Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 6, Juni 2023
PROBLEMATIKA KREATIVITAS ANAK USIA 5-6
TAHUN DALAM KEGIATAN MENGGAMBAR BEBAS
Tika Awalini, Setyo Yanuartuti, Indar Sabri
Universitas Negeri Surabaya
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji permasalahan yang mempengaruhi kreativias anak usia 5-6 tahun dalam kegiatan gambar. Topik ini menjadi penting karena kreativitas anak dalam menggambar perlu dipupuk sejak dini sebagai bekal mereka untuk dapat berfikir kritis dan kreatif ketika mengikuti jenjang pendidikan berikutnya. Banyak dari pendidik ataupun orang tua yang kurang memahami pentingnya kegiatan menggambar pada anak sehingga kegiatan ini dianggap sebelah mata. Padahal melalui kegiatan menggambar bebas dapat diketahui bahwa anak memiliki kemampuan kreatif dapat dilihat dari bagaimana anak dalam menuangkan ide ataupun imajinasinya secara alami tanpa mendapatkan tekanan dari luar. Penelitian yang dilakukan yaitu library research yang menggunakan sumber data primer dan sekunder, dengan teknik pengumpulan data: kepustakaan. Penulisan artikel ini menghasilkan kesimpulan bahwa� terdapat problematika yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kreativitas anak dalam menggambar bebas. Pada faktor internal terdapat kesiapan anak dalam belajar dan pengenalan alat, bahan, media dan teknik menggambar bebas. Sedangkan pada faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari orang tua, lingkungan sekolah, dan juga lingkungan social meliputi pemberian motivasi, fasilitas penunjang kreativitas, dan kesempatan untuk eksplorasi yang diberikan kepada anak.
Kata kunci: Problematika; Kreativitas; Gambar Bebas; Anak Usia 5-6 Tahun.
Abstract
The purpose of writing this article is to
examine the problems that affect the creativity of children aged 5-6 years in
drawing activities. This topic is important because children's creativity in
drawing needs to be nurtured from an early age as a provision for them to be
able to think critically and creatively when attending the next level of
education. Many educators or parents do not understand the importance of
drawing activities for children so that this activity is underestimated.
Whereas through free drawing activities it can be seen that children have
creative abilities which can be seen from how children express their ideas or
imagination naturally without getting pressure from outside. The research
conducted was library research using primary and secondary data sources, with
data collection techniques: literature. Writing this article concludes that
there are problems caused by two factors, namely internal and external factors
that affect children's creativity in free drawing. On the internal factor there
is the readiness of the child in learning and the introduction of tools,
materials, media and free drawing techniques. While the external factors are
factors that come from parents, the school environment, and also the social
environment including the provision of motivation, creativity support
facilities, and opportunities for exploration given to children.
Keywords: Problematic;Creativity; Free Drawing;
5-6 Years Old Children.
Pendahuluan
Kreativitas merupakan proses penggabungan pengetahuan dari berbagai bidang
dan Pendidikan sudah seharusnya
diperhatikan sejak anak berusia dini.
Bahkan usia 0 tahun orang tua harus rajin memberikannnya
stimulus karena pada usia
0-5 tahun merupakan masa perkembangan otak dan menjadi masa kritis pada anak. Dimasa ini, perkembangan otak terjadi secara keseluruhan pada keempat bagiannya, termasuk pada
masing-masing belahan otak.
Belahan otak inilah yang akan menyimpan kemampuan-kemampuan anak pada belahan otak kanan maupun
otak kiri. Pemberian stimulus sejak dini akan menjadi
bekal anak dalam menyeimbangkan peran otak kiri
dan kanan.
Pada usia 5-6 tahun, anak masuk
pada fase kanak-kanak awal, yaitu saat
mereka sudah mulai belajar untuk
mengikuti pendidikan di
Taman Kanan-kanan. Jenjang pendidikan ini lebih banyak memberikan
materi belajar sambil bermain salah satunya melalui kegiatan seni. Mengembangkan kemampuan seni anak akan
berpengaruh terhadap aktifitas fisik motorik anak.
Kemampuan anak dalam
berpikir kritis serta ketangkasan motorik halus anak
dalam perkembangan seni sangat berpengaruh terhadap masa depannya.
Pendidikan melalui seni rupa juga diharapkan dapat mempersiapkan anak-anak untuk mampu menghayati, membuat, dan menangkap pesan rupa baik
melalui imajinasinya sendiri maupun melalui karya gambar
yang telah dibuatnya (Restian, 2020). Kegiatan seperti
ini secara tidak langsung dapat mengasah kreativitas anak sejak dini.
Kegiatan menggambar menjadi
salah satu kegiatan seni yang sering dilaksanana karena menggambar adalah kegiatan yang sangat digemari
oleh usia anak-anak. Membuat coretan bebas diberbagai bidang menggunakan beragam media adalah hal yang sangat wajar di lakukan pada masa anak-anak. Penelitian menemukan bahwa semua anak
suka menggambar, terlepas dari sang anak memiliki bakat
menggambar ataupun tidak. Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa kanak-kanak sangat tertarik kepada gambar-gambar, teristimewa yang berwarna, lagu-lagu dan suara pada umumnya, ceritera-ceritera tentang apapun juga, tarian atau gerak badan yang berwirama dll. Inilah salah satu alasan mengapa pembelajaran yang diberikan kepada anak-anak selalu ada kegiatan
menggambar.
Roseline Davino, seorang psikolog klinis dan psikiater yang juga seorang inspektur Kementerian
Pendidikan Perancis berpendapat
bahwa dari semua pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami anak-anak dengan baik dan menerka-nerka kepribadiannya yang paling menarik
dan tepat adalah melalui gambar. Namun realitanya, selama ini guru, orang tua, atau pembina
kurang mampu untuk memahami bahasa rupa yang telah dibuat oleh anak. Mereka lebih
banyak melihat hasil akhir dari
karya yang telah dibuat anak daripada
proses berkaryanya. Bagi anak, proses belajar adalah proses kreasi, ekspresi, eksperimen, melalui bermain (Tabrani, 2014). Menggambar yang menjadi kegiatan yang menyenangkan untuk anak karena bagi
mereka itu adalah kegiatan bermain. Namun keadaan itu akan
mengalami perbedaan saat orang tua atau guru telah memasukkan ego atau memberi tuntutan kepada anak untuk
membuat karya yang �bagus�.� Hal tersebut� bukan hanya berdampak pada patahnya gairah anak untuk menggambar
namun dapat pula menghambat perkembangan kreativitas anak.
Orang dewasa mayoritas memandang gambar anak dari
hasil akhirnya dengan menggunakan kacamata orang dewasa, kemudian melabeli gambar tersebut bagus dan tidak bagus. Padahal anak memandang gambar yang telah ia buat adalah
bentuk uraian proses berfikir menggunakan imajinasi yang dimiliki anak dalam menuangkan
apa yang ia ketahui, apa yang ia lihat dan dengar
menggunakan bahasa rupa. Namun dimasyarakat
kita masih banyak yang kurang memahami hal tersebut.
Mereka lebih banyak melihat hasil akhir dari
karya anak dibandingkan saat proses mereka membuat karya dan fungsi utama kegiatan tersebut.
Padahal menggambar adalah
aktivitas kreatif yang dapat digunakan untuk menyalurkan ekspresi dari pembuatnya.
tentang fungsi menggambar bagi anak yaitu a). menggambar sebagai alat bercerita (bahasa/ visual), b) menggambar sebagai media mencurahkan perasaan, c) menggambar sebagai alat bermain,
d) menggamabar melatih ingatan, e). menggamabar melatih berfikir komprehensif (menyeluruh), f) menggambar sebagai media sublimasi perasaan, g) menggamabr melatih keseimbangan, h) menggamabar mengembangkan kecakapan emosional, i) menggambar
mengembangkan kreativitas,
j) menggambar melatih ketelitian pengamatan langsung.
Kreativitas anak adalah
wujud kemampuan motorik dan kepekaan anak dalam memecahkan
suatu permasalahan, selain itu juga dapat memberikan kepuasan kepada anak dalam meningkatkan
kualitas hidupnya dimasa depan (Dewi, 2021). Anak sebagai generasi penerus bangsa harus diberikan
pendidikan yang baik agar kreativitasnya dapat tumbuh dengan maksimal
ketika ia telah beranjak dewasa (Nurmiyanti, 2021). Sebab sejatinya
fase anak-anak adalah masa dimana dalam proses pembelajarannya ia lebih unggul
dalam kemampuan kreatif. Kemudian ia akan tumbuh
menjadi remaja dan dewasa yang akan lebih unggul dalam
kemampuan rasio. Keseimbangan kemampuan fisik-kreatif-rasio lah yang akan membuatnya dapat tumbuh menjadi
manusia yang utuh.
Setiap anak memiliki
penilaian dan cara pandang sendiri terhadap objek yang ia gambar. Dari sanalah kita dapat
melihat sudut pandang anak sebagai
bentuk ekspresi visual dalam merespon apa yang ada di sekitarnya. Hal ini dapat terjadi jika
anak mendapatkan kebebasan saat menggambar. Originalitas dan spontanitas dari karya yang dibuatnya akan terlihat dari
hasil goresan yang telah dibuatnya. Keadaan ini akan
berbeda jika seorang anak telah
mendapatkan pengajaran menggambar dan mewarnai dari orang dewasa serta penerapan pola-pola gambar ataupun mewarnai dalam proses berkarya. Tity Soegiarty (2007) menyampaikan, bahwa sebaiknya dalam kegiatan menggambar tidak diberikan latihan-latihan yang bersifat teknis, karena akan menjadikan
penghambat dan anak menjadi tidak wajar
dalam merekspresi. Secara tidak langsung
jati diri yang dimiliki anak akan
hilang, karena karakteristik gambar telah berubah menggunakan
karakter orang dewasa yang disederhanakan. Seakan memudahkan anak untuk mencontoh gambar dan membuat hasil pewarnaan menjadi indah dengan
adanya pola gradasi warna. Namun secara tidak
langsung, kreativitas anak tidak akan
berkembang secara maksimal, sebab dalam kegiatan yang membebaskannya berekspresi saja sudah banyak
di batasi dengan pola gambar atau
gradasi warna yang menurut orang dewasa itu adalah pola
yang bagus (Rahmawati, 2019).
Hal ini akan jauh berbeda
jika anak dibina dengan tetap
mempertahankan originalitas
gambar sesuai tahapan periode perkembangan gambar pada pertumbuhannya. Setiap tahapan dalam perkembangan
gambar memiliki karakteristik tersendiri yang akan menguatkan karakternya kelak saat dewasa. Orang dewasa hanya bertugas
untuk mendampingi dan mengarahkan, bukan merubah karakter hanya karena gambar
anak masih belum terlalu jelas
jika dilihat dari sudut pandang
orang dewasa. Jika proses perkembangan
setiap anak dapat dimaksimalkan setiap tahapnya, proses kreativitas anak akan berkembang dengan pesat pada masa peralihan yaitu anak usia akhir
menuju remaja kemudian dewasa.
Keadaan ini sedikit
berseberangan dengan apa yang terjadi di lapangan. Maraknya lomba mewarnai membuat orang tua berbondong-bondong untuk mencarikan tempat les menggambar dan mewarnai untuk anaknya, dengan harapan kelak mereka dapat
menjadi juara dalam lomba menggambar
ataupun mewarnai.
Pada dasarnya kegiatan menggambar yang menjadi kegiatan favorid anak dapat
menjadi peluang untuk mendorong kesuksesannya dalam meningkatkan kemampuan kreatif. Namun saat ini, masih
banyak pandangan yang kurang tepat dari
beberapa pihak terutama dalam dunia pendidikan, baik orang tua, guru ataupun lingkungan sosial yang masih sering menganggap
remeh kegiatan menggambar yang dilakukan anak. Pandangan tersebut muncul dikarenakan kurangnya pengetahuan akan pentingnya kegiatan menggambar, sehingga tidak semua orang tua ataupun pendidik
memahami bagaimana cara tumbuh kreativitas
pada diri anak melalui kegiatan menggambar bebas. Berdasarkan hal tersebut, peneliti mengambil fokus masalah tentang problematika kreativitas anak usia 5-6 tahun
pada kegiatan menggambar bebas. Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditarik kesimpulan faktor internal dan eksternal apa saja yang dapat
mempengaruhi kreativitas anak dalam membuat
gambar bebas.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian library
research, yaitu menggunakan
pendekatan analisis kajian pustaka. Penelitian kepustakaan atau library research adalah
salah satu jenis metode penelitian kualitatif yang cukup populer. Creswell (2017), menyatakan bahwa
penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Penelitian kepustakaan adalah salah satu jenis penelitian
kualitatif yang dilakukan dengan cara tidak
terjun ke lapangan secara langsung, melainkan berdasarkan dari berbagai sumber literatur yang ada (Hamzah, 2019). Literatur yang telah terkumpul akan digunakan sebagai dasar dalam
menjawab rumusan masalah yang telah disusun.
Hasil dan Pembahasan
A.
Problematika Kreativitas Anak
Kata problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu problematic yang
memiliki arti masalah atau persoalan. Problematika berasal dari kata problem
yang dapat diartikan permasalahan atau masalah. Masalah yang dimaksud adalah
kendala atau persoalan yang harus dipecahkan yaitu berupa kesenjangan antara
kenyataan dengan sesuatu yang diharapkan dengan baik, agar tercapai hasil yang
maksimal. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Problematika
berarti masih menimbulkan masalah; atau hal-hal yang masih menimbulkan suatu
masalah yang masih belum dapat dipecahkan. Dari
penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa problematika adalah kendala
atau permasalahan yang masih belum dapat dipecahkan sehingga untuk mencapai
suatu tujuan menjadi terhambat dan tidak maksimal.
Untuk membahas problematika kreativitas pada anak usia 5-6 tahun dalam
kegiatan menggambar bebas akan dikaji dari dua faktor, yaitu faktor internal
dan eksternal. Faktor internal adalah faktor�
dari dalam diri anak seperti kesiapan anak dalam belajar dan pengenalan
alat dan bahan. Sedangkan�
faktor� eksternal adalah faktor
dari luar diri anak, seperti keluarga, lingkungan sekolah, dan� lingkungan sosial.
Anak
mendapatkan anugerah dari Tuhan berupa kemampuan untuk berfikir integral, yaitu
kemampuan dalam memadukan rasio dan kreatif. Kemampuan kreatif berperan besar
saat mereka berada di masa anak-anak. Patut bagi orang tua, guru ataupun
pendamping belajar agar dapat memberikan stimulus untuk membantu mengaktifkan
potensi kreatif pada diri anak. Sebab
pengetahuan mengenai kreativitas menjadi penting bila kita
ingin memahami proses belajar, berfikir dan berkreasi anak-anak (Tabrani, 2014).
Ketiga kemampuan tersebut
sangat berguna untuk membantu mereka dalam mempelajari banyak hal dimasa
depan. Kemampuan kreatif bukan sekedar
kemampuan untuk membuat gambar, bukan pula terkait kemampuan menciptakan sebuah karya seni,
kemampuan kreatif adalah salah satu kunci agar dapat mengaktifkan kemampuan lain yang ada pada diri anak
(Hakim, 2022).
Suatu bangsa dapat
berkembang lebih maju dibutuhkan SDM yang kreatif.� Atas dasar itulah, jika
Indonesia ingin menjadi bangsa yang maju pemerintah harus mampu memberikan porsi besar dalam
kurikulum pendidikan untuk dapat memantik
kreativitas anak agar kemampuan kreatif dapat dipupuk sejak
dini pada diri setiap anak (Maulana & Mayar, 2019). Kreativitas merupakan
sebuah pengetahuan yang akan terus berkembang
secara dinamis, sesuai dengan perubahan
jaman, ilmu dan teknologi. Menurut Hurclock dalam Mulyani,(2019) kreativitas adalah
sebuah proses mental yang dilakukan
untuk menghasilkan sesuatu yang baru, berbeda dari sebelumnya,
dan bersifat orisinil.
Kreativitas menjadi salah satu alat untuk
dapat menciptakan generasi yang unggul dan mampu mengikuti atau bahkan membuat
kemajuan dari suatu bangsa. Perkembangan
kemampuan kreatif memerlukan perhatian sejak anak masih
dalam fase usia dini. Termasuk
pemberian stimulus sejak anak masih di dalam
kandungan yang merupakan bagian dari edukasi
anak sejak nol bulan. Setelah
lahir, tumbuh dalam keluarga yang sehat hingga ia
mendapatkan pendidikan di luar lingkungan keluarganya. Edukasi yang diberikan di luar lingkungan keluarga akan mempengaruhi kemampuan kreatifnya hingga kelak akan
menjadi generasi penerus bangsa yang mampu hidup mandiri
dan berprestasi dibidangnya.
Tanpa adanya kreativitas,
kehidupan manusia akan stuck atau tidak mengalami perkembangan. Jika pada mulanya manusia tidak memiliki
kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, maka perkembangan
dalam kehidupan tidak akan terjadi.
Adanya inovasi dan kreasi yang dilakukan manusia membuat jaman terus mengalami
perkembangan yang luar biasa. Dapat diingat
dengan awal mula adanya pesawat
sputnik, yaitu satelit pertama buatan Rusia yang saat itu menggemparkan Amerika Serikat. Pada saat itu pendidikan di Amerika Serikat memang lebih mengendepankan kemampuan rasio (dengan IQ).
Karena hal itulah
konsep pendidikan mulai dirubah, yaitu mampu menghasilkan
generasi masa depan yang kreatif. Dari latar belakang itulah kreativitas mulai diteliti dan dikembangkan. Penelitian kreativitas menemukan bahwa manusia tidak hanya
berfikir secara rasio namun juga dengan kemampuan kreatif (dalam ambang sadar dan tidak sadar), lebih
pada kemampuan bahasa rupa atau biasa
dikaitkan dengan otak kanan, lebih
dengan tenaga dalam bukan otak
semata, lebih memadukan indra bukan semata mengunggulkan
mata. Pandangan tersebut membuat posisi kemampuan kreatif diperhitungkan dalam pendidikan.
Primadi Tabrani (2014) membuat teori
terkait Limas Citra Manusia yang menunjukkan pentingnya posisi kemampuan kreatif dalam kehidupan. Limas tersebut menunjukan aneka kemampuan yang saling terhubung satu sama lain yaitu fisik, kreatif, rasio, imajinasi, perasaan dan gerak.
Gambar 1 Limas
Citra Manusia, Primadi Tabrani (2014)
Semua kemampuan
itu telah ada dari awal
perkembangan manusia dan tumbuh secara terpadu.
Pada masa bayi perkembangan
terpadu tersebut yang lebih menonjol adalah kemampuan fisik, sedangkan pada masa anak dalam perkembangan
terpadu berganti menjadi kemampuan kreatif. Kemudian pada masa remaja seharusnya terjadi proses keseimbangan dinamis terutama antara fisik-kreatif dan rasio. Pendidikan memiliki peran penting untuk
menumbuh kembangkan semua kemampuan itu, sehingga dapat
terbina manusia yang tumbuh seutuhnya. Dengan pendidikan yang tepat, keseimbangan dinamis akan tercapat
saat sang remaja tumbuh menjadi manusia dewasa.
Seperti yang telah
diungkapkan Primadi Tabradi pada limas Citra Manusia, bahwa kemampuan kreatif akan saling berkaitan
dengan kemampuan lainnya. Sehingga, saat salah satu kemampuan tidak dapat berkembang dengan baik pasti
akan mempengaruhi perkembangan pada kemampuan yang
lain. Bisa saja seorang anak memiliki kecerdasan
(IQ) tinggi karena rasionya lebih dominan, namun kemampuan kreatifnya tidak tumbuh dengan
maksimal akan menghasilkan seorang anak yang pandai secara akademis akan tetapi tidak
memiliki kemampuan untuk berkreasi ataupun memecahkan masalah diluar konteks apa yang telah ia pelajari.
Memberikan kehormatan
untuk dapat memecahkan masalah kepada anak dapat
menjadi salah satu stimulus
untuk meningkatkan kreativitasnya. Dalam hal ini kreativitas
anak yang seringkali dibatasi oleh orang tua, guru ataupun pendamping belajarnya (Sit
et al., 2016). Sering
kali anak mendapatkan penilaian yang disesuaikan dengan pandangan orang dewasa, misalkan seorang anak mendapatkan
teguran keras saat mulai belajar
menggambar di kertas menggunakan spidol ataupun media lain yang baru mereka kenal. Mereka
ingin melakukan eksplorasi untuk dapat membuat gambar
di dinding rumah. Padahal pada masa tersebut anak mulai mengembangkan
imajinasinya dalam bentuk bahasa rupa
yang tidak dapat dipahami oleh orang dewasa.� Hal sederhana seperti itu, secara
tidak sadar dapat menurunkan kreativitas anak yang membuat anak enggan
untuk melakukan eksplorasi kembali.
Anak pada usia 5-6 tahun termasuk dalam fase kanak-kanak awal yaitu fase
dimana perkembangan yang berlangsung sejak akhir masa bayi sampai 5 atau 6 tahun, kadang-kadang disebut juga masa pra sekolah. Pada usia ini mereka masih
belajar di taman
Kanak-Kanak dengan konsep bermain sambal belajar.� Selama fase ini mereka
belajar mandiri dengan melakukan sendiri terkait banyak hal dan mulai berkembangnya keterampilan-keterampilan yang berkaitan
dengan kesiapan untuk bersekolah. Selain itu pada masa ini anak-anak mulai
memanfaatkan waktu selama beberapa jam untuk bermain sendiri
ataupun bermain bersama temannya.
Dalam fase ini kanak-kanak juga berusaha untuk berlatih terampil berbicara, sehingga sering kali akan kita dapati mereka
melakukan monolog atau berbicara sendiri, seolah-olah seperti sedang berbicara dengan orang lain. Mereka bercerita sesuai imajinasi yang sering kali mereka dapatkan dari pengetahuan yang telah mereka dapatkan
dari lingkungan.� Fase ini akan berakhir
saat mereka telah memasuki jenjang pendidikan sekolah dasar, atau sudah memasuki
usia 7 tahun.
Hurlock, (1997) menjelaskan
bahwa kreativitas anak akan lebih
berkembang jika tidak dihalangi rintangan dari lingkungan, seperti kritik, atau pandangan
negatif yang dilontarkan
oleh orang dewasa atau
orang lain yang mengarah pada kegiatan
kreatif yang sedang dilakukan anak. Usia kreatif menurut
Hurlock, (1997) adalah
suatu masa dalam rentang kehidupan dimana akan ditentukan
apakah anak-anak akan menjadi konformis
atau pencipta karya yang baru dan orisinal.
Kecenderungan kemampuan
kreatif ini perlu mendapat bimbingan dan dukungan dari guru maupun orang tua sehingga mereka
dapat berkembang menjadi tindakan kreatif yang positif dan orisinal, dan tidak sekedar meniru tindakan kreatif orang lain. Selain itu, pada periode ini disebut
juga dengan fase bermain, karena minat dan kegiatan bermain anak semakin
meluas dengan lingkungan yang lebih bervariasi. Mereka bermain tidak lagi
hanya di lingkungan keluarga dan teman di sekitar rumah saja,
tapi meluas dengan lingkungan dan teman-teman di sekolah.
B. Menggambar Bebas
Kegiatan menggambar
adalah kegiatan yang sangat
digemari oleh anak-anak. Kegiatan ini meliputi
munculnya ide yang akan� dituangkan kedalam gambar dengan permainan tekstur, warna serta pola pada objek gambar. Berdasarkan
Jurnal Mutiara Pendidikan Indonesia dengan judul �Pengaruh
Metode Bercerita Terhadap Kreativitas Kegiatan Menggambar Anak Usia 5-6 Tahun� yang telah� ditulis oleh Meylina Girsang dan Jernih Samosir, menyatakan bahwa kegiatan menggambar pada anak usia 5-6 tahun merupakan sarana yang tepat dan sesuai dengan anak usia
Taman Kanak-kanak yang dapat
digunakan untuk mengaktualisasikan, mengeskpresikan
diri, dan dapat memantik anak dalam
mengembangkan serta meningkatkan imajinasi dan kemampuan kreatifnya melalui kegiatan eksplorasi unsur-unsur seni rupa yaitu
warna, tekstur, dan bentuk melalui media kegiatan menggambar yang dilakukan oleh anak dengan senang hati,
bebas, spontan, kreatif, unik, dan bersifat individu� (Girsang
& Samosir, 2019).
Dalam proses pembuatan
gambar yang dilakukan anak-anak, akan mengalami berbagai macam tipe gambar
yang dihasilkan, antara
lain:
Tipe Komik,
yaitu kemampuan anak untuk memunculkan
tulisan atau sebuah cerita yang akan disandingkan dengan ilustrasi gambar, dengan tujuan agar dapat mengutarakan pendapat terkait sesuatu hal yang telah terjadi. Misalnya, seorang anak membuat gambar
orang yang sedang berbincang
dengan temannya kemudian dipadukan dengan tulisan sesuai dialog yang
telah dibuat sehingga berbentuk seperti komik.
Tipe Naturalistik
yaitu anak akan menggambar pemandangan yang sesuai dengan apa yang dia lihat di dunia nyata. Tipe ini
hampir sama dengan tipe realis yang menggambar sesuai realita yang ada. Perbedaannya jika tipe naturalis lebih condong menggambar
pemandangan ataupun tumbuhan.
Kegiatan menggambar
cerita kepahlawanan, yaitu gambar yang diambil dari tokoh
yang disukai anak-anak. Tokoh heroik yang menjadi favorid anak-anak biasanya terinspirasi dari komik, video, ataupun film kesukaan mereka.
Bertumpu pada garis dasar,
yaitu sebuah pandang spasial yang berarti objek gambar
akan dipandang hanya dari satu
sudut pandang, walaupun pada dasarnya seluruh gambar ditampilkan yang ditandai dengan objek dalam
posisi berdiri tepat di atas garis dasar. Contohnya pohon digambarkan berdiri tegak, bangku berdiri di atas lantai dan orang yang berdiri menghadap depan dengan tangan
dan kaki yang juga terlihat. Semua
objek dipersepsikan berdiri dan hanya terlihat satu sudut
pandang, tidak ada unsur perspektif
disana. Gambar dipersepsikan
berdiri di atas garis tanah yang telah dibuat.
Tipe Transparansi
(X-Ray), yaitu ciri suatu gambar yang nampak tembus pandang
dan sering kali sesuai dengan perkembangan mental anak yaitu pikiran
dan perasannya. Seperti,
Ketika anak sedang menggambar rumah, ia akan menggambarkan
seisi rumah dengan nampak dari
luar rumah.
Tipe susunan
bebas, dapat disebut dengan tipe anorganik yaitu sebuah susunan
objek gambar yang diletakkan secara acak tanpa mengenal
urutan ceritanya. Tipe gambar ini
tidak mementingkan isi dari gambar,
melainkan hanya unsur keindahan saja.
Kegiatan menggambar
bebas menjadi salah satu contoh kegiatan
yang dapat mengembangkan kreatifitas anak. Namun orang tua, orang tua, atau pembina
yang ada di sekitar anak seringkali melihat gambar anak sebagai coretan
tak bermakna dan terlihat hanya garis rumit yang mengotori dinding ataupun tempat lain yang menjadi media anak membuat coretan.
Padahal coretan tersebut adalah bentuk ekpresi anak-anak dalam menggambarkan apa yang ia lihat ataupun
dengar dari lingkungan sekitar dalam bentuk bahasa
rupa. Sering kali manusia dewasa tidak dapat memahami
bahasa rupa tersebut dan hanya melihat hasil akhir
dari coretan yang telah dibuat. Sejatinya
membiarkan anak berkreasi sesuai imajinasinya adalah kegiatan yang wajar diberikan kepada anak-anak termasuk pada masa awal kanak-kanak.
Namun realitanya,
selama ini kekurang mampuan guru, orang tua, atau pembina
untuk memahami bahasa rupa yang telah dibuat oleh anak. Hal tersebut bukan hanya mematahkan
gairah anak untuk menggambar namun ikut pula menghambat perkembangan kreativitas anak. Orang dewasa memandang gambar anak dari
hasil akhirnya menggunakan kacamata orang dewasa dalam melihat
realita gambar yang di buat anak kemudian
melabeli gambar tersebut bagus dan tidak bagus.
Padahal anak memandang gambar yang telah ia buat
adalah bentuk uraian proses berfikir menggunakan imajinasi yang dimiliki anak dalam
menuangkan apa yang ia ketahui, apa
yang ia lihat dan dengar menggunakan bahasa rupa. Tabrani,
(2014) juga menjelaskan
bahwa aktivitas melihat adalah berimajinasi, sedangkan bahasa rupa, menggambar
misalnya adalah menuliskan imajinasi itu di suatu media. Jadi proses belajar bahasa kata dan bahasa rupa haruslah
berjalan beriringan. Bahasa
kata (termasuk matematika) terutama dalam kesadarannya (kemampuan rasio), sedangkan bahasa rupa terutama
dalam ambang sadarannya (kemampuan kreatif).
Viktor Lowenfeld dalam bukunya Creative and Mental Growth (1982) tentang
periode perkembangan gambar anak, pada anak usia sekolah
dasar terdapat tiga periode yang akan mereka lalui
tahapan usia mereka, yaitu Periode
Pra Bagan (Pre SchematicStage),
Periode Bagan (Schematic Stage) dan Periode Awal Realisme (Early
Realism Stage).� Dalam
penelitian ini, difokuskan pada anak usia 5-6 tahun, sehingga ia masuk
dalam periode Pra Bagan (PreSchematic Stage).
Gambar yang mereka buat adalah
gambar bentuk-bentuk yang berhubungan dengan dunia sekitar mereka. Seperti objek rumah,
manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan sekitar adalah obyek yang menarik perhatian mereka untuk dituangkan dalam sebuah gambar.
Misal, pada gambar dengan objek manusia,
anak pada periode pra-bagan sangat jarang menggambar manusia dari samping, mereka
lebih menyukai gambar dari arah
depan, karena dengan menggambar bagian depan mereka
dapat memuat unsur yang ada pada wajah dengan lengkap.
Sedangkan pada unsur
warna sebenarnya anak-anak kurang memperhatikan, karena anak lebih tertuju
pada hubungan antara gambar dan obyek gambar. Warna menjadi
subyektif karena tidak mempunyai hubungan dengan obyek. Sedangkan konsep ruang tak
lain adalah apa yang ada di sekitar dirinya, meskipun terkadang tampak tidak logis dan tidak saling berhubungan
antara obyek yang satu dengan obyek
lainnya.
Gambar 2 Periode Pra-bagan
Sumber: www.drawingdemystified.com
Jika dilihat dari karakteristik gambar yang dihasilkan dari setiap periode, anak-anak memiliki keunikan tersendiri dan sudah sepatutnya anak mendapatkan pendampingan sesuai dengan usia perkembangannya. Kreativitas anak juga akan semakin berkembang sebab pada setiap periode ini anak dapat diberikan ruang untuk mengungkapkan apa yang ada dalam fikirannya (Handayani & Somantri, 2019). Mereka bebas berkreasi tanpa takut mendapatkan penilaian negative dari orang lain yang dapat mengkerdilkan kreativitasnya yang mulai tumbuh. Orang tua, guru, dan pembina sudah sepatutnya untuk tidak memberikan doktrin tentang pola gambar atau teknik tertentu dalam menggambar ataupun mewarnai.
Dalam makalahnya yang berjudul Karakteristik Gambar Anak, Tity Soegiarty (2007) dari UPI menyampaikan, bahwa sebaiknya dalam kegiatan menggambar tidak diberikan latihan-latihan yang bersifat teknis, karena akan menjadikan penghambat dan anak menjadi tidak wajar dalam merekspresi. Pengalaman batin yang sederhana pada anak-anak merupakan kenangan indah dan hangat yang sewaktu-waktu bisa diungkapkan dengan berekspresi melalui bahasa rupa.
Dalam teorinya, Primadi Tabrani (2014) membagi sistem dalam gambar anak menjadi dua yaitu sistem Ruang-Waktu-Datar (RWD) dan sistem Naturalis-Perspektif-Momen Opname. Ciri dari gambar dengan sistem RWD ini adalah seperti memiliki alur cerita, terdapat waktu di dalamnya dan juga gambar dalam bentuk datar (misal dapat dilihat saat anak menggambar rumah lengkap dengan perabotan di dalamnya), gambar seperti ini juga mengabaikan perspektif.
Sedangkan sistem NPM baru yang mulai muncul pada masa Renainsans adalah sistem NPM yaitu Naturalis-Perspektif-Momen Opname yang sering kali dibuat oleh orang dewasa. Gambar yang dihasilkan oleh sistem ini adalah gambar statis seperti potret foto yang diambil hanya dalam satu adegan saja. Terdapat prinsip perspektif dalam menggambar sehingga gambar terlihat natural.
Sedangkan bahasa rupa asli yang dimiliki anak adalah alamiah gambar anak dengan sistem RWD. Karakteristik ini janganlah dibunuh atau di gantikan dengan NPM sesuai dengan pandangan orang dewasa. Bahasa alamiah gambar anak RWD cukup dilengkapi dengan NPM ketika masa pertumbuhan dan perkembangan anak telah tercapai (Tabrani, 2014).
Masa peralihan itu akan terjadi pada usia 11-13 tahun yaitu ketika masa kritis (saat perang terjadi antara indra mata yang baru jadi dengan indra-indra yang lain), pengetahuan mereka juga mulai berkembang akhirnya mereka mulai memunculkan ruang tumpang tindih (overlapping), saat itu anak mulai mengalami kebingungan antara sistem RWD dan NPM.� Seiring berjalannya waktu dengan pendampingan yang tepat, anak akan mampu �beralih� dengan sendirinya untuk menggunakan sistem NPM ketika dewasa dan masuk periode Awal Realisme.
Gambar 3 Gambar anak dengan sistem RWD
Sumber: dokumentasi pribadi
Contoh pada gambar di atas adalah hasil karya anak usia 5 tahun dan masih menggunakan sistem RWD. Hal itu terlihat dari cara anak dalam menggambar objek orang. Bagaimana dia menggambarkan objek manusia terbang melayang di langit bersama objek yang menyerupai ilustrasi dari virus corona. Kemudian ia menggambar objek orang dengan wajah seperti hewan yang dilengkapi dengan telinga dan ekor. Sedangkan tangan dan kaki menggunakan garis.
Pada Objek tersebut juga di gambar sedang menggunakan masker tetapi masih terlihat gambar mulutnya. Lalu pada bagian pohon dia tidak menggunakan warna hijau untuk daunnya, tetapi warna abu-abu. Hal tersebut menunjukkan jika anak berkreasi sesuai interpretasi yang ia pahami. Ia juga menggambarkan beberapa objek gambar berukuran lebih kecil berjumlah tiga yang ada di dalam batang pohon. Jika dilihat dari tipe gambar, contoh gambar tersebut masuk dalam tipe gambar yang bertumpu pada garis dasar dengan meletakkan objek berdiri di atas tanah. Gambar seperti ini terlihat lebih original dan sesuai dengan khayalan anak.
Gambar 4 Gambar anak dengan sistem NPM
Sumber: dokumentasi pribadi
Berbeda dengan contoh pada gambar 4, gambar yang dihasilkan memang mengandung cerita, namun nampak statis. Gambar tersebut adalah buatan anak usia 5 tahun, namun ia seperti telah mahir menggambar dan sudah memahapi Teknik pewarnaan menggunakan media crayon. Sistem yang tampak pada gambar adalah sistem NPM. Nampak pada gambar sudah memasukkan unsur perspektif dan naturalis dimulai dari objek yang digambar serta pemilihan warna. Tipe realis dapat terlihat pada pemilihan warna dan objek gambar yang sudah tersusun rapi, ada jendela yang terbuka dengan gambar gunung dan pohon di belakang objek manusia. Kemudian perspektif terlihat pada bagian lantai dan gambar tirai. Pemilihan warna dengan gradasi yang tepat juga menambah kesan gelap terang dalam karya tersebut.
Meskipun usia pembuat gambar sama, namun hal tersebut mungkin ada perbedaan dalam cara mereka belajar. Pada gambar pertama, orang tua memang memberikan kebebasan kepada anak dalam membuat karya. Orang tua hanya mendampingi dan memberikan fasilitas berupa peralatan gambar untuk anak dapat melakukan eksplorasi atas imajinasi yang dimilikinya. Orang tua juga tidak memasukkan anak ke sanggar mewarnai yang memberikan bimbingan dalam mempelajari teknik gambar dan mewarnai sehingga terkesan ada bimbingan lebih yang diberikan oleh orang tua ataupun pembina untuk membuat gambar dengan karakter seperti itu. Sedangkan anak yang membuat gambar 4 juga mendapatkan pendampingan dan fasilitas yang memadai dari orang tuanya terkait peralatan menggambar, akan tetapi si anak juga dimasukkan dalam sanggar mewarnai. Pada sanggar tersebut ia mendapatkan bimbingan teknik menggambar dan mewarnai. Sehingga wajar jika karya yang dihasilkan masuk dalam sistem NPM.
Sering kali sebagai orang dewasa memandang gambaran anak sesuai dengan perspektif orang dewasa. Proses yang seharusnya dilewati anak dipaksa untuk berhenti dan segera dialihkan menggunakan sistem NPM yang sebenarnya belum sepenuhnya mampu dipahami oleh anak. Proses panjang mulai dari periode Pra-Bagan sampai Awal Realisme inilah yang sering terabaikan. Orang tua, guru ataupun pembina menyamaratakan proses pembelajaran dan hanya terpaku pada hasil akhir anak. Padahal yang seharusnya dilihat dan di pahami oleh orang dewasa adalah proses berkaryanya, bukan hanya sekedar hasil akhir yang dibuat anak.
Kegiatan coreng-moreng menggunakan beragam garis dan warna adalah bentuk eksplorasi anak dalam membuat bahasa rupanya melalui sistem RWD. Jika orang dewasa tidak memahami hal tersebut, kemudian terlalu memberikan doktrin menggambar atau mewarnai yang bagus (menurut pandangan orang dewasa) anak akan takut untuk mencoba, ia akan merasa selalu salah dalam membuat gambar, ia akan berusaha untuk membuat gambar semirip mungkin dengan contoh yang diberikan.� Dan tidak menutup kemungkinan kelak saat dewasa anak akan tumbuh menjadi anak yang suka mencontoh, takut berinovasi, mudah patah dan tidak tahan banting.
Para pakar pendidikan seperti H. Read, V. Lowenfeld, dan E. Ziegfeld (dalam Tabrani, (1982) berpendapat bahwa kreativitas juga penting untuk pendidikan agar anak mendapatkan media untuk mengembangkan imajinasinya dan menghasilkan inovasi baru dari hasil eksperimen-eksperimen yang telah dilakukan. Kegagalan dalam mengembangkan kreatif, imajinasi, perasaan di masa anak-anak maka anak akan menjadi cenderung menghafal, tak mampu menciptakan memori yang kaya dan imajinatif serta kurang percaya diri.� Hasilnya akan menimbulkan mitos bahwa hasil lebih penting dan tidak perduli dengan proses.
Keadaan inilah yang sangat terlihat nyata dalam proses perlombaan yang sekarang marak dilaksanakan. Bukan kegiatannya yang tidak baik, hanya saja karya yang dihasilkan oleh peserta adalah karya yang kurang memiliki originalitas. Rata-rata lomba seni rupa yang diadakan di masyarakat adalah menggambar dan mewarnai. Dua kegiatan yang sangat akrab untuk anak-anak ini diharapkan dapat meningkatkan kreativitas anak. Jika dilihat dari hasil akhir lomba, penyelenggara hanya melihat hasil akhir karya peserta lomba kemudian menilainya dari segi ide (kesesuaian dengan tema), kreativitas dan finishing.
Hasil pewarnaan yang menggunakan bahan dan teknik yang sama akan menghasilkan karya yang memiliki karakteristik hampir sama. Karakter mirip inilah yang membuat originalitas pada gambar anak tersamarkan.� Keadaan ini sebenarnya sangat memprihatinkan sebab dalam lomba menggambar ataupun mewarnai originalitas anak sudah tertutupi oleh karakter lain yang jika diamati ini belum sesuai dengan periode gambar anak.
Periode ataupun tipe gambar anak memang tidak dapat dijadikan dasar pijakan perkembangan gambar anak, akan tetapi memberikan pendidikan kepada anak untuk terpaku pada pola gambar ataupun teknik mewarnai dapat membuat anak menjadi tidak mampu berkarya secara original sesuai imajinasi dan kreativitasnya. Hal tersebut terjadi karena mereka takut melakukan kesalahan dan mendapat jugde bahwa gambar mereka jelek. Jadi, tugas guru dan orang tua sebaiknya tidak mengajarkan konsep pendidikan seperti di masa lalu, dimana anak dianggap sebagai mahluk yang lemah, serba tidak tahu apapun.
Tugas orang dewasa hanyalah mengembangkan dan mendampinginya secara alami. Keadaan ini semakin parah ketika banyak sanggar dan penyelenggara lomba seakan memberikan ruang untuk hal itu tumbuh. Anak-anak kita karakternya akan tergantikan, proses mereka dalam berkarya akan semakin tidak dihargai dan merekapun akan terbentuk menjadi anak yang suka mencontoh, tidak percaya diri dengan ide atau kreativitasnya sendiri.
Kesimpulan
Jika
dilihat dari pemaparan faktor internal yang ada pada diri anak
usia 5-6 tahun sudah masuk fase
kanak-kanak awal yang juga telah berada di jenjang pendidikan Taman Kanak-kanak dengan konsep
belajar sambil bermain. Pada masa tersebut seharusnya seorang anak mendapatkan kesempatan untuk melakukan eksplorasi dengan beragam media dalam belajar. Hal tersebut akan membuat
anak memiliki banyak pengalaman belajar dan juga dapat memantik kreativitasnya untuk mencoba hal-hal
baru. Namun, realita yang ada dalam membuat menggambar
bebas anak hanya mengenal alat dan bahan seperti crayon, spidol dan juga pensil warna.
Untuk media yang digunakan adalah kertas dan teknik yang diajarkan kepada anak adalah teknik
gradasi warna menggunakan crayon. Keseragaman ini yang membuat anak menjadi kurang
mampu melakukan eksplorasi dalam menuangkan ide gagasannya. Sistem gambar yang digunakan oleh anak usia 5-6 tahun jika sesuai dengan
fase perkembangannya adalah masuk kategori
prabagan, yaitu fase dimana anak
lebih condong menggunakan gambar untuk bercerita dan menuangkannya dalam sistem RWD. Akan tetapi karakteristik pada gambar anak dapat berubah
jika ia mendapatkan
bimbingan belajar gambar yang lebih intens dengan memasukkan
materi-materi yang bersifat
doktrin dan metode pengajaran menggunakan drill yang
membuat anak banyak melakukan pengulangan dalam latihan menggambar dan mencontoh.
Keadaan inilah yang membuat karakteristik gambar anak menjadi statis dan lebih pada sistem NPW yang seharusnya baru mereka gunakan ketika sudah berada
pada fase anak-anak akhir atau menuju
dewasa. Sedangkan pada faktor eksternal dipengaruhi oleh faktor orang tua, keluarga, dan lingkungan sosial. Orang tua yang memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan
eksplorasi dalam belajar akan menghasilkan
anak yang tidak takut untuk melakukan
hal baru. Mereka tidak khawatir
dengan karena orang tua memberikan kepercayaan terhadapnya untuk mencoba.
Anak
diberikan kesempatan untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan dalam bentuk
gambar serta memberikan apresiasi atas apapun yang dihasilkan oleh anak. Sedangkan orang tua yang terlalu memberikan doktrin kepada anak dalam membuat
gambar bebas akan merasa takut
atau tidak percaya diri dalam
menggambar bebas. Mereka akan lebih
memilih mencontoh gambar yang telah ada daripada berkreasi
sesuai imajinasinya. Hal tersebut akan berdampak
sama jika lingkungan sekolah dan lingkungan sosial juga tidak memberikan apresiasi ataupun kepercayaan kepada anak untuk melakukan
eksplorasi.
BIBLIOGRAFI
Brittain, W. L., & Lowenfeld, V. (1982). Creative
and mental growth. Macmillan Reference.
Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2017). Research
design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Sage
publications.
Dewi,
N. W. R. (2021). Optimalisasi Kreativitas Anak Usia Dini Melalui Kegiatan Seni.
Widyalaya: Jurnal Ilmu Pendidikan, 1(3), 381�391.
Girsang, M. L., & Samosir, J. (2019). Pengaruh
metode bercerita terhadap kreativitas menggambar anak usia 5-6 tahun. Jurnal
Mutiara Pendidikan Indonesia, 4(2), 17�26.
Hakim,
A. R. (2022). Islamic Religious Education Strategy in Instilling Character
Moral Values in Adolescents. International Journal of Social Health, 1(2),
64�68.
Hamzah,
A. (2019). Metode Penelitian Kepustakaan: Kajian Filosofis, Teoritis, dan
Aplikatif. Literasi Nusantara Abadi.
Handayani,
W., & Somantri, E. B. (2019). Peningkatan Kreativitas Anak Usia 5-6 Tahun
Melalui Kegiatan Kolase Di Taman Kanak-Kanak Mujahidin 1 Pontianak. Edukasi:
Jurnal Ilmiah Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2).
Hurlock,
E. B. (1997). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan.
Maulana,
I., & Mayar, F. (2019). Pengembangkan Kreativitas Anak Usia Dini Di Era
Revolusi 4.0. Jurnal Pendidikan Tambusai, 3(3), 1141�1149.
Mulyani,
N. (2019). Mengembangkan kreativitas anak usia dini. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nurmiyanti,
L. (2021). Revitalisasi Pendidikan Karakter pada Anak Usia Dini untuk
Menciptakan Generasi Unggul. JECIES J. Early Child. Islam. Educ. Study, 2(1),
18�37.
Rahmawati,
B. (2019). Upaya Meningkatkan Kreativitas Anak Usia Dini Melalui Kegiatan
Mewarnai di TK Pertiwi 1 Raja Basa Lama. IAIN Metro.
Restian, A. (2020). Pendidikan Seni
Rupa Estetik Sekolah Dasar (Vol. 1). UMMPress.
Sit, M., Khadijah, K., Nasution, F., & Sitorus, A.
S. (2016). Buku pengembangan kreativitas anak usia dini (teori dan praktik).
Soegiarty,
T. (2007). Karakteristik gambar anak. Makalah. disajikan dalam Ceramah
Lomba Menggambar Bentuk Geometris Tingkat �.
Tabrani, P. (2014). Proses Kreasi Gambar
Anak Proses Belajar. Jakarta: Erlangga.
Copyright holder: Tika Awalini,
Setyo Yanuartuti, Indar Sabri (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |