Angky Anggia
Ayu, Yeni Salma Barlinti
Program
Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Email:
[email protected], [email protected]
Abstrak
Keberadaan
ahli waris pengganti masih menjadi sebuah polemik dalam masyarakat. Hal ini
disebabkan karena adanya pengaturan kewarisan keturunan saudara pewaris yang
berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut penulis
melakukan penelitian mengenai perbedaan pengaturan kewarisan keturunan saudara
sebagai ahli waris pengganti saudara pewaris berdasarkan hukum waris Islam.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan
perbandingan hukum. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perbandingan dari ketiga peraturan, beberapa penetapan dan putusan
tersebut adalah: (1) keturunan saudara pewaris tidak dapat menjadi ahli waris
pengganti dengan alasan adanya pembatasan ahli waris pengganti adalah sampai
batas cucu dari garis ke bawah dan adanya saudara laki-laki pewaris yang masih
hidup, dan (2) keturunan saudara pewaris dapat menjadi ahli waris pengganti
karena memenuhi syarat-syarat sebagai ahli waris yaitu ada hubungan darah,
beragama Islam, masih hidup ketika pewaris meninggal.
�
Kata kunci: Ahli Waris Pengganti, Waris Islam, Kewarisan
Keturunan Saudara.
Abstract
The existence of
substitute heirs is still a polemic in society. This is due to the different
inheritance arrangements of heirs. Based on the things that have been described
above, the authors conducted research on differences in inheritance
arrangements for nephews as a substitute heirs based on Islamic inheritance
law. This research used the form of normative juridical research with a
comparative law approach. The results of the research showed that the
comparison of those three regulations is (1) the children of the inheritor's
siblings cannot become substitute heirs because there are restrictions on
substitute heirs, up to the limit of grandchildren from the descending line and
the existence of a living brother of the heir. (2) the children of the heir's
siblings can become substitute heirs if they have the requirements as heirs,
such as� having blood relations, being
Muslim and still alive when the heir dies.
Keywords: Substitute Heirs, Islamic inheritance law, Inheritance
of Descendant Brothers.
Pendahuluan
Dalam al-Quran, Surat Al-Ankabut
(29) ayat 57, Allah SWT berfirman Kullu
nafsin żï¿½-iqatul-maut śumma ilaina turja�ūn yang artinya
�Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu
dikembalikan.� Seluruh makhluk hidup, termasuk manusia, pasti akan menemui
ajalnya. Dalam kaitannya dengan hukum, peristiwa kematian akan menimbulkan
peristiwa hukum lainnya yaitu peralihan hak waris dari pewaris kepada ahli
warisnya yang berhak mendapatkan atau menerima waris tersebut. Hukum kewarisan
Islam berlaku untuk semua umat Islam, yang bersumber pada al-Qur�an, sunnah
Rasul, dan ijtihad Saat ini di Indonesia, berlaku 3 (tiga) ketentuan hukum
mengenai kewarisan di Indonesia, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer),
hukum Adat, dan hukum Islam.
Bagi umat Islam, hukum kewarisan
Islam wajib diikuti dan digunakan. Hal ini dikenal dengan asas ijbari. Asas ijbari adalah asas yang
bersifat memaksa dan berlaku dengan sendirinya karena ketetapan dari Allah SWT.
Adanya asas ini dapat dilihat dari perpindahan dan perolehan harta dari orang
yang sudah meninggal kepada ahli waris adalah sesuai dengan apa yang telah
ditentukan oleh Allah SWT dan ahli waris wajib untuk menerimanya.� Oleh karena itu, setiap umat muslim yang
belum meninggal dunia, sesungguhnya tidak harus merencanakan pembagian terhadap
hartanya setelah ia meninggal kelak. Pada hakikatnya, dengan terjadinya
kematian pewaris, maka akan terjadi peralihan harta secara otomatis dari
pewaris kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya sesuai dengan besar
bagian yang sudah ditentukan oleh Allah SWT.
Dalil tentang asas ijbari ini
disebutkan dalam al-Qur'an Surah An-Nisa (4) ayat 13 dan 14. Pada ayat 13 Allah
SWT berfirman: Tilka
ḥudụdullāh, wa may yuṭi'illāha wa
rasụlahụ yudkhil-hu jannātin tajrī min
taḥtihal-an-hāru khālidīna fīhā, wa
żālikal-fauzul-'aẓīm yang artinya �Itulah batas-batas
(hukum) Allah. Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan
memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Dan itu lah kemenangan yang agung.� Pada ayat 14
Allah SWT berfirman: Wa may
ya'ṣillāha wa rasụlahụ wa yata'adda
ḥudụdahụ yudkhil-hu nāran khālidan fīhā
wa lahụ 'ażābum muḥīn yang artinya �Dan siapa
yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia
akan mendapat azab yang menghinakan.�
Di Indonesia, hukum kewarisan Islam
diatur dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Pasal 171 KHI
disebutkan "hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.�
Sebagai hasil ijtihad para ulama, KHI diantaranya mengatur tentang bagian
warisan untuk ahli waris pengganti dalam Pasal 185 yaitu besar bagian warisan
bagi ahli waris pengganti adalah tidak boleh melebihi besar bagian warisan ahli
waris yang sederajat dengan ahli waris yang digantikan. Ketentuan ini diatur
lebih lanjut dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama (selanjutnya disebut PPTAPA), yang menyebutkan ahli waris pengganti adalah termasuk keturunan dari
anak laki-laki atau anak perempuan, keturunan dari saudara laki-laki atau
saudara perempuan, keturunan dari paman, dan keturunan dari kakek dan nenek
yaitu bibi dan keturunannya. Dalam KHI itu sendiri disebutkan bahwa ahli
waris pengganti adalah anak yang menggantikan orang tuanya (ayah atau ibu) yang
telah meninggal lebih dulu dari pewaris (Pasal 185 ayat (2)).
Perkara kewarisan
perihal ahli waris pengganti yang terjadi biasanya mengenai ahli waris
pengganti dari anak pewaris atau cucu pewaris dari anak yang telah meninggal
lebih dulu dari pewaris. Namun, perkara ahli waris pengganti dari saudara
pewaris atau anak dari saudara pewaris yang telah meninggal lebih dulu dari
pewaris atau keponakan pewaris juga terjadi pada beberapa kasus. Saudara merupakan
salah satu ahli waris yang ditentukan besar bagian warisannya dalam al-Qur�an
pada Surah Annisa ayat 12 dan 176. Kedudukan saudara menjadi signifikan untuk
tampil menjadi ahli waris ketika anak dan orang tua sudah tidak ada. Kondisi
seperti ini dikenal dengan kondisi kalalah atau mati punah. Meskipun demikian,
di dalam al Qur�an tidak menentukan besar bagian warisan ahli waris pengganti
secara eksplisit. Dasar hukum bagian waris ahli waris pengganti berbeda-beda.
Hazairin menggunakan Surah Annisa ayat 33 sebagai dasar hukum ahli waris
pengganti dan besar bagiannya merujuk pada besar bagian anak untuk cucu (Surah
Annisa ayat 11), besar bagian ayah untuk kakek (Surat Annisa ayat 11), besar
bagian ibu untuk nenek (Surat Annisa ayat 11).
Berdasarkan beberapa putusan dan
penetapan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama, hakim memutuskan perkara
kewarisan yang menentukan bagian warisan anak dari saudara pewaris yang
berbeda-beda. Beberapa putusan dan penetapan tersebut antara lain Penetapan No.
235/Pdt.P/2020/MS-Jth, Penetapan No. 08/Pdt.P/2018/PA Sidrap, Putusan No. 76
K/Ag/2016, dan Penetapan No. 53/Pdt.P/2021/PA.Bdg. Perbedaan isi penetapan atau
putusan tersebut adalah ada yang menetapkan anak dari saudara pewaris sebagai
ahli waris pengganti dan ada pula yang tidak menetapkan sebagai ahli waris
pengganti. Untuk itu, tulisan ini membahas mengenai perbandingan pengaturan
kewarisan bagi keturunan pewaris dalam KHI, Buku II PPTAPA, SEMA No. 03 Tahun
2015, beberapa penetapan dan putusan pengadilan di lingkungan peradilan agama.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan
adalah yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan hukum. Data utama yang
menjadi objek penelitian ini adalah pengaturan kewarisan bagi anak dari saudara
pewaris dalam KHI, PPTAPA, Penetapan No. 235/Pdt.P/2020/MS-Jth, Penetapan No.
08/Pdt.P/2018/PA Sidrap, Putusan No. 76 K/Ag/2016, dan Penetapan No.
53/Pdt.P/2021/PA.Bdg. Ketentuan dari semua pengaturan tersebut dibandingkan
satu dengan lainnya untuk mendapatkan persamaan dan perbedaannya disertai
analisisnya.
Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Pengaturan kewarisan bagi ahli waris
pengganti diatur dalam KHI Pasal 185 dan Buku II PPTAPA yang memperjelas
ketentuan Pasal 185 KHI tersebut, serta juga terdapat hasil Rapat Kerja Nasional
Mahkamah Agung RI (Rakernas MARI) tahun 2010. Pada KHI, tidak disebutkan secara
detail, siapa saja yang menjadi ahli waris pengganti. Tetapi dalam Buku II
PPTAPA disebutkan siapa saja yang menjadi ahli waris pengganti. Dalam
penyelesaian perkara ahli waris pengganti, khususnya anak dari saudara pewaris
yang telah meninggal lebih dulu dari pewaris, telah dibuat dalam bentuk
penetapan dan putusan oleh beberapa pengadilan di lingkungan peradilan agama.
Berikut diuraikan pengaturan kewarisannya:
Kompilasi Hukum Islam
Pengaturan ahli waris pengganti
disebutkan secara khusus pada Pasal 185 yang isi pasalnya adalah sebagai
berikut:
(1)� Ahli waris yang meninggal lebih
dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali
mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2)� Bagian ahli waris pengganti tidak
boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Pasal ini tidak menentukan siapa
saja ahli waris yang telah meninggal lebih dulu dari pewaris dapat digantikan
oleh anaknya. Artinya, pasal ini dapat diterapkan untuk ahli waris pengganti
yaitu anak dari anak atau cucu pewaris, anak dari saudara pewaris atau
keponakan pewaris. Yang hanya diatur dalam pasal ini adalah apabila terdapat
ahli waris yang meninggal lebih dulu dari pewaris, anak dari ahli waris yang
telah meninggal tersebut dapat menggantikannya dengan besar bagian warisan yang
tidak melebihi bagian waris ahli waris yang sederajat dengan ahli waris yang
digantikannya.
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 03
Tahun 2015
Dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah
Agung RI yang diselenggarakan pada tahun 2010 di Balikpapan, salah satu hasil
yang disepakati adalah pembatasan ruang lingkup ahli waris pengganti. Batasan
ruang lingkup ahli waris pengganti adalah hanya sampai pada keturunan garis
lurus ke bawah yaitu sampai derajat cucu. Dalam hal ini, cucu sebagai ahli
waris pengganti mendapatkan bagian warisan dengan besarannya sesuai dengan
ketentuan Pasal 185 ayat (2) KHI. Berbeda dengan anak dari saudara pewaris
yaitu keponakan pewaris dapat diposisikan untuk mendapatkan wasiat wajibah,
bukan sebagai ahli waris pengganti yang berhak mendapatkan bagian warisan
seperti cucu pewaris.
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas
dan Administrasi Peradilan Agama (PPTAPA)
Buku II PPTAPA merupakan acuan bagi
hakim, panitera/panitera pengganti, dan juru sita dalam pelaksanaan tugasnya
secara administrasi dan teknis di peradilan agama. Berkenaan dengan ahli waris
pengganti, Buku II PPTAPA memperkuat ketentuan Pasal 185 KHI.
Ada dua asas kewarisan dari sepuluh
asas kewarisan yang menguraikan ahli waris pengganti yaitu asas
bilateral/parental dan asas ahli waris langsung dan asas ahli waris pengganti.
(1) Asas bilateral/parental merupakan asas yang tidak membedakan laki-laki dan
perempuan dalam kewarisan. Pertama, asas bilateral/parental dalam ahli waris
pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 185 KHI adalah �cucu dari anak
perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan/anak
laki-laki dari saudara perempuan, bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak ibu
serta keturunan dari bibi adalah ahli waris pengganti.� Penyebutan para ahli
waris pengganti ini adalah mereka yang berasal dari garis perempuan. Hal ini
untuk menegaskan bahwa ahli waris pengganti dari garis perempuan berhak
mendapatkan bagian warisan. Namun demikian, bukan berarti mereka yang berasal
dari garis laki-laki tidak termasuk ahli waris pengganti karena ahli waris
pengganti dari garis laki-laki tidak dipersoalkan atau tidak diperdebatkan,
berbeda dengan para ahli waris pengganti dari garis perempuan. Kedua, asas ahli
waris langsung dan asas ahli waris pengganti. Asas ahli waris langsung (eigen hoofde) adalah mereka yang
disebutkan dalam Pasal 174 KHI yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman, kakek, ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek, duda, dan janda.
Asas ahli waris pengganti (plaatsvervulling)
adalah ahli waris yang diatur dalam Pasal 185 KHI, yaitu ahli waris
pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan dalam Pasal 174 KHI yang di
antaranya adalah keturunan dari anak laki-laki, keturunan dari anak perempuan,
keturunan dari saudara laki-laki, keturunan dari saudara perempuan, keturunan
dari paman, keturunan dari kakek dan nenek yaitu bibi dan keturunannya. Dalam
KHI dan Buku II PPTAPA, paman tidak termasuk ahli waris pengganti meskipun ia
keturunan dari kakek dan nenek karena paman adalah ahli waris langsung yang
disebut dalam Pasal 174 KHI.
Buku II PPTAPA mengatur empat
kelompok derajat ahli waris. Anak dari saudara pewaris termasuk dalam kelompok
derajat ketiga di mana ia dapat mewaris bersama suami/isteri, saudara
(sekandung, seayah, dan seibu), kakek dan nenek dari pihak ayah, kakek dan
nenek dari pihak ibu. Anak dari saudara pewaris tidak mewaris bersama ayah dan
ibu pewaris karena termasuk kelompok derajat pertama, dan tidak mewaris bersama
anak dan keturunan pewaris karena termasuk kelompok derajat pertama dan kedua.
Mengenai besar bagian warisan anak
dari saudara pewaris, Buku II PPTAPA menentukan sebesar bagian warisan yang
digantikannya. Tetapi, bagian warisan anak dari saudara pewaris ini tetap
berpegang pada ketentuan Pasal 185 ayat (2) KHI bahwa besar bagian warisan ahli
waris pengganti adalah tidak melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan
ahli waris yang diganti. Selain itu, apabila ahli waris pengganti terdiri dari
laki-laki dan perempuan maka laki-laki mendapat bagian dua kali bagian
perempuan.
Putusan No. 76 K/Ag/2016
Putusan ini menyelesaikan perkara
kewarisan di mana pewaris meninggal tanpa meninggalkan anak dan keturunan,
isteri, ayah, dan ibu, tetapi pewaris meninggalkan keponakan dan cucu keponakan
dari enam saudara pewaris yang seluruhnya telah meninggal lebih dulu dari
pewaris. Dua keponakan pewaris dan seorang cucu keponakan pewaris mengajukan gugatan
atas harta warisan pewaris yang dikuasai oleh salah satu cucu keponakan
pewaris. Berikut adalah gambar kasus kewarisannya.
Gambar 1
Kasus kewarisan dalam Putusan No. 76
K/Ag/2016
Hakim memutuskan untuk menguatkan
putusan judex facti yang memutuskan
bahwa anak dari saudara pewaris adalah tidak termasuk ahli waris pengganti.
Alasannya adalah ahli waris pengganti yang diatur dalam Pasal 185 KHI hanya
dibatasi dalam derajat cucu dalam keturunan garis lurus ke bawah dari pewaris.
Dengan demikian, para pemohon kasasi dinilai tidak memiliki legal standing untuk menjadi pihak dalam
perkara ini.
Penetapan No. 08/Pdt.P/2018/PA
Sidrap
Pewaris dalam perkara ini adalah
dalam kondisi kalalah. Ia tidak
menikah maka ia tidak meninggalkan isteri, anak dan keturunan, serta ayah dan
ibunya telah meninggal lebih dulu darinya. Keluarga yang ditinggalkan adalah
seorang saudara laki-laki kandung, enam anak dari saudara perempuan kandungnya
yang telah meninggal lebih dulu, dan tujuh anak dari saudara perempuan kandung
lainnya yang juga telah meninggal lebih dulu dari pewaris. Seluruh anggota
keluarga yang ditinggalkan ini mengajukan permohonan penetapan ahli waris dari
pewaris. Kewarisannya dapat digambarkan seperti berikut.
Gambar 2
Kasus kewarisan dalam Penetapan No.
08/Pdt.P/2018/PA Sidrap
Hakim menetapkan bahwa anak-anak
dari saudara-saudara perempuan pewaris tidak dapat menjadi ahli waris pengganti
karena mereka terhijab oleh saudara laki-laki pewaris yang masih hidup. Ahli
waris pengganti bagi anak dari saudara pewaris tidak dapat diberlakukan karena
mereka adalah keturunan garis menyamping bukan dari atas ke bawah seperti kakek
terhadap cucunya.
Penetapan No. 235/Pdt.P/2020/MS-Jth
Perkara pada Penetapan No.
235/Pdt.P/2020/MS-Jth dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 3
Kasus kewarisan dalam Penetapan No.
235/Pdt.P/2020/MS-Jth
Semasa hidupnya pewaris telah
menikah dan belum memiliki keturunan. Kedua orang tua pewaris telah meninggal
dunia. Selain seorang isteri, pewaris meninggalkan seorang saudara perempuan
kandung dan tujuh anak dari saudara perempuan kandung lainnya yang telah
meninggal lebih dulu dari pewaris. Pihak yang mengajukan permohonan penetapan
ahli waris adalah isteri pewaris dan saudara perempuan kandung pewaris saja.
Dalam proses pengadilan, hakim mendapatkan bukti bahwa selain kedua pemohon
tersebut, pewaris juga memiliki tujuh keponakan yang merupakan anak-anak dari
saudaranya yang telah meninggal.
Atas perkara ini, hakim menetapkan
anak dari saudara pewaris adalah ahli waris pengganti karena telah memiliki
hubungan darah dengan pewaris (Pasal 171 KHI), beragama Islam (Pasal 172 KHI),
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (Pasal 185 KHI).
Dalam penetapan ini, hakim tidak menentukan besar bagian warisan masing-masing
ahli waris. Dengan demikian, yang menjadi ahli waris pewaris adalah isteri,
saudara perempuan kandung, dan tujuh anak dari saudara perempuan kandung yang
telah meninggal lebih dulu dari pewaris.
Penetapan No. 53/Pdt.P/2021/PA.Bdg
Dalam perkara ini, para pemohon yang
merupakan para keponakan dan para cucu keponakan pewaris mengajukan permohonan
penetapan ahli waris. Para pemohon adalah anak-anak dan cucu-cucu dari saudara
laki-laki dan saudara perempuan baik sekandung maupun seayah pewaris.
Gambar 4
Kasus kewarisan dalamPenetapan No.
53/Pdt.P/2021/PA.Bdg
Dalam penetapannya, hakim menetapkan
anak-anak dan cucu-cucu dari saudara-saudara pewaris adalah ahli waris
pengganti dari saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara perempuan pewaris
baik yang kandung maupun seayah. Pertimbangan hukumnya adalah anak-anak dari
saudara-saudara pewaris telah memenuhi syarat-syarat ahli waris yaitu adanya
bukti hubungan darah sebagai keturunan dari saudara kandung dan keturunan dari
saudara seayah (Pasal 174 KHI), beragama Islam (Pasal 172 KHI), tidak terhalang
sebagai ahli waris (Pasal 173 KHI), dan termasuk ahli waris pengganti sebagai
anak yang menggantikan ayah/ibunya (saudara pewaris) yang telah meninggal lebih
dulu dari pewaris (Pasal 185 KHI). Ada satu anak dari saudara laki-laki
sekandung pewaris beragama Hindu yang tidak menjadi ahli waris karena tidak
memenuhi syarat sebagai ahli waris yaitu beragama Islam. Dalam penetapan ini
tidak ditentukan besar bagian warisan masing-masing ahli waris. �
Dari
hasil penelitian atas ketentuan kewarisan bagi keponakan pewaris ditemukan
bahwa meskipun KHI dan Buku II PPTAPA menentukan bahwa keturunan saudara
pewaris baik dari saudara laki-laki maupun dari saudara perempuan adalah ahli
waris pengganti, hakim dapat menetapkan atau memutuskan berbeda dari ketentuan
tersebut. Pada perkara
dalam Penetapan No. 235/Pdt.P/2020/MS-Jth dan Penetapan No.
53/Pdt.P/2021/PA.Bdg, keturunan saudara pewaris baik dari saudara laki-laki
maupun saudara perempuan, baik saudara sekandung maupun saudara seayah ditetapkan
sebagai ahli waris pengganti. Pada perkara Penetapan No. 08/Pdt.P/2018/PA
Sidrap, keturunan saudara perempuan kandung pewaris tidak menjadi ahli waris
pengganti karena dua alasan yaitu masih ada saudara laki-laki pewaris yang
masih hidup dan keturunan saudara pewaris adalah ada pada garis menyamping
bukan garis ke bawah seperti cucu. Sementara itu, pada perkara Putusan No. 76
K/Ag/2016, keturunan saudara pewaris adalah bukan ahli waris pengganti sehingga
mereka tidak memiliki legal standing sebagai pihak yang mengajukan perkara
kewarisan tersebut, karena yang termasuk sebagai ahli waris pengganti adalah
pada garis ke bawah bukan garis menyamping.
Pembahasan
Dalam
kewarisan, kedudukan ahli waris tidak hanya pada persoalan mewarisi saja,
tetapi juga persoalan menggantikan hak hidup orang yang digantikan, misalnya
dalam peralihan hak atas benda dari pewaris kepada ahli waris. Bagi anggota
keluarga yang termasuk ahli waris langsung, seperti anak, ayah, ibu, saudara
laki-laki, saudara perempuan, suami, atau isteri, tidaklah menjadi perdebatan
karena bagian mereka telah ditentukan langsung di dalam al Qur�an Surah Annisa
ayat 11, 12, dan 176. Perbedaan pendapat terjadi ketika anggota keluarga tidak
ditentukan bagian warisannya di dalam al Qur�an, seperti keturunan anak dan
keturunan saudara.
Kedudukan
dan bagian ahli waris pengganti dalam hukum waris Islam, merupakan hasil
perkembangan zaman dan pola pikir masyarakat sehingga membawa kemajuan dalam
bidang� kewarisan Islam di Indonesia.
Istilah �ahli waris pengganti� diperkenalkan melalui Pasal 185
KHI setelah berlakunya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam pada tanggal 10 Juni 1991.
Ketentuan
dalam Pasal 185 ayat (1) berisi bahwa �Ahli waris yang meninggal lebih dahulu
dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya �.�
Penggunaan kata �dapat� bersifat tentatif mengacu pada penggantian kedudukan
ahli waris. Dengan kata lain, ahli waris pengganti bisa saja menggantikan
kedudukan orang tuanya atau tidak. Dalam penafsiran yang lain, apabila
dicermati isi pasal tersebut, secara harfiah memberikan makna bahwa jangkauan
penggantian ahli waris itu meliputi seluruh garis keturunan baik ke bawah
maupun menyamping. Artinya, ahli waris pengganti adalah cucu yang menggantikan
anak pewaris atau keponakan yang menggantikan saudara pewaris atau cucu
keponakan yang menggantikan keponakan pewaris. Pemahaman demikian, dapat
diperoleh dengan menyimak pada dua kata kunci yang ada pada pasal tersebut
yaitu kata �ahli waris� dan kata �anaknya�.
����������� Pada awalnya, penentuan ahli waris pengganti ini
menimbulkan perdebatan. Kemudian Mahkamah Agung memandang penting kedudukan
ahli waris pengganti. Dalam Buku II PPTAPA, ahli waris pengganti diperluas
tidak terbatas pada cucu pewaris, tetapi juga anak saudara, keturunan paman,
bibi melalui ayah dan ibu, dan keturunan bibi. Nampaknya, perkara dalam
Penetapan No. 235/Pdt.P/2020/MS-Jth dan Penetapan No. 53/Pdt.P/2021/PA.Bdg
selaras dengan ketentuan Buku II PPTAPA. Hakim dalam kedua perkara ini
menerapkan asas ahli waris pengganti yang menjadikan anak-anak dan cucu-cucu
dari saudara pewaris sebagai ahli waris pengganti. Selain itu, hakim juga
menerapkan asas bilateral/parental yang tidak membedakan apakah anak dan cucu
dari saudara pewaris tersebut berasal dari garis laki-laki atau garis
perempuan, dan dari saudara sekandung atau saudara seayah.
Ketentuan
dalam Pasal 185 ayat (2) menentukan �Bagian ahli waris pengganti tidak boleh
melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.� Dari
ketentuan tersebut disimpulkan bahwa ahli waris pengganti yang menempati
kedudukan orang yang digantikannya akan memperoleh sebesar bagian yang
diperoleh oleh ahli waris seandainya mereka masih hidup. Namun, perolehan
bagian warisan itu dibatasi tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang digantikannya. Dalam perkara-perkara yang dibahas dalam
tulisan ini, hakim tidak menentukan besar bagian masing-masing ahli waris.
�
Kesimpulan
Pengaturan
kewarisan keturunan saudara pewaris berbeda-beda yang diatur dalam KHI, SEMA
No. 03 Tahun 2015, dan Buku II PPTAPA. Tidak hanya sampai di situ, penyelesaian
perkara kewarisan keturunan saudara pewaris yang dilakukan oleh para hakim di
pengadilan di lingkungan peradilan agama pun berbeda-beda. Hakim tidak selalu
mengikuti ketentuan KHI, SEMA No. 03 Tahun 2015, dan Buku II PPTAPA.
Perbandingan dari kesemuanya itu adalah:
(1) keturunan saudara
pewaris tidak dapat menjadi ahli waris pengganti dengan alasan adanya
pembatasan ahli waris pengganti adalah sampai batas cucu dari garis ke bawah
dan adanya saudara laki-laki pewaris yang masih hidup, dan
(2) keturunan saudara
pewaris dapat menjadi ahli waris pengganti karena memenuhi syarat-syarat
sebagai ahli waris yaitu ada hubungan darah, beragama Islam, masih hidup ketika
pewaris meninggal.
Adanya
perbedaan pendapat tentang kedudukan keturunan saudara pewaris dalam kewarisan,
apakah menjadi ahli waris pengganti atau tidak, dapat menimbulkan kebingungan
dalam masyarakat. Meskipun pada prinsipnya hakim memiliki kebebasan dalam
memutuskan atau menetapkan suatu perkara, serta wajib menggali nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat, kehadiran KHI dan Buku II PPTAPA yang juga merupakan
hasil kajian para ahli hukum di Mahkamah Agung tidak selalu menjadi pegangan
bagi hakim dalam menyelesaikan perkaranya.
BIBLIOGRAFI
�����������������������������������������������
Indonesia. Undang-Undang tentang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974, LNRI Nomor 1
Tahun 1974, TLN Nomor 3019.����������������������������
��������� ��
Indonesia. Instruksi Presiden Tentang Kompilasi Hukum Islam. Inpres Nomor 1
Tahun 1991.
Mahkamah Agung. Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakukan
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan����������������������������������������������������
Mahkamah Agung. Putusan No. 76
K/Ag/2016
Mahkamah Agung. Penetapan No.
08/Pdt.P/2018/PA Sidrap
Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah
Syar�iyah Jantho Nomor 235/Pdt.P/2020/MS-Jth
Mahkamah Agung. Penetapan No.
53/Pdt.P/2021/PA.Bdg
��������� ��������������������������������������������������������������������������������������
Djubaedah, Neng dan Yati N
Soelistijono. (2008). Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Suryati. Hukum Waris Islam. (2012). Yogyakarta: Penerbit Andi.
Sjarif, Surini Ahlan dan Nurul
Elmiyah. (2006). Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan Menurut Undang-Undang.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Thalib, Sayuti. (2016). Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Mahkamah Agung RI.
(2013). Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.
Assyafira, Gischa Nur. (Mei 2020). Waris Berdasarkan Hukum Islam di
Indonesia. Jurnal Hukum Islam dan Pranata
Sosial Islam, Vol: 08. �
���������
Junandi. (Juni 2017). Reposisi
Kedudukan Saudara Dalam Hukum Waris Islam. Jurnal
Ilmu Syari�ah dan Perbankan Islam, Vol. 2 No. 1: 1.
Naskur. (2008). Ahli Waris dalam Kompilasi
Hukum Islam. Jurnal Ilmiah Al-Syirah,
Vol. 6 No. 2:2.
Raja Ritonga, Dedisyah Putra dan
Asrul Hamid. (Maret 2022). Teori dan Praktek Hijab-Mahjub dalam Kewarisan Islam
Menurut Konsep Syajarotul Mirats. TAHKIM,
Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, Vol.5 No.1
Septianingtyas, Nanda dan Khairani
Bakri. (2022). Ahli Waris Saudara dan Anak Kandung Menurut Hukum Waris Islam. Reformasi Hukum Trisakti, Vol. 4 No.3:
595-600
Copyright
holder:
Angky Anggia Ayu, Yeni Salma
Barlinti (2022)
|
First
publication right:
Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia
|
This
article is licensed under:
|