Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10 Oktober 2022

 

 

PENGABAIAN PENERAPAN PASAL 1245 KUH PERDATA, FORCE MAJEURE PADA MASA PANDEMI COVID-19

 

Vera Wheni Setijawati Soermawi, Merri Lutfiyah Amelia

Universitas Tarumanagara, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak yang signifikan pada berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan kontrak antara pihak-pihak yang terlibat. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah apakah Pasal 1245 KUH Perdata yang mengatur pembebasan kewajiban kontrak karena keadaan memaksa atau force majeure dapat diterapkan dalam konteks pandemi ini. Dalam penelitian ini, mengeksplorasi isu ini dengan melihat Pasal 1245 KUH Perdata dan konsep force majeure pada masa pandemi Covid-19. Kami juga menyelidiki bagaimana penerapan Pasal 1245 KUH Perdata dan force majeure diabaikan atau diterapkan dalam beberapa kasus yang muncul selama pandemi ini. kesimpulan yang ditarik dalam kasus-kasus spesifik akan bervariasi tergantung pada klausul kontrak yang ada, hukum yang berlaku di yurisdiksi yang relevan, dan interpretasi pengadilan. Beberapa pengadilan mungkin mengakui pandemi Covid-19 sebagai force majeure yang membebaskan pihak-pihak dari kewajiban kontrak tertentu, sementara yang lain mungkin tidak. Selain Pasal 1245 KUH Perdata, ada juga prinsip-prinsip hukum lain seperti perubahan keadaan yang tidak adil atau doktrin tidak mungkin yang dapat digunakan sebagai dasar hukum alternatif untuk melindungi kepentingan pihak-pihak yang terdampak oleh pandemi ini.

 

Kata kunci: Pasal 1245 KUH Perdata; Force Majeure; Pandemi Covid-19; Hubungan Kontrak; Interpretasi Pengadilan.

 

Abstract

The Covid-19 pandemic has had a significant impact on various aspects of life, including in the contractual relationship between the parties involved. One of the questions that arises is whether Article 1245 of the Civil Code which regulates the release of contractual obligations due to force majeure can be applied in the context of this pandemic. In this study, exploring this issue by looking at Article 1245 of the Civil Code and the concept of force majeure during the Covid-19 pandemic. We also investigated how the application of Article 1245 of the Civil Code and force majeure was ignored or applied in some cases that arose during this pandemic. The conclusions drawn in specific cases will vary depending on existing contractual clauses, applicable law in the relevant jurisdiction, and the court's interpretation. Some courts may recognize the Covid-19 pandemic as a force majeure that exempts parties from certain contractual obligations, while others may not. In addition to Article 1245 of the Civil Code, there are also other legal principles such as unfair changes in circumstances or impossible doctrines that can be used as alternative legal bases to protect the interests of parties affected by this pandemic.

 

Keywords: Article 1245 of the Civil Code; Force Majeure; Covid-19 pandemic; contractual relationship; Court Interpretation

 

Pendahuluan

Tata kelola kehidupan masyarakat pada dasarnya tidak terlepas dari kerjasama antar individu sebagai anggota masyarakat. Sebagai satu kesatuan yang menjalankan peran dan fungsinya, setiap anggota masyarakat memiliki tujuan dalam menjalankan suatu aktivitas, termasuk di dalamnya ketika terlibat dengan hubungan antar individu yang mengakibatkan terbentuknya suatu hubungan baik itu kerjasama atau hubungan yang lebih sederhana. Kehidupan ditengah masyarakat tentunya juga mengandung nilai dan norma yang harus dijalankan untuk dapat menciptakan kehidupan yang damai, tentram dan juga sesuai dengan tujuan dibentuknya masyarakat.

Nilai dan norma yang tumbuh di tengah masyarakat merupakan representasi dari bagaimana kehidupan dijalankan dan aturan yang ditetapkan sebagai nilai dan norma bersama yang harus dilaksanakan. Dalam hubungan antar individu tentunya memiliki motif dan tujuan sendiri yang mendorong setiap individu menjalani hubungan atau kerjasama dengan individu lain. Hal ini menimbulkan suatu hubungan yang harus diatur baik dalam norma sosial maupun ketentuan hukum formal.

Salah satunya adalah hubungan yang mengikat setiap individu dalam tali perjanjian yang mengakibatkan adanya tanggung jawab bagi masing-masing pihak yang terlibat didalamnya. Hubungan yang mengakibatkan adanya perikatan umumnya terjadi dalam taraf hubungan yang cukup penting, seperti kerjasama komersial atau hubungan formal yang mengharuskan setiap individu untuk membuat suatu perjanjian tertulis yang menjadi dasar dari dilakukannya suatu hubungan perjanjian. Oleh karena itu tidak heran apabila perjanjian merupakan suatu hubungan paling mengikat yang berhak diatur berdasarkan hukum positif yang berlaku dalam konteks negara Indonesia.

Perjanjian hadir sebagai sebuah sarana dalam memberikan suatu gagasan mengenai [batasan hak dan juga kewajiban yang harus dilaksanakan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Sebagai suatu sarana, tentunya perjanjian harus dapat mengatur secara proporsional dan adil dari apa yang telah disepakati oleh pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Sehingga dalam menjalankan suatu perjanjian terdapat hal-hal yang harus disepakati terlebih dahulu untuk menimbulkan adanya hak dan kewajiban dari setiap pihak yang terlibat di dalamnya.

Oleh karena itu perjanjian dapat tercipta ketika terdapat unsur-unsur seperti, pihak-pihak yang melakukan perjanjian, adanyanya prestasi yang harus dilakukan, adanya suatu bentuk lisan atau tulisan yang merepresentasikan bentuk perjanjian, syarat tertentu sebagai syarat terjadinya perjanjian serta tujuan yang akan dicapai dalam menjalankan perjanjian tersebut. Sehingga perjanjian dapat dilaksanakan dengan suatu proses yang melibatkan pihak alamnya untuk menetapkan nilai dan jug aturan dalam perjanjian yang mampu menciptakan hubungan antara pihak-pihak tersebut, baik itu berupa hak maupun kewajiban yang harus dijalankan.

Terbentuknya suatu perjanjian, mendorong adanya perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban. Perikatan ini diatur dalam kesepakatan perjanjian, yang menjadi dasar dilaksanakannya perikatan, dan menjadi dasar hukum dalam hubungan perjanjian tersebut. Kekuatan hukum dari suatu perjanjian telah diterapkan dalam KUHPerdata pasal 1338 ayat 1 yang menjelaskan bahwa kesepakatan atau perjanjian memiliki kekuatan mengikat, sebagai dasar bagi para pihak yang membuatnya. Sehingga dasar dari pelaksanaan perjanjian harus berlaku dan sesuai dengan apa yang telah disepakati di awal, kecuali telah terjadi suatu tindakan yang didalamnya tidak diatur dalam kesepakatan dan perlu mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku mengenai perjanjian dan perikatan yang berlaku bagi pihak-pihak yang terlibat perjanjian.

Dalam suatu perjanjian umumnya setiap pihak harus menjalankan kewajibannya dengan tetap mempertimbangkan hal-hal dari pihak lain sesuai dengan kesepakatan. Tetapi tidak jarang juga terjadi suatu pengingkaran dari kewajiban akibat berbagai faktor yang menyebabkannya. istilah wanprestasi dalam suatu perjanjian memang umum terjadi, terutama ketika perjanjian tersebut bersifat komersial. Wanprestasi merupakan kondisi dimana pemenuhan prestasi tidak dapat dilaksanakan sesuai perjanjian dan mengakibatkan kerugian bagi pihak lain.

Dalam suatu perjanjian komersial, dikenal istilah kreditur yakni pihak yang memberikan hak kepada pihak debitur, yang merupakan pihak yang wajib untuk memenuhi prestasi usaid dengan kesepakatan. Istilah wanprestasi ini merupakan kondisi ikana debitur tidak mampu memenuhi prestasi atau kewajiban kepada kreditur dan mengakibatkan kerugian bagi kreditur.

Menurut Simanjuntak (2009) wanprestasi diartikan sebagai kondisi seseorang atau pihak dalam suatu perjanjian tidak dapat melaksanakan prestasi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian, dimana kondisi tersebut ditetapkan berdasarkan hukum mengenai perjanjian. Wanprestasi ini dapat diartikan sebagai kondisi dimana debitur dinilai tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya terhadap kewajiban yang harus dipenuhi yakni berupa prestasi, yang didasarkan atas hukum yang ditetapkan mengenai perjanjian. Sehingga pengertian ini menjelaskan mengenai unsur kondisi wanprestasi yakni ditetapkan oleh hukum sebagaimana diatur pada suatu undang-undang atau peraturan mengenai perjanjian. Oleh karena itu wanprestasi merupakan kondisi yang berkenaan dengan suatu ketentuan mengenai perjanjian dan kesepakatan yang telah ditetapkan oleh pihak-pihak yang terlibat didalamnya.

Wanprestasi menurut Satrio (2012) diartikan sebagai suatu pelanggaran yang terjadi pada ketentuan hukum mengenai perjanjian. Pengertian ini diartikan lebih kompleks sebagai suatu kondisi ketika prestasi yang seharusnya dipenuhi oleh debitur tidak dapat dilunakkan,d dengan berbagai faktor yang mengakibatkannya, dan faktor tersebut dinilai menjadi salah satu penyebab pelanggaran ketentuan hukum mengenai perjanjian. Sehingga pengertian ini menempatkan wanprestasi sebagai kondisi pelanggaran terhadap ketentuan hukum mengenai perjanjian, sehingga kondisi wanprestasi juga harus mengacu pada hukum mengenai perjanjian itu sendiri. Sehingga pengertian ini menjelaskan secara abstrak bahwa kondisi wanprestasi merupakan kondisi yang melanggar hukum mengenai perjanjian, yang artinya kondisi ini dilarang dalam hukum perjanjian, dan dinilai sebagai kondisi yang tidak sesuai dengan hukum tentang perjanjian.

Wanprestasi sebagai kondisi yang dinilai melanggar ketentuan hukum mengenai perjanjian, dan diatur berdasarkan kesepakatan yang telah disetujui oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kesepakatan perjanjian.� Namun ketentuan mengenai wanprestasi ini juga harus menyasar pada kaidah hukum yang tepat untuk menentukan suatu pihak mengalami kondisi wanprestasi. Hal ini karena adanya berbagai bentuk faktor yang menjadi akibat terjadinya wanprestasi di luar kendali pihak yang terlibat.

Oleh karena itu dalam ketentuan mengenai wanpretsasis endiri dikenal istilh force majure. istilah ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk menjelaskan mengenai kondisi wanprestasi yang dialami pihak kreditur terhadap prestasi yang harus dijalani dengan kondisi yang kurang menguntungkan dan kondisi yang dinilai di luar kehendak pihak kreditur. Kondisi yang diluar kendali inilah yang juga diatur dalam kaidah hukum mengenai perjanjian, yang dikenal dengan istilah force majeure.

Force majeure merupakan suatu konsep yang dimulai dari vis motor cui resisti non potest yakni ketentuan hukum Roma, yang diadaptasi oleh banyak sistem hukum yang berlaku di banyak negara Eropa dan menyebar di Asia. Dalam paradigma common law force majeure diartikan sebagai kondisi ketidakmampuan memenuhi prestasi yang telah disepakati dalam perjanjian, berdasarkan suatu kondisi yang identik dan secara khusus (Isradjuningtias, 2015).

Fiorece majure menjadi konisi dimana keadaan tidak memungkinakan pihak kerdiotur untuk memberikan pemenuhan pertasi akibat dari kondisi yang diluar kendali kreditur. Sehingga dalam hukum perjanjian force majeure terjadi ketika ada kondisi atau keadaan yang memaksa dan tidak dapat dikendalikan, yang dapat berdampak pada pembatalan kontrak berdasarkan kondisi yang terjadi dan demi hukum yang berlaku yang mengatur force majeure tersebut (Khairandy, 2011).

Pendapat Mochtar Kusumaatmadja (2002) memberikan penjelasan mengenai force majeure sebagai suatu prinsip yang ditemukan sebagai alasan untuk menjelaskan tindakan memenuhinya pelaksanaan kewajibannya karena suatu kondisi sepi lenyapnya atau hilangnya obatan serta tujuan yang menjadi pokok perjanjian. Kondisi ini dilaksanakan secara hukuman fisik, tidak disebabkan oleh adanya kesulitan dalam penanganan kewajiban. Sedangkan Mike Komat memberikan pandangan tentang force majeure sebagai suatu keadaan yang berubah serta belum disinggung dalam perjanjian yang mengakibatkan keadaan fundamental dalam perjanjian.

Perubahan yang dimaksudkan belum diperikdisi, mengakibatkan perubahan terus berdampak secara kmpek sk dan meluaskan kewajiban yang harus dilaksanakan serta penggunaan asas dalam perjanjian yang tidak dapat diterapkan dalam kondisi yang tidak tepat tersebut.

Kondisi force majeure dapat terjadi ketika kondisi tertentu tidak dapat dikendalikan dan hal tersebut diluar kemampuan pihak yang terlibat dalam perjanjian. Sehingga hal ini memungkinakan untuk terjadinya pembatalan perjanjin berdasarkan kondisi yang terjadi. Namun meskipun force majeure dapat terjadi dalam suatu perjanjian, prinsip ini juga dijabarkan lagi secara lebih rinci mengenai bagaimana kondisi force majeure yang terjadi dan kondisi mana yang mengharuskan pembatalan perjanjian sebagaimana dinyatakan sebagai kondisi diluar kendali pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian.

Pertama terdapat istilah force majeure absolute. Kata absolute sendiri telah memberikan gambaran bahwa kondisi yang belum disinggung dalam perjanjian tersebut memang benar-benar diluar kendali pihak-pihak yang terlibat. Secara konseptual force majeure absolute dapat dinyatakan sebagai kondisi yang sangat memasan dan diluar kendali pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian yang mengakibatkan pemenuhan prestasi tidak dapat dilakukan sama sekali.

Kedua adalah istilah force majeure relatif, istilah ini juga menyasar pada kondisi di luar dugaan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Sebagai kondisi yang mampu mengakibatkan wanprestasi, force majeure relatif didefinisikan sebagai kondisi yang mengakibatkan tidak dapat terpenuhinya prestasi secara tepat waktu akibat kondisi yang tidak diprediksi sebelumnya.

Klausula Baku merupakan istilah yang ditetapkan dalam suatu perjanjian atau kesepakatan yang sifatnya memaksa dan mengikat (Assegaf, 2014). Dalam hukum yang berlaku klausula baku menjadi suatu hal yang umum dilakukan dan dijalankan untuk memberikan batasan-batasan secara normatif terhadap perikatan dan kesepakatan yang telah disepakati. Klausula baku sebagai ketentuan yang kerap kali juga menjadi prinsip yang cukup dilematis, karena sifatnya yang memaksa pihak lain untuk mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh satu pihak.

Namun menurut Undang-Undang perlindungan Konsumen klausula baku dijelaskan dalam Pasal 1 nomor 10 sebagai aturan atau ketentuan yang memiliki syarat-syarat tertentu yang sebelumnya telah ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang ditetapkan berdasarkan dokumen atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Secara konseptual terdapat berbagai pengertian klausula baku dari banyak ahli dan praktisi sebagai berikut:

Mariam Darus Badrulzaman, mendefinisikan klausula baku sebagai perjanjian baku, yang memaksa dan mengikat setiap pihak didalam perjanjian yang telah disepakati1.

Stein menggambarkan mengenai klausula baku sebagai perjanjian yang didasarkan pada pandangan bahwa pihak yang menerima perjanjian terikat dalam perjanjian tersebut acra sukarela2.

Menurut Sudaryatmo Klausula Baku sebagai suatu perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif kuat, dan umumnya terjadi oleh produsen pada konsumen3.

Dalam hukum di Indonesia, setiap perjanjian yang dibuat harus didasarkan pada prinsip keadilan bagi setiap pihak (Muaziz & Busro, 2015). Penerapan klausula baku memang kerap kali cukup dilematis, mengingat penerapan kalsel-kasual dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya. Dalam penerapan klausula baku terdapat pihak yang dinilai berkedudukan lebih tinggi dan pihak yang dinilai berkedudukan untuk menerima klausul yang telah ditetapkan. hal ini mampu menimbulkan suatu kondisi yang tidak adil apabila klausula yang diterapkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Klausula baku dipergunakan diberbagai bentuk kerjasama seperti perdagangan, kerjasama hutang piutang dan pinjaman. Hal ini menimbulkan suatu ketentuan mengenai klausula baku juga harus diperhatikan.

 

Metode Penelitian

 

Hasil dan Pembahasan

Force Majeure

Force majeure sebagai salah satu prinsip hukum yang kerap kali dijadikan pertimbangan dalam menganalisis kondisi wanprestasi. osnap ini apa dasarnya juga harus dimaknai secara mendalam tentang bagaimana suatu keadaan dapat dinyatakan force majeure, dan dasar hukum penyelenggaraan. Di Indonesia sendiri delik mengenai force majeure belum disematkan secara tertulis dalam dasar hukum yang ada mengenai perjanjian atau perikatan. hal inilah yang menjadikan force majeure menjadi suatu konsep yang masih belum dapat direlevansikan car tepat untuk mengatasi persoalan hukum mengenai perikatan atau perjanjian di Indonesia.

Sebagai contoh yang paling relevan dalam hukum mengenai perjanjian adalah perikatan yang mengaibata ha da ketahuan oleh kreditur dan debitur dalam perjanjian utang piutang. Bahkan kondisi yang paling relevan terjadi ketika dua tahun terakhir Indonesia harus menghadapi krisis akibat kondisi pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan aktivitas masyarakat akibat dari penyebaran sars-Cov-2 pada tahun 2020 lalu.

Diawali Dengan penyebaran wabah, hingga menjadi pandemi global, kondisi tersebut mengharuskan banyak negara menjalankan kebijakan pembatasan interaksi demi memutus rantai penyebaran pandemi. Pada akhirnya banyak negara harus mengurangi aktivitas yang berkaitan dengan interaksi langsung, dan mobilitas, untuk melakukan percepatan penanganan pandemi. Kondisi tersebut mampu menci[tan dampak buruk bagi stabilitas perekonomian,dan juga merubah sistem usaha konvensional. Banyak usaha yang akhirnya macet ditandai dengan penurunan angka pendapatan, dan juga berkurangnya kesempatan dalam menjalankan bisnis. Hal ini menimbulkan berbagai bentuk bisnis tidak berjalan normal, dan berakhir dengan tidak terpenuhinya target yang telah ditetapkan.

 

 

 

Pertimbangan Mahkamah Hakim

Salah satu dari sekian banyak munculnya kasus, salah satu yang cukup banyak terjadi adalah kasus macetnya pembayaran utang akibat kondisi pandemi yang melumpuhkan aktivitas perekonomian. Seperti yang terdapat ala Putusan kasus Pengadilan Negeri Airmadidi Nomor 11//Pdt.G.S/2021/PN Arm. Putusan tersebut menjelasan mengenai putusan hakim tentang persoalan utang piutang antara PT. Hasjrat Multifinance sebagai Penggugat dan Maia Mike Anthony sebagai tergugat. Perkara yang dijelaskan dalam putusan tersebut merupakan suatu kasus berkaitan dengan wanprestasi yang dilatarbelakangi oleh konteks kondisi pandemi Covid-19.

Latar belakang kondisi yang mengakibatkan tergugat harus mengalami gugatan sebagaimana telah dijelaskan dalam putusan, tentunya mendorong tergugat untuk menjelaskan berbagai bentuk alasan dari tidak terpenuhinya prestasi yang telah disepakati. Termasuk ketika tergugat menjelaskan mengenai kondisi pandemi Covid-19 yang menghambat aktivitas tergugat. Dalam putusan yang menjadi studi kasus pada uraian penjelasan mengenai force majeure dan juga wanprestasi ini, diketahui bahwa penggugat mengajukan gugatan terhadap tergugat yang dinilai telah wanprestasi dengan berbagai dalil yang telah disampaikan. bahkan untuk menjawab seluruh dalil dari penggugat, tergugat telah menjelaskan alasan tidak terpenuhinya prestasi dalam waktu yang tepat akibat kondisi pandemi Covid-19 yang telah terjadi dan mengganggu aktivitas usaha tergugat.

Dalam pertimbangan Force majeure yang dilakukan oleh hakim menjelaskan bahwa:�Dalam menilai ketidakmampuan pembayaran karena adanya keadaan memaksa, pada dasarnya adalah tentang kendala yang terjadi diluar kemampuan Tergugat untuk memenuhi prestasinya misalnya masalah terkait teknis dan cara pembayaran. Salah satu contoh mengenai masalah teknis pembayaran misalnya karena pandemi layanan perbankan menjadi lumpuh sementara (force majeure relatif) atau cara-cara pembayaran yang diatur dalam perjanjian tidak mungkin lagi untuk dilakukan karena nilai mata uang rupiah tidak lagi berlaku (force majeure absolut).

Adapun dalam perkara a quo, Tergugat masih dapat melakukan pembayaran menggunakan jasa perbankan secara daring dan metode-metode lain terlebih lagi pada saat pandemi layanan perbankan masih tetap tersedia dan dapat diakses oleh Tergugat��Hakim menilai bahwa kondisi pandem Covid-19 yang menjadi alasan tergugat bukanlah kondisi yang dapat serta-merta menjadikan kewajiban tergugat dapat dialihkan atau dihapuskan. mengingat alam kondisi pandemi sekalipun tergugat bagi debitur juga dapat melakukan pembayaran melalui sistem daring yang di sediakan oleh ajsa perbangan yang ada di Indonesia.

Kronologi Kasus

Kronologi kasus ini diawali dengan laporan penggugat yakni PT. Hasjrat Multifinance, yang mengajukan gugatan terhadap Maya Mike Anthony yang dinilai telah cidera janji berdasarkan Perjanjian Multiguna Nomor 20105.18.01.024223 tertanggal 21 September 2018.Bahwa dalam perjanjian tersebut tergugat mengajukan objek jaminan fidusia berupa mobil Toyota Avanza berwarna� coklat tua dengan nomor polisi DB 1596 FL.

Pada mulanya pembayaran utang yang dilakukan oleh tergugat lancar, namun pada angsuran ke sembilan yakni di tanggal 23 agustus 2019 tergugat tidak membayar angsuran, hingga penggugat memberikan surat peringatan namun tidak ada respon dari pihak tergugat. Akibat perbuatan yang dilakukan tergugat, penggugat sebagai kreditur harus mengalami kolektibilitas yang macet dengan kewajiban tergugat yang harus dipenuhi sebesar Rp 202.144.665,11. Maka dari itu kreditur mengajukan gugatan terhadap debitur sebagai tergugat, atas tidak terpenuhinya prestasi yang seharusnya dibayarkan dan menyatakan tergugat wanprestasi untuk mengambil hak jaminan disepakatii yang telah disepakati.

Analisa Hukum

Atas dasar uraian diatas maka berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia mengenai force majeure, dapat dijelaskan bahwa kondisi pandemi Covid-19 sebagai kondisi yang memang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia juga berupaya untuk menanggulangi dampak dari pandemi dengan melindungi seluruh warga negara melalui kebijakan yang ditetapkan, termasuk kebijakan mengenai bisnis dan kerjasama yang ada di dalamnya. Berdasarkan Keppres No. 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sebagai suatu bencana nasional non alam yang menyebabkan jumlah korban dan kerugian harta benda yang besar (Habeahan, Juli 2021 ).

Sehingga hal ini menjadikan pandemi sebagai suatu kondisi yang diluar kendali manusia. Pemerintah Indonesia juga menetapkan bahwa ketentuan atribut menjadi dasar dalam penyelenggaraan panduan pembayaran utang dengan dasar prinsip force majeure pada suatu perjanjian yang didasarkan pada KUHPerdata pasal 1244 dan pasal 1255. Akan tetapi perlu dipahami bahwa force majeure yang dimaksud tersebut ditetapkan berdasarkan arahan ketetapan presiden yang memutuskan bahwa pandemi tersebut merupakan bencana non alam yang berlaku dengan Keppres Nomor 12 tahun 2020. Sedangkan sebelum itu, belum ada ketentuan yang mengatur mengenai force majeure akibat pandemi Covid-19.

Sehingga dalam susu yang terjadi cidera janji yang dilakukan tergugat terhitung belum masuk pada masa pandemi, sehingga tidak dapat dikategorikan dalam kondisi force majeure. Sehingga apapun alasannya dengan mengatansakana kondisi yang dinilai force majeure tanpa adanya landasan yuridis yang berlaku, maka setiap ketentuan atribut tidak dapat dibenarakan dalams ebuah perjanjian. Sehingga hal ini menjadikan tergugat tidak dapat menggunakan alasan kondisi pandemi yang melelahkan perekonomian, karena cidera janji yang sebelumnya dilakukan bahkan terjadi sebelum pandemi ditetapkan sebagai bencana non alam oleh pemerintah Indonesia.

Pengabaian Penerapan Klausula Baku

Ketentuan mengenai klausula baku dalam suatu perjanjian merupakan unsur penting yang juga harus dipertimbangkan. Dalam banyak kerjasama finansial, klausula baku memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan sebagai ketentuan yang mengatur mengenai berbagai konsep perjanjian yang akan dilakukan. Pihak yang membuat klausula baku umumnya merupakan mereka yang memiliki kedudukan penting dalam kerjasama finansial, dan umumnya merupakan pihak yang memberikan piutang kepada debitur.

Sebagai sebuah usaha yang memang diterapkan untuk membantu pertumbuhan ekonomi nasional, bensin finansial dilegalkan oleh otoritas jasa keuangan didasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku mengacu pada undang-undang mengenai keuangan dan jasa pembiayaan. Sehingga dalam menjalankan sistem pemberian pembiayaan juga harus mengacu pada ketentuan undang-undang yang berlaku.

Pertimbangan Mahkamah Hakim

Sebagaimana ketentuan klausula baku yang dilegalkan di indonesia, setiap perusahaan pembiayaan memberikan klausula baku untuk para nasabahnya yang harus dipatuhi dan juga menjadi perikatan etika perjanjian disepakati. hal ini tentunya juga menjadi bagian penting yang menjelaskan mengenai klausula baku dalam putusan Pengadilan negeri Airmadidi Nomor 11//Pdt.G.S/2021/PN Arm, yang juga menyinggung mengenai klausula baku yang ditetapkan oleh penggugat untuk tergugat.

Dalam klausula baku yang ada ternyata pertimbangan mahkamah hakim menyatakan bahwa: �Menimbang, bahwa meskipun dalam Pasal 2 ayat (1) perjanjian sebagaimana bukti P-1/bukti T-1 telah mencantumkan adanya pengecualian alasan force majeure, Hakim berpendapat bahwa ketentuan yang demikian sangat tidak adil bagi Tergugat, terlebih lagi dalam perjanjian tersebut kedudukan antara Penggugat yang merupakan perusahaan besar dengan Tergugat yang hanya perorangan pada prinsipnya tidak seimbang dimana Tergugat tidak memiliki kesempatan untuk menentukan isi perjanjian dan hanya dapat tunduk dan mengikuti isi perjanjian yang disodorkan oleh Penggugat.

Berdasarkan hal itu, maka Hakim berkesimpulan bahwa pengecualian tersebut pada dasarnya bertentangan dengan norma kepatutan serta asas keseimbangan yang melekat pada suatu perjanjian sehingga dengan demikian terhadap klausul tersebut dinyatakan tidak mengikat dan batal demi hukum�

Dalam pertimbangan tersebut hakim menyatakan mengabaikan klausula baku yang telah ditetapkan oleh penggugat sebagai pihak penyedia jasa pembiayaan. Hakim menilai bahwa klausul tersebut tidak tepat dan tidak adil bagi tergugat dan, tergugat merupakan individu yang seorang diri. Hal ini menggambarkan mengenai suatu klausula baku yang ditetapk juga harsu mempertimbangkan nilai keadilan bagi pihak yang terlibat dalam perjanjian. terlebih lagi penggugat merupakan perusahaan besar yang harus mmeprtimbangkan posisi nasbahnya.

Berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam undang-undang mengenai perlindungan konsumen sekalipun juga dijelaskan mengenai posisi konsumen dan klausula baku yang harus ditetapkan berdasarkan nilai keadilan serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia mengenai perjanjian.

Posisi Kasus

Kasus mengenai klausula baku ini pada dasarnya merupakan sebuah kondisi dimana terjadi suatu pengingkaran terhadap ketentuan aturan kerjasama yang seharusnya adil bagi setiap pihak. Oleh karena itu dalam ketentuan mengenai klausula baku harus memenuhi peraturan yang berlaku mengenai klausula baku sebagaimana diterapkan berdasarkan pasal 18 ayat (1) sampai dengan (4) undang-undang perlindungan konsumen, bahwa klausula baku harus ditetapkan dengan mempertimbangkan kejelasan informasi, keadilan bagi pihak yang terlibat dalam kerjasama serta tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Dalam kasus yang terjadi klausula yang dimaksud pengecualian untuk kondisi force majeure, dinilai tidak adil bagi tergugat. hal ini tentunya menjadikan duduk perkara harus dipahami cara lebih detail mengenai perjanjian yang melibatkan kedua belah pihak.

Force majeure sebagai kondisi yang tidak dapat diprediksi dan dikecualikan untuk debitur dinilai cukup memberatkan karena debitur berstatus seorang nasabah yang menghadapi perusahaan dalam menjalin kerja sama pada sektor finansial.

Maka berdasarkan penjelasan mengenai posisi kasus, perjanjian multiguna yang telah disepakati oleh pihak tergugat dan penggugat memang mengandung klausula baku yang tidak relevan dengan hukum mengenai perlindungan konsumen. Posisi ini dapat dinilai bahwa force majeure seharusnya merupakan pinisi yang ada past aja menjadikan suatu perjanjian batas apabila kondisinya memang benar-benar tidak memungkinkan untuk dilakukan pemenuhan prestasi. Dalam kondisi tertentu klausula baku tentang penolakan force majeure memang dapat dinyatakan, tetapi dengan kesepakatan antara pihak yang sama-sama memiliki keitana seimbang.Sedangkan alam kasus yang terjadi melibatkan suatu perusahaan besar dengan seorang individu yang berakibat pada kondisi tidak adil bagi tergugat.

Analisa Hukum

Pengabaian klausula baku yang telah ditetapkan oleh penggugat merupakan suatu pertimbangan yang harsu dilakukan lebih mendalam. Dalam suatu perjanjian ketika seluruh klausula diterima oleh debitur, maka perjanjian tersebut dapat dinyatakan mengikat menjadi dasar ditetapkannya suatu ketentuan hukum bagi pihak yang terlibat di dalamnya. namun perlu disadari pula apabila klausula tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku, maka klausula dapat dibatalkan demi ketentuan hukum.

Dalam penerapan klausula baku dalam kerjasama kontrak atau sesuai perjanjian, berdasarkan KUHPerdata menjelaskan mengenai suatu kondisi dimana pihak debitur melakukan pelanggaran terhadap suatu perjanjian, maka ketentuan hukum kalula akan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang.

Dalam pasal 1245 KUHPerdata menjelaskan bahwa biaya ganti rugi serta bungai harus diganti landasan kondisi emaksann atau kejadian yang sengaja dilakukan oleh debitur yang tidak dapat memenuhi kewajiban atau gala-gala yang dilarang. Sehingga ketentuan ini jelas memberikan pengertian bahwa klausula baku juga harus diatur untuk memberikan batasan hal hal yang diwajibkan dan diperbolehkan dalam suatu perjanjian.

Mengingat kasus yang terjadi justru penggambaran kelalaian pembayaran oleh tergugat bahan sebelum ditetapkannya anemi. maka seharusnya klausula baku tetap memiliki kekuatan hukum tetap, karena force majeure baru ditetapkan di tengah pandemi berdasarkan Keppres No. 12 tahun 2020.

 

 

 

Kesimpulan

Kesimpulan mengenai pengabaian penerapan Pasal 1245 KUH Perdata atau force majeure pada masa pandemi Covid-19 akan bervariasi tergantung pada kasus-kasus yang spesifik dan bagaimana hukum diterapkan di yurisdiksi yang relevan. Beberapa pengadilan atau otoritas hukum mungkin mengakui pandemi Covid-19 sebagai force majeure yang membebaskan pihak-pihak dari kewajiban kontrak tertentu, sementara yang lain mungkin tidak.

Penting untuk mencatat bahwa pengabaian penerapan Pasal 1245 KUH Perdata atau force majeure tidak berarti bahwa pihak yang terkena dampak tidak memiliki opsi hukum lain yang tersedia. Dalam banyak kasus, ada prinsip hukum lain, seperti perubahan keadaan yang tidak adil (imbalance of hardship) atau doktrin tidak mungkin (impossibility doctrine), yang dapat digunakan untuk melindungi kepentingan pihak-pihak yang terdampak.

 

BIBLIOGRAFI

Abib, A. S. (2015). Penerapan Klausula Baku Dalam Melindungi Konsumen Pada Perjanjian Jual Beli MelaluiE-Commerce. Jurnal Dinamika Sosial Budaya Vol 17, No 1, 122-136.

 

Assegaf, A. F. (2014). Penjelasan Hukum (Restatement) tentang Klausula Baku. Jakarta: Pusta Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).

 

Habeahan, B. (Juli 2021 ). Tinjauan Hukum Keadaan Memaksa(Force Majeure) Dalam Pelaksanaan Kontrak Bisnis Pada Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas HKBP Nommensen Volume02 Nomor 02, 168-180.

 

Iskandar, M. R. (Juli 2017). Pengaturan Klausula Baku Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dan Hukum Perjanjian Syariah. Amwaluna: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah Vol. 1 No.2, 200-216.

 

Isradjuningtias, A. C. (2015). Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia . Jurnal Veritas et Justitia Vol. 1 No. 1, 136-158.

 

Khairandy, R. (2011). Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak. Jurnal Hukum, No. Edisi Khusus Vol, 18 , 36 - 55.

 

Kusumaatmadja, M. (2002). Konsep-Kosnep Hukum Dalam Pembangunan. Bandung: Alumni.

 

Muaziz & Busro. (2015). Pengaturan Klausula Baku Dalam Hukum Perjanjian Untuk Mencapai Keadilan Berkontrak. Jurnal Law Reform Volume 11, Nomor 1, 74-84.

 

Muhammad, A. K. (1992). Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, cet. 1. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Munggarana, Sudjana & Nugroho. (Juni 2019). Perlindungan Konsumen Terhadap Pencantuman Klausula Baku Dalam Perjanjian. Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Fakultas Hukum Unpad Volume 2, Nomor 2, 188-199.

 

Oktaviarni, F. (Oktober 2015). Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Jurnal Ilmu Hukum, Volume 6, Nomor 2, 106-118.

 

Priyono, E. A. (2016). Penerapan Asas Itikad Baik Dan Kepatutan Dalam Perjanjian Waralaba . Jurnal Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 6, No 3, 73-90.

 

Rasuh, D. J. (Februari 2016). Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal 1244 Dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jurnal Lex Privatum, Vol. IV No. 2, 173-180.

 

Rohaya, N. (Maret 2018). Pelarangan Penggunaan Klausula Baku Yang Mengandung Klausula Eksonerasi Dalam Perlindungan Konsumen. Jurnal Hukum Replik Volume 6 No. 1, 23-42.

 

Satrio, J. (2012). Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurispridensi. Bandung: Aditya Bakti.

 

Simanjuntak, P. (2009). PokokPokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan.

 

Sinaga, N. A. (2015). Wanprestasi Dan Akibatnya Dalam Pelaksanaan Perjanjian. Jurnal Mitra Manajemen Vol 7, No 2, 43-57.

 

 

 

 

Copyright holder:

Vera Wheni Setijawati Soermawi, Merri Lutfiyah Amelia (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: