Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 6, Juni 2023

 

TERJADINYA PERIZINAN PERKAWINAN POLIGAMI YANG TIDAK BERDARKAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

 

Ferrary Utami, Hanafi Tanawijaya

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara,

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Perkawinan Poligami adalah yang dimana seorang laki-laki yang sudah menikahi seorang perempuan kemudian kawin lagi dengan perempuan lain dan mempunyai istri lebih dari seorang, di Indonesia poligami dimungkinkan jika yang bersangkutan memberikan izin untuk melakukan poligami, atau permohonan izin poligami harus terkait dengan izin istri pertama dan Lembaga tentu perlu dipertimbangkan permohonan tersebut. Lembaga yang berwenang dalam mengabulkan permohonan tersebut ialah Pengadilan dan Majelis Hakim, stelah memenuhi persyaratan dari Pengadilan, saya berkesimpulan apakah Pemohon akan mendapatkan izin untuk melakukan perkawinan poligami, pengadilan akan memberikan izin jika pernikahan belum mencapai tujuan pernikahan. Perkawinan poligami tidak dapat dijadikan sebagai ajang untuk mengukur ketaatan agama seseorang, dalam hal ini semakin aktif si pelaku poligami dianggap semakin baik kedudukan agamanya, atau semakin sabar seorang istri menerima untuk dipoligami maka semakin berkualitas keimananya atau mempertimbangkan suami sebagai sunnah. Sudah banyak terjadi seorang laki-laki memiliki lebih dari seorang istri atau disebut dengan poligami, dalam hal ini Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat mengabulkan permohonan izin untuk berpoligami dengan syarat memperkuat kumulati dan alternatif. Jika salah satu syarat tersebut dapat dibuktikan, maka Pengadilan dapat memberikan izin untuk melakukan poligami dan pengadilan dapat mengabulkannya jika syarat tersebut telah terpenuhi. Pengadilan juga harus menelusuri apakah sang istri benar-benat tidak menjalankan kewajiban seorang istri, menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, ataupun tidak bisa mengasihi keturunan.

 

Kata kunci: Poligami; Perlindungan Hukum; Tanggung Jawab.

 

Abstract

Polygamy marriage is where a man who has married a woman then remarries with another woman and has more than one wife, in Indonesia polygamy is possible if the person concerned gives permission to practice polygamy, or the application for polygamy permission must be linked to the permission of the first wife and Institutions certainly need to consider the application. The institutions that are imposed in granting the request are the Court and the Panel of Judges, unless meeting the requirements of the Court, I conclude whether the Petitioner will receive permission to enter into a polygamous marriage, the court will grant permission if the marriage has not reached the goal of marriage. Polygamous marriages cannot be used as an arena to measure one's religious obedience, in this case the more active the polygamist is considered the better his religious position, or the more patient a wife accepts polygamy, the more qualified her faith or considers her husband as sunnah. There have been many cases of a man who has more than one wife or is called polygamy, in this case the Judge of the West Jakarta Religious Court granted the request for permission to have polygamy on condition that he strengthens cumulatively and alternatives. If one of these conditions can be proven, then the court can give permission to practice polygamy and the court can grant it if these conditions have been met. The court must also investigate whether the wife really does not carry out the obligations of a wife, suffers from an incurable disease, or is unable to love offspring.

 

Keywords: Polygamy;Legal Protection; Responsibility.

 

Pendahuluan

Dalam islam perkawinan merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT, sesuai dengan Pasal 2 Penyempurnaan Kompilasi Hukum Islam mengatakan bahwa �sesuai dengan hukum islam, perkawinan merupakan akad yang dimana suatu perjanjian yang sangat tidak dimain-mainkan untuk memperkuat ibadah kepada Allah SWT dan pemenuhnya adalah beribadah (Imron, 2015). Menciptakan keluarga untuk mejadi keluarga yang harmonis dan keberadaannya suami/istri membawa tanggung jawab dan menjadi komitmen. Perkawinan sah jika memenuhi sesuai aturan hukum. Perkawinan harus sesuai dengan kepercayaan dan agama yang sudah ducatatkan menurut hukum yang berlaku (Shidiq, 2016).

Dalam surat An-Nissa ayat 21, �Pernikahan adalah akad yang mengikat seorang perempuan dengan seorang laki-laki�. Menurut pandangan agama, perkawinan ialah suatu peristiwa yang sakral dan menyebut nama Allah SWT dan dari segi hukum perkawinan adalah tentang mewujudkan keluarga yang bahagia, kekal dan abadi.

Sulit untuk menghindari konflik dalam pernikahan, termasuk pasangan baru atau bahkan pasangan lama. Konflik yang sering terjadi, konflik antara suami istri memang sulit dihindari karena pada hakekatnya menggabungkan dua pemikiran yang berbeda, yaitu konflik yang memicu persoalan yang lebih sulit lagi, yang pada gilirannya memicu perceraian. Biasanya orang lai bercerai dengan alasan faktor perekonomian, ada banyaknya alasan ketidaksepakatan dalam rumah tangga yang berakhir dengan perpusahan, dan prinsip hidup yang bertolak belakang.

Adapula faktor dalam menduduk anak maupun pengaruh dari keluarga, sahabat, ataupun dari lingkungannya. Semua permasalahan ini yang biasanya memicu keretakan rumah tangga. Banyak sekali yang menjadi penyebab pertengkaran dalam rumah tangga yang berujung perceraian, yang sering terjadi biasanya faktor karena perekonomian, perbedaan pendapat, dan prinsip hidup yang bertolak belakang. Dan adapula faktor dalam mendidik anak maupun pengaruh dari keluarga, sahabat dan sekitarnya. Semua permasalahan ini yang biasanya memicu keretakan rumah tangga.

Satu diantara yang ada pada terjadinya perkawinan yang sering diperbincangkan dan diperdebatkan pada lingkungan sekitar biasanya perkawinan poligami kerap ditantang dengan berbagai macam alasan baik normative maupun psikologis yang selalu dikaitkan dengan keadilan (Fikri, 2006). Yang dimana dalam pernikahan poligami seorang suami menikahi lebih dari seorang perempuan. Seringkali banyak masalah dalam sebuah pernikahan, dan masalah tersebut disebabkan oleh banyaknya faktor. Poligami telah diparaktikan di Arab sejak eksposisi Jahiliyah pada abad ke-7.

Meski begitu, jarang seorang suami hanya memiliki satu istri. Islam memiliki aturan untuk memperbaiki poligami. Tetapi jarang sekali orang yang melakukan poligami bertolak belakang dengan aturan-aturan agama, salah satunya untuk menolong perempuan lain, melainkan yang sering terjadi seorang suami berpoligami untuk memuaskan hawa nafsunya. Hal ini sering terjadi, terutama di negara Indonesia. Namun hal ini dalam pelaksanaan poligami harus berlaku adil terhadap istri-istrinya dengan penuh tanggung jawab poligami harus dengan cara yang berdasarkan sesuai UU Perkawinan.

Fenomena poligami dilingkup masyarakat kebanyakan terpicu untuk mengahalalkan karena adanya rasa saling suka dengan perempuan untuk menjadikan pendamping hidup yang kedua. Sementara perasaan keduanya sudah bersemi kelain hati, maka tidak ada yang bisa menghalangi untuk membangun suatu hubungan tersebut (Ahmad, 1995). Dan persoalan poligami di Indonesia merupakan keberadaanya dapat pro atau kontra, maka yang melakukan poligami harus berdasarkan sesuai Undang-Undang Perkawinan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2).

Jika yang kontra selalu beranggapan bahwa banyak nya meunculkan masalah dalam rumah tangga, seperti: hawa nafsu yang tinggi, terjadinya perselingkuhan, terjadinya percekcokan didalam rumah tangga, sedangkan para pihak yang pro beranggapan bahwa poligami cara yang terbaik untuk mempertahankan keuntungan yang terlibat pada perkawinan poligami (Imron, 2015). Selain yang memperhatikan yang berlaku pada UU perkawinan bagi pihak yang melakukan poligami, hal ini bertujuan untuk bagi orang yang berpoligami namun tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusian agar tidak ada pihak-pihak yang terlantarkan, serta tujuan dari perkawinan sebagaimana telah ditetukan menurut UU Perkawinan tujuan perkawinan sebagai suami dan istri adalah untuk membangun rumah tangga yang Bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.

Pada dasarnya UU perkawinan di Indonesia menganut asas monogami yang berdasarkan sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan �seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai seorang suami� UU Perkwinan di Indonesia menganut asas monogami terbuka, sebagaimana yang sudah dijelaskan dengan perundang � undangan poligami terdapat pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, menjelaskan, bahwa �bahwa pengadilan dapat mengizinkan kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang jika pihak yang bersangkutan mengehndakinya�. Dan pasal tersebut mengandung pengertian, bahwa suami diperbolehkan berpoligami jika ia mentaati aturan perundang�undangan, dalam al-Qur�an surat An-nisa ayat (3) yang dimana ayat tersebut menjelaskan bahwa �jika kamu tidak bisa berbuat adil maka hendaknya menikahi cukup seorang wanita saja�. Jika tidak banyak materi, poligami dilarang. Meskipun pada hakikatnya ini bukan tujuan utama poligami, alasan tersebut berasal dari persepsi tentang poligami, atau disebut materialistis.

Banyaknya kasus poligami dilingkungan masyarakat, dimana perkawinan poligami dilakukan tanpa adanya perizinan dari Pengadilan Agama, dan banyak pula perkawinan poligami yang dilakukan tanpa persetujuan istri yang sah, sehingga memungkinkan istri sah dapat mengajukan pembatalan perkawinan suami yang kedua tersebut ke Pengadilan Agama (Sapardjaja, 2008). Selain itu, dalam perkawinan poligami sering terjadi kasus dimana seorang suami tidak mampu memperlakukan istri dan anaknya dengan adil (keadilan disini berlaku untuk hal-hal yang berkaitan dengan penampilan seperti memberikan nafkah atau membagi waktu) sehingga dalam perkawinan poligami, pihak lain yang dirugikan atau pihak yang diterlantarkan (Fitri, 2021).

Berdasarkan sesuai dengan penerapan Undang-Undang No 1 Tahun 1974, telah dikeluarkan PP No. 9 Tahun 1975 yang mengatur ketentuan pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut. Pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975 menyebutkan bahwa apabila seorang laki-laki bermaksud ingin beristeri lebih dari seorang, maka suami harus mengajukan permohonan dalam bentuk dokumen atau secara tertulis kepada Pengadilan Agama. Dan dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 pada Bab VII yang mengatur tentang beristri lebih dari seorang Pasal 41 Pengadilan sebagai sebagai kekuasaan kehakiman yang berkewajiban memeriksa gugatan para pemohon izin poligami yang beralasan, persetujuan dari pihak iistri sah secara lisan dinyatakan di depan persidangan berlangsung (Arto, 2008).

Berdasarkan sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berdasarkan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 diterangkan dalam PP Nomor 9 tahun 1975 menjelaskan bahwa meskipun memenuhi syarat-syarat kumulatif, tidak menjadikan terkabulnya dalam permohonan perizinan poligami karena alasan yang dimaksud dalam izin poligami juga ada beberapa syarat alternatif. Begitupun, ketika alasan dari beberapa persyaratan alternatif telah terpenuhi sedangkan suami tidak memenuhi syarat kumulatif, maka menjadi ketidakbolehan untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk melakukan perkawinan poligami (Zulfikar, 2020).

Terdapat pada pasal 4 ayat (2) persyaratan alternatif adalah bentuk dasar aktualisasi hukum tetap dan sebagai asas untuk meminimalisir terjadinya perkawinan poligami karena tidak disertakan dengan alasan yang tidak tepat. Maka menimbulkan persepsi ketidakkonsistenan Majelis Hakim Pengadilan Agama dengan memberikan izin poligami karena faktanya mengizinkan pemohon untuk berpoligami meskipun tidak sesuai dengan ketentuan alasan perundang-undangan.

Terkait dengan adanya masalah yang nyata terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Barat, cukup banyak permohonan perizinan poligami yang disetujui, yang mempengaruhi disetujui atau tidaknya permohonan izin poligami (Zuhrah, 2017). Presentase perizinan perkawinan poligami yang tinggi cukup mudah untuk mengurus perizinan poligami di Pengadilan Agama Jakarta barat, sehingga sangat mudah sekali untuk mengajukan perizinan untuk berpoligami. Dalam putusan ini, hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat yang memberikan izin poligami dengan calon istri kedua pemohon yang berumur 44tahun dengan alasan ingin memperbanyak keturunan, sedangkan istri pertama berusia 41 tahun. Dalam putusan ini menjelaskan suami sebagai pemohon yang mengajukan permohonan izin poligami ke Pengadilan Agama Jakarta Barat karena ingin memperbanyak keturunan.

Sesuai dengan putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor 1769/Pdt/G/2022/PA. JB selama masa perkawinan pemohon dan termohon telah dikarunia tiga anak. Seharusnya Majelis Hakim. Menolak permohonan tersebut karena Termohon telah dikaruniai tiga orang anak. Maka alasan ini seharusnya tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena poligami ini tidak berdasarkan dengan dasar agama yabg kuat akan berakibat kehidupan yang tentram maupun religious.

 

Metode Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki (2013), penelitian hukum ialah suatu proses penemuan asas dan aturan hukum kemudian dapat menjawab suatu isu hukum yang akan dihadapi6. Jenis penelitian ini dengan hukum normative. Hukum normatif ialah penelitian yang bertujuan mencari hukum positif dan mengidentifikasi pokok atau dasar hukum terkait permasalahan yang akan dibahas berdasarkan sesuai undang-undang.

Dalam pendekatan yang digunakan peneliti menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan melihat undang-undang dan digabungkan dengan isu hukum yang sedang dihadapi. Pendekatan kasus (case approach) dengan cara melihat kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Bagaimana permohonan izin perkawinan poligami tetapi yang tidak sesuai dengan ketetapan pada Undang-Undang Perkawinan?

Negara Indonesia pada dasarnya menganut asas monogami terlihat pada pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yang berbunyi bahwasannya seorang laki-laki hanya diperolehkan memiliki seorang istri dan sebaliknya seorang perempuan hanya diperbolehkan memiliki seorang suami. Monogami ialah berbentuk yang dimana seorang lelaki memiliki seorang istri saja, sedangkan perkawinan poligami yang dimana seorang suami menikahi llebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan yang artinya istri tersebut masih menjadi istri sah dan tidak diceraikan oleh suaminya (Pua et al., 2022).

Sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, Pasal tersebut memberikan pengecualian bahwa Pengadilan Agama dapat memberi izin kepada seorang suami yang ingin melakukan perkawinan poligami jika ada persetujuan dari istri sah. Di Indonesia seorang suami diperbolehkan melakukan perkawinan poligami apabila seorang suami bisa berlaku adil dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan sesuai Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Tetapi pada kenyataannya di Indonesia banyak sekali yang melakukan poligami tidak sesuai dengan ketetapan peraturan perundang-undangan.

Permohonan izin poligami harus adanya persetujuan dari istri sah dan diperlukan suatu pertimbangan dari Lembaga tertentu, yang berwenang untuk mempertimbangkan perkara ialah hakim, setelah memenuhi persyaratan yang ada pada Pengadilan maka hakim akan memeriksa dan memutus memberikan izin atau tidak diberi izin pada pemohon yang akan melakukan perkawinan poligami, dan perkawinan poligami tidak dapat dijadikan bahan untuk tolak ukur ketaatan agama seseorang, yang dimana biasanya beranggapan jika melakukan poligami maka dianggap semakin aktif tingkat keagamaanya atau semakin sabar seorang istri maka semakin berkualitas keimanannya (Ulfah, 2016).

Sudah banyak sekali di Indonesia seorang suami melakukan perkawinan poligami, maka dengan adanya masalah yang nyata di Pengadilan Agama Jakarta Barat, cukup banyak permohonan izin poligami yang disetujui oleh hakim, sehingga sangat mudah sekali melakukan perizinan untuk berpoligami.

Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan syarat yang bersifatnya alternatif merupakan alasan diperbolehkannya melakukan poligami yang sudah dituliskan Pasal 4 ayat (2). Jika seorang istri telah terbukti dan termasuk salah satu pada pasal 4 ayat(2), maka Pengadilan Agama dapat memberi izin terhadap seorang suami untuk melakukan perkawinan poligami, dan Hakim dapat mengabulkan jika persyaratan telah terpenuhi. Pengadilan dapat memeriksa bahwa seorang istri apakah benar tidak dapat melakukan kewajiban sebagai seorang istri, istri mennderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau istri tidak dapat memberikan keturunan.

Pada kasus yang telah terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Barat saksi menjelaskan bahwa istri dapat memberikan 3 (tiga) orang anak yang dimana istri telah memenuhi kewajibannya sebagai istri, dan istri juga tidak menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan ataupun menderita cacat. Jika dilihat istri mampu untuk menjalankan kewajiban seorang istri, dan istri dapat memberikan keturunan 3 (tiga) orang anak.

Jika melakukan perkawinan poligami dikhawatirkan gagal untuk mencapai tujuan perkawinan yang dimana tujuan perkawinan ialah untuk membangun rumah tangga yang Bahagia, kekal, sakinnah, mawaddah, warahmmah. Jika perkawinan poligami dilakukan maka akan menimbulkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga serta terbaginya kasih sayang.

Jika melakukan perkawinan poligami karena nafsu akan cendrung tidak dapat berbuat adil, misalnya pada kasus tersebut istri kedua diperoleh karena memiliki usia yang lebih muda, wajahnya lebih cantik, tubuhnya lebih seksi dari istri pertama, maka syahwat lelaki akan cendrung terhadap istri kedua (Akhyar, 2010).

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia jika seorang suami beragama islam ingin melakukan poligami maka harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama sebagaimana yang sudah tertulis pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, agar para pihak yang berpekara tidak ada yang merasa dirugikan. Keputusan pengadilan dari perkara permohonan (volunter), permohonan yang terdapat sengketa dengan pihak lain permohonan ini merupakan permohonan sepihak, misalnya penetapan perkara dispensasi nikah, poligami, perwalian, isbat nikah dan lain sebagainya, perkara volunteer atau permohonan.

Pada dasarnya perkawinan poligami sampai saat ini masih banyak terjadi dikalangan masyarakat, bahkan banyak laki-laki yang ingin melakukan poligami hanya karena keinginan semata atau menuruti hawa nafsunya, atau juga perempuan yang ingin dinikahi terlihat lebih cantik dan lebih muda dari istri sah nya (Amaliah, 2018). Biasanya yang melakukan poligami tidak sesuai dengan syarat akan berakibat rumah tangga yang tidak harmonis antara istri pertama dengan istri kedua dan antara anak-anak istri pertama dengan anak istri kedua.

Hal ini yang nantinya akan menimbulkan permusuhan yang dimana Allah sangat tidak menyukainya. Melakukan perkawinan poligami hanya karena syahwat biasanya akan cendrung tidak dapat berlaku adil. Poligami sangat sensitive akan timbulnya permusuhan antara istri pertama dengan istri kedua. Dalam surat An-Nisa Ayat� (3) �apabila kalian tidak khawatir dapat berlaku adil terhadap istri-istri, maka nikahilah perempuan yang kamu sukai satu, dua, tiga, dan empat perempuan saja. Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah satu orang perempuan saja, yang demikian lebih dekat pada tidak berbuat dzalim kepadanya.�

Pada dasarnya negara Indonesia menganut asas monogami, bisa dilihat dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, seorang laki-laki hanya diperbolehkan memiliki seorang istri dan begitupun sebaliknya, seorang perempuan hanya diperbolehkannya memiliki seorang suami. Monogami ialah bentuk dimana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan saja, sedangkan poligami yang dimana seorang laki-laki menikahi lebih dari seorang perempuan yang bersamaan yang artinya istri tersebut masih sah dan tidak diceraikan oleh suaminya (Rizkal, 2019).

Berdasarkan pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan memberikan pengecualian bahwa Pengadilan Agama dapat memberi izin kepada suami yang ingin melakukan poligami jika ada persetujuan istri sah, di Indonesia poligami boleh dilakukan apabila suami dapat berlaku adil dan memenuhi alasan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Perkawinan poligami dapat dinyatakan sah oleh hukum apabila seorang suami telah memenuhi persyaratan dan perizinan kepada Pengadilan Agama untuk melakukan perkawinan poligami, tetaapi pada faktanya poligami yang dilakukan di Indonesia bukan asas monogami mutlak, berdasarkan Kompilasi Hukum Islam poligami dibahas pada Pasal 55 sampai Pasal 59, dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa laki-laki yang ingin melakukan perkawinan poligami hanya terbatas dengan 4 (empat) orang Wanita saja, dan dalam Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam jika suami memiliki lebih dari seorang istri tanpa sepengetahuan Pengadilan Agama maka. Perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum tetap.

Pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama berdasarkan pada Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam: a) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. b) Istri menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan ataupun mendertita cacat. c) Istri tidak dapat memberikan keturunan.

Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam merupakan syarat alterntif, berdasarkan dalam Undang-Undang Perkawinan dan Komplasi Hukum islam harus memenuhi salah satu syarat-syarat tersebut, sehingga bisa dijadikan alasan Ke Pengadilan Agama untuk meminta izin melakukan perkawinan poligami. Pengadilan Agama bertugas untuk memeriksa, dan memutus perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang perkawinan, wasiat, warisan yang dilakukan dengan hukum islam adalah Pengadilan Agama. Sebelum Hakim memutus perkara terlebih dulu hakim memeriksa dan mendengarkan para pihak yang berisikan fakta hukum, fakta kronologis, dan penerapan norma hukum baik hukum positif, hukum kebiasaan maupun berdasarkan yurisprudensi.

Permohonan izin poligami yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor Putus 1769/Pdt.G/2022/PA.JB. seorang suami yang mengajukan permohonan ke Pengadilan dengan alasan ingin memperbanyak keturunan. Hal ini alasan yang tidak berdasarkan Undang-Undang sehinggan menimbulkan kerugian bagi rumah tangga dan keluarganya apabila melakukan perkawinan poligami. Karena poligami tidak dilakukan oleh seorang suami secara sendiri hal ini dikarenakan subjektivitas dapat mendominasi orang yang melakukannya (Mursalin, 2007).

Permohonan izin poligami harus melalui izin istri pertama dan diperlakukan Lembaga tertentu untuk melakukan pertimbangan. Lembaga yang berwewenang untuk memutus perkara ialah hakim di Lembaga peradilan. Setelah melakukan pertimbangan dan memenuhi syarat-syarat yang ada pada Pengadilan maka pengadilan akan menyimpulkan memberikan izin atau tidak pada pemohon yang akan melakukan poligami, pengadilan akan memberi izin apabila perkawinan sudah mencapai tujuan perkawinan.

Perkawinan poligami tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur keislaman seseorang, yang dimana beranggapan berpoligami semakin taat posisi agamanya dan semakin berkualitas imannya atau dengan menggap bahwa poligami itu sunnah. Sudah banyak sekali seorang suami yang melakukan perkawinan lebih dari seorang istri atau disebut dengan poligami. Pada kasus ini Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat mengabulkan permohonan izin melakukan poligami demgan menguatkan syarat kumulatif pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun Perkawinan.

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan syarat yang bersifat kumulatif merupakan alasan diperbolehkannya melakukan poligami sebagaimana yang tertulis pada Pasal 5 ayat (1). a) Harus ada persetujuann dari istri sah. b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin kebutuhan istri-istri dan anak-anaknya. c) Adanya jaminan suami mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

Jika salah satu syarat tersebut sudah dibuktikan, maka Majelis Hakim Pengadilan dapat mengabulkan permohonan perizinan untuk melakukan perkawinan poligami dan Pengadilan Agama juga berwewenang untuk memeriksa atau membuktikan apakah seorang istri benar tidak keberatan untuk dipoligami atau suaminya memiliki lebih dari seorang istri.

Pada kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Barat ini saksi menjelaskan bahwa istri dapat memberikan 3 (tiga) keturunan anak, istri memenuhi kewajiban layaknya seorang istri, dan istri tidak menderita penyakit atau cacat badan yang tidak dapat disembuhkan, tetapi istri menyetujui atau istri tidak keberatan bahwa suaminya melakukan perkawinan poligami.

Jika melakukan poligami akan dikhawatirkan gagal untuk mencapai tujuan membangun rumah tangga yang dimana tujuannya bahagia, kekal, harmonis. Apabila perkawinan poligami iitu terjadi maka kedepannya akan berakibat ketidak harmonisan serta terbaginya kasih sayang, dan tidak bisa berlaku adil. Melakukan perkawinan poligami karena syahwat atau hawa nnafsunya saja akan cendrung tidak dapat berlaku adil (Akhyar, 2010).

Dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia jika seorang suami beragama islam lalu ingin melakukan perkawinan poligami maka terlebih dahul harus melakukan izin ke Pengadilan Agama setempat (domisili) sebagaimana telah dijelaskan pada pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahunb 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi �Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki pihak yang bersangkutan�

Menurut penulis, dalam pertimbangan hakim pada permohonan izin poligami di Pengadilan Agama Jakarta Barat dengan Nomor Putusan 1769/Pdt.G/2022/PA.JB hakim mengabulkan permohonan ini meenggunakan Pasal 5 ayat (1) dalam pertimbangannya pada huruf a dimana seorang istri sah dapat memberi izin untuk dipoligami atau istri sah tidak keberatan bahwa suaminya melakukan perkawinan poligami, dan terlihahat dari huruf b Pasal 5 ayat (1) suami bisa menjamin dan sanggup memenuhi kebutuhan istri-istri dan anak-anaknya dalam putusannya pemohon mempunyai penghasilan setiap bulannya sebesar 15.000.000 (lima belas juta rupiah).

 

Kesimpulan

Undang-undang perkawinan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak memberikan izin langsung untuk pernikahan poligami. Hukum perkawinan di Indonesia mengikuti prinsip monogami, di mana satu pria hanya boleh memiliki satu istri. Namun, terdapat keadaan tertentu di mana poligami diizinkan berdasarkan aturan agama Islam di Indonesia. Hukum Islam mengakui poligami dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, seperti keseimbangan perlakuan terhadap istri-istri, kesanggupan finansial, persetujuan dari istri pertama, dan alasan yang diterima oleh pengadilan agama.

Dalam beberapa kasus, pernikahan poligami dapat terjadi tanpa memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh agama maupun undang-undang. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti kurangnya pengawasan, ketidaktahuan, atau pelanggaran terhadap aturan yang berlaku.

 

BIBLIOGRAFI

Ahmad, K. (1995). Nikah Sebagai Perikatan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

 

Akhyar, A. A. (2010). Poligami Tidak Sunah. Jakarta: Stufia Press.

 

Amaliah, N. (2018). Indikasi Sosiologis Terjadinya Poligami Di kalangan Masyarakat Bogor. Mizan: Journal of Islamic Law, 1(1).

 

Arto, M. (2008). Praktek-Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

 

Fikri, A. (2006). Poligami yang tak melukai hati? Mizan Pustaka.

 

Fitri, Y. (2021). Pandangan dan Praktek Berlaku Adil dalam Berpoligami Berdasarkan Pemahaman Surat al-Nisa�Ayat 3 pada Organisasi Global Ikhwan. UIN Ar-Raniry.

 

Imron, A. (2015). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. I, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya.

 

Marzuki, P. M. (2013). Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Mertokusumo, Sudikno.

 

Mursalin, S. (2007). Menolak poligami: studi tentang undang-undang perkawinan dan hukum Islam. (No Title).

 

Pua, B., Karamoy, D. N., & Setlight, M. M. M. (2022). Kedudukan Asas Monogami Dalam Pengaturan Hukum Perkawinan Di Indonesia. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 9(6), 2373�2403.

 

Rizkal, R. (2019). Poligami Tanpa Izin Isteri Dalam Perspektif Hukum: Bentuk Kekerasan Psikis Terhadap Isteri. Jurnal Yustika: Media Hukum Dan Keadilan, 22(01), 26�36.

 

Sapardjaja, K. (2008). Kompendium tentang hak-hak perempuan. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

 

Shidiq, S. (2016). Fikih Kontemporer. Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, 2016.

 

Ulfah, S. M. (2016). PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DENGAN PUTUSAN VERSTEK DI PENGADILAN AGAMA KUDUS (STUDI KASUS NO. 950/PDT. G/2010/PA KDS). STAIN Kudus.

 

Zuhrah, F. (2017). Problematika Hukum Poligami Di Indonesia (Analisis Terhadap UU No. 1 Tahun 1974 Dan KHI). Al-Usrah: Jurnal Al Ahwal As Syakhsiyah, 5(1).

 

Zulfikar, V. F. (2020). Tinjauan Maqashid Syariah Terhadap Syarat Poligami Dalam Pasal 4 Dan 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. IAIN Kediri.

 

 

Copyright holder:

Ferrary Utami, Hanafi Tanawijaya (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: