Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 6, Juni 2023
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH YANG PEROLEHANNYA SECARA ITIKAD BAIK
Riany Linggar Sari,
Hanafi Tanawijaya
Universitas Tarumanagara
E-mail: [email protected], [email protected]
Abstrak
Peralihan
tanah melalui pemberian mahar merupakan salah satu cara peralihan yang sah
dimata hukum. Bukti peralihan tersebut terdapat dalam kutipan akta nikah dapat
dijadikan sebagai alas hak untuk menerbitkan sertifikat hak milik nikah. Namun,
banyak sengketa tanah di Indonesia salah satunya menerbitkan sertifikat tanpa
sepengetahuan pemilik asli. Hal ini merupakan perbuatan melawan hukum.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan mencari sumber atau data penelitian melalui pustaka
atau menggunakan data sekunder dan bahan hukum tersier. Penelitian ini memiliki
dua tujuan yaitu mengetahui perlindungan
hukum bagi pemegang sertifikat tanah yang perolehannya secara iktikad baik dan mengetahui akibat hukum yang terjadi apabila pembeli melakukan
wanprestasi terhadap pemegang sertifikat tanah. Hasil penelitian ini yaitu
kutipan akta nikah yang memuat mahar tanah di dalamnya dapat dijadikan
sanggahan jika pihak lain membuat sertifikat hak milik tanah dengan namanya
sendiri. Mahar dalam Islam merupakan pemberian wajib yang tidak boleh diambil
kembali kecuali atas keridhoan istri. Istri dapat menggugat pihak lain melalui tiga cara yaitu diskusi, arbitrase
dan pengadilan. Akibat hukum yang terjadi apabila terjadi wanprestasi terhadap
pemberian mahar yaitu pelanggar memiliki tanggung jawab mutlak untuk
membuktikan seluruh tindakannya benar dan pihak yang dirugikan dapat menuntut
ganti kerugian ke pengadilan.
Kata kunci : Perlindungan; Hak Atas Tanah; Sertipikat.
Abstract
The transfer of land through dowry is one of the legal means of
transfer in the eyes of the law. Proof of the transition contained in the
marriage certificate citation can be used as a basis for the right to issue a
marriage title certificate. However, there are many land disputes in Indonesia,
one of which is issuing certificates without the knowledge of the original
owner. This is against the law. This research uses a type of normative legal
research, namely legal research conducted by looking for sources or research
data through libraries or using secondary data and tertiary legal materials.
This study has two objectives, namely knowing the legal protection for land
certificate holders whose acquisition is in good faith and knowing the legal
consequences that occur if the buyer defaults on the land certificate holder. The
result of this study is that the quotation of a marriage certificate containing
a land dowry in it can be used as a refutation if the other party makes a land
title certificate with his own name. Dowry in Islam is a compulsory gift that
cannot be taken back except at the pleasure of the wife. Wives can sue the
other party through three ways: discussion, arbitration and court. The legal
consequences that occur in the event of default on the dowry are that the
violator has absolute responsibility to prove that all his actions are correct
and the injured party can claim compensation to the court.�
Keywords : Protection; Land Rights; Certificate.
Pendahuluan
Berdasarkan ketentuan konstitusi, Indonesia
digolongkan sebagai negara hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat
(3) �Negara Indonesia adalah negara hukum�. Berdasarkan pasal yang dimaksud
negara hukum (rechstaat) merupakan negara yang menggunakan hukum menyelesaikan
segala perkara yang ada dalam negaranya. Negara ini sangat menjunjung tinggi
prinsip hukum, mengusahakan kepastian dan jaminan hukum untuk masyarakatnya
serta menjaga ketertiban dan mengupayakan masyarakatnya mendapatkan
perlindungan hukum (Zaini, 2020). Untuk memperoleh kepastian hukum, maka
diharuskan untuk memiliki alat bukti yang sah secara hukum. Alat bukti ini
berfungsi agar hak dan kewajiban masyarakat sebagai subjek hukum mendapatkan
jaminan dari negara dan pemerintah (S. H.
Supriadi, 2023).
Perkawinan merupakan perbuatan yang mengandung
hak dan kewajiban dan harus dijalani oleh kedua belah pihak (Aisyah, 2022). Perkawinan merupakan syariat islam yang
dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dianjutkan. Seorang pria yang telah menikah menimbulkan
hak dan kewajiban atas istrinya, begitupun sebaliknya. Hak dan kewajiban ini
dapat berupa harta dan tugas masing-masing dalam rumah tangga. Dalam ketentuan
agama Islam, perkawinan disebut dengan kata nikah merupakan suatu perbuatan
dimana pria mengucapkan ijab dan wanita menerima (kabul) ijab dari pria dengan
memberi faedah diperbolehkan melakukan istimta (persetubuhan) (Puniman, 2018).
Berdasarkan perspektif Islam, rukun perkawinan
ada lima yaitu sebagai berikut; 1) calon suami, 2) calon istri, 3) wali nikah,
4) saksi nikah, 5) ijab Qabul.
Apabila kelimanya terpenuhi maka perkawinan dapat dinyatakan sah secara Agama
islam (Puniman, 2018). Hal ini diperkuat oleh Hadist Nabi Muhammad
yang diriwayatkan oleh Ahmad menyatakan bahwa �tidak sah nikah kecuali dengan
wali dan dua orang saksi yang adil�. Sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
mempelai harus memenuhi syarat sah perkawinan. Di luar syarat yang disebutkan
diatas, terdapat persyaratan lain yaitu mahar atau disebut juga dengan mas
kawin.
Calon suami diwajibkan untuk menyerahkan mahar
kepada calon istri sebagai pemberian wajib. Mahar tidak ditentukan ukuran dan
bentuknya. Pemberian mahar merupakan wujud dari ikatan perkawinan kedua
mempelai. Mahar akan menjadi milik calon istri sebagai tanda halal hubungan
mereka (Puniman, 2018). Mahar merupakan pemberian wajib mempelai
laki-laki kepada mempelai wanita. Pemberian mahar bukan berarti membeli wanita
tersebut. Mahar merupakan bentuk gambaran keinginan dan tanggungjawab seorang
laki-laki kepada perempuan (Prajayanti, 2016).
Tanah yang dijadikan mahar merupakan milik
pihak perempuan dibuktikan dengan sertifikat hak atas tanah dan didukung oleh
kutipan akta nikah. Kepemilikan tanah melalui pemberian mahar ini sah secara
hukum dan tidak dapat diganggu gugat.
Dalam beberapa kasus banyak terjadi sengketa
tanah di Indonesia. Sengketa tanah ini terjadi karena lemahnya perlindungan
hukum terhadap pemilik sertifikat hak atas tanah di Indonesia. Sihombing, (2022) menjelaskan definisi dari perlindungan hukum
yaitu suatu tindakan dalam melindungi masyarakat dari oknum atau elemen yang
berkuasa dengan sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku. Pemilik memiliki sertifikat dengan iktikad baik dan tidak mendapatkan
haknya dapat mengajukan ganti kerugian (Kumalasari & Sudiarta, 2020). Maka yang merugikan perbuatan melawan hukum
yang menimbulkan kerugian dapat diminta ganti rugi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis
mengambil judul penelitian �Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak
Atas Tanah Yang Perolehannya Secara
Iktikad Baik�. Adapun tujuan dari penelitian
ini untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat tanah yang perolehannya secara iktikad baik dan mengetahui akibat hukum yang
terjadi apabila pembeli melakukan wanprestasi terhadap pemegang sertifikat
tanah.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan yaitu
penelitian hukum normatif. Penelitian ini dilakukan dengan mencari sumber atau
data melalui research library atau studi kepustakaan. Untuk menyelesaikan
penelitian ini, peneliti menggunakan data sekunder dan bahan hukum tersier.
Data sekunder adalah ada adalah data yang diperoleh dan ditelaah dari kajian
ataupun karya ilmiah orang lain, peraturan, data dan dokumen dari suatu
instansi dan bahan lainnya yang bersumber dari pihak ketiga dan berhubungan
dengan penelitian ini. Bahan - bahan hukum tersebut dikaji lalu disusun secara
deskriptif kualitatif dan sistematis untuk ditarik suatu kesimpulan yang akan
dijadikan hasil penelitian.
Hasil dan Pembahasan
A.
Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sertifikat
Tanah Yang Diperoleh Dengan Iktikad Baik
Pemegang sertifikat
harus dilakukan secara maksimal oleh para penegak hukum dan perumus
undang-undang. Sertifikat merupakan jaminan yang kuat dalam pendaftaran tanah
dan ini merupakan wujud dari kepastian hukum. Berdasarkan Pasal 24 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 1997 tentang pendaftaran tanah disebutkan
beberapa hal yang diperlukan terkait pendaftaran tanah. Adapun hal yang
diperlukan yaitu bukti tertulis tentang hak kepemilikan, keterangan saksi,
surat tanah yang diterbitkan oleh badan pertanahan negara, dan bukti peralihan
hak tanah apabila didapatkan dari peralihan (Mahawira &
Landra, 2019).
Sertifikat hak milik
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. kekuatan hukum sempurna dapat
diartikan sebagai alat bukti yang tidak perlu dibuktikan lagi kecuali ada bukti
lawan yang dapat menafikan alat bukti tersebut (Erliyani, 2017). Disamping itu, berdasarkan Undang-Undang
Ponok Agraria nomor 5 Tahun 1960 menyebutkan bahwa sertifikat mengandung
pembuktian sebagai berikut: 1) kekuatan pembuktian lahir, 2) kekuatan
pembuktian formil, 3) kekuatan pembuktian materil. Kekuatan pembuktian lahir
dimaksudkan sebagai suatu akta yang dapat diperlihatkan dan diperlukan sebagai
akta otentik kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Kekuatan pembuktian formil,
dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian yang berkaitan dengan kebenaran
suatu peristiwa sehingga segala sesuatu yang terdapat dalam akta adalah suatu
kebenaran kecuali ada pihak lain yang dapat membuktikan ketidakbenaran
informasi dalam akta (Mahawira &
Landra, 2019).
Dalam upaya mewujudkan
kepastian hukum, maka dicetuskanlah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Kegiatan pendaftaran tanah untuk mendapatkan
sertifikat tanah perlu dicermati dan mendapatkan bukti yang sah seperti yang
dituangkan dalam aturan dan persyaratan pendaftaran hak atas tanah (Mahawira &
Landra, 2019).
Tanah yang didapat
dari pemberian mahar merupakan milik Istri sebagaimana yang tercantum dalam
kutipan akta pernikahan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997
bahwa akta nikah dapat dijadikan sebagai alas hak untuk diterbitkannya
sertifikat tanah mahar. Objek tanah dapat dialihkan secara keseluruhan melalui
bukti kutipan akta nikah yang menyebutkan tanah sebagai mahar. Secara normatif
pendaftaran tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan diimplementasikan oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang merupakan jaminan
dari kepastian hukum kepada pemilik mahar berupa tanah.
Undang-Undang Pokok
Agraria telah menjamin hak atas tanah termasuk tanah mahar. Hal ini diatur
lebih lanjut dalam Pasal 19 ayat (1) yang berbunyi �untuk menjamin kepastian
hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah�.
Undang-undang ini memberikan kepastian hukum ketika terjadinya sengketa di
pengadilan. Hal ini diperkuat oleh Pasal 10 ayat (2) poin c yang berbunyi
�pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat�.
Perlindungan hukum
ditemukan dalam rumusan Pasal 18 UUPA yang menyebutkan bahwa hak atas tanah
memiliki fungsi sosial, dan tidak berarti kepentingan pemilik hak atas tanah
dikesampingkan. Dalam rangka perlindungan hukum, hak atas tanah tidak dapat
diambil oleh orang lain meskipun untuk kepentingan umum. Pemegang hak atas
tanah memiliki hak penuh dan wajib mendapatkan ganti kerugian sebagai bentuk
penghormatan kepadanya apabila tanahnya diambil alih untuk kepentingan umum.
Dengan kata lain, tanah mahar yang telah didaftarkan mendapatkan jaminan hukum
oleh pemerintah dan memiliki alat bukti yang sempurna dan kuat dalam perkara di
pengadilan (Supriadi
Supriadi, 2019).
Dalam rangka
memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan, maka pemerintah perlu
melakukan reformasi dibidang pertanahan khususnya hukum pertanahan dengan
menyediakan perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas. Hal ini harus
dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan isi peraturan yang telah ada. Dalam
kasus yang telah dibahas pada latar belakang, penulis menemukan banyak kasus
sengketa tanah yang menyerupai kasus tersebut.
Pada saat ini,
perlindungan hukum bagi pemilik sertifikat hak milik asli melalui tiga cara
upaya hukum yaitu sebagai berikut (Kus &
Khisni, 2017): (a) Melakukan musyawarah dengan pihak bersengketa. (b) Menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa kesepakatan yang dibuat dalam bentuk tertulis
dan disetujui oleh para pihak. (c) Menyelesaikan sengketa melalui pengadilan
Berdasarkan penjelasan
sebelumnya, kutipan akta nikah yang memuat mahar tanah di dalamnya dapat
dijadikan sanggahan jika ada pihak lain yang membuat sertifikat hak milik tanah
atas namanya sendiri. Pemilik tanah dapat melakukan menyelesaikan perkara
melalui tiga cara yaitu diskusi secara kekeluargaan, penyelesaian melalui
arbitrase, dan penyelesaian sengketa.
B.
Akibat Hukum Apabila Terjadi Peralihan Nama
Tanpa persetujuan Pemilik Sertifikat Tanah Asli.
Peneliti menemukan
bahwa pemilik sertifikat hak atas tanah dan akan mendapatkan perlindungan hukum
dari segi hukum perdata. Pihak pemilik sertifikat hak atas tanah memiliki
tanggungjawab untuk memenuhi hak dan kewajiban. Namun apabila ada terjadi
tindakan yang berakibat kerugian bagi pemilik sertifikat maka:
1.
Tergugat memiliki tanggungjawab mutlak (strict liability) terhadap kerugian yang dialami oleh pemilik
sertifikat hak atas tanah.
Tanggung jawab mutlak
merupakan salah satu bentuk dari pertanggungjawaban yang dilakukan oleh
seseorang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian yang timbul
sebagai akibat suatu perbuatan. Strict
liability merupakan tanggungjawab dalam hal ganti kerugian yang dilakukan
langsung setelah muncul kerugian (Windari, 2015). Berdasarkan hal tersebut, pemilik sertifikat
hak atas tanah tidak perlu membuktikan perbuatan yang dilakukan oleh pihak yang
wanprestasi. Tergugat lah yang seharusnya melakukan pembuktian berdasarkan Strict liability. Bentuk aturan seperti ini
memudahkan pemilik sertifikat tanah di pengadilan jika tergugat terbukti
melakukan pelanggaran.
Tanggungjawab dapat
muncul apabila terjadi pelanggaran terhadap perjanjian ataupun tindakan yang
merugikan salah satu pihak. Apabila terjadi kerugian terhadap pemilik
sertifikat tanah maka yang akan bertanggungjawab mutlak adalah orang yang
melakukan melawan hukum. Ketika ada orang yang tanpa hak menerbitkan sertifikat
atas nama dirinya sendiri tanpa sepengetahuan orang pemilik asli maka tindakan
itu merugikan pemilik asli hak atas. Pihak tersebut dapat dimintai
pertanggungjawaban berdasarkan perbuatan melawan hukum yang dilakukannya.
Terhadap pemilik hak
atas tanah asli yang merasakan dirugikan akibat peralihan nama tanpa
persetujuannya dapat menerapkan prinsip strict
liability. (Sodikin, 2022). Jadi, dalam hal ini yang wajib membuktikan
adalah tergugat.
2.
Perbuatan ini akan menimbulkan gugatan ganti kerugian dari pemilik
sertifikat hak atas tanah yang asli
Sudikno Mertokusumo
menyatakan bahwa tuntutan hak merupakan salah satu tindakan yang difasilitasi
oleh pengadilan dalam rangka mencegah main hakim sendiri (eigenrechting). Gugatan adalah suatu tuntutan yang tuntutan yang
dapat disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang karena adanya
sengketa dan hakim harus memeriksa tuntutan tersebut berdasarkan tata cara yang
telah ditentukan dan kemudian akan melahirkan suatu keputusan atas gugatan
tersebut (Asikin, 2004).
Gugatan ganti rugi
merupakan suatu upaya yang dapat menunjukkan upaya pihak yang dirugikan untuk
menuntut kembali hak � hak yang telah diambil darinya atau memaksa pihak yang
ingkar janji untuk melaksanakan tugas dan kewajiban. Gugatan ini merupakan
tindakan yang dapat memulihkan kembali kerugian yang telah diderita penggugat
melalui putusan pengadilan. Tuntutan hak ini memiliki tujuan untuk memperoleh
perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan kepada pihak yang merasa
dirugikan akibat perbuatan pelanggar. Namun, dalam proses pengadilan penggugat
harus memiliki kepentingan yang cukup dan layak serta harus memiliki dasar
hukum yang dapat menerima hal tersebut sebagai dasar tuntutan hak (Poesoko, 2015).
Kesimpulan
Sertifikat tanah merupakan laat bukti yang
kuat dan sempurna, artinya alat bukti yang tidak perlu dibuktikan lagi kecuali
ada alat bukti pembantah atau alat bukti lain yang menyatakan ketidakbenaran
atau keotentikan dari sertifikat tanah. Tanah yang didapat dari pemberian mahar
merupakan tanah yang didapat secara sah. Kepemilikan tanah dari pemberian mahar
dinyatakan melalui kutipan akta nikah. Hal ini berarti, kutipan akta nikah
dapat dijadikan sebagai alat bukti yang kuat untuk membantah keberadaan
sertifikat hak atas tanah yang terbit atas nama pihak lain. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah
nomor 24 Tahun 1997 bahwa akta nikah dapat dijadikan sebagai alas hak untuk
diterbitkannya sertifikat tanah mahar. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang peraturan Pokok - Pokok Agraria (UUPA) dan diimplementasikan oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang
merupakan jaminan dari kepastian hukum kepada pemilik mahar berupa tanah. Hal
ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 19 ayat (1) yang berbunyi �untuk menjamin
kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah
Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan
pemerintah�.
�
BIBLIOGRAFI
Aisyah, Siti. (2022). Hak dan Kewajiban Suami Istri di Masa Pandemi
Perspektif UU Perkawinan di Indonesia. Al-Adillah: Jurnal Hukum Islam, 2(1),
1�13.
Asikin, Zainal. (2004). Amiruddin. Pengantar Metode
Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Erliyani, Rahmida. (2017). Hukum Pembuktian di Peradilan
Agama. Penerbit K-Media.
Kumalasari, Putu Apriliani, & Sudiarta, I. Ketut. (2020).
Pemberian Ganti Rugi Kepada Pemilik Tanah atas Penggunaan Tanah Perseorangan
Tanpa Pembebasan oleh Pemerintah. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 8(3),
301�318.
Kus, Kuswanto, & Khisni, Akhmad. (2017). Perlindungan
hukum bagi pemegang hak atas tanah dalam kasus tumpang tindih kepemilikan atas
sebidang tanah di Badan Pertanahan Nasional/ATR Kabupaten Kudus. Jurnal Akta,
4(1), 71�74.
Mahawira, Made Dananjaya, & Landra, Putu Tuni Cakabawa.
(2019). Perlindungan Hukum Pemegang Sertifikat Kepemilikan Atas Tanah Yang
Berusia Diatas Lima Tahun. Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum, 8(7),
1�16.
Poesoko, Herowati. (2015). Penemuan hukum oleh hakim dalam
penyelesaian perkara perdata. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 1(2),
215�237.
Prajayanti, Antiya Safira. (2016). Mahar Sebagai Bukti
Ketulusan Kaum Adam Untuk Mendapatkan Cinta Atas Ridho Ilahi. Jurnal
Yudisial, 9(1), 20.
Puniman, Ach. (2018). hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam
Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Jurnal Yustitia, 19(1).
Sihombing, Karia Agus. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap
Tersangka Dari Kekerasan Penyidik Polri Dan Penegakan Hukum Terhadap Pelaku
Kekerasan Dalam Proses Penyidikan.
Sodikin, Sodikin. (2022). Perkembangan Konsep Strict
Liability Sebagai Pertanggungjawaban Perdata Dalam Sengketa Lingkungan Di Era
Globalisasi. Al-Qisth Law Review, 5(2), 261�298.
Supriadi, S. H. (2023). Etika dan Tanggung Jawab Profesi
Hukum di Indonesia. Sinar Grafika.
Supriadi, Supriadi. (2019). Hak Kepemilikan Mahar Berupa
Tanah dalam Hukum Perkawinan (Analis Menurut Undang-Undang Pokok-Pokok
Agraria). Al-Bayyinah, 3(1), 28�44.
Windari, Ratna Artha. (2015). Pertanggungjawaban mutlak
(Strict Liability) dalam hukum perlindungan konsumen. Jurnal Komunikasi
Hukum (JKH), 1(1).
Zaini, Ahmad. (2020). Negara Hukum, Demokrasi, dan HAM. Al
Qisthas: Jurnal Hukum Dan Politik Ketatanegaraan, 11(1), 13�48.
Copyright
holder: Riany
Linggar Sari, Hanafi Tanawijaya (2023) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |