Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 11, November
2022
PEMBATALAN PERKAWINAN YANG MENGANDUNG TIPU MUSLIHAT MENGENAI SURAT KEMATIAN YANG DILAKUKAN SALAH SATU PIHAK BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA INDRAMAYU NOMOR 0915/PDT.G/2020
Ega Rahmah Habie, Mohamad Fajri Mekka Putra
Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Dosen Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Perkawinan bertujuan untuk mencapai
rumah tangga yang abadi dan bahagia dengan kejujuran dan sesuai dengan
keagamaan dan peraturan perundang-undangan. Namun, seringkali hal tersebut
tidak tercapai dengan adanya putus perkawinan berdasarkan peceraian atau pembatalan
perkawinan. Hal tersebut dapat terjadi apabila dalam perkawinan tidak
dilandasakan kejujuran antara para pihak yang melaksanakan perkawinan
sebagaimana pada Putusan Pengadilan Agama Indramayu Nomor 0915/Pdt.G/2020.
Bahwa salah satu pihak telah melakukan tipu muslihat untuk melaksanakan
perkawinan tanpa izin dari istri sebelumnya. Metode yang digunakan pada
penelitian ini adalah metode penelitian normatif dan pendekatan perundang-undangan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mengenai pembatalan perkawinan yang mengandung tipu muslihat mengenai
surat kematian yang dikabulkan berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Indramayu
Nomor 0915/Pdt.G/2020 dan akibat hukum yang
timbul dari perkawinan yang dibatalkan berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Indramayu Nomor 0915/Pdt.G/2020. Hasil
menunjukan bahwa pembatalan perkawinan dapat dibatalkan apabila pihak telah
melakukan tipu muslihat dan telah merugikan para pihak lainnya. Akibat dari
pembatalan perkawinan juga dapat dibebankan kepada pihak yang beritikad buruk
apabila timbul kerugian dikemudian hari.
Kata kunci: Pembatalan Perkawinan, Tipu Muslihat, Akibat Hukum
Abstract
Marriage aims to
achieve a lasting and happy household with honesty and in accordance with
religion and laws and regulations. However, often this is not achieved by
breaking up marriages based on divorce or annulment of marriages. This can
happen if the marriage is not based on honesty between the parties carrying out
the marriage as stated in the Indramayu Religious Court Decision Number
0915/Pdt.G/2020. That one of the parties has committed a trick to carry out the
marriage without the permission of the previous wife. The method used in this
research is normative research method and statutory approach. The purpose of
this research is to find out about the annulment of marriages that contain
deception regarding death certificates that were granted based on the Decision
of the Indramayu Religious Court Number 0915/Pdt.G/2020 and the legal
consequences arising from marriages that were annulled based on the Decision of
the Indramayu Religious Court Number 0915/Pdt .G/2020. The results show that
marriage annulment can be canceled if the party has committed a deception and
has harmed the other parties. The consequences of annulling a marriage can also
be borne by a party with bad intentions if losses arise at a later date.
Keywords: Marriage Annulment, Deception, Legal
Consequences
Pendahuluan
Perkawinan merupakan perjanjian antara perempuan dan
laki-laki yang memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum
melaksanakannya. Perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut dapat
dibatalkan oleh beberapa pihak yang berhak untuk membatalkan. Pembatalan
perkawinan tersebut seringkali terjadi disebabkan terdapatnya beberapa pihak
yang mengalami kerugian atas terjadinya perkawinan tersebut. Meskipun sudah
dinyatakan di atas bahwa perkawinan merupakan perjanjian antara dua pihak yaitu
perempuan dan laki-laki. namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan bermasyarakat
perkawinan tidak hanya mengikat antara dua pihak tersebut melainkan juga
mengikat antara keluarga kedua belah pihak yang melaksanakan perkawinan (Anwar, 2020).
Perjanjian yang dimaksud dalam perkawinan adalah pada saat
perempuan dan laki-laki mengeluarkan kata sepakat untuk melaksanakan
perkawinan, yang berarti mereka saling berjanji untuk menaati
peraturan-peraturan yang timbul dari perkawinan dan hukum yang berlaku mengenai
hak dan kewajiban dalam berumah tangga (Suryatni, 2021). Maka dari itu, perkawinan bukan hanya sebagai hubungan
antara dua pihak tetapi hubungan yang menimbulkan hukum antara dua pihak
tersebut dan hukum yang timbul tersebut harus ditaati oleh para pihaknya agar
terciptanya kerukunan serta ketertiban baik untuk umum dan dalam hal berumah
tangga.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pada dasarnya perkawinan memiliki tujuan untuk hidup bersama sebagai
keluarga yang bahagia dan kekal (Hudafi, 2020). Namun, pada kenyataannya terdapat perkawinan yang tidak
bahagia dan berakhir tidak kekal sebagaimana tujuan utama dari perkawinan.
Perkawinan dapat putus disebabkan oleh kematian, perceraian dan atas keputusan
pengadilan. Meskipun putusnya perkawinan telah diatur pada Undang-undang, untuk
tercapainya putusan perkawinan tersebut tidak dapat dilakukan sewenang-wenang
para pihak, tetapi terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Selain itu, dalam putus perkawinan juga akan menimbulkan akibat-akibat yang
harus ditanggung oleh para pihak. Salah satu dari sebab putus perkawinan adalah
atas keputusan pengadilan yaitu apabila terjadinya pembatalan perkawinan. Pada
kamus hukum, pengertian pembatalan perkawinan berasal dari dua kata, yaitu
�batal� dan �kawin�. �Batal� artinya tidak berlaku, tidak sah, tidak mempunyai
akibat hukum yang dikehendaki karena tidak memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh hukum atau UU . Sedangkan kawin berarti hubungan untuk
membentuk suatu rumah tangga antara dua orang yaitu suami dan istri. Maka dari
itu, pembatalan perkawinan dapat dianggap bahwa perkawinan tersebut tidak pernah
ada.
Pembatalan perkawinan dapat dikatakan sebagai perbuatan
yang bertolak belakang dengan tujuan perkawinan itu sendiri, mengingat tidak
seharusnya suatu perkawinan itu dibatalkan, karena suatu perkawinan merupakan
suatu hal yang bersifat religius dan tidak boleh dipermainkan (Rusli, 2013). namun, pembatalan perkawinan seringkali tidak dapat
dihindari dan menjadi salah satu sebab terjadinya putus perkawinan. Mengenai pembatalan
perkawinan Undang-undang telah mengatur pada Pasal 22 s.d. Pasal 28 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pembatalan perkawinan pada undang-undang
tersebut menyatakan bahwa Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pembatalan perkawinan dapat disebabkan oleh beberapa sebab.
Pada Pasal 23 menyatakan beberapa pihak yang berhak untuk mengajukan pembatalan
perkawinan (Rahmatillah & Khofify,
2017). Yaitu: (a) Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami
atau isteri; (b) Suami atau isteri; (c) Pejabat yang berwenang hanya selama
perkawinan belum diputuskan; (d) Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal
16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara
langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu
putus.
Salah satu dari pihak tersebut
adalah suami atau istri. Pembatalan yang diajukan oleh suami atau istri
seringkali dilakukan karena tidak memenuhi Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan yaitu harus mendapatkan izin dari para pihak untuk melaksanakan
perkawinan kedua dan selanjutnya yang sah. Pada asas perkawinan di Indonesia
memang mengandung asas monogami yaitu suami atau istri hanya diperbolehkan
mempunyai satu suami atau istri. Namun, asas monogami dapat dikecualikan oleh
peraturan yang terdapat pada agama yang dipercaya oleh masing masing pihak. Pengecualian asas monogami tersebut hanya berlaku
untuk pihak laki-laki atau suami (Hanifah, 2019). Pengecualian tersebut bukan hanya terjadi tanpa
alasan yang jelas, pengecualian tersebut hadir agar tidak terjadinya kecemasan
mengenai anak yang dilahirkan dari perkawinan poliandri atau bersuami
lebih dari satu. Poligami atau keadaan dimana seorang suami mempunyai istri
lebih dari satu dapat dilakukan karena telah terdapat peraturan yang mengatur
meskipun pelaksanaanya tidaklah mudah. Peraturan yang mengatur pelaksanaan
poligami dicita-citakan untuk terwujudnya poligami yang sesuai dengan
persyaratan, memberikan perlindungan hukum dan menciptakan ketertiban umum.
Selain itu, keberadaan
peraturan-peraturan tersebut juga menciptakan hak dan kewajiban yang timbul
dari hubungan hukum dalam hal, seberapa penting keharusan mendapat izin
pengadilan untuk berpoligami, secara formal, urgensi izin berpoligami adalah
agar terwujud kepastian hukum, ketertiban, perlindungan, dan jaminan hukum atas
perkawinan itu sendiri (Ardhian et al., 2015). Namun, seperti yang sudah dijelaskan bahwa dalam
kehidupan bermasyarakat pelaksanaan poligami tidaklah mudah dan masih banyak
ditolak dalam membangun rumah tangga. Penolakan dari pelaksanaan poligami
tersebut yang seringkali memicu terjadinya perkawinan yang dilakukan dengan
tidak memenuhi persyaratan yaitu tidak memiliki izin dari istri sebelumnya.
Perkawinan yang tidak memenuhi syarat tersebut banyak bentuknya berdasarkan
dari perbuatan yang dilakukan suami untuk menikah lagi tanpa izin dari istri
sebelumnya. Maka, apabila melihat melalui pandangan hukum perkawinan yang
dilakukan tersebut dapat dilakukan pembatalan oleh pihak yang bersangkutan
yaitu istri.
Terjadinya pembatalan perkawinan
akan menimbulkan akibat-akibat setelah dibatalkannya perkawinan. Namun,
akibat-akibat tersebut tidak akan timbul atau tidak akan berlaku kepada anak
yang dihasilkan dari perkawinan yang telah dibatalkan. Anak yang sudah terlahir
dari perkawinan yang telah dibatalkan tidak akan mengubah status anak menjadi
anak luar kawin. Selain tidak akan berlaku surut kepada anak, juga tidak akan
berlaku surut terhadap suami istri yang beritikad baik dan pada pihak ketiga
yang beritikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan
hukum tetap. Sebab terjadinya�pembatalan perkawinan
dapat dikatakan atas kekurangan pengawasan baik dari pejabat yang berwenang
untuk mengawasi, pihak keluarga atau pihak yang terkait, karena perkawinan yang
melanggar peraturan dan tidak memenuhi persyaratan tetap dapat dilakukan. Kurangnya
pengawasan oleh pejabat yang berwenang mengenai persyaratan sebelum
dilaksanakannya perkawinan terjadi secara nyata pada Putusan Pengadilan Agama
Indramayu Nomor 0915/Pdt.G/2020.
Metode Penelitian
Pada penelitian ini, bentuk penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif (Muchtar, 2015). Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menelaah asas-asas, peraturan-peraturan hukum tertulis. Peneitian ini menggunakan jenis data sekunder. Pada penelitian ini data sekunder yang berdasarkan penelusuran bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Jenis bahan hukum primer yang digunakan pada penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 11974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tetang Pelaksanaan Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Putusan Pengadilan Agama Indramayu Nomor 0915/Pdt.G/2020. Bahan hukum sekunder selaku bahan pendukung yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Pada bahan hukum sekunnder yang digunakan adalah jurnal, kamus hukum dan teks lainnya yang berkaitan dengan penellitian ini. Bahan hukum yang terakhir adalah bahan hukum tertier sebagai bahan hukum yang memberikan petunjuk mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Kemudia, allat pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen. Maka, dengan studi dokumen ini peneliti akan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan Pembatalan Perkawinan lalu peneliti akan diuraikan menjadi suatu pemahaman atas masalah yang sedang diteliti.
Hasil dan Pembahasan
A. Pembatalan Perkawinan yang Mengandung
Tipu Muslihat Mengenai Surat Kematian yang Dikabulkan Berdasarkan Putusan
Pengadilan Agama Indramayu Nomor 0915/Pdt.G/2020
Dalam perkara pembatalan perkawinan pada Putusan
Pengadilan Agama Indramayu
Nomor 0915/Pdt.G/2020 Pihak X sebagai Pemohon selaku
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Juntinyuat melawan Pihak Y dan Pihak Z
sebagai termohon Satu dan Dua. Pihak X mengajukan pembatalan perkawinan kepada
Pengadilan Agama Indramayu dengan alasan bahwa Pihak Y tidak memiliki izin
untuk menikah kembali dengan Pihak Z dari istri Pihak Y yaitu Ety Nurhayati. Selain
tidak memiliki izin, Pihak Y juga melakukan tipu muslihat mengenai surat
kematian untuk melaksanakan perkawinan.
����������� �Pembatalan perkawinan dijelaskan pada Pasal 22 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 Berdasarkan Pasal tersebut R. Soetojo Prawirohamidjojo menguraian Pasal 22 undang-undang perkawinan tersebut dan menyatakan bahwa kata �dapat� tersebut tidak dapat dipisahkan dari kata dibatalkan yang berarti bahwa perkawinan itu semula adalah sah, kemudian menjadi batal karena adanya putusan pengadilan (vernietigbaar) sebagai lawan batal demi hukum. Maka, suatu perkawinan ada yang bisa dibatalkan dan ada juga yang tidak bisa dibatalkan, atau ada perkawinan yang sah dan ada perkawinannya yang keabsahannya diragukan sehingga dapat dibatalkan (Nasution, 2013). Sehingga, tidak semua perkawinan dapat dibatalkan. Hanya perkawinan yang tidak sesuai undang-undang, tidak memenuhi persyaratan. Perkara pemohonan pembatalan juga bisa diajukan apabila pernikahan tersebut dilangsungkan di muka pegawai pencatat penikahan yang tidak berwenang. Selain itu, dijelaskan pada Pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975 bahwa pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan. Adanya putusan pengadilan yang membatalkan perkawinan, maka perkawinan yang telah terjadi dianggap tidak pernah ada (Nasution, 2013). Dalam hal ini pembatalan perkawinan lembaga peradilan yang berwenang adalah pengadilan agama.
����������� ����������� Pengadilan agama memiliki dua kewenangan, yaitu kewenangan relatif dan kewenangan absolut. Kewenangan absolut dalam hal ini adalah kewenangan yang hanya dimiliki oleh masing-masing lembaga peradilan yang tidak dapatt diperiksa oleh llembaga peradilan lain. Sedangkan kewenangan relatif dalam hal ini adalah perkara-perkara bukan dilihat dari jenis perkaranya melainkan dari wilayah kekuasaan lembaga peradilan (Iswandi, 2021). Pada perkara Putusan Pengadilan Agama Indramayu Nomor 0915/Pdt.G/2020 Pihak X mengajukan surat permohonan yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Indramayu ditempat perkawinan antara Termohon Y dan Termohon Z melangsungkan perkawinan, hal ini telah sesuai dengan Pasal 25 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan bahwa pembatalan perkawinan harus diajukan kepada peenegadilan tempat dimana perkawinan tersebut dilangsungkan.
����������������������� Bahwa atas pertimbangan Majelis Hakim, berdasarkan Pasal 23 huruf c dan Pasal 25 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo, Pasal 38 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanan Undang-undang nomor 9 tahun 1975 tentang Perkawinan yaitu bahwa Pemohon X selaku Kepala Kantor Urusan Agama Kecamaan Juntinyuat Kabupaten Indramayu termasuk kedalam pihak yang berhak mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu sebagai pejabat yang memiliki wewenang untuk membatalkan perkawinan Termohon Y dan Termohon Z. Perkawinan Termohon Y dan Termohon Z dapat dikatakan tidak berkekuatan hukum sehingga perkawinan tersebut dinilai cacat prosedur dan administrasi (Nirmalasari, 2022). Dalam mengajukan permohonan tersebut Pemohon X telah mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi untuk memperkuat dalil permohonannya.
�Bukti P.2 dan P.3 merupakan Kutipan Akta Nikah dan Aka Nikah dari Termohon Y dan Termohon Z, Bukti P.11 dan P.12 merupakan fotokopi Surat Kematian yang bermeterai cukup dan cocok dengan aslinya yang menjelaskan mengenai kematian istri dari Termohon Y yang bernama Romlah, serta Bukti P.115 merupakan Kutipapn Akta Nikah bermemterai cukup dan cocok dengan aslinya mengenai pernikahan Termohon Y dan Ety Nurhayati. dengan adanya bukti kutipan akta nikah antara Termohon Y dan Ety Nurhayati maka membuktikan bahwa dengan tidak memiliki izin dari Ety Nurhayati, maka perkawinan Termohon Y dan Termohon Z merupakan poligami liar dan dapat dibatalkan. Selain itu, Termohon Y juga telah melakukan tipu muslihat dengan menggunakan fotokopi surat kematian dari istri pertamanya yang telah meninggal dunia bernama Romlah yang sebelumnya surat kematian tersebut telah Termohon Y gunakan untuk menikah dengan Ety Nurhayati.
�Terdapat 4 (empat) Unsur-unsur penipuan dalam Hukum Perjanjian Islam, yaitu (Brata, 2019):
1. Penyesatan
sebagai tindakan mengelabui dengan kesengajaan yang tidak diketahui oleh pihak
mitra akad/janji (uknown to one party) dengan perkataan atau perbuatan.
2. Terdapat tipu muslihat.
3. Terdapat kebohongan.
4. Menyembunyikan keterangan. Sehingga,
melihat dari hukum perjanjian islam Termohon Y telah melakukan penipuan dengan
tipu muslihat.
����������� Selain bukti-bukti, Pemohon X juga menghadirkan saksi-saksi untuk memperkuat permohonannya. Saksi pertama adalah Waryanto yang mengatakan bahwa saat menikah Termohon Y dan Termohon Z, Termohon Y merupakah seorang duda mati. Namun, pada hadir seorang perempuan bernama Ety Nurhayati mengaku sebagai istri sah dari Termohon Y dan mengatakan keberatan atas berlangsungnya perkawinan tersebut. Kesaksian dari saki Waryanto terlah memenuhi Pasal 171 HIR, yaitu Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa yang dialami, didengar dan dilihat sendiri oleh saksi (Azlina, 2020). Selain saksi Waryanto, Pemohon X juga menghadirkan saksi Jaelani yang memberikan keterangan yang sama dengan saksi Waryanto.
����������� ����������� Maka dari itu, dengan melihat pada Undang-undang Nomor 1 Tun 1974 tentang Perkawinan bahwa Perkawinan pada dasarnya menganut asas monogami yaitu hanya dapat memiliki satu istri aupun suami. Apabila seeorang suami ingin beristri lebih dari satu, maka harus dengan izin dari pihak yang bersangkutan yaitu istri sah dari suami yang ingin beristri lebih dari satu. Selain izin dari pihak istri, seorang suami juga membutuhkan izin dari pengadilan. Pengadilan Agama hanya akan memberikan izin kepada suami untuk berpoligami atau memeiliki sitri lebih dari 1 (satu) apabila terdapat 3 (tiga) alasan yang kuat, yaitu (Aisyah, 2019):
1. isteri
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
isteri;
2. isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan;
3. isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Sehingga, untuk mendapatkan izin memiliki istri lebih dari satu tidaklah mudah dan dalam hal ini, pejabat serta pihak-pihak yang berwenang sangat berperan penting terhadap berlangsungnya perkawinan yang sesuai dengan undang-undang dan sah menurut agama masing-masing pihak agar tidak terjadi pembatalan perkawinan. Hal tersebut berkesinambungan dengan tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membangun rumah tangga yang kekal dan bahagia.
Untuk mencegah terjadi pembatalan perkawinanmaka lembaga pemerintahan dalam hal ini adalah Kantor Urusan Agama dapat melakukan hal berikut (Faisal, 2017):
1. Memeriksa
kelengkapan administrasi pendaftaran dan melakukan pemeriksaan status/kebenaran data
pada berkas pendaftaran pada saat pendaftaran dengan teliti dan sesuai dengan
peraturan.
2. Memasang pengumuman kehendak nikah.
3. Memeriksa kebali kebenaran kedua calon mempelai
sebelum akad nikah.
4. Memberitahu syarat dan rukun nikah.
5. Melakukan penolakan nikah apabila ditemukan penghalang
nikah.
Tindakan yang dilakukan guna mencegah pembatalan perkawinan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang pada Kantor Urusan Agama seringkali tidak berjalan dengan mulus apabila pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tidak mematuhi peraturan yang telah ada. Pada perkara Putusan Pengadilan Agama Indramayu Nomor 0915/Pdt.G/2020�Termohon Y telah melakukan tipu muslihat kepada lembaga pemerintahan yaitu Kantor Urusan Agama dengan memberikan surat kematian yang telah digunakan untuk perkawinan yang sebelumnya telah Termohon Y lakukan. Hal tersebut, selain kesalahan dari Termohon Y juga merupkan kesalahan dari pegawai Kantor Urusan Agama Indramayu yang tidak teliti dalam memeriksa dokumen-dokumen serta persyaratan untuk dilangsungkannya perkawinan antara Termohon Y dan Termohon Z.
Pembatalan perkawinan juga dapat dibatalkan apabila terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. Salah sangka digolongkan menjadi dua yaitu salah sangka yang terdapat unsur kesengajaan dan salah sangka yang tidak terdapat unsur kesengajaan (Hakim & Nugraheni, 2019). Hal tersebut diatur pada Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam bahwa yang dimaksud penipuan adalah apabila suami mengaku belum menikah sehingga terjadi poligami tanpa izin. Sehingga, pembatalan perkawinan merupakan hal yang lazim dilakukan pada perkawinan yang terdapat tipu muslihat, tidak sesuai undang-undang dan/atau tidak memenuhi persyaratan.
Pertimbangan Majelis Hakim bahwa dengan dikabulkannya permohonan pembatalan perkawinan tersebut, maka Majelis Hakim juga harus menyatakan bahwa Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama Indramayu tidak berkuatan hukum tetap. Demikianlah analisa penulis terhadap pertimbangan hakim dalam menjatuhan putusan Majelis Hakim.
B. Akibat Hukum yang Timbul dari Perkawinan yang
Dibatalkan Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Indramayu Nomor
0915/Pdt.G/2020
Perkawinan
yang putus karena perceraian atau pembatalan akan menimbulkan akibat Hukum.
Dampak atau akibat hukum bukan saja hanya berakibat terhadap suami dan istri.
Namun, juga dapat berdampak kepada anak, harta bersama dan/atau terhadap pihak
terkait seperti pihak ketiga. Dalam hal ini akan membahas, akibat dari putusnya perkawinan
karena pembatalan perkawinan. Akibat hukum dari pembatalan perkawinan terdiri
dari 3 (tiga) akibat yaitu (Patampari, 2020):
1. Anak
Pada perkawinan, anak merupakan
akibat dari berlangsungnya perkawinan. Dengan hadirnya seorang anak juga akan
menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua orang tuanya. Anak sah menurut Pasal
42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah anak yang terlahir
dari perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan
sesuai dengan masing-masing agama serta kepercayaan. Sedangkan anak tidak sah, diatur
pada Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa anak
tidak sah adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan hanya akan
mempunyai hubungan perdata dengan ibu serta keluarga ibunya saja. Sehingga,
pembuktian asal-usul seorang anak merupakan hal yang sangat penting. Salah
satunya yaitu dengan akta kelahiran yang menjadi bukti otentik sebagai
asal-usul kelahiran anak tersebut (Muamar, 2016).
Wibowo Reksopradoto
memberikan ulasan sebagai berikut: Keputusan Pembatalan Perkawinan tidak
berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut (Reksopradoto, 1978). Pendapat Wibowo Reksopradto sama halnya dengan yang tertuang
pada Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
bahwa apabila pembatalan perkawinan telah dimulai setela keputusan pengadilan
mempunnyai kekuatan yang tetap berlaku sejak berlangsungnya perkawinan, tetapi
keputusan pengadilan tersebut tidak akan berlaku terhadap anak yang telah
dilahirkan dalam berlangsungnya perkawinan. Akibat hukum dari pembatalan
perkawinan yang tidak akan berlaku pada anak-anak yang dilahirkan selama
perkawinan dilangsungkan ini berdasarkan atas kemanusiaan dan kepentingan dari
anak-anak yang tidak memiliki hubungan atas itikad buruk atau alasan-alasan
yang menjadi penyebab terjadinya pembatalan perkawinan.
Pada Putusan Pengadilan Agama Indramayu Nomor
0915/Pdt.G/2020 Termohon Y dan Termohon Z belum memiliki seorang anak. Sehingga,
akibat hokum yang timbul mengenai anak tidak berlaku bagi Termohon Y dan Termohon
Z.
2. Harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung
Harta suami dan istri dapat
dilihat berdasarkan 3 (tiga) golongan, yaitu (Rachman, 2006):
a.
Harta
masing-masing yang telah dimiliki sebelum berlangsungnya perkawinan dapat
berasal dari warisan, hibah atau usaha masing-masing disebut sebagai harta
bawaan
b.
Harta
masing-masing yang dimiliki selama perkawinan berlangsung tetapi diperoleh dari
hibah, wasiat atau warisan
c.
Harta
yang diperoleh selama dalam perkawinan atas usaha suami dan istri atau salah
satunya disebut sebagai harta pencarian.
Apabila melihat dari harta suami dan istri berdasarkan 3
(tiga) golongan tersebut, maka harta yang dapat dikatakan harta bersama antara
suami dan istri adalah harta yang diperoleh atas usaha dari keduabelah pihak
yaitu suami dan istri atau usaha dari salah satu pihak selama perkawinan
berlangsung. Sehingga, harta yang diperoleh baik sebelum atau selama perkawinan
berlangsung yang diperoleh dari hibah, wasiat atau warisan merupakan harta masing-masing, menjadi
tanggung jawab masing-masing pihak dan menjadi sepenuhnya hanya milik
masing-masing pihak sehingga tidak memerlukan izin saat ingin melakukan
perbuatan hukum atas harta masing-masing. Sedangkan harta bersama berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus mendapatkan
persetujuan dari keduabelah pihak apabila ingin melakukan perbuatan hukum.
Pembagian harta bersama diatur pada Pasal 37 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa apabila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Sedangkan
mengenai pembatalan perkawinan, dalam�praktik pengadilan
belum ditemukan adanya aturan mengenai pembagian harta bersama (Kolilah, 2019). Sehingga, dalam pembagian harta bersama pada perkara
pembatalan perkawinan diselesaikan secara bermusyrawarah antara para pihak. Pembagian
harta bersama juga dapat dilakukan sebagaimana pada perkara perceraian apabila
para pihak beritikad baik yaitu masing-masing pihak mendapatkan setengah dari
harta bersama. Namun, apabila para pihak beritikad buruk maka dapat dibebankan
biaya-biaya kerugian atau bunga-bunga.
Akibat hukum yang timbul dari pembagian harta bersama Pada Putusan Pengadilan Agama Indramayu Nomor
0915/Pdt.G/2020 berlaku apabila Termohon Y dan Termohon Z timbul apabila
Termohon Y dan Termohon Z memperoleh harta selama perkawinan berlangsung dengan
usaha yang mereka hasilkan sendiri yaitu bukan merupakan hibah, wasiat, warisan
dan/atau harta hasil yang merupakan usaha antara Termohon Y dengan Istri
sebelumnya yaitu Ety Nurhayati. Selain itu, melihat bahwa yang telah melakukan
tipu muslihat adalah Termohon Y maka dapat dikatakan bahwa Termohon Y telah
beritikad buruk. Sehingga, Termohon Y dapat dibebankan biaya-biaya kerugian
serta bunga yang timbul dikemudian hari.�
3. Pihak Ketiga
Terhadap pihak ketiga yang beritikad baik, pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut. Sehingga, segala perjanjian atau perbuatan
perdata lainnya yang dilakukan pada saat perkawinan berlangsung tetap berlaku dan harus tetap dilaksanakan (Amnawaty, 2018). Hal ini berkaitan dengan perlindungan hukum kepada
pihak ketiga agar pihak ketiga yang beritikad baik tidak dirugikan atas terjadi
pembatalan perkawinan.
Sehingga, Pada Putusan Pengadilan Agama Indramayu
Nomor 0915/Pdt.G/2020 apabila Termohon Y dan Termohon Z telah melakukan
perbuatan perdata yang mengikat Termohon Y dan Termohon Z tetap harus
dilaksanakan dan tidak membuat batalnya perbuatan perdata tersebut meskipun
perkawinan antara Termohon Y dan Termohon Z telah batal dan dianggap tidak
pernah ada.
Kesimpulan
Perkawinan yang memiliki tujuan untuk hidup
bersama sebagai keluarga yang kekal dan bahagia sering kali tidak terwujud
sehingga mengakibatkan putusnya perkawinan baik dengan perceraian atau dengan
pembatalan perkawinan. Pada Putusan Pengadilan Agama Indramayu Nomor
0915/Pdt.G/2020 perkawinan antara Termohon Y dan Termohon Z putus akibat
pembatalan perkawinan yang dimohonkan oleh Pemohon X selaku Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan Juntiyuat. Pembatalan perkawinan tersebut terjadi karena
Termohon Y telah melakukan tipu muslihat mengenai surat kematian. Termohon Y
tidak memiliki izin dari istrinya yaitu Ety Nurhayati untuk melangsungkan
perkawinan dengan Termohon Z. sehingga, perkawinan tersebut batal karena tidak
memenuhi persyaratan menurut Undang-undang. Terjadinya pembatalan perkawinan
pada Putusan Pengadilan Agama Indramayu Nomor 0915/Pdt.G/2020 dapat dikatakan
karena kurangnya pengawasan dari pegawai atau pejabat pada Kantor Urusan Agama
yang tidak memeriksa data-data dari Termohon Y dengan teliti sehingga Termohon
Y dapat melakukan tipu muslihat terhadap surat kematian sebagai salah satu
syarat untuk menikah kembali dengan Termohon Z tanpa izin dari Ety Nurhayati
selaku istri dari Termohon Z.
Pembatalan perkawinan juga akan menimbulkan akibat hukum
baik terhadap anak, harta bersama maupun terhadap pihak ketiga. pada Putusan
Pengadilan Agama Indramayu Nomor 0915/Pdt.G/2020 Termohon Y dan Termohon Z
belum memiliki anak sehingga akibat hukum tidak timbul. namun, akibat hukum
dapat timbul mengenai harta bersama dan terhadap pihak ketiga, apabila Termohon
Y dan Termohon Z telah melakukan usaha bersama yang menghasilkan harta selama
perkawinan berlangsung. harta bersama tersebut dapat dibagi secara musyawarah
antara Termohon Y dan Termohon Z. Termohon Y selaku pihak yang beritikad buruk
dengan melakukan tipu muslihat dapat dibebankan biaya-biaya serta bunga
dikemudian hari jika timbul kerugian. Mengenai akibat hukum terhadap pihak
ketiga, Termohon Y dan Termohon Z harus tetap melaksanakan perbuatan perdata
yang sebelumnya telah mengikat kepada pihak ketiga meskipun perkawinan telah
dibatalkan. hal tersebut sebagai perlindungan kepada pihak ketiga yang
beritikad baik.
Aisyah, A. (2019). Konsep Hukum Prosedur Mengajukan
Izin Poligami pada Pengadilan Agama Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia. Jurnal
Ilmiah Advokasi, 7(1), 43�51.
Amnawaty, S. H. (2018). Penyebab pembatalan perkawinan
menurut undang-undang no. 1 tahun 1974 dan inpres no. 1 tahun 1991 (studi
putusan nomor144/Pdt. G/2012/PA. Sgt). Pactum Law Journal, 1(02),
99�110.
Anwar, W. A. (2020). Silariang Dalam Perspektif Hukum
Islam (Studi Kasus di Kabupaten Sidrap). Ash-Shahabah: Jurnal Pendidikan Dan
Studi Islam, 6(2), 108�120.
Ardhian, R. F., Anugrah, S., & Bima, S. (2015).
Poligami dalam hukum islam dan hukum positif indonesia serta urgensi pemberian
izin poligam di pengadilan agama. Privat Law, 3(2), 164461.
Azlina, A. (2020). Penegakan Asas Unus Testis
Nullus Testis Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Pinrang (Analisis
Putusan Nomor: 180/Pdt. G/2019/PA. PRG). IAIN Parepare.
Brata, G. G. M. (2019). Analisis Pertimbangan Hakim
Dalam Memutus Perkara Pembatalan Perkawinan. Notarius, 12(1), 433�451.
Faisal, F. (2017). Pembatalan Perkawinan dan
Pencegahannya. Al-Qadha: Jurnal Hukum Islam Dan Perundang-Undangan, 4(1),
1�15.
Hakim, M. H. R., & Nugraheni, A. S. C. (2019). Salah
Sangka dan Penipuan Pada Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo.
Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jurnal Privat
Law, 7(1), 13�17.
Hanifah, M. (2019). Perkawinan Beda Agama Ditinjau
dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Soumatera Law
Review, 2(2), 297�308.
Hudafi, H. (2020). Pembentukan keluarga sakinah
mawaddah warahmah menurut Undang�Undang nomor 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum
Islam. Al Hurriyah: Jurnal Hukum Islam, 5(2), 172�181.
Iswandi, A. (2021). Review Pembatalan Perkawinan Yang
Disebabkan Penipuan Pada Pengadilan Agama. Qonuni: Jurnal Hukum Dan
Pengkajian Islam, 1(02), 76�88.
Kolilah, K. (2019). Tinjauan Yuridis Tentang Akibat
Hukum Pembatalan Perkawinan Terhadap Status Anak dan Pembagian Harta Bersama
(Studi Analisis Putusan PA Nomor 900/Pdt. G/2016/PA. Jpr). Istidal: Jurnal
Studi Hukum Islam, 6(2), 132�152.
Muamar, A. (2016). Ketentuan nasab anak sah, tidak
sah, dan anak hasil teknologi reproduksi buatan manusia: antara UU Perkawinan
dan Fikih Konvensional. Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam, 6(1),
45�56.
Muchtar, H. (2015). Analisis Yuridis Normatif
Sinkronisasi Peraturan Daerah dengan Hak Asasi Manusia. Humanus, 14(1),
80�91. https://doi.org/10.24036/jh.v14i1.5405
Nasution, H. (2013). Pembatalan Perkawinan Poligami di
Pengadilan Agama (Tinjauan Dari Hukum Positif). Jurnal Cita Hukum, 1(1),
96048.
Nirmalasari, N. (2022). Pembatalan Perkawinan
Akibat Tidak Ada Izin Poligami di Pengadilan Agama Makassar Kelas IA Perspektif
Hukum Islam. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Patampari, A. S. (2020). Konsekuensi Hukum Pembatalan
Perkawinan Menurut Hukum Islam. AL-SYAKHSHIYYAH Jurnal Hukum Keluarga Islam
Dan Kemanusiaan, 2(2), 86�98.
Rachman, Y. (2006). PEmbatalan Perkawinan serta Akibat
HUkumnya di Pengadilan Agama Slawi. program Pascasarjana Universitas
Diponegoro.
Rahmatillah, D., & Khofify, A. N. (2017). Konsep
Pembatalan Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 Dan Kompilasi
Hukum Islam. Hukum Islam, 17(2), 152�171.
Reksopradoto, W. (1978). Hukum Perkawinan Nasional
Jilid II Tentang Batal dan Putusnya Perkawinan. Itikad Baik, Semarang.
Rusli, T. (2013). Pembatalan Perkawinan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pranata Hukum, 8(2).
Suryatni, L. (2021). Perkawinan Merubah Status Pria
Dan Wanita Dalam Kehidupan Di Masyarakat. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara,
11(2).
Copyright holder: Ega Rahmah Habie, Mohamad Fajri Mekka Putra (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |