Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10 Oktober 2022
PENGABAIAN PENERAPAN PASAL 1245 KUH
PERDATA, FORCE MAJEURE PADA MASA PANDEMI COVID-19
Vera Wheni Setijawati Soermawi, Merri Lutfiyah Amelia
Universitas Tarumanagara,
Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak yang signifikan pada berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan kontrak antara pihak-pihak yang terlibat. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah apakah Pasal 1245 KUH Perdata yang mengatur pembebasan kewajiban kontrak karena keadaan memaksa atau force majeure dapat diterapkan dalam konteks pandemi ini. Dalam penelitian ini, mengeksplorasi isu ini dengan melihat Pasal 1245 KUH Perdata dan konsep force majeure pada masa pandemi Covid-19. Kami juga menyelidiki bagaimana penerapan Pasal 1245 KUH Perdata dan force majeure diabaikan atau diterapkan dalam beberapa kasus yang muncul selama pandemi ini. kesimpulan yang ditarik dalam kasus-kasus spesifik akan bervariasi tergantung pada klausul kontrak yang ada, hukum yang berlaku di yurisdiksi yang relevan, dan interpretasi pengadilan. Beberapa pengadilan mungkin mengakui pandemi Covid-19 sebagai force majeure yang membebaskan pihak-pihak dari kewajiban kontrak tertentu, sementara yang lain mungkin tidak. Selain Pasal 1245 KUH Perdata, ada juga prinsip-prinsip hukum lain seperti perubahan keadaan yang tidak adil atau doktrin tidak mungkin yang dapat digunakan sebagai dasar hukum alternatif untuk melindungi kepentingan pihak-pihak yang terdampak oleh pandemi ini.
Kata kunci: Pasal 1245 KUH Perdata; Force Majeure; Pandemi Covid-19; Hubungan Kontrak; Interpretasi Pengadilan.
Abstract
The Covid-19 pandemic has had a significant
impact on various aspects of life, including in the contractual relationship
between the parties involved. One of the questions that arises is whether
Article 1245 of the Civil Code which regulates the release of contractual
obligations due to force majeure can be applied in the context of this
pandemic. In this study, exploring this issue by looking at Article 1245 of the
Civil Code and the concept of force majeure during the Covid-19 pandemic. We
also investigated how the application of Article 1245 of the Civil Code and
force majeure was ignored or applied in some cases that arose during this
pandemic. The conclusions drawn in specific cases will vary depending on
existing contractual clauses, applicable law in the relevant jurisdiction, and
the court's interpretation. Some courts may recognize the Covid-19 pandemic as
a force majeure that exempts parties from certain contractual obligations,
while others may not. In addition to Article 1245 of the Civil Code, there are
also other legal principles such as unfair changes in circumstances or
impossible doctrines that can be used as alternative legal bases to protect the
interests of parties affected by this pandemic.
Keywords: Article 1245 of the Civil Code; Force
Majeure; Covid-19 pandemic; contractual relationship; Court Interpretation
Pendahuluan
Tata kelola kehidupan masyarakat pada dasarnya tidak terlepas dari kerjasama
antar individu sebagai anggota masyarakat. Sebagai satu kesatuan yang menjalankan peran dan fungsinya, setiap anggota masyarakat memiliki tujuan dalam menjalankan suatu aktivitas, termasuk di dalamnya ketika terlibat dengan hubungan antar individu yang mengakibatkan terbentuknya suatu hubungan baik itu kerjasama
atau hubungan yang lebih sederhana. Kehidupan ditengah masyarakat tentunya juga mengandung nilai dan norma yang harus dijalankan untuk dapat menciptakan kehidupan yang damai, tentram dan juga sesuai dengan tujuan dibentuknya
masyarakat.
Nilai dan norma yang tumbuh di tengah masyarakat merupakan representasi dari bagaimana kehidupan dijalankan dan aturan yang ditetapkan sebagai nilai dan norma bersama yang harus dilaksanakan. Dalam hubungan antar individu tentunya memiliki motif dan tujuan sendiri yang mendorong setiap individu menjalani hubungan atau kerjasama dengan individu lain. Hal ini menimbulkan
suatu hubungan yang harus diatur baik
dalam norma sosial maupun ketentuan
hukum formal.
Salah satunya adalah hubungan yang mengikat setiap individu dalam tali perjanjian yang mengakibatkan adanya tanggung jawab bagi masing-masing pihak yang terlibat didalamnya. Hubungan yang mengakibatkan adanya perikatan umumnya terjadi dalam taraf hubungan
yang cukup penting, seperti kerjasama komersial atau hubungan formal yang mengharuskan
setiap individu untuk membuat suatu
perjanjian tertulis yang menjadi dasar dari
dilakukannya suatu hubungan perjanjian. Oleh karena itu tidak
heran apabila perjanjian merupakan suatu hubungan paling mengikat yang berhak diatur berdasarkan hukum positif yang berlaku dalam konteks
negara Indonesia.
Perjanjian hadir sebagai
sebuah sarana dalam memberikan suatu gagasan mengenai
[batasan hak dan juga kewajiban yang harus dilaksanakan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Sebagai suatu sarana, tentunya
perjanjian harus dapat mengatur secara proporsional dan adil dari apa
yang telah disepakati oleh pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Sehingga dalam menjalankan suatu perjanjian terdapat hal-hal yang harus disepakati terlebih dahulu untuk menimbulkan adanya hak dan kewajiban dari setiap pihak yang terlibat di dalamnya.
Oleh karena itu perjanjian dapat tercipta ketika terdapat unsur-unsur seperti, pihak-pihak yang melakukan perjanjian, adanyanya prestasi yang harus dilakukan, adanya suatu bentuk lisan
atau tulisan yang merepresentasikan
bentuk perjanjian, syarat tertentu sebagai syarat terjadinya perjanjian serta tujuan yang akan dicapai dalam
menjalankan perjanjian tersebut. Sehingga perjanjian dapat dilaksanakan dengan suatu proses yang melibatkan pihak alamnya untuk
menetapkan nilai dan jug aturan dalam perjanjian
yang mampu menciptakan hubungan antara pihak-pihak tersebut, baik itu berupa
hak maupun kewajiban yang harus dijalankan.
Terbentuknya suatu perjanjian,
mendorong adanya perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban. Perikatan ini diatur
dalam kesepakatan perjanjian, yang menjadi dasar dilaksanakannya perikatan, dan menjadi dasar hukum dalam
hubungan perjanjian tersebut. Kekuatan hukum dari suatu
perjanjian telah diterapkan dalam KUHPerdata pasal 1338 ayat 1 yang menjelaskan bahwa kesepakatan atau perjanjian memiliki kekuatan mengikat, sebagai dasar bagi para pihak yang membuatnya. Sehingga dasar dari pelaksanaan perjanjian harus berlaku dan sesuai dengan apa yang telah disepakati di awal, kecuali telah
terjadi suatu tindakan yang didalamnya tidak diatur dalam
kesepakatan dan perlu mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku mengenai perjanjian dan perikatan yang berlaku bagi pihak-pihak yang terlibat perjanjian.
Dalam suatu perjanjian
umumnya setiap pihak harus menjalankan
kewajibannya dengan tetap mempertimbangkan hal-hal dari pihak
lain sesuai dengan kesepakatan. Tetapi tidak jarang juga terjadi suatu pengingkaran
dari kewajiban akibat berbagai faktor yang menyebabkannya. istilah wanprestasi dalam suatu perjanjian
memang umum terjadi, terutama ketika perjanjian tersebut bersifat komersial. Wanprestasi merupakan kondisi dimana pemenuhan prestasi tidak dapat dilaksanakan sesuai perjanjian dan mengakibatkan kerugian bagi pihak lain.
Dalam suatu perjanjian
komersial, dikenal istilah kreditur yakni pihak yang memberikan hak kepada pihak debitur,
yang merupakan pihak yang wajib untuk memenuhi
prestasi usaid dengan kesepakatan. Istilah wanprestasi ini merupakan kondisi
ikana debitur tidak mampu memenuhi
prestasi atau kewajiban kepada kreditur dan mengakibatkan kerugian bagi kreditur.
Menurut Simanjuntak
Wanprestasi menurut Satrio
Wanprestasi sebagai kondisi
yang dinilai melanggar ketentuan hukum mengenai perjanjian, dan diatur berdasarkan kesepakatan yang telah disetujui oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kesepakatan perjanjian.� Namun ketentuan mengenai wanprestasi ini juga harus menyasar pada kaidah hukum yang tepat untuk menentukan
suatu pihak mengalami kondisi wanprestasi. Hal ini karena adanya berbagai
bentuk faktor yang menjadi akibat terjadinya wanprestasi di luar kendali pihak
yang terlibat.
Oleh karena itu dalam ketentuan
mengenai wanpretsasis endiri dikenal istilh force majure. istilah ini menjadi
bagian yang tidak terpisahkan untuk menjelaskan mengenai kondisi wanprestasi yang dialami pihak kreditur
terhadap prestasi yang harus dijalani dengan kondisi yang kurang menguntungkan dan kondisi yang dinilai di luar kehendak pihak
kreditur. Kondisi yang diluar kendali inilah yang juga diatur dalam kaidah hukum
mengenai perjanjian, yang dikenal dengan istilah force majeure.
Force majeure merupakan
suatu konsep yang dimulai dari vis motor cui resisti non potest yakni ketentuan hukum Roma, yang diadaptasi oleh banyak sistem hukum
yang berlaku di banyak
negara Eropa dan menyebar
di Asia. Dalam paradigma
common law force majeure diartikan sebagai kondisi ketidakmampuan memenuhi prestasi yang telah disepakati dalam perjanjian, berdasarkan suatu kondisi yang identik dan secara khusus
Fiorece majure menjadi
konisi dimana keadaan tidak memungkinakan
pihak kerdiotur untuk memberikan pemenuhan pertasi akibat dari kondisi
yang diluar kendali kreditur. Sehingga dalam hukum perjanjian
force majeure terjadi ketika
ada kondisi atau keadaan yang memaksa dan tidak dapat dikendalikan, yang dapat berdampak pada pembatalan kontrak berdasarkan kondisi yang terjadi dan demi hukum yang berlaku yang mengatur force
majeure tersebut
Pendapat Mochtar Kusumaatmadja
Perubahan yang dimaksudkan belum diperikdisi, mengakibatkan perubahan terus berdampak secara kmpek sk
dan meluaskan kewajiban
yang harus dilaksanakan serta penggunaan asas dalam perjanjian
yang tidak dapat diterapkan dalam kondisi yang tidak tepat tersebut.
Kondisi force majeure dapat terjadi ketika kondisi tertentu tidak dapat dikendalikan
dan hal tersebut diluar kemampuan pihak yang terlibat dalam perjanjian. Sehingga hal ini
memungkinakan untuk terjadinya pembatalan perjanjin berdasarkan kondisi yang terjadi. Namun meskipun force majeure dapat terjadi dalam
suatu perjanjian, prinsip ini juga dijabarkan lagi secara lebih rinci
mengenai bagaimana kondisi force majeure yang terjadi
dan kondisi mana yang mengharuskan
pembatalan perjanjian sebagaimana dinyatakan sebagai kondisi diluar kendali pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Pertama terdapat istilah
force majeure absolute. Kata absolute sendiri telah memberikan gambaran bahwa kondisi yang belum disinggung dalam perjanjian tersebut memang benar-benar diluar kendali pihak-pihak yang terlibat. Secara konseptual force majeure
absolute dapat dinyatakan sebagai kondisi yang sangat memasan dan diluar kendali pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian yang mengakibatkan pemenuhan prestasi tidak dapat dilakukan
sama sekali.
Kedua adalah istilah
force majeure relatif, istilah
ini juga menyasar pada kondisi di luar dugaan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Sebagai kondisi yang mampu mengakibatkan wanprestasi, force
majeure relatif didefinisikan
sebagai kondisi yang mengakibatkan tidak dapat terpenuhinya prestasi secara tepat waktu akibat
kondisi yang tidak diprediksi sebelumnya.
Klausula Baku merupakan istilah yang ditetapkan dalam suatu perjanjian
atau kesepakatan yang sifatnya memaksa dan mengikat
Namun menurut Undang-Undang
perlindungan Konsumen klausula baku dijelaskan
dalam Pasal 1 nomor 10 sebagai aturan atau ketentuan
yang memiliki syarat-syarat
tertentu yang sebelumnya telah ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang ditetapkan berdasarkan dokumen atau perjanjian
yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Secara konseptual terdapat
berbagai pengertian klausula baku dari
banyak ahli dan praktisi sebagai berikut:
Mariam Darus Badrulzaman, mendefinisikan klausula baku sebagai
perjanjian baku, yang memaksa dan mengikat setiap pihak didalam
perjanjian yang telah
disepakati1.
Stein menggambarkan mengenai klausula baku sebagai perjanjian
yang didasarkan pada pandangan
bahwa pihak yang menerima perjanjian terikat dalam perjanjian
tersebut acra sukarela2.
Menurut Sudaryatmo Klausula
Baku sebagai suatu perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif kuat, dan umumnya terjadi oleh produsen pada konsumen3.
Dalam hukum di Indonesia, setiap perjanjian yang dibuat harus didasarkan pada prinsip keadilan bagi setiap pihak (Muaziz & Busro, 2015). Penerapan klausula baku memang kerap kali cukup dilematis, mengingat penerapan kalsel-kasual dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya. Dalam penerapan klausula baku terdapat pihak yang dinilai berkedudukan lebih tinggi dan pihak yang dinilai berkedudukan untuk menerima klausul yang telah ditetapkan. hal ini mampu menimbulkan suatu kondisi yang tidak adil apabila klausula yang diterapkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Klausula baku dipergunakan diberbagai bentuk kerjasama seperti perdagangan, kerjasama hutang piutang dan pinjaman. Hal ini menimbulkan suatu ketentuan mengenai klausula baku juga harus diperhatikan.
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Force Majeure
Force majeure sebagai salah satu prinsip hukum yang kerap kali dijadikan
pertimbangan dalam menganalisis kondisi wanprestasi. osnap ini apa dasarnya
juga harus dimaknai secara mendalam tentang bagaimana suatu keadaan dapat
dinyatakan force majeure, dan dasar hukum penyelenggaraan. Di Indonesia sendiri
delik mengenai force majeure belum disematkan secara tertulis dalam dasar hukum
yang ada mengenai perjanjian atau perikatan. hal inilah yang menjadikan force
majeure menjadi suatu konsep yang masih belum dapat direlevansikan car tepat
untuk mengatasi persoalan hukum mengenai perikatan atau perjanjian di
Indonesia.
Sebagai contoh yang paling relevan dalam hukum mengenai perjanjian adalah
perikatan yang mengaibata ha da ketahuan oleh kreditur dan debitur dalam perjanjian
utang piutang. Bahkan kondisi yang paling relevan terjadi ketika dua tahun
terakhir Indonesia harus menghadapi krisis akibat kondisi pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan
aktivitas masyarakat akibat dari penyebaran sars-Cov-2 pada tahun 2020 lalu.
Diawali Dengan penyebaran wabah, hingga menjadi pandemi global, kondisi
tersebut mengharuskan banyak negara menjalankan kebijakan pembatasan interaksi
demi memutus rantai penyebaran pandemi. Pada akhirnya banyak negara harus
mengurangi aktivitas yang berkaitan dengan interaksi langsung, dan mobilitas,
untuk melakukan percepatan penanganan pandemi. Kondisi tersebut mampu menci[tan
dampak buruk bagi stabilitas perekonomian,dan juga merubah sistem usaha
konvensional. Banyak usaha yang akhirnya macet ditandai dengan penurunan angka
pendapatan, dan juga berkurangnya kesempatan dalam menjalankan bisnis. Hal ini
menimbulkan berbagai bentuk bisnis tidak berjalan normal, dan berakhir
dengan tidak terpenuhinya target yang telah ditetapkan.
Pertimbangan Mahkamah Hakim
Salah satu
dari sekian banyak munculnya kasus, salah satu yang cukup banyak terjadi
adalah kasus macetnya pembayaran utang akibat kondisi pandemi yang melumpuhkan aktivitas perekonomian. Seperti yang terdapat ala Putusan kasus Pengadilan
Negeri Airmadidi Nomor 11//Pdt.G.S/2021/PN Arm. Putusan tersebut menjelasan mengenai putusan hakim tentang persoalan utang piutang antara PT. Hasjrat Multifinance sebagai Penggugat dan Maia Mike
Anthony sebagai tergugat. Perkara yang dijelaskan dalam putusan tersebut
merupakan suatu kasus berkaitan dengan wanprestasi yang dilatarbelakangi oleh konteks kondisi pandemi Covid-19.
Latar belakang
kondisi yang mengakibatkan tergugat harus mengalami gugatan sebagaimana telah dijelaskan dalam putusan, tentunya mendorong tergugat untuk menjelaskan berbagai bentuk alasan dari tidak
terpenuhinya prestasi yang telah disepakati. Termasuk ketika tergugat menjelaskan mengenai kondisi pandemi Covid-19 yang menghambat aktivitas tergugat. Dalam putusan yang menjadi studi kasus
pada uraian penjelasan mengenai force majeure dan juga wanprestasi
ini, diketahui bahwa penggugat mengajukan gugatan terhadap tergugat yang dinilai telah wanprestasi
dengan berbagai dalil yang telah disampaikan. bahkan untuk menjawab seluruh dalil dari
penggugat, tergugat telah menjelaskan alasan tidak terpenuhinya
prestasi dalam waktu yang tepat akibat kondisi pandemi Covid-19 yang telah terjadi dan mengganggu aktivitas usaha tergugat.
Dalam pertimbangan
Force majeure yang dilakukan oleh hakim menjelaskan bahwa:�Dalam menilai
ketidakmampuan pembayaran karena adanya keadaan
memaksa, pada dasarnya adalah tentang kendala yang terjadi diluar kemampuan Tergugat untuk memenuhi prestasinya misalnya masalah terkait teknis dan cara pembayaran. Salah satu contoh mengenai
masalah teknis pembayaran misalnya karena pandemi layanan perbankan menjadi lumpuh sementara (force majeure relatif)
atau cara-cara pembayaran yang diatur dalam perjanjian tidak mungkin lagi
untuk dilakukan karena nilai mata
uang rupiah tidak lagi berlaku (force majeure absolut).
Adapun dalam
perkara a quo, Tergugat masih dapat melakukan
pembayaran menggunakan jasa perbankan secara daring dan metode-metode
lain terlebih lagi pada saat pandemi layanan
perbankan masih tetap tersedia dan dapat diakses oleh Tergugat��Hakim menilai bahwa kondisi
pandem Covid-19 yang menjadi
alasan tergugat bukanlah kondisi yang dapat serta-merta menjadikan kewajiban tergugat dapat dialihkan atau dihapuskan. mengingat alam kondisi pandemi
sekalipun tergugat bagi debitur juga dapat melakukan pembayaran melalui sistem daring yang di sediakan
oleh ajsa perbangan yang ada di Indonesia.
Kronologi Kasus
Kronologi kasus ini diawali dengan
laporan penggugat yakni PT. Hasjrat Multifinance, yang mengajukan gugatan terhadap Maya Mike
Anthony yang dinilai telah cidera janji berdasarkan
Perjanjian Multiguna Nomor 20105.18.01.024223 tertanggal
21 September 2018.Bahwa dalam perjanjian
tersebut tergugat mengajukan objek jaminan fidusia berupa mobil Toyota Avanza berwarna� coklat tua dengan nomor
polisi DB 1596 FL.
Pada mulanya
pembayaran utang yang dilakukan
oleh tergugat lancar, namun pada angsuran ke sembilan yakni
di tanggal 23 agustus 2019 tergugat tidak membayar angsuran, hingga penggugat memberikan surat peringatan namun tidak ada respon
dari pihak tergugat. Akibat perbuatan yang dilakukan tergugat, penggugat sebagai kreditur harus mengalami kolektibilitas yang macet dengan kewajiban tergugat yang harus dipenuhi sebesar Rp 202.144.665,11.
Maka dari itu kreditur mengajukan
gugatan terhadap debitur sebagai tergugat, atas tidak terpenuhinya prestasi yang seharusnya dibayarkan dan menyatakan tergugat wanprestasi untuk mengambil hak jaminan disepakatii
yang telah disepakati.
Analisa Hukum
Atas dasar
uraian diatas maka berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia mengenai
force majeure, dapat dijelaskan
bahwa kondisi pandemi Covid-19 sebagai kondisi yang memang tidak dapat diprediksi
sebelumnya. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia juga berupaya untuk menanggulangi dampak dari pandemi dengan
melindungi seluruh warga negara melalui kebijakan yang ditetapkan, termasuk kebijakan mengenai bisnis dan kerjasama yang ada di dalamnya. Berdasarkan Keppres No. 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sebagai suatu bencana
nasional non alam yang menyebabkan jumlah korban dan kerugian harta benda yang besar (Habeahan, Juli 2021
).
Sehingga hal ini menjadikan pandemi sebagai suatu kondisi yang diluar kendali manusia. Pemerintah Indonesia
juga menetapkan bahwa ketentuan atribut menjadi dasar dalam
penyelenggaraan panduan pembayaran utang dengan dasar prinsip force majeure pada suatu perjanjian yang didasarkan pada KUHPerdata pasal 1244 dan pasal 1255. Akan tetapi perlu dipahami
bahwa force majeure yang dimaksud
tersebut ditetapkan berdasarkan arahan ketetapan presiden yang memutuskan bahwa pandemi tersebut merupakan bencana non alam yang berlaku dengan Keppres Nomor 12 tahun 2020. Sedangkan sebelum itu, belum ada
ketentuan yang mengatur mengenai force majeure akibat pandemi Covid-19.
Sehingga dalam
susu yang terjadi cidera janji yang dilakukan tergugat terhitung belum masuk pada masa pandemi, sehingga tidak dapat dikategorikan
dalam kondisi force
majeure. Sehingga apapun alasannya dengan mengatansakana kondisi yang dinilai force majeure tanpa adanya landasan yuridis yang berlaku, maka setiap ketentuan
atribut tidak dapat dibenarakan dalams ebuah perjanjian.
Sehingga hal ini menjadikan tergugat tidak dapat menggunakan alasan kondisi pandemi yang melelahkan perekonomian, karena cidera janji yang sebelumnya dilakukan bahkan terjadi sebelum pandemi ditetapkan sebagai bencana non alam oleh pemerintah Indonesia.
Pengabaian Penerapan Klausula Baku
Ketentuan mengenai
klausula baku dalam suatu perjanjian
merupakan unsur penting yang juga harus dipertimbangkan. Dalam banyak kerjasama finansial, klausula baku memang menjadi
bagian yang tidak terpisahkan sebagai ketentuan yang mengatur mengenai berbagai konsep perjanjian yang akan dilakukan. Pihak yang membuat klausula baku umumnya
merupakan mereka yang memiliki kedudukan penting dalam kerjasama
finansial, dan umumnya merupakan pihak yang memberikan piutang kepada debitur.
Sebagai sebuah
usaha yang memang diterapkan untuk membantu pertumbuhan ekonomi nasional, bensin finansial dilegalkan oleh otoritas jasa keuangan didasarkan
ketentuan-ketentuan yang berlaku
mengacu pada undang-undang mengenai keuangan dan jasa pembiayaan. Sehingga dalam menjalankan sistem pemberian pembiayaan juga harus mengacu pada ketentuan undang-undang yang berlaku.
Pertimbangan Mahkamah Hakim
Sebagaimana ketentuan
klausula baku yang dilegalkan di indonesia, setiap perusahaan pembiayaan memberikan klausula baku untuk
para nasabahnya yang harus dipatuhi dan juga menjadi perikatan etika perjanjian disepakati. hal ini tentunya
juga menjadi bagian penting yang menjelaskan mengenai klausula baku dalam putusan
Pengadilan negeri Airmadidi
Nomor 11//Pdt.G.S/2021/PN
Arm, yang juga menyinggung mengenai
klausula baku yang ditetapkan oleh penggugat untuk tergugat.
Dalam klausula
baku yang ada ternyata pertimbangan mahkamah hakim menyatakan bahwa: �Menimbang, bahwa meskipun dalam Pasal 2 ayat
(1) perjanjian sebagaimana bukti P-1/bukti T-1 telah mencantumkan adanya pengecualian alasan force majeure, Hakim berpendapat
bahwa ketentuan yang demikian sangat tidak adil bagi Tergugat,
terlebih lagi dalam perjanjian tersebut kedudukan antara Penggugat yang merupakan perusahaan besar dengan Tergugat
yang hanya perorangan pada prinsipnya tidak seimbang dimana Tergugat tidak memiliki kesempatan untuk menentukan isi perjanjian dan hanya dapat tunduk
dan mengikuti isi perjanjian yang disodorkan oleh Penggugat.
Berdasarkan hal itu, maka Hakim berkesimpulan bahwa pengecualian tersebut pada dasarnya bertentangan dengan norma kepatutan
serta asas keseimbangan yang melekat pada suatu perjanjian sehingga dengan demikian terhadap klausul tersebut dinyatakan tidak mengikat dan batal demi hukum�
Dalam pertimbangan
tersebut hakim menyatakan mengabaikan klausula baku yang telah ditetapkan oleh penggugat sebagai pihak penyedia
jasa pembiayaan. Hakim menilai bahwa klausul
tersebut tidak tepat dan tidak adil bagi tergugat
dan, tergugat merupakan individu yang seorang diri. Hal ini menggambarkan
mengenai suatu klausula baku yang ditetapk juga harsu mempertimbangkan nilai keadilan bagi pihak
yang terlibat dalam perjanjian. terlebih lagi penggugat merupakan perusahaan besar yang harus mmeprtimbangkan posisi nasbahnya.
Berdasarkan ketentuan
yang berlaku dalam undang-undang mengenai perlindungan konsumen sekalipun juga dijelaskan mengenai posisi konsumen dan klausula baku yang harus ditetapkan berdasarkan nilai keadilan serta tidak bertentangan
dengan hukum yang berlaku di Indonesia mengenai perjanjian.
Posisi Kasus
Kasus mengenai
klausula baku ini pada dasarnya merupakan sebuah kondisi dimana terjadi suatu pengingkaran
terhadap ketentuan aturan kerjasama yang seharusnya adil bagi setiap pihak.
Oleh karena itu dalam ketentuan mengenai klausula baku harus memenuhi
peraturan yang berlaku mengenai klausula baku sebagaimana diterapkan berdasarkan pasal 18 ayat (1) sampai dengan (4) undang-undang perlindungan konsumen, bahwa klausula baku harus
ditetapkan dengan mempertimbangkan kejelasan informasi, keadilan bagi pihak yang terlibat dalam kerjasama serta tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Dalam kasus yang terjadi klausula yang dimaksud pengecualian untuk kondisi force majeure, dinilai tidak adil bagi
tergugat. hal ini tentunya menjadikan
duduk perkara harus dipahami cara lebih
detail mengenai perjanjian
yang melibatkan kedua belah pihak.
Force majeure sebagai
kondisi yang tidak dapat diprediksi dan dikecualikan untuk debitur dinilai cukup memberatkan karena debitur berstatus seorang nasabah yang menghadapi perusahaan dalam menjalin kerja sama pada sektor finansial.
Maka berdasarkan
penjelasan mengenai posisi kasus, perjanjian
multiguna yang telah disepakati oleh pihak tergugat dan penggugat memang mengandung klausula baku yang tidak relevan dengan
hukum mengenai perlindungan konsumen. Posisi ini dapat
dinilai bahwa force majeure
seharusnya merupakan pinisi yang ada past aja menjadikan suatu perjanjian batas apabila kondisinya memang benar-benar tidak memungkinkan untuk dilakukan pemenuhan prestasi. Dalam kondisi tertentu
klausula baku tentang penolakan force majeure memang dapat dinyatakan,
tetapi dengan kesepakatan antara pihak yang sama-sama memiliki keitana seimbang.Sedangkan alam kasus yang terjadi melibatkan suatu perusahaan besar dengan seorang
individu yang berakibat
pada kondisi tidak adil bagi tergugat.
Analisa Hukum
Pengabaian klausula
baku yang telah ditetapkan oleh penggugat merupakan suatu pertimbangan yang harsu dilakukan lebih mendalam. Dalam suatu perjanjian ketika seluruh klausula diterima oleh debitur, maka perjanjian
tersebut dapat dinyatakan mengikat menjadi dasar ditetapkannya
suatu ketentuan hukum bagi pihak
yang terlibat di dalamnya. namun perlu disadari
pula apabila klausula tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku, maka klausula
dapat dibatalkan demi ketentuan hukum.
Dalam penerapan
klausula baku dalam kerjasama kontrak atau sesuai
perjanjian, berdasarkan KUHPerdata menjelaskan mengenai suatu kondisi dimana pihak debitur melakukan
pelanggaran terhadap suatu perjanjian, maka ketentuan hukum kalula akan
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang.
Dalam pasal
1245 KUHPerdata menjelaskan
bahwa biaya ganti rugi serta
bungai harus diganti landasan kondisi emaksann atau kejadian yang sengaja dilakukan oleh debitur yang tidak dapat memenuhi kewajiban atau gala-gala yang dilarang. Sehingga ketentuan ini jelas
memberikan pengertian bahwa klausula baku juga harus diatur untuk memberikan
batasan hal hal yang diwajibkan dan diperbolehkan dalam suatu perjanjian.
Mengingat kasus
yang terjadi justru penggambaran kelalaian pembayaran oleh tergugat bahan sebelum ditetapkannya
anemi. maka seharusnya klausula baku tetap memiliki
kekuatan hukum tetap, karena force majeure baru ditetapkan di tengah pandemi berdasarkan Keppres No. 12 tahun 2020.
Kesimpulan
Kesimpulan
mengenai pengabaian penerapan Pasal 1245 KUH Perdata atau force majeure pada
masa pandemi Covid-19 akan bervariasi tergantung pada kasus-kasus yang spesifik dan bagaimana hukum diterapkan di yurisdiksi yang relevan. Beberapa pengadilan atau otoritas hukum mungkin mengakui pandemi Covid-19 sebagai force
majeure yang membebaskan pihak-pihak
dari kewajiban kontrak tertentu, sementara yang lain mungkin tidak.
Penting untuk mencatat bahwa pengabaian penerapan Pasal 1245 KUH Perdata atau force majeure tidak berarti bahwa
pihak yang terkena dampak tidak memiliki
opsi hukum lain yang tersedia. Dalam banyak kasus, ada
prinsip hukum lain, seperti perubahan keadaan yang tidak adil (imbalance of hardship) atau
doktrin tidak mungkin (impossibility doctrine), yang dapat
digunakan untuk melindungi kepentingan pihak-pihak yang terdampak.
BIBLIOGRAFI
Abib, A. S. (2015). Penerapan
Klausula Baku Dalam Melindungi Konsumen Pada Perjanjian Jual Beli
MelaluiE-Commerce. Jurnal Dinamika Sosial Budaya Vol 17, No 1, 122-136.
Assegaf, A.
F. (2014). Penjelasan Hukum (Restatement) tentang Klausula Baku.
Jakarta: Pusta Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).
Habeahan, B.
(Juli 2021 ). Tinjauan Hukum Keadaan Memaksa(Force Majeure) Dalam Pelaksanaan
Kontrak Bisnis Pada Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Magister Hukum Program
Pascasarjana Universitas HKBP Nommensen Volume02 Nomor 02, 168-180.
Iskandar, M.
R. (Juli 2017). Pengaturan Klausula Baku Dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Dan Hukum Perjanjian Syariah. Amwaluna: Jurnal Ekonomi dan Keuangan
Syariah Vol. 1 No.2, 200-216.
Isradjuningtias,
A. C. (2015). Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian)
Indonesia . Jurnal Veritas et Justitia Vol. 1 No. 1, 136-158.
Khairandy, R.
(2011). Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak. Jurnal Hukum, No.
Edisi Khusus Vol, 18 , 36 - 55.
Kusumaatmadja,
M. (2002). Konsep-Kosnep Hukum Dalam Pembangunan. Bandung: Alumni.
Muaziz &
Busro. (2015). Pengaturan Klausula Baku Dalam Hukum Perjanjian Untuk Mencapai
Keadilan Berkontrak. Jurnal Law Reform Volume 11, Nomor 1, 74-84.
Muhammad, A.
K. (1992). Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, cet. 1.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Munggarana,
Sudjana & Nugroho. (Juni 2019). Perlindungan Konsumen Terhadap Pencantuman
Klausula Baku Dalam Perjanjian. Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Fakultas
Hukum Unpad Volume 2, Nomor 2, 188-199.
Oktaviarni,
F. (Oktober 2015). Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Jurnal
Ilmu Hukum, Volume 6, Nomor 2, 106-118.
Priyono, E.
A. (2016). Penerapan Asas Itikad Baik Dan Kepatutan Dalam Perjanjian Waralaba .
Jurnal Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 6, No 3, 73-90.
Rasuh, D. J.
(Februari 2016). Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal
1244 Dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jurnal Lex Privatum,
Vol. IV No. 2, 173-180.
Rohaya, N.
(Maret 2018). Pelarangan Penggunaan Klausula Baku Yang Mengandung Klausula
Eksonerasi Dalam Perlindungan Konsumen. Jurnal Hukum Replik Volume 6 No. 1,
23-42.
Satrio, J.
(2012). Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurispridensi.
Bandung: Aditya Bakti.
Simanjuntak,
P. (2009). PokokPokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Sinaga, N. A.
(2015). Wanprestasi Dan Akibatnya Dalam Pelaksanaan Perjanjian. Jurnal Mitra
Manajemen Vol 7, No 2, 43-57.
Copyright holder: Vera Wheni
Setijawati Soermawi,
Merri Lutfiyah Amelia (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |