Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 6, Juni 2023
TERJADINYA PERIZINAN PERKAWINAN POLIGAMI
YANG TIDAK BERDARKAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
Ferrary Utami, Hanafi Tanawijaya
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara,
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Perkawinan Poligami adalah yang dimana seorang laki-laki yang sudah menikahi seorang perempuan kemudian kawin lagi dengan perempuan lain dan mempunyai istri lebih dari seorang, di Indonesia poligami dimungkinkan jika yang bersangkutan memberikan izin untuk melakukan poligami, atau permohonan izin poligami harus terkait dengan izin istri pertama dan Lembaga tentu perlu dipertimbangkan permohonan tersebut. Lembaga yang berwenang dalam mengabulkan permohonan tersebut ialah Pengadilan dan Majelis Hakim, stelah memenuhi persyaratan dari Pengadilan, saya berkesimpulan apakah Pemohon akan mendapatkan izin untuk melakukan perkawinan poligami, pengadilan akan memberikan izin jika pernikahan belum mencapai tujuan pernikahan. Perkawinan poligami tidak dapat dijadikan sebagai ajang untuk mengukur ketaatan agama seseorang, dalam hal ini semakin aktif si pelaku poligami dianggap semakin baik kedudukan agamanya, atau semakin sabar seorang istri menerima untuk dipoligami maka semakin berkualitas keimananya atau mempertimbangkan suami sebagai sunnah. Sudah banyak terjadi seorang laki-laki memiliki lebih dari seorang istri atau disebut dengan poligami, dalam hal ini Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat mengabulkan permohonan izin untuk berpoligami dengan syarat memperkuat kumulati dan alternatif. Jika salah satu syarat tersebut dapat dibuktikan, maka Pengadilan dapat memberikan izin untuk melakukan poligami dan pengadilan dapat mengabulkannya jika syarat tersebut telah terpenuhi. Pengadilan juga harus menelusuri apakah sang istri benar-benat tidak menjalankan kewajiban seorang istri, menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, ataupun tidak bisa mengasihi keturunan.
Kata kunci: Poligami; Perlindungan Hukum; Tanggung Jawab.
Abstract
Polygamy marriage is where a man who has
married a woman then remarries with another woman and has more than one wife,
in Indonesia polygamy is possible if the person concerned gives permission to
practice polygamy, or the application for polygamy permission must be linked to
the permission of the first wife and Institutions certainly need to consider
the application. The institutions that are imposed in granting the request are
the Court and the Panel of Judges, unless meeting the requirements of the Court,
I conclude whether the Petitioner will receive permission to enter into a
polygamous marriage, the court will grant permission if the marriage has not
reached the goal of marriage. Polygamous marriages cannot be used as an arena
to measure one's religious obedience, in this case the more active the
polygamist is considered the better his religious position, or the more patient
a wife accepts polygamy, the more qualified her faith or considers her husband
as sunnah. There have been many cases of a man who has more than one wife or is
called polygamy, in this case the Judge of the West Jakarta Religious Court
granted the request for permission to have polygamy on condition that he
strengthens cumulatively and alternatives. If one of these conditions can be proven,
then the court can give permission to practice polygamy and the court can grant
it if these conditions have been met. The court must also investigate whether
the wife really does not carry out the obligations of a wife, suffers from an
incurable disease, or is unable to love offspring.
Keywords: Polygamy;Legal Protection;
Responsibility.
Pendahuluan
Dalam islam perkawinan
merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT, sesuai dengan Pasal
2 Penyempurnaan Kompilasi
Hukum Islam mengatakan bahwa
�sesuai dengan hukum islam, perkawinan
merupakan akad yang dimana suatu perjanjian
yang sangat tidak dimain-mainkan
untuk memperkuat ibadah kepada Allah SWT dan pemenuhnya adalah beribadah (Imron, 2015). Menciptakan keluarga
untuk mejadi keluarga yang harmonis dan keberadaannya suami/istri membawa tanggung
jawab dan menjadi komitmen. Perkawinan sah jika memenuhi
sesuai aturan hukum. Perkawinan harus sesuai dengan
kepercayaan dan agama yang sudah
ducatatkan menurut hukum yang berlaku (Shidiq, 2016).
Dalam surat An-Nissa
ayat 21, �Pernikahan adalah akad yang mengikat seorang perempuan dengan seorang laki-laki�. Menurut pandangan agama, perkawinan ialah suatu peristiwa yang sakral dan menyebut nama Allah SWT dan dari segi hukum perkawinan
adalah tentang mewujudkan keluarga yang bahagia, kekal dan abadi.
Sulit untuk menghindari
konflik dalam pernikahan, termasuk pasangan baru atau
bahkan pasangan lama. Konflik yang sering terjadi, konflik antara suami istri
memang sulit dihindari karena pada hakekatnya menggabungkan dua pemikiran yang berbeda, yaitu konflik yang memicu persoalan yang lebih sulit lagi,
yang pada gilirannya memicu
perceraian. Biasanya orang lai bercerai dengan
alasan faktor perekonomian, ada banyaknya alasan ketidaksepakatan dalam rumah tangga yang berakhir dengan perpusahan, dan prinsip hidup yang bertolak belakang.
Adapula faktor dalam
menduduk anak maupun pengaruh dari keluarga, sahabat, ataupun dari lingkungannya. Semua permasalahan ini yang biasanya memicu keretakan rumah tangga. Banyak sekali yang menjadi penyebab pertengkaran dalam rumah tangga
yang berujung perceraian,
yang sering terjadi biasanya faktor karena perekonomian, perbedaan pendapat, dan prinsip hidup yang bertolak belakang. Dan adapula faktor dalam mendidik anak maupun pengaruh
dari keluarga, sahabat dan sekitarnya. Semua permasalahan ini yang biasanya memicu keretakan rumah tangga.
Satu diantara yang ada pada terjadinya perkawinan yang sering diperbincangkan dan diperdebatkan
pada lingkungan sekitar biasanya perkawinan poligami kerap ditantang dengan berbagai macam alasan baik normative maupun psikologis yang selalu dikaitkan dengan keadilan (Fikri, 2006). Yang dimana dalam
pernikahan poligami seorang suami menikahi
lebih dari seorang perempuan. Seringkali banyak masalah dalam sebuah
pernikahan, dan masalah tersebut disebabkan oleh banyaknya faktor. Poligami telah diparaktikan di Arab sejak eksposisi Jahiliyah pada abad ke-7.
Meski begitu, jarang
seorang suami hanya memiliki satu istri. Islam memiliki aturan untuk memperbaiki poligami. Tetapi jarang sekali orang yang melakukan poligami bertolak belakang dengan aturan-aturan agama, salah
satunya untuk menolong perempuan lain, melainkan yang sering terjadi seorang suami berpoligami untuk memuaskan hawa nafsunya. Hal ini sering terjadi,
terutama di negara Indonesia. Namun
hal ini dalam
pelaksanaan poligami harus berlaku adil
terhadap istri-istrinya dengan penuh tanggung
jawab poligami harus dengan cara
yang berdasarkan sesuai UU Perkawinan.
Fenomena poligami dilingkup
masyarakat kebanyakan terpicu untuk mengahalalkan
karena adanya rasa saling suka dengan
perempuan untuk menjadikan pendamping hidup yang kedua. Sementara perasaan keduanya sudah bersemi kelain hati, maka tidak
ada yang bisa menghalangi untuk membangun suatu hubungan tersebut (Ahmad, 1995). Dan persoalan poligami di Indonesia merupakan keberadaanya dapat pro atau kontra, maka
yang melakukan poligami harus berdasarkan sesuai Undang-Undang Perkawinan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2).
Jika yang kontra selalu beranggapan bahwa banyak nya
meunculkan masalah dalam rumah tangga,
seperti: hawa nafsu yang tinggi, terjadinya perselingkuhan, terjadinya percekcokan didalam rumah tangga,
sedangkan para pihak yang
pro beranggapan bahwa poligami cara yang terbaik untuk mempertahankan
keuntungan yang terlibat
pada perkawinan poligami (Imron, 2015). Selain yang memperhatikan
yang berlaku pada UU perkawinan
bagi pihak yang melakukan poligami, hal ini bertujuan
untuk bagi orang yang berpoligami namun tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusian agar tidak ada pihak-pihak
yang terlantarkan, serta tujuan dari perkawinan
sebagaimana telah ditetukan menurut UU Perkawinan tujuan perkawinan sebagai suami dan istri adalah untuk membangun
rumah tangga yang Bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Pada dasarnya UU perkawinan di Indonesia menganut asas monogami yang berdasarkan sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan �seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai seorang suami� UU Perkwinan di Indonesia menganut asas monogami
terbuka, sebagaimana yang sudah dijelaskan dengan perundang � undangan poligami terdapat pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, menjelaskan, bahwa �bahwa pengadilan
dapat mengizinkan kepada seorang suami untuk beristri
lebih dari seorang jika pihak
yang bersangkutan mengehndakinya�.
Dan pasal tersebut mengandung pengertian, bahwa suami diperbolehkan
berpoligami jika ia mentaati aturan
perundang�undangan, dalam al-Qur�an surat An-nisa ayat (3) yang dimana ayat tersebut
menjelaskan bahwa �jika kamu tidak
bisa berbuat adil maka hendaknya
menikahi cukup seorang wanita saja�. Jika tidak banyak materi, poligami dilarang. Meskipun pada hakikatnya ini bukan tujuan
utama poligami, alasan tersebut berasal dari persepsi
tentang poligami, atau disebut materialistis.
Banyaknya kasus poligami
dilingkungan masyarakat, dimana perkawinan poligami dilakukan tanpa adanya perizinan
dari Pengadilan Agama, dan banyak pula perkawinan poligami yang dilakukan tanpa persetujuan istri yang sah, sehingga memungkinkan istri sah dapat
mengajukan pembatalan perkawinan suami yang kedua tersebut ke Pengadilan Agama (Sapardjaja, 2008). Selain itu,
dalam perkawinan poligami sering terjadi kasus dimana
seorang suami tidak mampu memperlakukan
istri dan anaknya dengan adil (keadilan
disini berlaku untuk hal-hal yang berkaitan dengan penampilan seperti memberikan nafkah atau membagi waktu)
sehingga dalam perkawinan poligami, pihak lain yang dirugikan atau pihak yang diterlantarkan (Fitri, 2021).
Berdasarkan sesuai dengan
penerapan Undang-Undang No
1 Tahun 1974, telah dikeluarkan PP No. 9 Tahun 1975
yang mengatur ketentuan pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut. Pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975 menyebutkan bahwa apabila seorang laki-laki bermaksud ingin beristeri lebih dari seorang,
maka suami harus mengajukan permohonan dalam bentuk dokumen atau secara tertulis
kepada Pengadilan Agama.
Dan dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 pada Bab VII yang mengatur
tentang beristri lebih dari seorang
Pasal 41 Pengadilan sebagai sebagai kekuasaan kehakiman yang berkewajiban memeriksa gugatan para pemohon izin poligami yang beralasan, persetujuan dari pihak iistri
sah secara lisan dinyatakan di depan persidangan berlangsung (Arto, 2008).
Berdasarkan sesuai dengan
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berdasarkan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 diterangkan dalam PP Nomor 9 tahun 1975 menjelaskan bahwa meskipun memenuhi syarat-syarat kumulatif, tidak menjadikan terkabulnya dalam permohonan perizinan poligami karena alasan yang dimaksud dalam izin poligami
juga ada beberapa syarat alternatif. Begitupun, ketika alasan dari beberapa
persyaratan alternatif telah terpenuhi sedangkan suami tidak memenuhi syarat kumulatif, maka menjadi ketidakbolehan
untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk melakukan perkawinan poligami (Zulfikar, 2020).
Terdapat pada pasal 4 ayat
(2) persyaratan alternatif adalah bentuk dasar
aktualisasi hukum tetap dan sebagai asas untuk meminimalisir
terjadinya perkawinan poligami karena tidak disertakan dengan alasan yang tidak tepat. Maka
menimbulkan persepsi ketidakkonsistenan Majelis Hakim Pengadilan Agama dengan memberikan izin poligami karena faktanya mengizinkan pemohon untuk berpoligami
meskipun tidak sesuai dengan ketentuan
alasan perundang-undangan.
Terkait dengan adanya
masalah yang nyata terjadi di Pengadilan Agama
Jakarta Barat, cukup banyak
permohonan perizinan poligami yang disetujui, yang mempengaruhi disetujui atau tidaknya permohonan
izin poligami (Zuhrah, 2017). Presentase perizinan
perkawinan poligami yang tinggi cukup mudah
untuk mengurus perizinan poligami di Pengadilan Agama Jakarta barat, sehingga
sangat mudah sekali untuk mengajukan perizinan untuk berpoligami. Dalam putusan ini, hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat yang memberikan
izin poligami dengan calon istri
kedua pemohon yang berumur 44tahun dengan alasan ingin memperbanyak
keturunan, sedangkan istri pertama berusia
41 tahun. Dalam putusan ini menjelaskan
suami sebagai pemohon yang mengajukan permohonan izin poligami ke Pengadilan
Agama Jakarta Barat karena ingin
memperbanyak keturunan.
Sesuai dengan putusan
Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor
1769/Pdt/G/2022/PA. JB selama
masa perkawinan pemohon dan
termohon telah dikarunia tiga anak. Seharusnya Majelis Hakim. Menolak permohonan tersebut karena Termohon telah dikaruniai tiga orang anak. Maka alasan ini
seharusnya tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Karena poligami ini tidak berdasarkan dengan dasar agama yabg kuat akan
berakibat kehidupan yang tentram maupun religious.
Metode Penelitian
Menurut Peter
Mahmud Marzuki (2013), penelitian hukum
ialah suatu proses penemuan asas dan aturan hukum kemudian
dapat menjawab suatu isu hukum
yang akan dihadapi6. Jenis
penelitian ini dengan hukum normative. Hukum normatif ialah penelitian yang bertujuan mencari hukum positif
dan mengidentifikasi pokok atau dasar hukum
terkait permasalahan yang akan dibahas berdasarkan
sesuai undang-undang.
Dalam pendekatan
yang digunakan peneliti menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan
melihat undang-undang dan digabungkan dengan isu hukum yang sedang dihadapi. Pendekatan kasus (case approach) dengan cara melihat
kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi.
Hasil dan Pembahasan
A. Bagaimana permohonan izin perkawinan poligami tetapi yang tidak
sesuai dengan ketetapan pada Undang-Undang Perkawinan?
Negara Indonesia pada dasarnya menganut asas monogami terlihat pada pasal 3
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yang berbunyi bahwasannya seorang laki-laki
hanya diperolehkan memiliki seorang istri dan sebaliknya seorang perempuan
hanya diperbolehkan memiliki seorang suami. Monogami ialah berbentuk yang
dimana seorang lelaki memiliki seorang istri saja, sedangkan perkawinan
poligami yang dimana seorang suami menikahi llebih dari seorang perempuan dalam
waktu yang bersamaan yang artinya istri tersebut masih menjadi istri sah dan
tidak diceraikan oleh suaminya (Pua et al., 2022).
Sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, Pasal tersebut
memberikan pengecualian bahwa Pengadilan Agama dapat memberi izin kepada
seorang suami yang ingin melakukan perkawinan poligami jika ada persetujuan
dari istri sah. Di Indonesia seorang suami diperbolehkan melakukan perkawinan
poligami apabila seorang suami bisa berlaku adil dan memenuhi syarat-syarat
yang telah ditetapkan sesuai Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam. Tetapi pada kenyataannya di Indonesia banyak sekali yang melakukan
poligami tidak sesuai dengan ketetapan peraturan perundang-undangan.
Permohonan izin poligami harus adanya persetujuan dari istri sah dan diperlukan
suatu pertimbangan dari Lembaga tertentu, yang berwenang untuk mempertimbangkan
perkara ialah hakim, setelah memenuhi persyaratan yang ada pada Pengadilan maka
hakim akan memeriksa dan memutus memberikan izin atau tidak diberi izin pada
pemohon yang akan melakukan perkawinan poligami, dan perkawinan poligami tidak dapat
dijadikan bahan untuk tolak ukur
ketaatan agama seseorang,
yang dimana biasanya beranggapan jika melakukan poligami maka dianggap semakin
aktif tingkat keagamaanya atau semakin sabar seorang
istri maka semakin berkualitas keimanannya (Ulfah, 2016).
Sudah banyak sekali
di Indonesia seorang suami melakukan perkawinan poligami, maka dengan adanya masalah
yang nyata di Pengadilan
Agama Jakarta Barat, cukup banyak
permohonan izin poligami yang disetujui oleh
hakim, sehingga sangat mudah
sekali melakukan perizinan untuk berpoligami.
Sesuai dengan Undang-Undang
Perkawinan syarat yang bersifatnya alternatif merupakan alasan diperbolehkannya melakukan poligami yang sudah dituliskan Pasal 4 ayat (2). Jika seorang istri telah terbukti
dan termasuk salah satu
pada pasal 4 ayat(2), maka Pengadilan
Agama dapat memberi izin terhadap seorang
suami untuk melakukan perkawinan poligami, dan Hakim dapat mengabulkan jika persyaratan telah terpenuhi. Pengadilan dapat memeriksa bahwa seorang istri
apakah benar tidak dapat melakukan
kewajiban sebagai seorang istri, istri mennderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau istri tidak
dapat memberikan keturunan.
Pada kasus yang telah terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Barat saksi
menjelaskan bahwa istri dapat memberikan
3 (tiga) orang anak yang dimana istri telah
memenuhi kewajibannya sebagai istri, dan istri juga tidak menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan
ataupun menderita cacat. Jika dilihat istri mampu untuk
menjalankan kewajiban seorang istri, dan istri dapat memberikan
keturunan 3 (tiga) orang anak.
Jika melakukan perkawinan poligami dikhawatirkan gagal untuk mencapai tujuan perkawinan yang dimana tujuan perkawinan
ialah untuk membangun rumah tangga yang Bahagia, kekal, sakinnah, mawaddah, warahmmah. Jika perkawinan poligami dilakukan maka akan menimbulkan
ketidak harmonisan dalam rumah tangga
serta terbaginya kasih sayang.
Jika melakukan perkawinan poligami karena nafsu akan
cendrung tidak dapat berbuat adil,
misalnya pada kasus tersebut istri kedua diperoleh karena memiliki usia yang lebih muda, wajahnya lebih cantik, tubuhnya
lebih seksi dari istri pertama,
maka syahwat lelaki akan cendrung
terhadap istri kedua (Akhyar, 2010).
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia jika seorang suami
beragama islam ingin melakukan poligami maka harus mengajukan permohonan ke
Pengadilan Agama sebagaimana yang sudah tertulis pada Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan, agar para pihak yang berpekara tidak ada yang merasa
dirugikan. Keputusan pengadilan dari perkara permohonan (volunter), permohonan
yang terdapat sengketa dengan pihak lain permohonan ini merupakan permohonan
sepihak, misalnya penetapan perkara dispensasi nikah, poligami, perwalian,
isbat nikah dan lain sebagainya, perkara volunteer atau permohonan.
Pada dasarnya perkawinan poligami sampai saat ini masih banyak terjadi
dikalangan masyarakat, bahkan banyak laki-laki yang ingin melakukan poligami
hanya karena keinginan semata atau menuruti hawa nafsunya, atau juga perempuan
yang ingin dinikahi terlihat lebih cantik dan lebih muda dari istri sah nya (Amaliah, 2018). Biasanya yang melakukan poligami
tidak sesuai dengan syarat akan berakibat rumah tangga yang tidak harmonis
antara istri pertama dengan istri kedua dan antara anak-anak istri pertama
dengan anak istri kedua.
Hal ini yang nantinya akan menimbulkan permusuhan yang dimana Allah sangat
tidak menyukainya. Melakukan perkawinan poligami hanya karena syahwat biasanya
akan cendrung tidak dapat berlaku adil. Poligami sangat sensitive akan
timbulnya permusuhan antara istri pertama dengan istri kedua. Dalam surat
An-Nisa Ayat� (3) �apabila kalian tidak
khawatir dapat berlaku adil terhadap istri-istri, maka nikahilah perempuan yang
kamu sukai satu, dua, tiga, dan empat perempuan saja. Jika kamu khawatir tidak
dapat berlaku adil maka nikahilah satu orang perempuan saja, yang demikian
lebih dekat pada tidak berbuat dzalim kepadanya.�
Pada dasarnya negara Indonesia menganut asas monogami, bisa dilihat dalam
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, seorang laki-laki hanya
diperbolehkan memiliki seorang istri dan begitupun sebaliknya, seorang
perempuan hanya diperbolehkannya memiliki seorang suami. Monogami ialah bentuk
dimana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan saja, sedangkan poligami
yang dimana seorang laki-laki menikahi lebih dari seorang perempuan yang
bersamaan yang artinya istri tersebut masih sah dan tidak diceraikan oleh
suaminya
(Rizkal, 2019).
Berdasarkan pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan memberikan
pengecualian bahwa Pengadilan Agama dapat memberi izin kepada suami yang ingin
melakukan poligami jika ada persetujuan istri sah, di Indonesia poligami boleh
dilakukan apabila suami dapat berlaku adil dan memenuhi alasan yang telah
ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Perkawinan poligami dapat dinyatakan sah oleh hukum apabila seorang suami
telah memenuhi persyaratan dan perizinan kepada Pengadilan Agama untuk
melakukan perkawinan poligami, tetaapi pada faktanya poligami yang dilakukan di
Indonesia bukan asas monogami mutlak, berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
poligami dibahas pada Pasal 55 sampai Pasal 59, dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa
laki-laki yang ingin melakukan perkawinan poligami hanya terbatas dengan 4
(empat) orang Wanita saja, dan dalam Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam jika suami
memiliki lebih dari seorang istri tanpa sepengetahuan Pengadilan Agama maka.
Perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum tetap.
Pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama berdasarkan pada Pasal 57
Kompilasi Hukum Islam: a) Istri tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai istri. b) Istri menderita penyakit yang tidak
dapat disembuhkan ataupun mendertita cacat. c) Istri tidak dapat memberikan
keturunan.
Pasal 57 Kompilasi
Hukum Islam merupakan syarat
alterntif, berdasarkan dalam Undang-Undang Perkawinan dan Komplasi Hukum islam harus memenuhi
salah satu syarat-syarat tersebut, sehingga bisa dijadikan alasan Ke Pengadilan
Agama untuk meminta izin melakukan perkawinan poligami. Pengadilan Agama bertugas untuk memeriksa, dan memutus perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang perkawinan, wasiat, warisan yang dilakukan dengan hukum islam
adalah Pengadilan Agama. Sebelum Hakim memutus perkara terlebih dulu hakim memeriksa dan mendengarkan para pihak yang berisikan fakta hukum, fakta kronologis,
dan penerapan norma hukum baik hukum
positif, hukum kebiasaan maupun berdasarkan yurisprudensi.
Permohonan izin
poligami yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor
Putus 1769/Pdt.G/2022/PA.JB.
seorang suami yang mengajukan permohonan ke Pengadilan dengan
alasan ingin memperbanyak keturunan. Hal ini alasan yang tidak berdasarkan Undang-Undang sehinggan menimbulkan kerugian bagi rumah tangga
dan keluarganya apabila melakukan perkawinan poligami. Karena poligami tidak dilakukan oleh seorang suami secara
sendiri hal ini dikarenakan subjektivitas dapat mendominasi orang yang melakukannya
(Mursalin, 2007).
Permohonan izin
poligami harus melalui izin istri
pertama dan diperlakukan
Lembaga tertentu untuk melakukan pertimbangan. Lembaga
yang berwewenang untuk memutus perkara ialah hakim di Lembaga peradilan.
Setelah melakukan pertimbangan dan memenuhi syarat-syarat yang ada pada Pengadilan maka pengadilan akan menyimpulkan memberikan izin atau tidak
pada pemohon yang akan melakukan poligami, pengadilan akan memberi izin apabila
perkawinan sudah mencapai tujuan perkawinan.
Perkawinan poligami
tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur keislaman
seseorang, yang dimana beranggapan berpoligami semakin taat posisi
agamanya dan semakin berkualitas imannya atau dengan menggap
bahwa poligami itu sunnah. Sudah banyak sekali seorang
suami yang melakukan perkawinan lebih dari seorang istri
atau disebut dengan poligami. Pada kasus ini Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat mengabulkan
permohonan izin melakukan poligami demgan menguatkan syarat kumulatif pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun Perkawinan.
Berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan syarat yang bersifat kumulatif merupakan alasan diperbolehkannya melakukan poligami sebagaimana yang tertulis pada Pasal 5 ayat (1). a) Harus ada persetujuann dari istri sah. b) Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin
kebutuhan istri-istri dan anak-anaknya. c) Adanya jaminan suami mampu
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Jika salah satu syarat tersebut
sudah dibuktikan, maka Majelis Hakim Pengadilan dapat mengabulkan permohonan perizinan untuk melakukan perkawinan poligami dan Pengadilan Agama
juga berwewenang untuk memeriksa atau membuktikan apakah seorang istri benar
tidak keberatan untuk dipoligami atau suaminya memiliki
lebih dari seorang istri.
Pada kasus
yang terjadi di Pengadilan
Agama Jakarta Barat ini saksi
menjelaskan bahwa istri dapat memberikan
3 (tiga) keturunan anak, istri memenuhi
kewajiban layaknya seorang istri, dan istri tidak menderita
penyakit atau cacat badan yang tidak dapat disembuhkan, tetapi istri menyetujui
atau istri tidak keberatan bahwa suaminya melakukan perkawinan poligami.
Jika melakukan
poligami akan dikhawatirkan gagal untuk mencapai tujuan membangun rumah tangga yang dimana tujuannya bahagia, kekal, harmonis. Apabila perkawinan poligami iitu terjadi maka
kedepannya akan berakibat ketidak harmonisan serta terbaginya kasih sayang, dan tidak bisa berlaku adil.
Melakukan perkawinan poligami karena syahwat atau hawa
nnafsunya saja akan cendrung tidak
dapat berlaku adil (Akhyar, 2010).
Dalam Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia jika
seorang suami beragama islam lalu ingin melakukan
perkawinan poligami maka terlebih dahul
harus melakukan izin ke Pengadilan
Agama setempat (domisili) sebagaimana telah dijelaskan pada pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahunb 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi �Pengadilan dapat memberi izin kepada
seorang suami untuk beristri lebih dari seorang
apabila dikehendaki pihak yang bersangkutan�
Menurut penulis,
dalam pertimbangan hakim
pada permohonan izin poligami di Pengadilan Agama
Jakarta Barat dengan Nomor Putusan 1769/Pdt.G/2022/PA.JB
hakim mengabulkan permohonan
ini meenggunakan Pasal 5 ayat (1) dalam pertimbangannya pada huruf a dimana seorang istri sah
dapat memberi izin untuk dipoligami
atau istri sah tidak keberatan
bahwa suaminya melakukan perkawinan poligami, dan terlihahat dari huruf b Pasal
5 ayat (1) suami bisa menjamin dan sanggup memenuhi kebutuhan istri-istri dan anak-anaknya dalam putusannya pemohon mempunyai penghasilan setiap bulannya sebesar 15.000.000 (lima belas juta rupiah).
Kesimpulan
Undang-undang perkawinan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak memberikan izin langsung untuk pernikahan poligami. Hukum perkawinan di Indonesia mengikuti
prinsip monogami, di mana satu pria hanya
boleh memiliki satu istri. Namun,
terdapat keadaan tertentu di mana poligami diizinkan berdasarkan aturan agama Islam di Indonesia. Hukum Islam mengakui poligami dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, seperti keseimbangan perlakuan terhadap istri-istri, kesanggupan finansial, persetujuan dari istri pertama, dan alasan yang diterima oleh pengadilan agama.
Dalam beberapa kasus, pernikahan poligami dapat terjadi tanpa
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh agama maupun undang-undang. Hal ini dapat terjadi karena
berbagai faktor, seperti kurangnya pengawasan, ketidaktahuan, atau pelanggaran terhadap aturan yang berlaku.
BIBLIOGRAFI
Ahmad, K. (1995). Nikah Sebagai Perikatan. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Akhyar, A. A. (2010). Poligami Tidak
Sunah. Jakarta: Stufia Press.
Amaliah,
N. (2018). Indikasi Sosiologis Terjadinya Poligami Di kalangan Masyarakat
Bogor. Mizan: Journal of Islamic Law, 1(1).
Arto,
M. (2008). Praktek-Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta.
Fikri, A. (2006). Poligami yang tak
melukai hati? Mizan Pustaka.
Fitri,
Y. (2021). Pandangan dan Praktek Berlaku Adil dalam Berpoligami Berdasarkan
Pemahaman Surat al-Nisa�Ayat 3 pada Organisasi Global Ikhwan. UIN
Ar-Raniry.
Imron,
A. (2015). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. I, Semarang: CV. Karya
Abadi Jaya.
Marzuki, P. M. (2013). Penelitian Hukum,
Jakarta: Kencana. Mertokusumo, Sudikno.
Mursalin,
S. (2007). Menolak poligami: studi tentang undang-undang perkawinan dan hukum
Islam. (No Title).
Pua,
B., Karamoy, D. N., & Setlight, M. M. M. (2022). Kedudukan Asas Monogami
Dalam Pengaturan Hukum Perkawinan Di Indonesia. NUSANTARA: Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial, 9(6), 2373�2403.
Rizkal,
R. (2019). Poligami Tanpa Izin Isteri Dalam Perspektif Hukum: Bentuk Kekerasan
Psikis Terhadap Isteri. Jurnal Yustika: Media Hukum Dan Keadilan, 22(01),
26�36.
Sapardjaja,
K. (2008). Kompendium tentang hak-hak perempuan. Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Shidiq,
S. (2016). Fikih Kontemporer. Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, 2016.
Ulfah,
S. M. (2016). PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DENGAN
PUTUSAN VERSTEK DI PENGADILAN AGAMA KUDUS (STUDI KASUS NO. 950/PDT. G/2010/PA
KDS). STAIN Kudus.
Zuhrah,
F. (2017). Problematika Hukum Poligami Di Indonesia (Analisis Terhadap UU No. 1
Tahun 1974 Dan KHI). Al-Usrah: Jurnal Al Ahwal As Syakhsiyah, 5(1).
Zulfikar,
V. F. (2020). Tinjauan Maqashid Syariah Terhadap Syarat Poligami Dalam Pasal
4 Dan 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. IAIN Kediri.
Copyright holder: Ferrary Utami, Hanafi Tanawijaya (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |