Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 11, November 2022
HUBUNGAN aglomerasi
industri DAN PRODUK
DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA/KABUPATEN DI JAWA BARAT SERTA TANTANGAN
pengembangan KAWASAN REBANA
Zimmy Permana Sembiring,
Nadila Ersya Athallah, Hediyati Anisia Br Sinamo
Sekolah
Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi
Bandung, Indonesia
e-mail: [email protected], [email protected],
[email protected]
Abstrak
Aglomerasi industri terjadi karena daya tarik keuntungan lokasi yang
didapat apabila industri sejenis memiliki jarak yang berdekatan. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis hubungan antara aglomerasi industri dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Hal ini penting karena Provinsi Jawa Barat memiliki
kawasan industri paling banyak di Indonesia. Wilayah-wilayah industri seperti Kabupaten
Bekasi, Kabupaten Karawang, Kota Bandung, dan Kabupaten Bogor berkontribusi masing-masing
lebih dari 10% terhadap PDRB Jawa Barat. PDRB Jawa Barat tahun 2015, 2018, dan 2021
menunjukkan peningkatan namun pertumbuhannya mengalami perlambatan. Tingkat
aglomerasi industri diukur dengan Hoover Balassa Index (HBI). Hasil perhitungan
HBI pada tahun 2021 menunjukkan Provinsi Jawa Barat memiliki delapan kota/kabupaten yang mengalami
aglomerasi industri. Saat ini
pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat sedang memprioritaskan
pengembangan Kawasan Rebana sebagai kawasan metropolitan yang memiliki 13 Kawasan Peruntukkan Industri (KPI) dan terletak di tujuh
kota/kabupaten. Dengan total penduduk 19.97% dari penduduk Jawa Barat, Kawasan Rebana
hanya berkontribusi sebesar 13-14% terhadap PDRB Jawa Barat. Aglomerasi
industri hanya terjadi di Kabupaten Sumedang dengan kategori lemah. Sementara
itu enam kabupaten lainnya tidak mengalami aglomerasi industri.
Berdasarkan uji korelasi Pearson maka terdapat hubungan positif antara
aglomerasi industri dan PDRB kota/kabupaten di Jawa Barat. Kawasan Rebana memiliki potensi yang
besar karena terdiri dari tujuh kota/kabupaten yang kaya akan sumber daya alam,
jumlah penduduk usia produktif yang tinggi, dan terdapatnya 13 KPI.
��
Kata Kunci: Aglomerasi Industri,
Kawasan Rebana, Produk Domestik Regional Bruto, Provinsi Jawa
Barat.
Abstract
Industrial agglomeration occurs
because of the attractiveness of location benefits obtained if similar
industries have close proximity. This study aims to analyze the relationship
between industrial agglomeration and Gross Regional Domestic Product (GDP).
This is important because West Java Province has the most industrial estates in
Indonesia. Industrial areas such as Bekasi Regency, Karawang
Regency, Bandung City, and Bogor Regency each contribute more than 10% to West
Java's GDP. West Java's GDP in 2015, 2018, and 2021 showed an increase but
growth slowed down. The level of industrial agglomeration is measured by the
Hoover Balassa Index (HBI). The
results of HBI calculations in 2021 show that West Java Province has eight
cities/regencies that experience industrial agglomeration. Currently, the
central government and the West Java Provincial Government are prioritizing the
development of the Tambourine Area as a metropolitan area that has 13
Industrial Designated Areas (KPI) and is located in seven cities/regencies.
With a total population of 19.97% of the population of West Java, the
Tambourine Area only contributes 13-14% to West Java's GDP. Industrial
agglomeration only occurs in Sumedang Regency with a weak category. Meanwhile,
six other districts did not experience industrial agglomeration. Based on the
Pearson correlation test, there is a positive relationship between industrial
agglomeration and city/regency GDP in West Java. The tambourine area has great
potential because it consists of seven cities/regencies that are rich in
natural resources, a high number of productive age population, and 13 KPIs.
Keywords: Industrial
Agglomeration, Rebana Area, Gross Regional Domestic
Product, West Java Province.
Pendahuluan
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87
Tahun 2021 Tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat
Bagian Selatan (Prihastuti,
2019). Oleh
karena itu penting untuk mempelajari bagaimana kondisi ekonomi dan aglomerasi
industri yang terjadi saat ini. Hal ini bermanfaat untuk memberikan masukan
guna mendorong peningkatan ekonomi dan pertumbuhan industri di Jawa Barat sesuai
dengan rencana Kawasan Rebana.
Untuk mencapai kesejahteraan masyarakat terdapat tiga pilar pembangunan
yang berkelanjutan yaitu pilar sosial, ekonomi dan lingkungan (Michael
et al., 2019). Salah
satu aspek yang paling banyak didiskusikan dalam pencapaian kesejahteraan yaitu
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat mencerminkan kesejahteraan masyarakat,
sehingga menjadi aspek yang penting untuk diperhatikan. Dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi di Indonesia, terdapat beberapa strategi yang diterapkan
oleh pemerintah yaitu ekonomi pertanian, ekonomi industri, dan pasar bebas.
Saat ini pemerintah berusaha menaikkan produk domestik bruto (PDB) melalui strategi
tersebut umumnya lebih berfokus pada menciptakan industrialisasi.
Salah satu provinsi yang kawasan industrinya bertumbuh pesat adalah
provinsi Jawa Barat. Hingga saat ini Provinsi Jawa Barat masih menjadi pusat
industri nasional, hal tersebut dikarenakan industri yang ada di Jawa Barat
memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Menurut (Kementerian Perindustrian, 2014), terdapat 74
kawasan industri di Indonesia, dimana 24 kawasan industri tersebut berada di
Jawa Barat. Disisi lain, industri yang terletak di Jawa Barat telah
berkontribusi sebanyak 40% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hal tersebut
memperlihatkan bahwa industri di Jawa Barat memiliki pengaruh yang cukup besar
terhadap PDB.
Terdapat fenomena aglomerasi industri dimana beberapa industri atau
perusahaan berada pada lokasi yang sama atau berdekatan. Hal tersebut
dikarenakan adanya kemampuan suatu daerah yang dapat memenuhi kebutuhan
industri. Selain itu, kegiatan industri yang saling berdekatan dirasa memiliki
keuntungan bagi sesama perusahaan. Dalam Sullivan (2012) terdapat 3
keuntungan pemilihan lokasi yang berdekatan antar perusahaan yaitu berbagi intermediate
input, keberadaan tenaga kerja dalam jumlah besar, serta kesesuaian antara
permintaan tenaga kerja dengan kemampuan tenaga kerja. Selain itu, pernyataan
tersebut didukung oleh Tobler (1979) yang
mengemukakan bahwa sesuatu yang saling berdekatan akan memiliki pengaruh yang
lebih besar dibandingkan sesuatu yang jauh. Disisi lain, menurut Prasetyo (2010), adanya
perbedaan pertumbuhan ekonomi antar wilayah dapat disebabkan oleh kondisi
lokasi dan geografis. Adanya aglomerasi industri dapat menimbulkan dampak
buruk, salah satunya yakni perbedaan spasial dalam tingkat produk antar
wilayah. Pada wilayah yang memiliki banyak industri pengolahan cenderung akan
tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan wilayah yang memiliki sedikit industri
pengolahan (Nuryadin
& Suharsih, 2017).
Dalam penelitian Zuliastri (2013) dinyatakan
bahwa aglomerasi mempengaruhi daya saing industri dan sebaliknya daya saing
juga mempengaruhi aglomerasi industri. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis hubungan aglomerasi industri dan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat serta tantangan
dalam pengembangan Kawasan Rebana. Ketika industri beraglomerasi disuatu lokasi
maka dapat meminimalkan biaya transaksi. Pengembangan Kawasan Rebana juga tidak
lepas dari rencana untuk membangun kawasan industri yang dapat meningkatkan
daya saing wilayah. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
mengenai kondisi ekonomi, aglomerasi industri, dan tantangan pengembangan
kawasan Rebana di Jawa Barat.
Metode Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian ini yaitu menganalisis hubungan aglomerasi
industri, PDRB, serta tantangan dalam pengembangan Kawasan Rebana maka
diperlukan metode penelitian yang sesuai. Beberapa metode yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu metode analisis deskriptif kuantitatif, analisis
deskriptif kualitatif dan perhitungan Hoover Balassa Index atau indeks
aglomerasi.
Menuru (Creswell,
2013) juga menyatakan
bahwa menganalisis data dalam penelitian kualitatif adalah ketika mengumpulkan
data. Sehingga data itu dapat direduksi, reduksi data adalah upaya menyimpulkan
data, kemudian memilah-milah data dalam satuan konsep tertentu, kategori
tertentu, dan tema tertentu. Dalam penelitian ini data kualitatif bersumber
dari berita, peraturan, serta dokumen lainnya yang mengandung informasi tentang
rencana pengembangan kawasan metropolitan Rebana. Data kualitatif tersebut akan
dikelompokkan sesuai dengan kategorinya kemudian dianalisis secara deskriptif.
Menurut Creswell (2009) penggunaan
metode kuantitatif penting dikarenakan metode ini menunjukkan realitas yang
dapat dikalkulasi. Metode kuantitatif menggunakan modeling matematika dalam penelitian
yang komprehensif. Analisa dan pengumpulan data sangat penting dalam proses
penelitian. Data numerik dan subyek dikonversi secara numerik dan dianalisis
dengan metode statistik. Dalam penelitian ini data PDRB tahun 2015, 2018, dan
2021 akan diukur rata-rata peningkatan PDRB-nya serta ditampilkan dalam grafik.
Kemudian dianalisis secara deskriptif. Selain itu juga dilakukan perhitungan Hoover
Balassa Index (HBI) untuk menganalisis terjadinya aglomerasi industri secara
kuat, sedang lemah dan tidak terdapat aglomerasi.
Perhitungan HBI atau indeks aglomerasi, dengan rumus:
HBIit =
Keterangan:
Sit =
Share tenaga kerja industri unggulan provinsi i terhadap total tenaga
kerja industri provinsi i pada tahun t
Xit
= Share tenaga kerja industri unggulan provinsi i di tingkat nasional
pada tahun t
Nilai HBI >1 menunjukkan bahwa industri unggulan teraglomerasi pada
suatu wilayah karena share tenaga kerja industri unggulan provinsi
tersebut lebih besar dibandingkan share di tingkat nasional. Sedangkan,
apabila nilai HBI <1 menunjukkan industri tidak teraglomerasi pada wilayah
tersebut. Selain itu, berdasarkan (Sbergami,
2002) Hoover Balassa Index dapat dikatakan aglomerasi kuat jika nilai indeks > 4. Nilai
indeks di antara 2-3 menunjukkan aglomerasi sedang. Sedangkan nilai indeks >
1 menunjukkan bahwa aglomerasi lemah. Jika hasil indeks <1 menandakan
wilayah tersebut tidak terjadi aglomerasi industri.
Dalam menganalisis hubungan antara aglomerasi industri dan PDRB
kota/kabupaten di Jawa Barat digunakan metode analisis korelasi. Menurut (Subandriyo et al., 2020), analisis
korelasi termasuk dalah satu pengukuran asosiasi.
Salah satu metode korelasi yang populer yaitu Korelasi Pearson Product
Moment. Pengukuran ini bermanfaat untuk mengukur kekuatan hubungan antara
dua variabel. Kekuatan hubungan diukur di antara
jarak 0 sampai dengan 1 dengan kemungkinan pengujian hipotesis dua arah. Jika nilai
koefisien positif maka korelasi searah namun jika negatif maka korelasi
berlawanan arah. Pengukuran korelasi Pearson dilakukan menggunakan SPSS
16.0.
Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di
Indonesia. Jawa Barat memiliki jumlah penduduk sebesar 14% penduduk Indonesia. Dalam
Gambar 1 dapat diamati besar PDRB masing-masing kota/kabupaten di Jawa Barat.
PDRB Kabupaten Bekasi, Karawang, dan Purwakarta menjadi penyumbang paling besar
dalam PDRB Jawa Barat. Sementara itu PDRB paling kecil dan berbeda signifikan
yaitu kabupaten Pangandaran dan Kota Suka Bumi. Secara keseluruhan nilai PDRB
setiap kota/kabupaten meningkat sejak tahun 2015-2021.
Hal yang sama juga terjadi pada kota/kabupaten yang masuk dalam kawasan
metropolitan Rebana. Penyumbang PDRB paling besar pada kawasan metropolitan Rebana
yaitu Kabupaten Indramayu, Subang dan Cirebon. Sementara itu penyumbang PDRB
paling rendah yaitu Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon.
Gambar 1
Grafik Produk Domestik Bruto Kota/Kabupaten Jawa Barat Tahun 2021
Secara umum nilai PDRB kota/kabupaten di Jawa Barat mengalami peningkatan. Dapat
dilihat pada Tabel 1 PDRB Jawa Barat berfluktuatif namun cenderung meningkat.
Peningkatan PDRB Jabar tahun 2015-2018 sebesar 17,6% namun pada tahun 2018-2021
hanya sebesar 6,2%. Pada kota/kabupaten di Jawa Barat pertumbuhan ekonomi 3
tahunan juga berfluktuatif namun pertumbuhannya cenderung melambat. Secara
rata-rata kota/kabupaten di Jawa Barat bertumbuh 18,1% pada tahun 2015-2018 dan
7,9% pada tahun 2018-2021. Peningkatan paling tinggi pada periode waktu 2015-2018
yaitu Kota Bandung
dengan pertumbuhan 23,7% dan paling rendah yaitu Kabupaten Indramayu sebesar
2,9%. Pada periode tahun 2018-2021 pertumbuhan paling tinggi yaitu Kabupaten Majalengka
sebesar 13,9% dan yang paling rendah yaitu Kabupaten Indramayu sebesar 2,2%.
Tabel I PDRB
dan Pertumbuhan PDRB Kota/Kabupaten Jawa Barat PDRB TAHUN Pertumbuhan
PDRB 2015 2018 2021 2015-2018 2018-2021 Dalam Juta
Rupiah Persentase
(%) Provinsi
Jawa Barat 1206891,3 1419624,1 1507746,4 17,6 6,2 Bogor 124486,98 148203,35 159582,65 19,1 7,7 Sukabumi 37265,25 44140,89 47933,52 18,5 8,6 Cianjur 25352,13 30320,21 32897,52 19,6 8,5 Bandung 64701,52 77613,22 83947,15 20,0 8,2 Garut 31919,06 37225,15 39981,19 16,6 7,4 Tasikmalaya 19662,49 23320,61 25179,48 18,6 8,0 Ciamis 17779,91 20878,69 22774,93 17,4 9,1 Kuningan 13175,67 15821,96 17483,02 20,1 10,5 Cirebon 27596,25 32161,84 34128,55 16,5 6,1 Majalengka 16590,93 20006,88 22788,75 20,6 13,9 Sumedang 18950,36 22507,96 24414,66 18,8 8,5 Indramayu 56663,3 58287,98 59544,87 2,9 2,2 Subang 23696,76 27408,2 29023,19 15,7 5,9 Purwakarta 37899,02 44341,65 46840,15 17,0 5,6 Karawang 132453,57 157317,84 166941,49 18,8 6,1 Bekasi 205950,39 241949,38 251828,57 17,5 4,1 Bandung
Barat 25486,17 29888,89 31701,79 17,3 6,1 Pangandaran 6271,1 7308,73 8022,78 16,5 9,8 Kota
Bogor 25298,6 30413,57 33372,48 20,2 9,7 Kota
Sukabumi 6985,33 8209,92 8851,05 17,5 7,8 Kota
Bandung 149580,38 185084,18 200414,03 23,7 8,3 Kota
Cirebon 13269,24 15817,18 17154,55 19,2 8,5 Kota
Bekasi 55456,07 65845,09 69796,94 18,7 6,0 Kota
Depok 37529,48 45978,89 49946,93 22,5 8,6 Kota
Cimahi 17876,44 21192,6 23275,78 18,6 9,8 Kota
Tasikmalaya 12370,62 14859,11 15981,25 20,1 7,6 Kota
Banjar 2624,24 3067,11 3364,26 16,9 9,7 Rata-rata: 18,1 7,9 Max: 23,7 13,9 Min: 2,9 2,2
Pada
kawasan metropolitan Rebana sejak tahun 2015 hingga 2021 pertumbuhan PDRB
kota/kabupaten kawasan metropolitan Rebana juga mengalami penurunan. Pada
periode waktu 2015-2018 pertumbuhan PDRB paling besar yaitu Kabupaten Majalengka
sebesar 20,6% dan yang paling rendah yaitu Kabupaten Indramayu sebesar 2,9%.
Pada Periode waktu 2018-2021 pertumbuhan PDRB paling besar yaitu Kabupaten
Majalengka sebesar 13,9% dan yang paling rendah yaitu Kabupaten Indramayu
sebesar dibandingkan sejak tahun 2015 hingga 2021 pertumbuhan PDRB mengalami perlambatan.
Merujuk dari hasil perhitungan Hoover Balassa Index
pada Tabel II untuk tahun 2015, 2018, dan 2021 terdapat beberapa kota/kabupaten
di Provinsi Jawa Barat yang mengalami aglomerasi industri. Pada tahun 2015, Kabupaten
Bandung dan Kabupaten Purwakarta menunjukkan adanya aglomerasi rendah karena
nilai HBI > 1. Disisi lain, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten
Bekasi memiliki nilai HBI > 2, yang berarti terdapat aglomerasi sedang. Pada
tahun 2015 Kota Cimahi menunjukkan bahwa terdapat aglomerasi yang kuat sebab HBI
> 4. Terdapat 21 Kota/Kabupaten lainnya yang berdasarkan hasil perhitungan Hoover Balassa Index menunjukkan tidak ada
aglomerasi.
Tabel II Hasil
Perhitungan Hoover Balassa Index di Kota/Kabupaten Jawa Barat No Kabupaten/Kota Hoover Balassa Index Tingkat Aglomerasi Tahun 2021 2015 2018 2021 1 Bogor 0,99901 0,983922 1,171697 Lemah 2 Sukabumi 2,085606 1,36095 1,238891 Lemah 3 Cianjur 0,162556 0,483095 0,453591 Tidak ada
Aglomerasi 4 Bandung 1,49444 1,39875 1,52294 Lemah 5 Garut 0,252949 0,233107 0,281853 Tidak ada
Aglomerasi 6 Tasikmalaya 0,123464 0,087632 0,063369 Tidak ada
Aglomerasi 7 Ciamis 0,113101 0,114832 0,082929 Tidak ada
Aglomerasi 8 Kuningan 0,094672 0,111476 0,084531 Tidak ada
Aglomerasi 9 Cirebon 0,354842 0,371798 0,392924 Tidak ada
Aglomerasi 10 Majalengka 0,831267 0,830725 0,851387 Tidak ada
Aglomerasi 11 Sumedang 0,661509 1,665716 1,482558 Lemah 12 Indramayu 0,168957 0,086153 0,062265 Tidak ada
Aglomerasi 13 Subang 0,476875 0,648577 0,783165 Tidak ada
Aglomerasi 14 Purwakarta 1,782405 2,00067 2,002305 Sedang 15 Karawang 2,85114 1,958451 2,074076 Sedang 16 Bekasi 2,29858 3,511821 2,999884 Sedang 17 Bandung Barat 0,793281 0,708825 0,638605 Tidak ada
Aglomerasi 18 Pangandaran 0 0,010833 0,011478 Tidak ada
Aglomerasi 19 Kota Bogor 0,564635 0,326179 0,363069 Tidak ada
Aglomerasi 20 Kota Sukabumi 0,288838 0,142386 0,219995 Tidak ada
Aglomerasi 21 Kota Bandung 0,906941 0,738249 0,788712 Tidak ada
Aglomerasi 22 Kota Cirebon 0,404345 0,793566 0,921654 Tidak ada
Aglomerasi 23 Kota Bekasi 0,581037 0,482055 0,519984 Tidak ada
Aglomerasi 24 Kota Depok 0,438235 0,238996 0,277938 Tidak ada
Aglomerasi 25 Kota Cimahi 5,256242 4,20237 4,507247 Kuat 26 Kota
Tasikmalaya 0,272615 0,294289 0,257709 Tidak ada
Aglomerasi 27 Kota Banjar 0,679541 0,783631 0,595519 Tidak ada
Aglomerasi
Pada tahun 2018 aglomerasi terjadi pada tujuh
kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat. HBI>1 terdapat pada Kabupaten
Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Karawang yang
menunjukkan aglomerasi rendah. HBI>2 terdapat pada Kabupaten Purwakarta dan
Kabupaten Bekasi yang menunjukkan terjadinya aglomerasi sedang. Kota Cimahi memiliki
HBI > 4 yang menunjukkan Kota Cimahi teraglomerasi kuat. Terdapat 21
Kota/Kabupaten lainnya yang berdasarkan hasil perhitungan Hoover Balassa Index menunjukkan tidak ada aglomerasi.
Gambar 2
Grafik Nilai Hoover Balassa Index Kota/Kabupaten Jawa Barat Tahun 2015, 2018,
dan 2021
Pada Tahun 2021 terdapat peningkatan jumlah
kota/kabupaten yang mengalami aglomerasi menjadi 8 kota/kabupaten. Kabupaten
yang memiliki HBI>1 atau teraglomerasi rendah yaitu Kabupaten Bogor,
Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang. Kabupaten yang
memiliki HBI > 2 dengan kategori teraglomerasi sedang yaitu Kabupaten
Purwakarta, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi. Hanya Kota Cimahi yang
masih menunjukkan HBI > 4 yang berarti terdapat aglomerasi kuat. Selain itu
terdapat 19 Kota/Kabupaten lainnya yang berdasarkan hasil perhitungan Hoover Balassa Index menunjukkan tidak
ada aglomerasi.
Berdasarkan Gambar 2 terdapat perpotongan garis diagram
yang menunjukkan terjadinya penurunan dan peningkatan nilai HBI pada
kota/kabupaten di Jawa Barat. Penurunan aglomerasi paling signifikan terjadi
pada Kabupaten Sukabumi. Sementara itu sejak tahun 2015-2021 tidak terdapat
peningkatan aglomerasi yang signifikan di Jawa Barat dan cenderung aglomerasi
mengalami fluktuasi. Secara berurutan HBI paling besar pada tahun 2021 di Jawa
Barat yaitu Kota Cimahi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten
Purwakarta, dan Kabupaten Bandung.
Berdasarkan hasil perhitungan HBI, diketahui bahwa pada
tahun 2015, 2018, dan 2021 Kota Cimahi selalu menunjukkan indeks aglomerasi di atas 4, yang
berarti terdapat aglomerasi kuat. Hal tersebut disebabkan 33% masyarakat Kota Cimahi
bekerja di sektor industri pengolahan besar-sedang. Selain itu, Kota Cimahi
memiliki banyak kawasan industri seperti Kawasan Industri Cimahi Caringin
(KICC) dan Kawasan Industri Leuwigajah. Kota Cimahi memiliki letak yang
strategis, dimana berada pada perbatasan Kabupaten Bandung, Kota Bandung, dan
Kabupaten Bandung Barat. Hal tersebut membuat Kota Cimahi menjadi daerah
strategis. HBI pada tahun 2021 menunjukkan bahwa Kabupaten Bekasi memiliki
aglomerasi sedang. Hal tersebut dikarenakan aktivitas industri manufaktur di Kabupaten
Bekasi meningkat. Terdapat 10 kawasan industri di Kabupaten Bekasi dengan luas
area 9.600 hektar, yakni Kawasan Industri Jababeka, MM2100 Industrial Town BFI,
Greenland International Industrial Center (GIIC), Kawasan Industri Lippo
Cikarang, Industrial Town MMID, Kawasan Industri Marunda Center, East Jakarta
Industrial Park, Kawasan Industri Terpadu Indonesia China, Bekasi International
Industrial Estate, dan Kawasan Industri Gobel.
Selain Kabupaten Bekasi, pada tahun 2021 Kabupaten
Karawang dan Kabupaten Sukabumi juga mengalami aglomerasi sedang karena
didominasi oleh industri manufaktur. Karawang International Industrial City dan
Suryacipta City of Industry merupakan beberapa kawasan industri yang terdapat
di Kab. Karawang. Sedangkan, Sukabumi membagi daerahnya ke dalam lima zona
kawasan industri. Terdapat dua zona yang berada di selatan yakni Tegalbuleud
yang berfokus pada pertambangan, pasir, besi, dan perkebunan. Selain itu, Pelabuhan
Ratu yang menjadi kawasan agrowisata karena memiliki potensi pada bidang
perikanan dan pariwisata. Dua zona yang berada di utara adalah Ciambar dan
Sukalarang yang dijadikan sentra kawasan industri umum. Terakhir, Cikembar yang
ditetapkan sebagai kawasan industri umum dan furnitur.
Berdasarkan data PDRB kota/kabupaten dan indeks
aglomerasi industri di Jawa Barat maka dilakukan uji korelasi Pearson untuk
melihat hubungan antara kedua variabel tersebut. Berdasarkan hasil uji korelasi
pada Tabel III, maka didapatkan nilai signifikansi sebesar 0.039. Nilai
signifikansi ini lebih kecil dibandingkan dengan nilai signifikansi uji yaitu
0.05. Oleh karena itu dapat diartikan terdapat korelasi antara Aglomerasi
Industri dan nilai PDRB kota/kabupaten. Berdasarkan nilai korelasi Pearson
didapatkan nilai 0.400 yang berarti korelasi positif yang lemah. Oleh karena
itu dapat disimpulkan hubungan aglomerasi industri dan PDRB kota/kabupaten di
Jawa Barat berkorelasi positif dengan derajat hubungan korelasi lemah.
Tabel III Hasil Uji
Korelasi Pearson Aglomerasi Idnustri dan PDRB Kota/Kabupaten di jawa Barat Correlations Aglomerasi NilaiPDRB Aglomerasi Pearson
Correlation 1 .400* Sig.
(2-tailed) .039 N 27 27 PDRB Pearson
Correlation .400* 1 Sig.
(2-tailed) .039 N 27 27 *. Correlation
is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Pengembangan Kawasan Rebana atau yang sebelumnya disebut
Kawasan Metropolitan Rebana merupakan suatu kebijakan tingkat nasional hingga
daerah. Metropolitan Rebana merupakan kawasan metropolitan ketiga di Jawa Barat
setelah Bodebek dan Bandung Raya. Kawasan ini meliputi tujuh kabupaten/kota
yaitu Cirebon, Subang, Majalengka, Indramayu, Kuningan, Sumedang, dan Kota
Cirebon. Ditinjau dari kerangka hukum yang menjadi landasannya terdapat
peraturan yang mengatur tentang rencana pembangunan Kawasan Rebana.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 8
Tahun 2018 tentang Rencana Pembangunan Industri Provinsi Jawa Barat Tahun
2018-2038, visi industri Jawa Barat tahun 2035 yaitu �Jawa Barat Menjadi Provinsi
Industri Termaju di Indonesia (Setiawan
et al., 2021). Pelaksanaan
Rencana Pembangunan Industri Provinsi meliputi perencanaan pembangunan Kawasan
Industri, penyediaan infrastruktur Industri, pemberian kemudahan data dan
informasi pada wilayah Daerah yang diperuntukkan bagi pembangunan Kawasan
Industri. Dalam RTRWP 2009 � 2029 dinyatakan bahwa kawasan Metropolitan REBANA
berada dalam wilayah pengembangan Purwasuka dan WP Ciayumajakuning.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 84 Tahun
2020 Tentang Rencana Aksi Pengembangan Kawasan Metropolitan Rebana memberikan
pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan pembangunan dalam mencapai sasaran
tersedianya rencana aksi pengebangan kawasan industri yang terintegrasi (Harjo,
2021). Untuk
itu melalui Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 85 Tahun 2020 Tentang Badan
Pengelola Kawasan Metropolitan Rebana, Pemerintah Provinsi Jawa membentuk Badan
Pengelolaan Kawasan Metropolitan Cirebon, Patimban, dan Kertajati (Harjo, 2019). Hal ini
dibutuhkan untuk mendukung rencana pembangunan untuk percepata pertumbuhan
ekonomi di kawasan metropolitan rebana. Melalui Peraturan Presiden Nomor 87
Tahun 2021 Tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Jawa Barat Bagian
Selatan dilakukan percepatan pembangunan Kawasan Rebana dengan melakukan
langkah strategis dan terintegrasi secara terarah, fokus, terukur dan, tepat
sasaran melalui penyediaan Infrastruktur untuk menumbuhkan investasi yang
berdampak pada peningkatan ekonomi yang saling terintegrasi dan berkelanjutan (Presiden,
2021).
Berdasarkan data BPS pada Tabel I PDRB kota/kabupaten
yang menjadi bagian kawasan Rebana berkontribusi sebesar 13.5-14% dari PDRB
Jawa Barat. Tujuh kota/kabupaten tersebut belum berkontribusi optimal terhadap
ekonomi Jawa Barat karena kontribusinya masih lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi
PDRB Kabupaten Bekasi yang mencapai 17% terhadap PDRB Jawa barat.
Gambar. 3
Grafik Nilai Hoover Balassa Index
Kota/Kabupaten Kawasan Rebana Tahun 2015, 2018, dan 2021
Dari ketujuh kota/kabupaten PDRB Indramayu menjadi yang
tertinggi kontribusi terhadap PDRB Jawa Barat mencapai 4.7%.. Selanjutnya PDRB
Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Subang berkisar 2% terhadap PDRB Jawa Barat. PDRB
Kabupaten Sumedang, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon
masing-masing hanya berkontribusi 1.1-1,6% kepada PDRB Jawa Barat. Hal ini
menjadi tantangan berat sekaligus potensi dalam mengembangkan Kawasan Rebana
dimana 19,97% penduduk Jawa Barat tinggal di Kawasan Rebana.
Dilihat dari nilai HBI pada Kawasan Rebana pada Gambar 3,
maka hanya Kabupaten Sumedang yang memiliki nilai HBI>1. Hal ini menunjukkan
hanya Kabupaten Sumedang yang terjadi aglomerasi industri namun bila namun
kontribusinya terhadap PDRB Jawa Barat hanya sebesar 1.6%. Hal ini menunjukkan
telah terjadi aglomerasi rendah namun kinerja ekonomi Kabupaten Sumedang masih
rendah. Kabupaten Indramayu sebagai penyumbang PDRB paling besar di Kawasan
Rebana hanya memiliki HBI<1 yang berarti industri di Kabupaten Indramayu
memberikan nilai ekonomi yang besar namun belum beraglomerasi. Namun sebaliknya,
Kabupaten Kuningan memiliki HBI<1 dan menjadi penyumbang PDRB terkecil di
Kawasan Rebana. Hal ini menunjukkan secara umum ekonomi dan industri di
Kabupaten Kuningan berkontribusi kecil dan industri yang ada tidak
teraglomerasi.
Berdasarkan hubungan antara aglomerasi industri dan PDRB
dalam Tabel II, aglomerasi industri dan PDRB kota/kabupaten di Jawa Barat
berkorelasi positif dengan derajat hubungan korelasi lemah. Apabila indeks
aglomerasi industri meningkat maka PDRB akan meningkat namun tidak begitu
signifikan. Oleh karena itu dalam pengembangan kawasan industri maka aspek
kesamaan sektor dan integrasi antar industri penting untuk direncanakan dengan
baik. Hal ini untuk meningkatkan aglomerasi industri serta timbulnya keuntungan
berdasarkan Sullivan (2012) yaitu berbagi intermediate
input, keberadaan tenaga kerja dalam jumlah besar, serta kesesuaian antara
permintaan tenaga kerja dengan kemampuan tenaga kerja.
Pada tahun 2021, pemerintah menerbitkan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2021 Tentang Percepatan Pembangunan
Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat Bagian Selatan. Perpres ini bertujuan
untuk menyediakan infrastruktur guna peningkatan investasi yang berdampak pada
perekonomian regional dan nasional di Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat
Bagian Selatan. Saat ini Kawasan Rebana telah dilengkapi berbagai
infrastruktur, diantaranya Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) dan Palimanan-Kanci
(Palikanci), rel Cikampek-Cirebon, Pelabuhan Balongan, Cirebon, dan Patimban
(Tahap I), Bandar udara Internasional Jawa Barat Kertajati, Tol
Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu), tol Kertajati serta, terminal Subang,
Indramayu, dan Cirebon. Selain itu terdapat proyek infrastruktur yang akan
dibangun/sedang dibangun yaitu Pelabuhan Patimban Tahap II, tol akses Patimban,
reaktivasi rel Rancaekek-Kertajati, LRT Cirebon Raya-Kertajati, hingga SPAM
Jatigede dan TPPAS Cirebon Raya. Hal ini merupakan salah satu upaya pemerintah
guna meningkatkan daya saing wilayah Rebana dan harus dimanfaatkan untuk membangun
industri yang teraglomerasi dan terintegrasi.
Kesimpulan
Secara umum tingkat perekonomian di Jawa Barat terus
meningkat. akan tetapi, laju pertumbuhan dari tingkat perekonomian tersebut
adalah berfluktuatif dan cenderung mengalami perlambatan. Wilayah-wilayah
industri seperti Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kota Bandung, dan
Kabupaten Bogor berkontribusi masing-masing lebih dari 10% terhadap PDRB Jawa
Barat. Berdasarkan hasil perhitungan Hoover Balassa Index terdapat
delapan kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Barat yang mengalami aglomerasi
industri yaitu Kota Cimahi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten
Purwakarta, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Sukabumi, dan
Kabupaten Bogor. Diantaranya hanya Kota Cimahi yang mengalami aglomerasi
industri kuat. Pada Kawasan Rebana Kabupaten Indramayu memiliki kontribusi
paling besar terhadap PDRB Jawa Barat. Dengan total penduduk 19.97% kawasan
Rebana hanya berkontribusi hanya sebesar 13-14% terhadap PDRB Jawa Barat.
Aglomerasi industri hanya terjadi di Kabupaten Sumedang dengan kategori lemah.
Sementara itu enam kabupaten lainnya tidak mengalami aglomerasi Industri.
Melihat adanya hubungan positif antara aglomerasi
industri dan PDRB kota/kabupaten di Jawa Barat maka dalam pembangunan Kawasan
Industri Terdapat beberapa tantangan. Pertama yaitu meningkatkan keterkaitan
antar industri besar sehingga industri eksisting dapat meningkatkan daya dorong
aglomerasi industri sejenis ataupun dalam satu sektor untuk mendapatkan
keuntungan lokasi. Kedua yaitu mendorong terjadinya aglomerasi pada kawasan
industri yang sedang direncanakan dengan mengintegrasikan potensi wilayah untuk
mendorong peningkatan kinerja ekonomi di Kawasan Rebana dan Provinsi Jawa
Barat.
Untuk itu perlu dukungan pemerintah dengan penyediaan payung
hukum, penguatan kelembagaan dan kebijakan yang terarah. Keberlanjutan
lingkungan dan keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan juga sangat
penting untuk mendorong kesejahteraan di wilayah. Perlu dilakukan kajian-kajian
mengenai daya dukung lahan, studi tentang potensi dan prospek pengembangan
industri yang terintegrasi dengan sumber daya lokal. Selanjutnya perlu juga
dibuat peta rencana aglomerasi Industri untuk menjadi masukan bagi pengambil
kebijakan dalam mendorong pembangunan industri.
BIBLIOGRAFI
Creswell, J. W. (2009). Mapping the
field of mixed methods research. In Journal of mixed methods research
(Vol. 3, Issue 2, pp. 95�108). SAGE publications Sage CA: Los Angeles, CA.
Creswell, J. W. (2013). Qualitative
Inquiry and Research design: Choosing Among Five Approaches. Sage
Publications Inc.
Harjo, D. (2019). Analisis Penerimaan
Pajak Rokok Pada Masa Pandemi Covid-19 Di Provinsi Jawa Barat. JURNAL ONLINE
INSAN AKUNTAN, 6, 83�94.
Harjo, D. (2021). Penggalian Potensi
Perluasan Basis Pajak Daerah Provinsi Jawa Barat Dalam Menghadapi Pandemi
Covid-19. Jurnal Reformasi Administrasi: Jurnal Ilmiah Untuk Mewujudkan
Masyarakat Madani, 8(1), 1�9.
Kementerian Perindustrian, R. I.
(2014). Neraca 2013 dan Prognosa 2014 Kebutuhan dan Ketersediaan Garam
Konsumsi. Jakarta: Kementerian Perindustrian RI.
Michael, R., Raharjo, S. T., &
Resnawaty, R. (2019). Program CSR Yayasan Unilever Indonesia Berdasarkan Teori
Triple Bottom Line. Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, 2(1), 23�31.
Nuryadin, D., & Suharsih, S.
(2017). Analisis dan evaluasi dampak dana alokasi khusus terhadap indikator
kinerja pembangunan di daerah studi kasus kabupaten-kota 2003-2013. Jurnal
Ekonomi & Studi Pembangunan, 18(1), 62�70.
Prasetyo, E. N., Kudanga, T., �stergaard,
L., Rencoret, J., Guti�rrez, A., del R�o, J. C., Santos, J. I., Nieto, L., Jim�nez-Barbero,
J., & Mart�nez, A. T. (2010). Polymerization of lignosulfonates by the
laccase-HBT (1-hydroxybenzotriazole) system improves dispersibility. Bioresource
Technology, 101(14), 5054�5062.
Presiden, P. (2021). nomor 87 tahun
2017 tentang penguatan pendidikan karakter. Retrieved March, 10.
Prihastuti, D. (2019). Kajian Hukum
Penataan Wilayah Sekitar Kawasan Bendungan Jatigede Dalam Pembentukan Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) Dalam Perspektif Otonomi Daerah Kaitannya Dengan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sumedang. JURNAL HUKUM MEDIA JUSTITIA
NUSANTARA, 9(2), 77�102.
Sbergami, F. (2002). Agglomeration
and economic growth: some puzzles. Graduate Institute of International
Studies.
Setiawan, B., Yulyana, E., &
Priyanti, E. (2021). Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5
Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Kesehatan Jiwa di Kabupaten Karawang. Dinamika:
Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara, 8(1), 25�51.
Subandriyo, B., ST, S., & Stat,
M. (2020). Analisis kolerasi dan regresi. Badan Pusat Statistik.
Sullivan, J. (2012). A tale of two
microblogs in China. Media, Culture & Society, 34(6), 773�783.
Tobler, W. R. (1979). Smooth
pycnophylactic interpolation for geographical regions. Journal of the
American Statistical Association, 74(367), 519�530.
Zuliastri, F., Rindayati, W., &
Asmara, A. (2013). Analisis Faktor Yang Memengaruhi Aglomerasi Industri
Unggulan Daerah dan Hubungannya Dengan Daya Saing Industri Daerah. Jurnal
Ekonomi Dan Kebijakan Pembangunan, 2(2), 113�134.
Copyright holder: Zimmy Permana Sembiring,
Nadila Ersya Athallah, Hediyati Anisia Br Sinamo (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |