Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 6, Juni 2023

 

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERADILAN IN ABSENTIA DENGAN HAK ASASI MANUSIA

 

Adhalia Septia Saputri

Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Prosedur persidangan secara in absentia atau persidangan tanpa kehadiran terdakwa ini menurut hukum yang berlaku di Indonesia diperbolehkan. Dari sisi prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM), prosedur ini memiliki potensi penyimpangan yang besar dalam praktiknya, karena segala kesempatan untuk melakukan pembelaan bagi terdakwanya sudah dikesampingkan. Sementara itu nuansa untuk mendayagunakan prosedur in absentia pada masa transisi Indonesia saat ini telah mengalamai peningkatan, khususnya dalam perkara korupsi yang mendapat dukungan dariopini publik yang bersemangat tinggi untuk memberantas dan mengadili koruptor, terlebih para aktrivis anti korupsi. Terlepas dari kenyataan bahwa perlu diadilinya para terdakwa korupsi ini, secara normatif prosedur in absentia dalam kaitannya dengan hal-hal yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam prinsip-prinsip HAM dalam rangka menghindari terjadinya pelanggaran HAM yang disebabkan oleh semangatnya penegakan hukum itu sendiri. Penegakkan hak asasi manusia (HAM) sehaj berakhirnya abad ke-20 hingga kini masih merupakan topik utama yang menjadi agenda dan manifesto politik dunia. Problem hukum di Indonesia dilihat dari perspektif ini sesungguhnya adalah ketiadaan kepemimpinan yang visioner dan empati terhadap penegakkan hukum dan hak asasi manusia (HAM).

 

Kata kunci: Peradilan in Absentia; Hak Asasi Manusia; Yuridis.

 

Abstract

The trial procedure in absentia or trial without the presence of the defendant according to the applicable law in Indonesia is permissible. In terms of human rights principles, this procedure has the potential for major deviations in practice, because any opportunity to defend the accused has been ruled out. Meanwhile, the nuances for utilizing procedures in absentia during Indonesia's current transition period have increased, especially in corruption cases that have received support from public opinion who are eager to eradicate and prosecute corruptors, especially anti-corruption activists. Despite the fact that it is necessary to try these corruption defendants, normatively the procedure in absentia in relation to things that are allowed and not allowed in human rights principles in order to avoid human rights violations caused by the spirit of law enforcement itself. The enforcement of human rights (HAM) at the end of the 20th century until now is still the main topic that becomes the agenda and manifesto of world politics. The legal problem in Indonesia seen from this perspective is actually the absence of visionary leadership and empathy for law enforcement and human rights (HAM).

 

Keywords: Judiciary in Absentia; Human Rights; Juridical.

 

Pendahuluan

Kemajuan dewasa ini telah melahirkan banyak perubahan. Segi-segi sosial kemasyarakatan yang semula dianggap suatu hal yang dilarang, akibat modern larangan-larangan itu mudah sekali dilewati. Bahkan sesuatu yang sebelumnya dianggap wilayah yang tidak mungkin berubah, telah mudah berubah dengan sendirinya, seperti: mengenai tradisi-tradisi keagamaan, relasi social, praktisi politik, dan hukum. Situasi yang demikian memunculkan pilihan yang sulit.

Mengikuti irama dan suasana modernitas dan bahkan globalisasi, meniscayakan lahirnya perubahan sosial yang radikal (Prihartono, 2003). Berbicara mengenai modernitas, kemajuan teknologi, dan perubahan sosial akan semakin menarik jika memasuki wilayah disiplin hukum (Manalu, 2021). Disiplin hukum sebagai suatu disiplin yang meniscayakan adanya kepastian, formalitas, dan pembakuan yang akan mengalami kesulitan jika dipahami dengan satu perspektif saja.

Peradilan in absentia adalah proses hukum di mana terdakwa tidak hadir dalam persidangan saat persidangan berlangsung. Istilah Latin "in absentia" berarti "dalam ketidakhadiran". Peradilan in absentia dapat dilakukan dalam berbagai kasus, seperti ketika terdakwa kabur atau tidak dapat dihadirkan ke persidangan karena alasan tertentu. Namun, penggunaan peradilan in absentia juga memicu kekhawatiran dan kontroversi terkait hak asasi manusia. Beberapa negara mengizinkan peradilan in absentia dalam kasus pidana, namun harus memenuhi syarat dan prosedur yang ketat.

Sebagai contoh, di Perancis, terdakwa harus memiliki alasan yang sah untuk absen, seperti sakit atau tugas penting yang tidak dapat ditunda. Selain itu, terdakwa harus diberikan kesempatan untuk memberikan bukti dan kesaksian secara tertulis. Namun, di beberapa negara, peradilan in absentia dapat menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia (Muntahar, Ablisar, & Bariah, 2021). Sebagai contoh, dalam kasus hukuman mati, terdakwa harus hadir di persidangan untuk mempertahankan diri dan menghindari eksekusi yang tidak adil.

Tidak adanya terdakwa dalam persidangan juga bisa membawa dampak negatif pada mutu keputusan pengadilan, karena terdakwa tidak dapat membela diri secara langsung atau menjawab pertanyaan hakim. Hal ini dapat mengarah pada pembebasan yang salah, atau pemidanaan yang tidak adil. Dalam konteks hak asasi manusia, peradilan in absentia dapat melanggar hak terdakwa untuk mempertahankan diri dan menghadapi dakwaan dengan adil dan setara (Yudi Krismen & SH, 2022). Sebagai contoh, Pasal 14 (3) (d) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menjamin hak seseorang untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah sesuai dengan hukum dalam sidang yang diadakan di depan hakim yang independen dan tidak memihak.

Dalam konteks perlindungan hak tersebut, peradilan in absentia dapat dilihat sebagai mengancam keamanan hukum, dan hak asasi manusia yang melindungi individu. Dalam kesimpulannya, peradilan in absentia dapat berguna untuk mempertahankan fungsi hukum dan keamanan masyarakat dalam beberapa kasus khusus, namun penggunaannya harus tunduk pada persyaratan dan regulasi yang ketat, serta memperhatikan hak-hak asasi manusia yang harus dihormati dalam setiap proses peradilan. Proses peradilan dalam in absentia ini dapat diterapkan dalam kasus Tipikor Tipikor merupakan tindak pidana yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri atau pun kelompok yang di mana kegiatan tersebut melanggar hukum dan sudah pasti akan merugikan bangsa dan negara (Sipahutar, Hasundungan, & Yasid, 2022).

Selanjutnya, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) Apa hakekat peradilan in absentia terhadap hak asasi manusia (HAM), 2) Bagaimana regulasi di Indonesia mengatur mengenai peradilan in absentia, dan 3) Mengapa diperlukan konsep peradilan in absentia dalam hukum pidana di Indonesia.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode dengan penelitian yuridis normatif (Huda & S HI, 2021). Penelitian yuridis normatif tersebut dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan, yaitu: pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konsep (concept approach), dan studi kasus (case study). Teori-teori hukum yang digunakan sebagai pisau analisis terhadap ketiga rumusan masalah tersebut adalah Teori Kepastian Hukum (TheTheory of Legalk Certainty) dan Teori perlindungan Hukum (The Theory of Legal Protection).

 

Hasil dan Pembahasan

Tinjauan Yuridis terhadap Peradilan in Absentia dengan HAM adalah penilaian dari segi hukum dan hak asasi manusia terhadap proses pengadilan di mana terdakwa tidak hadir atau tidak dapat dihadirkan dalam persidangan (Al Masyhur, Pemayun, Pertiwi, & Arta, 2021). Peradilan in absentia terjadi ketika terdakwa menolak hadir dalam persidangan atau tidak dapat dihadirkan karena berbagai alasan seperti kabur, meninggal dunia atau tidak diketahui keberadaannya. Dalam hal peraturan perundang-undangan, di Indonesia selain harus tunduk kepada peraturan yang bersifat umum, harus juga tunduk kepada peraturan yang bersifat khsusus. Peraturan yang bersifat khusus ini juga mengatur mengenai peradilan in absentia (Purwanta, Dewi, & Karma, 2021).

Dalam konteks hak asasi manusia, peradilan in absentia dapat menimbulkan kekhawatiran karena terdakwa tidak dihadirkan dalam persidangan yang dapat menghasilkan putusan yang tidak adil dan mengabaikan hak atas pembelaan diri. Namun, peradilan in absentia dapat dilakukan dalam keadaan tertentu menurut UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pada prinsipnya, peradilan in absentia harus memenuhi persyaratan dan garis besar yang telah ditetapkan yaitu kesempatan untuk membela diri, hadirnya penasihat hukum, bukti-bukti yang cukup, dan keputusan yang disampaikan secara terbuka dan jelas. Dalam konteks HAM, peradilan in absentia dapat melanggar hak atas kebebasan, hak atas persamaan di depan hukum, hak atas pengadilan adil dan hak atas pembelaan diri.

Namun, apabila peradilan in absentia dilakukan dengan jaminan para terdakwa untuk mendapatkan kesempatan untuk membela diri secara efektif, maka proses pengadilan tersebut masih sesuai dengan standar HAM. Dalam praktiknya, peradilan in absentia masih menjadi kontroversial dan sering menimbulkan perdebatan. Terdapat beberapa kasus di mana terdakwa diadili in absentia yang dianggap tidak memenuhi standar HAM dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlu ada keterbukaan informasi dan transparansi dalam proses pengadilan in absentia serta perlindungan atas hak-hak terdakwa agar terjamin keadilan dalam persidangan.

Di Indonesia, regulasi peradilan in absentia diatur dalam Pasal 149 UU No. 8 tahun 1981 Tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa "apabila 2 (dua) kali panggilan tidak hadir secara sah terdakwa, maka sidang dapat dilanjutkan dalam keadaan terdakwa tidak hadir dan dianggap telah berbuat pembelaannya sendiri.". Namun demikian, peradilan in absentia hanya dapat dilakukan dalam beberapa kondisi, yaitu: (a) Terdakwa sudah diberitahukan secara sah tentang jadwal sidang dan panggilan kedua. (b) Terdakwa tidak hadir dalam sidang karena alasan yang dapat diterima (misalnya sakit atau berhalangan karena ada tugas penting yang tidak dapat ditinggalkan). (c) Terdakwa diberikan kesempatan untuk memberikan pembelaan atau mengajukan alasan ketidakhadirannya dalam sidang. (d) Terdakwa dapat mengajukan banding atau kasasi jika mereka merasa pengadilan telah melakukan keputusan yang tidak adil.

Namun demikian, peradilan in absentia tidak dapat digunakan dalam kasus-kasus yang dianggap serius (misalnya kasus pembunuhan atau teroris) atau jika terdakwa merupakan orang asing dan pengadilan tidak dapat memastikan bahwa mereka telah diberikan perlindungan hukum yang cukup. Ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan peradilan in absentia dan memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan setara di depan hukum. Konsep peradilan in absentia diperlukan dalam hukum pidana di Indonesia karena dalam beberapa kasus, tersangka atau terdakwa tidak dapat hadir di persidangan karena alasan tertentu seperti sakit atau kabur dari pihak berwenang.

Dalam keadaan seperti itu, peradilan in absentia memungkinkan pengadilan untuk tetap mengadili kasus tersebut bahkan jika tersangka atau terdakwa tidak hadir di persidangan (Ardhyansah, 2020). Selain itu, konsep peradilan in absentia juga memungkinkan pengadilan untuk mempercepat proses peradilan dan mencegah penyimpangan dalam proses hukum. Dalam beberapa kasus, penundaan persidangan bisa sangat mempengaruhi kasus, terutama jika bukti-bukti atau saksi-saksi kunci tidak dapat dipertahankan. Terlebih dalam proses peradilan pidana, keberadaan terdakwa adalah mutlak (Akli, 2020).

Namun, penting untuk diingat bahwa peradilan in absentia juga dapat membahayakan hak-hak tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, pengadilan harus memastikan bahwa mereka memberikan kesempatan yang adil bagi tersangka atau terdakwa untuk menyampaikan pembelaan mereka, bahkan jika mereka tidak hadir di persidangan. Pada Hakekatnya proses penyelenggaraan peradilan pidana melalui implementasi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil (Andi Sofyan, 2017).

Dalam kerangka ini, ada 2 (dua) kepentingan yang harus diperhatikan, yaitu: kepentingan negeri dan kepentingan para pencari keadilan (terdakwa). Kedua kepentingan tersebut harus dijaga dan dijamin keseimbangannya oleh hukum acara pidana. Dengan adanya 2 (dua) kepentingan tersebut, peradilan in absentia mengalami persoalan yang serius. Hal ini dikarenakan adanya pro dan kontra terhadap terdawak seperti pada kasus korupsi (terdakwa koruptor). Di satu sisi, peradilan in absentia dapat mempercepat proses peradilan agar dapat segera mungkin mengembalikan aset negara (kerugian negara); di sisi lainnya dengan adanya peradilan In absentia ini terhadap terdakwa yang memanfaatkan peradilan In absentia untuk melarikan diri ke luar negeri (DPO) (Deramayati & Wicaksana, 2021).

Praktik penyelenggaraan peradilan pidana pada masa sebelum berlakunya KUHAP pada tahun 1981 dinilai telah mengukir lembaran hitam, terutama seklai dalm hal perlindungan hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana. Penyelenggaraan peradilan pidana pada masa itu menggantungkan diri pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman colonial Belanda. Disadari pada semasa berlakunya Het Herziene Indonesicshe Reglement (HIR) sebagai landasan hukum proses penyelesaian perkara pidana telah terjadi penyalanggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (Budi Rizki, 2020). Bukan hanya karena mereka tidak mampu memantapkan pelaksanaan tugasnya masing-masing, melainkan juga karena tidak dapat melaksanakan tujuannya dengan baik sebagai bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system).

Keadaaan demikian tidak hanya menimbulkan konflik wewenang di antara para aparat penegak hukum. Konflik tersebut terutama sekali tampak dalam masalah penagkapan dan penahanan yang justru seharusnya ditangani secara hati-hati untuk menjamin harkat dan martabat terdakwa sebagai manusia, walaupun secara yuridis formal, pelaksanaan peradilan in absentia telah diatur di dalam Pasal 38 ayat (1) UU No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Girsang & Hatta, 2023).

Sesuai dengan tujuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang lebih adil dan baik yang memberikan perlindungan kepada HAM dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam KUHAP ini mengatur lebih banyak persoalan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. KUHAP ini tidak saja memuat tentang tata dari suatu proses pidana, tetapi kitab ini pun juga memuat hak dan kewajiban dari terdakwa yang ada dalam sutau proses pidana.

Banyak pihak mengakui bahwa secara substantif KUHAP sudah memberikan perlindungan yang baik terhadap hak-hak terdakwa, seperti: hak untuk mendapatkan bantuan hukum, hak untuk dianggap tidak bersalah sebelum kasusnya diputuskan oleh pengadilan atau praduga tak bersalah (presumption of innocence), dan sebaigainya. Oleh karena itu, wajar jika pada waktu kelahiran KUHAP dianggap sebagai karya yang luar biasa lembaga legislatif dalam proses pembangunan hukum di tanah air (WAHYUDI, 2022).

Dengan demikian, bahwa cita-cita KUHAP masih tetap dalam kerangka idealitas. Bahkan ada yang menyatakan bahwa dalam realisasinya hampir tidak ada perbedaan yang cukup berarti antara zaman HIR dan zaman KUHAP. Dengan kata lain, berbagai bentuk praktik kekerasaan, ancaman kekerasan, manipulasi, kolusi, dan korupsi masih mewarnai proses penyidikan di Indonesia.

 

Kesimpulan

Peradilan in absentia adalah proses pengadilan di mana terdakwa tidak hadir dalam persidangan secara sukarela atau karena tidak dapat dihadirkan. Dalam situasi ini, pengadilan akan tetap dilanjutkan tanpa kehadiran terdakwa dan putusan akan dijatuhkan berdasarkan bukti-bukti yang telah disajikan kepada pengadilan. Dalam konteks ham (hak asasi manusia), peradilan in absentia dapat terjadi jika terdakwa yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia, seperti penyiksaan atau penghilangan orang secara paksa, tidak dapat dihadirkan karena bersembunyi atau sedang dipenjara atau bahkan telah meninggal dunia.

Namun, peradilan in absentia terhadap kasus ham sering kali menjadi kontroversial dan kontes karena banyak dianggap melanggar prinsip dasar keadilan, yaitu hak atas pembelaan yang adil. Dalam banyak kasus, hakim percaya bahwa terdakwa tidak dapat dipresentasikan dan oleh karena itu tidak dapat mempertahankan diri, membuat upaya hukum menjadi tidak adil dan rentan terhadap kesalahan. Oleh karena itu, pengadilan harus berhati-hati dan harus mempertimbangkan dengan cermat apakah peradilan in absentia akan lebih membatalkan daripada memenuhi rasa keadilan.

Di Indonesia, regulasi peradilan in absentia diatur dalam Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa "apabila dua kali panggilan tidak hadir secara sah terdakwa, maka sidang dapat dilanjutkan dalam keadaan terdakwa tidak hadir dan dianggap telah berbuat pembelaannya sendiri.". Namun demikian, peradilan in absentia hanya dapat dilakukan dalam beberapa kondisi, yaitu: (1) Terdakwa sudah diberitahukan secara sah tentang jadwal sidang dan panggilan kedua. (2) Terdakwa tidak hadir dalam sidang karena alasan yang dapat diterima (misalnya sakit atau berhalangan karena ada tugas penting yang tidak dapat ditinggalkan). (3) Terdakwa diberikan kesempatan untuk memberikan pembelaan atau mengajukan alasan ketidakhadirannya dalam sidang. (4) Terdakwa dapat mengajukan banding atau kasasi jika mereka merasa pengadilan telah melakukan keputusan yang tidak adil.

Namun demikian, peradilan in absentia tidak dapat digunakan dalam kasus-kasus yang dianggap serius (misalnya kasus pembunuhan atau teroris) atau jika terdakwa merupakan orang asing dan pengadilan tidak dapat memastikan bahwa mereka telah diberikan perlindungan hukum yang cukup. Ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan peradilan in absentia dan memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan setara di depan hukum.

Konsep peradilan in absentia diperlukan dalam hukum pidana di Indonesia karena dalam beberapa kasus, tersangka atau terdakwa tidak dapat hadir di persidangan karena alasan tertentu seperti sakit atau kabur dari pihak berwenang. Dalam keadaan seperti itu, peradilan in absentia memungkinkan pengadilan untuk tetap mengadili kasus tersebut bahkan jika tersangka atau terdakwa tidak hadir di persidangan.

Selain itu, konsep peradilan in absentia juga memungkinkan pengadilan untuk mempercepat proses peradilan dan mencegah penyimpangan dalam proses hukum. Dalam beberapa kasus, penundaan persidangan bisa sangat mempengaruhi kasus, terutama jika bukti-bukti atau saksi-saksi kunci tidak dapat dipertahankan. Namun, penting untuk diingat bahwa peradilan in absentia juga dapat membahayakan hak-hak tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, pengadilan harus memastikan bahwa mereka memberikan kesempatan yang adil bagi tersangka atau terdakwa untuk menyampaikan pembelaan mereka, bahkan jika mereka tidak hadir di persidangan

 

 

BIBLIOGRAFI

Akli, Zul. (2020). Peradilan In Absentia terhadap Terdakwa yang Belum Di-periksa pada Tingkat Penyidikan dalam Perkara Tindak Pi-dana Korupsi. REUSAM: Jurnal Ilmu Hukum, 8(1), 52�68.

 

Al Masyhur, Sayyid Umar, Pemayun, Tjokorda Istri Kumari Maharatu, Pertiwi, Luh Putu Rahayu Gita, & Arta, Komang Giri. (2021). Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Perspektif Hukum, 16�35.

 

Andi Sofyan, S. H. (2017). Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Prenada Media.

 

Ardhyansah, Risky Fany. (2020). Penyidikan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Sebuah Alternatif Penerapan Asas Peradilan Cepat). Jurnal Idea Hukum, 6(1).

 

Budi Rizki, Husin. (2020). Studi Lembaga Penegak Hukum. Studi Lembaga Penegak Hukum.

 

Deramayati, Tiara Yahya, & Wicaksana, Satria Unggul. (2021). Peradilan In Absentia Dalam Tindak Pidana Korupsi dan Hak Pembelaan Terdakwa dalam Perspektif HAM. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 7(2), 570�591.

 

Girsang, Ardiansyah, & Hatta, Muhammad. (2023). Pelaksanaan Peradilan In Absentia di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh. Cendekia: Jurnal Hukum, Sosial Dan Humaniora, 1(2), 107�131.

 

Huda, Muhammad Chairul, & S HI, M. H. (2021). Metode Penelitian Hukum (Pendekatan Yuridis Sosiologis). The Mahfud Ridwan Institute.

 

Manalu, Napoleon. (2021). Teologi Dan Teknologi Dalam Pandangan Sekuralisasi Di Era Post Modernitas. JURNAL KADESI, 3(2), 51�84.

 

Muntahar, Teuku Isra, Ablisar, Madiasa, & Bariah, Chairul. (2021). Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum, 2(1), 49�63.

 

Prihartono, Dwiyanto. (2003). Sidang tanpa terdakwa: dilema peradilan in absentia dan hak asasi manusia.

 

Purwanta, I. Wayan Kusuma, Dewi, Anak Agung Sagung Laksmi, & Karma, Ni Made Sukaryati. (2021). Akibat Hukum Bagi Prajurit TNI Melakukan Tindak Pidana Desersi Yang Diputus In Absentia Dalam Praktek Pengadilan Militer Iii-14 Denpasar. Jurnal Konstruksi Hukum, 2(1), 123�127.

 

Sipahutar, Rupus Agustinus, Hasundungan, David Christian, & Yasid, Muhammad. (2022). Aspek Kerugian Keuangan Negara Dalam Hubungannya Dengan Pidana Denda Pada Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. JURNAL RETENTUM, 3(2), 216�229.

 

WAHYUDI, HENDRA. (2022). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Temanggung). Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

 

Yudi Krismen, U. S., & SH, M. H. (2022). Sistem Peradilan Pidana Indonesia. PT. RajaGrafindo Persada-Rajawali Pers.

 

Copyright holder:

Adhalia Septia Saputri (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: