Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

�Vol. 7, No. 11, November 2022

 

AGENSI PENENUN MENGHADAPI KEBIJAKAN PEMBATASAN PENGGUNAAN TENUN IKAT UNTUK URUSAN ADAT DI PULAU ADONARA, KABUPATEN FLORES TIMUR, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

 

Petronela Somi Kedan, Fidentus Didakus Darma Saputra

Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula, Ende, Indonesia

E-mail: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Kewatek biasanya digunakan untuk menyebut sarung tenun yang biasa dipakai oleh perempuan dan Nowin atau Kremot adalah sebutan untuk sarung tenun yang biasa digunakan oleh laki-laki. Kewatek digunakan untuk kehidupan sehari-hari dan juga untuk kegiatan-kegiatan adat yang hampir setiap tahun diselenggarakan. Tokoh masyarakat bersama beberapa tokoh adat dan pemerintah memproduksi kebijakan untuk membatasi penggunaan Kewatek dalam urusan adat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendalami latar belakang dari kebijakan pembatasan Kewatek, mengelaborasi agensi penenun menghadapi kebijakan pembatasan dan meneliti dampak yang di hadapi masyarakat Adonara dari pembatasan tenun ini. Metode penelitian adalah penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan berorientasi aktor (actor oriented approach). Hasil penelitian menemukan tiga dampak kebijakan pembatasan penggunaan Kewatek untuk urusan adat yaitu pada penurunan pendapatan para penenun, degradasi pengetahuan lokal terkait Kewatek dan distorsi relasi sosial. Agensi penenun dalam menghadapi pembatasan penggunaan Kewatek untuk urusan adat terlihat dari kemampuan penenun untuk terus meregenerasi keterampilan menenun secara ototidak, menjual tenun menggunakan relasi dengan menjaga kualitas dan adaptasi mekanisme penentuan harga dan pembayaran serta memanfaatkan mekanisme adat penggunaan Kewatek untuk urusan adat berdasarkan catatan.

 

Kata kunci: Kebijakan, Pembatasan, Tenun Ikat, Urusan Adat, Kewatek Adonara.

 

Abstract

Kewatek is usually used to refer to woven sarongs commonly worn by women and Nowin or Kremot is a term for woven sarongs commonly used by men. Kewatek is used for daily life and also for traditional activities that are held almost every year. Community leaders together with several indigenous and government leaders produced policies to limit the use of Kewatek in customary affairs. The purpose of this study is to explore the background of the Kewatek restriction policy, elaborate weaver agencies facing the restriction policy and examine the impact faced by the Adonara community from this weaving restriction. The research method is qualitative research that uses an actor-oriented approach. The results of the study found three impacts of policies limiting the use of Kewatek for customary affairs, namely on decreasing the income of weavers, degradation of local knowledge related to Kewatek and distortion of social relations. Weaver agencies in facing restrictions on the use of Kewatek for customary affairs can be seen from the ability of weavers to continue to regenerate weaving skills self-help, sell weaving using relations by maintaining the quality and adaptation of pricing and payment mechanisms and utilizing customary mechanisms for the use of Kewatek for customary affairs based on records.

 

Keywords: Policy, Restrictions, Ikat Textile, Adat Activities, Adonara

 

Pendahuluan

Pulau Adonara merupakan bagian dari wilayah pemerintahan Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Adonara memiliki delapan dari total 19 kecamatan yang merupakan bagian dari Kabupaten Flores Timur. Masyarakat Adonara termasuk di dalam kelompok masyarakat Etnis Lamaholot (Siburian, 2013). Masyarakat Lamaholot ini, seperti masyarakat lainnya yang berada pada wilayah Timur Indonesia juga memiliki tradisi menenun tenun ikat atau yang biasa disebut Kewatek (bhs. Lamaholot) (Nurdin et al., 2023). Kata Kewatek biasanya digunakan untuk menyebut sarung tenun yang biasa dipakai oleh perempuan dan Nowin atau Kremot adalah sebutan untuk sarung tenun yang biasa digunakan oleh laki-laki. Namun demikian, secara umum, penyebutan Kewatek juga dapat merujuk pada semua sarung tenun yang di tenun dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) di Pulau Adonara (Kedan & Visser, 2021).

Secara�� �umum,�� �referensi�� �terkait�� �Kewatek�� �dari�� �Pulau�� �Adonara���� baik nasional maupun internasional masih sangat terbatas. Baru pada publikasi oleh Ruth Barnes di tahun 1989 (R. Barnes, 1989) tentang tenun ikat dari Lamalera, dunia sedikit mengenal eksistensi tenun ikat dari pulau Adonara (Taum, 2022). Namun demikian, penelitian Barnes ini terbatas pada tenun yang diproduksi dan diperjualbelikan oleh perempuan Adonara di pesisir pantai. Setelah itu, publikasi berikutnya oleh Hamilton (1994) �Gift of the cotton maiden. Textiles of Flores and the Solor Islands� mulai menjelaskan hal-hal teknis terkait produksi Kewatek. Baru pada penelitian Somi Kedan dan Visser tahun 2021 (Kedan & Visser, 2021) mulai dielaborasi lebih jauh terkait hal teknis, budaya dan ekonomi dari Kewatek. Penelitian Somi Kedan dan Visser tersebut juga menjadi publikasi akademis internasional pertama tentang Kewatek yang di tulis oleh orang Adonara sendiri yaitu Somi Kedan bersama Professor pembimbingnya Visser. Somi Kedan dan Visser sekaligus menjawab keraguan antropolog terdahulu terkait eksistensi tenun ikat di Pulau Adonara dengan memberikan deskripsi mendalam terkait aspek teknis, aspek sosial, aspek budaya, aspek ekonomi dan aspek politik yang mempengaruhi nilai, makna dan penggunaan Kewatek di Pulau Adonara (Somi Kedan, 2013).

Ditengah keterbatasan literatur terkait Kewatek di atas, pengetahuan tentang perspektif dan dinamika yang dialami penenun terutama dalam menghadapi perubahan kebijakan khususnya kebijakan pembatasan penggunaan Kewatek dalam urusan adat belum mendapatkan perhatian yang cukup. Karena itu artikel ini akan mengisi ruang kosong pengetahuan tentang perspektif dan dinamika penenun di tengah pasang surut kebijakan pembatasan penggunaan Kewatek untuk urusan-urusan adat di Pulau Adonara.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan berorientasi aktor (actor oriented approach) dalam mengumpulkan dan menganalisis data dengan penekanan khusus pada perspektif penenun terhadap peraturan pembatasan penggunaan tenun ikat untuk urusan adat di Pulau Adonara (Fadli, 2021). Secara umum, pendekatan berorientasi aktor memberikan penekanan khusus pada faktor-faktor internal, eksternal dan jaringan antar aktor yang mempengaruhi tindakan dan kesadaran aktor sosial (Gedeona, 2013). Dengan demikian, agensi aktor, pengetahuan-akses-dan kontrol terhadap akses yang dimiliki para aktor, serta jaringan antar aktor adalah elemen penting dalam pendekatan berorientasi aktor yang dapat menjelaskan setiap pilihan strategis dan tingkat kesadaran para aktor dalam setiap keputusan yang diambil.

Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan utama yaitu tahap persiapan, tahap penelitian dan evaluasi lalu tahap pelaporan. Setiap data baik primer maupun sekunder dari setiap kategori sosial aktor dikumpulkan dengan menggunakan triangulasi metode (minimal 3 metode pengumpulan data untuk memastikan saturasi data tercapai-pilihan ketiga metode disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dilapangan).

Data dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara mendalam terstruktur dan wawancara berkelompok untuk mengumpulkan data, selain itu, peneliti juga mengumpulkan dokumen tertulis yang berhubungan dengan topik artikel ini. Narasumber dalam penelitian berjumlah 24 orang yang terdiri dari 12 orang penenun, 10 orang perangkat kecamatan dan desa dan dua (2) orang pembeli tenun. Data yang dikumpulkan kemudian di analisis dengan menggunakan metode thematic content analysis (Susanti et al., 2016) yang terdiri atas empat tahapan utama yaitu; pengkategorian data, koding, analisis hubungan antar teks dan konteks, dan tahap terakhir adalah penarikan kesimpulan.

 

Hasil dan Pembahasan

1.    Latar belakang kebijakan pembatasan

Kebijakan pembatasan penggunaan Kewatek untuk urusan adat di Pulau Adonara sudah sejak lama di wacanakan bahkan disepakati dalam format kebijakan pemurnian adat. Di delapan (8) kecamatan yang ada di Pulau Adonara, kebijakan ini diterapkan di wilayah Kecamatan Kelubagolit, Witihama dan Ile Boleng, sementara untuk di lima (5) kecamatan lain wacana tentang pemurnian adat tidak terlalu menjadi pembicaraan.

Di kecamatan Kelubagolit bahkan, kebijakan ini sudah mulai ditetapkan sejak tahun 1983 namun seiring waktu, kebijakan ini kemudian pelan-pelan mulai di tinggalkan masyarakat seperti yang di jelaskan oleh salah satu narasumber Kepala Desa Horinara di Kecamatan Kelubagolit;

�Karena saya ada disini lima tahun membantu KepDes tahun 83, sehingga waktu itu Bapa Desa itu mengumpulkan semua orang tua dalam desa ini � untuk hadir di kantor desa ini untuk menceritakan adat murni, saya masih rekam sampai hari ini

� Lalu menyangkut kita pembatasan dulu memang ditegakkan aturan tahun 83 84 itu, itu berjalan sampai dengan tahun 87 tidak salah setelah itutidak berjalan lagi�padahal karna saya ada dikampung ini, itu kalau namanya Bailake itu sudah ditetapkan hanya boleh kasi Kambing tiga, kalau perlu dua, kain dibatasi � (Wawancara Individu, 21 September 2022).

Berbeda dengan kondisi di Kecamatan Kelubagolit, di Kecamatan Ile Boleng, kebijakan pembatasan Kewatek untuk urusan adat ini muncul sebagai hasil dari kesepatakan masyarakat di dalam desa masing � masing dan masih berlaku sampai hari ini seperti terlihat pada penjelasan dari Sekretaris Kecamatan berikut ini;

�Ini aturan tidak diatur oleh pemerintah kabupaten tidak diatur oeh pemerintah kecamatan tetapi aturan ini disepakati di dalam desa masing-masing, dalam desa dengan melihat tuntutan kebutuhan masyarakat sekarang karena sarung itu punya nilai ekonomi, nilai jual � maka hal ini dipandang perlu untuk melakukan pembatasan tanpa mengurangi nilai eee adat istiadat atau sosial budaya yang ditingglkan diwariskan oleh leluhur iya. (Wawancara Individu, 22 September 2022)

Kebijakan pemurnian adat dalam hal ini mencakup pengurangan penggunaan hewan dan Kewatek untuk urusan adat terutama urusan adat kematian atau yang dalam bahasa Lamaholot dikenal dengan adat Bailake. Seperti yang disampaikan oleh Somi Kedan dan Visser (2013), kebijakan ini dibuat dengan harapan untuk mengurangi pengeluaran yang berlebihan akibat upacara adat terutama upacara adat kematian, selain itu, kebijakan ini juga diharapkan dapat mengurai ketegangan sosial yang tercipta akibat persaingan status sosial dengan menggunakan kain dan binatang berlebihan untuk upacara adat.

Adat kematian masyarakat Adonara terdiri dari beberapa tahapan dan dihadiri oleh keluarga dari berbagai pihak, pihak Bailake adalah pihak saudara laki-laki dari ibu orang yang meninggal. Bailake biasanya harus melakukan beberapa ritual sebelum seseorang dapat di kubur, pihak Bailake adalah pihak yang sangat dihormati oleh masyarakat Adonara, karena peran penting Paman (bhs. Adonara Nana) sangat berkaitan dengan kesuburan, kesehatan dan rejeki yang dimiliki oleh seorang Adonara. Restu dari pihak Paman sangat menentukan semua prosesi kehidupan seorang Adonara, mulai dari saat pernikahan, kelahiran, saat sambut baru (menjadi seorang Katolik) ataupun pada saat kematian. Kedatangan pihak Bailake pada adat kematian di Adonara biasanya dengan membawa ratusan Kewatek disertai dengan puluhan binatang.

Kebijakan pembatasan penggunaan Kewatek untuk acara adat muncul sebagai bagian dari kegelisahan beberapa tokoh masyarakat Adonara atas penggunaan Kewatek yang berlebihan pada saat urusan adat terutama adat kematian yang melibatkan penggunaan ratusan tenun ikat dan puluhan ekor hewan, dengan adanya kebijakan ini diharapkan dana untuk tenun ikat dan hewan yang dihabiskan untuk urusan adat dapat dimanfaatkan atau dialihkan untuk kepentingan pendidikan anak atapun pengembangan ekonomi dan kesejahteraan keluarga. Dengan adanya kebijakan pemurnian adat ini maka adat Bailake pada saat kematian diharapkan hanya melibatkan tidak lebih dari 10 Kewatek dan maksimal 3 ekor hewan paling banyak.

 

2.    Perspektif penenun terhadap kebijakan

Bertenun sudah menjadi sumber utama penghidupan bagi sebagian besar penenun di Pulau Adonara yang hidup di wilayah Adonara bagian Timur dan Tengah, sementara di Pulau Adonara bagian Barat tradisi menenun tidak terlalu kentara, melalui beberapa wawancara kepada perempuan di wilayah Adonara Barat dapat kita ketahui bahwa tradisi menenun dulu sekali pernah menjadi bagian dari kegiatan perempuan di wilayah Adonara Barat, tetapi tradisi tersebut telah lama hilang dan tidak ada yang tahu kenapa perempuan di Adonara Barat saat ini tidak memiliki pengetahuan menenun dengan menggunakan ATBM.

Perempuan di Pulau Adonara bagian Timur dan Tengah harus menenun untuk mempertahankan penghidupannya karena sebagian besar dari mereka adalah perempuan kepala keluarga atau perempuan yang hidup sendiri bersama orang-orang yang menjadi tanggungannya. Sebagai seorang perempuan, perempuan Adonara tidak dapat mewarisi tanah ataupun rumah dari orang tua ataupun suami mereka karena tanah dan rumah hanya diwariskan kepada anak laki-laki pertama. Karena itu, perempuan Adonara bertahan hidup dengan mengandalkan keterampilan mereka bertenun dengan menggunakan ATBM. Seorang penenun di kecamatan Witihama menceritakan bagaimana bertenun telah membantunya menghidupi keluarganya dulu sebelum menikah dan keluarganya saat ini setelah menikah:

�Mulai menenun sejak ayah kami pergi merantau tetapi tidak kembali lagi, kami ada dua orang, saudara laki-laki saya pergi sekolah, saya kerja tenun, mama saya pergi ke kebun, kami cari uang untuk kasi sekolah saudara saya � saya sekolah sampai SD saja, SD tamat langsung tane tenane (bhs. Lamaholot bertenun), Ibu saya tidak mau saya ke kebun, karena itu saat saya dikasi [alat tenun] saya langsung kerja. Lalu saat saya tumbuh besar menikah juga ditinggal suami, karena kami tidak kerja kebun jadi saya hanya menenun begini untuk makan minum�Tapi nanti karena suami saya meninggalkan saya dengan 7 anak, untuk anak sekolah, urusan adat semua dari tenun sampai anak-anak tumbuh dewasa dan keluar rumah semua. Anak perempuan sudah menikah semua [5 orang]� (Wawancara Individu, 18 September 2022).

Kehidupan sehari-hari para perempuan yang menggantungkan hidupnya semata-mata dari tenun ini, setiap harinya harus bangun pada pukul 03.00 WITA pagi untuk persiapan menenun termasuk mempersiapkan makanan sehari-hari baru kemudian memulai aktivitas menenun. Setelah semua kerja keras yang mereka lakukan selama kurang lebih 3 atau 4 hari, para penenun dapat menghasilkan 1 buah tenun dengan keuntungan yang didapat sekitar Rp.50.000,-.

Sebagian besar penenun di Pulau Adonara rata-rata masih menjual tenun di dalam Pulau Adonara, pemasaran tenun belum menyasar sampai ke luar Pulau Adonara. Pendapatan para penenun dari menjual tenun masih bergantung kepada kebutuhan tenun di dalam Pulau Adonara yang berbasis kebutuhan adat dan budaya seperti pengakuan salah satu penenun berikut ini;

�Masyarakat lebih sering membeli tenun disaat orang mati, satu orang mati misalnya di Kolilanang baru-baru ini saya punya lima yang laku, keluarganya datang beli langsung lima. Dan saya kerja ini kalau belum laku saya simpan, sampai 10 nanti mereka beli langsung, tetap laku, dan kebanyakan� saya ini juga mereka pakai pesan, misalnya kedukaan atau mereka ada orang tua mereka suru bilang ough engkau buat Kewatek ini berapa begitu, disiapkan nanti tinggal kasi. Hanya itu mereka datang ambil, jadi itu saya rasa membantu sekali ekonomi saya�. (Wawancara Individu, 20 September 2022)

Distribusi dan pemasaran Kewatek di dalam Pulau Adonara kemudian dipersempit akibat adanya pembatasan penggunaan Kewatek untuk urusan adat, namun menurut penenun, tidak semua masyarakat menjalankan kebijakan pembatasan ini. Beberapa masyarakat tidak menjalankan kebijakan pembatasan ini karena adat terkait Kewatek sudah dilakukan secara turun temurun dan tercatat dengan rapi di dalam buku catatan setiap keluarga yang menjalankan adat.

�Rarane [bagian dari adat Bailake] 15 atau berapa begitu, tidak boleh sampai 20, dengan dulang banyak-banyak itu sudah tidak lagi, tapi kan, nanti masyarakat kita disinikan prinsipnya, kamu ada bukumu, saya juga ada buku saya, saat saya [acara] kamu kasi, berarti saat kamu [acara] saya juga harus kasi kamu, jadi biar pakai sembuyi juga kita tetap kasi, karena budi [utang budi], istilahnya budi jadi kita harus balas, resikonya lewo alapaen [tokoh adat] yang matana [meninggal]�. (Wawancara Individu, 19 September 2022)

Hambatan utama bagi para penenun dalam memasarkan Kewatek keluar Pulau Adonara sangat dipengaruhi oleh demografi penenun yang sebagian besar berusia diatas 30 tahun. Kondisi demografi ini kemudian mempengaruhi mobilitas para penenun, selain itu kemampuan mengakses teknologi seperti smartphone juga membuat para penenun sampai saat ini masih sebatas pada pemasaran tenun di dalam Pulau Adonara (Mutakin et al., 2020). Para penenun, dengan keterbatasan yang mereka miliki hanya mampu menjual tenun dari rumah mereka atau di pasar ataupun dari rumah ke rumah.

 

3.    Kebijakan Pemurnian Adat

Kebijakan pemurnian adat ataupun pembatasan penggunaan hewan dan tenun untuk urusan adat Bailake berangkat dari kegelisahan para pemuka adat dan penatua desa melihat beban adat yang harus ditanggung oleh masyarakat Adonara yang dilihat berlebihan. Lebih jauh, kebijakan ini juga muncul dari pemahaman para pemuka adat dan penatua desa yang melihat bahwa adat Bailake yang dilaksanakan saat ini sudah jauh melampau adat yang semestinya yang diwariskan oleh nenek moyang. Dalam hal ini, kebijakan tersebut dibuat demi pertimbangan ekonomi. Namun demikian, sejatinya kebijakan yang dibuat mestilah komprehensif mempertimbangkan berbagai aspek baik aspek ekonomi maupun aspek budaya dan mengakomodir berbagai aktor yang ada di dalam masyarakat baik orang tua, golongan kaum muda, pemuka adat, masyarakat biasa, perempuan dan laki-laki terutama para penenun yang menggantungkan hidupnya dari Kewatek.

Aspek ekonomi dari Kewatek terutama berkaitan dengan produksi Kewatek, pada tataran ini Kewatek telah menjadi sumber penghidupan bagi perempuan Adonara yang secara adat tidak dapat mewarisi tanah, karena itu, pengetahuan lokal dalam memproduksi Kewatek menjadi strategi utama bagi mereka dalam menghidupi diri. Pengetahuan lokal dalam bentuk Kewatek dan produksi Kewatek selama bertahun-tahun telah menjadi strategi penghidupan bagi perempuan Adonara khususnya yang ada di wilayah Kecamatan Witihama, Kelubagolit, Ile Boleng dan Adonara. Para penenun sebagian besar adalah perempuan kepala keluarga yang harus menghidupi 1 sampai 7 orang anak setelah ditinggal suami ataupun menghidupi saudaranya setelah ditinggalkan oleh orang tua. Para penenun ini hidup dari tenun dengan mengandalkan pembelian dari dalam Pulau Adonara untuk membiayai kebutuhan rumah tangga, kebutuhan pendidikan, kesehatan bahkan kebutuhan Adat di dalam keluarga mereka.

Mengingat ketergantungan hidup para penenun dan keluarganya kepada Kewatek ini maka kebijakan pemurnian adat ataupun pembatasan penggunakan tenun jelas mengurangi pemasukan para penenun. Karena itu, kebijakan ini seharusnya mempertimbangkan faktor resiko penurunan pendapatan para penenun dengan diberlakukannya kebijakan ini.

Aspek budaya yang dapat bergeser akibat pemberlakukan kebijakan ini adalah ancaman bergesernya pengetahuan lokal terkait Kewatek dan produksi Kewatek yang merupakan kekayaan pengetahuan lokal masyarakat Adonara. Pengetahuan lokal atau Indigenous Knowledge sendiri menurut Zamzami (2014) mengacu pada pengetahuan lokal yang unik dan tradisional yang ada dan berkembang dalam kondisi khusus diantara perempuan dan laki-laki yang berada disuatu area. Pengetahuan tentang Kewatek dan pembuatan Kewatek yang kompleks merupakan bagian dari pengetahuan lokal masyarakat Adonara yang semestinya di lindungi dengan tetap di lestarikan bukan dihalang-halangi implementasinya. Kebijakan pemurnian adat yang di dalamnya mencakup pembatasan penggunaan Kewatek memberikan dampak yang sangat luas bagi Kewatek sebagai pengetahuan lokal masyarakat Adonara.

Saat menenun, para penenun bukan hanya menenun benang tetapi juga menenun tradisi. Saat menenun, perempuan Adonara meneruskan pengetahuan teknis terkait teknik menenun dengan ATBM, pengetahuan ideologis terkait makna dan nilai dari selembar Kewatek. Somi Kedan menyebutkan bahwa �menenun bukan hanya melibatkan benang tetapi juga pengetahuan tentang kebenaran yang bergerak diantara berbagai aktor; penenun, petani, tabib, LSM, Gereja, pemerintah dan mahasiswa di Surabaya dan Yogyakarta� (Somi Kedan, 2013). Selain itu, pembatasan penggunaan tenun juga dapat semakin memperparah kondisi penurunan jumlah penenun dari generasi ke generasi yang saat ini sudah semakin berkurang. Sudah tidak lagi ditemukan anak-anak muda yang mengisi waktu luang dengan menenun ataupun mempersiapkan benang untuk pembuatan tenun.

Pembatasan jumlah tenun yang digunakan pada adat kematian juga dapat berdampak pada makna dan nilai filosofis penggunaan Kewatek pada saat adat Bailake. Adat merupakan bagian dari budaya dan budaya sejatinya memiliki mekanisme adaptasi yang sangat tinggi terhadap lingkungan alam dan manusia. Jumlah dan jenis Kewatek yang di bawa pada saat adat Bailake mestilah sudah melalui proses perhitungan filosofis dan praktis agar sepadan dengan jumlah keluarga (orang) yang membawa, sepadan dengan jumlah keluarga dari orang yang meninggal dan sepadan dengan kondisi kehidupan pada zamannya. Merusak kealamian dari adat ini dapat merusak keseluruhan jaringan alami dari ikatan sosial ataupun modal sosial yang ada di masyarakat Adonara.

Pada tataran esensial, kebijakan pemurnian adat juga masih dapat dipertanyakan kemurniannya, karena definisi dan praktik dari adat yang disebut murni juga masih memerlukan dialog panjang yang melibatkan semua aktor di Pulau Adonara. Kebijakan pemurnian adat atau dalam hal ini pembatasan penggunaan tenun belum mengacu secara spesifik pada adat murni dimana sejatinya segala aktivitas adat di Adonara biasanya hanya menggunakan bahan-bahan yang alami dan mempererat kaitan antara manusia dengan alam dan lingkungannya. Terkait dengan kebijakan pemurnian adat dalam hal pembatasan tenun sejauh ini belum membahas secara spesifik tenun yang mana yang dimaksud, apakah tenun dari benang toko atau tenun dari bahan alami seperti tercermin pada hasil wawancara berikut ini;

�Nah kalau dalam hubungan dengan perempuan kain sarung yang di cari itukan harganya diatas 500, nah sekarang ade-ade coba lakukan kajian, kalau betul ini ada pemurnian adat kenapa sehingga ke orang mati, ke pesta itu bawa hasil-hasil produk dari Jawa dari Sulawesi, katakanlah lipak [sarung], apakah lipak di neket [tenun] di sini? Tidak, kalau mau betul jalan adat semua pakai Kewatek, semua pakai nowin, itu persoalan (Wancara Individu, 21 September 2022)

Diantara berbagai pertentangan dan dampak buruk dari implementasi kebijakan pembatasan penggunaan Kewatek untuk urusan adat, agensi penenun terlihat lewat beberapa aksi yang dilakukan penenun. Agensi sendiri adalah kemampuan perempuan dalam mencapai tujuan baik secara individu maupun kolektif (Pratiwi & Gina, 2019). Dalam hal ini agensi terkait dengan kemampuan penenun untuk memenuhi kebutuhan hidup melalui tenun di antara kebijakan pembatasan penggunaan Kewatek untuk urusan adat. Agensi penenun dapat terlihat lewat beberapa aksi yang dilakukan perempuan seperti; kemampuan untuk terus meregenerasi pengetahuan teknis terkait Kewatek, kemampuan untuk terus memasarkan Kewatek dengan menggunakan relasi kekeluargaan, kemampuan menjaga kualitas Kewatek ditengah pasang surut harga bahan baku berupa benang dan pewarna, kemampuan untuk beradaptasi terkait penetapan harga dan mekanisme pembayaran dan modal sosial berupa buku catatan hutang piutang atau keluar masuk tenun untuk setiap upacara adat.

Pemerintah sendiri sebagai institusi yang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat banyak sudah semestinya ikut ambil bagian dalam melihat dinamika yang terjadi ditengah masyarakat, terlebih apabila dinamika tersebut mengarah pada produksi kebijakan yang mempengaruhi kepentingan ekonomi dan budaya banyak orang. Kebijakan yang dibuat semestinya menghindari sejauh mungkin resiko degradasi kearifan lokal dalam hal ini tenun dan budaya menenun. Kebijakan pemurnian adat ataupun pembatasan tenun semestinya dapat tetap menjaga agar Kewatek tetap eksis bahkan dapat dijadikan wadah aset wisata lokal untuk mendukung penghidupan berkelanjutan masyarakat terutama masyarakat rentan kaum perempuan kepala keluarga.

Perhatian pemerintah dalam dinamika masyarakat biasanya diwujudkan dalam bentuk kebijakan. Menurut Ramdhani (2017) menjelaskan bahwa kebijakan merupakan praktik sosial, kebijakan bukan event yang tunggal atau terisolir. Dengan demikian, kebijakan merupakan sesuatu yang dihasilkan pemerintah dan dirumuskan berdasarkan segala kejadian yang terjadi di masyarakat. Lebih jauh lagi, Thoha memaparkan juga bahwa kebijakan merupakan respon terhadap peristiwa yang terjadi. Pendapat ini mengindikasikan bahwa kebijakan pembatasan penggunaan tenun dalam urusan adat di Adonara diambil tanpa mempertimbangkan peristiwa yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, maka kebijakan yang diambil oleh pemuka adat dan masyarakat semestinya di kawal oleh pemerintah agar kebijakan ini betul-betul mempertimbangkan perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat dengan mengakomodir perspektif dari berbagai aktor yang terlibat di dalam adat kematian yang terdampak oleh kebijakan ini. Pemerintah juga mesti mengawal untuk memastikan agar kebijakan ini bukan menjadi sekedar produk reaktif tanpa mempertimbangkan dampak mendasar pada Kewatek dan budaya terkait Kewatek. Dalam kebijakan sendiri terdapat beberapa proses sehingga kebijakan yang dihasilkan pemerintah itu dapat diterima oleh masyarakat sebagai aktor utama dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Menurut Solichin (2015) menjelaskan tahapan � tahapan dalam kebijakan, yaitu:

Tahapan penyusunan agenda. Tahapan ini berfokus pada menempatkan sebuah masalah sosial yang terjadi ditengah masyarakat menjadi masalah publik. Artinya masalah sosial itu akan menjadi agenda bagi para perumus kebijakan. Dalam konteks tenun di Adonara ketika proses adat atau sistem adat yang ada mulai tidak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat baik dalam bentuk ekonomi atau sosial, maka masalah tersebut bisa diangkat menjadi masalah publik yang masuk dalam agenda kebijakan pemerintah. Pada tahapan ini maka patut dipertanyakan kembali, apakah benar penggunaan Kewatek dalam adat kematian merupakan bagian dari masalah sosial yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat banyak dan harus segera diatasi atau hanya sebuah dinamika budaya dan adat yang sedang mencari bentuk menyesuaikan sistemnya dengan perkembangan zaman, perubahan lingkungan dan pertumbuhan jumlah penduduk. Pada tataran ini, bisa saja kebijakan pemurnian adat ataupun pembatasan penggunaan tenun adalah solusi atas akar masalah yang sama sekali tidak saling terkait.

Tahapan Formulasi Kebijakan. Tahapan ini akan mencoba memasukkan masalah yang telah menjadi agenda kebijakan untuk ditemukan pemecahan solusi terbaik. Sehingga kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak merugikan masyarakat. Dalam proses formulasi kebijakan, akan terdapat banyak opsi. Opsi-opsi tersebut akan dipilih yang paling masuk akal dan efektif serta efisien bisa diterapkan kepada masyarakat. Dalam konteks tenun ikat, kebijakan pembatasan penggunaan tenun dalam urusan adat di batasi jumlahnya sehingga diharapkan praktek adat kematian tidak memberikan dampak besar secara ekonomi kepada masyarakat yang memang berada dalam garis ekonomi menengah ke bawah. Pada tahapan ini, formulasi kebijakan semestinya mempertimbangkan dampak ekonomi dari penggunaan Kewatek terhadap berbagai pihak; masyarakat pengguna, penenun, dan aktor lain nya sebagaimana juga mempertimbangkan dampak sosial penggunaan Kewatek bagi keberlanjutan adat budaya Adonara. Bahkan diketahui kalau tenun yang digunakan dalam urusan adat sebagian besar berasal dari bahan baku yang di beli dari toko. Sehingga Kewatek dari benang dan pewarna alami sudah sangat sulit ditemukan saat ini. Hal inilah yang juga seharusnya menjadi perhatian para pemangku kebijakan pemurnian adat ataupun pembatasan penggunaan tenun. Karena Kewatek dari benang alami hanya mungkin ada jika di dukung oleh sistem pertanian, sistem ekonomi, sistem sosial dan juga sistem adat yang membuka ruang bagi semua pihak; petani, penenun, anak muda, perempuan, masyarakat untuk terlibat aktif pada produksi benda dan makna dari Kewatek dari benang alami.

Tahapan Adopsi Kebijakan. Pada tahapan ini telah ditemukan alternatif kebijakan dari berbagai usulan kebijakan yang sesuai dengan konteks masalah. Kebijakan ini kemudian diadopsi untuk dijadikan solusi terkait masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Sehingga kebijakan pembatasan penggunaan tenun dalam urusan adat diambil sebagai kebijakan alternatif untuk menyelamatkan kondisi dan probematika masyarakat Adonara. Tahapan Implementasi Kebijakan. Tahapan ini sudah berada pada level pelaksanaan dimana rumusan kebijakan itu telah diterapkan di tengah masyakat. Pada bagian ini kebijakan telah menjadi aturan yang ditaati oleh masyarakat tentu dengan berbagai konsekuensi logis dari diterapkannya kebijakan tersebut.

Tahapan Evaluasi Kebijakan. Tahapan ini sebenarnya memberikan kesempatan untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang telah dilaksanakan. Kebijakan bisa saja berubah jika evaluasi menyimpulkan bahwa kebijakan tersebut merugikan banyak pihak. Sehingga kebijakan tidak bersifat statis, melainkan dinamis sesuai dengan perkembangan sosial budaya masyarakat setempat. Dalam konteks kebijakan pemurnian adat ataupun pembatasan penggunaan Kewatek untuk adat kematian tahapan evaluasi ini adalah tahapan yang hilang. Evaluasi terhadap kebijakan belum dilakukan untuk mengeveluasi kembali kebijakan yang sampai hari ini tidak dilaksanakan oleh semua masyarakat. Pemberontakan dalam diam oleh masyarakat ini hanya diakomodir sebagai bagian dari evaluasi untuk memperbaiki implementasi kebijakan, bukan untuk mengevaluasi kebijakan nya itu sendiri.

Setalah diketahui proses pembuatan sebuah kebijakan, perlu juga diketahui keefektifan dari sebuah kebijakan. Menurut Rahman (2020) pada prinsipnya ada �empat tempat� yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan implementasi kebijakan, yaitu:

a.    Apakah kebijakan sendiri sudah tepat

Ketepatan kebijakan dinilai dari sisi, pertama, sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Kedua, apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak dipecahkan mengenai perumusan kebijakan. Ketiga, apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai wewenang (misi kelembagaan) yang sesuai dengan karakter kebijakannya.

b.    Tepat Pelaksanaanya

Aktor implementasi kebijakan tidak hanya pemerintah, namun masih ada yang harus ikut berperan serta yaitu masyarakat dan swasta.

c.    Tepat Target

Ketepatan target berkenaan kepad tiga hal, yaitu: pertama, apakah target yang diintervensikan sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak tumpang tindih dengan intervensi lain atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain. Kedua, apakah targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi ataukah tidak. Ketiga, apakah intervensi kebijakan bersifat baru atau memperbaharui implementasi kebijakan sebelumnya.

d.   Tepat Lingkungan

Ada dua lingkungan yang menentukan dalam implementasi kebijakan, yaitu: pertama, lingkungan kebijakan yaitu lingkungan interaksi diantara lembaga perumusan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan dengan lembaga lain yang berkaitan, kedua, lingkungan eksternal kebijakan yang juga sebagai variabel eksogen yang terdiri dari publik opinion yaitu persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan.

Kesimpulan

Pembatasan penggunaan Kewatek dalam upacara adat di Adonara berdampak kepada masyarakat Adonara. Khususnya perempuan Adonara yang sebagian besar menggantungkan hidupnya dari bertenun. Perempuan Adonara secara tradisi tidak mendapat harta warisan apapun seperti tanah atau tempat tinggal. Warisan tersebut hanya diperuntukan untuk anak pertama laki-laki. Sehingga kondisi sosial kultur ini juga berdampak kepada perempuan-perempuan Adonara. Apalagi ditambah kebijakan yang kemudian mencoba membatasi penghasilan perempuan penenun. Memang dalam prakteknya, kegiatan budaya menggunakan Kewatek ini memakan anggaran cukup besar, sehingga perputaraan rupiah saat kegiatan tersebut dilangsungkan sangat besar. Tidak hanya tenun, tetapi juga ada sekian jumlah hewan yang harus di bawa saat upacara adat itu berlangsung. Anehnya justru pembatasan penggunaan Kewatek ini di dorong oleh tokoh-tokoh adat masyarakat setempat yang prihatin dengan kondisi ekonomi masyarakat ketika upacara adat berlangsung. Artinya bahwa pemerintah dalam persoalan pembatasan penggunaan Kewatek ini tidak berjalan sendiri melainkan di bantu juga oleh tokoh-tokoh adat masyarakat setempat. Dari aspek kebijakan tentu telah memenuhi ketika agenda kebijakan di susun dan melibatkan stakeholder terkait. Tetapi perempuan penenun tidak dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan tersebut yang pada akhirnya mengorbankan pihak perempuan penenun. Faktanya perempuan penenun memang cukup menderita karena sumber penghasilan utama mereka perlahan hilang karena kebijakan yang dibuat berdasarkan perspektif patriarki. Diantara kebijakan pembatasan penggunaan Kewatek untuk urusan adar, agensi terlihat dari kemampuan penenun untuk terus meregenerasi keterampilan menenun secara ototidak, menjual tenun menggunakan relasi dengan menjaga kualitas dan adaptasi mekanisme penentuan harga dan pembayaran serta memanfaatkan mekanisme adat penggunaan Kewatek untuk urusan adat berdasarkan catatan. Lebih lanjut, perlu ada revisi kebijakan agar kebijakan tersebut tidak merugikan perempuan sebagai aktor utama penghasil tenun di Adonara. Perlu ada alternatif seperti menghidupkan destinasi lokal bertema tenun agar perempuan � perempuan penenun terdampak tidak hilang mata pencahariannya. Artinya pemerintah dan tokoh-tokoh adat harus bersepakat untuk memuluskan destinasi wisata berbasis tenun untuk menambah ekonomi para penenun meskipun upacara adat pembatasan Kewatek telah dilaksanakan. Dengan destinasi lokal berbasis tenun, maka penenun bisa menjual hasil tenunnya kepada orang lain di luar pulau Adonara. Tanpa harus menggantungkan pasarnya hanya kepada kegiatan rutin adat setiap tahun. Artinya dari segi pemasaran juga, tenun Adonara lebih di kenal luas dan dengan sendiri membantu perempuan penenun secara ekonomi.

 


BIBLIOGRAFI

 

Fadli, M. R. (2021). Memahami desain metode penelitian kualitatif. Humanika, 21(1), 33�54. https://doi.org/10.21831/hum.v21i1.38075

 

Gedeona, H. T. (2013). Tinjauan teoritis pengelolaan jaringan (networking management) dalam studi kebijakan publik. Jurnal Ilmu Administrasi: Media Pengembangan Ilmu Dan Praktek Administrasi, 10(3), 360�372.

 

Hamilton, J. D., & Susmel, R. (1994). Autoregressive conditional heteroskedasticity and changes in regime. Journal of Econometrics, 64(1�2), 307�333. https://doi.org/10.1016/0304-4076(94)90067-1

 

Kedan, P. S., & Visser, L. (2021). Kewatek, the ikat textiles from adonara: Social, cultural, and economic changes. Bijdragen Tot de Taal-, Land-En Volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 177(1), 62�93.

 

Mutakin, I., Ridwan, T., & Hidayat, A. R. (2020). Strategi Pengembangan Usaha Berbasis Komunitas (Studi Kasus Konveksi Jack Tailor Di Desa Ciperna). Jurnal Indonesia Sosial Sains, 1(01), 50�59.

 

Nurdin, Y., Savira, G. E., Shahib, H. M., Palippui, I., & Hasanuddin, M. R. (2023). Nilai Budaya Lamaholot dalam Penentuan Harga Jual Kain Tenun Ikat: Studi pada Kelompok Perempuan Penenun �Tene Tuen� di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ilmiah Akuntansi Dan Finansial Indonesia, 6(2), 25�34.

 

Pratiwi, A., & Gina, A. (2019). Rural Women�s Agency on Forest and Land Governance in The Midst of Change: Case Study in Five Provinces. Jurnal Perempuan, 24(4), 363�375.

 

Rahman, B., & Asmara, R. (2020). Implementasi Program Indonesia Pintar bagi Siswa Tingkat Sekolah Dasar. ASIA-PACIFIC JOURNAL OF PUBLIC POLICY, 6(1), 19�36.

 

Ramdhani, A., & Ramdhani, M. A. (2017). Konsep umum pelaksanaan kebijakan publik. Jurnal Publik: Jurnal Ilmiah Bidang Ilmu Administrasi Negara, 11(1), 1�12.

 

Siburian, R. (2013). Dinamika Sosial Nelayan Lamahala. Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 12(1), 13�26.

 

Solichin, M. (2015). Implementasi Kebijakan Pendidikan dan Peran Birokrasi. Religi: Jurnal Studi Islam, 6(2), 148�178.

 

Somi Kedan, P. (2013). The changing value and meaning of kewatek in Adonara Island and East Java.

 

Susanti, I. D., Ahyaruddin, M., & Hidayat, M. (2016). Analisis Penerapan Sistem Akuntansi Instansi Berbasis Akrual (SAIBA) Dalam Penyajian Laporan Keuangan (Studi Kasus Pada Badan Narkotika Nasional Provinsi Riau). Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Riau, 1, 53�59.

 

Taum, Y. Y. (2022). Rekonstruksi Nilai-Nilai Budaya Sebagai Basis Strategis Pengembangan Pariwisata Flores. Sintesis, 16(1), 17�41.

 

Zamzami, L. (2014). Kearifan Budaya Lokal Masyarakat Maritim Untuk Upaya Mitigasi Bencana di Sumatera Barat. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 16(1), 37�48.

 

Copyright holder:

Petronela Somi Kedan, Fidentus Didakus Darma Saputra (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: