Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
11, November 2022
IMPLEMENTASI PERATURAN PRESIDEN NOMOR 59 TAHUN 2019 TENTANG KEBIJAKAN
PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH TERHADAP PARA PELAKU BISNIS PERUMAHAN
Ferisa Nurfauziyah, Mohamad Fajri Mekka Putra
Magister
Kenotariatan Universitas Indonesia
Email: f[email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilakukan setelah
hadirnya Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Kebijakan Pengendalian
Alih Fungsi Lahan Sawah dan aturan pendukung lainnya yang menimbulkan beberapa
masalah lapangan, khususnya terkait Para Pelaku Bisnis Perumahan dalam
menjalankan bisnis mereka. Isi dari Peraturan tersebut yang berdampak pada Para
Pelaku Bisnis Perumahan ialah masalah perizinan. Perizinan yang sulit
didapatkan ini membuat hak warga negara atas kebutuhan tempat tinggal atau
rumah menjadi terhambat.
Kata kunci: LSD, Pengembang, Hak atas Tanah.
Abstract
This research was conducted
after the presence of Presidential Regulation Number 59 of 2019 concerning
Policy for Controlling the Transfer of Functions of Paddy Fields and other
supporting regulations which caused several problems in the field, especially
related to Developers in running their business.
The content of the regulation that has an impact on Developers are licensing
issues. Permits that are difficult to obtain impede citizens' rights to housing
or housing needs.
Keywords: The Transfer
of Functions of Paddy Fields, Developers, Land Rights.
Pendahuluan
Indonesia
memiliki kekayaan alam yang berlimpah, salah satunya adalah tanah yang subur.
Indonesia pun terkenal dengan sebutan sebagai negara agraris karena memiliki
lahan sawah yang luas dan sebagian besar penduduknya bekerja di sektor
pertanian. Namun seiring dengan pertumbuhan perekonomian yang mengharuskan
adanya pembangunan infrastruktur seperti perluasan pemukiman, penambahan jumlah
industri dan jalan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Hal itu memberikan dampak
terhadap ketersediaan lahan yang semakin menyusut.
Penyusutan
ini mempengaruhi jumlah produksi beras dalam negeri. Sementara kebutuhan akan
beras begitu besar yang menjadikan pemerintah untuk berfokus pada pemeliharaan
ketahanan pangan di Indonesia. Untuk mendukung ketahanan pangan ini pemerintah
menetapkan Peraturan
Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Sawah, atau yang sering disingkat dengan aturan Lahan Sawah Dilindungi (LSD). Dalam penerapan aturan tersebut dikeluarkan Keputusan
Menteri (Kepmen) ATR/Kepala BPN Nomor 1589/Sk-Hk
02.01/XII/2021 tentang Penetapan LSD di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatra
Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DI
Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, dan Provinsi Nusa Tenggara
Barat.
Namun
dalam pelaksanaan aturan LSD, banyak proses rancu yang membingungkan
masyarakat, terkhususnya para pelaku bisnis atau pengembang di bidang perumahan
(developer). Aturan ini membuat banyak dari para pengembang, para pelaku usaha,
investor terjebak dalam keadaan. Pasalnya, banyak dari mereka yang tidak bisa
dikeluarkan izin terkait pengembangan usaha. Sebab, tanah yang mereka beli
setelah adanya aturan LSD tersebut terindikasi tanah yang masuk dalam kategori
LSD, karena pengairannya yang masih bagus dan irigasinya juga masih sangat
memungkinkan untuk dijadikan kawasan sawah. Para pengembang tidak bisa
membangun perumahan maupun kawasan industri LSD, meskipun telah dikuasai.
Dari sisi LSD,
banyaknya kasus perumahan atau pergudangan yang sudah dibangun tetapi tiba-tiba
sekarang ditetapkan�sebagai LSD. Akibatnya, pembangunan dan
pasokan rumah menjadi terhambat. Padahal sebagian besar pengembang membangun
dengan memakai uang bank, di mana ada cost of fund termasuk bunga yang
harus tetap dibayar. Para pengembang ini sebagian besar usaha mikro kecil
menengah (UMKM) yang perlu dibantu dan didukung. Kemudian dalam kaitan
mengenai hak atas tanah, ketentuan aturan ini membuat status tanah tersebut
menjadi lemah dan tidak berguna. Sementara maksud dari hak atas tanah adalah
hak yang memberi wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau
mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Sehingga menimbulkan pertanyaan
bahwa status tanah kepemilikan yang secara jelas telah menjadi milik pribadi
tersebut apa mungkin diubah oleh negara.
Pokok permasalahan dalam
penelitian ini dirumuskan: (1) Bagaimana Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor
59 Tahun 2019 tentang Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah
dihubungkan dengan Para Pengembang Perumahan. (2) Bagaimana Efisiensi Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang
Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Jika dihubungkan dengan Para
Pengembang Perumahan. (3) Bagaimana Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019
tentang Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap status hak atas
tanah.
Metode Penelitian
Metode penelitian dalam
penyusunan jurnal ini menggunakan penelitian yuridis normatif (hukum normatif). Yuridis normatif adalah penelitian
hukum kepustakaan yang dilakukan dengan mengacu
pada konsep hukum sebagai kaidah dengan upaya menemukan kebenaran koherensi
antara aturan hukum dengan norma hukum untuk mendalami identifikasi terhadap
pengertian-pengertian atau dasar dalam hokum. Spesifikasi penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis, yaitu
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori
hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan yang
telah dirumuskan.
Teknik
pengumpulan data pada penelitian ini juga berupa bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan-bahan hukum tersier.
Pada Bahan hukum primer: 1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 3) Undang
Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960; 4) Undang-Undang No 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja; 5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah; 6) Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Kebijakan
Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah; 7) Keputusan Menteri (Kepmen) ATR/Kepala
BPN Nomor 1589/Sk-Hk 02.01/XII/2021 tentang Penetapan LSD di Kabupaten/Kota di
Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Banten,
Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi
Jawa Timur, Provinsi Bali, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Bahan hukum sekunder ditarik dari literatur seperti
pendapat para ahli, buku-buku dan makalah-makalah yang relevan dengan judul
yang sedang dikaji. Terakhir bahan hukum lainnya yang
dikumpulkan adalah dari berita resmi secara online
(internet).
Hasil dan Pembahasan
A. Bagaimana Peraturan Presiden Nomor 59
Tahun 2019 tentang Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap
status hak atas tanah.
Tanah sebagai bagian penting bagi manusia, karena
diatas tanah itulah manusia dapat mencari nafkah seperti bertani, berkebun dan
berternak. Di atas tanah pula manusia dapat membangun rumah sebagai tempat
berlindung dan membangun bangunan lainnya untuk kebutuhan lain seperti
perkantoran, tempat usaha dan lain sebagainya. Tanah ini pun mengandung
berbagai macam kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan manusia.
Sementara hak atas tanah adalah hak atas sebagian
tertentu permukaan bumi yang terbatas, dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33
ayat 3 dikemukakan landasan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kekuasaan Negara yang ada didalam Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 adalah untuk
mengatur pengelolaan fungsi bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan yang
terkandung di dalamnya. Pada Pasal 4 ayat (1) UUP A menentukan adanya
macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan pada orang baik perseorangan
atau badan hukum, atas dasar Pasal 2 jo Pasal 4 ayat (1) UUP A Negara mengatur
adanya bermacam-macam hak-hak atas tanah dalam Pasal 16 ayat (l).
Tanah yang termasuk dalam alih fungsi lahan sawah
ini banyaknya berstatus tanah hak milik. Sementara�hak milik adalah hak yang
�terkuat dan terpenuh� yang berarti dikuasai oleh orang atas tanah. Hak milik ini
mempunyai ciri-ciri yaitu:
1. Turun-temurun artinya hak milik atas tanah dimaksud
dapat beralih karena hukum dari seseorang pemilik tanah yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya.
2. Terkuat, artinya bahwa hak milik atas tanah tersebut
yang paling kuat diantara Hak-hak atas tanah yang lain.
3. Terpenuh, artinya bahwa hak milik atas tanah tersebut
dapat digunakan untuk usaha pertanian dan juga untuk mendirikan bangunan.
4. Dapat beralih dan dialihkan.
5. Dapat dijadikan jaminan dengan dibebani hak
tanggungan.
6. Jangka waktu tidak terbatas
Adapun Pemindahan hak sebagai suatu perbuatan
hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk mengalihkan hak atas tanah tersebut
kepada pihak lain. Bentuk pemindahan haknya dapat dilakukan sebagai berikut:
Tanah sebagai alat daripada kebutuhan dan ketahanan
pangan di Indonesia mengakibatkan adanya interfensi dari Pemerintah terkait hak
atas tanah di Indonesia demi kemakmuran rakyat dengan program yang disebut
Lahan Sawah Dilindungi (LSD). Namun, menurut Muhammad Joni (2022), Advokat yang
juga Ketua Korsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas-Pera)
ada lima hal yang harus diperhatikan dalam penetapan Lahan Sawah Dilindungi.
1. Jangan memberangus hak keperdataan
orang/badan hukum, atas hak milik dan hak harta benda yang dijamin UUD 1945.
Hal ini sudah diatur dalam:
(a) Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,
Bahwa "Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi".
(b) Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
�Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapa pun�.
(c) Pasal 28I ayat (4) UUD 1945,
perlindungan, penegakan, pemajuan, pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah.
Hak milik atas tanah yang dimiliki
masyarakat merupakan suatu hak turun temurun yang terkuat dan terpenuh yang
dapat diperoleh dengan melihat fungsi sosial yang melekat pada hak dari
kepemilikan tanahnya.
2. Tidak menegasikan Perda Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang by law mengikat.
3. Tidak maladministration,
namun full complience. Seharusnya dapat mematuhi
syarat-syarat berdasarkan wewenang terikat, menjalankan prosedural-formal dalam
pembentukan kebijakan publik penetapan LSD.
4. Mestinya kebijakan Lahan Sawah
Dilindungi partisipatif dan mempertimbangkan dasar kepemilikan dan hak-hak
warga atau badan hukum atas tanah yang terimbas penetapan LSD.
Karena jika
�data yuridis� dan �data fisik� hak atas tanah telah didaftarkan haknya dengan
pembuktikan terbitnya suatu sertifikat hak atas tanah, maka semestinya menjadi
pengakuan dan bentuk perlindungan serta bentuk jaminan oleh negara bagi
orang pemegang hak atas tanahnya.
Oleh karena
itu tidaklah dapat negara secara sewenang-wenang mengambil kebebasan warga
pemilik sertifikat untuk menjual, menghibahkan, menjadikan agunan, dan lain
sebagainya, sepanjang status hak atas tanah tersebut bebas dari segala sitaan
dan maupun jaminan kebendaan yang membebani diatasnya
5. Dan harus menghargai hak atas tanah
sesuai asas kepastian hukum yang adil. Negara dalam hal ini pemerintah tak
berwenang menihilkan hak keperdataan atas tanah warga.
B.
Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Kebijakan
Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah dihubungkan dengan Para Pengembang
Perumahan.
Lahan
mempunyai arti penting bagi para stakeholder yang memanfaatkan lahan
tersebut. Fungsi lahan bagi masyarakat adalah sebagai tempat tinggal dan sumber
mata pencaharian. Bagi petani, lahan ialah sumber menghasilkan makanan dan
keberlangsungan hidup mereka. Bagi pihak swasta, lahan merupakan aset untuk mengakumulasikan
modal. Bagi pemerintah, lahan adalah kedaulatan bagi suatu negara untuk
kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak kepentingan yang saling terkait dalam
penggunaan lahan, hal ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kepentingan
antar para peran yaitu petani, pihak swasta, dan pemerintah dalam memanfaatkan
lahan. Adapun manfaat dari lahan pertanian ini menurut Sumaryanto dan Tahlim
(2005) dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu, nilai penggunaan dan nilai
bawaan.
Alih
Fungsi Lahan adalah suatu proses perubahan penggunaan lahan dari bentuk
penggunaan tertentu menjadi penggunaan lain misalnya ke-non pertanian. Dan
biasanya dalam pengalih fungsiannya mengarah ke hal yang bersifat negatif bagi
ekosistem lingkungan alam sawah itu sendiri. Menurut Lestari (2009) proses alih
fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian yang terjadi disebabkan oleh
beberapa faktor. Ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih
fungsi lahan sawah yaitu:
1. Faktor Eksternal.
���� Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya
dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.
2. �Faktor
Internal.
Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh
kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.
3. Faktor Kebijakan.
Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.
Kelemahan pada aspekregulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan
masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang
dilarang dikonversi.
Hadirnya
Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 merupakan dasar hukum pengendalian alih
fungsi lahan sawah (Perpres LSD) yang bertujuan untuk mempercepat penetapan
peta lahan sawah yang dilindungi. Lahan sawah yang dilindungi ini dalam rangka
memenuhi dan menjaga ketersediaan lahan sawah untuk mendukung kebutuhan pangan
nasional, mengendalikan alih fungsi lahan sawah yang semakin pesat,
memberdayakan petani agar tidak mengalihfungsikan lahan sawah dan menyediakan�data dan informasi lahan sawah untuk bahan
penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Sebagaimana menurut
Kepala Bidang Penataan dan Pengendalian Pertanahan Agraria Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional (P2P-ATR/BPN) Jember Zainal Darmo (2022) bahwa kebijakan pengendalian
alih fungsi lahan sawah dengan penetapan lahan sawah yang dilindungi (LSD)
merupakan bukti keseriusan pemerintah menjaga lahan sawah. Hal ini dikarenakan
kebutuhan manusia terhadap tanah dewasa ini semakin meningkat. Hal ini
disebabkan semakin bertambahnya jumlah penduduk, sementara luas tanah tidak
turut bertambah.�
Implementasi Perpres 59 Tahun 2019 dilaksanakan melalui kegiatan
verifikasi lahan sawah di 8 provinsi lumbung pangan Indonesia (Banten, Jabar,
Jatim, Jateng, DI Yogyakarta, Bali, NTB, dan Sumbar), kemudian dilanjutkan
dengan kegiatan verifikasi di 12 provinsi (Aceh, Sumut, Jambi, Kepulauan Riau,
Riau, Bengkulu, Babel, Lampung, Sumsel, Kalsel, Kalbar dan Sulsel) tahun
2020 dan 13 provinsi (Kalteng, Kaltim, Kaltara, Sulbar, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Sulut, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, NTT, Papua, dan
Papua Barat) pada 2021. Hasil verifikasi dan klarifikasi 20 provinsi (Aceh,
Sumut, Jambi, Kepulauan Riau, Riau, Bengkulu ,Babel, Lampung, Sumsel,
Kalsel, Kalbar, Sulsel, Aceh, Sumut, Jambi, Kepulauan Riau, Riau, Bengkulu
,Babel, Lampung, Sumsel, Kalsel, Kalbar, dan Sulsel) tersebut kemudian
ditetapkan menjadi Lahan Sawah yang Dilindungi pada tahun 2021.Sebelum aturan tersebut hadir,
perlindungan sawah masih menggunakan Aturan lahan pertanian pangan
berkelanjutan (LP2B). Namun aturan ini masih belum begitu spesifik mengatur
terkait alih fungsi lahan, dapat dikatakan masih banyak celah. Sehingga LSD
dibuat untuk mengatur lahan pertanian yang masih aktif dengan tidak diperbolehkannya
suatu kawasan dijadikan pekarangan dan perumahan.
Pada penerapan
aturan ini banyak permasalahan bermunculan, dimana ada 157 surat masuk ke Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan
Ruang dan Penguasaan Tanah (Ditjen PPTR) yang mempertanyakan mengenai Lahan
Sawah Dilindungi yang tidak sesuai�dengan Rencana Tata Ruang (RTR).
Terutama yang berada pada Kawasan Peruntukan Industri, Kawasan Permukiman
Perdesaan, Kawasan Permukiman Perkotaan.��� Hal ini pun
terlihat pada banyaknya lahan yang semula kuning berdasar pada Perda RTRW,
seketika menjadi hijau setelah penetapan BPN. Membuktikan bahwa Peta LSD tidak
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), terutama yang berada pada
Kawasan Peruntukan Industri, Perkotaan.
Masalah perumahan�ini adalah hal fundamental dan
kebutuhan asasi manusia. Namun sektor perumahan terus diselimuti
masalah-masalah yang terus berulang terutama dalam hal perizinan. Sebelumnya,
Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menerima audiensi Asosiasi Pengembang
Perumahan Subsidi Indonesia (Apersi). Menurutnya, terbitnya aturan seperti PBG
dan LSD terjadi akibat pemerintah tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang
mengerti tentang perumahan dengan baik. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan
tidak tepat dan kerap berubah-ubah. Menurut Ketua Umum DPP Realestat Indonesia
(REI) Paulus Totok Lusida (2022) yang dihubungi wartawan mengatakan PBG
berpendapat bahwa perlu adanya solusi yang cepat dalam hal perizinan perumahan.
Pasalnya, saat ini ada keengganan pemerintah daerah (Pemda) untuk menerbitkan
PBG. Hal itu disebabkan aturan dalam Undang-Udang Cipta Kerja yang
memerintahkan Pemda mengeluarkan PBG melalui peraturan daerah (Perda). Dilihat
dari Pemda yang tetap tidak berani mengeluarkan PBG hanya dengan Retribusi IMB
saja, jadi tetap alasannya tunggu Perda-nya. Butuh intervensi kuat dari
pemerintah pusat dan Komisi V DPR RI untuk menuntaskan kendala perizinan yang
sudah setahun ini terjadi.
Namun ada
beberapa daerah yang tetap berani mengeluarkan IMB karena merujuk putusan Mahkamah�Konstitusi (MK). yang mana bahwa dua tahun
sampai dengan perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja dilakukan Pemda dapat memakai
aturan lama yaitu IMB. Tetapi masalahnya, IMB tidak bisa masuk dalam data
Sikumbang (Sistem Informasi Kumpulan Pengembang) sebagai syarat realisasi rumah
bersubsidi. Dalam proses penyelesaian masalah tersebut tidak bisa diselesaikan
dalam tingkat Kantor�Pertanahan (Kantah), melainkan pusat
yang mana adalah Kementerian ATR/BPN karena menyangkut kebijakan tata ruang.
Namun, Menteri ATR/Kepala BPN pun perlu membicarakan masalah ini kepada
kementerian terkait soal pengaturan lahan hijau tersebut.
Menurut Wakil
Ketua Umum DPP Apersi, Mohammad Solikin (2022), berpendapat bahwa hingga saat
ini hanya beberapa daerah saja yang sudah menerbitkan PBG. Kondisi ini
mempersulit pengembang dalam memastikan pasokan rumah bersubsidi. Demikian pula
terkait�LSD, aturan ini dikeluarkan serampangan
sekali. Perumahan yang sudah ada izin dan sertifikat induknya mengapa tiba-tiba
jadi LSD. Padahal kontribusi pajak pengembang itu tidak sedikit untuk negara,
jadi seharusnya pun untuk diperhatikan.
LSD menjadikan
investasi pengembang terkait lahan menjadi samar karena adanya izin yang
terganjal aturan tersebut. Meskipun LSD bertujuan untuk menjaga ketahanan pangan, namun proses penerapan aturan yang
dijalankan ini merugikan banyak pihak termasuk masyarakat.
C. Bagaimnana Efisiensi Peraturan
Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Sawah dihubungkan dengan Para Pengembang Perumahan.
Efisiensi Peraturan Presiden
Nomor 59 Tahun 2019 tentang Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah
dihubungkan dengan Para Pengembang Perumahan dapat dilihat dari penerapan Surat Keputusan/SK
Kepala BPN Nomor 1589 Tahun 2021 yang menyebutkan bahwa penetapan
peta lahan sawah dilindungi berdasar foto dari satelit, verifikasi lahan,
sinkronisasi hasil verifikasi lahan.
Namun yang terjadi di lapangan, penetapan peta LSD hanya
berdasar pada foto satelit. Sehingga verifikasi tidak dalam penerapannya tidak
dilakukan secara menyeluruh. Alasan yang menjadi
dasar permasalah tersebut adalah pengurus izin tanah yang tidak dalam ahlinya dalam melakukan mekanisme
pengurusan izin seperti dalam mengurusi penyesuaian kegiatan Kemanfaatan ruang
(KKPR), yang langsung dihubungkan dengan bagian pusat. Semestara seharusnya
yang mengeluarkan izin atau rekomendasi tersebut adalah Dinas Perumahan Rakyat,
Kawasan Pemukiman, dan Cipta Karya (DPRKPCK) yang membawahi itu. Teknis
verifikasi lapangan sepihak oleh pemerintah pusat ini seharusnya melibatkan
publik seperti dalam program perumahan rakyat di mana ada asosiasi pengembang
atau LSM/NGO yang dapat dilibatkan sehingga verifikasi tidak keliru atau
merugikan hak konstitusi orang lain. �Seharusnya harus melalui sistem
terintegrasi, dari PTSP nanti dilanjutkan ke DPRKPCK. Nanti mereka yang
mengecek. Sesuai apa tidak tata ruangnya. Di situ digunakan untuk apa, bengkel,
pekarangan, atau perumahan,� tuturnya.
Serta adanya
beberapa hambatan perizinan seperti aturan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG)
sebagai pengganti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan penetapan Lahan Sawah
Dilindung (LSD). Keputusan penerapan hasil verifikasi LSD juga tidak bisa begitu
saja�meniadakan atau mengabaikan Perda RTRW/RDTR
yang merupakan produk hukum sah dari prosedur legislasi eksekutif dan
legislatif daerah. Penyediaan perumahan bagi masyarakat luas di Indonesia perlu
dilakukan melalui program yang serius dan ambisius terutama oleh negara. Oleh
karenanya, tidak bisa dikerjakan dalam lembaga yang memiliki fokus ganda.
Masalah ini
merupakan hal yang krusial sebab penetapan�LSD menyangkut hak dan hukum warga negara nya,
yang mana hak tersebut terhambat atau terenggut sebab hak atas tanah dalam
melakukan perpindahan, penggantian, ataupun pembagian haruslah bersifat clear and
clean. Maksudnya adalah apabila penetapan LSD tidak sesuai mestinya, hal
ini merugikan para pemegang hak atas tanah yang akan melakukan perbuatan hukum
pada sertifikat tanahnya, sebab status hak atas tanah yang tidak clear and
clean tersebut menghentikan proses perizinan pembangunan rumah tersebut.
Kesimpulan
Ditengah
kebutuhan akan perumahana terdapat kebutuhan pangan yang harus diperjuangkan
juga oleh pemerintah demi meningkatkan ketahanan pangan demi kemakmuran
masyarakat Indonesia. Dengan hal tersebut dibuat pengaturan pada Peraturan
Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Sawah Keputusan Menteri (Kepmen) ATR/Kepala BPN Nomor 1589/Sk-Hk 02.01/XII/2021
tentang Penetapan LSD di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat, Provinsi
Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DI Yogyakarta,
Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai
bentuk aksi nyata oleh Pemerintah. Hal tersebut
menyusul penerapan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor: 1589/SK-HK.02.01/XII/2021 tentang
Penetapan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi pada Kabupaten/Kota di Provinsi
Sumatera Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah,
Provinsi Jawa Timur, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Bali dan
Provinsi Nusa tenggara Barat.
Namun pada dalam proses penerapan aturan tersebut terdapat
beberapa masalah. Masalah
utama dalam penerapan aturan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang
Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah adalah Perumahan yang sudah ada
izin dan sertifikat induknya, di kemudian hari menjadi kategori Lahan
Sawah Dilindungi (LSD). Sehingga memungkin proses penerapan aturan LSD ini
tidak sesuai atau tidak selaras dengan aturan lainnya. Dan jika dilihat pada
sisi lain, masyarakat juga memiliki hak atas tanah yaitu hak milik ataupun para
pengembang dengan Hak Guna Bangunan. Hak milik atas tanah yang dimiliki
masyarakat merupakan suatu hak turun temurun yang terkuat dan terpenuh yang
dapat diperoleh dengan melihat fungsi sosial yang melekat pada hak dari
kepemilikan tanahnya.
Berdasarkan paparan hasil dan pembahasan, penetapan
verifikasi LSD 2021 baiknya di-review ulang, baik dalam hal data maupun konsepnya. Jika tidak
ditanggapi secara serius dan sesuai hukum, maka dapat dikategorikan sebagai
area pelanggaran hukum, bahkan HAM dan hak konstitusi. Sedangkan untuk mencegah
kontraproduktif LSD dengan program perumahan rakyat, alangkah lebih baiknya
jika pemerintah fokus pada pembentukan Bank Tanah yang merupakan amanah
Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) sehingga tidak akan membingungkan posisi
masyarakat dengan aturan seperti LSD tersebut.
BIBLIOGRAFI
Chomzah, Ali Achmad. (2002). Hukum
Pertanahan; Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Sertipikat Dan Permasalahannya. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Effendie, Bachtiar. (1993). Pendaftaran
Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya. Bandung: Alumni.
Harsono, Boedi. (2000). Hukum
Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
Perangin, Effendi. (1994). Hukum Agraria Indonesia,
Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo.
Santoso, Urip. (2010). Pendaftaran dan Perolehan Hak atas Tanah.
Jakarta: Kencana
Sunggono, Bambang.
(2016). Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. Pengantar
Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Sutedi, Adrian. (2007). Implementasi
Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Jakarta:
Sinar Grafika.
A. A. Sagung Tri Buana
Marwanto. (2017). Pengaturan Hak Penguasaan Tanah Hak Milik Perorangan oleh
Negara. Jurnal Universitas Udayana.
Lestari, T. 2009. Dampak Konversi Lahan
pertanian Bagi Taraf Hidup Petani Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Sumaryanto,dkk,2005. Analisis
Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Nonpertanian. Skripsi.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian bekerja-sama dengan Proyek Pembinaan
Kelembagaan Penelitian Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Copyright holder: Ferisa Nurfauziyah, Mohamad Fajri Mekka Putra (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |