Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 6, Juni 2023
PANDANGAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP
TINDAKAN TEMBAK DI TEMPAT OLEH POLISI TANPA ADA PUTUSAN PENGADILAN YANG
BERKEKUATAN HUKUM TETAP
Sherly Budiono, Rasji
Universitas Tarumanagara
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tindakan penembakan di tempat oleh polisi tanpa adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Metode dalam penelitian ini adalah penelitian hukum merupakan usaha ilmiah yang bertujuan untuk mengkaji fenomena hukum tertentu melalui analisis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data. Berdasarkan hasil penelitian, Analisis Penembakan di Tempat oleh Polisi Tanpa Putusan Pengadilan dengan Kekuatan Hukum Tetap Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dapat disimpulkan bahwa polisilah yang seharusnya memberikan perlindungan, perlindungan kepada masyarakat, dan menjadi garda terdepan penegakan HAM, pada kenyataannya melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan menyalahgunakan wewenang atas senjata api tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, namun tetap tidak memperhatikan kode etik Kepolisian yang berlaku, serta dakwaan yang diberikan oleh Penuntut Umum yang tidak sesuai dengan Pasal-Pasal yang seharusnya berlaku, yaitu Pasal 338 KUHP tentang.
Kata kunci: Analisis; Putusan Pengadilan; Hak asasi manusia.
Abstract
This study aims to analyze the action of
shooting on the spot by the police without a court decision that has permanent
legal force based on Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights. The method
in this study is legal research is a scientific endeavor that aims to examine
certain legal phenomena through analysis. The data used in this study are
primary data and data. Based on the results of the research, Analysis of
Shooting on the Spot by the Police Without a Court Decision with Permanent
Legal Force Based on Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights it can be
concluded that it is the police who are supposed to provide protection, shelter
to the community, and be the frontline for enforcement Human Rights, in fact
committing gross human rights violations by abusing the authority over firearms
without a legally binding court decision but still not paying attention to the
applicable Police code of ethics, as well as the charges given by the Public
Prosecutor which are not in accordance with the Articles that should apply,
namely Article 338 of the Criminal Code regarding.
Keywords: Analysis;Court Ruling; Human
rights.
Pendahuluan
Indonesia ialah sebuah bangsa hukum,
berdasarkan UUD 1945 dalam Pasal 1 Ayat (3) berbunyi jika Indonesia merupakan negara hukum yang harus berdasar kepada hukum untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat dan penduduk Indonesia.
Misalnya wujud pelindungan yang bisa dilaksanakan Indonesia terhadap masyarakatnya yaitu jaminan perlindungan terhadap penyalahgunaan senjata api oleh aparat kepolisian yang melakukan penembakan tanpa terdapat kebijakan peradilan dengan kekuatan hukum.
Berdasarkan Pasal 1 ayat
6 UU No. 39 Tahun 1999 mengenai
HAM, dengan jelas dinyatakan jika yang dimaksud dengan penyelewengan HAM yaitu �tindakan individu maupun golongan dengan kesengajaan maupun tanpa disengaja
yang menurut hukum akan menjadi pengurang,
penghambat, pembatas, serta pencabut HAM dari individu maupun
golongan dengan jaminan UU dan tak memperoleh hukum yang tuntas dengan keadilan
dan kebenaran yang berdasar
pada kebijakan hukum� (Budiono & Rasji, 2023).
Faktanya, banyak para penegak
hukum yang masih lalai dalam halnya
hak asasi manusia. Ketika seorang petugas Polisi Resor (Polres) Solok Selatan menembak mati penjudi
Deki Susanto pada 27 Januari
2021, itu adalah kasus petugas polisi
menyalahgunakan senjata api mereka. Menurut
Kepala Bagian Humas Kepolisian
Daerah Sumatera Barat Satake Bayu, Deki Susanto diduga ditembak polisi karena melawan. Namun, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Padang Wendra Rona
Putra mempertanyakan keabsahan
pernyataan tersebut. Sementara itu, video istri korban memberikan informasi yang tidak sesuai dari keterangan
polisi.
Berdasarkan keputusan PN KOTOBARU No. 91/Pid.B/2021/PN Kbr, pada 25 Oktober 2021 oknum polisi yang bernama Kamsep Rianto berpangkat Brigadir dijatuhi pidana 7 (tujuh) tahun pemenjaraan oleh Majlis
Hakim PN Kota Baru, Kab. Solok,
Sumbar. Terdakwa terbukti dengan sah telah menjalankan
kesalahan dengan menganiaya berdasarkan Pasal 354 angka 2 KUHP. Dengan khusus terdapat
pada Pasal 47 Perpolri No.
8 Th. 2009 jika pemakaian senpi hanya diperbolehkan
untuk membela nyawa setiap individu.
Senpi akan dipakai dalam kondisi
tertentu, seperti pertahanan diri terhadap ancaman luka berat atau
kematian dan untuk menghentikan terjadinya kejahatan berat, menurut Peraturan Kapolri (Siregar, 2013).
Kepolisian Republik Indonesia juga memiliki kode etik
yang harus dipatuhi. Salah satu contoh dari
kode etik tersebut terdapat pada Pasal 45 aturan Kapolri No. 8 Th. 2009. Apabila terjadi penyalahgunaan wewenang atas kepemilikan
senjata api, maka kode etik
kepolisian pun ikut dilanggar (Hendra et al., 2019). Dengan adanya
isu itu penulis
ingin menjalankan riset yang berhubungan dengan Analisis Tindakan Tembak di Tempat Oleh Polisi Tanpa Ada Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum
Tetap Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Metode Penelitian
Metode pada penelitian ini ialah Penelitian hukum adalah suatu
usaha ilmiah yang memiliki tujuan dalam meneliti sebuah peristiwa hukum lewat analisa.
Informasi yang dipakai pada
riset tersebut yaitu data primer dan sekunder
yang akan menjadi pelengkap dan pendukung semua jawaban dari
pertanyaan peneliti pada perumusan masalah dalam riset tersebut
(Juliandi & Manurung,
2014).
Alat
pengumpulan data yang digunakan
adalah Surat, arsip, jurnal, dan jenis catatan lainnya dapat dimasukkan dalam materi yang dilombakan. Pendekatan kualitatif ini melibatkan pengumpulan informasi, kualifikasi, kemudian mengikat gagasan yang sejalan terhadap permasalahan bersama-sama serta menyimpulkan agar sampai pada hasilnya.
Hasil dan Pembahasan
HAM yaitu persyaratan pokok didalam hukum yang ada dalam diri masyarakat.
kebijakan HAM berdasar kepada Deklarasi HAM dalam PBB, Konverensi PBB memberi
penjelasan dalam menghapus seluruh tindakan diskriminasi kepada perempuan,
Konverensi PBB mengenai hak Anak, serta sejumlah insterument lainnya yang
menjelaskan tentang HAM (Budiono & Rasji, 2023).
Aswandi, (2019) menjelaskan
definisi HAM yaitu hak dasar yang di akui secara umum menjadi hak yang terdapat
dalam diri setiap individu sebab kodrat dan hakikatnya menjadi manusia. HAM
dikatakan global sebab hak tersebut menjadi sebuah unit atas humanisme dari
individu, terkait dengan suku, ras, gender, umur, kebudayaan, dan keyakinan.
Sementara karakter inheren dikarenakan hak tersebut dipunyai seseorang sebab
eksistensi menjadi setiap orang, bukanlah berasal dari sebuah kuasa. HAM tak
dapat dirampas oleh siapapun (Eko Riyadi, 2019).
Berdasarkan UU No. 2 Th. 2002 mengenai Kepolisian NKRI Pasal 5 angka 1 dan
2� yaitu alat yang bersungsi untuk
melindungi, mengayomi, serta melayani warga negara agar terpelihara sebuah
keamanan negri. Kepolisian NKRI menjadi unit kesatuan untuk menjalnkan peranan
pada ayat (1) (Indonesia & Nomor, 39 C.E.).
Sacipto Rahardjo memaknai pelindungan hukum bahwa �perlindungan hukum yaitu
mengayomi HAM yang rugi karena seseorang dan pelindungi ini diperuntukan
terhadap individu supaya mereka mampu menikmati seluruh hak hukumnya� (Rahardjo, 1993). Maka berdasarkan teori pelindungan hukum tersebut dapat diketahui bahwa
dalam penerapannya upaya tersebut menjadi sebuah wujud pengayoman bagi
seseorang yang membutuhkan dengan mempertimbangkan harkat dan martabat setiap individu dan HAM dalam sektor hukum dengan konsep dasarnya
merupakan Pancasila dan konsep negara hukum (Budiartha, 2016).
Teori tujuan hukum berdasarkan Gustave Radbrunch yakni, kebermanfatan, ada
kepastian, serta keadilan. Gustave Radbrunch mengatakan saat membentuk arah
hukum harus memakai azas prioritas nilai tersebut sebagai tujuan hukumnya.
Dalam 3 nilai itu, ketika ada perbendaan maka menjadikan sebuah korban.
Sehingga, azas keutamaan yang dipakai Gustave Radbrunch wajib dilakukan
berdasarkan runtutannya yaitu; Kebermanfaatan; Kepastian (Erwin & Arpan, 2012).
Analisis dalam penelitian tersebut terdapat 1 kasus terkait. Kejadian pada
kasus ini telah sampai pada tingkat banding di pengadilan. Perilaku menembak
ditempat yang dilakukan oleh polisi perlu menyesuaikan prosedur yang tepat
serta yang lebih penting lagi harus menunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Azas Praduga Tak Bersalah yaitu azas yang berdasar pada Hukum
Acara Pidana Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 8 Th. 1981, diadopsi berdasarkan
UU Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang Nomor 14 Th. 1970)
dengan revisi Undang-Undang Nomor 4 Th. 2004 mengenai Kehakiman lalu digantikan
Undang-Undang Nomor 48 Th 2009.
Pengakuan mengenai azas tersebut berkaitan terhadap HAM yang perlu dijaga
dan dihormati. Hal tersebut menimbulkan konsekuensi pada terangka maupun terdakwanya yang akan berkedudukan sama terhadap polisi
danjaksa, serta hak keduanya perlu
dihormati (Sebayang, 2020). Dalam menjunjung
azas tersebut, maka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah memberi
sejumlah hak yang harus dihargai dan dijaga penegakhukum (Amir, 2020).
Demi terciptanya
keadilan seseorang berhak mendapatkan proses hukum yang sesuai dengan KUHAP. KUHAP terbagi kedalam 3 tahap dalam memeriksa pemidanaan, yakni proses penyelidikan, penuntutan serta memeriksa dipengadilan. Apabila seorang polisi yang tugasnya adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat justru menembak mati seseorang yang seharusnya mendapatkan hak atas proses peradilan hukum acara pidana maka tentunya
ini tidak sesuai dengan teori
keadilan hukum (Yusmad, 2018).
Mengenai sesorang
yang di duga bertindak pidana dan tak menuruti kebijakan polisi maupun melakukan
perlawanan kepada petugas dalam menjalankan
tanggungjawabnya, kata �di duga�
artinya yang berkaitan belum dinyatakan bertindak pidana. UU akan mengakui asas
praduga takbersalah pada pasal 1 angka 14 KUHAP dan memerlukan kebijakan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum mengenai bersalah atau tidaknya individu.
Berdasarkan hasil
penelitian penulis Tindakan
tembak di tempat seolah sebuah vonis
yang diperuntukan terhadap terpidana tanpa persidangan peradian atau putusan pengadilan.
Tindakan ini bukan menjadi sebuah UU, namun sebuah keputusan
seorang aparat. Putusan pengadilan tentunya tidak sama terhadap keputusan
langsung seorang aparat. Putusan Pengadilan lahir melalui suatu proses atau mekanisme yang berlaku yang akhirnya ditetapkan oleh Majelis Hakim, sementara suatu keputusan merupakan suatu pilihan yang ditentukan seorang pihak.
Sebagaimana yang sudah
disebutkan pada latar belakang, yaitu Indonesia yaitu bangsa hukum
yang berlandaskan hukum, sehingga keputusan yang tak terdapat dalam
hukum tak akan dinyatakan benar sementara individu yang belum berhadapan pada sidang peradilan yaitu terdakwa yang bukan pelaku pidana (Andi Sofyan, 2017).
Berdasarkan contoh
kasus yang penulis ambil yaitu kasus
penembakan Deki Susanto, Tuntutan Jaksa/Penuntut Umum dinilai tidak
menyesuiakna KUHP serta dapat merusak sistem
penegakan hukum pidana. Menurut kuasa hukum keluarga
korban Deki Susanto, penerapan
Pasal 359 KUHP mengenai kelalaian tidak tepat dan merupakan kekeliruan fatal sedangkan pasal yang tepat untuk dikenakan yaitu Pasal338 KUHP mengenai pembunuhan.
Penegak hukum
ketika menjalankan tugasnya akan mempergunakan
senjata api dalam sebuah kondisi.
Tetapi terdapat sejumlah rancangan yang perlu dilakukan sebelum menjalankannya supaya tak timbul
pemakaian kekuasaan yang berlebih. Lembaga Amnesty International Indonesia mencatatkan sejumlah 2020 terdapat 402 kekerasan oleh aparat kepolisian pada 15 propinsi. Serta terdapat 20 tindakan pembunuhan diluar hukum karena
dilaksanakan polisi diPapua, dengan korban 29orang.
Komisi bagi
KontraS dan LBH memberi penilaian jika JPU sudah salah saat menuntut, merusak perangkat hukum, sebab adanya penuntutan
terpidana kepada nyawa akan sama
terhadap kasus laka lantas. Menurut
UU No. 16 Th. 2011, LBH yaitu sebuah
badan yang memberi pertolongan
hukum. Pasal 1 ayat 3 UU No. 16 Th. 2011 menjelaskan
LBH menjadi badan yang memebri
pertolongan hukum kepada publik.
Aparat kepolisian
akan diberi hukuman administrasi yang berbentuk PTDH jika akan melakukan pelanggaran KKEP (Tiara Septiani, 2022). Dalam aturan
Kapolri NRI No. 14 Th. 2011 mengenai
KEPP Kepolisian NRI, KEPP yaitu
kebijakan yang menjadi dasar etika dan berhubungan terhadap tindakan atau perkataan
tentang persoalan yang diharuskan, tidak diperbolehkan, patut, maupun tak patut
dilaksanakan oleh aparat kepolisian saat menjalankan tugasnya. Sementara Komisi KKEP yaitu sebuah wadan
dilingkup kepolisian yang akan melakukan pemeriksaan dan pemutusan perkara pada sidang yang melanggar KEPP menyesuaikan pangkat.
Dari hasil
penelitian penulis, putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa Kamsep Rianto tidak objektif dan tidak mencerminkan teori keadilan hukum karena masih memandang
status dan pangkat seseorang.
Demi seseorang yang menjadi
korban mendapatkan keadilan
di mata pengadilan, hukuman yang diberikan kepada terdakwa haruslah menyesuaikan KUHP serta seorang polisi
yang telah melanggar suatu kode etik
profesi kepolisian harus dihukum menyesuaikan
UU yang dijalankan dengan menjalankan sidang komisi kodeetik Polri (Jamal, 2018). Jaksa Penuntut
Umum juga melakukan kekeliruan dengan menjatuhkan seorang terdakwa yang seharusnya dijatuhi Pasal 338 KUHP mengenai tentang Pembunuhan justru dijatuhi Pasal 359 KUHP tentang Kelalaian.
Kesimpulan
Dari
hasil penelitian yang dilaksanakan oleh penelti tentang Analisis Tindakan Tembak di Tempat Oleh Polisi Tanpa Ada Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum
Tetap Berdasarkan UU No. 39
Tahun 1999 mengenai HAM dapat disimpulkan bahwa polisi yang semestinya memberikan perlindungan, pengayoman kepada masyarakat, dan menjadi garda terdepan atas penegakkan HAM, justru melanggar HAM berat dengan cara
menyalahgunakan wewenang atas senjata api
tanpa terdapat keputuran peradilan dengan kekuatan hukum tetapnya tak memerhatikan kode etik Polri
yang berlaku, begitu pula dengan tuntutan yang diberikan JPU tidak menyesuaikan Pasal 338 KHUP mengenai pembunuhan.
Sehingga menimbulkan permasalahan yang dapat merusak keadilan
sistem Hukum Pidana di
Indonesia apabila Jaksa Penuntut
Umum tidak rasional dalam menjatuhkan tuntutan kepada seorang terdakwa. Dalam buku KUHP, Pasal 338KUHP mengenai Pembunuhan dengan bunyi �Barangsiapa
dengan kesengajaan mengambil nyawa seseorang, di ancam oleh pembunuhan akan dipenjara selama 15 tahun.� Seringkali apabila seorang aparat kepolisian melanggar kode etik Polri, dengan
menggunakan jabatan dan koneksi yang dimiliki aparat kepolisian tidak dijatuhkan hukuman menyesuiakan kebijakan UU yang dijalankan.
BIBLIOGRAFI
Amir, M. (2020). Kajian Yuridis Tentang Tembak
Ditempat Terhadap Tersangka Dalam Perspektif Asas Praduga Tidak Bersalah.
Universitas Mataram.
Andi Sofyan, S. H. (2017). Hukum Acara
Pidana Suatu Pengantar. Prenada Media.
Aswandi,
B., & Roisah, K. (2019). Negara hukum dan demokrasi pancasila dalam
kaitannya dengan hak asasi manusia (HAM). Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia,
1(1), 128�145.
Budiartha,
I. (2016). Hukum outsourcing: konsep alih daya, bentuk perlindungan, dan
kepastian hukum. Setara Press.
Budiono,
S., & Rasji, R. (2023). Analisis Tindakan Tembak di Tempat oleh Polisi
Tanpa Ada Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jurnal
Pendidikan Tambusai, 7(1), 7�11.
Eko Riyadi, S. H. (2019). Hukum Hak Asasi Manusia:
perspektif internasional, regional dan nasional. Rajawali Pers.
Erwin, M., & Arpan, A. (2012).
Filsafat Hukum. Raja Grafindo, Jakarta.
Hendra,
H., Rosadi, O., & Wibowo, A. (2019). Pertanggung Jawaban Penyalahgunaan
Senjata Api Oleh Anggota Polri Dalam Pelaksanaan Tugas (Studi Kasus Di Wilayah
Hukum Polda Sumbar). UNES Journal of Swara Justisia, 2(4),
388�399.
Indonesia,
R., & Nomor, U.-U. (39 C.E.). Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor, 16.
Jamal,
A. (2018). Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Asesmen Untuk Mendapatkan
Rehabilitasi Terhadap Oknum Anggota Kepolisian Sebagai Pengguna Narkotika.
UNIVERSITAS BOSOWA.
Juliandi, A., & Manurung, S. (2014). Metodologi
Penelitian Bisnis, Konsep dan Aplikasi: Sukses Menulis Skripsi & Tesis
Mandiri. Umsu Press.
Rahardjo,
S. (1993). Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang sedang berubah. Jurnal
Masalah Hukum, 10, 121.
Sebayang,
S. (2020). Praperadilan Sebagai Salah Satu Upaya Perlindungan Hak-Hak Tersangka
Dalam Pemeriksaan Di Tingkat Penyidikan (Studi Pengadilan Negeri Medan). Jurnal
Hukum Kaidah: Media Komunikasi Dan Informasi Hukum Dan Masyarakat, 19(2),
329�383.
Siregar,
T. E. (2013). Pertanggungjawaban Pidana Polisi Terhadap Tembak Di Tempat Pada
Pelaku Kejahatan Terorisme. Jurnal Mahupiki, 2(01).
Tiara
Septiani, T. S. (2022). Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Oknum Anggota
Polisi Yang Melakukan Penyalahgunaan Narkotika Di Wilayah Hukum Kepolisian
Resor Kota Jambi. Universitas Batanghari.
Yusmad, M. A. (2018). Hukum di Antara
Hak dan Kewajiban Asasi. Deepublish.
Copyright holder: Sherly Budiono,
Rasji (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |