakukan asesmen potensi dampak terhadap posisi dan
kinerja bank serta penyusunan Recovery Plan.
Pada tahun
2019, telah terjadi gangguan pada sistem Bank Mandiri yang menyebabkan 10%
nasabah mengalami kehilangan atau pertambahan saldo secara tiba-tiba. Kemudian
pada tahun 2022, terjadi gangguan sistem akibat lonjakan transaksi dan akses ke sistem
mobile banking Bank Mandiri. Pada tahun 2023, masih kembali terjadi
error pada system Bank Mandiri yaitu pada fitur Top Up E-Money mereka. Selanjutnya,
ada juga kasus yang sudah dibawa ke ranah hukum. Pada tahun 2021, telah terjadi
pembobolan dana rekening nasabah sebesar Rp5,8 milyar. Dana nasabah tertarik
tanpa sepengetahuan nasabah yang berakibat Bank Mandiri harus mengembalikan
dana tersebut atas keputusan pengadilan negeri. Berdasarkan laporan tahunan
2022, tindakan yang dilakukan manajemen Bank Mandiri yaitu mengajukan upaya
hukum Kasasi. Tidak dijelaskan upaya mitigasi risiko dari sisi teknologi informasi
untuk selanjutnya hal ini tidak terjadi dikemudian hari. Kejadian kebobolan
dana nasabah ini dapat mempengaruhi indikator kesehatan bank, seperti kualitas
aset dan risiko operasional.
Beberapa
kasus sebelumnya menjadi cerminan masih tingginya tingkat risiko yang dihadapi
oleh Bank Mandiri sendiri dari aspek
penggunaan Teknologi Informasi. Sehingga, masih perlu perbaikan dari sisi
kebijakan manajemen risiko untuk mengantisipasi perkembangan teknologi
informasi yang sanget pesat. Terakhir dari segi regulator dan pengawasan yaitu
OJK, dapat menggunakan kasus sebagai bagian dari evaluasi fundamental peraturan
yang dapat mengakomodir aspek teknologi informasi secara ketat agar
perkembangan tersebut dapat dimanfaatkan dengan efektif dan memberi manfaat
besar bagi perusahaan. �
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan,
berikut perbandingan kerangka pedoman pada Basel III, POJK, SEOJK terhadap
implementasi di Bank Mandiri dituangkan dalam tabel 3 di bawah ini:
Tabel 3
Evaluasi Implementasi Bank Mandiri sesuai Pedoman Basel III,
POJK, dan SEOJK
No |
Komponen |
Basel III |
OJK |
KMNR Bank Mandiri |
1 |
Pemodalan |
a. Common Equity Tier (CET) 1,
Additional Tier (AT) 1, Tier 2 b. Capital Conservation Buffer (CCB) c. Countercyclical Buffer (CCyB) |
POJK No. 11 tahun 2016 |
Sudah diterapkan dan memenuhi |
Pemodalan |
Capital Loss Absorption at the
Point of Non-Viability (PONV) |
SEOJK No. 20 tahun 2016 |
Sudah diterapkan |
|
|
|
Net Stable Funding Ratio (NSFR) |
POJK No. 50 tahun 2017 |
Sudah diterapkan dan memenuhi |
2 |
Likuiditas |
LCR (Liquidity Coverage Ratio) |
POJK No. 42 tahun 2015 |
Sudah diterapkan dan memenuhi |
3 |
Pengawasan |
Monitoring Tools for Intraday
Liquidity Management |
POJK No. 4 tahun 2016 dan SEOJK
No. 14 tahun 2017 |
Sudah diterapkan dan memenuhi |
Pengawasan |
Interest Rate Risk Exposure in
Banking Book (IRRBB) |
SEOJK No. 12 Tahun 2018 |
Sudah diterapkan dan masuk
kategori Low Risk |
Kesimpulan
Penerapan
regulasi dan kerangka risk governance seperti dari OJK dan
BCBS (Basel II, Basel III) serta pengawasan yang ketat dari regulator merupakan
upaya penguatan manajemen risiko di perbankan untuk memastikan industri
keuangan sehat dan mampu mengantisipasi risiko yang mungkin terjadi.
Berdasarkan
hasil analisis yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa: (1) Dari
sisi pemodalan, Bank Mandiri telah memiliki instrumen modal berkualitas tinggi yang lebih
dari cukup untuk menyerap risiko yang disebabkan kondisi krisis ataupun
lonjakan pertumbuhan kredit. Selain itu, Bank Mandiri juga mampu menjaga risiko
suku bunga dari potensi pergerakan suku bunga saat ini maupun di saat mendatang
berdasarkan IRRBB Bank Mandiri dan konsolidasi dengan anak perusahaannya. (2) Dari sisi kecukupan
likuiditas rasionya, Bank Mandiri sebagai representasi bank milik negara ternyata
tidak cukup besar bila dibandingkan perusahaan lainnya yang ada di KBMI 4 dan
hanya berada di posisi 4. Meskipun secara regulasi sudah mencukupi, namun rasio-rasio
tersebut menunjukan bahwa rasio likuditas Bank Mandiri masih berada di posisi
paling bawah. Artinya kemampuan Bank Mandiri memenuhi kewajiban keuangan jangka
pendeknya masih berada di bawah kemampuan bank lainnya di KBMI 4. Selain itu
juga rasio likuiditas yang tinggi juga dapat meningkatkan kepercayaan nasabah
dan investor. Dalam hal ini, bank dengan rasio likuiditas yang lebih baik
dibandingkan dengan pesaingnya dapat lebih kompetitif karena dapat memperoleh
sumber pendanaan dengan bunga yang lebih rendah, mengurangi risiko gagal bayar,
dan meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan peluang bisnis yang ada. (3) Dari
sisi pengawasan, kondisi Bank Mandiri secara umum sangat sehat sehingga dinilai
sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi
bisnis dan faktor eksternal lainnya. (4) Pemodalan, likuiditas dan pengawasan merupakan
tiga (3) aspek yang saling berkaitan serta memegang peran yang sangat penting
dalam manajemen risiko di Bank. Sehingga secara keseluruhan dalam konteks governance
of risk management, ketiga aspek ini saling mempengaruhi untuk memastikan
proses manajemen risiko berjalan efektif dengan kepatuhan terhadap regulasi
yang ada demi keberlanjutan bisnis Bank Mandiri maupun lembaga keuangan lain
secara umum.
BIBLIOGRAFI
Bank for International Settlements. (2011). Basel III:
A global regulatory framework for more resilient banks and banking systems.
Basel Committee on Banking Supervision.
Bank Mandiri. (2022). Kebijakan Manajemen Risiko PT
Bank Mandiri (Persero) Tbk.�
Bank Mandiri. (2022). Laporan Keuangan PT Bank Mandiri
(Persero) Tbk.�
Bank Mandiri. (2022). Laporan Tahunan 2022 PT Bank
Mandiri (Persero) Tbk.�
Bank Mandiri. (2023, Mei 7). Governance Process.
Bank Mandiri. (2023, Mei 7). Governance Outcome.
Bogle, J. C. (2008). Black Monday and Black Swans.
Financial Analysts Journal, 64(2), 30�40.
Baker, S. R., N. Bloom, S. J. Davis, K. J. Kost, M. C.
Sammon, and T. Viratyosin. 2020. The Unprecedented Stock Market Impact of
COVID-19. Working Paper 26945. National Bureau of Economic Research.
Crouhy, Michel., Dan Galai, Robert Mark. (2014). The
Essentials of Risk Management (2nd edition). McGraw-Hill Education.
Greuning, Hennie van, Sonja Brajovic Bratanovic
(2009). Analyzing Banking Risk: A Framework for Assessing Corporate Governance
and Risk Management (3rd edition). Washington DC: The World Bank.
Hanggraeni, Dewi. (2015). Manajemen Risiko Perusahaan
dan Good Corporate Governance: Pengujian Pentingnya Penerapan Enterprise Risk
Management terhadap Peningkatan Praktik GCG dan Kinerja Perusahaan, UI Press.
Hayati, M. Abbas, Haslindar Ibrahim, Sulaiman Tareq
Al-Abduljader. (2022). Risk Governance and Bank Performance: The Moderating
Role of Competitive Intensity on Kuwait Banks. Global. Business and Management
Research: An International Journal Vol. 14, No. 3s (2022)
Maria, S., Yudaruddin, R., & Azizil Yudaruddin, Y.
(2022). The impact of COVID-19 on Bank Stability: Do bank size and ownership
matter? Banks and Bank Systems.
Mentari, N.M., & Putri, U.T. (2020). Risk
Mitigation of Disease Pandemic in the Indonesian Banking Industry: In Response
to COVID-19. Lentera Hukum.
Morgan, Donald, P. (2002). Rating Banks: Risk and
Uncertainty in an Opaque Industry. American Economic Review, 92 (4): 874-888.
Najamuddin, Y., Laraswati, L., Arifin, J., Meidawati,
N., & Kholid, M. N. (2022). Corporate governance mechanism and
profitability: A special assessment on the board of commissioners and audit
committee. International Journal of Research in Business and Social Science
(2147- 4478), 11(4), 239�245.
Otoritas Jasa Keuangan. (2015). Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan No. 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan
Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio) Bagi Bank Umum. Jakarta: OJK.
Otoritas Jasa Keuangan. (2016). Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan No. 4/POJK.03/2016 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Jakarta: OJK.
Otoritas Jasa Keuangan. (2016). Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan No. 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank Umum. Jakarta: OJK.
Otoritas Jasa Keuangan. (2016). Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan No 18/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum. Jakarta: OJK.
Otoritas Jasa Keuangan. (2016). Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan No 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum.
Jakarta: OJK.
Otoritas Jasa Keuangan. (2016). Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan No. 20/SEOJK.03/2016 tentang Fitur Konversi Menjadi Saham Biasa
atau Write Down Terhadap Instrumen Modal Inti Tambahan dan Modal Pelengkap.
Jakarta: OJK.
Otoritas Jasa Keuangan. (2017). Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan No. 14/SEOJK.03/2017 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum. Jakarta: OJK.
Otoritas Jasa Keuangan. (2018). Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan No. 12/SEOJK.03/2018 tentang Penerapan Manajemen Risiko dan
Pengukuran Risiko Pendekatan Standar untuk Risiko Suku Bunga dalam Banking Book
(Interest Rate Risk in The Banking Book) bagi Bank Umum. Jakarta: OJK.
Permatasari, I. (2020). Does corporate governance
affect bank risk management? Case study of Indonesian banks. International
Trade, Politics and Development, 4(2), 127�139.
Copyright
holder: Mahardika
Dwi Jayanti, Rachim Chan, Teddy Maulana Putra, Muhammad Fikry Alfisyahrin,
Kresna Nurdianto, Paras Dita, Lintang Putri Enggaringtyas, Dewi Hanggraeni (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |