Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 6, Juni 2023
FORENSIK ALAT BUKTI NARKOTIKA UNTUK
PEMBUKTIAN SECARA ILMIAH PERSPEKTIF HUKUM ACARA PIDANA
Slamet Pribadi
Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara
Jakarta Raya, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Keberadaan Alat bukti dalam sebuah kasus Pidana, termasuk alat bukti yang bersifat kebendaan seperti Narkotika sangatlah penting, untuk mengetahui sifat, kadar, bentuk, serta keaslian, harus dijelaskan oleh ahlinya, yang didahului oleh pemeriksaan scara ilmiah berdasarkan keilmuan atau kompetensi dari penguji atau pemeriksaan alat bukti. Apakah itu darah manusia, darah hewan, sperma, paru-paru, ginjal dan lain-lain, senjata, pisau, termasuk alat bukti Narkotika, jejak kaki, jejak sepatu, jejak mobil, putung rokok dan lain-lain termasuk segala sesuatu yang diduga berhubungan dengan narkotika. Karena dalam sistem peradilan pidana, harus diketahui jenis narkotika, kadar narkotikanya, berat ringannya narkotika saat diketemukan, berat berdasarkan timbangan saat mau dimusnahkan, serta berat berdasarkan timbangan saat penyisihan antara yang dimusnahkan dan yang di dijadikan alat bukti. Penegak Hukum tidak bisa mengatakan alat bukti tersebut adalah narkotika jenis tertentu, kalau belum ada pemeriksaan ahlinya yang direpresentasikan berupa surat atau dokumen hasil pemeriksaan alat bukti. Karena formalitas cara memperoleh alat bukti atau barang bukti dalam perkara pidana mempengaruhi kwalitas alat bukti di persidangan, berikutnya akan mempengaruhi keyakinan hakim dalam pengambilan keputusan.
Kata Kunci: Bbnarkotikap; pemeriksaanforensik; pembuktian.
Abstract
mHealth (mobile health) is an application
designed to run on the Operating System (SO) on a mobile phone device.
Specifically, mHealth is actually an application designed to run on mobile
phone devices with Android OS, which is specialized in managing health
information. Meanwhile, mHealth referred to here is an application developed to
help prevent and control various Non-Communicable Diseases (NCDs) in
particular, for those who in the era of Special Autonomy of West Papua Province
are underserved.
The development of the mHealth application is
intended to record various indicators that determine a person's NCD risk. This
indicator is recorded every time someone conducts an examination at various
clinics/pharmacies/hospitals. The medical record data will be stored in a
cloud-based repository (Firebase Realtime Database) that can be accessed from
anywhere and anytime at any time only by that person or trained medical
personnel (doctors, other medical personnel) as decision makers who have
obtained permission by the owner of the medical record.�
The methodology used in this study uses
Design Science Research Methodology (DSRM). The final result of this study is
in the form of a smartphone-based MMR (Mobile Medical Record) application,
which can be used to help prevent as early as possible the symptoms of a
person's NCD so as not to cause more serious NCD complications such as kidney
failure, diabetes mellitus, heart failure, stroke to death.
Keywords: mHealth; Noncommunicable diseases (NCDs);
West Papua Province.
Pendahuluan
Perdagangan narkotika merupakan kejahatan serius dan kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak hanya di kancah nasional, tapi bahkan di level internasional, atas kejahatan ini memberikan kontribusi kerugian yang luar biasa, baik
moril anak bangsa ini, maupun
materiil yang dimiliki oleh
bangsa dan negara ini (Muttaqin, 2019). Sepertinya pendapatan
terbesar yang diperoleh sindikat kejahatan lintas negara datang dari perdagangan narkotika, yakni mungkin sekitar dua puluh persen dari
total kejahatan dunia. Analisa dampak
sosial ekonomi bahkan menghasilkan simpulan bahwa konsekuensi terburuk dari keuntungan yang diperoleh dari sindikasi perdagangan narkotika adalah keberlanjutan aktivitas kejahatan. Beban sosial ekonomi terkait perdagangan narkotika adalah diduga dua kali lebih tinggi daripada
perolehan keuntungan bisnis jahat yang terorganisasi ini.
Hasil
Penelitian Badan Narkotika
Nasional dan Universitas Indonesia pada tahun 2014
yang sampai sekarang masih dapat digunakan
sebagai referensi, meskipun ada penelitian
lain terbaru, namun belum menunjukkan hitungan kerugian pribadi dan kerugian sosial yang cukup besar yaitu sejumlah
63,1 triliun. Cukup besar memang waktu
itu, moga yang terbaru memberikan gambaran seperti tertuang dalam penelitian th 2014 tersebut diatas.�
Berbagai strategi
dan dan sejumlah biaya besar sudah
digelontorkan oleh berbagai
negara, Indonesia demikian juga, Ketika saya masih berdinas
di BNN, setiap Kepala BNN selalu menerbitkan strategi tertentu, dengan tujuan agar penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dapat diminimalisir sedemikian rupa. Berbagai regulasi strategis, regulasi tehnis dibidang Pemberantasan, Pencegahan, Pemberdayaan
Masyarakat, sampai dengan Mekanisme Rehabilitasi terus diterbitkan, dan terus dilakukan pembaharuan. Seperti Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2022, tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan,
dan Pemberantasan Penyalahgunaan
dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika tahun 2020 � 2024, yang
sering disebut dengan istlah P4GN.
Inpres sebelumnya yaitu Inpres Nomor 6 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan Pemberantasan dan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) dan Prekursor Narkotika. Namun tampaknya Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika masih terpapar dengan jelas di hadapan kita semua.
Yang lain, soal anggaran
yang kebetulan penulis tidak mempunyai catatan khusus ini, namun menurut
pandangan Penulis, anggaran itu ada
di Lembaga Negara semacam BNN dan Lembaga, Negara
yang lain di Kementrian yang berusaha
untuk melakukan pencegahan dan pemberdayaan di lingkungannya.�
Dari
kerugian dan kebahayaan
yang luar biasa itu, negara memang sepatutnya mengambil langkah luar biasa,
juga menjadi tuntutan yang tidak dapat dielakkan
oleh otoritas penegakan hukum dari sisi
lain atas peran penegakan hukum, untuk memiliki kelengkapan perundang-undangan
dan kompetensi kerja teknik yang mencukupi agar negara
tidak takluk dalam perang menghadapi
perdagangan narkotika transnasional (Purwaganda, 2018).
Negara
harus lebih kuat dari Kejahatan
Narkotika. Dengan mengikuti atau patuh kepada hukum
Materiil dan Hukum Formil soal Narkotika. Tidak hanya soal
hukum perbuatan atas kelakuan buruk
dan jahat para pelaku, akan tetapi juga bagaimana memproses perkara pidana narkotika itu dengan
cara yang benar, yuridis benar dan sah, teknis juga benar juga benar dan sah. Penegak Hukum harus patuh, dan Masyarakat juga harus patuh dan memahami hukum Narkotika.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan penulis dalam melakukan penelitian yang berjudul �Forensik Alat Bukti Narkotika Untuk Pembuktian Secarailmiah. Persepektip Hukum
Acara Pidana�, adalah jenis penelitian Normatif atau studi
terhadap kepustakaan yaitu penelitian dibidang hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder atau bahan
� bahan perpustakaan yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Atas bahan-bahan hukum tersebut kemudian disusun secara sistematis, kemudian dilakukan kajian secara mendalam, setelah itu diberikan
kesimpulan atas tema yang diteliti.
Terhadap penelitian hukum
ini menggunakan pendekatan terhadap Perundang � undangan dan peraturan, buku referensi lainya. Pendekatan ini digunakan untuk mempelajari hukum positip di Indonesia, baik hukum formil dan hukum materiil, khususnya soal pembuktian dalam sistem peeradilan pidana, lebih khusus
lagi soal pemeriksaan secara forensic barang bukti Narkotika.
Penelitian dalam penulisan
ini menggunakan data sekunder yang merupakan data pokok yang didapat dari bahan�bahan
hukum lainya yaitu, bahan�bahan
atau materi yang berkaitan erat dengan permasalahan khususnya jika dihubungkan melalui sudut pandang hukum,
yang terdiri dari:
Bahan Hukum Primer yang sifatnya mengikat meliputi peraturan-peraturan dan segala dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum yang menjadi untuk berpijak pada sistem pembuktian terhadap narkotika, dan hal lain yang berkaitan dengan tersebut menjadi permasalahan yang dapat diteliti.
Bahan Hukum sekunder yaitu suatu bahan
yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
berupa semua publikasi yang tersedia tentang hukum yang bukan merupakan dokumen�dokumen resmi, yang berisi ketentuan soal hukum.
Bahan Hukum tersier adalah suatu bahan
yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum,
dan lain yang sifatnya dapat
memberikan penjelasan tambahan terhadap bahan (Sugiadnyana et al., 2020).
Metode pengumpulan terhadap
bahan hukum yang di analisis dalam penelitian ini menggunakan beberapa studi kepustakaan yang di dalamnya berisi dokumen. Hal ini merupakan teknik pengumpulan beberapa data dengan mempelajari, membaca, dan mencatat hal-hal yang diperlukan dalam buku�buku
tersebut, literatur, catatan-catatan, peraturan perundang�undangan, serta artikel�artikel
penting yang berhubungan dengan penulisan dari media internet yang berhubungan
erat dengan tema penulisan yang digunakan untuk menyusun penulisan hukum ini yang kemudian dikategorikan menurut pengelompokan yang tepat.
Hasil dan Pembahasan
A. Bahayanya Narkotika
Ketika kita bertanya soal dampak panjang
penggunaan/mengkomsumsi Narkotika, jawabnya sangat mengerikan, apakah itu Gila,
setengah mati atau kematian. Penulis juga terkadang bertanya tanya soal ini,
mengapa para penyalahgguna dan pengguna itu masih mau membeli, menyimpan,
menguasai, menggunakan, dengan cara-cara yang tidak bisa dibenarkan oleh akal
sehat dan oleh hukum positip Indonesia, termasuk oleh agama yang kita
dianutnya,� bahkan kemudian di saat lain
malah mengajak orang lain untuk menyalahgunakan dan menggunakan narkotika baik
bersama sama maupun sendiri.
Banyak sekali refrensi yang menjelaskan dan
menginformasikan dampak buruk sekali penggunaan Narkotika. Diantaranya buku
seri Bahaya Narkoba: �Narkotika dan obat terlarang serta zat
adiktif/psikotropika dapat menyebabkan efek dan dampak Negatif bagi pemakainya.
Dampak yang negatif itu sudah pasti merugikan dan sangat buruk efeknya bagi
kesehatan mental dan fisik.
Pengonsumsian narkoba, baik berupa psikotropika maupun
narkotika, tentu akan membawa dampak terhadap tubuh manusia, akibat
yang paling fatal adalah kematian (St Fatmawati & Niasa, 2022). Berikut adalah beberapa mengenai
efek penggunaan narkoba yang akhir akhir ini banyak beredar di masyarakat,
khususnya generasi muda diantaranya sebagai berikut (Yani, 2022): (a) Ekstasi, (b) Sabu-Sabu, (c) Putaw
(heroin), (d) Codein, Demerol & Methadone, (e) Kokain, (f) Cannabis.
Sedangkan dampak penyalahgunaan
narkoba bagi pelakunya diantaranya sebagai berikut Simamora, (2017): (a) Menimbulkan
gangguan kesehatan jasmani dan rohani, merusak fungsi organ vital tubuh: otak, jantung,
ginjal, hati dan paru-paru sampai kepada kematian sia-sia yang tak patut ditangisi. (b) Menimbulkan biaya yang sangat besar baik untuk
membeli narkoba yang harganya sangat mahal, maupun untuk biaya perawatannya
yang juga sangat mahal, sehingga dapat
membuat keluarga Orang tua bangkrut dan menderita. (c) Menimbulkan gangguan terhadap ketertiban, ketentraman keamanan masyarakat. (d) Merusak nama baik
dan harga diri orang yang bersangkutan dihadapan orang
lain. (e) Perbuatan melanggar
hukum yang dapat menyeret pelakunya ke penjara. (f) Memicu tindakan tidak bermoral, tindakan kekerasan dan tindak kejahatan. (g) Menurunkan sampai membunuh semangat belajar adalah perbuatan menghancurkan masa depan. (h) Merusak keimanan dan ketakwaan, membatalkan ibadah agama karena hilangnya akal sehat.
Meskipun demikian
terkadang beberapa jenis obat masih
dipakai dalam dunia kedokteran, namun hanya diberikan bagi pasien-pasien tertentu, bukan untuk dikonsumsi secara umum dan bebas oleh masyarakat. Oleh karena itu, obat
dan narkotik yang disalahgunakan
dapat menimbulkan berbagai akibat yang beraneka ragam� (Majid,
2020).
Memperhatikan penjelasan diatas,
betapa mengerikan penggunaan dan penyalahgunaan narkotika, oleh karena itu Indonesia mengklasifikan perundang undangan yang berkaitan dengan Narkotika adalah UU yang bersirfat khusus. Baik soal Hukum Formalnya (Hukum Acara Pidana Narkotika) maupun Hukum Materiilnya (Hukum Perbuatan Pidana Narkotika). Hukum Positif soal Tindak
Pidana Narkotika menentukan ketentuan yang masuk klasifikasi khusus. Hal ini dari sisi Kebijakan
Hukum dan implementasi hukum
penanganan perkara ini harus luar
biasa, tidak boleh biasa biasa
saja, baik penerapan hukum pidananya maupun hukum acara pidananya (Sulistyanta, 2013).
Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba menunjukkan
angka intensitas yang meningkat dari hari ke hari,
minggu ke minggu, seakan hampir tidak berujung
pangkal dan menerpa hampir pada semua tataran kelas sosial
masyarakat, baik pada
status sosial, tingkat pendidikan, usia maupun strata ekonomi. Kalau boleh saya
gambarkan seperti gunung es, sedikit yang tampak, makin membesar
yang tidak terungkap. Meskipun berbagai media sering merilis hasil penindakan BNN, Kepolisian maupun aparat Bea & Cukai. Dalam persoalan ini Pemerintah banyak memberikan perhatian besar terhadap kejahatan Narkotika ini, termasuk mafia narkotika, tidak hanya sampai
disitu, tentunya dukungan dan peran serta aktif dan seluruh unsur masyarakat,
Lembaga, intensive harus peduli
serta berkomitmen komitmen tinggi bersama-sama melakukan upaya memerangi bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika (Nurmalita & Megawati, 2022).
Diantara indikator yang lain dalam
menentukan Indeks
Pembangunan Manusia (Human Development Index) adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, yang harus menjadi arah dan fokus prioritas utama setiap perencanaan,
kegiatan kelembagaan, dalam mencapai sesuatu yang mengarah pada aktivitas pencapaian suatu prestasi (Yektiningsih, 2018). Penyalahgunaan dan penggunaan
narkotika dapat dipastikan mengakibatkan terjadinya sindrom ketergantungan yang berkepanjangan,
yang pada akhirnya akan merusak dan menurunkan tingkat derajat kesehatan masyarakat di Indonesia
(Zulkarnain, 2016).
Penulis sampaikan dua slide yang sering Penulis gunakan disaat Penulis masih dinas
di BNN, dan Penulis juga sampaikan
hal ini di beberapa acara sosialisasi, termasuk ketika diwawancarai di berbagai media di
hadapan kamera TV di
studio, dimana saat itu dalam kondisi
kedaruratan soal Narkotika, yang mengajak semua lini untuk
perhatian soal pencegahan penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika. Data ini Penulis sampaikan
karena Penulis pandang sangat penting, karena dengan data hasil penelitian antara Badan Narkotika Nasional dengan Universitas Indonesia tersebut
telah berkontribusi atas Kebijakan PSesiden RI soal perlunya pastisipasi semua pihak secara
massive soal pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Sekaligus Penulis ingin mengingatkan soal tersebut, Negara tidak boleh lengah,
masyarakat juga tidak boleh lengah, tetap
waspada.
Data diatas menjelaskan soal jumlah kematian
perhari dan total pertahun,
serta kerugian pribadi dan sosial dalam setahun, yang angkanya cukup fantastis, baik kerugian dana dan kerugian korban
manusia. Seandainya angka tersebut digunakan pembangunan, tentu masyarakat menerima manfaat yang sebesar-besarnya.
B. UU no 35
tahun 2009 tentang Narkotika adalah Ketentuan yang bersifat Khusus.
Semua orang yang belajar
hukum, langsung dapat menganalisa apakah sebuah ketentuan
itu bersifat khusus atau bersifat
umum, sesuai dengan tujuan dari
dibentuknya peraturan yang kemudian menjadi khusus atau umum.
Ini merupakan kebijakan dari Politik Hukum yang ada di negara ini. yang secara umum ciri-cirinya mengapa peraturan tersebut bersifat khusus adalah dimana
Tindak pidananya atau kejahatanya memiliki karakteristik dan penanganan perkara yang bersifat khusus serta mengarah kepada modus yang spesifik, baik dari sisi
aturan hukum yang diimplementasikan, hukum acara pidana yang diterapkan, maupun aparatur penegak hukum yang terlibat dalam penanganan perkaranya.
Hal itu merupakan Politik
Hukum yang ada di Negara itu,
termasuk Indonesia. seperti
yang di sampaikan Barda
Nawawi Arief yang mengutip pendapat Sudarto soal Politik Hukum Pidana adalah �Pengertian kebijakan atau politik hukum
pidana dapat dilihat dari politik
hukum maupun dari politik kriminal.
Menurut Prof. Sudarto, �Politik Hukum� adalah: (a) Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu saat itu; (b) Kebijakan
dari negara melalui
badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan
yang dikehendaki yang diperkirakan
bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.�
Demikian juga seperti
yang disebutkan oleh Rachmat
Triono dan Indah Harlina (2022), yang mengutip
pendapat Fartini: �Menurut Fartini, (2022), Politik
hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai
tujuan Sosial dengan hukum tertentu
didalam masyarakat yang cakupannya meliputi atas beberapa pertanyaan
mendasar yaitu: (a) Tujuan apa yang akan dicapai dengan
sistem yang ada. (b) Cara-cara apa dan yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam
mencapai tujuan tersebut. (c) Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana
hukum itu perlu itu perlu
diubah. (d) Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.� (Trijono
& Harlina, 2022).
Kemudian semakin
jelas tentang Posisi UU no 35 tahun 2009, tentang Narkotika, yang masuk dalam klasifikasi
Hukum yang bersifat khusus,
dapat dilihat dalam Penjelasannya UU tersebut �Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan
secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.
Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif
maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan
pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika (Kela,
2015). Dalam
Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
Untuk menimbulkan
efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam
bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara
seumur hidup, maupun pidana mati.
Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.� (Nomor,
35 C.E.).
Dengan demikian
Kebijakan Hukum dan Kebijakan
Kriminal atas UU no 35 tahun 2009, tentang Narkotika, adalah bersifat khusus, harus didahulukan penanganan perkaranya dari penanganan perkara umum lainnya.
Demikian juga soal Penanganan perkaranya, baik di Penyidik Kepolisian, Jaksa Penuntut Umum, Hakim di Pengadilan, sampai dengan sistem pemenjaraan
harus serius, dan bersifat khusus. Atau dengan kata lain kejahatan atas Narkotika ini adalah
kejahatan yang luar biasa. Sejajar dengan Kejahatan lain seperti, Terorisme, Tindak Pidana Korupsi
dll.
C. Pemeriksaan
Forensik Alat Bukti/Barang Bukti Narkotika
Narkotika jenis tertentu, baik alami, sintetis, semi sintetis maupun dalam pandangan penulis ada suatu
zat kimia, yang mengandung unsur kimia tertentu, dengan kadar tertentu.
Karena Penulis bukanlah ahli dibidang kimiawi,
barangkali produksi Narkotika tertentu, oleh orang tertentu, atau daerah tertentu kemungkinan berbeda. Termasuk tanaman tertentu, dihasilkan daerah tertentu dengan daerah lain juga kemungkinan berbeda.
Kita lihat di dalam ketentuan pasal 1 butir 1 UU nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud Narkotika �adalah zat atau obat
yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.�
Diatas tergambarkan
ada kalimat �zat atau obat
yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis�, dalam pandangan penulis untuk menentukan apakah itu suatu
zat tertentu? obat tertentu?, tanaman tertentu?,
bukan tanaman tertentu?, yang sintetis? yang semisintetis? kalau untuk pembuktian di dalam Sistem Peradilan
Pidana harus ada pemeriksaan secara forensik laboratorium, yang diperiksa oleh
ahlinya dengan kwalifikasi tertentu. Penegak hukum tidak
boleh memainkan perasaan bahwa ini narkotika jenis
tertentu, kemudian disimpulkan sendiri ini adalah narkotika
jenis tertentu.
Alat bukti tersebut harus dapat diuji
secara saintifik dan ilmiah untuk mendukung
pembuktian menurut sistem pembuktian yang dianut di Indonesia. Sebagai contoh, dalam kasus
kejahatan umum, ketika diketemukan ada matinya orang tertentu di sebuah sungai, bisa di deteksi apakah mayat manusia tersebut
berada disungai sudah meninggal terlebih dahulu, barulah diceburkan ke sungai, atau
masuk ke sungai pada saat hidup. Secara umum
yang penulis tahu dengan melihat pemeriksaan paru-paru, yang kemudian dituangkan ahlinya ke dalam
Visum et Repertum.
Demikian juga untuk
memformalkan terhadap zat tertentu, obat
tertentu, tanaman tertentu, bukan tanaman tertentu, sintetis, semisintetis, harus dengan pemeriksaan
Laboratorium. kemudian oleh
ahli diformalkan dalam betuk pemeriksaan
yang projustitia, karena diminta oleh penegak hukum untuk penegakan
hukum.�� Dan hasil pemeriksaan forensik narkotika tsb mejadi satudan
melekat dengan berkas perkara.��
D. Sistem Pembuktian
Di Indonesa
ada beberapa sistem pembuktian, dimana tiap-tiap negara mempunyai sistem sendiri, sesuai dengan politik hukum dan kebijakan hukum di masing-masing negara. Menurut
Adami Chazawi (2021) ada beberapa sistem diantaranya adalah:
1. Sistem
Keyakinan Belaka (Conviction Intime)
Menurut sistem
ini, hakim dapat menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan pada keyakinannya saja. Tidak perlu
mempertimbangkan dari mana
(alat bukti) didapatkan, alasan alasan yang digunakan dan bagaimana caranya dalam membentuk� keyakinannya
tersebut. Juga tidak perlu mempertimbangkan apakah keyakinan yang dibentuknya logis ataukah tidak bekerjanya
sistem ini benar-benar bergantung pada hati nurani hakim.�
2. Sistem
Keyakinan Dengan Alasan Logis (Laconviction in Raisonne).
Sistem ini lebih maju sedikit
dari sistem yang pertama, meskipun kedua sistem dalam
hal menarik hasil pembuktian tetap didasarkan pada keyakinan. Lebih maju, karena dalam
hal membentuk dan menggunakan keyakinan hakim untuk menarik kesimpulan
tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana, masih menggunakan
alasan logis. Meskipun alasan-alasan tersebut menggunakan alat bukti-alat bukti baik dalam
maupun luar undang-undang
3. Sistem
Pembuktian Melulu Undang-undang (Positief Wettelijk Bewijstheorie)
Ada kalanya sistem pembuktian ini disebut dengan sistem menurut undang-undang secara positif. Maksudnya ialah, dalam hal
membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana didasarkan
semata-mata pada alat bukti-alat bukti serta cara-cara menggunakannya telah ditentukan lebih dulu dalam undang-undang.
Apabila membuktikan telah sesuai dengan
apa yang telah ditentukan undang-undang, baik mengenai alat
bukti-alat buktinya maupun cara-cara menggunakannya, maka hakim harus menarik kesimpulan
bahwa kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana telah
terbukti. Keyakinan hakim sama sekali tidak
penting dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan dalam hal menarik
kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. Jadi sistem ini adalah sistem
yang berlawanan dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan sema-mata.
4. Sistem
Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Terbatas (Negatief Wettelijk
Bewijstheorie)
Menurut sistem
ini, hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana dakwaan,
hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat bukti-alat bukti serta dengan cara-cara
yang ditentukan oleh undang-undang.
Itu tidak cukup. Melainkan harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk harus didasarkan faktaf-akta diperoleh dari alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk menarik kesimpulan
dalam kegiatan pembuktian didasarkan pada 2
(dua) hal yang tak terpisah. Alat bukti-alat bukti dan keyakinan tidak berdiri sendiri-sendiri
(Chazawi,
2021).
Penyidik Kepolisian,
Jaksa Penuntut umum, Hakim Pemeriksa di pengadilan, dalam Sistem Peradilan Pidana, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. jadi dengan teori
diatas kita tidak bisa menyimpulkan
bahwa teori diatas untuk Hakim. Tetapi berlaku juga bagi Penyidik di Kepolisian yang menangani perkara pidananya, karena berkas yang digunakan oleh Hakim berasal dari Berkas yang diolah oleh Penyidik.� Untuk Indonesia menganut sistem pembuktian Negatief Wettelijk, yaitu sistem pembuktian yang bersifat negatip, yang menggabungkan antara keyakinan hakim atas alat bukti yang dihadirkan di peradilan, dengan alat bukti
yang dihadapkan tersebut. Manakala Hakim tidak yakin atas keberadaan
alat bukti atau barang bukti
tersebut, maka hakim bisa menolaknya. Demikian juga sebaliknya hakim dapat menerima suatu bukti manakala
hakim yakin dengan alat bukti yang disajikan dihadapan peradilan.
UU no 35 tahun 2009 tentang Narkotika, meskipun peraturan yang bersifat khusus, berisi hukum formil dan materiil, namun soal hukum formilnya
masih tunduk kepada UU no 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Terlihat dalam pasal 86 ayat (1) UU no 35 tahun 2009 tentang Narkotika menentukan bahwa �Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana�. Masih terdapat beberapa pasal lain dalam UU no 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang mengkaitkan dengan KUHAP. Kemudian dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, menyatakan bahwa alat bukti yang sah ialah: (a) keterangan saksi. (b) keterangan ahli. (c) surat. (d) petunjuk. (e) keterangan terdakwa.
Jika ketentuan diatas disambung dengan pasal 1 butir 28, yang mendefinisikan tentang Keterangan Ahli bahwa �Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan�.
Adapun tujuan Pembuktian menurut Penulis adalah; (1) Membuktikan adanya persesuaian antara alat bukti
dengan perbuatan. (2) Membuktikan adanya persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat
bukti yang lain. (3) Membuktikan
apakah alat bukti itu benar
dan sah, baik proses perolehannya maupun kwalitas alat buktinya.
(4) Membuktikan kemampuan penegak hukum, dan pihak lain untuk membuktikan perbuatan pidana dari sisi
masing-masing.
Dengan demikian
narkotika jenis apapun, menurut hemat Penulis ketika
ada kegiatan penegakan hukum, tidak bisa dinyatakan
sebagai narkotika di dalam sistem peradilan
pidana, jika belum terdapat pemeriksaan resmi dari Ahli bidang yang terkait dengan narkotika, karena Narkotika adalah suatu zat, baik
yang sintetis atau semisintetis.
Karena sifatnya yang kimiawi, baik sintetis atau
semi sintetis, kehati-hatian
dalam menangani bukti narkotika ini sangat penting bagi keabsahan bukti tersebut sampai di pengadilan, baik saat ditemukan,
disimpan, dimusnahkan, disisihkan untuk pembuktian dan penegakan hukum, haruslah linier dan identik, timbangannya tercatat dan terukur, zatnya tidak berubah
sifat kimiawi dan sifat sosialnya.
Yang dimaksud sifat sosial disini adalah
dimana narkotika yang sedang menjadi barang bukti tersebut
rawan untuk di curi per milligramnya, di cicipi permiligramnya, atau ditukar dengan
zat lain seperti tawas atau benda
yang serupa seperti misalnya fetsin (yang biasa untuk bumbu
masak) atau mungkin benda lain yang mirip dengan tujuan
timbangannya tetap. Oleh karena itu menjaga
mutu dalam mata rantai penyitaan
(ditemukan, pembungkusan, dibawa setelah diketemukan untuk di periksakan di laboratorium narkotika, ditimbang, disimpan, ditimbang dan diperiksa ulang menjelang pemusnahan, penyisihan, ditingkat penyidikan) barang bukti narkotika sangat penting, dalam menjaga kwalitas dan keabsahan barang bukti narkotika teersebut.
Mata rantai yang lain adalah ketika barang bukti
berada di dalam otoritas Penuntut Umum, bagaimana membungkusnya, menyimpannya, sampai dengan dibawa
ke Pengadilan untuk penbuktian, juga harus terukur, timbangannya, zatnya. Demikian juga mata rantai saat diperiksa
di Pengadilan, semua harus sesuai, bagaimana
barang bukti narkotika tersebut setelah dibuka dihadapan persidangan, kemudian dibungkus kembali, disimpan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, apakah zat nya
masih sama saat pertama kali diketemukan oleh Penyidik. Semua mata rantai
tersebut diatas harus terjaga dengan
ketat, jangan sampai ada perbuatan
curang di dalam mata rantai Penyidik,
jaksa Penuntut Umum, sampaikan ke Tingkat Pengadilan.
Pelanggaran atas mata rantai tesebut,
adalah kejahatan besar, atas tidak
selesainya penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika, karena peredaran gelap bisa terjadi ternyata
akibat dari keteledoran dalam sistem peradilan pidana. Ternyata diduga sebagai akibat atas kecerobohan
tersebut penegakan hukum memberikan andil dalam peredaran
gelap narkotka. Sehingga akan ketahuan
ketika ada pencampuran dengan zat tertentu yang mirip dengan narkotika
yang disita kemudian disimpan untuk penegakan hukum tersebut, supaya beratnya tetap sama. Atau bahkan
yang lebih ekstrim lagi adalah ditukar
dengan zat tertentu yang bentuk fisiknya sama.
Bukti secara Forensik memang melelahkan, lahir dan batik petugas, akan akan meberikan
akurasi pembuktian jika dihubungan dengan sistem pembukti
yang bersifat negatip atau Negatief Wettelijk.
Jangan sampai Hakim dihadapan persidangan, karena kurangnya pengetahuan soal forensik bukti Narkotika, kemudian di depan meja hijau
hanya melihat bentuk saja, tidak
melihat kadar atau kandungan kimiawinya. Atau kalau itu narkotika
tanaman, bisa juga ditukar denga ranting tanaman lain. Wah putusan Hakim bisa menjadi keliru,
hanya gara-gara pembuktian yang sengaja dijerumuskan kearah yang salah.
Kesimpulan
Negatief Wettelijk atau
sistem pembuktian bersifat negatip adalah sebuah pilihan
kebijakan hukum yang sudah di anut oleh hukum positip Indonesia, yaitu harus ada
keyakinan hakim yang nyambung
dengan ketersediaan alat bukti di Pengadilan.
Pemeriksaan secara Forensik terhadap alat bukti Narkotika,
yang kemudian ada format hitam diatas putih
berupa Berita Acara Pemeriksaan, atau Hasil Pemeriksaan Lab, yang berisi, jumlah narkotika, kandungan narkotika, dan jenis narkotikanya.
Hasil Lab ini dikemudian hari sangat berguna untuk data penyimpanan dari hasil penyitaan, data menjelang pemusnahan dan penyisihan barang bukti, data saat penyerahan perkara, dan data di pengadilan. Dikandung maksud jangan sampai
berubah di tengah jalan antara temuan
awal sampai pemeriksaan ole hakim. Misalnya karena ada pencampuran,
pengambilan tanpa hak, dengan berbagai
mazam zat yang mirip dengan Narkotika,
sehingga dapat merubah atau tidak
merubah zat, atau bahkan penambahan
itu dapat didahului oleh pengurangan, sehingga beratnya menjadi tetap sama.
Maka pemeriksaan secara Forensik alat bukti Narkotika
jenis apapun tetap menjadi penting
untuk kepentingan pembuktian dihadapan persidangan hakim dengan sistem Negatief Wettelijk
BIBLIOGRAFI
Chazawi, A. (2021). Kejahatan terhadap harta benda.
Media Nusa Creative (MNC Publishing).
Fartini,
A. (2022). Politik Hukum: Otonomi Daerah Pasca Amandemen UUD 1945 Upaya Menjaga
Keseimbangan Antara Prinsip Unity dan Diversity. PLEDOI (Jurnal Hukum Dan
Keadilan), 1(1), 1�11.
Kela,
D. A. (2015). Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau dari Undang-undang No 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika. Lex Crimen, 4(6).
Majid, A. (2020). Bahaya Penyalahgunaan
Narkoba. Alprin.
Muttaqin,
M. F. (2019). Hukuman Mati Bagi Pengedar Narkotika Perspektif Hukum Islam
Dan Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. IAIN Metro.
Nomor, U.-U. (35 C.E.). tahun 2009
tentang Narkotika.
Nurmalita,
A., & Megawati, S. (2022). Implementasi Kebijakan Pencegahan Pemberantasan
Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkoba (P4gn) Dalam Memberantas
Penyalahgunaan Narkoba Di Kota Surabaya. Publika, 1111�1122.
Purwaganda,
S. (2018). Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Pembakaran Hutan Dan Lahan
Di Provinsi Riau Selama Tahun 2016. Universitas Bhayangkara Jaya.
Simamora,
T. Z. (2017). Peran Rumah Rehabilitasi Narkoba Dalam Meminimalisir
Penyalahgunaan Narkoba Di Kota Medan (Studi Pada Lembaga Rehabilitasi
Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika Bhayangkara Indonesia).
St
Fatmawati, L., & Niasa, L. (2022). Penanggulangan Peredaran Dan
Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak Dikota Kendari. Sultra Law
Review, 4(1), 1�22.
Sugiadnyana,
P. R., Mangku, D. G. S., & Yuliartini, N. P. R. (2020). Penyelesaian
Sengketa Pulau Batu Puteh Di Selat Johor Antara Singapura Dengan Malaysia Dalam
Perspektif Hukum Internasional. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 6(2),
542�559.
Sulistyanta,
S. (2013). Implikasi Tindak Pidanadi Luar Kuhp dalam Hukum Acara Pidana (Studi
Kasus Taraf Sinkronisasi). Jurnal Dinamika Hukum, 13(2), 179�196.
Trijono,
T., & Harlina, I. (2022). Politik Hukum: Faktor yang mempengaruhi
Kebijakan. Depok: Papas Sinar Sinanti.
Yani,
M. P. (2022). Tinjauan Yuridis Putusan Hakim Yang Memutus Perkara Tindak
Pidana Narkotika Diluar Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (Study Kasus Nomor
415/PID. SUS/2020/PN PRP). Universitas Islam Riau.
Yektiningsih,
E. (2018). Analisis indeks pembangunan manusia (ipm) kabupaten pacitan tahun
2018. Jurnal Ilmiah Sosio Agribis, 18(2).
Zulkarnain,
Z. (2016). Penyalahgunaan narkoba dalam perspektif hukum Islam dan Hukum
positif Indonesia. Pascasarjana UIN Sumatera Utara.
Copyright holder: Slamet Pribadi
(2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |