Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 11, November 2022
KAWIN BEDA AGAMA, BAGAIMANA?
Agnia Rahmah, Mohamad Fajri Mekka Putra
Program Magister Kenotariatan, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Setiap agama memiliki peraturan masing
masing bagi umat yang meyakini untuk keberlangsungan dalam menjalani
kehidupannya. Ajaran agama merupakan suatu pondasi yang kokoh dan mempunyai
hubungan erat dengan suatu perkawinan. Perkembangan masyarakat Indonesia yang
dinamis dewasa ini menjadikan suatu hukum perkawinan bukanlah suatu hambatan
untuk melakukan perkawinan yang semakin beragam, misalnya perkawinan beda agama
sulit untuk dihindari. Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, peneliti
melakukan penelitian mengenai perkawinan beda agama yang akan dilengkapi dengan
adanya peran notaris dalam mengurusi hal keperdataan sebagai implikasi dari
adanya suatu perkawinan beda agama. Penelitian hukum ini menggunakan bentuk
penelitian yuridis normatif, dimana terdapat sudut pandang dari sisi peraturan
perundang-undangan dan disisi lain terdapat suatu realita terhadap peraturan
yang berlaku di masyarakat. Hasil penelitian menunjukan bahwa perkawinan beda
agama ini tidak sah menurut masing masing agama, sehingga dapat kita simpulkan
dengan tegas bahwa perkawinan ini tidak sah menurut UU Perkawinan. Menurut
hukum islam pun tidak diperbolehkan perkawinan antara seorang lelaki dan
seorang wanita yang berbeda keyakinan. Fenomena perkawinan beda agama ini bukan
berarti suatu hal yang harus kita dukung. Namun hal tersebut seharusnya kita
arahkan agar kuantitasnya berkurang hingga tidak dilakukan kembali oleh
masyarakat, sehingga suatu perkawinan dapat berlangsung sesuai dengan keyakinan
masing masing dan juga sesuai dengan peraturan negara. Kehadiran anak hasil
perkawinan tersebut tidak berarti dapat dijadikan alasan untuk memperbolehkan
keabsahan dalam suatu perkawinan beda agama.
Kata kunci: Perkawinan Beda Agama; UU
Perkawinan; Kompilasi Hukum Islam.
Abstract
Every religion has its own regulations for people who believe in
sustainability in living their lives. The religion is a solid foundation and
has a very close relationship with a marriage. Dynamic society of
Indonesian� recently, makes a marriage
law not an obstacle to carrying out a diverse marriages, for example interfaith
marriages are difficult to avoid. Based on the things that have been described
above, the authors conducted research on interfaith marriages which
complemented by the role of a notary in dealing with civil matters as an implication
in the existence of an interfaith marriage. This research used the form of
normative juridical research, where there was a point of view from the side of
laws and regulations and on the other hand there was a reality of the
regulations that apply in daily society. The results showed that interfaith
marriages were not legal according to each religion, so we could conclude
emphatically that this marriage �was not
legal according to the Marriage Law. According to Islamic law, marriage between
a man and a woman whose beliefs were different was not permitted. The phenomena
of interfaith marriage did not mean that we had to support it. However, we
should direct this so that the quantity decreased and it was not repeated by
the community, so that a marriage could take place in accordance with each
other's beliefs and also in accordance with state regulations. The presence of
children from the marriage did not mean that it culd be used as a reason to
allow validity in an interfaith marriage.
Keywords: Interfaith Marriage; Marriage Law; Compilation of Islamic Law.
Pendahuluan
Pandangan terhadap suatu agama yang
dianut oleh manusia seharusnya dianggap menjadi suatu unsur kehidupan pada
setiap manusia yang menempati level tingkat tertinggi. Hal ini disebabkan agama
mempunyai suatu peranan sebagai urgensi moral pada hukum sebagai pemberi arah
atau dapat menjadi suatu titik yang dapat dianut oleh setiap hidup manusia
supaya tidak beralih arah. Agama dalam hal ini mempunyai peran dalam hidup
manusia sebagai pemberi cahaya yang dapat memberikan suatu kejelasan dalam hal
yang benar dan yang buruk, serta sebagai penuntun arah dalam melakukan suatu
perbuatan di kehidupan dunia ini. Adanya suatu pemahaman terhadap agama adalah
pemahaman keyakinan kita sebagai manusia terhadap sesuatu yang diciptakan oleh
Tuhan. Setiap agama memiliki peraturannya masing masing bagi umat nya yang
meyakininya untuk keberlangsungan menjalani kehidupannya. Ajaran dari agama
merupakan suatu pondasi yang kokoh yang mempunyai hubungan erat dengan suatu
perkawinan (Judiasih
et al., 2020).
Setiap agama mengatur aspek perkawinan
untuk menjalankan suatu kehidupan berumah tangga. Dimana Perkawinan ini
diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan dalam hubungannya
sebagai suami dan isteri (Poerwadarminta,
2002). Di Indonesia, berlakunya hukum
perkawinan nasional sebagai aturan pokok. Aturan hukum perkawinan ini merupakan
suatu unifikasi hukum terhadap perkawinan dalam keadaan masyarakat Indonesia
yang memiliki golongan golongan yang berbeda. Adanya Undang Undang Perkawinan
diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) yang
menjelaskan dalam pasalnya mengenai adanya hubungan erat perkawinan dengan
agama atau kepercayaan. Hal ini memberikan suatu arti bahwa perkawinan tidak
hanya mengenai unsur lahir atau� jasmani
saja melainnya adanya unsur� rohani
atau� batin yang memegang peran penting
dalam perkawinan (Adji,
1989).
Perkawinan di Indonesia ini merupakan
salah satu bagian dari hak asasi manusia yang dijamin keberadaannya oleh Pasal
28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Negara
Indonesia yang mempunyai pilar ideologis yaitu Pancasila yang merupakan suatu
roh yang berprinsipkan adanya kebebasan dalam menjalankan suatu ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing ini mendorong keadaan masyarakatnya
untuk memeluk suatu agama yang diyakininya. Pancasila menempatkan ajaran
ketuhanan Yang Maha Esa diatas segalanya. Adanya sila pertama �Ketuhanan Yang
Maha Esa� ini merupakan integral pancasila yang berkedudukan sebagai dasar
negara. Terdapat 6 (enam) agama di negara Indonesia ini yaitu Islam, Kristen
Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu (Marta,
2018).
Dengan adanya keberagaman pada
masyarakat Indonesia yang majemuk ini, sangat mungkin terjadi adanya
konsekuensi yang logis dimana perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang
memiliki agama atau keyakinan yang berbeda. Adanya konstitusi bangsa Indonesia
dalam Pasal 29 UUD 1945 yang dijadikan suatu raga dari adanya pancasila sebagai
roh-nya, menyebutkan bahwa adanya perlindungan, penjaminan, pembinaan dan
pengarahan kehidupan beragama oleh negara tergantung pada kepercayaan yang
diyakininya ini merupakan generalisasi dari hadirnya Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan. Dalam pasal tersebut, penyebutan bahwa adanya suatu perkawinan yang
dilakukan dengan sah jika dalam pelaksanaan perkawinan tersebut dilakukan
berdasarkan hukum dari masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Adanya suatu
diksi �hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya� dalam Pasal 2 ayat (1)
UU Perkawinan ini mempunyai maksud bahwa pada Negara Indonesia, setiap warga
negaranya diwajibkan untuk melaksanakan suatu perkawinan melalui suatu lembaga
agama yang dipercayanya dan patuh pada aturan perkawinan agamanya tersebut.
Adanya sangkut paut masalah perkawinan sebagai perbuatan yang sakral ini
mempunyai hubungan erat sekali dengan agama. Hal ini menandakan adanya suatu
perbedaan dalam pelaksanaan hukum perkawinan ini akan mempengaruhi cara hidup
kekeluargaan, kekerabatan, dan kekaryaan seseorang dalam kehidupan masyarakat.
Dalam hal ini berarti perkawinan memang dianggap mutlak harus dilaksanakan
dengan hukum masing masing agama dan kepercayaannya (Saleh,
1976). Jika hal ini dilanggar, hal ini akan
memunculkan suatu implikasi pada status perkawinannya secara hukum negara
dengan segala akibat hukumnya.
Dinamisnya perkembangan masyarakat
Indonesia dewasa ini menjadikan suatu hukum perkawinan di negara Indonesia
bukanlah menjadi suatu hambatan untuk dilakukannya perkawinan yang semakin
beragam, perkawinan beda agama ini tentu saja tidak dapat dihindari saat ini (Wanodyo
Sulistyani & MH, 2017). Dengan mulai banyaknya fakta
fenomena perkawinan beda agama yang kian hari kian banyak dilakukan jumlahnya
saat ini dilakukan oleh masyarakat, dengan berbagai cara tentu didukung oleh
adanya globalisasi dan penggunaan teknologi canggih yang digunakan oleh seluruh
masyarakat saat ini. Perkawinan lintas agama ini memang menjadi polemik yang
cukup kontroversial dalam masyarakat, apalagi pada negara yang masyarakatnya
mempunyai berbagai macam agama yang berbeda. Dimana hal ini dapat saja
menimbulkan akibat-akibat hukum yang akan menjadi suatu permasalahan baru.
Berdasarkan hal yang telah diuraikan, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai perkawinan beda agama yang akan dilengkapi dengan adanya
peran notaris dalam mengurusi hal keperdataan sebagai implikasi dari adanya
suatu perkawinan beda agama.
Metode
Penelitian
Peneliti akan menguraikan mengenai
metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini. Bentuk
penelitian hukum yang dipakai dalam penelitian ini adalah bentuk penelitian
yuridis normatif dimana adanya suatu sudut pandang dari sisi peraturan perundang-undangan
dengan suatu realita terhadap peraturan yang berlaku di masyarakat (Abdul
Kadir Muhammad, 2012). Adanya pendekatan dilakukan dalam
bentuk usaha mencari kebenaran dengan melihat asas-asas yang dapat dilihat
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Analisa pada norma hukum yang
dilakukan bertujuan dalam rangka menemukan suatu kebenaran berdasarkan logika
keilmuan dari sisi normatifnya (Ibrahim,
2005). Dalam bentuk penelitian yuridis
normatif, adanya penelahaan secara khusus meneliti asas-asas hukum dan
mengadakan sistematisasi terhadap bahan sumber hukum tertulis (Mamudji
et al., 2005).
Yuridis normatif yaitu bentuk metode
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan
sekunder (Muchtar,
2015). Dalam tulisan ini, peneliti
menggunakan sifat eksplanatoris, dimana penelitian ini memperkuat atau menguji
keadaan hukum yang sudah ada, sehingga dapat menyempurnakan dan memberikan
masukan baru dalam penerapan teori atau norma hukum. Pengumpulan data penelitian
dilakukan dengan studi pustaka yang dilakukan terhadap buku, peraturan dan
dokumen-dokumen tertulis. Metode analisis data yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif merupakan suatu
metode analisis data yang dinyatakan dalam bentuk non-numerik. Dalam hal ini
metode penelitian lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam
terhadap suatu masalah dari pada melihat permasalahan untuk penelitian
generalisasi, dengan menggunakan teknik analisis mendalam yaitu mengkaji
masalah. Metode analisis kualitatif ini akan dilakukan terhadap bahan-bahan
hukum terkait dan hasil dari analisis dengan metode penelitian ini akan
menghasilkan suatu penelitian yang berbentuk deskriptif analitis.
Hasil dan
Pembahasan
Bagaimanakah perkawinan beda agama diatur di Indonesia?
Perkawinan merupakan suatu pelaksanaan
kehidupan bersama dengan harus dipenuhinya syarat syarat tertentu yang
dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Hal tersebut merupakan
pengertian perkawinan yang disebutkan oleh Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro.
Selain itu, adanya penambahan pengertian menurut Prof. Subekti yang menyebutkan
bahwa perkawinan merupakan adanya suatu pertalian yang sah diantara lelaki dan
wanita dengan harapan untuk waktu yang lama (Togatorop,
2023). Paul Scholten meyakini bahwa adanya
hubungan yang abadi diantara lelaki dan wanita ini haruslah diakui oleh suatu
negara (Dakhi,
2019).
Negara Indonesia mempunyai suatu
ideologi bagi warga negaranya dalam kebebasan menjalankan suatu ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing yang mendorong keadaan warga
negaranya untuk memeluk suatu agama yang diyakininya (Faridah,
2018). Indonesia mengakui adanya 6 (enam)
agama, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Adanya sangkut paut masalah perkawinan sebagai perbuatan yang sakral ini
mempunyai hubungan erat sekali dengan agama. Hal ini menandakan adanya suatu
perbedaan dalam pelaksanaan hukum perkawinan ini akan mempengaruhi cara hidup
kekeluargaan, kekerabatan, dan kekaryaan seseorang dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Rusli dan R.Tama yang
menyebutkan bahwa suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita antar agama yang berbeda, dapat menyebabkan tersangkutnya dua peraturan
yang berbeda mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai
dengan hukum agamanya masing-masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Amri,
2020). Dari pengertian yang dikatakan Rusli
dan R.Tama ini menjelaskan adanya perkawinan yang dilakukan bertujuan dalam membentuk
suatu kebahagiaan dari keluarga yang dibina, namun adanya suatu perbedaan
sistem hukum antara suami dan isteri akan membuat tujuan tersebut dirasa sukar
untuk direalisasikan. Adapun pengertian selanjutnya mengenai perkawinan beda
agama merupakan adanya perkawinan yang dilakukan antara orang yang berbeda
agama dan masing masing dari mereka tetap mempertahankan agama yang dianutnya.
Hal ini disebutkan oleh O.S. Eoh (OS,
1996). Untuk itu selanjutnya dalam hal ini peneliti
ingin memberikan suatu sudut pandang pengaturan perkawinan menurut hukum yang
mengatur suatu perkawinan di Indonesia.
Dahulu perkawinan beda agama ini
diatur oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yaitu dalam Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau peraturan tentang
Perkawinan Campuran yang dimuat dalam Staatsblad 1898 Nomor 158 pada Pasal
1,2,6,7 Ayat (2), dan 10 (Setiarini,
2021). Dalam uraian yang disebutkan pada
GHR mengenai Peraturan tentang Perkawinan Campuran ini merupakan perkawinan
antara seorang lelaki dan seorang wanita dimana masing masing dari mereka ini
tunduk pada hukum yang berbeda. Adanya pasangan tersebut yang merealisasikan
perkawinan beda agama terlindungi dan terjamin kepastian hukum. Sehingga adanya
pengakuan dari negara oleh hukum negara walaupun memang menurut hukum agama
tidak mengesahkan perlakuan tersebut. Berbeda dengan setelah berlakunya UU
Perkawinan. Perkawinan menurut UU Perkawinan. Dalam Pasal 1 UU Perkawinan,
perkawinan memiliki pengertian sebagai suatu ikatan lahir batin yang memiliki
suatu tujuan membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita
dalam hal sebagai suami istri. Perkawinan ini menjadi suatu peristiwa hukum
yang penting dalam suatu kehidupan manusia karena itu adanya suatu hukum yang
mengatur mengenai pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang
selama mungkin (Hanifah,
2019). Dalam hal ini, perkawinan
dimaksudkan dilakukan untuk seumur hidup (Badruzaman,
2020). Adanya diksi ikatan lahir batin
dalam pengertian perkawinan tersebut menjelaskan bahwa hubungan yang dibina
oleh suami isteri ini bukanlah semata mata hanya ikatan biasa, melainkan
keduanya harus mempunyai suatu ikatan batin yang memperkokoh fondasi dalam
membangun rumah tangga bahagia dan kekal (Sudirman
et al., 2021).
Penjelasan lanjutan mengenai
perkawinan ini tertulis dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing
dan kepercayannya. Adanya keanekaragaman agama di Indonesia yang mengatur
mengenai perkawinan yang dikehendaki oleh setiap agama serta memiliki peraturan
tentang perkawinannya itu sendiri. Erat hubungannya dengan aspek keagamaan ini
memperlihatkan agama dijadikan suatu pondasi yang kokoh dalam menjalankan suatu
kehidupan berumah tangga (Judiasih
et al., 2020). Namun dalam hal ini, UU Perkawinan
pada prinsipnya tidaklah secara gamblang mengatur suatu perkawinan berbeda
agama. Jika dilihat dari adanya makna Pasal 2 UU Perkawinan yang menjelaskan
bahwa perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Hal perkawinan dalam UU
Perkawinan ini diserahkan kepada hukum masing-masing agamanya. Yang berarti
dalam adanya setiap perkawinan yang dilaksanakan ini haruslah menurut hukum
masing masing agamanya dan kepercayaannya yang akan dianggap mempunyai kekuatan
hukum jika syarat ketentuan perkawinan yang dilakukan tersebut dicatatkan menurut
perundang-undangan yang berlaku. Fakta bahwa perkawinan beda agama ini telah
banyak dilakukan tidak bisa dijadikan suatu pembenaran, karena hal tersebut
menimbulkan akibat hukum mengenai ketidakjelasan pada status legalitas
perkawinan yang dilakukan.
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang
menjelaskan bahwa perkawinan yang dilakukan ini dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, serta adanya Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 Tentang
Perkawinan yang menjelaskan lebih lanjut dalam hal pencatatan perkawinan yaitu
mengenai dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam
dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Disebutkan pula
pencatatan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan
kepercayaannya selain agama islam dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan
pada kantor catatan sipil. Dapat kita lihat dalam aturan yang telah diatur
negara, pencatatan ini menjadi sangat perlu dilakukan guna memenuhi kewajiban
administratif pemerintah serta dapat terjamin keabsahannya. Dapat kita lihat
dari adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencatatan
perkawinan memberikan suatu penjelasan pada perkawinan beda agama yang
dilakukan ini membuat adanya suatu perbedaan pada pegawai yang berwenang untuk
mencatat perkawinan yang dilakukan.
Perkawinan yang dilakukan antara orang
yang memeluk lain agama dianggap batal demi hukum atau yang dapat kita sebut
dengan adanya null and void. Hal ini
berarti perkawinan beda agama yang dilakukan dapat dianggap tidak pernah ada
perkawinan atau never existed. Hal
ini dapat kita lihat dalam putusan MA, 29 Maret 1994, No. 1634 K/Pdt/1994 yang
menjelaskan mengenai adanya suatu penerobosan dan pelonggaran pada Pasal 66 UU
Perkawinan yang dirasa tanpa memperhatikan adanya Comon Basic Idea� yang ada
pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang mengakibatkan adanya suatu peruntuhan
tatanan kehidupan dalam bermasyarakat dan beragama ditinjau dari Pancasila dan
Pasal 29 UUD 1945. Adanya suatu pelonggaran dalam hal ini adalah masih
menggunakan adanya hal hal liberalistik yang sudah berbeda dengan adanya
landasan umum cita-cita hukum perkawinan dan dengan adanya landasan filosofis
dalam UU Perkawinan. Dari adanya penjabaran hal diatas tersebut, dapat kita
lihat adanya perkawinan beda agama tidaklah pula memenuhi prinsip hukum mengenai perkawinan yang termuat dalam UU Perkawinan
ini antara lain adalah asas selektivitas dan asas legalitas. Asas selektivitas
yang merumuskan beberapa larangan pada suatu perkawinan mengenai dengan siapa
seseorang boleh melakukan perkawinan dan dengan siapa pula dia dilarang tidak
boleh melakukan perkawinan seperti yang diatur dalam UU Perkawinan, yang tidak
memperbolehkan perkawinan dilakukan oleh warga negara yang berbeda keyakinan.
Selain itu adanya asas legalitas yang menyebutkan� dimana pada setiap perkawinan yang dilakukan
ini wajib dicatat oleh petugas (pejabat) yang berwenang. UU Perkawinan
mengamanatkan arti penting dari adanya pencatatan pada setiap perkawinan yang
dilakukan. Pencatatan perkawinan ini berfungsi sebagai tertib administrasi dan
perlindungan hukum bagi warga negara yang nantinya akan mempermudah para pihak
terkait dalam melakukan atau menghadap suatu permasalahan di kemudian hari
menurut pelaksanaan UU Perkawinan.
����������� Jika
kita mencoba memahami dan mencoba mendalami adanya Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan kita dapat melihat bahwa sebenarnya tidaklah tepat juga jika kita
mengatakan perkawinan yang dilakukan antara calon mempelai yang berlainan agama
belum sama sekali diatur . Jika kita menyimpulkan bahwa adanya kekosongan
hukum, hal ini dapatlah kita bantah dengan adanya Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan. Adanya pengaturan setiap pemeluk agama yang ada di Indonesia ini
mempunyai masing-masing hukum agama yang mengatur keabsahan perkawinan. Dalam
hal ini masing-masing memiliki nilai dan syaratnya. Adanya masing masing hukum
agama ini sangatlah melekat pada setiap individunya dimana hal ini pun
mengandung perbedaan yang fundamental dan tidak mungkin untuk dilakukan
terjadinya penetralan. Sehingga dari sudut pandang UU Perkawinan, perkawinan
beda agama ini bukan hanya tidak sah karena tidak memenuhi aturan agama yang
diamanatkan oleh pasal 2 ayat (1), namun juga karena perkawinan beda agama
tidak dapat tercatat. Artinya perkawinan beda agama ini tidak sah. Namun adanya
Pasal 35 huruf a jo. Penjelasan Pasal 35 UU No 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan (Selanjutnya disebut dengan UU Adminduk) menyebutkan
bahwa adanya perkawinan beda agama dapat ditetapkan oleh pengadilan, atas dasar
dari adanya penetapan pengadilan tersebut pencatatan menurut UU Adminduk dapat
dilakukan. Adanya Pasal 35 huruf a jo. Penjelasan Pasal 35 UU Adminduk ini
telah mengatur adanya pencatatan bagi perkawinan beda agama yang dilakukan.
Adanya syarat dan prosedur dalam perkawinan ini harus dilangsungkan seperti
yang telah ditentukan oleh undang-undang, begitu pula mengenai aturan dan tata
cara hukum masing masing agama. Dua hal ini tidak boleh dikesamping, dua hal
ini haruslah berjalan beriringan dan selaras menurut UU Perkawinan. Terhadap
pernyataan tersebut, adanya pemberian pencatatan bagi orang yang melaksanakan
perkawinan beda agama menurut UU Adminduk ini bukan menjadi suatu pembenaran
atas adanya perkawinan beda agama yang dilakukan. Adanya Perkawinan beda agama
ini tetap tidak sah menurut masing masing agama, maka dapat kita simpulkan
dengan tegas tidak sah pula menurut UU Perkawinan.�
Lalu selanjutnya, untuk masyarakat
Indonesia ini, menurut Prof Hazairin yang pernah berpendapat bahwa adanya UU
Perkawinan ini masih dirasa belum cukup untuk diimplementasikan oleh masyarakat
Indonesia yang berkeyakinan agama islam (Barnawy,
2017). Harus adanya suatu kompilasi yang
mengatur lebih detail, sehingga atas adanya cetusan tersebut lahirlah suatu
Kompilasi hukum islam di Indonesia untuk mengatur segala perihal yang berkaitan
mengenai kehidupan menurut hukum islam, salah satunya pada bidang perkawinan.
Perkawinan menurut Hukum Islam. Dalam
bahasa arab, perkawinan ini disebut sebagai nikaahun
yang memiliki kata lain yaitu tazawwaja. Dalam
hukum islam, dalam rangka merealisasikan kebahagiaan hidup keluarga yang
disertai adanya rasa damai serta kasih sayang dalam jalan yang diridhoi Allah
SWT, perkawinan dapat diartikan sebagai adanya penyelenggaraan suatu akad atau
perikatan dalam rangka menghalalkan adanya hubungan kelamin antara laki-laki
dan perempuan sebagai suami-istri (Ainani,
2010). Dalam hukum islam, perkawinan ini
ditempatkan dalam suatu posisi yang mulia, tinggi dan sakral. Hal tersebut yang
mendorong agar perkawinan haruslah dipersiapkan dengan baik. Dalam Islam, suatu
perkawinan mempunyai syarat, yaitu sekufu atau sederajat mengenai agama,
merdeka, kekayaan dan kesejahteraan, orang yang taat (Ajo et
al., 2022). Dasar hukum perkawinan tertuang
dalam ayat ayat Al-Quran yang menjadi dasar hukum islam diantaranya Q.S
An-Nisa:21 yang menyebutkan adanya Miitsaaqan
ghalizhan yang berartikan perjanjian yang sangat kuat. Hal ini merupakan
suatu dasar adanya Kompilasi Hukum Islam yang salah satunya mengatur mengenai
perkawinan islam dimana pada Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut
dengan KHI), menyebutkan bahwa adanya akad yang sangat kuat atau Miitsaaqan ghalizhan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya ini merupakan salah satu ibadah.
Asas perkawinan menurut hukum islam di
Indonesia berdasarkan KHI yaitu adanya asas untuk selama-lamanya yang
dijelaskan pada Pasal 2 KHI, asas kemaslahatan hidup yang dijelaskan pada Pasal
3 KHI, asas persetujuan yang dijelaskan pada Pasal 16 KHI, asas kemitraan suami
istri atau asas kekeluargaan atau kebersamaan yang sederajat yang dijelaskan
pada Pasal 77 ayat (3) KHI. Selain itu, dalam melaksanakan perkawinan ini
haruslah memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang mana jika salah satu dari
rukun dan syarat perkawian tidak terpenuhi maka tidak terjadi suatu perkawinan.
Rukun nikah ini diatur dalam Pasal 14 KHI yang menyebutkan adanya calon
mempelai laki-laki dan perempuan, wali bagi calon mempelai perempuan, saksi,
ijab dan kabul. Dalam hal adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan ini
terdapat adanya asas kebebasan yang dimiliki para calon mempelai dalam memiliki
pasangannya, namun dengan tetap memperhatikan larangan perkawinan yang
dijelaskan pada Pasal 18 KHI dimana bagi calon suami dan calon istri yang akan
melangsungkan perkawinan haruslah tidak terdapat suatu halangan menurut dalam
Pasal 39 - Pasal 44 KHI. Selanjutnya, adanya asas kepastian hukum yang
dijelaskan pasal Pasal 5 ayat (1) KHI yang menyebutkan bahwa perkawinan harus
dicatat serta adanya Pasal 5 ayat (2) KHI yang menyebutkan bahwa pencatatan
perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah. Kedua asas terakhir yang peneliti
sebutkan ini menjadi suatu permasalahan dalam hal dilakukannya perkawinan yang
dilakukan oleh dua sejoli yang memeluk suatu keyakinan agama berlainan. Adanya
asas kebebasan dan asas kepastian hukum�
menurut KHI ini menjadi suatu permasalahan dalam hal jika dilaksanakannya
perkawinan beda agama. Lebih jelas menurut Pasal 40 KHI yang menyatakan bahwa
adanya larangan melangsungkan suatu perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita dalam keadaan wanita tersebut tidak memeluk keyakinan agama
islam. Selanjutnya disebutkan juga dalam Pasal 44 KHI yang menjelaskan mengenai
larangan terhadap wanita islam melangsungkan suatu perkawinan dengan seorang
pria yang tidak beragama islam. Diperkuat oleh adanya pendapat menurut Muhammad
Idris Ramulyo yang mengatakan bahwa harus adanya 3 asas perkawinan yang diperhatikan
yaitu asas absolut, asas legalitas dan asas selektivitas. Menurut Muhammad
Idris Ramulyo yaitu dalam hal asas legalitas yang mengharuskan memang adanya
suatu kewajiban perkawinan yang dicatatkan dan asas selektivitas yang
menjelaskan bahwa dalam suatu perkawinan dimana seseorang yang hendak melakukan
perkawinan harus menyeleksi lebih dahulu dengan siapa ia boleh menikah dan
dengan siapa ia tidak boleh menikah. Adapun keputusan Fatwa yang dibentuk dalam
Musyawarah Nasional MUI ke-VII pada tanggal 26-29 Juli 2005 di Jakarta yang
menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Sehingga
dapat disimpulkan, menurut hukum islam pun tidak diperbolehkan perkawinan yang
dilakukan diantara seorang lelaki dan seorang wanita yang berbeda keyakinan (Amri,
2020).
1. Bagaimanakah implikasi perkawinan beda agama
yang dilakukan di Indonesia?
Adanya suatu perkawinan yang dilakukan
tentu memberikan suatu akibat hukum yang terjadi. Adanya perkawinan beda agama
yang dilakukan ini akan memberikan suatu implikasi dalam hubungan suatu rumah
tangga keluarga. Adanya perbedaan agama ini merupakan hal yang mendasar. Implikasi
dari adanya perkawinan beda agama berpengaruh pada keabsahan dari perkawinan
tersebut. Hubungan suami isteri yang dipengaruhi oleh adanya hukum suatu
perkawinan ada disebutkan pada Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UU Perkawinan.
Pun adanya larangan larangan di antara suami dan isteri dalam suatu
perkawinannya yaitu:
a.
Dilarang
diantara mereka melakukan perjanjian jual beli (Pasal 1467 BW)
b.
Dilarang
diantara mereka saling memberi hibah (Psal 1678 BW)
c.
Dilarang
diantara mereka saling mengadakan perjanjian kerja (Pasal 1601 bw)
d.
Diarang
dianatara mereka saling memberi kesaksian di Pengadiilan (Pasal 1910 BW)
e.
Pengaruh
Hukum perkawinan beda agama terhadap harta benda perkawinan.
f.
Didalam
UUP 35 - Pasal 37 mengatur mengenai harta benda mengenai perkawinan.
Karena dalam hal ini perkawinan beda
agama dianggap tidak sah menurut UU Perkawinan, hak, kewajiban dan larangan
tersebut tidaklah berlaku. Adanya fenomena perkawinan yang dilakukan dengan
adanya perbedaan agama diantara para pihaknya ini menjadi suatu hal yang sangat
mendasar dalam bagaimana mereka mengimplementasikan hak hak atas adanya suatu
ikatan tersebut. Dapat kita ketahui adanya perkawinan beda agama yang dianggap
sebagai suatu perkawinan yang tidak sah maka dengan demikian tidak mempunyai
pengaruh hukum terhadap harta benda yang diperoleh oleh kedua pasangan itu
dengan perkataan lain secara hukum diantara mereka dapat dikatakan tidak pernah
ada harta bersama. Perkawinan beda agama yang dilakukan dianggap tidak sah,
anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut dalam agama islam dianggap
sebagai anak luar kawin. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada hal hal
kewarisan dimana mengenai kewarisan dalam suatu perkawinan beda agama ini
memang tidak secara gamblang dijelaskan dengan detail dalam suatu UU
Perkawinan. Adapun pengaruh hukum Perkawinan beda agama terhadap anak yang
dilahirkan mengenai keturuan diatur dalam Pasal 42 sampai dengan pasal 44 UU
Perkawinan. Dimana ada pasal yang menjelaskan bahwa anak sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, hal ini ada pada
pasal 42 UU Perkawinan. Hal ini berarti anak yang dilahirkan diluar perkawinan
yang sah adalah anak tidak sah. Undang Undang menentukan bahwa anak itu hanya
memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, hal ini
disebutkan pada Pasal 43 UU Perkawinan. Dengan demikian anak tersebut hanya
dapat mewaris atas harta peninggalan ibunya serta keluarga ibunya. Sedangkan
dari adanya pihak ayah biologisnya, anak tersebut tidak mempunyai kedudukan sebagai
ahli waris. Dalam hukum islam sendiri, adanya orang yang berhak sebagai ahli
waris merupakan seseorang yang seagama dengan pewaris. Dalam hal pewarisan
menurut hukum islam adanya agama ini tentunya dalam hal pewaris dan ahli waris
haruslah memeluk agama islam. Selanjutnya ada syarat bahwa ahli waris tidak
boleh membunuh sang pewaris dan pewaris meninggal dan ada harta dari pewaris
tersebut untuk dibagikan.
Namun dalam hal perihal anak, anak ini
merupakan sebuah anugerah yang yang haruslah kita lindungi keberadaannya.
Adanya Pasal 209 KHI yang menyebutkan bahwa ahli waris yang tidak beragama
islam dapat diberikan suatu wasiat wajibah. Selanjutnya adanya suatu
perlindungan untuk anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan beda agama ini
tertulis dalam yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 51/K/AG/1999 yang menjadi
dasar adanya wasiat, wasiat wajibah dan hibah yang dapat diberikan oleh pewaris
yang beragama muslim kepada ahli waris yang beragama non-muslim. Dalam hal ini
berlaku pula anak yang lahir dalam suatu perkawinan beda agama. Selanjutnya
adanya Majelis Ulama Indonesia yang mengeluarkan suatu fatwa dalam rangka
melindungi hak dari seorang anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan beda
agama. Hal tersebut tercantum dalam Fatwa MUI Nomor 5/MUNAS VII/MUI/9/2005
Tentang pemberian harta antar pewaris islam yang berbeda agama dengan ahli
warisnya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah. Diperkuat pula
dengan adanya Yurisprudensi Nomor 1/Yur/Ag/2018 yang menyebutkan adanya ahli
waris yang tidak memeluk agama islam dapat diberikan wasiat wajibah (Pertiwi
& Lukman, 2023). Dalam hal ini wasiat dan wasiat
wajibah dapat dibuat oleh pewaris dihadapan seorang Notaris. Adanya peran
notaris berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris,
dimana Notaris dalam hal ini sebagai pejabat umum yang berwenang dalam pembuatan
suatu akta. Akta yang dimaksud termasuk juga mengenai akta wasiat dan akta
wasiat wajibah. Dalam kewarisan beda agama, adanya perbedaan agama antara
pewaris dengan ahli waris ini menjadi suatu hal yang harus dihadapi notaris
dalam mengimplementasikan jenis hukum apa yang akan dituangkan pada akta nya.
Hukum islam yang mengatur mengenai adanya ahli waris yang bukan memeluk agama
islam tidak mendapat bagian pewaris islam, hukum waris islam mengatur jika
pewaris dan ahli waris ini berbeda agama maka hal itu akan menggugurkan hak
waris bagi ahli waris tidak beragama islam, hal ini berarti jika digunakannya
hukum islam pada akta tersebut membuat kekuatan hukum akta nya batal demi
hukum. Sehingga Notaris dalam hal ini perlu mencari ketentuan hukum dan merumuskan
suatu hukum yang sekiranya dapat dipakai oleh para pihaknya. Dalam adanya
kewarisan beda agama, Notaris pada prakteknya dapat juga menggunakan hukum
waris adat, adat yang melekat pada para pihak. Hukum waris adat dalam hal ini
dapat disesuaikan dengan suku pihak pewaris dan juga ahli waris, seperti adanya
secara matrilineal, patrilineal, maupun bilateral.
Kesimpulan
Perkawinan beda agama diatur oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda melalui Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau peraturan
tentang Perkawinan Campuran pada tahun 1898. Setelah berlakunya UU Perkawinan,
penjelasan mengenai perkawinan ini tertulis dalam Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan sah jika dilakukan sesuai dengan
hukum agama masing-masing dan kepercayaannya. Namun, UU Perkawinan pada
dasarnya tidak secara rinci mengatur perkawinan beda agama. Hukum perkawinan
ini diberikan kepada masing-masing agama, yang berarti setiap perkawinan harus
dilakukan sesuai dengan hukum agama dan dicatat sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan beda agama tidak memenuhi prinsip hukum
perkawinan yang tercantum dalam UU Perkawinan, seperti asas selektivitas dan
asas legalitas. Meskipun perkawinan beda agama banyak dilakukan, itu tidak bisa
dijadikan pembenaran karena menyebabkan ketidakjelasan status legalitas
perkawinan. Perkawinan antara orang yang berbeda agama dianggap batal demi
hukum atau null and void. Syarat dan prosedur perkawinan harus sesuai dengan
hukum agama dan aturan yang berlaku. Kedua hal ini harus diperhatikan secara
bersamaan dan selaras sesuai dengan UU Perkawinan.
Pencatatan perkawinan beda agama menurut UU Administrasi
Kependudukan bukanlah pembenaran atas perkawinan tersebut. Perkawinan beda
agama tetap tidak sah menurut agama masing-masing dan juga menurut UU
Perkawinan. Dalam Hukum Islam, ada asas kebebasan dan kepastian hukum yang
menjadi masalah dalam perkawinan beda agama. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum
Islam melarang perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita jika wanita
tersebut tidak memeluk agama Islam. Pasal 44 KHI juga melarang seorang wanita
Islam menikah dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Perkawinan beda agama memiliki
implikasi pada hubungan keluarga. Perbedaan agama merupakan masalah mendasar.
Perkawinan beda agama yang dianggap tidak sah tidak memiliki pengaruh hukum
terhadap harta benda yang diperoleh oleh pasangan tersebut, sehingga secara
hukum mereka tidak memiliki harta bersama. Anak yang lahir dalam perkawinan
tersebut dianggap sebagai anak luar kawin dalam agama Islam. Hal ini akan
berpengaruh pada masalah pewarisan, di mana kewarisan dalam perkawinan beda
agama tidak dijelaskan secara detail dalam UU Perkawinan.
BIBLIOGRAFI
Abdul Kadir Muhammad. (2012). Hukum Acara Perdata
Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti.
Adji, S. U. (1989). Kawin lari dan Kawin antar
Agama, cetakan pertama Liberty. Yogyakarta.
Ainani, A. (2010). Itsbat Nikah dalam Hukum Perkawinan
di Indonesia. Jurnal Darussalam, 10(2).
Ajo, F. L. E. T., Simamora, I. M. M., & Andryawan,
A. (2022). Analisis Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Mengenai Batasan Usia
Dalam Perkawinan. SIBATIK JOURNAL: Jurnal Ilmiah Bidang Sosial, Ekonomi,
Budaya, Teknologi, Dan Pendidikan, 1(7), 1195�1206.
Amri, A. (2020). Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum
Positif dan Hukum Islam. Media Syari�ah: Wahana Kajian Hukum Islam Dan
Pranata Sosial, 22(1), 48�64.
Badruzaman, D. (2020). Fenomena Perkawinan Suku
Pedalaman Menyoroti Praktek Budaya Dan Gender Dalam Tradisi Suku Baduy. Jurnal
Sosial Humaniora, 11(1), 29�39.
Barnawy, J. (2017). Pemberlakuan Hukuman Ta�zīr
bagi Pelaku Homoseksual (Kajian tehadap Fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014 Tentang
Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan). UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Dakhi, A. S. (2019). Perkawinan Beda Agama (Suatu
Tinjauan Sosiologi). Deepublish.
Faridah, S. (2018). Kebebasan Beragama Dan Ranah
Toleransinya. Lex Scientia Law Review, 2(2), 199�214.
Hanifah, M. (2019). Perkawinan Beda Agama Ditinjau
dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Soumatera Law
Review, 2(2), 297�308.
Ibrahim, J. (2005). Teori dan metode penelitian hukum
normatif. Malang: Bayumedia Publishing.
Judiasih, S. D., Dajaan, S. S., & Nugroho, B. D.
(2020). Kontradiksi antara dispensasi kawin dengan upaya meminimalisir
perkawinan bawah umur di Indonesia. ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum
Kenotariatan, 3(2), 203�222.
Mamudji, S., Rahardjo, H., Supriyanto, A., Erni, D.,
& Simatupang, D. P. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Marta, R. F. (2018). Polemik Kebhinnekaan Indonesia
Pada Informasi Instagram@ Infia_Fact Terkait Patung Kwan Sing Tee Koen Tuban. Bricolage:
Jurnal Magister Ilmu Komunikasi, 3(02), 63�71.
Muchtar, H. (2015). Analisis Yuridis Normatif
Sinkronisasi Peraturan Daerah dengan Hak Asasi Manusia. Humanus, 14(1),
80�91. https://doi.org/10.24036/jh.v14i1.5405
OS, E. (1996). Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan
Praktek, cet. ke-1, Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Pertiwi, A. T. A., & Lukman, A. (2023). Keabsahan
Akta Notaris Pewarisan Beda Agama Ditinjau Dari Hukum Islam dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. JISIP (Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan), 7(1).
Poerwadarminta, W. J. S. (2002). Kamus besar bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1084.
Saleh, K. W. (1976). Hukum Perkawinan Indonesia.
Ghalia Indonesia.
Setiarini, L. D. (2021). Perkawinan Beda Agama Dalam
Perspektif Hak Asasi Manusia. Al Qodiri: Jurnal Pendidikan, Sosial Dan
Keagamaan, 19(1), 45�55.
Sudirman, S., Dedi, S., & Saputra, H. (2021). Poligami
Sirri dalam tinjauan mashlahat. IAIN Curup.
Togatorop, A. R. (2023). Perkawinan Beda Agama. Journal
of Religious and Socio-Cultural, 4(1), 26�36.
Wanodyo Sulistyani, S. H., & MH, L. L. M. (2017).
Peranan Penting Mahasiswa Dalam Mendorong Akses Terhadap Keadilan. Legal
Clinics and The Fulfilment of Access To Social Justice For Society, 147.
Copyright holder: Agnia Rahmah, Mohamad Fajri
Mekka Putra (2022) |
First publication
right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |