Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022


 

ANEKA PENGATURAN KEWARISAN KETURUNAN SAUDARA SEBAGAI AHLI WARIS PENGGANTI SAUDARA PEWARIS

 


Angky Anggia Ayu, Yeni Salma Barlinti

Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Keberadaan ahli waris pengganti masih menjadi sebuah polemik dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya pengaturan kewarisan keturunan saudara pewaris yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut penulis melakukan penelitian mengenai perbedaan pengaturan kewarisan keturunan saudara sebagai ahli waris pengganti saudara pewaris berdasarkan hukum waris Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan dari ketiga peraturan, beberapa penetapan dan putusan tersebut adalah: (1) keturunan saudara pewaris tidak dapat menjadi ahli waris pengganti dengan alasan adanya pembatasan ahli waris pengganti adalah sampai batas cucu dari garis ke bawah dan adanya saudara laki-laki pewaris yang masih hidup, dan (2) keturunan saudara pewaris dapat menjadi ahli waris pengganti karena memenuhi syarat-syarat sebagai ahli waris yaitu ada hubungan darah, beragama Islam, masih hidup ketika pewaris meninggal.

�

Kata kunci: Ahli Waris Pengganti, Waris Islam, Kewarisan Keturunan Saudara.

 

Abstract

The existence of substitute heirs is still a polemic in society. This is due to the different inheritance arrangements of heirs. Based on the things that have been described above, the authors conducted research on differences in inheritance arrangements for nephews as a substitute heirs based on Islamic inheritance law. This research used the form of normative juridical research with a comparative law approach. The results of the research showed that the comparison of those three regulations is (1) the children of the inheritor's siblings cannot become substitute heirs because there are restrictions on substitute heirs, up to the limit of grandchildren from the descending line and the existence of a living brother of the heir. (2) the children of the heir's siblings can become substitute heirs if they have the requirements as heirs, such as� having blood relations, being Muslim and still alive when the heir dies.

 

Keywords: Substitute Heirs, Islamic inheritance law, Inheritance of Descendant Brothers.

 

 

 

Pendahuluan

Dalam al-Quran, Surat Al-Ankabut (29) ayat 57, Allah SWT berfirman Kullu nafsin żï¿½-iqatul-maut śumma ilaina turja�ūn yang artinya �Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan.� Seluruh makhluk hidup, termasuk manusia, pasti akan menemui ajalnya. Dalam kaitannya dengan hukum, peristiwa kematian akan menimbulkan peristiwa hukum lainnya yaitu peralihan hak waris dari pewaris kepada ahli warisnya yang berhak mendapatkan atau menerima waris tersebut. Hukum kewarisan Islam berlaku untuk semua umat Islam, yang bersumber pada al-Qur�an, sunnah Rasul, dan ijtihad Saat ini di Indonesia, berlaku 3 (tiga) ketentuan hukum mengenai kewarisan di Indonesia, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), hukum Adat, dan hukum Islam.

Bagi umat Islam, hukum kewarisan Islam wajib diikuti dan digunakan. Hal ini dikenal dengan asas ijbari. Asas ijbari adalah asas yang bersifat memaksa dan berlaku dengan sendirinya karena ketetapan dari Allah SWT. Adanya asas ini dapat dilihat dari perpindahan dan perolehan harta dari orang yang sudah meninggal kepada ahli waris adalah sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah SWT dan ahli waris wajib untuk menerimanya.� Oleh karena itu, setiap umat muslim yang belum meninggal dunia, sesungguhnya tidak harus merencanakan pembagian terhadap hartanya setelah ia meninggal kelak. Pada hakikatnya, dengan terjadinya kematian pewaris, maka akan terjadi peralihan harta secara otomatis dari pewaris kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya sesuai dengan besar bagian yang sudah ditentukan oleh Allah SWT.

Dalil tentang asas ijbari ini disebutkan dalam al-Qur'an Surah An-Nisa (4) ayat 13 dan 14. Pada ayat 13 Allah SWT berfirman: Tilka ḥudụdullāh, wa may yuṭi'illāha wa rasụlahụ yudkhil-hu jannātin tajrī min taḥtihal-an-hāru khālidīna fīhā, wa żālikal-fauzul-'aẓīm yang artinya �Itulah batas-batas (hukum) Allah. Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itu lah kemenangan yang agung.� Pada ayat 14 Allah SWT berfirman: Wa may ya'ṣillāha wa rasụlahụ wa yata'adda ḥudụdahụ yudkhil-hu nāran khālidan fīhā wa lahụ 'ażābum muḥīn yang artinya �Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan.�

Di Indonesia, hukum kewarisan Islam diatur dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Pasal 171 KHI disebutkan "hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.� Sebagai hasil ijtihad para ulama, KHI diantaranya mengatur tentang bagian warisan untuk ahli waris pengganti dalam Pasal 185 yaitu besar bagian warisan bagi ahli waris pengganti adalah tidak boleh melebihi besar bagian warisan ahli waris yang sederajat dengan ahli waris yang digantikan. Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (selanjutnya disebut PPTAPA), yang menyebutkan ahli waris pengganti adalah termasuk keturunan dari anak laki-laki atau anak perempuan, keturunan dari saudara laki-laki atau saudara perempuan, keturunan dari paman, dan keturunan dari kakek dan nenek yaitu bibi dan keturunannya. Dalam KHI itu sendiri disebutkan bahwa ahli waris pengganti adalah anak yang menggantikan orang tuanya (ayah atau ibu) yang telah meninggal lebih dulu dari pewaris (Pasal 185 ayat (2)).

​​Perkara kewarisan perihal ahli waris pengganti yang terjadi biasanya mengenai ahli waris pengganti dari anak pewaris atau cucu pewaris dari anak yang telah meninggal lebih dulu dari pewaris. Namun, perkara ahli waris pengganti dari saudara pewaris atau anak dari saudara pewaris yang telah meninggal lebih dulu dari pewaris atau keponakan pewaris juga terjadi pada beberapa kasus. Saudara merupakan salah satu ahli waris yang ditentukan besar bagian warisannya dalam al-Qur�an pada Surah Annisa ayat 12 dan 176. Kedudukan saudara menjadi signifikan untuk tampil menjadi ahli waris ketika anak dan orang tua sudah tidak ada. Kondisi seperti ini dikenal dengan kondisi kalalah atau mati punah. Meskipun demikian, di dalam al Qur�an tidak menentukan besar bagian warisan ahli waris pengganti secara eksplisit. Dasar hukum bagian waris ahli waris pengganti berbeda-beda. Hazairin menggunakan Surah Annisa ayat 33 sebagai dasar hukum ahli waris pengganti dan besar bagiannya merujuk pada besar bagian anak untuk cucu (Surah Annisa ayat 11), besar bagian ayah untuk kakek (Surat Annisa ayat 11), besar bagian ibu untuk nenek (Surat Annisa ayat 11).

Berdasarkan beberapa putusan dan penetapan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama, hakim memutuskan perkara kewarisan yang menentukan bagian warisan anak dari saudara pewaris yang berbeda-beda. Beberapa putusan dan penetapan tersebut antara lain Penetapan No. 235/Pdt.P/2020/MS-Jth, Penetapan No. 08/Pdt.P/2018/PA Sidrap, Putusan No. 76 K/Ag/2016, dan Penetapan No. 53/Pdt.P/2021/PA.Bdg. Perbedaan isi penetapan atau putusan tersebut adalah ada yang menetapkan anak dari saudara pewaris sebagai ahli waris pengganti dan ada pula yang tidak menetapkan sebagai ahli waris pengganti. Untuk itu, tulisan ini membahas mengenai perbandingan pengaturan kewarisan bagi keturunan pewaris dalam KHI, Buku II PPTAPA, SEMA No. 03 Tahun 2015, beberapa penetapan dan putusan pengadilan di lingkungan peradilan agama.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan hukum. Data utama yang menjadi objek penelitian ini adalah pengaturan kewarisan bagi anak dari saudara pewaris dalam KHI, PPTAPA, Penetapan No. 235/Pdt.P/2020/MS-Jth, Penetapan No. 08/Pdt.P/2018/PA Sidrap, Putusan No. 76 K/Ag/2016, dan Penetapan No. 53/Pdt.P/2021/PA.Bdg. Ketentuan dari semua pengaturan tersebut dibandingkan satu dengan lainnya untuk mendapatkan persamaan dan perbedaannya disertai analisisnya.

 

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Pengaturan kewarisan bagi ahli waris pengganti diatur dalam KHI Pasal 185 dan Buku II PPTAPA yang memperjelas ketentuan Pasal 185 KHI tersebut, serta juga terdapat hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI (Rakernas MARI) tahun 2010. Pada KHI, tidak disebutkan secara detail, siapa saja yang menjadi ahli waris pengganti. Tetapi dalam Buku II PPTAPA disebutkan siapa saja yang menjadi ahli waris pengganti. Dalam penyelesaian perkara ahli waris pengganti, khususnya anak dari saudara pewaris yang telah meninggal lebih dulu dari pewaris, telah dibuat dalam bentuk penetapan dan putusan oleh beberapa pengadilan di lingkungan peradilan agama. Berikut diuraikan pengaturan kewarisannya:

Kompilasi Hukum Islam

Pengaturan ahli waris pengganti disebutkan secara khusus pada Pasal 185 yang isi pasalnya adalah sebagai berikut:

(1)� Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.

(2)� Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Pasal ini tidak menentukan siapa saja ahli waris yang telah meninggal lebih dulu dari pewaris dapat digantikan oleh anaknya. Artinya, pasal ini dapat diterapkan untuk ahli waris pengganti yaitu anak dari anak atau cucu pewaris, anak dari saudara pewaris atau keponakan pewaris. Yang hanya diatur dalam pasal ini adalah apabila terdapat ahli waris yang meninggal lebih dulu dari pewaris, anak dari ahli waris yang telah meninggal tersebut dapat menggantikannya dengan besar bagian warisan yang tidak melebihi bagian waris ahli waris yang sederajat dengan ahli waris yang digantikannya.

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 03 Tahun 2015

Dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI yang diselenggarakan pada tahun 2010 di Balikpapan, salah satu hasil yang disepakati adalah pembatasan ruang lingkup ahli waris pengganti. Batasan ruang lingkup ahli waris pengganti adalah hanya sampai pada keturunan garis lurus ke bawah yaitu sampai derajat cucu. Dalam hal ini, cucu sebagai ahli waris pengganti mendapatkan bagian warisan dengan besarannya sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KHI. Berbeda dengan anak dari saudara pewaris yaitu keponakan pewaris dapat diposisikan untuk mendapatkan wasiat wajibah, bukan sebagai ahli waris pengganti yang berhak mendapatkan bagian warisan seperti cucu pewaris.

Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (PPTAPA)

Buku II PPTAPA merupakan acuan bagi hakim, panitera/panitera pengganti, dan juru sita dalam pelaksanaan tugasnya secara administrasi dan teknis di peradilan agama. Berkenaan dengan ahli waris pengganti, Buku II PPTAPA memperkuat ketentuan Pasal 185 KHI.

Ada dua asas kewarisan dari sepuluh asas kewarisan yang menguraikan ahli waris pengganti yaitu asas bilateral/parental dan asas ahli waris langsung dan asas ahli waris pengganti. (1) Asas bilateral/parental merupakan asas yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam kewarisan. Pertama, asas bilateral/parental dalam ahli waris pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 185 KHI adalah �cucu dari anak perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan/anak laki-laki dari saudara perempuan, bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak ibu serta keturunan dari bibi adalah ahli waris pengganti.� Penyebutan para ahli waris pengganti ini adalah mereka yang berasal dari garis perempuan. Hal ini untuk menegaskan bahwa ahli waris pengganti dari garis perempuan berhak mendapatkan bagian warisan. Namun demikian, bukan berarti mereka yang berasal dari garis laki-laki tidak termasuk ahli waris pengganti karena ahli waris pengganti dari garis laki-laki tidak dipersoalkan atau tidak diperdebatkan, berbeda dengan para ahli waris pengganti dari garis perempuan. Kedua, asas ahli waris langsung dan asas ahli waris pengganti. Asas ahli waris langsung (eigen hoofde) adalah mereka yang disebutkan dalam Pasal 174 KHI yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, kakek, ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek, duda, dan janda. Asas ahli waris pengganti (plaatsvervulling) adalah ahli waris yang diatur dalam Pasal 185 KHI, yaitu ahli waris pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan dalam Pasal 174 KHI yang di antaranya adalah keturunan dari anak laki-laki, keturunan dari anak perempuan, keturunan dari saudara laki-laki, keturunan dari saudara perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari kakek dan nenek yaitu bibi dan keturunannya. Dalam KHI dan Buku II PPTAPA, paman tidak termasuk ahli waris pengganti meskipun ia keturunan dari kakek dan nenek karena paman adalah ahli waris langsung yang disebut dalam Pasal 174 KHI.

Buku II PPTAPA mengatur empat kelompok derajat ahli waris. Anak dari saudara pewaris termasuk dalam kelompok derajat ketiga di mana ia dapat mewaris bersama suami/isteri, saudara (sekandung, seayah, dan seibu), kakek dan nenek dari pihak ayah, kakek dan nenek dari pihak ibu. Anak dari saudara pewaris tidak mewaris bersama ayah dan ibu pewaris karena termasuk kelompok derajat pertama, dan tidak mewaris bersama anak dan keturunan pewaris karena termasuk kelompok derajat pertama dan kedua.

Mengenai besar bagian warisan anak dari saudara pewaris, Buku II PPTAPA menentukan sebesar bagian warisan yang digantikannya. Tetapi, bagian warisan anak dari saudara pewaris ini tetap berpegang pada ketentuan Pasal 185 ayat (2) KHI bahwa besar bagian warisan ahli waris pengganti adalah tidak melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan ahli waris yang diganti. Selain itu, apabila ahli waris pengganti terdiri dari laki-laki dan perempuan maka laki-laki mendapat bagian dua kali bagian perempuan.

Putusan No. 76 K/Ag/2016

Putusan ini menyelesaikan perkara kewarisan di mana pewaris meninggal tanpa meninggalkan anak dan keturunan, isteri, ayah, dan ibu, tetapi pewaris meninggalkan keponakan dan cucu keponakan dari enam saudara pewaris yang seluruhnya telah meninggal lebih dulu dari pewaris. Dua keponakan pewaris dan seorang cucu keponakan pewaris mengajukan gugatan atas harta warisan pewaris yang dikuasai oleh salah satu cucu keponakan pewaris. Berikut adalah gambar kasus kewarisannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1

Kasus kewarisan dalam Putusan No. 76 K/Ag/2016

 

Hakim memutuskan untuk menguatkan putusan judex facti yang memutuskan bahwa anak dari saudara pewaris adalah tidak termasuk ahli waris pengganti. Alasannya adalah ahli waris pengganti yang diatur dalam Pasal 185 KHI hanya dibatasi dalam derajat cucu dalam keturunan garis lurus ke bawah dari pewaris. Dengan demikian, para pemohon kasasi dinilai tidak memiliki legal standing untuk menjadi pihak dalam perkara ini.

Penetapan No. 08/Pdt.P/2018/PA Sidrap

Pewaris dalam perkara ini adalah dalam kondisi kalalah. Ia tidak menikah maka ia tidak meninggalkan isteri, anak dan keturunan, serta ayah dan ibunya telah meninggal lebih dulu darinya. Keluarga yang ditinggalkan adalah seorang saudara laki-laki kandung, enam anak dari saudara perempuan kandungnya yang telah meninggal lebih dulu, dan tujuh anak dari saudara perempuan kandung lainnya yang juga telah meninggal lebih dulu dari pewaris. Seluruh anggota keluarga yang ditinggalkan ini mengajukan permohonan penetapan ahli waris dari pewaris. Kewarisannya dapat digambarkan seperti berikut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2

Kasus kewarisan dalam Penetapan No. 08/Pdt.P/2018/PA Sidrap

 

Hakim menetapkan bahwa anak-anak dari saudara-saudara perempuan pewaris tidak dapat menjadi ahli waris pengganti karena mereka terhijab oleh saudara laki-laki pewaris yang masih hidup. Ahli waris pengganti bagi anak dari saudara pewaris tidak dapat diberlakukan karena mereka adalah keturunan garis menyamping bukan dari atas ke bawah seperti kakek terhadap cucunya.

Penetapan No. 235/Pdt.P/2020/MS-Jth

Perkara pada Penetapan No. 235/Pdt.P/2020/MS-Jth dapat digambarkan sebagai berikut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3

Kasus kewarisan dalam Penetapan No. 235/Pdt.P/2020/MS-Jth

 

Semasa hidupnya pewaris telah menikah dan belum memiliki keturunan. Kedua orang tua pewaris telah meninggal dunia. Selain seorang isteri, pewaris meninggalkan seorang saudara perempuan kandung dan tujuh anak dari saudara perempuan kandung lainnya yang telah meninggal lebih dulu dari pewaris. Pihak yang mengajukan permohonan penetapan ahli waris adalah isteri pewaris dan saudara perempuan kandung pewaris saja. Dalam proses pengadilan, hakim mendapatkan bukti bahwa selain kedua pemohon tersebut, pewaris juga memiliki tujuh keponakan yang merupakan anak-anak dari saudaranya yang telah meninggal.

Atas perkara ini, hakim menetapkan anak dari saudara pewaris adalah ahli waris pengganti karena telah memiliki hubungan darah dengan pewaris (Pasal 171 KHI), beragama Islam (Pasal 172 KHI), dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (Pasal 185 KHI). Dalam penetapan ini, hakim tidak menentukan besar bagian warisan masing-masing ahli waris. Dengan demikian, yang menjadi ahli waris pewaris adalah isteri, saudara perempuan kandung, dan tujuh anak dari saudara perempuan kandung yang telah meninggal lebih dulu dari pewaris.

Penetapan No. 53/Pdt.P/2021/PA.Bdg

Dalam perkara ini, para pemohon yang merupakan para keponakan dan para cucu keponakan pewaris mengajukan permohonan penetapan ahli waris. Para pemohon adalah anak-anak dan cucu-cucu dari saudara laki-laki dan saudara perempuan baik sekandung maupun seayah pewaris.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

P1

P2

Hindu

P3

P4

 

P5

P6

P7

P8

 

 

 

 

P14

P15

P16

P11

P12

P13

P10

Gambar 4

Kasus kewarisan dalamPenetapan No. 53/Pdt.P/2021/PA.Bdg

 

Dalam penetapannya, hakim menetapkan anak-anak dan cucu-cucu dari saudara-saudara pewaris adalah ahli waris pengganti dari saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara perempuan pewaris baik yang kandung maupun seayah. Pertimbangan hukumnya adalah anak-anak dari saudara-saudara pewaris telah memenuhi syarat-syarat ahli waris yaitu adanya bukti hubungan darah sebagai keturunan dari saudara kandung dan keturunan dari saudara seayah (Pasal 174 KHI), beragama Islam (Pasal 172 KHI), tidak terhalang sebagai ahli waris (Pasal 173 KHI), dan termasuk ahli waris pengganti sebagai anak yang menggantikan ayah/ibunya (saudara pewaris) yang telah meninggal lebih dulu dari pewaris (Pasal 185 KHI). Ada satu anak dari saudara laki-laki sekandung pewaris beragama Hindu yang tidak menjadi ahli waris karena tidak memenuhi syarat sebagai ahli waris yaitu beragama Islam. Dalam penetapan ini tidak ditentukan besar bagian warisan masing-masing ahli waris. �

Dari hasil penelitian atas ketentuan kewarisan bagi keponakan pewaris ditemukan bahwa meskipun KHI dan Buku II PPTAPA menentukan bahwa keturunan saudara pewaris baik dari saudara laki-laki maupun dari saudara perempuan adalah ahli waris pengganti, hakim dapat menetapkan atau memutuskan berbeda dari ketentuan tersebut. Pada perkara dalam Penetapan No. 235/Pdt.P/2020/MS-Jth dan Penetapan No. 53/Pdt.P/2021/PA.Bdg, keturunan saudara pewaris baik dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan, baik saudara sekandung maupun saudara seayah ditetapkan sebagai ahli waris pengganti. Pada perkara Penetapan No. 08/Pdt.P/2018/PA Sidrap, keturunan saudara perempuan kandung pewaris tidak menjadi ahli waris pengganti karena dua alasan yaitu masih ada saudara laki-laki pewaris yang masih hidup dan keturunan saudara pewaris adalah ada pada garis menyamping bukan garis ke bawah seperti cucu. Sementara itu, pada perkara Putusan No. 76 K/Ag/2016, keturunan saudara pewaris adalah bukan ahli waris pengganti sehingga mereka tidak memiliki legal standing sebagai pihak yang mengajukan perkara kewarisan tersebut, karena yang termasuk sebagai ahli waris pengganti adalah pada garis ke bawah bukan garis menyamping.

Pembahasan

Dalam kewarisan, kedudukan ahli waris tidak hanya pada persoalan mewarisi saja, tetapi juga persoalan menggantikan hak hidup orang yang digantikan, misalnya dalam peralihan hak atas benda dari pewaris kepada ahli waris. Bagi anggota keluarga yang termasuk ahli waris langsung, seperti anak, ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, suami, atau isteri, tidaklah menjadi perdebatan karena bagian mereka telah ditentukan langsung di dalam al Qur�an Surah Annisa ayat 11, 12, dan 176. Perbedaan pendapat terjadi ketika anggota keluarga tidak ditentukan bagian warisannya di dalam al Qur�an, seperti keturunan anak dan keturunan saudara.

Kedudukan dan bagian ahli waris pengganti dalam hukum waris Islam, merupakan hasil perkembangan zaman dan pola pikir masyarakat sehingga membawa kemajuan dalam bidang� kewarisan Islam di Indonesia. ​​Istilah �ahli waris pengganti� diperkenalkan melalui Pasal 185 KHI setelah berlakunya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam pada tanggal 10 Juni 1991.

Ketentuan dalam Pasal 185 ayat (1) berisi bahwa �Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya �.� Penggunaan kata �dapat� bersifat tentatif mengacu pada penggantian kedudukan ahli waris. Dengan kata lain, ahli waris pengganti bisa saja menggantikan kedudukan orang tuanya atau tidak. Dalam penafsiran yang lain, apabila dicermati isi pasal tersebut, secara harfiah memberikan makna bahwa jangkauan penggantian ahli waris itu meliputi seluruh garis keturunan baik ke bawah maupun menyamping. Artinya, ahli waris pengganti adalah cucu yang menggantikan anak pewaris atau keponakan yang menggantikan saudara pewaris atau cucu keponakan yang menggantikan keponakan pewaris. Pemahaman demikian, dapat diperoleh dengan menyimak pada dua kata kunci yang ada pada pasal tersebut yaitu kata �ahli waris� dan kata �anaknya�.

����������� Pada awalnya, penentuan ahli waris pengganti ini menimbulkan perdebatan. Kemudian Mahkamah Agung memandang penting kedudukan ahli waris pengganti. Dalam Buku II PPTAPA, ahli waris pengganti diperluas tidak terbatas pada cucu pewaris, tetapi juga anak saudara, keturunan paman, bibi melalui ayah dan ibu, dan keturunan bibi. Nampaknya, perkara dalam Penetapan No. 235/Pdt.P/2020/MS-Jth dan Penetapan No. 53/Pdt.P/2021/PA.Bdg selaras dengan ketentuan Buku II PPTAPA. Hakim dalam kedua perkara ini menerapkan asas ahli waris pengganti yang menjadikan anak-anak dan cucu-cucu dari saudara pewaris sebagai ahli waris pengganti. Selain itu, hakim juga menerapkan asas bilateral/parental yang tidak membedakan apakah anak dan cucu dari saudara pewaris tersebut berasal dari garis laki-laki atau garis perempuan, dan dari saudara sekandung atau saudara seayah.

Ketentuan dalam Pasal 185 ayat (2) menentukan �Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.� Dari ketentuan tersebut disimpulkan bahwa ahli waris pengganti yang menempati kedudukan orang yang digantikannya akan memperoleh sebesar bagian yang diperoleh oleh ahli waris seandainya mereka masih hidup. Namun, perolehan bagian warisan itu dibatasi tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikannya. Dalam perkara-perkara yang dibahas dalam tulisan ini, hakim tidak menentukan besar bagian masing-masing ahli waris.

�

Kesimpulan

Pengaturan kewarisan keturunan saudara pewaris berbeda-beda yang diatur dalam KHI, SEMA No. 03 Tahun 2015, dan Buku II PPTAPA. Tidak hanya sampai di situ, penyelesaian perkara kewarisan keturunan saudara pewaris yang dilakukan oleh para hakim di pengadilan di lingkungan peradilan agama pun berbeda-beda. Hakim tidak selalu mengikuti ketentuan KHI, SEMA No. 03 Tahun 2015, dan Buku II PPTAPA. Perbandingan dari kesemuanya itu adalah:

(1) keturunan saudara pewaris tidak dapat menjadi ahli waris pengganti dengan alasan adanya pembatasan ahli waris pengganti adalah sampai batas cucu dari garis ke bawah dan adanya saudara laki-laki pewaris yang masih hidup, dan

(2) keturunan saudara pewaris dapat menjadi ahli waris pengganti karena memenuhi syarat-syarat sebagai ahli waris yaitu ada hubungan darah, beragama Islam, masih hidup ketika pewaris meninggal.

Adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan keturunan saudara pewaris dalam kewarisan, apakah menjadi ahli waris pengganti atau tidak, dapat menimbulkan kebingungan dalam masyarakat. Meskipun pada prinsipnya hakim memiliki kebebasan dalam memutuskan atau menetapkan suatu perkara, serta wajib menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, kehadiran KHI dan Buku II PPTAPA yang juga merupakan hasil kajian para ahli hukum di Mahkamah Agung tidak selalu menjadi pegangan bagi hakim dalam menyelesaikan perkaranya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

�����������������������������������������������

Indonesia. Undang-Undang tentang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974, LNRI Nomor 1 Tahun 1974, TLN Nomor 3019.����������������������������

��������� ��

Indonesia. Instruksi Presiden Tentang Kompilasi Hukum Islam. Inpres Nomor 1 Tahun 1991.

 

Mahkamah Agung. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan����������������������������������������������������

Mahkamah Agung. Putusan No. 76 K/Ag/2016

 

Mahkamah Agung. Penetapan No. 08/Pdt.P/2018/PA Sidrap

 

Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Syar�iyah Jantho Nomor 235/Pdt.P/2020/MS-Jth

 

Mahkamah Agung. Penetapan No. 53/Pdt.P/2021/PA.Bdg

��������� ��������������������������������������������������������������������������������������

Djubaedah, Neng dan Yati N Soelistijono. (2008). Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

 

Suryati. Hukum Waris Islam. (2012). Yogyakarta: Penerbit Andi.

 

Sjarif, Surini Ahlan dan Nurul Elmiyah. (2006). Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan Menurut Undang-Undang. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

 

Thalib, Sayuti. (2016). Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

 

​​Mahkamah Agung RI. (2013). Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.

 

Assyafira, Gischa Nur. (Mei 2020). Waris Berdasarkan Hukum Islam di Indonesia. Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam, Vol: 08. �

���������

Junandi. (Juni 2017). Reposisi Kedudukan Saudara Dalam Hukum Waris Islam. Jurnal Ilmu Syari�ah dan Perbankan Islam, Vol. 2 No. 1: 1.

 

Naskur. (2008). Ahli Waris dalam Kompilasi Hukum Islam. Jurnal Ilmiah Al-Syirah, Vol. 6 No. 2:2.

Raja Ritonga, Dedisyah Putra dan Asrul Hamid. (Maret 2022). Teori dan Praktek Hijab-Mahjub dalam Kewarisan Islam Menurut Konsep Syajarotul Mirats. TAHKIM, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, Vol.5 No.1

 

Septianingtyas, Nanda dan Khairani Bakri. (2022). Ahli Waris Saudara dan Anak Kandung Menurut Hukum Waris Islam. Reformasi Hukum Trisakti, Vol. 4 No.3: 595-600

Copyright holder:

Angky Anggia Ayu, Yeni Salma Barlinti (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: