Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 6, Juni 2023

 

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS UTANG PIUTANG: MENURUT KONSEP KEPAILITAN DAN WANPRESTASI

 

Regina Rachmadayanti, Ariawan Gunadi

Universitas Tarumanagara, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Dunia bisnis tidak pernah terlepas dari permasalahan perjanjian dan utang, dengan resikonya masing-masing, yaitu wanprestasi pada perjanjian dan utang tidak terbayarkan. Pengaturan atas wanprestasi, umumnya telah disepakati dalam perjanjian itu sendiri, baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Selain dalam penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian utang-piutang melalui Hukum Perdata, namun pelaku usaha juga menggunakan proses penyelesaian perkara wanprestasi melalui PKPU atau pun kepailitan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian Yuridis Normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder belaka. Kepailitan dibentuk karena adanya kebutuhan untuk mengatur tata cara penagihan utang debitur yang memiliki banyak kreditur, sedangkan harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar sejumlah utangnya. Hal ini yang membedakan penyelesaian sengketa utang piutang melalui kepailitan di Pengadilan Niaga dan penyelesaian melalui gugatan wanprestasi melalui Pengadilan Negeri. Dalam perjanjian utang piutang, semua harta kekayaan debitur menjadi jaminan umum atas pelunasan utangnya kepada kreditur. Hal ini berlaku baik untuk benda bergerak maupun benda tetap, yang sudah ada saat perjanjian dibuat maupun yang akan ada di masa depan.

 

Kata kunci: Perjanjian, Sengketa, Utang Piutang.

 

Abstract

The business world is never free from issues related to agreements and debts, each with its own risks, namely breach of contract and unpaid debts. The regulation for breach of contract is generally agreed upon within the agreement itself, whether through litigation or nor-litigation channels. In addition to civil law as a means of resolving breach of contract in debt agreements, business entities also utilize the insolvency or bankruptcy process. The research method used is normative legal research by examining literature or secondary materials. Bankruptcy is established due to the need to regulate the procedure for collecting debts from debtors who have multiple creditors, while their assets are insufficient to repay their debts. This is what distinguishes the settlement of debt disputes through bankruptcy in the

 

How to cite:

Regina Rachmadayanti, Ariawan Gunadi (2023) Mekanisme Penyelesaian Sengketa Bisnis Utang Piutang: Menurut Konsep Kepailitan dan Wanprestasi

, (8) 6, http://dx.doi.org/10.36418/syntax-literate.v6i6

E-ISSN:

2548-1398

Published by:

Ridwan Institute


Commercial Court from the settlement through breach of contract lawsuits in the District Court, In debt agreements, all of the debtor�s assets become a general guarantee for the repayment of debts to creditors. This applies to both movable and immovable assets, whether existing at the time the agreement was made or in the future.

 

Keywords: Contract, Dispute, Debt.

 

Pendahuluan

Menyongsong kehidupan di dunia modern ini, perkembangan dalam bidang ekonomi itu sungguh merupakan suatu hal yang penting (Amedi, 2018). Perkembangan sektor ekonomi menjadi tumpuan utama agar taraf hidup bangsa dapat lebih mapan, tingkat pertumbuhan ekonomi kini kian dicermati terus menerus oleh penguasa untuk dipacu agar mencapai angka yang diinginkan dan direncanakan (Fani Martiawan Kumara Putra, 2014).

Istilah sengketa yang merupakan suatu permasalahan atau konflik diantara lebih dari satu orang atau kelompok yang memiliki suatu ikatan atau kepentingan tertentu terhadap suatu obyek kepemilikan, yang menyebabkan munculnya akibat hokum (Rusli, Aprinisa, & Diningrat, 2023). Sengketa tidak hanya tentang pertanahan tapi sengketa pun dapat terjadi dalam ruang lingkup utang piutang Utang piutang merupakan perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak lain dengan objek perjanjiannya adalah uang. Kedudukan yang satu sebagai pemberi pinjaman atau si berpiutang (kreditur) dengan pihak lain yang menerima pinjaman uang (disebut si berutang/debitur) (Gosan & Tanawijaya, 2022). Warouw (2017) menyebutkan bahwa sengketa terjadi jika salah satu pihak menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat tetapi pihak lainnya menolak berlaku demikian.

Pengertian utang piutang sama seperti perjanjian pinjam meminjam yang telah diatur pada buku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam bab ketiga belas Pasal 1754 yang berbunyi pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang-barang tertentu dan habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula (Tiodor & Tjahyani, 2023).

Dunia bisnis tidak pernah terlepas dari permasalahan perjanjian dan utang, dengan resikonya masing-masing, yaitu wanprestasi pada perjanjian dan utang tidak terbayarkan. Pengaturan atas wanprestasi, umumnya telah disepakati dalam perjanjian itu sendiri, baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi (Reval Pradana Putra & Hariyana, 2022). Sedangkan terkait utang tidak terbayarkan, diperlukan pengaturan yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan efektif guna memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengupayakan penyelesaian secara adil, yaitu hukum kepailitan (Sihabudin & Adhitama, 2023).

Penyelesaian sengketa utang piutang dapat diselesaikan di Pengadilan Negeri ataupun di Pengadilan Niaga yang merupakan pengadilan khusus. Namun, penyelesaian


sengketa utang piutang di Pengadilan Negeri dan di Pengadilan Niaga mempunyai karakteristik yang berbeda (Mantili, 2022).

Wanprestasi adalah suatu keadaan hukum perjanjian, dimana seseorang tidak melaksanakan prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan, dan bila wanprestasi, pasti terjadi pelanggaran terhadap kepentingan hukum, suatu kepentingan yang diatur dan dilindungi oleh hokum (Tumbel, 2020).

Ketentuan Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUKPKPU) mengartikan utang secara luas, sehingga utang bukan hanya yang timbul dari perjanjian pinjam-meminjam uang saja (Indonesia, 2004). Hal ini menimbulkan kerancuan dalam sistem penerapan hukum, diantaranya permasalahan wanprestasi yang seharusnya diselesaikan melalui mekanisme hukum perjanjian mulai dialihkan penyelesaiannya melalui mekanisme hukum kepailitan, karena wanprestasi dianggap sebagai utang dalam hukum kepailitan. Dalam kepailitan terdapat beberapa prinsip penting, salah satunya yaitu adanya utang. Utang merupakan salah satu syarat utama diajukannya permohonan kepailitan, karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan dapat diperiksa. Kemudian utang tersebut harus sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pengajuan permohonan kepailitan pada umumnya didasarkan adanya perjanjian utang piutang antara pihak debitor dengan pihak kreditor. Dengan mendasarkan dari adanya perjanjian utang piutang tersebut pihak kreditor mengajukan permohonan kepailitan ke pengadilan.

Permasalahan sengketa utang-piutang yang disebabkan debitur lalai dalam memenuhi suatu prestasi yang telah diperjanjikan yaitu mengembalikan utang yang merupakan tanggung-jawab pihak debitur merupakan masalah bagi pihak kreditur. Selain dalam penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian utang-piutang melalui Hukum Perdata, namun pelaku usaha juga menggunakan proses penyelesaian perkara wanprestasi melalui PKPU atau pun kepailitan. Saat masuk dalam dunia perniagaan, apabila debitor tidak mampu atau tidak mau membayar utang-utangnya kepada kreditor (disebabkan oleh situasi ekonomi yang sulit atau keadaan terpaksa), maka debitur dapat mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Dapat pula debitor atau kreditor mengajukan permohonan pernyataan pailit dengan harapan agar debitur yang lalai tersebut dinyatakan pailit oleh hakim melalui putusannya. Perlu diperhatikan disini bahwa tidak semua debitur lalai tersebut dapat dimohonkan pailit, karena menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang merupakan manifestasi dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, diantaranya adalah debitur tersebut mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004) (Al Kautsar & Muhammad, 2020).

Dalam Pasal 1131 KUHPerdata pada pokoknya menentukan bahwa semua harta kekayaan seorang debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang


sudah ada maupun yang akan ada merupakan jaminan terhadap seluruh hutang- hutangnya. Artinya, tanpa harus adanya suatu perjanjian yang khusus (seperti perjanjian jaminan), sudah merupakan suatu keharusan/kepastian bahwa semua kekayaan debitur berada dalam suatu keadaan tidak membayar hutang-hutangnya, maka kekayaan debitur tersebut dapat dijual (tentunya dengan syarat dan mekanisme yang berdasarkan hukum), dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi hutang-hutangnya tersebut (Nasution, 2019).

Berdasarkan bunyi Pasal 1244 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa seorang debitur yang tidak dapat memenuhi prestasinya pada waktu yang telah disepakati dengan krediturnya maka debitur harus dihukum untuk melunasi utang-utangnya beserta dengan biaya kerugian serta bunga yang ditimbulkan dari utangnya itu (Afiani, Susilowati, & Djais, 2016).

Putusan pernyataan pailit harus dilakukan oleh Pengadilan (Hakim) yang berwenang untuk menjatuhkan pernyataan pailit (sekarang hakim Pengadilan Niaga) (Kasdi & Margono, 2019). Oleh karena itulah hukum kepailitan memiliki karakter sebagai hukum publik bukan hukum privat. Walaupun kepailitan berawal dari Pasal 1131 KUH Perdata, tidaklah berarti bahwa ketentuan hukum kepailitan memiliki sifat sebagai hukum privat. Sebab ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata, sekalipun harus diakui merupakan ketentuan hukum perdata, sesuai doktrin karena merupakan bagian dari buku kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan ketentuan yang bersifat memaksa dan tidak dapat disimpangi, sekalipun atas kesepakatan para pihak.

Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tidak ada regulasi yang menjelaskan pengertian kepailitan dan utang (Sagala, 2015). Oleh karenanya, para sarjana dan praktisi hukum digunakan sebagai acuan dalam praktek. Untuk kepailitan dan utang, yang digunakan sebagai acuan dan praktek, para penyusun UU tersebut telah memasukkan istilah-istilah kepailitan yang dituangkan dalam Bab 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

Apabila suatu usaha tidak menguntungkan atau menderita kerugian dan debitur tersebut tidak dapat membayar pinjamannya, berbagai cara dapat ditempuh oleh debitur untuk menyelesaikan masalah utang piutang dengan pihak kreditur dan tidak ada perdamaian, maka satu-satunya jalan akhir adalah melalui proses kepailitan (Frisyudha, Budiartha, & Styawati, 2021).

Mengingat, wanprestasi hanya terjadi dalam hukum perjanjian, maka seharusnya permasalahan wanprestasi diselesaikan melalui mekanisme hukum perjanjian itu sendiri, mengingat seringkali permasalahan wanprestasi terjadi semata-mata karena tindakan lalai dari salah satu pihak dari perjanjian, namun juga disengaja sebagai respon atas tindakan pihak lawan telah wanprestasi terlebih dahulu, khususnya dalam hal pelaksanaan perjanjian-perjanjian yang bersifat timbal balik.


Metode Penelitian

Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode adalah pedoman cara seorang ilmuan mempelajari dan memahami langkah-langkah yang dihadapi. Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporan.

1.      Metode Pendekatan

Metode Pendekatan Yuridis Normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder belaka. Penelitian ini merupakan Penelitian Yuridis Normatif yang mengkaji suatu mekanisme sengketa bisnis utang piutang menurut konsep kepailitan dan wanprestasi.

2.      Spesifikasi Penelitian

Menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif dikaitkan dengan teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif dalam masyarakat. Untuk melihat penerapan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang merupakan implementasi dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan penyelesaian sengketa bisnis utang piutang menurut konsep kepailitan dan wanprestasi dan mekanisme penyelesaian sengketa bisnis utang piutang menurut konsep kepailitan dan wanprestasi (Ridwan & Lailasari, 2020).

3.      Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan yakni dengan menginventarisir dan mengkaji peraturan perundangan, dokumen maupun jurnal hukum, serta hasil-hasil penelitian terdahulu. Penyelesaian sengketa bisnis utang piutang dalam konsep kepailitan dan wanprestasi.

4.      Metode Analisis Data

Metode analisis data dilakukan dengan menghimpun data melalui penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, baik berupa dokumen-dokumen maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5.      Metode Penyajian Data

Metode penyajian data yang digunakan adalah metode deduktif dan metode induktif. Metode deduktif adalah metode yang menarik suatu kesimpulan dari hal yang umum yaitu perundang-undangan kemudian dihubungkan dengan praktek yang terjadi. Metode induktif adalah metode yang menarik kesimpulan dan praktek yang terjadi kemudian dihubungkan dengan hal-hal yang umum, yaitu perundang-undangan.

 

Hasil dan Pembahasan

1.      Mekanisme Penyelesaian Sengketa Bisnis Utang Piutang Menurut Konsep Kepailitan Dan Wanprestasi

Berhentinya debitur membayar utang lebih dari jangka waktu yang disepakati tersebut tentu akan menyebabkan kreditur menggunakan hak tagihnya terhadap debitur


atas��� pemenuhan��� utangnya.�� Bila��� wanprestasi��� ini��� berkembang��� menjadi��� konflik berkelanjutan di antara para pihak, sengketa yang timbul dari konflik tersebut dapat diselesaikan dengan dua proses, yaitu proses penyelesaian sengketa secara damai dan kooperatif di luar pengadilan dan proses litigasi di dalam pengadilan. Untuk menyelesaikan sengketa utang piutang yang akan diselesaikan ke pengadilan, pihak yang bersengketa harus melihat dahulu ketika perjanjiannya dibuat. Jika perjanjian itu dibuat berdasarkan prinsip konvensional, maka penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Negeri.

Dalam memutuskan suatu kasus wanprestasi hakim akan mengusulkan kepada kedua belah pihak yang bersengketa untuk melakukan proses mediasi sebelum memutuskan untuk tetap melanjutkan proses penyelesaian sengketa mereka melalui pengadilan, dan bila para pihak mencapai kesepakatan dalam proses mediasi, hal ini dikarenakan mereka mempertimbangkan banyak hal diantaranya para pihak mengharapkan jangka waktu penyelesaian perkara yang singkat dan terwujudnya komunikasi yang baik di antara para pihak sehingga tidak akan ada pihak yang dirugikan mengingat bahwa mereka adalah pihak yang sering melakukan perjanjian dan jika mereka sampai berperkara di pengadilan sedikit banyaknya hal tersebut akan berpengaruh terhadap kepercayaan pihak lain yang mengadakan perjanjian dengan mereka.

Pada awalnya, kepailitan dibentuk karena adanya kebutuhan untuk mengatur tata cara penagihan utang debitur yang memiliki banyak kreditur, sedangkan harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar sejumlah utangnya. Hal ini yang membedakan antara penyelesaian sengketa utang piutang melalui kepailitan di Pengadilan Niaga dan penyelesaian melalui gugatan wanprestasi melalui Pengadilan Negeri.

Syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditur juga disebut sebagai concursus creditorum. Syarat ini merupakan filosofi bahwa hukum kepailitan lahir sebagai realisasi dari Pasal 1132 KUHPerdata dimana dengan adanya kepailitan, diharapkan pelunasan utang debitur kepada kreditur-kreditur dapat dilaksanakan secara seimbang dan adil (Makmur, 2018).

Debitur yang tidak dapat memenuhi kewajibannya karena adanya kesalahan disebut wanprestasi dan kalau debitur tidak ada kesalahan maka disebut overmacht. Wanprestasi merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap perjanjian utang piutang sebagai sumber dari persengketaan yang terjadi antara kreditur dengan debitur. Bentuk- bentuk wanprestasi dapat digolongkan menjadi tiga bentuk, yaitu : debitur tidak dapat memenuhi prestasi sama sekali, debitur terlambat dalam memenuhi wanprestasi, dan debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya. Apabila debitur wanprestasi atau tidak memenuhi prestasinya, maka kreditur dapat melakukan beberapa cara untuk menagih utang. Cara-cara tersebut dilakukan agar kreditur tidak merasa dirugikan. Apabila dilihat dari perspektif hukum perdata,, penagihan terhadap utang yang macet dapat dilakukan beberapa cara, yaitu : penagihan utang melalui pengadilan, penagihan utang melalui kepailitan, dan penagihan utang dengan cara lelang.

2.      Implementasi dari adanya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang merupakan manifestasi dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata


Perjanjian yang telah dibuat dan disepakati menimbulkan utang piutang. Menurut Pasal 1754 KUHPer (1847), diungkapkan bahwa utang piutang merupakan pinjam meminjam, pinjam meminjam pada hakikatnya merupakan perjanjian antara pihak yang meminjamkan sesuatu dengan pihak yang menerima pinjaman. Bentuk dari pinjam meminjam bisa berupa uang atau barang. Konsep dari utang piutang sama dengan pinjam meminjam. Utang adalah suatu kewajiban yang harus diselesaikan oleh debitur untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Undang-undang (KUH Perdata) tidak mengatur bahwa agar suatu perjanjian mengikat secara sah para pihaknya, maka perjanjian tersebut harus dituangkan secara tertulis. Undang-undang hanya mensyaratkan bahwa agar suatu perjanjian dapat sah mengikat para pihak maka harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 22 KUH Perdata. Syarat-syarat perjanjian menurut Pasal 1320 terdiri dari : Sepakat mengikatkan diri para pihak yang membuatnya, cakap untuk membuat perjanjian, mengenai suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.

Adanya debitur yang wanprestasi dalam perjanjian utang-piutang paling tidak dapat mengakibatkan 2 (dua) hal yakni : pertama, barang-barang debitur secara umum disita dan dijual untuk barang-barang debitur yang telah dijadikan jaminan dijual oleh kreditur pemegang hak jaminan. Kedua, debitur tersebut digugat pailit, yang selanjutnya apabila dinyatakan pailit barang-barang debitur diinventarisir dan dicocokkan dengan piutang para kreditur dan akhirnya dijual untuk melunasi utang debitur. Dalam keadaan yang demikian, Pengadilan Niaga akan berwenang mengadili dan memutuskan sengketa, jika sengketa tersebut menyangkut kepailitan sedangkan Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa apabila sengketa tersebut menyangkut gugatan kreditur agar barang-barang jaminan dijual baik di muka umum (lelang) maupun di bawah tangan.

Pada prinsipnya menurut hukum, segala harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan bagi utangnya dengan semua kreditur. Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Pasal 1131 menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Kekayaan debitur yang dimaksud meliputi benda bergerak maupun benda tetap, baik yang sudah ada saat perjanjian utang piutang diadakan maupun yang baru akan ada di kemudian hari yang akan menjadi milik debitur setelah perjanjian utang piutang diadakan. Jadi dengan demikian tanpa terkecuali seluruh harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan umum atas pelunasan utangnya, baik yang telah diperjanjikan maupun yang tidak diperjanjikan sebelumnya. Jaminan umum ini dilahirkan karena undang-undang, sehingga tidak perlu ada perjanjian jaminan sebelumnya.

 

Kesimpulan

Wanprestasi terjadi ketika debitur gagal memenuhi kewajibannya dalam perjanjian utang piutang. Hal ini dapat berupa ketidakmampuan untuk membayar utang, keterlambatan pembayaran, atau pelaksanaan yang tidak sesuai dengan ketentuan


perjanjian. Penyelesaian sengketa yang timbul dari wanprestasi dapat diselesaikan melalui dua proses litigasi di dalam pengadilan. Proses mediasi sering direkomendasikan oleh hakim sebelum melanjutkan proses litigasi.

Perjanjian utang piutang merupakan kesepakatan antara pihak yang meminjamkan dengan pihak yang menerima pinjaman. Perjanjian ini dapat berbentuk tertulis atau tidak, namun harus memenuhi syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam hukum, seperti kesepakatan para pihak, kemampuan hukum, objek yang jelas, dan sebab yang sah.

Kepailitan terjadi ketika seorang debitur tidak dapat membayar utang kepada dua atau lebih kreditur. Tujuan kepailitan adalah untuk mengatur tata cara penagihan utang secara seimbang dan adil kepada kreditur-kreditur. Pengadilan Niaga berwenang mengadili sengketa yang berkaitan dengan kepailitan, sedangkan Pengadilan Negeri menangani gugatan kreditur terkait penjualan barang jaminan.

Dalam perjanjian utang piutang, semua harta kekayaan debitur menjadi jaminan umum atas pelunasan utangnya kepada kreditur. Hal ini berlaku baik untuk benda bergerak maupun benda tetap, yang sudah ada saat perjanjian dibuat maupun yang akan ada di masa depan.

�����������������������������������������������������������������

�����������������������������������������������������������������


BIBLIOGRAFI

 

Afiani, Tri, Susilowati, Etty, & Djais, Moch. (2016). Penyelesaian Sengketa sebagai Akibat Ditolaknya Permohonan Pailit pada Perusahaan Modal Ventura. Diponegoro Law Journal, 5(2), 1�15.

 

Al Kautsar, Izzy, & Muhammad, Danang Wahyu. (2020). Urgensi Pembaharuan Asas- Asas Hukum Pada Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Berdasarkan Teori Keadilan Distributif. Jurnal Panorama Hukum, 5(2), 182�192.

 

Amedi, Azeem Marhendra. (2018). Analisis Politik Hukum Pendidikan Dasar di Indonesia Demi Menyongsong Era Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Padjadjaran Law Review, 6.

 

Frisyudha, Aryabang Bang, Budiartha, I. Nyoman Putu, & Styawati, Ni Komang Arini. (2021). Renegosiasi sebagai Upaya Penyelesaian Wanprestasi dalam Kontrak Bisnis Selama Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Konstruksi Hukum, 2(2), 344�349.

 

Gosan, Jordi Living, & Tanawijaya, Hanafi. (2022). Analisis Sengketa Penarikan Objek Jaminan Fidusia Secara Paksa (Studi Kasus Putusan No. 113/PDT. G/2018/PN. BTM). Jurnal Hukum Adigama, 5(1), 1555�1578.

 

Indonesia, Sekretariat Negara Republik. (2004). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Lembaran RI Tahun, 34.

 

Kasdi, Regina Nitami, & Margono, Suyud. (2019). Analisis Putusan Pengadilan Niaga Terkait Akibat Hukum Permohonan Pkpu Yang Diajukan Oleh Pihak Yang Tidak Berwenang (Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 24/Pdt. Sus-Pkpu/2018/Pn. Niaga. Jkt. Pst). Jurnal Hukum Adigama, 2(2), 1399�1423.

 

Makmur, Syafrudin. (2018). Kepastian Hukum Kepailitan Bagi Kreditur dan Debitur Pada Pengadilan Niaga Indonesia. Mizan: Journal of Islamic Law, 4(2).

 

Mantili, Rai. (2022). Kompetensi Absolut Pengadilan Niaga Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Utang Piutang. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 8(1), 39�58.

 

Nasution, Krisnadi. (2019). Kedudukan Kreditor Pada Benda Yang Telah Difidusiakan.

Mimbar Keadilan, 12(2), 167�180.

 

Putra, Fani Martiawan Kumara. (2014). Eksistensi Kreditor Separatis Sebagai Pemohon Dalam Perkara Kepailitan. Perspektif, 19(1), 1�19.

 

Putra, Reval Pradana, & Hariyana, Trinas Dewi. (2022). Pertanggungjawaban Debitur Yang Tidak Melaksanakan Kewajibannya Terhadap Kreditur Berdasarkan

 

Syntax Literate, Vol. 8, No. 6, Juni 2023

 

4094

 


Perjanjian PKPU (Studi Kasus PT. ST). WELFARE STATE Jurnal Hukum, 1(2), 123�154.

 

Ridwan, Taufik, & Lailasari, Ita. (2020). Strategi Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Penerimaan Peserta Didik Baru SMK Syntax Business School (SBS) Kuningan. Jurnal Ilmiah Social Teknik, 2(2), 104�110.

 

Rusli, Tami, Aprinisa, Aprinisa, & Diningrat, Raja Kapitan. (2023). Implementasi Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Dengan Jaminan Tanah dan Bangunan (Studi Putusan Nomor 62/Pdt. G/20222/PN. Tjk). JURNAL RECTUM: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana, 5(1), 1137�1149.

 

Sagala, Elviana. (2015). Efektifitas Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Untuk Menghindarkan Debitur Dari Pailit. Jurnal Ilmiah Advokasi, 3(1), 38�56. https://doi.org/10.36987/JIAD.V3I1.389

 

Sihabudin, Sihabudin, & Adhitama, Edo. (2023). Hak Kreditor Dengan Tagihan Piutang Tertolak Dalam Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Arena Hukum, 16(1), 83�104.

 

Tiodor, Patricia Caroline, & Tjahyani, Murendah. (2023). Pembuktian Wanprestasi Perjanjian Utang Piutang Secara Lisan. Krisna Law: Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, 5(1), 27�39.

 

Tumbel, Trivena Gabriela Miracle. (2020). Perlindungan Konsumen Jual Beli Online Dalam Era Digital 4.0. Lex Et Societatis, 8(3).

 

Warouw, Jen Lidya. (2017). Kajian Hukum Tentang Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lex Crimen, 6(6).

 

Copyright holder:

Regina Rachmadayanti, Ariawan Gunadi (2023)

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

This article is licensed under: