Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 6, Juni 2023
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERADILAN IN
ABSENTIA DENGAN HAK ASASI MANUSIA
Adhalia Septia Saputri
Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara
Jakarta Raya, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Prosedur persidangan secara in absentia atau persidangan tanpa kehadiran terdakwa ini menurut hukum yang berlaku di Indonesia diperbolehkan. Dari sisi prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM), prosedur ini memiliki potensi penyimpangan yang besar dalam praktiknya, karena segala kesempatan untuk melakukan pembelaan bagi terdakwanya sudah dikesampingkan. Sementara itu nuansa untuk mendayagunakan prosedur in absentia pada masa transisi Indonesia saat ini telah mengalamai peningkatan, khususnya dalam perkara korupsi yang mendapat dukungan dariopini publik yang bersemangat tinggi untuk memberantas dan mengadili koruptor, terlebih para aktrivis anti korupsi. Terlepas dari kenyataan bahwa perlu diadilinya para terdakwa korupsi ini, secara normatif prosedur in absentia dalam kaitannya dengan hal-hal yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam prinsip-prinsip HAM dalam rangka menghindari terjadinya pelanggaran HAM yang disebabkan oleh semangatnya penegakan hukum itu sendiri. Penegakkan hak asasi manusia (HAM) sehaj berakhirnya abad ke-20 hingga kini masih merupakan topik utama yang menjadi agenda dan manifesto politik dunia. Problem hukum di Indonesia dilihat dari perspektif ini sesungguhnya adalah ketiadaan kepemimpinan yang visioner dan empati terhadap penegakkan hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Kata kunci: Peradilan in Absentia; Hak Asasi Manusia; Yuridis.
Abstract
The trial procedure in absentia or trial
without the presence of the defendant according to the applicable law in
Indonesia is permissible. In terms of human rights principles, this procedure
has the potential for major deviations in practice, because any opportunity to
defend the accused has been ruled out. Meanwhile, the nuances for utilizing
procedures in absentia during Indonesia's current transition period have
increased, especially in corruption cases that have received support from
public opinion who are eager to eradicate and prosecute corruptors, especially
anti-corruption activists. Despite the fact that it is necessary to try these
corruption defendants, normatively the procedure in absentia in relation to
things that are allowed and not allowed in human rights principles in order to
avoid human rights violations caused by the spirit of law enforcement itself.
The enforcement of human rights (HAM) at the end of the 20th century until now
is still the main topic that becomes the agenda and manifesto of world
politics. The legal problem in Indonesia seen from this perspective is actually
the absence of visionary leadership and empathy for law enforcement and human
rights (HAM).
Keywords:
Judiciary
in Absentia; Human Rights; Juridical.
Pendahuluan
Kemajuan dewasa ini telah
melahirkan banyak perubahan. Segi-segi sosial kemasyarakatan yang semula dianggap suatu hal yang dilarang, akibat modern larangan-larangan itu mudah sekali dilewati.
Bahkan sesuatu yang sebelumnya dianggap wilayah yang tidak mungkin berubah,
telah mudah berubah dengan sendirinya, seperti: mengenai tradisi-tradisi keagamaan, relasi social, praktisi politik, dan hukum. Situasi yang demikian memunculkan pilihan yang sulit.
Mengikuti irama dan suasana modernitas dan bahkan globalisasi, meniscayakan lahirnya perubahan sosial yang radikal (Prihartono, 2003). Berbicara mengenai
modernitas, kemajuan teknologi, dan perubahan sosial akan semakin
menarik jika memasuki wilayah disiplin hukum (Manalu, 2021). Disiplin hukum
sebagai suatu disiplin yang meniscayakan adanya kepastian, formalitas, dan pembakuan yang akan mengalami kesulitan jika dipahami dengan satu perspektif saja.
Peradilan in
absentia adalah proses hukum
di mana terdakwa tidak hadir dalam persidangan
saat persidangan berlangsung. Istilah Latin
"in absentia" berarti "dalam ketidakhadiran". Peradilan in absentia dapat dilakukan dalam berbagai kasus, seperti ketika terdakwa kabur atau tidak dapat
dihadirkan ke persidangan karena alasan tertentu. Namun, penggunaan peradilan in absentia juga memicu
kekhawatiran dan kontroversi
terkait hak asasi manusia. Beberapa negara mengizinkan peradilan in absentia dalam kasus pidana, namun
harus memenuhi syarat dan prosedur yang ketat.
Sebagai contoh, di Perancis, terdakwa harus memiliki alasan yang sah untuk absen,
seperti sakit atau tugas penting
yang tidak dapat ditunda. Selain itu, terdakwa harus
diberikan kesempatan untuk memberikan bukti dan kesaksian secara tertulis. Namun, di beberapa negara, peradilan in absentia dapat menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia (Muntahar, Ablisar, &
Bariah, 2021). Sebagai contoh, dalam kasus hukuman
mati, terdakwa harus hadir di persidangan untuk mempertahankan diri dan menghindari eksekusi yang tidak adil.
Tidak adanya terdakwa dalam persidangan juga bisa membawa dampak
negatif pada mutu keputusan pengadilan, karena terdakwa tidak dapat membela
diri secara langsung atau menjawab
pertanyaan hakim. Hal ini dapat mengarah pada pembebasan yang salah, atau pemidanaan yang tidak adil. Dalam konteks
hak asasi manusia, peradilan in absentia dapat melanggar hak terdakwa untuk
mempertahankan diri dan menghadapi dakwaan dengan adil dan setara (Yudi Krismen & SH,
2022). Sebagai contoh, Pasal 14 (3) (d) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menjamin hak seseorang
untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah sesuai dengan hukum dalam
sidang yang diadakan di depan hakim yang independen dan tidak memihak.
Dalam konteks perlindungan hak tersebut, peradilan
in absentia dapat dilihat sebagai mengancam keamanan hukum, dan hak asasi manusia
yang melindungi individu. Dalam kesimpulannya, peradilan in absentia dapat berguna untuk mempertahankan
fungsi hukum dan keamanan masyarakat dalam beberapa kasus khusus, namun
penggunaannya harus tunduk pada persyaratan dan regulasi yang ketat, serta memperhatikan hak-hak asasi manusia
yang harus dihormati dalam setiap proses peradilan. Proses peradilan dalam in absentia ini dapat diterapkan dalam kasus Tipikor
Tipikor merupakan tindak pidana yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri atau pun kelompok yang di mana kegiatan tersebut melanggar hukum dan sudah pasti akan merugikan
bangsa dan negara (Sipahutar,
Hasundungan, & Yasid, 2022).
Selanjutnya, tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui: 1) Apa hakekat peradilan in absentia terhadap hak asasi
manusia (HAM), 2) Bagaimana
regulasi di Indonesia mengatur
mengenai peradilan in
absentia, dan 3) Mengapa diperlukan
konsep peradilan in
absentia dalam hukum pidana di Indonesia.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode
dengan penelitian yuridis normatif (Huda & S HI, 2021). Penelitian yuridis
normatif tersebut dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan, yaitu:
pendekatan undang-undang
(statute approach), pendekatan konsep (concept approach), dan studi kasus (case
study). Teori-teori hukum yang digunakan sebagai pisau analisis terhadap ketiga
rumusan masalah tersebut adalah Teori Kepastian Hukum (TheTheory of Legalk
Certainty) dan Teori perlindungan Hukum (The Theory of Legal Protection).
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Yuridis
terhadap Peradilan in
Absentia dengan HAM adalah penilaian dari segi hukum dan hak asasi manusia
terhadap proses pengadilan
di mana terdakwa tidak hadir atau tidak
dapat dihadirkan dalam persidangan (Al
Masyhur, Pemayun, Pertiwi, & Arta, 2021). Peradilan
in absentia terjadi ketika terdakwa menolak hadir dalam persidangan
atau tidak dapat dihadirkan karena berbagai alasan seperti kabur, meninggal dunia atau tidak diketahui
keberadaannya. Dalam hal peraturan perundang-undangan,
di Indonesia selain harus tunduk kepada peraturan
yang bersifat umum, harus juga tunduk kepada peraturan yang bersifat khsusus. Peraturan yang bersifat khusus ini juga mengatur mengenai peradilan in absentia (Purwanta, Dewi, & Karma, 2021).
Dalam konteks
hak asasi manusia, peradilan in absentia dapat menimbulkan kekhawatiran karena terdakwa tidak dihadirkan dalam persidangan yang dapat menghasilkan putusan yang tidak adil dan mengabaikan hak atas pembelaan diri. Namun, peradilan
in absentia dapat dilakukan
dalam keadaan tertentu menurut UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pada prinsipnya, peradilan in absentia harus memenuhi persyaratan dan garis besar yang telah ditetapkan yaitu kesempatan untuk membela diri, hadirnya
penasihat hukum, bukti-bukti yang cukup, dan keputusan yang disampaikan secara terbuka dan jelas. Dalam konteks
HAM, peradilan in absentia dapat
melanggar hak atas kebebasan, hak atas persamaan
di depan hukum, hak atas pengadilan
adil dan hak atas pembelaan diri.
Namun, apabila
peradilan in absentia dilakukan
dengan jaminan para terdakwa untuk mendapatkan kesempatan untuk membela diri
secara efektif, maka proses pengadilan tersebut masih sesuai dengan standar
HAM. Dalam praktiknya, peradilan in absentia masih menjadi kontroversial dan sering menimbulkan perdebatan. Terdapat beberapa kasus di mana terdakwa diadili in absentia yang
dianggap tidak memenuhi standar HAM dan hak asasi manusia.
Oleh karena itu, perlu ada keterbukaan
informasi dan transparansi dalam proses pengadilan in
absentia serta perlindungan
atas hak-hak terdakwa agar terjamin keadilan dalam persidangan.
Di Indonesia, regulasi peradilan in absentia diatur dalam Pasal 149 UU No. 8 tahun 1981 Tentang Kitab Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan
bahwa "apabila 2 (dua)
kali panggilan tidak hadir secara sah
terdakwa, maka sidang dapat dilanjutkan
dalam keadaan terdakwa tidak hadir dan dianggap telah berbuat pembelaannya
sendiri.". Namun demikian, peradilan in absentia hanya dapat dilakukan
dalam beberapa kondisi, yaitu: (a) Terdakwa sudah diberitahukan secara sah tentang jadwal
sidang dan panggilan kedua. (b) Terdakwa tidak hadir dalam
sidang karena alasan yang dapat diterima (misalnya sakit atau berhalangan
karena ada tugas penting yang tidak dapat ditinggalkan).
(c) Terdakwa diberikan kesempatan untuk memberikan pembelaan atau mengajukan alasan ketidakhadirannya dalam sidang. (d) Terdakwa dapat mengajukan banding atau kasasi jika mereka
merasa pengadilan telah melakukan keputusan yang tidak adil.
Namun demikian,
peradilan in absentia tidak
dapat digunakan dalam kasus-kasus yang dianggap serius (misalnya kasus pembunuhan atau teroris) atau jika
terdakwa merupakan orang asing dan pengadilan tidak dapat memastikan
bahwa mereka telah diberikan perlindungan hukum yang cukup. Ini bertujuan
untuk mencegah penyalahgunaan peradilan in
absentia dan memastikan bahwa
setiap warga negara mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan setara di depan hukum. Konsep peradilan
in absentia diperlukan dalam
hukum pidana di Indonesia karena dalam beberapa
kasus, tersangka atau terdakwa tidak
dapat hadir di persidangan karena alasan tertentu seperti sakit atau
kabur dari pihak berwenang.
Dalam keadaan
seperti itu, peradilan in absentia memungkinkan
pengadilan untuk tetap mengadili kasus tersebut bahkan jika tersangka
atau terdakwa tidak hadir di persidangan (Ardhyansah,
2020). Selain
itu, konsep peradilan in absentia juga memungkinkan
pengadilan untuk mempercepat proses peradilan dan mencegah penyimpangan dalam proses hukum. Dalam beberapa kasus, penundaan persidangan bisa sangat mempengaruhi kasus, terutama jika bukti-bukti
atau saksi-saksi kunci tidak dapat
dipertahankan. Terlebih dalam proses peradilan pidana, keberadaan terdakwa adalah mutlak (Akli, 2020).
Namun, penting
untuk diingat bahwa peradilan in absentia juga dapat membahayakan hak-hak tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, pengadilan
harus memastikan bahwa mereka memberikan
kesempatan yang adil bagi tersangka atau terdakwa untuk
menyampaikan pembelaan mereka, bahkan jika mereka tidak
hadir di persidangan. Pada Hakekatnya proses penyelenggaraan
peradilan pidana melalui implementasi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran
materil (Andi
Sofyan, 2017).
Dalam kerangka
ini, ada 2 (dua) kepentingan yang harus diperhatikan, yaitu: kepentingan negeri dan kepentingan
para pencari keadilan (terdakwa). Kedua kepentingan tersebut harus dijaga dan dijamin keseimbangannya oleh hukum acara pidana. Dengan adanya 2 (dua) kepentingan tersebut, peradilan in absentia mengalami persoalan yang serius. Hal ini dikarenakan adanya pro dan kontra terhadap terdawak seperti pada kasus korupsi (terdakwa koruptor). Di satu sisi, peradilan in absentia dapat mempercepat proses peradilan agar dapat segera mungkin mengembalikan aset negara (kerugian negara); di sisi lainnya dengan adanya peradilan In absentia ini terhadap terdakwa
yang memanfaatkan peradilan
In absentia untuk melarikan
diri ke luar
negeri (DPO) (Deramayati & Wicaksana, 2021).
Praktik penyelenggaraan
peradilan pidana pada masa sebelum berlakunya KUHAP pada tahun 1981 dinilai telah mengukir lembaran hitam, terutama seklai dalm hal perlindungan
hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana. Penyelenggaraan peradilan pidana pada masa itu menggantungkan diri pada peraturan perundang-undangan peninggalan
zaman colonial Belanda. Disadari pada semasa berlakunya Het Herziene Indonesicshe Reglement (HIR) sebagai landasan hukum proses penyelesaian perkara pidana telah terjadi
penyalanggunaan wewenang
oleh aparat penegak hukum (Budi
Rizki, 2020). Bukan
hanya karena mereka tidak mampu
memantapkan pelaksanaan tugasnya masing-masing, melainkan
juga karena tidak dapat melaksanakan tujuannya dengan baik sebagai bagian
dari sistem peradilan pidana (criminal
justice system).
Keadaaan demikian
tidak hanya menimbulkan konflik wewenang di antara para aparat penegak hukum. Konflik tersebut terutama sekali tampak dalam
masalah penagkapan dan penahanan yang justru seharusnya ditangani secara hati-hati untuk menjamin harkat dan martabat terdakwa sebagai manusia, walaupun secara yuridis formal, pelaksanaan peradilan in absentia
telah diatur di dalam Pasal 38 ayat (1) UU No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Girsang & Hatta, 2023).
Sesuai dengan
tujuan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang lebih
adil dan baik yang memberikan perlindungan kepada HAM dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam KUHAP ini mengatur lebih
banyak persoalan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. KUHAP ini tidak saja memuat
tentang tata dari suatu proses pidana, tetapi kitab ini pun juga memuat hak dan kewajiban dari terdakwa yang ada dalam sutau proses pidana.
Banyak pihak mengakui bahwa secara substantif KUHAP sudah memberikan perlindungan yang baik terhadap hak-hak terdakwa, seperti: hak untuk mendapatkan
bantuan hukum, hak untuk dianggap
tidak bersalah sebelum kasusnya diputuskan oleh pengadilan atau praduga tak
bersalah (presumption of innocence), dan sebaigainya. Oleh karena itu, wajar jika
pada waktu kelahiran KUHAP dianggap sebagai karya yang luar biasa lembaga legislatif
dalam proses pembangunan hukum di tanah air (WAHYUDI,
2022).
Dengan demikian,
bahwa cita-cita KUHAP masih tetap dalam
kerangka idealitas. Bahkan ada yang menyatakan bahwa dalam realisasinya hampir tidak ada
perbedaan yang cukup berarti antara zaman HIR dan
zaman KUHAP. Dengan kata lain, berbagai
bentuk praktik kekerasaan, ancaman kekerasan, manipulasi, kolusi, dan korupsi masih mewarnai proses penyidikan di Indonesia.
Kesimpulan
Peradilan in
absentia adalah proses pengadilan
di mana terdakwa tidak hadir dalam persidangan
secara sukarela atau karena tidak
dapat dihadirkan. Dalam situasi ini,
pengadilan akan tetap dilanjutkan tanpa kehadiran terdakwa dan putusan akan dijatuhkan berdasarkan bukti-bukti yang telah disajikan kepada pengadilan. Dalam konteks ham (hak asasi manusia),
peradilan in absentia dapat
terjadi jika terdakwa yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia,
seperti penyiksaan atau penghilangan orang secara paksa, tidak
dapat dihadirkan karena bersembunyi atau sedang dipenjara
atau bahkan telah meninggal dunia.
Namun, peradilan in absentia terhadap kasus ham sering kali menjadi kontroversial dan kontes karena banyak
dianggap melanggar prinsip dasar keadilan,
yaitu hak atas pembelaan yang adil. Dalam banyak
kasus, hakim percaya bahwa terdakwa tidak dapat dipresentasikan
dan oleh karena itu tidak dapat mempertahankan
diri, membuat upaya hukum menjadi
tidak adil dan rentan terhadap kesalahan. Oleh karena itu, pengadilan harus berhati-hati dan harus mempertimbangkan dengan cermat apakah
peradilan in absentia akan lebih membatalkan daripada memenuhi rasa keadilan.
Di
Indonesia, regulasi peradilan
in absentia diatur dalam Pasal 149 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan
bahwa "apabila dua
kali panggilan tidak hadir secara sah
terdakwa, maka sidang dapat dilanjutkan
dalam keadaan terdakwa tidak hadir dan dianggap telah berbuat pembelaannya
sendiri.". Namun demikian, peradilan in absentia hanya dapat dilakukan
dalam beberapa kondisi, yaitu: (1) Terdakwa sudah diberitahukan secara sah tentang jadwal
sidang dan panggilan kedua. (2) Terdakwa tidak hadir dalam sidang
karena alasan yang dapat diterima (misalnya sakit atau berhalangan karena ada tugas
penting yang tidak dapat ditinggalkan). (3) Terdakwa diberikan kesempatan untuk memberikan pembelaan atau mengajukan alasan ketidakhadirannya dalam sidang. (4) Terdakwa dapat mengajukan banding atau kasasi jika mereka
merasa pengadilan telah melakukan keputusan yang tidak adil.
Namun demikian, peradilan in absentia tidak dapat digunakan
dalam kasus-kasus yang dianggap serius (misalnya kasus pembunuhan atau teroris) atau jika
terdakwa merupakan orang asing dan pengadilan tidak dapat memastikan
bahwa mereka telah diberikan perlindungan hukum yang cukup. Ini bertujuan
untuk mencegah penyalahgunaan peradilan in
absentia dan memastikan bahwa
setiap warga negara mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan setara di depan hukum.
Konsep peradilan in absentia diperlukan dalam hukum pidana
di Indonesia karena dalam beberapa kasus, tersangka atau terdakwa tidak dapat hadir di persidangan karena alasan tertentu seperti sakit atau
kabur dari pihak berwenang. Dalam keadaan seperti
itu, peradilan in absentia memungkinkan pengadilan untuk tetap mengadili
kasus tersebut bahkan jika tersangka
atau terdakwa tidak hadir di persidangan.
Selain itu, konsep peradilan
in absentia juga memungkinkan pengadilan
untuk mempercepat proses peradilan dan mencegah penyimpangan dalam proses hukum. Dalam beberapa
kasus, penundaan persidangan bisa sangat mempengaruhi kasus, terutama jika bukti-bukti
atau saksi-saksi kunci tidak dapat
dipertahankan. Namun, penting untuk diingat
bahwa peradilan in absentia
juga dapat membahayakan hak-hak tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, pengadilan
harus memastikan bahwa mereka memberikan
kesempatan yang adil bagi tersangka atau terdakwa untuk
menyampaikan pembelaan mereka, bahkan jika mereka tidak
hadir di persidangan
BIBLIOGRAFI
Akli, Zul. (2020). Peradilan In Absentia terhadap
Terdakwa yang Belum Di-periksa pada Tingkat Penyidikan dalam Perkara Tindak
Pi-dana Korupsi. REUSAM: Jurnal Ilmu Hukum, 8(1), 52�68.
Al
Masyhur, Sayyid Umar, Pemayun, Tjokorda Istri Kumari Maharatu, Pertiwi, Luh
Putu Rahayu Gita, & Arta, Komang Giri. (2021). Pelaksanaan Peradilan In
Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak Asasi
Manusia (HAM). Perspektif Hukum, 16�35.
Andi Sofyan, S. H. (2017). Hukum Acara
Pidana Suatu Pengantar. Prenada Media.
Ardhyansah,
Risky Fany. (2020). Penyidikan In Absentia dalam Penanganan Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia (Sebuah Alternatif Penerapan Asas Peradilan Cepat). Jurnal
Idea Hukum, 6(1).
Budi
Rizki, Husin. (2020). Studi Lembaga Penegak Hukum. Studi Lembaga Penegak
Hukum.
Deramayati,
Tiara Yahya, & Wicaksana, Satria Unggul. (2021). Peradilan In Absentia
Dalam Tindak Pidana Korupsi dan Hak Pembelaan Terdakwa dalam Perspektif HAM. Jurnal
Komunikasi Hukum (JKH), 7(2), 570�591.
Girsang,
Ardiansyah, & Hatta, Muhammad. (2023). Pelaksanaan Peradilan In Absentia di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh. Cendekia: Jurnal Hukum, Sosial
Dan Humaniora, 1(2), 107�131.
Huda,
Muhammad Chairul, & S HI, M. H. (2021). Metode Penelitian Hukum
(Pendekatan Yuridis Sosiologis). The Mahfud Ridwan Institute.
Manalu,
Napoleon. (2021). Teologi Dan Teknologi Dalam Pandangan Sekuralisasi Di Era
Post Modernitas. JURNAL KADESI, 3(2), 51�84.
Muntahar,
Teuku Isra, Ablisar, Madiasa, & Bariah, Chairul. (2021). Perampasan Aset
Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Iuris Studia:
Jurnal Kajian Hukum, 2(1), 49�63.
Prihartono, Dwiyanto. (2003). Sidang tanpa
terdakwa: dilema peradilan in absentia dan hak asasi manusia.
Purwanta,
I. Wayan Kusuma, Dewi, Anak Agung Sagung Laksmi, & Karma, Ni Made
Sukaryati. (2021). Akibat Hukum Bagi Prajurit TNI Melakukan Tindak Pidana
Desersi Yang Diputus In Absentia Dalam Praktek Pengadilan Militer Iii-14
Denpasar. Jurnal Konstruksi Hukum, 2(1), 123�127.
Sipahutar,
Rupus Agustinus, Hasundungan, David Christian, & Yasid, Muhammad. (2022).
Aspek Kerugian Keuangan Negara Dalam Hubungannya Dengan Pidana Denda Pada
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. JURNAL RETENTUM, 3(2),
216�229.
WAHYUDI,
HENDRA. (2022). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK ANAK PELAKU TINDAK
PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri
Temanggung). Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
Yudi
Krismen, U. S., & SH, M. H. (2022). Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
PT. RajaGrafindo Persada-Rajawali Pers.
Copyright holder: Adhalia Septia Saputri
(2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |