Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 6, Juni 2023

 

 

ANALISIS YURIDIS HAK WARIS ISTRI (KEDUA) DARI PERKAWINAN YANG MENGGUNAKAN STATUS ASAL-USUL PERKAWINAN PALSU

 

Imaduddin Sakagama, Adi Herisasono

Universitas Sunan Giri

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Banyak kasus terjadi di masyarakat yang menyelundupkan hukum salah satunya pelaksanaan poligami dengan tidak adanya izin poligami dari pengadilan yang membuat perkawinan tersebut dikemudian hari menimbulkan suatu masalah diantaranya terkait waris. Penelitian ini bermaksud untuk (1) menganalisis hasil pertimbangan Majelis Hakim terkait keabsahan dari pernikahan yang menggunakan status palsu pada putusan perkara nomor 339/Pdt.G/2020/PA.Ktb; (2) menganalisis hasil pertimbangan Majelis Hakim terkait hak waris istri (kedua) dari perkawinan yang menggunakan status palsu pada putusan perkara nomor 339/Pdt.G/2020/PA.Ktb. Penelitian ini mempergunakan jenis penelitian hukum normatif dengan memakai bahan hukum primer dan Sekunder dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen. Data yang diperoleh melalui cara studi pustaka akan dikaji secara kualitatif dan disuguhkan secara deskriptif. Penelitian ini menghasilkan simpulan antara lain (1) Hasil pertimbangan Majelis Hakim terkait keabsahan dari pernikahan yangmenggunakan status palsu pada putusan perkara nomor 339/Pdt.G/2020/PA.Ktb, yang mana status perjaka pewaris tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya sebab pewaris telah memiliki istri terdahulu dan belum pernah ada pembatalan perkawinan dari siapapun juga sehingga Majelis Hakim tetap menyatakan sah perkawinan tersebut namun dinilai oleh majelis hakim sebagai perkawinan poligami yang beritikad tidak baik. (2) istri kedua tidak mendapatkan hak waris sebagai ahli waris dikarenakan Majelis Hakim menilai perkawinan poligami yang tidak beritikad baik karena tidak ada izin poligami sehingga Majelis hakim mempedomani Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2019 poin C Kamar Agama angka (1) huruf (f) namun demi keadilan majelis tetap memberikan bagian dari harta peninggalan dari pewaris untuk istri kedua melalui perluasan wasiat wajibah.

 

Kata kunci: Hak Waris; Perkawinan; Palsu.

 

Abstract

Many cases occur in communities that smuggle laws, one of which is the implementation of polygamy in the absence of polygamy permission from the court, which makes the marriage later cause a problem, including related to inheritance. This study intends to (1) analyze the results of the judges' consideration regarding the validity of marriages using false status in case decision number 339/Pdt.G/2020/PA. Ktb; (2) analyze the results of the judges' consideration regarding the inheritance rights of (second) wives from marriages that use false status in case decision number 339/Pdt.G/2020/PA.Ktb. This study uses normative legal research types using primary and secondary legal materials by collecting documents. Data obtained through literature studies will be studied qualitatively and presented descriptively. This study resulted in conclusions, among others: (1) The results of the judges' consideration regarding the validity of marriages using false status in case decision number 339/Pdt.G/2020/PA. Ktb, where the virgin status of the heir is not in accordance with the actual situation because the heir already has a previous wife and there has never been an annulment of marriage from anyone so that the panel of judges still declared the marriage valid but was judged by the panel of judges as a polygamous marriage in bad faith. (2) the second wife does not get the right to inherit as heirs because the Panel of Judges considers polygamous marriage that is not in good faith because there is no polygamy permit so that the Panel of Judges guides the Supreme Court Circular Number 2 of 2019 point C of the Religious Chamber number (1) letter (f), but for the sake of fairness the panel still gives part of the estate of the testator to the second wife through the expansion of the mandatory will.

 

Keywords: Inheritance Rights; Marriage; False

 

Pendahuluan

Manusia sebagai mahkluk sosial membutukan pasangan hidup untuk meneruskan keturunan dan sebelum meneruskan keturunan maka harus ada sebuah perkawinan (Triadi, 2019). Perkawinan adalah peristiwa terpenting di kehidupan manusia dengan segala macam akibat hukumnya (Iqbal, 2018). Perkawinan juga merupakan suatu persekutuan laki-laki dan perempuan yang diakui sah secara hukum yang bertujuan membentuk keluarga yang kekal dan abadi (Munib, 2022). Sehingga ada kumpulan peraturan yang mengatur terkait dalam perkawinan atau yang biasa disebut hukum perkawinan.

Aturan perkawinan di Indonesia sebagaimana pasal 3 ayat mengatur bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia menganut asas monogami yang artinya seorang pria hanya diperbolehkan untuk memiliki satu pasangan, meskipun demikian pada pasal 3 ayat (2) memberikan kesempatan untuk seorang pria melakukan poligami atau memiliki istri lebih dari satu dengan syarat memperoleh persetujuan dari istri terdahulu dan memperoleh izin dari pengadilan agama.

Sedangkan perkawinan resmi adalah yang dilaporkan serta dicatatkan ke pihak berwenang atau KUA/Catatan sipil. Pernikahan siri yang marak terjadi di Indonesia banyak meninggalkan masalah salah satunya yakni terjadinya poligami liar tanpa izin istri terdahulu maupun izin dari pengadilan, bahkan terdapat pula penyelundupan hukum terkait seorang suami yang mempunyai istri lebih dari satu dengan memalsukan identitas dan statusnya di Kantor Urusan Agama (Fahrizal, 2020).

Salah satu contoh kasus penyelundupan hukum dalam perkawinan yang dimuat media elektronik antara lain yaitu Pegawai dengan status PNS di NTB yang dilaporkan ke atasannya karena diduga dengan sengaja melakukan pernikahan sebanyak 7 kali yang diduga melaksanakan pernikahan tersebut dengan melakukan pemalsuan dokumen. Kasus tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat berusaha menyelundupkan hukum dengan cara poligami tanpa adanya izin poligami dari pengadilan, sehingga dari perkawinan tersebut dikemudian hari menimbulkan suatu masalah diantaranya terkait waris sebagaimana berita yang dimuat dimedia elektronik kementrian agama kalimantan selatan yakni gugatan waris oleh penggugat sebagai istri kedua yang di rekonvensi dengan pembatalan nikah oleh anak keturunan dari istri pertama di salah satu Pengadilan di Kalimantan Selatan.

Bagi orang yang menganut agama Islam di Indonesia, waris diatur melalui Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang penyebaran Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, khususnya pada pasal 171 sampai 193. Namun dalam kasus yang dicontohkan penulis, hukum di indonesia belum ada yang mengatur, sehingga Mahkamah Agung RI mengeluarkan SEMA Nomor 2 Tahun 2019 Poin C bagian Kamar Agama angka (1) huruf (f) sebagai acuan bagi Hakim dan aparatur pengadilan dalam menyelesaikan kasus-kasus yang bermula dari poligami tanpa izin dan bertikad tidak baik.

Konsep keadilan yang dikembangkan Teguh Prasetyo (2015) dalam kaitannya dengan keadilan bermartabat adalah Keadilan bermartabat mempertimbangkan perkembangan sistem hukum yang unik di Indonesia. Bagaimana sistem hukum yang positif dalam konteks pengaruh yang sangat kokoh dari tatanan hukum dunia yang ada. Teori keadilan bermartabat mendokumentasikan sikap dalam membangun sistem hukum berdasarkan Pancasila.

Telah Dikemukakan, bahwa sistem hukum Indonesia tidak sepenuhnya tunduk pada sistem hukum tertulis, juga tidak sepenuhnya pada sistem common law, walaupun banyak yang berpendapat bahwa sistem hukum menjunjung tinggi martabat individu hakim sebagai badan atau badan yang membuat hukum. Namun, salah satu ciri yang menonjol dari teori keadilan yang layak adalah bahwa dengan melakukan penyelidikan untuk mengungkap asas dan asas hukum lintas lapisan kasus hukum sebagaimana dibahas di atas, teori keadilan dengan baik menjaga keseimbangan antara pandangan yang berbeda tentang kelas-kelas yurisprudensi. seperti konflik.

Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon, Perlindungan hukum yang melindungi melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ditegakkan melalui sanksi. sehingga fungsi dari perlindungan hukum adalah untuk melindungi rakyat dari bahaya maupun ancaman kejahatan yang dapat merugikan dirinya sendiri (Hadjon, 1987).

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di latar belakang, maka permasalahan yang dibahas adalah: 1) Bagaimana hasil pertimbangan Majelis Hakim terkait keabsahan dari pernikahan yang menggunakan status palsu dalam putusan perkara nomor 339/Pdt.G/2020/PA. Ktb? 2) Bagaimana hasil pertimbangan Majelis Hakim terkait hak waris istri (kedua) dari perkawinan yang menggunakan status palsu dalam putusan perkara nomor 339/Pdt.G/2020/PA.Ktb?

Penelitian ini dapat bermanfaat baik secara teoritik maupun secara praktik; Secara teoritik, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi positif untuk perkembangan ilmu dibidang hukum, khususnya hukum perdata tentang waris. Secara praktik, penelitian ini memberikan informasi kepada masyarakat dan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan permalasahan yang serupa serta menjadi kontribusi dalam menyempurnakan peraturan perundangan untuk melindungi dan memberikan keadilan kepada masyarakat pencari keadilan.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau doktrinal. Fokus penelitian ini untuk melakukan pengkajian dan analisis terhadap hak waris istri (kedua) dari perkawinan dengan menggunakan asal-usul perkawinan palsu dengan pendekatan undang-undang. Penelitian ini memakai bahan hukum primer yaitu putusan pengadilan dan peraturan perundangan yang terkait dan bahan hukum Sekunder yakni buku hukum serta jurnal yang akan dikumpulkan dengan teknik studi pustaka. Data yang diperoleh melalui cara studi pustaka yang dikaji secara kualitatif dan disuguhkan secara deskriptif.

 

Hasil dan Pembahasan

Perkawinan merupakan salah satu upaya yang mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga namun dapat juga dipandang sebagai jalan menuju perkenalan antara sesama yang kemudian menjadi jalan menyampaikan pertolongan antara sesama seperti suami istri saling mengasihi (Santoso, 2016). Dan bertujuan untuk memiliki anak keturunan yang jelas dan terjaga dengan baik, hal ini sangat penting bagi keberlangsungan generasi umat Islam (Manshur, 2017).

Syarat dan rukun merupakan hal-hal yang harus dipatuhi agar suatu proses dapat berjalan dan berhasil. Demikian juga dalam melangsungkan suatu perkawinan, ada syarat dan rukun yang harus dilengkapi agar perkawinan dianggap sah. Di Indonesia, syarat dan rukun perkawinan bagi orang Islam diatur dalam pasal 6 sampai 12 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang telah diubah dengan UU Nomor 16 tahun 2019 jo.Pasal 14 sampai 29 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Pasal 9 UU No 1 tahun 1974 menyebutkan seorang yang masih terikat perkawinan dengan pihak lain maka tidak dapat melaksanakan perkawinan lagi kecuali hal yang disebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU Perkawinan. Pada asasnya perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, yaitu suami hanya diperbolehkan beristri satu. Namun, Pengadilan bisa memberikan izin apabila suami ingin memiliki istri lebih dari satu selama hal tersebut dikehendali oleh para pihak yang bersangkutan. Pemberian izin poligami oleh pengadilan harus disertai oleh pengajuan permohonan suami kepada pengadilan setempat dengan disertai alasan sebagai berikut: (a) Istri tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai istri. (b) Istri memiliki cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. (c) Istri tidak bisa melahirkan keturunan

Meskipun alasan poligami di atas tidak dijelaskan baik dalam UUP beserta pejelasannya terkait ketentuan Pasal tersebut bersifat kumulatif atau alternatif. Sehingga hanya pengadilan (Hakim) yang berwenang menilai alasan tersebut saat memeriksa perkara pemberian izin poligami. Selain itu Pengadilan juga harus meneliti syarat-syarat yang harus dipenuhi suami saat hendak mengajukan izin poligami sesuai ketentuan pasal 5 UUP yaitu sebagai berikut: (1) Persetujuan dari istri atau istri-istrinya. (2) Kemampuan secara materiil dari suami untuk menjamin keperluan istri-istri dan anak-anak mereka. (3) Jaminan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Jika perkawinan poligami tidak dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka perkawinan tersebut tidak dibenarkan secara hukum perkawinan di Indonesia (Rizkal, 2019). Dan apabila poligami dipraktikkan dibawah tangan, maka perkawinan tersebut mungkin hanya sah di mata hukum agama tetapi tidak sah di mata hukum positif sehingga hak keperdataannya tidak mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara baik bagi yang melaksanakan maupun kepada keturunan mereka (Syarifah, 2018).

Tidak ada perlindungan hukum bagi perkawinan poligami dibawah tangan atau poligami tanpa adanya izin poligami juga terlihat didalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No 2 Tahun 2019 Poin C bagian Kamar Agama angka (1) huruf (f) menyatakan bahwa perkawinan poligami yang dilakukan tanpa izin pengadilan dan tidak beritikad baik tidak menimbulkan akibat hukum terhadap hak-hak kebendaan antara suami istri yang berupa nafkah zaujiyah, harta bersama dan waris.

Pada kasus sengketa waris pada kasus nomor 339/Pdt.G/2020/PA.Ktb, Ronald Saragih bin H. Ulung Saragih yang bekerja sebagai kontraktor telah melakukan perkawinan secara Islam dengan Isnawati binti H. Ramli di KUA Kecamatan Satui Kabupaten tanah Bumbu pada tanggal 16 Juli 1995. Tidak lama setelah kematian Ronald Saragih atau sekitar tanggal 16 Maret 2020 datang yang beberapa orang yang menuntut hak waris Ronald Saragih kepada Isnawati, mereka mengaku adalah anak dari perkawinan Ronald Saragih dengan Juwita yang pada saat itu telah meninggal dunia.

Dalam gugatannya, Isnawati menggugat para Tergugat ke Pengadilan Agama Kotabaru terkait agar Penggugat dan anak-anaknya turut menjadi ahli waris dari pewaris yang bernama ronald saragih dan menggugat pembagian harta warisnya dari harta-harta peninggalan dari Ronald Saragih.

Sedangkan dalam jawabannya Para Tergugat mengajukan bantahan yang menyatakan bahwa Penggugat bukan termasuk ahli waris karena telah menikah dengan ayah para tergugat tetapi tanpa izin poligami dari ibu para tergugat serta izin poligami dari pengadilan. Para Tergugat juga menuduh bahwa perkawinan antara penggugat dengan Pewaris adalah tidak sah karena menggunakan status palsu yang mengaku perjaka hingga menghindari aturan izin poligami dari pengadilan.

Pada asasnya, kewarisan dalam Islam menggunakan asas Ijbari, yaitu peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia secara otomatis kepada ahli warisnya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah dalam dalil-dalilNya yang telah bersifat pasti (Hidayah, 2022). Waris dapat dilaksanakan apabila rukun dan syarat waris telah terpenuhi dan tidak ada satu pun hal yang menjadi penghalang untuk mewarisi (Nizar & Rozihan, 2018). Ada 3(tiga) syarat yang telah disepakati oleh ulama yaitu (Ash-Shabuni, 1995): (a) Pewaris (orang yang mewariskan harta) meninggal dunia baik secara nyata maupun menurut hukum; (b) Ahli waris harus masih hidup saat pewaris meninggal dunia. (c) Diketahui adanya kekerabatan dan sebab mewarisi yang merupakan syarat untuk waris.

 

A.    Analisis Hasil Pertimbangan Majelis Hakim tentang Keabsahan Dari Perkawinan yang Menggunakan Status Palsu Pada Putusan Nomor 339/Pdt.g/2020/PA.Ktb.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Selain itu pada pasal 2 ayat (2) dijelaskan bahwa menjadi keharusan setiap perkawinan dilakukan pencatatan. Manfaat dari pencatatan perkawinan yakni untuk memberikan perlindungan hukum berkaitan hak-hak sebagai akibat hukum akibat adanya perkawinan (Julir, 2018). Bagaimana jika pencatatan perkawinan tidak di dasari dengan dokumen-dokumen yang tidak sesuai seperti pada kasus perkara nomor 339/Pdt.G/2020/PA.Ktb.

Menurut majelis hakim Pengadilan Agama Kotabaru yang memeriksa perkara Nomor 339/Pdt.G/20202/PA.mempertimbangkan bahwa Ronald saragih telah melaksanakan perkawinan pada tahun 1995 dengan isnawati di kecamatan satui tanah bumbu dengan status perjaka dan perawan, padahal pada bukti berupa duplikat akta nikah bahwa Ronald saragih telah menikah dengan juita pada tahun 1974 dengan status perjaka dengan janda. Sehingga walaupun secara dokumen,

Ronald saragih tidak melakukan pernikahan poligami namun senyatanya telah melakukan poligami karena Ronald Saragih masih terikat perkawinan dengan Juita karena baru bercerai dengan juita pada tahun 2003. Di dalam pertimbangan majelis hakim pemeriksa perkara tersebut menemukan bahwa selain tidak adanya izin poligami dari Pengadilan Agama namun Majelis hakim juga tidak menemukan adanya upaya atau usaha pembatalan nikah meskipun para tergugat menyatakan keberatan atas poligami ayahnya dan istri kedua yang tidak melalui prosedur izin poligami di Pengadilan Agama, sehingga pewaris dan istri kedua tetap menjadi suami istri dan mendapatkan harta kekayaan yang ternyata harta kekayaan tersebut dimanfaatkan dan dinikmati oleh para Tergugat.

Meskipun para Tergugat menyatakan keberatan namun dari fakta-fakta yang ditemukan oleh majelis hakim, Tergugat IV pernah ikut tinggal bersama dengan ayah kandung bersama istri keduanya, sehingga terlihat Tergugat IV dan pewaris berserta istri kedua hidup rukun sehingga apa yang menjadi keberatan para tergugat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi ketika pewaris masih hidup.

Meskipun dalam gugatan Isnawati, para Tergugat menggugat balik dengan ingin membatalkan pernikahan isnawati dengan Ronald saragih, namun majelis telah mempertimbangkan prosedur pembatalan nikah sebagaimana pasal 38 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga pembatalan nikah tidak dapat dilakukan ketika perkawinan tersebut telah putus karena suami atau istri telah meninggal dunia sebelum adanya putusan pengadilan.

Pertimbangan tersebut karena majelis hakim juga mengacu Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 tahun 2019 poin C Kamar Agama angka (1) huruf (e) sehingga pembatalan perkawinan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima. Meskipun demikian perkawinan antara ronald saragih sebagai pewaris dengan isnawati secara nyata sebagai istri kedua dianggap tetap sah namun dinyatakan sebagai poligami yang bertikad tidak baik.

Menurut penulis pegawai pencatat perkawinan seharusnya bisa meneliti dengan lebih hati-hati terhadap dokumen-dokumen pernikahan termasuk dokumen identitas sehingga tidak terjadi poligami liar di dalam masyarakat, sehingga kasus yang demikian tidak terjadi, meskipun perkawinan yang demikian bisa dibatalkan oleh pihak-pihak yang dirugikan. Keberadaan peraturan perundangan yang mengatur harus ada izin poligami ditujukan untuk mewujudkan ketertiban umum, memberikan perlindungan dan jaminan hukum atas hak-hak dan kewajiban yang timbul akibat dari suatu perkawinan itu sendiri.

Dalam kasus yang diangkat oleh penulis tersirat bahwa pewaris demi menghindari izin poligami dari pengadilan dan yang bersangkutan lebih memilih menulis di dokumen asal-usul perkawinan sebagai perjaka, namun para tergugat tidak pernah melakukan upaya pembatalan perkawinan selama pewaris masih hidup maka sudah sepatutnya dan wajar apabila Majelis Hakim menilai pernikahan Isnawati dan Ronald saragih adalah perkawinan yang sah namun dianggap majelis sebagai perkawinan poligami yang beritikad tidak baik putusan Pengadilan Agama Kotabaru tentang menilai keabsahan perkawinan antara Penggugat yakni Isnawati dengan pewaris yang bernama Ronald Saragih telah sesuai dengan teori keadilan yang bermartabat Prof. Dr. Teguh Prasetyo S.H., M.Si. yang mana menurut penulis putusan tersebut telah berlandaskan pada keadilan dan martabat manusia karena telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap keadilan dan telah melindungi hak-hak mereka.

Putusan tersebut telah memberikan keseimbangan atau proporsional dalam menjaga hak dan memberikan sanksi, dimana dalam putusan tersebut Majelis Hakim tetap menyatakan sah perkawinan antara penggugat dan pewaris karena tidak adanya pembatalan perkawinan yang perkawinan tersebut telah berlangsung kurang lebih 20 tahun dan hidup rukun tanpa adanya perselisihan yang menyebabkan perceraian sehingga mampu bekerja sama dalam mengumpulkan harat kekayaan secara bersama, sehingga putusan tersebut telah melindungi hak dan martabat Penggugat. Selain itu putusan 339/Pdt.G/PA.Ktb juga telah sesuai dengan teori perlindungan hukum dari Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. yang menyatakan bahwa hukum harus memberikan perlindungan yang seadil-adilnya bagi seluruh warga negara.

 

B.     Analisis Hasil Pertimbangan Majelis Terhadap Hak Waris Istri (Kedua) Dari Perkawinan yang Menggunakan Status Palsu Pada Putusan Nomor 339/Pdt.g/2020/PA.Ktb

Bagian waris istri di dalam hukum Islam yaitu Maulana, (2019) jumlah istri, 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga), ataupun 4 (empat), bagian haknya adalah 1/4 (satu per empat) bagian jika pewaris tidak memiliki anak atau 1/8 (satu per delapan) bagian jika memiliki anak dan istri tidak akan terhalang dan kehilangan haknya oleh ahli waris manapun.

Namun, Majelis Hakim pemeriksa, memutus pada perkara 339/Pdt.G/2020/PA.Ktb bahwa Isnawati tidak dapat dijadikan sebagai ahli waris namun tetap mendapat bagian dari harta peninggalan dari pewaris dengan jalur wasiat wajibah. Bahwa dalam pertimbangannya, Majelis Hakim telah menilai bahwa perkawinan antara Ronald Saragih dan Isnawati merupakan perkawinan poligami dengan itikad tidak baik, sehingga Majelis Hakim mengacu Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2019 poin C Kamar Agama angka (1) huruf (f)sehingga menyatakan bahwa isnawati maupun ronald saragih dari perkawinan mereka tidak menimbulkan hak hak kebendaan berupa nafkah, harta waris dan harta bersama.

Sehingga Ronald maupun isnawati tidak dapat saling mewarisi. Hal yang cukup menarik adalah penggunaan Surat Edaran Mahkamah Agung yang mana Surat Edaran Mahkamah Agung merupakan solusi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung agar putusan pengadilan setidaknya mengurangi disparitas dan memiliki kepastian hukum (Hambali et al., 2021). Surat Edaran Mahkamah Agung digunakan hanya untuk memberikan panduan kepada para hakim dan aparatur pengadilan dalam menyelesaikan kasus hukum tertentu yang mana biasanya belum diatur oleh peraturan perundang-undangan, meskipun Surat Edaran ini tidak memeiliki kekuatan hukum yang sama seperti undang-undang namun surat edaran tersebut bisa menjadi acuan bagi Hakim dalam memutuskan perkara (Budianto, 2021).

Tetapi perlu digaris bawahi bahwa Hakim memiliki kewenangan yang independen dalam mengambil keputusan dan tidak terikat dengan Surat Edaran Mahkamah Agung.

Penulis menyadari bahwa Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut memperkuat posisi �izin poligami� melalui pengadilan karena pada asasnya perkawinan adalah monogami sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU Perkawinan. Sehingga menurut penulis Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut hadir dalam rangka sanksi/hukuman atas perilaku masyarakat yang tidak mengindahkan pasal tersebut, sehingga baik suami ataupun istri yang baru maupun terdahulu nantinya tidak ada yang dirugikan.

Hal ini tergambarkan pada putusan perkara yang penulis teliti yakni pada putusan nomor 339/PDT.G/2020/PA.Ktb, yang mana Pewaris �memalsukan� identitas keperjakaannya meskipun telah memiliki istri untuk bisa menikah lagi dengan perempuan lain dan tidak perlu mengurus izin poligami kepada pengadilan agama., meskipun istri kedua telah mengetahui bahwa suaminya telah memiliki istri terdahulu namun tidak pernah mempermasalahkan dan membiarkan �pemalsuan identitas keperjakaan suami� sehingga dalam perkara tersebut terkesan ada permufakatan untuk menyimpangi aturan UU Perkawinan terkait izin poligami dengan cara yang tidak benar, oleh karena itu penulis pun setuju dengan pendapat Majelis Hakim yang menyatakan bahwa isnwati tidak berhak menjadi ahli waris dari pewaris bernama ronald saragih.

Majelis Hakim juga telah memberikan pertimbangan bahwa isnawati tidak dapat menjadi ahli waris dikarenakan Majelis mempedomani Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2019 poin C Kamar Agama angka (1) huruf (f) dan telah menilai perkawinan tersebut merupakan poligami yang tidak beritikad tidak baik.

Namun Majelis melihat dikarenakan tidak ada upaya pembatalan juga dari pihak yang dirugikan hingga pewaris meninggal dunia bahkan pewaris dan istri kedua telah nyata hidup bersama dan rukun mengarungi rumah tangga bersama, hidup berbahagia, merawat pewaris ketika sakit, ikut berjuang untuk mendapatkan harta, bahkan para Tergugat juga ikut menikmati harta hasil kehidupan pewaris dengan Isnawati dan tidak pernah bercerai dengan Ronald Saragih dari tahun 1995 hingga Ronald Saragih meninggal dunia pada tahun 2020 dan Harta Ronald saragih sebagian besar di peroleh pada saat setelah pernikahan kedua, Majelis tetap memberikan bagian dari harta peninggalan dari ronald saragih namun bukan sebagai ahli waris, namun melalui wasiat wajibah.

Dalam pertimbangan majelis hakim dalam putusan 339/Pdt.G/2023/PA.Ktb yang membahas bahwa penggugat tidak bisa dijadikan sebagai ahli waris namun diberikan jalan mendapatkan bagian dari harta peninggalan yakni melalui lembaga wasiat wajibah sebesar 1/3 bagian dari harta waris ronald saragih.

Menurut penulis hasil pertimbangan majelis hakim telah sesuai dengan teori keadilan bermartabat Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. karena putusan tersebut telah memberikan sanksi berupa menyatakan isnawati bukan sebagai ahli waris dari pewaris karena penggugat dinilai melangsungkan perkawinan poligami dengan pewaris dengan itikad tidak baik karena mengetahui tentang memalsukan identitas keperjakaan pewaris karena saat itu penggugat mengetahui pewaris memiliki istri pertama.

Namun Majelis dalam pertimbanganya juga telah memberikan perlindungan dan menjaga hak dan martabat dari penggugat karena dinilai telah hidup rukun selama kurang lebih 20 tahun tanpa ada upaya pembatalan perkawinan hingga pewaris meninggal dunia dan telah bersama mengumpulkan harta kekayaan sehingga majelis hakim tetap memberikan bagian dari harta peninggalan pewaris untuk penggugat namun bukan melalui lembaga waris namun melalui lembaga wasiat wajibah sebesar 1/3 bagian dari total seluruh harta waris.

 

Kesimpulan

Hasil pertimbangan Majelis Hakim terkait keabsahan dari pernikahan yang menggunakan status palsu pada putusan perkara nomor 339/Pdt.G/2020/PA.Ktb yaitu meskipun tidak ada putusan pidana terkait pemalsuan status perjaka dalam identitas pewaris saat menikah dengan istri kedua, namun majelis hakim menilai bahwa status tersebut tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dikarenakan pewaris telah memiliki istri terdahulu dan tidak pernah ada pembatalan perkawinan dari siapapun juga sehingga Majelis Hakim tetap menyatakan sah perkawinan tersebut namun dinilai oleh majelis hakim sebagai perkawinan poligami yang beritikad tidak baik.

Hasil pertimbangan Majelis Hakim terkait hak waris istri (kedua) dari perkawinan yang menggunakan status palsu pada putusan perkara nomor 339/Pdt.G/2020/PA.Ktb yaitu istri kedua tidak mendapatkan hak waris sebagai ahli waris dikarenakan pemalsuan identitas dinilai oleh majelis hakim sebagai upaya untuk menghindari aturan terkait izin poligami sehingga Majelis Hakim menilai perkawinan tersebut sebagai perkawinan poligami yang tidak beritikad baik dan Majelis hakim mempedomani Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2019 poin C Kamar Agama angka (1) huruf (f)yang menyatakan perkawinan poligami tanpa izin tidak menimbulkan hak nafkah zaujiyah, harta bersama dan warisan, namun demi keadilan majelis tetap memberikan bagian dari harta peninggalan dari pewaris untuk istri kedua melalui perluasan wasiat wajibah yang telah diatur dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

 

BIBLIOGRAFI

Ash-Shabuni, M. A. (1995). Pembagian Waris Menurut Islam. Gema Insani.

 

Budianto, M. A. (2021). Tinjauan Maslahah Mursalah Terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Di Lingkungan Mahkamah Agung RI Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya. IAIN Ponorogo.

 

Fahrizal, F. (2020). Analisis putusan-putusan pengadilan agama tentang sengketa permohonan itsbat nikah poligami siri pasca berlakunya Sema Nomor 3 Tahun 2018.

 

Hadjon, P. M. (1987). Perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia: sebauh studi tentang Prinsip-prinsipnya... Bina Ilmu.

 

Hambali, A. R., Ramadani, R., & Djanggih, H. (2021). Politik Hukum PERMA Nomor 1 Tahun 2020 dalam Mewujudkan Keadilan dan Kepastian Hukum terhadap Pemidanaan Pelaku Korupsi. Jurnal Wawasan Yuridika, 5(2), 200�223.

 

Hidayah, S. (2022). Pengelolaan Harta Warisan Antar Ahli Waris (Studi Kasus Gampong Kayukul Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah). UIN Ar-Raniry.

 

Iqbal, M. (2018). AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG DILAKUKAN SECARA ONLINE. Fakultas Hukum UNISSULA.

 

Julir, N. (2018). Pencatatan Perkawinan Di Indonesia Perspektif Ushul Fikih. JURNAL ILMIAH MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi, Dan Keagamaan, 4(1), 53�62.

 

Manshur, A. (2017). Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam. Universitas Brawijaya Press.

 

Maulana, M. I. (2019). Pintar Fiqh Waris Membagi Waris Untuk Dasar Dan Umum. Cet.

 

Munib, A. (2022). Kompilasi Tujuan Perkawinan dalam Hukum Positif, Hukum Adat, dan Hukum Islam. VOICE JUSTISIA: Jurnal Hukum Dan Keadilan, 6(2), 36�48.

 

Nizar, M. C., & Rozihan, R. (2018). Pemahaman Holistik Tentang Hukum Waris Islam: Perspektif Filosofis. Indonesian Journal of Islamic Literature and Muslim Society, 3(1), 37�58.

 

Prasetyo, T. (2015). Keadilan Bermartabat: Perspektif Teori Hukum. Nusa Media.

 

Rizkal, R. (2019). Poligami Tanpa Izin Isteri Dalam Perspektif Hukum: Bentuk Kekerasan Psikis Terhadap Isteri. Jurnal Yustika: Media Hukum Dan Keadilan, 22(01), 26�36.

 

Santoso, S. (2016). Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan Hukum Adat. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam, 7(2), 412�434.

 

Syarifah, M. (2018). Implikasi Yuridis Poligami Bawah Tangan Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jurnal Yustitia, 19(1).

 

Triadi, T. (2019). Proses Perkawinan Menurut Hukum Adatdi Kepulauan Mentawai Di Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ensiklopedia Of Journal, 1(2).

������������������������������������������������

Copyright holder:

Imaduddin Sakagama, Adi Herisasono (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: