Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

GOVERNANCE OF RISK MANAGEMENT: STUDI KASUS DI BANK MANDIRI

 

Mahardika Dwi Jayanti, Rachim Chan, Teddy Maulana Putra, Muhammad Fikry Alfisyahrin, Kresna Nurdianto, Paras Dita, Lintang Putri Enggaringtyas, Dewi Hanggraeni
Magister Manajemen, Universitas Indonesia

Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia, Universitas Pertamina
Email: [email protected]

Abstrak

Sebagai upaya mengurangi risiko yang dihadapi sektor perbankan akibat dampak pandemi COVID-19, maka perlu adanya penerapan manajemen risiko yang berkiblat pada Basel III yang merupakan kerangka kerja peraturan perbankan internasional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis praktik tata kelola manajemen risiko secara spesifik di Bank Mandiri dengan metode kualitatif dengan membandingkan komponen permodalan, likuiditas dan pengawasan di Bank Mandiri dengan kerangka Basel III, POJK, dan SEOJK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bank Mandiri telah mengaplikasikan Basel III, POJK dan SEOJK sebagai acuan risk management govenance dengan cukup baik sehingga mampu memenuhi ekspektasi dan melebihi standar yang dipersyaratkan. Namun, Bank Mandiri masih perlu meningkatkan manajemen risikonya terutama pada komponen likuiditas dan pengawasan agar dapat semakin meningkatkan mitigasi atas risiko masa depan. Secara keseluruhan dalam konteks governance of risk management, aspek pemodalan, likuiditas dan pengawasan saling mempengaruhi untuk memastikan proses manajemen risiko berjalan efektif dengan kepatuhan terhadap regulasi yang ada demi keberlanjutan bisnis Bank Mandiri maupun lembaga keuangan secara umum.

 

Kata kunci: Manajemen Risiko, Tata Kelola, POJK, Standar Basel.

 

Abstract

In an effort to reduce the risks faced by the banking sector due to the impact of the COVID-19 pandemic, it is necessary to implement risk management oriented to Basel III, which is an international banking regulatory framework. This study aims to analyze specific risk management governance practices at Bank Mandiri with qualitative methods by comparing the capital, liquidity and supervision components at Bank Mandiri with the Basel III, POJK, and SEOJK frameworks. The results showed that Bank Mandiri had applied Basel III, POJK and SEOJK as a reference for risk management governance well enough to be able to meet expectations and exceed the required standards. However, Bank Mandiri still needs to improve its risk management, especially in the liquidity and supervision components in order to further improve mitigation of future risks. Overall, in the context of governance of risk management, aspects of capital, liquidity and supervision influence each other to ensure that the risk management process runs effectively with compliance with existing regulations for the sustainability of Bank Mandiri's business and financial institutions in general.

 

Keywords: Risk Management, Governance, POJK, Basel Standard.

 

Pendahuluan

Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020 sangat berpengaruh terhadap kinerja pasar modal di Indonesia. Baker et. al (2020) menyatakan bahwa tidak ada wabah penyakit─termasuk Spanish Flu─yang lebih memiliki pengaruh sangat besar terhadap kondisi pasar sebesar Covid-19. Pada saat itu, IHSG mengalami penurunan hingga ke titik paling rendahnya sejak tahun 2015 yaitu ke level 3.937,6 per tanggal 24 Maret 2020.Industri perbankan termasuk ke dalam industri yang terdampak Covid-19, tidak terkecuali bank dengan capital yang besar (Maria et. al, 2022).

Kejadian pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa hal apapun bisa terjadi dalam pasar. Selain itu, adanya perubahan terus-menerus pada struktur pasar dan pergerakannya dapat menyebabkan kemungkinan munculnya kondisi pasar yang tidak terduga (Bogle, 2008). Berkaca dari situasi ekonomi Indonesia pasca krisis pandemi (Post-Pandemic Crisis) hingga saat ini, maka mitigasi risiko pandemi yang responsif menjadi sangat penting untuk memperkuat fungsi intermediasi dan kinerja perbankan khususnya di masa pandemi (Mentari et. al, 2020) sebagai langkah antisipasi risiko di masa depan.

Pada praktik manajemen risiko perbankan, terdapat regulasi standar perbankan sebagai fundamental yang telah disepakati secara internasional yang sangat ketat terkait dengan operasional dan aturan perbankan yang dirumuskan oleh The Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) yaitu Standar Basel yang kemudian Indonesia sebagai negara anggota telah menerapkan aturan tersebut melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Bank Mandiri sebagai salah satu bank BUMN terbesar di Indonesia berupaya untuk mengimplentasikan pedoman yang tertuang pada Basel III dan POJK sebagai salah satu wujud tata kelola manajemen risiko yang baik karena menyadari pentingnya hal tersebut sebagai prinsip dasar yang harus dijalankan agar bisnis berjalan baik serta terhindar dari kegagalan perbankan akibat risiko yang tidak termitigasi. Di industri perbankan, corporate governance menjadi sangat penting karena risiko yang dihadapi sangat besar (Gruening et, al, 2009). Banyak lembaga keuangan yang sangat berfokus pada return yang tinggi sehingga ada kemungkinan lembaga keuangan akan memilih instrumen berisiko tinggi tanpa risk assessment yang memadai sehingga menyebabkan munculnya asymmetric information yang besar dan sistem keuangan yang tidak stabil (Morgan, 2002).

Penelitian ini akan membahas penerapan tata kelola manajemen risiko (Governance of Risk Management) pada Bank Mandiri berdasarkan pedoman yang berlaku, yakni Basel III dan POJK.

 

 

 

 

Landasan Teori

Governance of Risk Management

Governance of Risk Management atau dalam bahasa indonesia disebut sebagai tata kelola manajemen risiko, merujuk pada struktur prinsip, proses, maupun praktik yang digunakan untuk mengatur bagaimana perusahaan mengelola risiko yang dihadapi. Sektor perbankan tidak terlepas dari aspek tata kelola (governance) yang mengikat yang walaupun bukan suatu kewajiban namun secara global telah disepakati untuk dijalankan karena merupakan aspek mendasar yang apabila prinsip-prinsip tata kelola ini dijalankan maka akan berdampak baik pada performa perusahaan tersebut secara menyeluruh karena telah memasukkan seluruh aspek pengelolaan risiko yang dianggap perlu.

Governance of Risk Management (risk governance) belakangan menjadi topik penelitian yang sedang �trend�, sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan masalah risk governance setelah krisis keuangan global tahun 2008. Penelitian yang dilakukan Hayati dan Ibrahim (2022) membahas mengenai pengaruh moderasi intensitas persaingan di sektor perbankan serta bagaimana hal tersebut mempengaruhi hubungan antara risk governance dengan performance bank terkait.

Pada praktiknya, perangkat tata kelola dapat dijalankan melalui tiga komponen utama, yaitu (1) struktur tata kelola; (2) mekanisme tata kelola; dan (3) prinsip tata kelola (Hanggraeni,2015). Governance Structure atau struktur tata kelola merupakan seperangkat hubungan tanggungjawab serta peran pada struktur organ utama dalam suatu perusahaan, dalam hal ini adalah pemegang saham, dewan komisaris, direksi, manajer dan perusahaan perbankan biasanya membentuk Komite Manajemen Risiko untuk memastikan pengelolaan risiko berjalan dengan akuntabel. Struktur tata kelola ini membagi peran tanggung jawab sehingga dapat menjalankan masing-masing tugasnya secara professional, mandiri serta bebas dari conflict of interest. Dapat dikatakan bahwa struktur tata kelola ini menjaga aspek akuntabilitas serta independensi manajemen perusahaan agar fungsi manajemen risiko dapat berjalan secara optimal.

Governance Mechanism, atau mekanisme tata kelola dalam manajemen risiko adalah suatu tata cara bagaimana mekanisme tata kelola risiko perusahaan tersebut dijalankan dengan tujuan bahwa perusahaan harus bertanggung jawab untuk memenuhi harapan para stakeholders (Najamuddin et al, 2022). Melalui governance mechanism ini maka perusahaan berusaha untuk meminimalisir risiko yang akan dihadapi di masa depan agar terhindar dari kegagalan bank maupun krisis yang mungkin terjadi. Mekanisme tata kelola manajemen risiko ini biasanya melibatkan proses (mekanisme) eksternal dan internal yang digunakan untuk menerapkan kerangka tata kelola perusahaan. Mekanisme eksternal seperti pemegang saham (investors), akuntan publik (audit eksternal), serta otoritas hukum atau regulator serta Lembaga pengawasan mempengaruhi mekanisme tata kelola risiko perusahaan. Mekanisme internal berkaitan dengan proses yang dipengaruhi dari internal perusahaan itu sendiri seperti komisaris, direksi, komite audit internal, maupun komite risiko. Adapun prinsip tata kelola yang secara umum berlaku terdiri dari Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi, dan Fairness atau Keadilan, yang sering disingkat dengan TARIF (Hanggraeni, 2015).

Regulasi

Sebagai respon terhadap ketidakpastian kondisi keuangan dan kondisi pasar, oleh BCBS maupun OJK telah disusun pedoman yang mengatur mengenai permodalan, likuiditas dan pengawasan. Adapun pedoman tersebut dituangkan ke dalam kerangka berikut ini:

1.    Basel III

Standar Basel adalah sebuah kerangka kerja peraturan perbankan internasional yang dikembangkan oleh The Basel Committee on Banking Supervision (BCBS). Pada perkembangannya standar basel ini mengalami beberapa kali perubahan sejak awal dikeluarkannya tahun 1988 (Basel I), tahun 2004 (Basel II), kemudian pada tahun 2010 (Basel III) sebagai respon atas krisis keuangan global tahun 2008. Tujuan utama dari Standar Basel adalah untuk meningkatkan kekuatan modal bank dan meningkatkan keseluruhan stabilitas sistem keuangan internasional. Kerangka Basel ini dijadikan sebagai salah satu acuan dalam perumusan POJK yang disesuaikan dengan kondisi di dalam negeri.

Basel III memperkenalkan persyaratan modal yang lebih ketat dan lebih komprehensif, dan juga memperkenalkan persyaratan likuiditas baru dan lebih ketat bagi bank. Persyaratan modal Basel III mengharuskan bank untuk mempertahankan modal inti yang lebih tinggi, seperti saham biasa dan laba ditahan, dan memperkenalkan definisi baru untuk instrumen modal Tier 1 dan Tier 2. Persyaratan modal ini juga memperkenalkan rasio leverage yang membatasi jumlah hutang yang dapat digunakan oleh bank untuk memaksimalkan keuntungan mereka. Selain persyaratan modal yang lebih ketat, Basel III juga memperkenalkan persyaratan likuiditas baru yang lebih ketat bagi bank. Ini termasuk persyaratan bahwa bank harus mempertahankan cadangan likuiditas yang mencukupi untuk bertahan dalam kondisi pasar yang sulit dan menetapkan batas waktu untuk mencapai tingkat likuiditas yang diharapkan. Secara keseluruhan, Basel III dirancang untuk meningkatkan kekuatan dan stabilitas sistem perbankan internasional, dan mengurangi risiko kebangkrutan bank dan krisis keuangan global di masa depan.

2.    Peraturan OJK No. 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio) Bagi Bank Umum

Aturan ini diterbitkan untuk mendorong perbankan memiliki dan meningkatkan kecukupan likuiditas yang memadahi dalam rangka mengatasi kondisi krisis. Kecukupan Likuiditas tersebut dihitung dengan menggunakan LCR, yang ditetapkan paling rendah 100% (seratuspersen) secara berkelanjutan. OJK berwenang menetapkan LCR yang lebih tinggi dari kewajiban pemenuhan LCR sebagaimana dimaksud POJK No. 42/POJK.03/2015 dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai suatu Bank membutuhkan likuiditas yang lebih besar.

3.    Peraturan OJK No. 4/POJK.03/2016 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum

Penerbitan aturan dilakukan dalam rangka penilaian kesehatan bank dengan pendekatan berbasis risiko yang kemudian disesuaikan dengan penerapan pengawasan konsolidasi. Sejalan dengan POJK ini, maka disusun SEOJK No 14/SEOJK.03/2017 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum sebagai petunjuk dalam pelaksanaan self-assessment sesuai format yang telah ditentukan.

4.    Peraturan OJK No. 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum

Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu berkembang serta memiliki daya saing maka diperlukan penyediaan modal minimum sesuai profil risiko yang berfungsi dalam mengatasi krisis yang mengganggu stabilitas keuangan.

5.    Peraturan OJK No 18/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum

Peraturan ini dibuat dengan pertimbangan semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan usaha perbankan akan meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola yang baik (good governance) serta fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko bank. Bank perlu melakukan pengelolaan risiko termasuk dalam mengevaluasi dan memantau risiko likuiditas secara berkala, serta melakukan simulasi dan stres testing untuk mengukur kemampuan mereka dalam menghadapi situasi pasar yang sulit. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa bank mampu mengelola risiko likuiditas dengan baik, sehingga dapat mengurangi risiko kebangkrutan dan krisis likuiditas pada sistem keuangan.

6.    Peraturan OJK No. 55/POJK.03/2016 tanggal 9 Desember 2016 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum

Aturan ini menyebutkan bahwa Tata Kelola yang baik adalah suatu tata cara pengelolaan Bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).

7.    Surat Edaran OJK No. 20/SEOJK.03/2016 tentang Fitur Konversi Menjadi Saham Biasa atau Write Down Terhadap Instrumen Modal Inti Tambahan dan Modal Pelengkap

Surat edaran ini setidaknya mengatur perihal modal bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia diharuskan terdiri atas modal inti (Tier 1) yang meliputi Common Equity Tier & Additional Tier; dan modal pelengkap (Tier 2). Tier 2 antara lain meliputi saham preferen yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain) secara kumulatif, instrumen hutang atau investasi yang memiliki karakteristik modal bersifat subordinasi dan bersifat kumulatif (cumulative subordinated debt) dan instrumen hutang atau investasi yang memiliki karakteristik seperti modal yang secara otomatis tanpa persyaratan dapat dikonversi menjadi saham setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (mandatory convertible).

8.    Surat Edaran OJK No. 12/SEOJK.03/2018 tentang Penerapan Manajemen Risiko dan Pengukuran Risiko Pendekatan Standar untuk Risiko Suku Bunga dalam Banking Book atau IRRBB (Interest Rate Risk in The Banking Book) bagi Bank Umum

IRRBB merupakan risiko yang ada saat ini atau yang akan datang terhadap permodalan dan penghasilan bank yang timbul dari pergerakan suku bunga yang mempengaruhi posisi banking book pada bank. Apabila tingkat suku bunga berubah, present value dan timing dari future cash flows mengalami perubahan. Hal ini pada saatnya akan mengubah nilai bank yang berhubungan dengan aset, kewajiban dan rekening administratif serta economic value. Perubahan tingkat suku bunga juga mempengaruhi penghasilan bank dengan mengubah pendapatan dan biaya yang sensitif terhadap suku bunga, yang akan mempengaruhi net interest income (NII). IRRBB yang berlebihan dapat menimbulkan ancaman yang signifikan terhadap current capital base dan/atau penghasilan di masa depan apabila tidak dikelola dengan tepat.

Pedoman Penerapan Manajemen Risiko untuk IRRBB setidaknya memuat:

a.         Selain penerapan manajemen risiko secara umum sebagaimana tertuang dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum, bank harus menambahkan aspek pengelolaan risiko untuk IRRBB.

b.        Penilaian profil Risiko, yang mencakup penilaian terhadap risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko dalam aktivitas operasional bank. Dalam menilai profil risiko, bank juga memperhatikan cakupan mekanisme penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan OJK mengenai tingkat kesehatan bank.

 

Kebijakan Manajemen Risiko (KMR) Bank Mandiri

Bank Mandiri secara proaktif menerapkan pengelolaan risiko untuk mencapai pertumbuhan keuangan maupun operasional yang sehat dan berkelanjutan serta berkomitmen dengan jalan menyusun kebijakan, proses, kompetensi, akuntabilitas, pelaporan dan teknologi pendukung yang bertujuan agar pengelolaan risiko di dalam organisasi berjalan efektif dan efisien. Tiga kerangka manajemen risiko yakni Risk Oversight, Risk Policy and Management, dan Risk Identification, Measurement�Mitigation, and Control didukung oleh Unit Kerja Audit dan Independent Assurer sehingga menjamin efektivitas pelaksanaannya. Kebijakan Manajemen Risiko Bank Mandiri dikembangkan berdasarkan empat pilar manajemen risiko berikut:

a.       Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi. Komisaris dan Direksi menjalankan fungsi risk oversight, dan risk policy, sementara Executive Committee berperan pada Risk Management & Credit Policy Committee, Asset and Liabilities Committee, Capital, and Subsidiaries Committee, dan Integrated Risk Committee. Kebijakan Manajemen Risiko Bank Mandiri juga secara rinci mengatur tugas dan tanggung jawab Komisaris, Direksi dan satuan kerja dibawahnya terkait pengelolaan risiko.

b.      Kecukupan Kebijakan, Prosedur, dan Penetapan Limit. Berkenaan dengan area bisnis yang lebih spesifik, Bank Mandiri memiliki kebijakan dan prosedur pengelolaan risiko yang lebih khusus di bidang perkreditan, treasury, operasional dan lainnya. Seluruh kebijakan dan prosedur di Bank Mandiri merupakan bentuk pengelolaan risiko yang melekat pada setiap aktivitas operasi perseroan yang dievaluasi dan di-update minimal sekali dalam setahun.

c.       Kecukupan Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian Risiko, Serta Sistem Informasi Manajemen Risiko (ERM). Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian Risiko, serta Sistem Informasi Manajemen Risiko dijalankan melalui kerangka kerja Enterprise Risk Management (ERM).

d.      Sistem Pengendalian Intern (Internal Audit). Praktik pengelolaan risiko yang efektif di seluruh unit kerja Bank Mandiri adalah dengan menerapkan Three Line of Defense: 1) Unit Kerja sebagai risk owner merupakan first line of defense yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan risiko unit kerjanya 2) Unit Risk Management berperan sebagai second line of defense yang menjalankan fungsi oversight. 3) Unit Internal Audit sebagai third line of defense yang menjalankan fungsi independent assurance.

 

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan metode kualitatif untuk membandingkan antara kerangka Basel III, POJK, dan SEOJK terhadap penerapannya di Bank Mandiri yang tercermin dari Kebijakan Manajemen Risiko Bank Mandiri. Perbandingan tersebut kemudian dituangkan ke dalam tabel analisis perbandingan. Untuk membatasi lingkup penulisan, perbandingan hanya dipusatkan terhadap tiga komponen utama pada perbankan yaitu permodalan, likuiditas dan pengawasan.

 

Hasil dan Pembahasan

Pemodalan: Beberapa standar Basel III di bidang perbankan telah diadopsi dalam peraturan Perbankan Indonesia. Capital Loss Absorption at the Point of Non-Viability (PONV) merupakan salah satu prinsip utama dalam standar Basel III yang mengacu pada kemampuan bank untuk menyerap Capital Loss saat kondisi kegagalan keuangan dimana sebuah bank dianggap tidak dapat mempertahankan operational tanpa adanya intervensi dari pihak eksternal.PONV mengharuskan bank memiliki struktur modal yang dapat memenuhi Capital Loss Absorption secara efektif, dengan tujuan untuk meminimalkan risiko terhadap kestabilan sistem keuangan dan mencegah adanya beban pada pihak-pihak eksternal, seperti pemerintah atau kontributor dana publik. Prinsip PONV mengharapkan bank untuk untuk memiliki instrumen modal yang dapat dikonversi menjadi ekuitas atau dikurangi nilainya (write-down) secara otomatis saat bank mencapai posisi non-viability. Hal ini memberikan perlindungan kepada pemegang instrumen modal dan mengurangi kebutuhan adanya bailout oleh pemerintah atau intervensi dari pihak eksternal.

PONV mensyaratkan beberapa hal yang harus dipenuhi pada penerapannya, diantaranya ukuran bank, regulasi, tingkat modal, ketersediaan data dan informasi serta persetujuan otoritas terkait. Sebagai salah satu BUMN di Indonesia, Bank Mandiri tentunya dapat memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, kecuali pada poin persetujuan otoritas terkait yang di luar kendali Bank Mandiri. Penerapan prinsip PONV merupakan bagian penting dari upaya global untuk memperkuat regulasi perbankan dan mengurangi risiko sistemik dalam industri keuangan.

Berbeda dengan PONV, standar Common Equity Tier (CET) 1, Additional Tier (AT) 1, Tier 2 Capital Conservation Buffer (CCB), Countercyclical Buffer (CCyB), dan Capital Surcharge untuk bank sistemik telah diimplementasikan oleh Bank Mandiri. Hal tersebut sejalan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 11/POJK.03/2016 tanggal 2 Februari 2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, yang disempurnakan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 34/POJK.03/2016 tentang Perubahan atas POJK No. 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.

Bank Mandiri pada tahun 2022, telah memenuhi standar modal inti utama (CET 1) sebesar 18,55% dari standar minimum yang ditetapkan Basel III dan POJK sebesar 4,5% dari aset tertimbang menurut risiko (RWA), CCB sebesar 2,5% dan Capital Surcharge untuk Bank Sistemik sebesar 2,5%. selain itu buffer dari modal inti utama sebesar 9,75%, dari standar minimum 2,5% dari RWA. Ini menunjukkan bahwa Bank Mandiri telah memiliki instrumen modal berkualitas tinggi yang lebih dari cukup untuk menyerap risiko yang disebabkan kondisi krisis ataupun lonjakan pertumbuhan kredit.

Melihat kondisi CET 1 saat ini, maka Bank Mandiri dapat dikatakan jauh dari risiko terganggu dari kelangsungan usahanya (PONV). Dalam pengungkapan fitur instrumen pemodalannya, Bank Mandiri telah menyiapkan fitur write down sesuai POJK dimana instrumen modal pelengkapnya dapat diubah menjadi saham biasa melalui mekanisme write down saat CET 1 nya lebih rendah atau sama dengan 5,125% dari RWA baik secara individu maupun konsolidasi dengan entitas anak. Dengan mekanisme ini, maka dalam kondisi CET 1 di batas bawah pun, Bank Mandiri masih memenuhi standar minimum Basel III yang mensyaratkan CET 1 sebesar minimal 4,5% dari RWA.

Pada kerangka kewajiban pemenuhan rasio pendanaan stabil bersih (Net Stable Funding Ratio/NSFR), Basel III dan POJK mensyaratkan minimum sebesar 100%, dan Bank Mandiri telah melampaui batas minimum tersebut dengan persentase NSFR sebesar 121,60% di Desember 2022. NSFR menjamin kemampuan bank untuk mengurangi risiko likuiditas untuk jangka waktu yang cukup panjang dan memitigasi risiko kesulitan pendanaan pada periode di masa depan.

Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net Stable Funding Ratio)

Mengacu pada penerapan framework Basel III terkini (Basel III reform) Perseroan akan melakukan revisi standar risiko operasional terhadap beberapa elemen dari rerangka sebelumnya untuk meningkatkan keandalan dan sensitivitas. Menindaklanjuti hal tersebut, telah dilakukan Qualitative Impact Study (QIS) berdasarkan Consultative Paper (CP) OJK dalam perhitungan modal minimum untuk risiko operasional menggunakan pendekatan standar.

Sebagai upaya meningkatkan pengelolaan risiko akibat pergerakan suku bunga yang berpengaruh terhadap pendapatan dan permodalan (Interest Rate Risk in Banking Book/IRRBB), Bank Mandiri telah melakukan penerapan Basel IV sesuai dengan ketentuan OJK dalam SEOJK No. 12/SEOJK.03/2018 tentang Penerapan Manajemen Risiko dan Pengukuran Risiko Pendekatan Standar untuk Risiko Suku Bunga dalam Banking Book (Interest Rate Risk in the Banking Book) bagi Bank Umum. Proses implementasi penerapan ketentuan IRRBB tersebut, meliputi perbaikan atas sistem yang dimiliki, penyesuaian kebijakan internal, review metodologi beserta limitnya, review asumsi dan model, serta pembuatan tools konsolidasi untuk Entitas Anak. Hasil pengukuran IRRBB sesuai dengan ketentuan telah dilaporkan secara triwulanan kepada OJK mulai Juni 2019.

Pada tahun 2021, IRRBB Bank Mandiri konsolidasi dengan anak perusahaannya, dengan metode pengukuran pada nilai ekonomis dari ekuitas, yaitu sebesar 7,54% dan tahun 2022 turun menjadi 6,78%, jauh dibawah standar 13% dari OJK untuk masuk kategori low risk untuk risiko pasar, ini menunjukkan bahwa Bank Mandiri mampu menjaga risiko suku bunga dari potensi pergerakan suku bunga saat ini maupun di saat mendatang.

Likuiditas: POJK No. 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio) Bagi Bank Umum sesuai standar LCR di Basel III.

 

Tabel 2

Minimum LCR yang ditetapkan Basel III dan POJK

 

1 Januari 2015

1 Januari 2016

1 Januari 2017

1 Januari 2018

1 Januari 2019

Minimum LCR

60%

70%

80%

90%

100%

 

 

LCR adalah indikator likuiditas jangka pendek dan NSFR merupakan perhitungan kebutuhan likuiditas jangka panjang. Fungsinya dari keduanya adalah untuk menjaga kemampuan bank agar dapat memenuhi kebutuhan likuditas dengan baik. Untuk menilai apakah suatu bank masih sehat dan solid dapat dilihat dari cerminan rasio cakupan likuiditas yang melimpah atau liquidity coverage ratio (LCR) dan kewajiban pemenuhan rasio pendanaan stabil bersih atau Net Stable Funding Ratio (NSFR) yang mencukupi. Tabel 1 menjelaskan adanya peningkatan LFR dari tahun ke tahun dalam rangka meningkatkan stabilitas sektor perbankan. Peningkatan nilai LFR ini menunjukkan komitmen untuk memperkuat likuiditas bank dan meningkatkan daya tahan bank terhadap risiko likuiditas.

LFR dan NSFR merupakan hasil dari stress test generik yaitu sebuah teknik pengujian yang digunakan untuk mengevaluasi seberapa kuat suatu sistem atau organisasi dalam menghadapi situasi ekstrim atau stress. Dalam konteks keuangan, stress test generik digunakan untuk menguji seberapa tahan bank atau lembaga keuangan dalam menghadapi kondisi pasar yang sulit atau tekanan ekonomi yang berat. Stress test ini juga ditujukan agar perbankan dapat mengantisipasi terjadinya risiko atas guncangan pasar dan memastikan bank memiliki perlindungan modal yang sesuai, termasuk mengatasi potensi gangguan likuditas yang bersifat jangka pendek dan mampu mengganggu pasar.

 

Tabel 2

Liquidity coverage ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) KBMI 4 Tahun 2022

Company

LCR

NSFR

Bank Central Asia Tbk

393.50%

180.70%

Bank Negara Indonesia Tbk

219.00%

164.10%

Bank Rakyat Indonesia Tbk

199.72%

142.24%

Bank Mandiri Tbk

186.80%

186.80%

Sumber: CNBC Indonesia, 2023

Mengacu pada POJK Nomor 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas Bagi Bank Umum pada pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa Bank wajib memelihara kecukupan likuiditas yang memadai. Selanjutnya dijelaskan pula pada ayat 4 bahwa LCR yang memadai adalah minimum sebesar 100% secara berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa bank besar dalam KBMI 4 yang tercantum pada Tabel 2 sudah memenuhi syarat likuiditas yang memadai dengan LCR di atas 100%.

Selain itu, POJK No. 50 /POJK.03/2017 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan Stabil Bersih/Net Stable Funding Ratio (NSFR) menyebutkan bahwa bank wajib memelihara pendanaan stabil yang memadai dan ditetapkan paling rendah sebesar 100%. Berdasarkan data yang tercantum pada Tabel 2, ketentuan tersebut pun sudah dipenuhi oleh empat bank besar tersebut.

Namun, Bank Mandiri yang selama ini dianggap sebagai representasi bank besar milik negara hanya berada di posisi keempat di antara perusahaan-perusahaan KBMI 4. Meskipun secara regulasi memenuhi, akan tetapi hal ini menjadi tantangan bagi Bank Mandiri karena tertinggal sangat jauh dari Bank Central Asia (BCA). Hal ini juga dapat menjadi warning bagi Bank Mandiri untuk terus berupaya meningkatkan rasio kecukupan likuiditas agar dapat bersaing dengan perusahaan lainnya dan terus tumbuh dengan sehat.

Apabila ditinjau dari aspek hukum, berdasarkan Laporan Tahunan Bank Mandiri tahun 2022, tercatat sebanyak enam kasus perdata yang secara signifikan mempengaruhi perseroan. Perkara tersebut telah dilakukan proses penanganan oleh pihak pengadilan. Adapun risiko yang timbul sebagai pengaruh terhadap kondisi perusahaan adalah berupa tuntutan ganti rugi materiil hingga lebih dari Rp100.000.000.000,-. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya adanya tuntutan hukum akan mendorong timbulnya risiko likuiditas sebagai konsekuensi atas putusan pengadilan, baik berupa ganti rugi maupun hilangnya aset milik perusahaan.

Pengawasan: POJK No. 4/POJK.03/2016 Tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum sejalan dengan Monitoring Tools for Intraday Liquidity Management dalam Basel III. POJK ini mengatur tentang penilaian tingkat kesehatan bank umum termasuk aspek pengelolaan risiko likuiditas yang mencakup pengelolaan likuditas intraday dan bank diharapkan mampu menggunakan alat pemantauan dan sistem yang efektif untuk memantau dan mengelola likuiditas intraday mereka.

Likuiditas intraday mengacu pada ketersediaan dana serta kemampuan untuk melunasi kewajiban pembayaran dalam satu hari. Basel III menekankan pentingnya mengelola risiko likuiditas intraday untuk memastikan stabilitas dan ketahanan sistem keuangan. Oleh karena itu, sebuah bank diharuskan memiliki monitoring tools yang cakap dalam mengelola posisi likuiditas intraday bank tersebut. Monitoring tools ini diantaranya membantu bank dalam memantau serta mengendalikan arus kas, kebutuhan pendanaan, dan kewajiban pembayaran secara realtime. Selain itu, monitoring tools yang cakap juga mampu memberikan visibilitas atas posisi likuiditas intraday dan melakukan identifikasi atas kekurangan atau kelebihan likuiditas, termasuk mengambil tindakan yang sesuai untuk mengelola risiko tersebut.

Berdasarkan laporan tahunan 2022, Bank Mandiri telah melakukan self-assessment profil risiko untuk melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan pendekatan risiko (Risk-based Bank Rating) sebagaimana mengacu pada POJK no 4/POJK.03/2016 dan menggunakan lampiran pada SEOJK No 14/SEOJK.03/2017 sebagai petunjuk dalam melakukan selfassessment. Bentuk pelaporan self-assessment yaitu menyampaikan Laporan Hasil Penilaian Tingkat Kesehatan Bank, Penilaian Faktor Profil Risiko, Penilaian Analisis Risiko, Penilaian Faktor Tata Kelola, Penilaian Faktor Rentabilitas, dan Penilaian Faktor Permodalan

Hasil self-assessment Bank Mandiri secara individu per-31 Desember 2022 berada pada Peringkat Komposit 1 (PK-1). Hal ini mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sangat sehat sehingga dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya. Bank Mandiri telah memenuhi standar yang ditetapkan di POJK karena tidak perlu menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada Otoritas Jasa Keuangan atas hasil self-assessment karena yang perlu melaporkan tersebut adalah untuk bank yang memiliki peringkat komposit 3-5 sesuai POJK No. 4/POJK.03/2016 pasal 13.

Kemudian dari sisi operasional, Bank Mandiri tidak terlepas dari risiko terhadap bisnis mereka. Salah satu aspek yang memberikan manfaat besar bagi perusahaan namun menyimpan risiko yang besar pula yaitu dari aspek perkembangan teknologi informasi. Perkembangan penggunaan teknologi informasi yang pesat dapat berdampak pada kegiatan operasional yang lebih efisien. Hal tersebut juga meningkatkan risiko yang harus dihadapi Bank Mandiri sehingga dalam hal ini perusahaan di-challenge untuk dapat menerapkan manajemen risiko yang efektif untuk mengimbangi perkembangan tersebut.

Bahwa sejalan dengan hal tersebut, OJK telah mengeluarkan Peraturan No.38/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum. Salah satu poin yang diangkat dalam peraturan tersebut adalah pentingnya pengawasan aktif dari direksi dan dewan komisaris. Bank Mandiri sendiri dalam kebijakan manajemen risiko mereka telah mencantumkan terkait tugas, tanggung jawab, dan wewenang Direksi berkenaan dengan manajemen risiko antara lain memantau perkembangan kondisi teknologi serta melakukan asesmen potensi dampak terhadap posisi dan kinerja bank serta penyusunan Recovery Plan.

Pada tahun 2019, telah terjadi gangguan pada sistem Bank Mandiri yang menyebabkan 10% nasabah mengalami kehilangan atau pertambahan saldo secara tiba-tiba. Kemudian pada tahun 2022, terjadi gangguan sistem akibat lonjakan transaksi dan akses ke sistem mobile banking Bank Mandiri. Pada tahun 2023, masih kembali terjadi error pada system Bank Mandiri yaitu pada fitur Top Up E-Money mereka. Selanjutnya, ada juga kasus yang sudah dibawa ke ranah hukum. Pada tahun 2021, telah terjadi pembobolan dana rekening nasabah sebesar Rp5,8 milyar. Dana nasabah tertarik tanpa sepengetahuan nasabah yang berakibat Bank Mandiri harus mengembalikan dana tersebut atas keputusan pengadilan negeri. Berdasarkan laporan tahunan 2022, tindakan yang dilakukan manajemen Bank Mandiri yaitu mengajukan upaya hukum Kasasi. Tidak dijelaskan upaya mitigasi risiko dari sisi teknologi informasi untuk selanjutnya hal ini tidak terjadi dikemudian hari. Kejadian kebobolan dana nasabah ini dapat mempengaruhi indikator kesehatan bank, seperti kualitas aset dan risiko operasional.

Beberapa kasus sebelumnya menjadi cerminan masih tingginya tingkat risiko yang dihadapi oleh Bank Mandiri sendiri dari aspek penggunaan Teknologi Informasi. Sehingga, masih perlu perbaikan dari sisi kebijakan manajemen risiko untuk mengantisipasi perkembangan teknologi informasi yang sanget pesat. Terakhir dari segi regulator dan pengawasan yaitu OJK, dapat menggunakan kasus sebagai bagian dari evaluasi fundamental peraturan yang dapat mengakomodir aspek teknologi informasi secara ketat agar perkembangan tersebut dapat dimanfaatkan dengan efektif dan memberi manfaat besar bagi perusahaan.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, berikut perbandingan kerangka pedoman pada Basel III, POJK, SEOJK terhadap implementasi di Bank Mandiri dituangkan dalam tabel 3 di bawah ini:

 

Tabel 3

Evaluasi Implementasi Bank Mandiri sesuai Pedoman Basel III, POJK, dan SEOJK

No

Komponen

Basel III

OJK

KMNR Bank Mandiri

1

Pemodalan

a. Common Equity Tier (CET) 1, Additional Tier (AT) 1, Tier 2

b. Capital Conservation Buffer (CCB)

c. Countercyclical Buffer (CCyB)

POJK No. 11 tahun 2016

Sudah diterapkan dan memenuhi

Pemodalan

Capital Loss Absorption at the Point of Non-Viability (PONV)

SEOJK No. 20 tahun 2016

Sudah diterapkan

 

 

Net Stable Funding Ratio (NSFR)

POJK No. 50 tahun 2017

Sudah diterapkan dan memenuhi

2

Likuiditas

LCR (Liquidity Coverage Ratio)

POJK No. 42 tahun 2015

Sudah diterapkan dan memenuhi

3

 

Pengawasan

Monitoring Tools for Intraday Liquidity Management

POJK No. 4 tahun 2016 dan SEOJK No. 14 tahun 2017

Sudah diterapkan dan memenuhi

Pengawasan

Interest Rate Risk Exposure in Banking Book (IRRBB)

 

SEOJK No. 12 Tahun 2018

Sudah diterapkan dan masuk kategori Low Risk

 

Kesimpulan

Penerapan regulasi dan kerangka risk governance seperti dari OJK dan BCBS (Basel II, Basel III) serta pengawasan yang ketat dari regulator merupakan upaya penguatan manajemen risiko di perbankan untuk memastikan industri keuangan sehat dan mampu mengantisipasi risiko yang mungkin terjadi.

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa: (1) Dari sisi pemodalan, Bank Mandiri telah memiliki instrumen modal berkualitas tinggi yang lebih dari cukup untuk menyerap risiko yang disebabkan kondisi krisis ataupun lonjakan pertumbuhan kredit. Selain itu, Bank Mandiri juga mampu menjaga risiko suku bunga dari potensi pergerakan suku bunga saat ini maupun di saat mendatang berdasarkan IRRBB Bank Mandiri dan konsolidasi dengan anak perusahaannya. (2) Dari sisi kecukupan likuiditas rasionya, Bank Mandiri sebagai representasi bank milik negara ternyata tidak cukup besar bila dibandingkan perusahaan lainnya yang ada di KBMI 4 dan hanya berada di posisi 4. Meskipun secara regulasi sudah mencukupi, namun rasio-rasio tersebut menunjukan bahwa rasio likuditas Bank Mandiri masih berada di posisi paling bawah. Artinya kemampuan Bank Mandiri memenuhi kewajiban keuangan jangka pendeknya masih berada di bawah kemampuan bank lainnya di KBMI 4. Selain itu juga rasio likuiditas yang tinggi juga dapat meningkatkan kepercayaan nasabah dan investor. Dalam hal ini, bank dengan rasio likuiditas yang lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya dapat lebih kompetitif karena dapat memperoleh sumber pendanaan dengan bunga yang lebih rendah, mengurangi risiko gagal bayar, dan meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan peluang bisnis yang ada. (3) Dari sisi pengawasan, kondisi Bank Mandiri secara umum sangat sehat sehingga dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya. (4) Pemodalan, likuiditas dan pengawasan merupakan tiga (3) aspek yang saling berkaitan serta memegang peran yang sangat penting dalam manajemen risiko di Bank. Sehingga secara keseluruhan dalam konteks governance of risk management, ketiga aspek ini saling mempengaruhi untuk memastikan proses manajemen risiko berjalan efektif dengan kepatuhan terhadap regulasi yang ada demi keberlanjutan bisnis Bank Mandiri maupun lembaga keuangan lain secara umum.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Bank for International Settlements. (2011). Basel III: A global regulatory framework for more resilient banks and banking systems. Basel Committee on Banking Supervision.

 

Bank Mandiri. (2022). Kebijakan Manajemen Risiko PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

 

Bank Mandiri. (2022). Laporan Keuangan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

 

Bank Mandiri. (2022). Laporan Tahunan 2022 PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

 

Bank Mandiri. (2023, Mei 7). Governance Process.

 

Bank Mandiri. (2023, Mei 7). Governance Outcome.

 

Bogle, J. C. (2008). Black Monday and Black Swans. Financial Analysts Journal, 64(2), 30�40.

 

Baker, S. R., N. Bloom, S. J. Davis, K. J. Kost, M. C. Sammon, and T. Viratyosin. 2020. The Unprecedented Stock Market Impact of COVID-19. Working Paper 26945. National Bureau of Economic Research.

 

Crouhy, Michel., Dan Galai, Robert Mark. (2014). The Essentials of Risk Management (2nd edition). McGraw-Hill Education.

 

Greuning, Hennie van, Sonja Brajovic Bratanovic (2009). Analyzing Banking Risk: A Framework for Assessing Corporate Governance and Risk Management (3rd edition). Washington DC: The World Bank.

 

Hanggraeni, Dewi. (2015). Manajemen Risiko Perusahaan dan Good Corporate Governance: Pengujian Pentingnya Penerapan Enterprise Risk Management terhadap Peningkatan Praktik GCG dan Kinerja Perusahaan, UI Press.

 

Hayati, M. Abbas, Haslindar Ibrahim, Sulaiman Tareq Al-Abduljader. (2022). Risk Governance and Bank Performance: The Moderating Role of Competitive Intensity on Kuwait Banks. Global. Business and Management Research: An International Journal Vol. 14, No. 3s (2022)

 

Maria, S., Yudaruddin, R., & Azizil Yudaruddin, Y. (2022). The impact of COVID-19 on Bank Stability: Do bank size and ownership matter? Banks and Bank Systems.

 

Mentari, N.M., & Putri, U.T. (2020). Risk Mitigation of Disease Pandemic in the Indonesian Banking Industry: In Response to COVID-19. Lentera Hukum.

 

Morgan, Donald, P. (2002). Rating Banks: Risk and Uncertainty in an Opaque Industry. American Economic Review, 92 (4): 874-888.

 

Najamuddin, Y., Laraswati, L., Arifin, J., Meidawati, N., & Kholid, M. N. (2022). Corporate governance mechanism and profitability: A special assessment on the board of commissioners and audit committee. International Journal of Research in Business and Social Science (2147- 4478), 11(4), 239�245.

 

Otoritas Jasa Keuangan. (2015). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio) Bagi Bank Umum. Jakarta: OJK.

 

Otoritas Jasa Keuangan. (2016). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 4/POJK.03/2016 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Jakarta: OJK.

 

Otoritas Jasa Keuangan. (2016). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Jakarta: OJK.

 

Otoritas Jasa Keuangan. (2016). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 18/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Jakarta: OJK.

 

Otoritas Jasa Keuangan. (2016). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum. Jakarta: OJK.

 

Otoritas Jasa Keuangan. (2016). Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 20/SEOJK.03/2016 tentang Fitur Konversi Menjadi Saham Biasa atau Write Down Terhadap Instrumen Modal Inti Tambahan dan Modal Pelengkap. Jakarta: OJK.

 

Otoritas Jasa Keuangan. (2017). Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 14/SEOJK.03/2017 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Jakarta: OJK.

 

Otoritas Jasa Keuangan. (2018). Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 12/SEOJK.03/2018 tentang Penerapan Manajemen Risiko dan Pengukuran Risiko Pendekatan Standar untuk Risiko Suku Bunga dalam Banking Book (Interest Rate Risk in The Banking Book) bagi Bank Umum. Jakarta: OJK.

 

Permatasari, I. (2020). Does corporate governance affect bank risk management? Case study of Indonesian banks. International Trade, Politics and Development, 4(2), 127�139.

Copyright holder:

Mahardika Dwi Jayanti, Rachim Chan, Teddy Maulana Putra, Muhammad Fikry Alfisyahrin, Kresna Nurdianto, Paras Dita, Lintang Putri Enggaringtyas, Dewi Hanggraeni (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: