Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 6, Juni 2023
PERJANJIAN NOMINEE DALAM PRAKTIK JUAL BELI
TANAH
Henry Aspan1,
Erniyanti2, Etty Sri Wahyuni3
1Universitas Pembangunan Panca
Budi Medan
2,3Universitas Batam
Email: [email protected],
[email protected], dan [email protected]
Abstrak
Pokok permasalahan yang menjadi perhatian penulis dalam penulisan ini adalah adanya praktik penguasaan hak atas tanah melalui perjanjian nominee atau yang lebih dikenal dengan perjanjian pinjam nama. Dimana dalam perjanjian ini Warga Asing yang tidak memiliki kewenangan untuk memiliki penguasaan hak atas tanah di Indonesia meminjam nama Warga Negara Indonesia, untuk melakukan pembelian suatu tanah/lahan, lalu Warga Negara Indonesia menguasakan kepada Warga Asing tersebut, untuk dapat melakukan hal apapun terhadap tanah/lahan tersebut. Pengaturan perikatan didasarkan pada sistem terbuka, dimaksudkan setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja, baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum ditentukan namanya dalam undang-undang. Metode analisis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Metode yuridis sosiologis merupakan suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan sesungguhnya masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta dan data, yang kemudian menuju pada identifikasi, serta pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah. Berdasarkan hasil penelitian ini pula, dapat dilihat bawasannya perjanjian nominee dilakukan dengan perjanjian itikad buruk para pihak, dan hal ini bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dengan tidak memenuhi syarat obyektif keabsahan suatu perjanjian yang sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Kata kunci: Perikatan; Jual Beli; Perjanjian Nominee.
Abstract
The main problem that concerns the author in
this paper is the practice of controlling land rights through a nominee
agreement or better known as a name loan agreement. Where in this agreement a
Foreign Citizen who does not have the authority to have control over land
rights in Indonesia borrows the name of an Indonesian Citizen, to purchase a
land / land, then the Indonesian Citizen empowers the Foreign Citizen, to be
able to do anything to the land / land. The engagement arrangement is based on
an open system, meaning that everyone can enter into any engagement, whether it
has been determined by name or that has not been determined in law. The
research analysis method conducted in this study uses a sociological juridical
approach. The sociological juridical method is a study carried out on the real
condition of society or the community environment with the aim and purpose of
finding facts and data, which then leads to identification, and ultimately
leads to solving problems. Based on the results of this study, it can also be
seen that the nominee agreement is carried out with a bad faith agreement of the
parties, and this is contrary to the principle of freedom of contract by not
fulfilling the objective requirements of the validity of an agreement as
stipulated in Article 1320 of the Civil Code.
Keywords: Alliance; Selling; Nominee Agreement
Pendahuluan
Salah satu sumber hukum perikatan
yaitu perjanjian. Sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan
dapat lahir dari suatu persetujuan
(perjanjian) atau dari undang-undang (Badrulzaman, 2016). Perikatan yang lahir dari undang-
undang dapat dibagi lagi atas
perikatan-perikatan yang lahir
dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan
orang. Yang belakangan ini,
dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu
perbuatan yang diperbolehkan
dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum.
Melawan hukum (onrechtmatig)
yaitu perbuatan melawan hukum adalah
suatu perbuatan yang melanggar hak orang lain atau jika orang berbuat bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri (Sari, 2021). Dalam rumusan
ini, yang perlu dipertimbangkan hanya hak dan kewajiban hukum berdasarkan Undang-undang. Sehingga perbuatan tersebut harus melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan Undang-undang. Dengan demikian, melangar hukum (onrechtmatig) sama dengan melanggar
Undang-undang (onwetmatig).
Perjanjian nominee atau trustee adalah perjanjian yang menggunakan kuasa yaitu perjanjian yang menggunakan nama Warga Negara Indonesia dan Warga
Negara Indonesia tersebut menyerahkan
surat kuasa kepada Warga Negara Asing untuk bebas
melakukan perbuatan hukum terhadap tanah yang dimilikinya (Gumanti, 2012). Perjanjian nominee biasa dipergunakan Warga Negara Asing untuk memperoleh Hak Milik Atas
Tanah yang berada di Indonesia, sebagaimana
yang kita ketahui bersama bahwasanya Warga Negara Asing dilarang untuk memiliki tanah secara bebas di Indonesia, hal tersebut tercantum
dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960).
Umumnya perjanjian nominee dikenal dengan sebutan perjanjian pinjam nama. Dalam
hal ini, yang dimaksud dengan perjanjian nominee adalah perjanjian antara seorang yang bertindak mewakili atas nama
orang lain dengan kewenangan
yang terbatas sesuai dengan yang diperjanjikan untuk kepentingan orang/pihak lain (Winardi, 2017). Jika dilihat sepintas, perjanjian nominee bukanlah perjanjian yang menyalahi aturan hukum, karena bentuk
pemindahan hak melalui jual beli
(Isra & Supriyo, 2023).
Tetapi, apabila isi
perjanjian tersebut ditelaah lebih dalam, secara tidak
langsung dimaksudkan untuk mengalihkan atau memindahkan hak atas tanah
(yang berupa hak milik) kepada Warga
Negara Asing. Dimana hal tersebut dapat diketegorikan sebagai penyelundupan hukum, karena perjanjian nominee tidak dikenal dalam
sistem hukum di Indonesia, tidak ada pengaturan
secara khusus dan tegas, sehingga dapat dikatakan mengandung pengertian yang kosong.
Adapun rumusan masalah yang dipaparkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut; (a) Bagaimana kedudukan perjanjian nominee menurut hukum yang hidup di Indonesia? (b) Bagaimana
kepastian hukum kepemilikan hak atas tanah yang didasari perjanjian nominee?
Metode Penelitian
Metode analisis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Metode yuridis sosiologis merupakan suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan sesungguhnya masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan
fakta dan data, yang kemudian
menuju pada identifikasi, serta pada akhirnya menuju kepada penyelesaian
masalah (Soekanto, 2006). Sedangkan sumber
data yang digunakan adalah
data primer dan sumber data sekunder,
dimana sumber data primer diperoleh dari wawancara yang dilakukan dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan tema penelitian dan sumber data sekunder diperoleh
Hasil dan Pembahasan
A. Perjanjian Nominee dalam Sistem Hukum di Indonesia
Konsep perjanjian dalam arti luas, Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata
bahwa �Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih lainnya.�Unsur yang tekandung
dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut, seharusnya dirumuskan untuk saling
mengikatkan diri yang berarti pihak yang satu mengikatkatkan diri kepada pihak
yang lain dan pihak yang lain juga mengikatkan diri kepada pihak yang satu.
Dengan demikian, ada persetujuan antara dua belah pihak.
Ruang lingkup perjanjian sebenarnya cukup luas, mencangkup juga perjanjian
perkawinan yang didalamnya diatur bidang hukum keluarga. Padahal, yang dimaksud
adalah perjanjian hubungan antara debitur dan kreditur yang bersifat kebendaan,
dalam buku III KUHPerdata juga sebenarnya hanya melingkupi perjanjian bersifat
kebendaan, tidak mencangkup perjanjian bersifat keperorangan (personal) (Buku & Muhammad, 2014).
Tanpa menyatakan tujuan, dalam rumusan pasal tersebut, tidak dinyatakan
tujuan pihak-pihak mengadakan perjanjian sehingga untuk apa para pihak
mengikatkan diri juga tidak jelas dalam Pasal tersebut. Jika tujuan mereka
tidak jelas, mungkin dapat menimbulkan dugaan tujuan yang dilarang
Undang-undang, yang dapat mengakibatkan perjanjian batal, disinilah celah yang
dapat dilihat pada Pasal 1313 KUHPerdata tersebut. Konsep perjanjian dalam arti
sempit, yaitu sebagai berikut �Perjanjian adalah persetujuan dengan mana
dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang
bersifat kebendaan di bidang harta kekayaan.�
Definisi perjanjian dalam arti sempit ini jelas menunjukkan telah terjadi persetujuan
(persepakatan) antara pihak yang satu (kreditur) dan pihak yang lain (debitur),
untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan (zakelijk) sebagai obyek
perjanjian (Timbuleng, 2019). Menurut Subekti (R Subekti, 2021), perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, (1988) menyebutkan bahwa perjanjian merupakan hubungan hukum natara dua pihak
atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menumbulkan konsekuensi yuridis.
Para pihak dalam perjanjian yang akan diadakan dan telah sepakat tentang
apa yang mereka sepakati berupa janji-janji yang diperjanjikan dengan sesuatu
hal yang harus dilaksanakan dinamakan prestasi. Prestasi yaitu apa yang menjadi
hak kreditur dan apa yang menjadi kewajiban debitur, prestasi terdiri dari
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu ataupun tidak berbuat sesuatu.
Adapun demikian perjanjian tersebut merupakan suatu undang-undang yang
mengikat bagi mereka yang membuatnya, dalam artian para pihak yang telah
terikat dalam perjanjian tersebut harus tunduk serta wajib bertindak dan
melakukan sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dalam perjanjian tersebut.
Jika ia ingkar untuk melaksanakan hal yang di perjanjikan maka dikatakan sebagai wanpretasi atau ingkar janji.
Tujuan perjanjian
merupakan hasil akhir yang diperoleh pihak-pihak berupa pemanfaatan, penikmatan, dan kepemilikan benda atau hak kebendaan
sebagai pemenuhan kebutuhan pihak-pihak. Pemenuhan kebutuhan tidak akan tercapai
jika tidak dilakukan dengan mengadakan perjanjian antara pihak-pihak. Tujuan perjanjian yang akan dicapai oleh pihak-pihak itu sifatnya haruslah halal. Artinya tidak dilarang
oleh Undang-undang, serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan masyarakat.
Contoh hal
dalam jual-beli tanah, A adalah penjual sebidang tanah dan B adalah pembeli (Warga Negara Indonesia),
datang menghadap kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah Setempat, dan Pejabat Pembuat Akta Tanah terserbut, tidak mengetahui asal uang untuk pembayaran atas pembelian sebidang tanah tersebut. Dikarenakan tidak ada kewenangan
dari Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk menanyakan asal-usul dari uang pembayaran atas pembelian tanah tersebut.
Adapun, Pejabat
Pembuat Akta Tanah, pada waktu transaksi jual-beli dilaksanakan berkewajiban menanyakan apakah uang pembayaran atas sebidang tanah
tersebut telah diterima oleh penjual atau belum. Apabila
mengacu kepada Pasal 1320 KUHPerdata, tentang syarat sahnya suatu perjanjian,
bahwa jual-beli tersebut secara formal adalah sah-sah saja karena telah
dilakukan sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku.
Kemudian ternyata,
ada perjanjian tersendiri yang dibuat oleh B dengan C (Warga Negara Asing), yang dibuat dihadapan Notaris yang berbeda. Dimana, dalam perjanjian tersebut memuat bahwa seluruh
uang dan biaya atas pembelian sebidang tanah antara A dan B tersebut, adalah berasal dari C (Warga Negara Asing). Kemudian, perjanjian mana diikuti dengan pembuatan akta kuasa untuk menjual.
Pertanyaannya, sah atau tidaknya perjanjian
tersebut apabila dilihat dari ketentuan
Pasal 1320 KUHPerdata.
Dimana terdapat unsur yang tidak halal/bohong.
Dalam sebuah
perjanjian mempunyai unsur-unsur sebagai berikut (Bukido, 2016), yaitu;
(a) Unsur Essensialia adalah merupakan unsur yang bersifat mutlak harus ada
dalam suatu perjanjian dimana tanpa adanya unsur
tersebut, perjanjian tidak mungkin ada.
(b) Unsur Naturalia adalah merupakan unsur untuk perjanjian
yang oleh Undang-undang diatur
tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. (c) Unsur Accidentalia adalah merupakan unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak sementara Undang- undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut.
Keseluruhan unsur
diatas terkandung di dalam suatu perjanjian
oleh Pasal 1320 KUHPerdata,
yang ditentukan sebagai syarat sahnya suatu
perjanjian. Dalam pasal 1320 KUHPerdata syarat sah untuk
melaksanakan suatu perjanjian yaitu; (1) kesepakatan mereka yang mengikat dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
(3) suatu pokok persoalan tertentu; (4) suatu sebab
yang tidak terlarang.
Dalam melakukan suatu
perikatan/perjanjian terdapat syarat subyektif dan juga syarat obyektif mengenai akibat hukum jika
melanggar syarat sah perjanjian yaitu;
1.
Syarat
Subyektif
Yaitu syarat yang apabila
dilanggar maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, meliputi: Kesepakatan dan kecakapan para pihak. Apabila para pihak tidak memenuhi syarat subyektif, maka konsekuensinya adalah perjanjian yang telah dibuat dapat
dibatalkan. Dengan artian salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada hakim, namun perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak sampai adanya keputusan
dari hakim mengenai pembatalan tersebut.
2.
Syarat
Obyektif
Yaitu syarat yang apabila
dilanggar maka dapat berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum, meliputi: mengenai obyek perjanjian dalam hukum perdata
selalu berupa benda (Syahrani, 2009). Benda adalah setiap barang dan hak halal yang dapat dimiliki dan dinikmati oleh
orang. Dapat dinikmati atau dimiliki orang dimaksudkan memberi manfaat atau mendatangkan
keuntungan secara halal bagi orang yang memilikinya. Obyek perjanjian yaitu prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur.
Prestasi ini terdiri dari perbuatan
positif dan negatif. Prestasi terdiri dari memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata).
Suatu sebab yang halal, dapat dikatakan para pihak dapat melakukan
atau dapat membuat perjanjian apa saja, namun
tetap terdapat pengecualian di dalamnya, yaitu sebuah perjanjian
tidak boleh bertentangan dengan perUndang-undangan yang berlaku, ketertiban, moral dan juga kesusilaan
(Hetharie, 2019). Dan jika para pihak tidak memenuhi
syarat obyektif maka dapat dipastikan
jika perjanjian tersebut akan dianggap
batal demi hukum, dengan artian perjanjian
tersebut dianggap tidak pernah ada
sehingga tidak akan mengikat para pihak.
Untuk mengarahkan para pihak dalam menentukan
substansi kontrak agar tidak bertentangan dengan peraturan perUndang-undagan, ketertiban umum, moral dan juga kesusilaan, maka terdapat 5 asas-asas hukum yang diatur dalam buku
III KUHPerdata, yaitu;
a)
Asas Kebebasan Berkontrak
Ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata:
�semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.� Asas ini memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk dapat
membuat atau tidak membuat perjanjian,
mengadakan perjanjian dengan siapapun yang mereka kehendaki, menentukan sendiri mengenai isi perjanjian,
bentuk pelaksanaannya dan
juga persyaratannya, menentukan
sendiri bentuk penjanjian tersebut tertulis atau lisan.
b) Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini disebut
pula dengan asas kepastian hukum. Asas ini berkaitan
dengan akibat perjanjian dan sifat mengikat untuk para pihaknya. Asas pacta sunt servanda menegaskan bahwa para pihak harus menghargai substansi kontrak yang dibuat layaknya Undang-undang. Asas ini merupakan implementasi
dari Pasal 1338 KUHPerdata yang pada intinya menyebutkan bahwa perjanjian ini dibuat secara sah,
mengikat dan berlaku sebagai Undang-undang yang mengikat para pihak di dalamnya.
c)
Asas
Konsensualisme
Asas ini berarti
dalam merancang suatu kontrak harus
ada kesepakatan diantara para pihak atas perjanjian yang telah diperjanjikan. Asas ini didasarkan
pada Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan salah
satu syarat perjanjian adalah kesepakatan para pihak. Dengan demikian walaupun didasarkan dengan kesepakatan namun kontrak tetap
tidak boleh dilakukan dengan adanya paksaan. Apabila terbukti dilakukannya perjanjian tersebut dengan adanya paksaan, maka kontrak dapat
dibatalkan dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan.
d) Asas Itikad Baik
�Pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian dilaksanakan haruslah dengan itikad yang baik. Pelaksanaan asas itikad baik ini
merupakan implemantasi dari norma- norma
kepatutan dan kesusilaan
yang dapat dipandang adil sehingga dapat
dikesampingkan oleh para pihak.
Dengan kata lain bahwa para
pihak tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma kepatukan
dan kesusilaan. Apabila asas ini tidak
terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan di muka pengadilan.
e)
Asas Kepribadian
Asas ini dimaksudkan
bahwa ia sendirilah yang dapat membuat kontrak untuk kepentingan dirinya sendiri saja. Pada Pasal 1315 KUHPerdata menyebutkan bahwa secara umum,
seorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk diri sendiri
serta pada Pasal1340 KUHPerdata
menyebutkan bahwa perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya.
B. Perjanjian Nominee Menurut Sistem Hukum di Indonesia
Dalam ketentuan Pasal
1319 KUHPerdata tersirat ada dua jenis perjanjian,
yaitu perjanjian nominaat dan perjanjian innominaat. Secara garis besar, perjanjian yang diatur/dikenal di dalam KUHPerdata adalah perjanjian jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, kerja, persekutuan perdata, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga
tetap dan abadi, untung- untungan, pemberian kuasa, penangung utang dan perdamaian, hal-hal tersebut itu dikenal dengan
istilah perjanjian nominaat. Sedangkan perjanjian innominaat adalah keseluruhan kaidah hukum yang mengkaji perjanjian yang timbul dan hidup di dalam masyarakat, dan perjanjian ini belum dikenal saat
KUHPerdata diUndangkan.
Pengaturan perjanjian ini
tidak bernama dalam KUHPerdata dan diatur dalam Pasal
1319 KUHPerdata, yaitu �semua persetujuan, baik yang mempunyai nama khusus maupun
yang tidak dikenal dengan suatu nama
tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuar dalam bab
ini dan bab yang lain.�
Dengan demikian yang mendefinisikan semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal sebelumnya
dengan nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat didalam bab ini dan bab
yang lain. Contohnya yaitu
leasing, beli-sewa, franchise dan lain sebagainya. Perjanjian innominate
atau perjanjian tidak bernama dapat
terjadi dimungkinkan karena didalam buku IIU KUHPerdata memiliki sistem terbuka dan mengandung asas kebebasan berkontrak, seperti yang diatur dalam Pasal
1318 KUHPerdata.
Meski perjanjian innominaat
tidak dikenal dalam KUHPerdata namun, dalam pelaksanaan
perjanjiannya harus tunduk dan patuh kepada ketentuan-ketentuan yang ada didalam buku
III KUHPerdata termasuk asas-asas yang terkandung dalam KUHPerdata yang berkaitan erat dengan hukum perjanjian
itu sendiri.
Dalam sistem hukum
di Indonesia, tidak dikenal
istilah perjanjian nominee.
Perjanjian ini tidak diatur di dalam sistem hukum
di Indonesia. Perjanjian nominee sering
dipergunakan Warga Asing untuk memiliki
aset di Indonesia. Hal tersebut
dapat timbul karena Undang-undang kita telah mengatur
sedemikian rupa agar Warga Asing tidak
dapat memiliki dan memperoleh tanah di wilayah NKRI.
Namun, dengan adanya perjanjian nominee ini, maka timbul
lah celah Warga Asing dapat
memiliki tanah-tanah diwilayah Indonesia.
Perjanjian nominee dalam bidang pertanahan adalah perjanjian yang dibuat antara seseorang
yang menurut hukum tidak dapat menjadi
subyek hak atas tanah tertentu
(hak milik), dalam hal ini
yakti Warga Asing dengan Warga
Negara Indonesia, dengan maksud
agar Warga Asing tersebut dapat menguasasi (memiliki) hak milik atas
tanah secara de facto, namun secara legal formal (dejure) hak milik
atas tanah tersebut diatas namakan Warga Negara Indonesia.
Hal ini terjadi dikarenakan adanya asas larangan pengasingan
tanah yang dianut oleh sistem pertanahan di Indonesia,
yang melarang kepemilikan tanah dengan hak
selain hak pakai untuk dimiliki
oleh Warga Asing.
Dengan demikian jelas
dapat diartikan bahwa perjanjian nominee merupakan suatu bentuk dari penyelundupan
hukum yang dipergunakan untuk menghindari peraturan yang berlaku di
Indonesia, yaitu peraturan
yang mengatur mengenai tidak bolehnya Warga Asing memiliki
tanah di wilayah Indonesia (HANIF, 2017). Hal ini sesuai
dengan Pasal 9 ayat (1) yaitu; �hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2.�
Penyelundupan hukum digunakan
sebagai sarana untuk dapat menghindari
suatu peraturan tertentu agar mencapai tujuan yang ingin dicapai. Penyelundupan hukum ini terjadi,
karena seseorang atau pihak tertentu
ingin menghindari berlakunya hukum nasional dengan maksud untuk dapat
menghindari akibat dari perbuatan yang dilakukan maupun syarat-syarat yang harus dipenuhi sesuai dengan peraturan tertentu.
Dalam Pasal 21 ayat
(1) UUPA juga jelas menyebutkan
bahwa hanya Warga Negara Indonesia yang dapat
mempunyai hak milik. Dipertegas pula dalam Pasal 26 ayat (2) �setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing atau kepada
warga negara yang disamping
kewarganegaan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada
suatu badan hukum kecuai yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum
dan tanah jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tanah tidak
dapat dituntut kembali.�
Walaupun sistem pertanahan
hukum Indonesia belum memiliki larangan secara tegas mengenai
perjanjian nominee ini, namun tetap saja
perjanjian nominee sudah jelas dilarang dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal. Maka dari itu
kita dapat mempergunakan argumentum peranalogian
bahwa penggunakan perjanjian nominee telah dilarang penggunaanya tidak hanya dalam
kepemilikan saham oleh warga asing, namun
juga mengenai kepemilikan hak atas tanah
itu sendiri.
C. Kepastian Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah yang didasarkan pada
Perjanjian Nominee
Jika membahas mengenai
kepastian hukum yang timbul dengan kepemilikan
hak atas tanah yang didasarkan pada perjanjian nominee maka kita dapat melihat
syarat sahnya suatu perjanjian itu sendiri. Jika kita melihat satu
persatu dari syarat sah perjanjian
itu maka, pertama mengenai kesepakatan kedua belah pihak. Perjanjian
nominee sendiri pada umumnya
timbul dikarenakan adanya kesepakatan kedua belah pihak,
dalam hal ini Warga Asing
mempergunakan nama Warga Negara Indonesia untuk melakukan pembelian tanah/asset dan mereka bersepakat terlebih dahulu untuk itu,
sehingga dalam hal kesepakatan para pihak perjanjian nominee tidak melanggar syarat sah tersebut.
Dan hukum perjanjian di
Indonesia juga tidak membatasi
dengan siapa mereka melakukan suatu perjanjian.
Syarat kedua yaitu
kecapakan seseorang dalam membuat suatu
perjanjian. Kecakapan yang dimaksud adalah dimana menurut hukum sudah dinyataan
dewasa. Kedewasaan seseorang dipengaruhi oleh umurnya. Menurut konsep KUHPerdata orang yang dapat dikatakan dewasa apabila telah mecapai usia
21 tahun atau belum berusia 21 tahun tetapi sebelumnya
telah melangsungkan perkawinan, dan tidak sedang dalam pengampuan.
Dengan demikian apabila para pihak yang membuat perjanjian nominee tersebut telah mencapai syarat kedewasaan seseorang maka perjanjian nominee tersebut tidak melanggar syarat kecakapan tersebut.
Syarat yang ketiga yaitu
suatu pokok persoalan tertentu. Syarat ini membahas
mengenai obyek yang diperjanjikan. Obyek yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dan jika melihat perjanjian nominee sudah jelas jika obyek
yang diperjanjikan merupakan
hak atas tanah yang berada di wilayah
Negara Indonesia. Sehingga obyek
perjanjian tersebut menjadi obyek yang terlarang ketika berpindahnya kepemilikan hak atas tanah
dari Warga Negara Indonesia
menjadi kepemilikan Warga Asing melalui
perjanjian nominee ini. Hal
ini sudah jelas disebutkan di dalam Pasal 26 UUPA. Dengan melihat perjelasan tersebut, maka jelas perjanjian
nominee bertentangan dan sudah
melanggar ketentuan syarat sahnya suatu
perjanjian yang ketiga dan batal demi hukum.
Dan syarat yang ke empat adalah
suatu sebab yang tidak terlarang, dalam Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian
yang dibuat dengan causa
yang terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Jika melihat perjanjian nominee maka sudah jelas
bahwa obyek perjanjiannya adalah obyek yang terlarang dan dengan demikian pula selain bertentangan dan melanggar syarat sah perjanjian ke tiga maka
perjanjian nominee tersebut
secara pasti juga telah melanggar syarat sah perjanjian
yang ke empat dan perjanjian tersebut batal demi hukum atau dianggap tidak
pernah ada. Karena hanya perjanjian yang sah sesuai dengan
syarat sahnya perjanjian yang dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak.
Apabila perjanjian nominee dengan penguasaan hak atas tanah
kepada Warga Asing tetap dapat
terjadi, hal ini menunjukan bahwa telah terjadinya
penyelundupan hukum melalui perjanjian notaril (Kolopaking & SH, 2021). Perjanjian notaril
merupakan perjanjian yang dibuat dan dibacakan serta ditandatangani di depan Notaris, isi perjanjian merupakan keinginan para pihak namun, sebagai
pejabat umum yang berwenang Notaris memiliki tanggung jawab penuh terhadap
isi akta dalam perjanjian tersebut, mengenai kebenaran dan ketentuan-ketentuan
yang ada di dalamnya, menjamin tanggal dan para pihak yang menandatanganinya merupakan orang yang cakap dan berwenang untuk itu (Prakoso & Gunarto,
2017).
Kesimpulan
Suatu perjanjian akan berlaku dan mengikat para pihak yang membuatnya, apabila telah memenuhi
syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana yang telah tercantum dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: (1) kesepakatan mereka yang mengikat dirinya. (2) kecapakan untuk membuat suatu perjanjian.
(3) suatu pokok persoalan tertent. (4)�� suatu sebab yang tidak terlarang. Apabila syarat sahnya perjanjian
tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian
tersebut dikatakan memiliki kecatatan hukum.
Dalam perjanjian nominee syarat ke tiga dan juga syarat ke empat
yaitu suatu pokok persoalan tertentu atau obyek
perjanjian dan juga suatu sebab yang tidak terlarang merupakan dua syarat sahnya suatu
perjanjian yang telah dilanggar, sehingga konsekuensi yang dapat timbul dari hal
tersebut sesuai dengan ketentuannya adalah perjanjian tersebut menurut Pasal 21 ayat (2) yaitu batal demi hukum dan tanah yang diperjanjikan jatuh kepada negara dengan ketentuan, bahwa pihak-pihak lain yang memberbaninya
tetap berlangsung serta semua pembayaran
yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat
dikembalikan.
Oleh
karena itu, perjanjian nominee yang dibuat
oleh para pihak adalah batal demi hukum dan kemudian tanah atau pula bangunan yang ada diatasnya yang diperjanjikan dalam perjanjian tersebut akan jatuh kepada
negara. dan konsekuensi lainnya
yang akan timbul dalam perjanjian nominee adalah apabila salah satu pihak ingkar
mana tidak dapat dibawa kemuka pengadilan
dikarenakan memang sejak semula perjanjian
tersebut dianggap tidak pernah ada,
walaupun dianggap ada tetap saja
hal tersebut tidak dapat diadili
karena telah melanggar syarat sahnya suatu perjanjian
dan bertentangan dengan peraturan perUndang-undangan yang
berlaku.
BIBLIOGRAFI
Badrulzaman, M. D. (2016). Kompilasi Hukum
Perikatan Cetakan Kedua. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Bukido,
R. (2016). Urgensi Perjanjian Dalam Hubungan Keperdataan. Jurnal Ilmiah
Al-Syir�ah, 7(2).
Buku, A., & Muhammad, A. (2014). Hukum Perdata
Indonesia. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Gumanti,
R. (2012). Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata). Jurnal
Pelangi Ilmu, 5(01).
HANIF,
I. (2017). AKIBAT HUKUM PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG DILAKUKAN BERDASARKAN
PERJANJIAN PINJAM NAMA ATAU NOMINEE. UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA.
Hetharie,
Y. (2019). Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik atas Tanah
oleh Warga Negara Asing (WNA) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sasi,
25(1), 27�36.
Isra, M. I., & Supriyo, A. (2023). PENGUASAAN HAK
ATAS TANAH OLEH WARGA NEGARA ASING BERLANDASKAN PERJANJIAN PINJAM NAMA. Jurnal
Sains Sosio Humaniora, 7(1), 1�15.
Kolopaking,
I. A. D. A., & SH, M. H. (2021). Penyelundupan Hukum Kepemilikan Hak
Milik Atas Tanah di Indonesia. Penerbit Alumni.
Mertokusumo,
S. (1988). Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ketiga. Liberty, Yogyakarta.
Prakoso,
W. Y., & Gunarto, G. (2017). Tanggung Jawab Dan Akibat Hukum Dari Akta
Notariil Yang Dibuat Oleh Notaris Pengganti Setelah Masa Jabatannya Selesai. Jurnal
Akta, 4(4), 773�778.
R Subekti, S. H. (2021). Aneka
perjanjian.
Sari,
I. (2021). Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dalam Hukum Pidana Dan Hukum Perdata. Jurnal
Ilmiah Hukum Dirgantara, 11(1).
Soekanto, S. (2006). Pengantar penelitian
hukum. (No Title).
Syahrani, H. R. (2009). Buku Materi Dasar
Hukum Acara Perdata Cet. Revisi, Cet, 6.
Timbuleng,
B. T. (2019). Upaya Hukum Debitur Terhadap Penarikan Barang Jaminan Oleh
Kreditur Dalam Perjanjian Pembiayaan Kendaraan Bermotor Konsumen. LEX ET
SOCIETATIS, 6(10).
Winardi, M. (2017). Penguasaan Tanah Oleh Warga
Negara Asing Dengan Perjanjian Pinjam Nama (Nominee) Di Wilayah Indonesia
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Sebelas Maret University.
Copyright holder: Henry Aspan,
Erniyanti, Etty Sri Wahyuni (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |