Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 6, Juni 2023

 

TINJAUAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN PADA ANAK DI BAWAH UMUR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

 

Leni Anggraeni, R. Rahaditya

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Indonesia

E-mail: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Berbagai persoalan mengenai tindak pidana kian hari semakin meningkat angka kasus dan juga yang menjadi korban pelaku tindak pidana. Tindakan pidana yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor dari adanya desakan kebutuhan ekonomi hingga pada kondisi yang membahayakan atau melukai korban baik secara fisik maupun psikis. Salah satu tindak pidana yang dapat mencederai secara fisik dan juga psikis adalah tindakan pencabulan khususnya pada anak-anak. Seharusnya anak menjadi prioritas bagi orang tua, masyarakat serta pemerintahan dikarenakan anak yang masih di bawah umur masih dalam perlindungan orang tua dan hukum di Indonesia terutama Undang-Undang Hukum Perlindungan Anak yang sudah jelas di dalamnya anak memiliki haknya sendiri salah satunya yaitu tidak mendapat perlakuan yang senonoh seperti tindak pidana kesusilaan. Pencabulan sendiri memiliki definisi sebagai bentuk aksi atau tindakan dalam meluapkan syahwatnya kepada orang lain dengan paksaan. Tindakan pencabulan yang menjadi sorotan publik saat ini adalah para pelaku yang melancarkan aksinya kepada anak-anak. Adapun terjadinya tindakan pencabulan ini dikarenakan faktor internal dan juga faktor eksternal. Namun demikian, tindakan pencabulan harus tetap diproses oleh hukum karena termasuk dalam hukum pidana dan harus adanya sanksi dan ketentuan putusan perkara pidana dari tindakan pencabulan ini.

 

Kata Kunci: Tindak Pidana, Pencabulan, Anak.

 

Abstract

Various issues regarding criminal acts are increasingly increasing the number of cases and also the victims of criminal acts. Criminal acts that occur are caused by several factors, from the pressure of economic needs to conditions that endanger or injure victims both psychologically is sexual abuse, especially of children. Children should be a priority for parents, society and government because children who are still minors are still uder the protection of parents and the law in Indonesia, especially the Law on Child Protection which is clear in which children have their own rights, one of which is not to receive indecent treatnent such as criminal acts of decency. Sexual abuse itself has a definition as a form of action or action in expressing syahwatnya to others by force. The act of sexual abuse that is in the public spotlight today is the perpetrators who launch their actions on children. The occurrence of this act of sexual abuse is due to internal factors and also external factors. However, the acts of sexual abuse must still be processed by the law because it is included in criminal law and there must be sanstions and provisions for the verdict of the criminal case of this sexual abuse.

 

Keywords: Crime, Obscenity, Children.

 

Pendahuluan

Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI melalui pembukaan UUD 1945 mempunyai cita-cita dan harapan untuk dapat melindungi semua bangsa Indonesia dari segala permasalahan dengan melalui aturan hukum yang berlaku (P.A.F. Lamintang, 1997). Namun, permasalahan yang berkaitan dengan hukum belakangan ini semakin meningkat dengan berbagai kasus atau persoalan dan juga sanksi atau hukuman yang beragam juga dari tindakan yang melanggar hukum tersebut (Abu Huraerah, 2012).

Kejahatan merupakan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang memerlukan penanganan secara khusus, upaya untuk menanggulangi kejahatan tersebut telah dilakukan meskipun dalam kenyataan sangat sulit untuk memberantas kejahatan secara tuntas karena pada dasarnya kejahatan selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat, tentunya permasalahan hukum ikut berkembang seiring dengan perkembangan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Salah satu memicu terjadinya tindak pidana pencabulan dalam hal ini salah karena pesatnya perkembangan arus informasi dan teknologi. Adapun saat ini tindakan kejahatan mengalami peningkatan yang dimana ada dipengaruhi juga dari adanya perkembangan teknologi dan informasi yang menyebabkan banyak hal mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan yang dapat merugikan orang lain atau menyakiti orang lain sehingga pada akhirnya harus berakhir dengan berurusan dengan aturan hukum atau putusan perkara hukum. Persoalan yang bertentangan dengan hukum kian hari kian tinggi, hal ini juga menjadikan sorotan khusus untuk bisa mengendalikan diri agar tidak terjebak atau melakukan tindakan kejahatan yang dapat merugikan diri sendiri maupun juga orang lain.

Pencabulan sendiri memiliki definisi sebagai tindakan seseorang yang memiliki hasrat atau nafsu seksual dan melampiaskannya pada orang yang berapa di sekitarnya dengan cara memaksa korban hingga dirinya mencapai kepuasan tertentu. Tindakan pencabulan sendiri merupakan salah satu tindakan yang termasuk dalam KUHP atau hukum pidana, sehingga jika terdapat kasus pencabulan maka pelaku akan dikenakan sanksi pidana sesuai aturan yang berlaku. Undang-Undang Republik Indonesia tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3) bahwa telah menegaskan jika Indonesia merupakan negara hukum dalam aktivitas kehidupan sehari-hari hingga pada pengambilan keputusan yang dimana jauh dari kata berdasarkan atas kekuasaan saja.

Kehadiran produk hukum di Indonesia menjadikan suatu kompas sebagai pedoman masyarakat dalam beraktivitas dan tentunya agar tidak adanya hal-hal yang menyimpang dilakukan hingga pada terjerat hukum pidana maupun perdata. Penerapan aturan dan kaidah hukum yang dilakukan di seluruh wilayah sudah menjadi bagian penting dari negara demokrasi dan juga negara hukum karena perannya yang besar dalam mengatur kehidupan manusia (M. Nasir Djamil, 2013).

Perlindungan terhadap anak dengan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 5 Tahun 2014, hal ini dipengaruhi oleh pendapat bahwa anak-anak dianggap tidak cukup mampu untuk mengerti bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana atau bahkan anak-anak tidak mempunyai keberanian untuk menolak keinginan pelaku karena adanya ancaman atau iming-iming akan diberikan hadiah. Korban anak pencabulan tentunya akan berdampak pada perkembangan jiwa anak atau dampak psikologis pada anak. Dampak psikologis pada anak akan melahirkan trauma yang berkepanjangan yang kemudian akan melahirkan sikap tidak sehat seperti minder, takut yang berlebihan, perkembangan jiwa anak terganggu dan akhirnya berakibat pada keterbelakangan mental. Hal ini menjadi kenangan buruk bagi anak korban pencabulan.

Kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia sebagai salah satu indikator buruknya kualitas perlindungan terhadap anak, keberadaan anak yang dianggap belum mampu untuk hidup mandiri tentunya hal tersebut sangat membutuhkan orang dewasa, orang tua, masyarakat serta pemerintahan sebagai pelindungnya.

Dalam konteks Indonesia anak dianggap sebagai penerus cita-cita suatu bangsa dan mewakili harapan bagi orang tua, bangsa dan negara. Mereka memainkan peran strategis dan memiliki kualitas unik yang menjamin kelangsungan bangsa di masa depan, oleh karena itu sangat penting untuk memberikan pembinaan sejak dini dan kesempatan yang cukup bagi anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal dalam segala aspek termasuk perkembangan fisik, mental dan sosial. Lebih jauh lagi masa akanak-kanak merupakan periode penting intil membentuk karakter dan kepribadian seseorang, memungkinkan mereka untuk memiliki kekuatan, kemampuan dan ketahanan sepanjang hidup mereka (Maidin Gultom, 2008).

Kejahatan adalah masalah serius yang dihadapi setiap bangsa dan negara secara global karena pasti mengarah pada viktimisasi individu. Masalah kejahatan terus menjadi ancaman yang menakutkan bagi masyarakat, karena kejadiannya seringkali tidak dapat diprediksi dan muncul secara tak terduga di lingkungan dan komunitas yang sebelumnya dianggap aman dari insiden semacam itu.

Meski siapapun dapat menjadi korban tindak pidana perempuan dan anak-anak pada umumnya lebih rentan karena kerentanan fisiknya dibandingkan dengan pelaku yang biasanya laki-laki. Sangat penting bagi orang untuk waspada dan waspada juga terhadap lingkungan mereka. Penting untuk diketahui bahwa kejahatan dapat dilakukan oleh siapa saja terhadap siapa saja tanpa memandang usia atau jenis kelamin. Saat ini peningkatan kejahatan moral seringkali melibatkan kasus pelecehan seksual yang dapat terjadi di antara orang dewasa atau bahkan di antara anak di bawah umur itu sendiri. Pelaku dapat memandang anak di bawah umur sebagai target untuk memuaskan hasrat seksual mereka.

Pelecehan yang dilakukan terhadap sesama anak di bawah umur dapat sangat memengaruhi perkembangan psikologis dan keseluruhan mereka terutama bagi para korban. Konsekuensi psikologid bagi anak-anak dapat mengakibatkan trauma yang berkepanjangan, yang mengarah pada sikap yang merugikan seperti harga diri yang rendah, ketakutan yang berlebihan, gangguan perkembangan mental dan potensi gangguan kognitif jangka panjang. Pengalaman ini dapat menciptakan kenangan yang men yedihkan bagi sang anak.

Oleh karenanya jika ada hal yang tidak sesuai di dalam kehidupan sehari-hari, maka kaidah hukum akan selalu muncul untuk membayangi pihak yang terlibat dalam ketidaksesuaian tersebut. Realita tanpa adanya hukum jika ada hal yang tidak sesuai atau menyimpang, maka konsekuensinya akan hadir dan muncul langsung seketika melakukan tindakan menyimpang tersebut. Salah satu produk hukum di Indonesia yang dapat dikenai terhadap semua orang adanya hukum pidana yang dimana pada intinya dari adanya hukum pidana ini untuk menjadi kendali dan pengawasan masyarakat dalam beraktivitas dan mampu memberi jera atau konsekuensi dari tindakan yang akhirnya bisa dikenakan pidana, selain itu juga dari adanya hukum pidana juga berlandaskan pada UUD 1945 (Undang-Undang, 1945).

Kasus tindakan pencabulan yang terjadi dengan korbannya anak-anak perlu menjadi perhatian khususnya bagi keluarga atau orang terdekat korban untuk bisa mengawasi dari kemungkinan menjadi korban pencabulan, serta adanya ketegasan sanksi pidana juga untuk membuat jera pelaku. Selain itu juga perlu adanya penegasan mengenai hukum yang melindungi korban tindakan pencabulan, karena hal ini juga sangat penting mengingat anak-anak masih memiliki masa depan yang panjang sehingga harus terus diawasi dan dipantau terkait kondisi mental dan sebagainya agar tidak adanya hal yang menjadi kendala atau gangguan ketika menginjak dewasa dan tentunya upaya demi upaya harus dilakukan agar tidak adanya lagi korban yang mengalami tindakan pencabulan dan penerapan hukum yang tegas dapat membantu mengurangi dan mencapai hal tersebut (Hartanto Aji, 2012).

 

Metode Penelitian

Adapun cara yang diterapkan dalam karya tulis ini adalah mengikuti pedoman penelitian kualitatif untuk menjelaskan fenomena yang terjadi dan menjadi fokus dalam penelitian. Adapun dalam hal ini penelitian memerlukan informasi berupa data yang terbagi menjadi data primer yaitu data utama sebagai bahan penelitian dan data sekunder yang merupakan data pendukung dari penelitian. Perolehan data ini dilakukan dengan cara wawancara, pengumpulan referensi ilmiah yang relevan dan juga melakukan kajian dari berbagai macam hasil penelitian maupun keilmiahan lainnya (Undang-Undang, 2014).

Data juga dapat diperoleh dengan pendekatan tinjauan pustaka penelitian yaitu melakukan kajian atau analisis mendalam dari berbagai macam sumber atau referensi yang sebelumnya dikumpulkan dan kemudian dilakukan analisis untuk ditarik kesimpulan mengenai pustaka tersebut yang menjadi kunci dari menjawab pertanyaan yang dicari dalam penelitian (Hammi Farid, 2014). Selain itu juga dapat diperoleh dengan cara pengamatan langsung ke lapangan yaitu melakukan kajian, pengamatan dan analisis terhadap permasalahan yang terjadi dan dikumpulkan datanya langsung dari lapangan. Pengolahan data yang telah dikumpulkan, kemudian dilakukan analisis dan pengolahan dengan pendekatan kualitatif yang dimana menggunakan metode triangulasi yaitu penjabaran sebuah permasalahan yang nantinya menjadi sebuah narasi dengan kondisi titik jenuh dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini (Sulisrudatin, 2018).

Data yang telah diolah kemudian dilakukan penafsiran sesuai dengan kaidah hukum yaitu dengan cara penafsiran hukum maupun kontruksi hukum yang dimana dilakukan secara yuridis kualitatif atau menganalisa berdasarkan objektif, penulisan yang sistematis, serta juga menjabarkan secara umum permasalahan yang diangkat dan kemudian menggambarkan inti dari persoalan yang diangkat dalam penelitian ini (Syaiful Azri, 2001).

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Tinjauan Terhadap Tindak Pidana Pencabulan Pada Anak Di Bawah Umur Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak

Adanya masa reformasi yang saat ini masih terjadi juga menjadi hal yang harus dimanfaatkan momentumnya untuk segera melakukan berbagai upaya dan langkah dalam pelaksanaan penyelesaian persoalan yang saat ini masih belum terselesaikan agar tidak lagi menjadi hantu yang membayangi masyarakat Indonesia sampai kepada generasi yang berikutnya (Muhammad & Abdul, 2001). Oleh karena itu, pelaksanaan reformasi harus bisa dilaksanakan demi mewujudkan visi dan misi dari pembangunan nasional di Indonesia ini dan sekaligus juga harus tetap melakukan langkah strategi untuk menghadapi persoalan yang terjadi.

Pelaksanaan hukum sendiri yang ingin dikembangkan juga merupakan bagian dari proses hukum untuk terus meningkatkan kapasitas adanya hukum, sehingga pelaksanaan aturan hukum pun bisa terus mengikuti zaman dan tentunya menciptakan hukum yang adil dan semua individu sama di mata hukum (Maidin Gultom, 2012).

Setiap aktivitas yang dilaksanakan oleh manusia akan selalu terdapat hal-hal yang berkaitan dengan hukum, sehingga manusia harus selalu bisa berdampingan dengan hukum namun bukan berarti terlibat dalam persoalan yang nantinya akan masuk ke dalam sanksi hukum, selain itu juga perlu adanya pemahaman dari semua aktivitas pasti akan selalu ada konsekuensinya, tidak hanya berkaitan dengan aspek hukum namun juga lainnya seperti moral, normal dan sebagainya.

Dalam hukum pidana terdapat istilah legalitas yang dimana artinya adalah pidana tidak akan dilakukan sebelum adanya peraturan yang membahas mengenai tindak pidana tersebut sehingga, hukuman atau sanksi pidana berdasarkan peraturan yang membahas mengenai persoalan tersebut dan sudah terdapat poin mengenai persoalan dan sanksi pidana dalam peraturan tersebut.

Kendala akan selalu ada dalam pelaksanaan aturan hukum dan tentunya kendala tersebut juga harus selalu bisa dipecahkan persoalannya agar penerapan hukum selalu menjadi hal yang diutamakan ketika terjadinya penyimpangan atau persoalan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, serta tidak adanya individu yang egois merasa tinggi atau merendahkan orang lain (Adami Chazawi, 2005).

Adapun hal yang membedakan antara tindakan kejahatan dan tindakan pelanggaran adalah bahwa tindakan kejahatan jauh lebih berat dan fatal terkait aksi yang dilancarkan, dibandingkan dengan pelanggaran yang tidak jauh lebih berat dari tindakan kejahatan karena biasanya pelanggaran juga karena kecerobohan atau ada unsur tidak sengaja, berbeda dengan tindak kejahatan seringnya karena disengaja dan direncanakan.

Tindak pidana sendiri jika dirumuskan akan memperoleh informasi yang beragam berkaitan dengan bentuk tindakan, alasan tindakan, unsur tindakan dan juga pada akhirnya sifat dakwaan yang akan dikenakan kepada pelaku tindak kejahatan dalam hal ini tindakan penipuan itu sendiri. Pelaksanaan keputusan dakwaan juga baik berat atau ringan mempertimbangkan hal yang berkaitan dengan bentuk pelaksanaan itu sendiri.

Secara teoretik, putusan bebas dalam rumpun hukum Eropa Kontinental lazim disebut dengan istilah putusan �Vrijspraak�, sedangkan dalam rumpun Anglo-Saxon disebut putusan �Acquittal�. Pada dasarnya, esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa atau Penuntut Umum dalam surat dakwaan. Putusan bebas dijatuhkan oleh Majelis Hakim oleh karena dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.Akan tetapi, menurut penjelasan pasal demi pasal atas Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana (Nurini Aprilianda, 2001).

Secara yuridis dapat disebutkan bahwa putusan bebas apabila Majelis Hakim setelah memeriksa pokok perkara dan bermusyawarah beranggapan bahwa :

1.      Tidak adanya ketentuan bukti minimum dalam perkara putusan sehingga dalam persidangan Majelis Hakim akan mengalami kesulitan menentukan putusan perkara dalam hal menentukan putusan berat atau ringan.

2.      Adanya pandangan mengenai bukti yang sedikit sehingga putusan perkara masih banyak ketidakyakinan atau bahkan bisa mundur putusannya.

Secara definisi yang ada saat ini adalah kegiatan yang mengikuti warisan dan turun temurun hingga pada akhirnya diberlakukan aturan atau undang-undang dalam proses metrologi ini sendiri yang memperhatikan aspek timbangan dan takaran untuk semua aktivitas dimanapun adanya takaran dan timbangan.

Hal yang berkembang hukum ingin selalu berkembang seiring dari hal yang berkembang masyarakat. Demikian pula dari persoalan hukum ingin ikut berkembang seiring dari hal yang berkembang persoalan dimana terjadi di masyarakat. Hal yang berkembang masyarakat dimana begitu pesat diiringi dari peningkatan tindakan kriminal dalam suatu aktivitas satu dari lainnya. Membahas mengenai tindakan kriminal yang dimana perbuatan tidak mengikuti aturan yang mengganggu masyarakat (Ignas Brahmanta, 2018).

Melalui putusan Hakim, bahwa segala keputusan perkara hukum harus selalu mempertimbangkan berbagai dakwaan baik yang berat maupun ringan, dan juga tentunya berdasarkan asas kejujuran, keadilan dan hal lainnya dapat sesuai dengan dakwaan dan kaidah hukum yang berlaku.

Berdasarkan dari aturan yang tercantum dalam UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang membahas mengenai kekuasaan dari kehakiman juga membahas bahwa terkait dengan tugas hakim yang merumuskan dan memutuskan perkara pidana dengan melalui berbagai macam proses sehingga sebagai hakim juga harus menyampaikan keputusan yang memang sesuai dengan kaidah hukum dan juga berlandaskan pada keadilan bagi seluruh masyarakat.

Perkara yang berkaitan dengan tindak pidana juga seringnya memberikan hasil yang dilema, namun jika berdasarkan praktik ilmu hukum bahwa pelaksanaan keputusan hukum harus objektif dan mengabaikan nilai atau moral karena mengacu pada aturan yang berlaku, bukan sembarang atau apalagi karena subjektif menilai dari sisi tertentu, yang walau kadang realitanya hakim pun sulit untuk membuat keputusan (Muhammad Sholeh, 2017).

 

B.  Sebab Timbulnya Perkara Tindakan Pencabulan pada Anak

Adapun terjadinya tindakan pencabulan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu yang berasal dari dirinya sendiri (internal pelaku) dan juga dari luar dirinya sendiri (eksternal pelaku), yaitu :

1.    Faktor internal ini dapat dijelaskan bahwa sejauh kejadian adanya tindakan pencabulan pada anak, terjadi karena pelaku memiliki penyimpangan seksual karena adanya permasalahan pada psikis dan juga kejiwaannya sehingga adanya dorongan menyalurkan hasrat seksualnya kepada anak-anak dan menjadi sebuah perkara pidana karena telah melakukan tindakan pidana sesuai dengan yang termuat dalam KUHP mengenai tindakan pencabulan. Oleh karenanya mengenai hal ini, perlu adanya pengawasan ketat dari diri sendiri untuk menghindari jika ada yang mengancam karena tindakan seseorang yang memiliki kejiwaan atau psikis yang tidak normal, agar tidak menjadi korban tindakan pidana dan khususnya tidak menjadi korban tindakan pencabulan yang akan bisa merenggut masa depan dan juga mengganggu mental juga (Mualifin, 2021).

2.    Faktor Eksternal faktor ini juga yang paling berpengaruh terhadap seseorang yang nekat melakukan tindakan pencabulan, yang terbagi menjadi : Kurang atau rendahnya tingkat pendidikan dan juga perekonomian yang sehingga individu atau pelaku tanpa berpikir panjang dalam melakukan tindakan pencabulan. Pada kasus tindak pidana kesusilaan terutama pencabulan yang menjadi pelaku pada umumnya memiliki pendidikan formal yang sangat rendah tersebut para pelaku tidak berpikir bahwa dengan melakukan perbuatan tersebut dapat merugikan pelaku, dan mempermalukan keluarganya. Seseorang yang dalam lingkungan pendidikan yang baik akan mengisi hari-harinya dengan hal yang positif. Dikarenakan pendidikan yang rendah juga maka ia dapat mempengaruhi taraf ekonomi, dimana ekonomi juga menjadi salah satu penyebab seseorang melakukan suatu perbuatan yang melanggar norma hukum. Banyak ditemukan bahwa kebanyakan dari pelaku adalah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan. Pendidikan yang dimaksud bukan hanya pendidikan formal dari sekolah akan tetapi pendidikan dalam arti pengetahuan umum lainnya khususnya di bidang hokum (Sudaryono, 2018).

3.    Lingkungan sekitar tempat tinggal atau masyarakat juga menjadi faktor pendorong dari pelaku yang melakukan tindakan pidana pencabulan hal ini dikarenakan adanya provokator untuk melakukan tindakan pidana tersebut, sehingga mendorong pelaku untuk penasaran hingga pada akhirnya nekat untuk melakukan tindakan pencabulan tersebut, selain itu juga adanya kesenjangan sosial yang terjadi sehingga tidak ada lagi yang mempedulikan dirinya hingga berani untuk melukai orang lain.

4.    Kurang dekatnya dan memahami terkait dengan agama, hal ini dikarenakan jauh atau tidak dekat dengan Tuhan-nya sehingga menjadikan hal-hal yang dilakukan tanpa berpikir bahwa itu benar atau salah, itu baik atau buruk, atau dapat dikatakan imannya lemah karena jauh dari Tuhannya sehingga berani melakukan tindakan pencabulan kepada anak atau melakukan tindakan kejahatan lainnya (Jasmine Sonia, 2016).

5.    Rendahnya pengetahuan atau pemahaman mengenai informasi seksualitas yang dimana jika tidak memahami ilmu atau wawasan mengenai seksualitas hanya berlandaskan pada tidak bisa mengendalikan nafsu, maka hal ini menjadi faktor seseorang untuk melakukan tindakan pencabulan yang dapat melukai atau menyakiti orang lain, sehingga perlu adanya sosialisasi atau penyampaian informasi mengenai pengelolaan diri yang berkaitan dengan seksualitas untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian tindakan pencabulan dan juga tidak adanya lagi korban dari kejadian tindakan pencabulan, atau tindakan kejahatan lainnya yang berkaitan dengan seksualitas.

 

C.  Aturan Hukum dalam Menangani dan Mengatasi Tindakan Pencabulan pada Anak

Aturan hukum yang mengatur untuk menangani dan mengatasi persoalan atau kasus tindakan pencabulan di Indonesia sudah sangat banyak hingga merujuk pada pasal-pasal khusus yang mengatur mengenai sanksi bagi pelaku tindakan pencabulan khususnya kepada korbannya adalah anak-anak (Muhammad Junaidi, 2016). Sebagai contoh salah satu aturan hukum yang termuat dalam KUHP di BAB XIV pada Pasal 289 hingga Pasal 291 yang menjelaskan mengenai pencabulan sudah masuk dalam kategori tindak pidana yaitu kesusilaan (Arief Aditia Firmanto, 2013).

Sedangkan pencabulan terhadap anak diatur dalam Pasal 290 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294 ayat (1) dan Pasal 295 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Serta diatur juga di dalam Pasal 76 E dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan hukum tindak pidana pencabulan anak terhadap anak yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan dalam Pasal 76 E dan Pasal 82.

Pasal 76 : �setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul�.

Pasal 82 ayat (1) : �setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,-00 (lima miliar rupiah)� ayat (2) : �dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)�.

Jika diuraikan, maka unsur-unsur tindak pidana pada Pasal 76 E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yaitu sebagai berikut:

1.      Tiap individu yang menjadi pelaku tindakan pidana pencabulan akan dijatuhkan sanksi sesuai pasal dalam aturan ini.

2.      Melakukan dengan unsur sengaja dalam melakukan tindakan pidana pencabulan kepada anak yang juga dilakukan dengan sadar serta memahami bahwa hal tersebut salah namun tetap dilakukan demi melampiaskan nafsunya.

3.      Melakukan tindakan dengan adanya tindakan lainnya seperti ancaman, adanya kekerasan atau pemukulan, pemaksaan, intimidasi hingga kepada kelancaran aksi tindakan pidana pencabulan baik dilakukan tanpa rencana atau dengan rencana akan mendapatkan hukuman atau sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku dalam KUHP.

Melalui regulasi yang termuat dalam UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Hukum Perlindungan Anak, sudah sepatutnya menjadi hal yang menjamin anak dari adanya tindakan kekerasan dan lainnya sehingga anak bisa terjamin masa depan dan juga merasakan masanya sesuai usianya dan terhindar dari ancaman tindakan pidana seperti menjadi korban pencabulan (Suratin, 2012).

Namun kembali lagi kepada pengawasan ketat dari masing-masing orang tua juga harus terus dilakukan agar menghindari anak menjadi korban tindakan pidana pencabulan dari predator atau pelaku yang terkadang tanpa pandang bulu dan waktu yang penting nafsunya tersalurkan. Sehingga perjalanan antara aturan hukum dan aturan harus selalu beriringan, hal ini guna mengurangi kasus kejadian tindakan pencabulan yang tentunya akan merugikan banyak hal dan bisa menjatuhkan nama negara juga karena tingginya angka tindakan pidana (Hutahaean Bilher, 2013).

 

Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat mengenai tindakan pencabulan yang jika ditinjau lebih mendalam dari penulisan kali ini bahwa terdapat faktor yang menjadi penyebab seseorang melakukan tindakan pencabulan yaitu : (a) Rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi; (b) Lingkungan keluarga; (c) Lingkungan tempat tinggal; (d) Rendahnya pemahaman pada agama; (e) Kurang pemahaman mengenai edukasi seksualitas.

Aturan hukum yang mengatur untuk menangani dan mengatasi persoalan atau kasus tindakan pencabulan di Indonesia sudah sangat banyak hingga merujuk pada pasal-pasal khusus yang mengatur mengenai sanksi bagi pelaku tindakan pencabulan khususnya kepada korbannya adalah anak-anak. Sebagai contoh salah satu aturan hukum yang termuat dalam KUHP di BAB XIV pada Pasal 289 hingga Pasal 291 yang menjelaskan mengenai pencabulan sudah masuk dalam kategori tindak pidana yaitu tindak pidana kesusilaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Aji, Hartanto. �Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pencabulan pada Anak Berdasarkan UUPA Nomor 35 Tahun 2014.� Jurnal Penelitian Hukum. Volume 5, Nomor 1, Juli 2018.

 

Aprilianda, Nurini. Perlindungan Hukum Terhadap Tersangka Anak dalam Proses Penyidikan. Malang: Majalah Hukum Nasional, 2001.

 

Arifin, Muhammad dan Wahid Abdul. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual. Bandung: Reflika Aditama, 2001.

Azri Syaiful, Bukamo Weny. Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jakarta: Rineke Cipta, 2013.

 

Brahmanta, Ignas. �Tinjauan Yuridis Tindak Pencabulan pada Anak.� Jurnal Ilmiah Hukum. Volume 1, Nomor 5, Januari 2021.

 

Bilher Hutahaean. �Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak. Jurnal Yudisial. Volume 6, Nomor 1, Oktober 2013.

 

Chazawi Adami. Tindak pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: Grafindo Persada, 2005.

Djamil Nasir M. Anak Bukan Untuk Di Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

 

Farid, Hammi. �Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Pencabulan pada Anak.� Jurnal Penelitian Universitas Muhammadiyah Gresik. Volume 1, Nomor 2, April 2016.

 

Firmanto, Aditia Arief. �Kedudukan Pidana Kebiri Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia.� Jurnal Hukum Novelty. Volume 8, Nomor 1, Desember 2017.

 

Gultom Maidin. Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan. Bandung: Refika Aditama, 2012.

 

Huraerah Abu. Kekerasan Terhadap Anak. Bandung: Nuansa Cendekia, 2012.

 

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 (Naskah Sesuai Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1959).

 

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

 

Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014.

 

Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

 

Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)

 

Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

 

Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

 

Junaidi, Muhammad. �Semangat Pembaharuan dan Penegakan Hukum Indonesia dalam Perspektif Sociological Jurisprudence.� Jurnal Pembaharuan Hukum. Volume 3, Nomor 1, Maret 2016.

 

Lamintang P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.

 

Mualifin. �Perlindungan Hukum Terhadap Anak di bawah Umur.� Jurnal Penelitian Hukum. Volume 1, Nomor 5, Januari 2021.

 

Sholeh, Muhammad. �Analisis Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Anak Di bawah Umur di Pengadilan Negeri Demak.� Jurnal Hukum Khaira Ummah. Volume 12, Nomor 2, Januari 2017.

 

Sonia Jasmine. �Tindakan Hukum Terhadap Anak yang Melakukan Pencabulan.� Jurnal Hukum UAJY. Volume 1, Nomor 1, Mei 2016.

 

Sudaryono. �Tinjauan Kriminologis Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak.� Jurnal Penelitian Universitas Muhammadiyah Surakarta. Volume 1, Nomor 12, Februari 2018.

 

Sulisrudatin. �Analisis Tindak Pidana Pencabulan pada Anak.� Jurnal Spektrum Hukum. Volume 13, Nomor 2, Oktober 2018.

 

Suratin. �Hukuman bagi Pelaku Tindak Pidana Pencabulan pada Anak.� Jurnal Penelitian Universitas Muhammadiyah. Volume 1, Nomor 12, Juli 2022.

 

Copyright holder:

Leni Anggraeni, R. Rahaditya (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: