Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 6, Juni 2023
PROSES KREATIVITAS YUS WIRADIREDJA
DALAM MENGARANSEMEN PUPUH MAGATRU RAEHAN
Meta Liana, Setyo Yanuartuti, Indar Sabri
Pascasarjana
Pendidikan Seni Budaya, Universitas Negeri Surabaya
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Proses kreatif yang dilakukan oleh seorang Yus Wiradiredja dalam mengaransemen Pupuh Magatru menjadi Pupuh Magatru Raehan merupakan bentuk antisipasi terhadap keadaan zaman yang semakin global. Pupuh Raehan merupakan hasil kreativitas yang muncul sebagai respons terhadap kondisi zaman yang semakin global. Pengaruh musik Barat terkadang dapat ditemukan dalam berbagai komposisi musik yang dipengaruhi oleh proses globalisasi. Saat ini, musik Barat memiliki pengaruh yang hampir merata di berbagai negara di dunia. Yus Wiradiredja mengaransemen Seni Pupuh Sunda menjadi lebih modern dengan menambahkan idiom musik barat namun tidak menghilangkan unsur Kasundaan dalam Pupuh Raehan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengertian dari Pupuh Raehan dan untuk mengetahui kreativitas seorang Yus Wiradiredja dalam mengaransemen pupuh magatru. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan Teknik analisis non-interaktif dengan mengkaji dokumen maupun tulisan mengenai kreativitas Yus Wiradiredja dalam mengaransemen Pupuh Magatru Raehan. Melalui penelitian ini diketahui bahwa kreativitas Wiradiredja dalam mengolah seni pupuh menjadi pertunjukan yang dinamis dan relevan adalah contoh yang menginspirasi dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.
Kata kunci: Proses Kreativitas; Yus Wiradiredja; Pupuh Raehan; Pupuh Magatru.
Abstract
The creative process carried out by Yus Wiradiredja in arranging Pupuh Magatru to become Pupuh Magatru Raehan
is a form of anticipation of an increasingly global era. Pupuh
Raehan is the result of creativity that emerged as a
response to increasingly global conditions. The influence of Western music can
sometimes be found in various musical compositions that have been influenced by
the process of globalization. Today, Western music has an almost equal
influence in various countries around the world. Yus Wiradiredja arranged the Sundanese Pupuh
Art to be more modern by adding western music idioms but not eliminating the Kasundaan elements in Raehan's Pupuh. This study aims to find out the meaning of Pupuh Raehan and to find out the
creativity of Yus Wiradiredja
in arranging magatru pupuhs.
This study uses a descriptive qualitative method with non-interactive analysis
techniques by examining documents and writings regarding Yus
Wiradiredja's creativity in arranging Pupuh Magatru Raehan.
Through this research it is known that Wiradiredja's
creativity in processing pupuh art into dynamic and
relevant performances is an inspiring example in facing the challenges of an
ever-changing era.
Keywords: Creativity Process; Yus
Wiradiredja; Pupuh Raehan;Pupuh Magatru.
Pendahuluan
Kreativitas merupakan proses penggabungan pengetahuan dari berbagai bidang
dan pengalaman yang berbeda
untuk menghasilkan ide-ide baru yang lebih baik dan bermanfaat. Hal ini menunjukkan bahwa kreativitas tidak terbatas pada satu bidang atau
disiplin saja, tetapi melibatkan kolaborasi dan sintesis dari berbagai pengetahuan
dan pengalaman (Setyabudi,
2011).
Proses kreativitas mencakup penggabungan pemahaman, wawasan, dan perspektif yang berbeda untuk menghasilkan solusi atau konsep
yang inovatif. Dengan menyatukan elemen-elemen yang berbeda secara kreatif, manusia dapat melahirkan ide-ide yang sebelumnya belum pernah terpikirkan. Dalam perspektif seni, kreativitas dianggap sebagai modal awal yang harus dimiliki oleh seorang seniman. Seorang seniman bukan hanya
mampu menciptkan karya yang indah namun juga mampu berkomunikasi lewat hasil karyanya dengan audiens (Aditya, 2018).�
Dalam dunia musik, kreativitas
dibutuhkan untuk menghasilkan suatu hal baru yang diinginkan
seseorang. Kreativitas dalam bermusik dapat terlaksana apabila seseorang mempunyai dasar teori dan kemampuan bermusik yang baik sehingga akan muncul
dan melahirkan suatu produk baru yang berbeda dari sebelumnya
(Pratama &
Sejati, 2022).�
H. Yusuf Wiradiredja atau yang lebih dikenal dengan sebutan Yus Wirediredja
merupakan seniman sunda sekaligus Dosen di ISBI Bandung yang sangat berpengaruh
terhadap kesenian pupuh. Salah satu karya Yus Wiradiredja
yang sangat populer adalah Pupuh Raehan. Pupuh
Raehan merupakan salah satu inovasi dalam
seni pupuh Sunda yang dilakukan oleh H. Yus Wiradiredja. Inovasi ini melibatkan
perubahan dan pengembangan dalam aransemen lagu pupuh, baik
dalam segi sekar (vokal) maupun
penyajian musiknya. Meskipun menggabungkan idiom musik Sunda dan idiom musik Barat, Pupuh Raehan tetap mempertahankan
keaslian dan memiliki nilai dalam konteks
seni budaya Sunda (Kusumawardhani &
Nugraha, 2019).
Pupuh tergolong ke
dalam tembang sunda, pada umumnya pupuh cukup dinyanyikan
oleh satu orang penyanyi saja dengan diiringi
musik tradisional seperti kecapi, suling, kendang
dan goong (Setiawan, 2016). Alat musik tersebut
umum digunakan tidak hanya untuk
tembang pupuh melainkan lagu-lagu tembang yang lain seperti tembang cianjuran yang juga menggunakan instrumen yang sama.
Pupuh Raehan karya
Yus Wiradiredja walaupun menggabungkan antara musik barat dan musik karawitan Sunda, dalam penyajiannya
musik karawitan lebih terasa sangat jelas. Tembang pupuh yang dinyanyikan dalam garapan Pupuh
Raehan tidak hanya dinyanyikan oleh satu orang penyanyi saja, melainkan 2 orang penyanyi atau lebih.
Hal ini dikarenakan bentuk aransemen vokal pada Pupuh Raehan dibuat dengan
harmonis dengan adanya pembagian suara. Maka dari
itu, proses kreatif dari Yus Wiradiredja
menggambarkan bahwa tradisi merupakan bahan dasar yang dapat diolah kembali
dengan bebas berdasarkan kemampuan dari pembuatnya.
Pupuh merupakan gabungan
karya seni sastra dan seni karawitan, utamanya seni suara.
Pupuh merupakan puisi lama yang mengikuti aturan-aturan tertentu. Pupuh dijelaskan sebagai jenis puisi
yang terikat oleh beberapa kaidah bentuk, seperti banyaknya baris dalam tiap bait, bunyi vokal terakhir
dalam tiap baris (guru lagu) dan banyaknya suku kata dalam tiap baris (guru wilangan), baik suku kata terbuka maupun suku kata tertutup (Rusyana et al.,
1997).
Pupuh tidak hanya ada di Sunda saja, dalam budaya Jawa, pupuh biasa dilantunkan dalam tembang macapat yang terdiri dari 11 (sebelas) jenis, sedangkan dalam budaya bali dikenal 10 (sepuluh) pupuh saja (Hendrayana et al., 2020). Pupuh Sunda terdiri dari 17 macam pupuh, masing-masing pupuh memiliki karakter serta aturan yang berbeda. Pupuh dibedakan menjadi dua yaitu pupuh Sekar Ageung (besar) dan Sekar Alit (kecil). Pupuh yang termasuk dalam sekar ageung yaitu: Ladrang, Lambang, Jurudemung, Balakbak, Gurisa, Pucung, Pangkur, Durma, Maskumambang, Gambuh, Mijil, Wirangrong, dan Magatru. Sedangkan pupuh sekar ageung diantaranya: Kinanti, Asmarandana, Sinom, Dangdanggula. Ke 17 pupuh tersebut memiliki makna yang berbeda-beda dalam kaidah sastranya dan memiliki melodi lagu yang berbeda pula (Cipta et al., 2020).
Pupuh memiliki nilai
budaya yang cukup tinggi, pupuh berisi
ajaran-ajaran budi pekerti, tata krama/etika, dan pendidikan. Pupuh merupakan penggabungan antara seni suara
dan seni sastra dengan karakter yang berbeda dari masing-masing pupuh. Bahasa
yang digunakan dalam pupuh memiliki nilai estetik, sebab penggunaan dan pemilihan bahasa pada pupuh akan mempengaruhi
makna pada tembang pupuh tersebut (Isnanto &
Istiqomah, 2019).
Terdapat beberapa pupuh
yang telah diaransemen,
salah satunya adalah pupuh Magatru yang akan dibahas pada tulisan ini. Pupuh Magatru
merupakan bagian dari pupuh sunda
yang termasuk ke dalam pupuh sekar
ageung. Pupuh Magatru raehan karya Yus Wiradiredja
ini menarik untuk dikaji, karena
secara instrumen juga pupuh raehan menggunakan
idiom musik barat yang diaransemen
bersama musik karawitan Sunda. Hal ini merupakan sesuatu
yang cukup penting untuk dibahas mengingat
keberadaan pupuh pada saat ini sudah
hampir meredup.
Hasil kreativitas dari pemikiran sosok Yus Wiradiredja
dalam mengaransemen pupuh ini diharapkan
akan terus ada dan dikenal oleh masyarakat sunda dengan bentuk yang berbeda, baik itu
pupuh buhun maupun pupuh raehan.
Dalam tulisan ini dijelaskan 2 hal penting yaitu; a) Pengertian Pupuh Raehan, b) Bagaimana Kreativitas Yus Wiradiredja dalam Mengaransemen Pupuh Magatru Raehan.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Metode kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang tidak semata-mata berdasarkan pada kekuatan angka, namun lebih
mengarah pada informasi
yang kaya akan makna (Sutopo, 2002). Deskritif kualitatif
merupakan bentuk penelitian yang bertujuan untuk memahami sebuah fenomena mengenai apa yang dialami oleh subjek penelitian, contohnya persepsi, perilaku, motivasi dan lain lain secara deskripsi dalam bentuk kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis non-interaktif dalam bentuk penelitian kualitatif. Metode ini melibatkan analisis dokumen yang terkait dengan Proses Kreativitas Yus Wiradiredja dalam Mengaransemen Pupuh Magatru Raehan. Data yang digunakan dalam penelitian ini tidak diperoleh melalui interaksi langsung dengan sumber data manusia, tetapi dikaji melalui
tulisan atau dokumen yang relevan dengan topik tersebut. Peneliti mengkaji dari beberapa tulisan dan dokumen video pupuh raehan dari youtube
sebagai bahan kajian, Pendekatan analisis non-interaktif ini memungkinkan peneliti untuk menganalisis dan memahami proses kreativitas Yus Wiradiredja dalam mengaransemen pupuh Magatru Raehan melalui bahan-bahan tertulis yang ada.
Hasil dan Pembahasan
A.
Pupuh Raehan
Pupuh Raehan menurut Yus Wiradiredja merupakan sebuah wujud karya seni
musik yang merupakan hasil dari proses kreatif yang bertolak dari salah satu
seni suara Sunda yaitu pupuh. Pupuh Raehan bisa disebut juga sebagai bentuk
pengembangan materi lagu yang terdapat dalm seni pupuh. Pupuh raehan diciptakan
pertama kalai pada tahun 2007 dalam bentuk kaset pita dengan judul album musik
17 Pupuh & Raehan Seni Pupuh Sunda, Produksi Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata jawa Barat (Fauzy et al., 2021).
Jika dilihat dari
makna kata-kata tersebut, istilah "pupuh raehan" terdiri dari kombinasi dua kata, yaitu "pupuh" dan
"raehan". Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, "pupuh" merujuk pada aturan atau pola dalam
pembuatan puisi. Sementara itu, "raehan" berasal dari kata "raeh" dalam bahasa Sunda
yang berarti "menggubah".
Dengan tambahan akhiran "an", kata tersebut
mengalami perubahan makna menjadi mengacu
pada hasil kegiatan kreatif seseorang. Oleh karena itu, "pupuh raehan" dapat diartikan sebagai pupuh yang telah diubah atau
diaransemen. Penting untuk mencatat bahwa perubahan yang terjadi pada pupuh raehan Yus Wiradiredja
tidak hanya dalam aspek sastra, tetapi perubahan yang paling signifikan juga dapat dirasakan dalam aspek musikal dan bentuk pertunjukannya.
Pupuh Raehan merupakan
upaya dari sosok Yus Wiradiredja
dalam mempertahankan eksistensi pupuh di Jawa Barat. Sebelumnya terdapat pula pupuh, yang biasa disebut dengan
tembang Pupuh Buhun yang berjumlah 17 pupuh. Pupuh Buhun
pertama kali diciptakan
oleh penyair dan kesusastraan
Sunda pada masa Kerajaan Pajajaran
di jawa Barat. Meskipun tidak diketahui secara pasti siapa
yang menciptakan pupuh pertama kali, namun pupuh buhun telah
menjadi bagian dari kesenian tradisional
Sunda sejak ratusan tahun yang lalu.
Kemungkinan masyarakat Sunda
sudah mengenal pupuh setetelah Priangan (Jawa Barat) tunduk kepada Mataram
pada zaman Sultan Agung di abad ke-17. Terutama sejak awal berdirinya kebupaten baru pada tahun 1641 M, diantaranya
Bandung, Sukapura, Parakanmuncang
dan Sumedang. Pada masa ini
lambat laun pupuh dan beberapa kebudayaan Jawa masuk ke dalam
budaya Sunda (Rifa�i &
Ridwan, 2019).
Tokoh sunda yang memperkenalkan
17 pupuh sunda adalah R.A.A Wiranatakusumah II atau dikenal dengan
Pangeran Wiranatakusumah
II. Beliau merupakan seorang tokoh seni
dan budayawan asal jawa barat yang hidup pada abad ke-19. Selain Wiranatakusumah II, ada pula beberapa seniman Sunda yang banyak memberikan kontribusi dalam pengembangan seni Sastra Sunda, termasuk dalam penggunaan pupuh sebagai bentuk puisi dalam kesusastraan
Sunda. Beberapa di antaranya adalah Sastrawan Ranggasutrasna, Sastrawan Gudingsentana, dan Sastrawan Mang Koko.
Pupuh Sunda umumnya
dipentaskan secara solo dengan pengiringan alat musik kecapi,
suling, kendang dan goong atau
menggunakan hanya kecapi saja. Bahkan
ada pula yang tanpa menggunakan iringan sama sekali. Namun,
pupuh raehan memiliki perbedaan dalam praktiknya. Pupuh Raehan biasanya
dipentaskan dalam bentuk duet dengan penggunaan beberapa alat musik yang termasuk dalam kategori ansambel sedang. Ansambel diartikan dengan memainkan musik secara bersama-sama baik menggunakan alat musik yang sejenis maupun campuran (Sofiyanti,
2016).
Dalam konteks Pupuh
Raehan, pengaransemen musik melibatkan penggunaan beberapa instrumen yang saling berkolaborasi dalam mengiringi penampilan. Ini berarti ada
kerjasama antara berbagai alat musik,
seperti kacapi, suling, kendang sebagai
musik tradisi dan tambahan musik barat dalam Pupuh Raehan.
Perpaduan musik-musik tradisi dan musik barat dalam Pupuh Rehan
ini menciptakan kesatuan dan harmoni yang indah dalam pertunjukan.
Dengan penggunaan ansambel
sedang, pupuh raehan memberikan dimensi yang lebih kaya dalam pengaturan musiknya. Penggunaan instrumen yang beragam memungkinkan penekanan yang lebih kuat pada aspek musikalitas, menciptakan suasana yang lebih kompleks, dan memberikan variasi dalam pengalaman pendengaran bagi penonton. Penggunaan ensambel dalam pupuh raehan juga dapat memberikan ruang bagi kolaborasi
dan interaksi antara para musisi dalam menciptakan
interpretasi yang unik dari karya tersebut.
Hal ini menghasilkan pengalaman musik yang lebih dinamis dan mendalam bagi para penikmatnya.
Dengan demikian, pupuh
raehan memperluas penggunaan instrumen dan kompleksitas pengaturan musik, memberikan dimensi yang lebih kaya dalam ekspresi seni dan penampilan, serta menciptakan pengalaman musik yang unik dan berkesan.
B. Kreativitas Yus Wiradiredja dalam Mengaransemen Pupuh Magatru
Raehan
Proses kreatif sosok Yus Wiradiredja
memegang peran penting dalam mengolah
dan menghasilkan sebuah karya pupuh dengan
inovasi baru berupa pupuh raehan.
Kreativitasnya memungkinkan
seorang Yus Wiradiredja untuk mengekspresikan hasil karya nya dengan
bentuk artistik secara unik sesuai
dengan ciri khas yang dimilikinya. Proses aransemen suatu karya seni merupakan
kegiatan kreatif dalam mengolah dan mengembangkan elemen-elemen musik menjadi sebuah
karya seni yang baru (Kusumawati,
2016).
Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, pupuh sunda berjumlah 17 pupuh. Ke 17 pupuh
ini tidak semua dibuat versi
pupuh raehannya oleh Yus Wiradiredja. Pupuh yang diaransemen diantaranya Sinom, Balakbak, Maskumambang, Jurudemung, Kinanti, Gambuh, Wirangrong, Magatru, Mijil, Pangkur, Asmarandana, Dangdanggula, dan Durma.� Laras yang digunakan dalam pupuh tersebut meliputi laras salendro, degung, madenda, sorog.
Dalam pupuh raehan
karya Yus Wiradiredja, struktur penyajian vokal umumnya terdiri dari dua bentuk utama, yaitu sekar
irama merdika (ketukan tidak tetap)
dan sekar tandak (ketukan tetap). Ketika dibandingkan dengan penyajian tembang Sunda cianjuran, ada kesamaan pola
dalam penyajian bentuk sekar tersebut.
Pola ini dapat dilihat dari posisi
sekar irama merdika (pupuh) yang disajikan di awal, dan kemudian sekar tandak disajikan setelah sekar irama
merdika (panambih).
Dalam pupuh raehan,
sekar irama merdika atau pupuh
biasanya digunakan sebagai pengantar atau pengenalan awal dalam penyajian
vokal. Pupuh ini memiliki ketukan
yang tidak tetap, mengikuti irama atau nuansa musik
yang sedang diungkapkan. Posisi pupuh ini
memberikan landasan untuk memperkenalkan tema atau pesan
yang akan diungkapkan dalam pupuh raehan.
Setelah sekar irama merdika, biasanya diikuti oleh sekar tandak. Sekar
tandak memiliki ketukan yang tetap dan beraturan, dan sering digunakan untuk mengembangkan dan memperkuat ekspresi dalam pupuh raehan. Posisi
sekar tandak yang disajikan setelah sekar irama merdika
memberikan kontras dalam struktur dan ritme penyajian vokal, menciptakan variasi yang menarik dalam pertunjukan.
Bentuk kreativitas Yus
Wiradiredja dalam Pupuh Magatru raehan
salah satunya terletak pada
rumpaka (syair). Pupuh Magatru memiliki
aturan guru wilangan (banyaknya jumlah suku kata/wanda dalam setiap baris) serta guru lagu (bunyi sajak pada akhir kata dalam setiap baris). Aturan guru wilangan dan guru lagu pupuh magatru yaitu
12-u, 8-i, 8u, 8-i, 8-o. Serta watak dari Pupuh Magatru
yaitu ungkapan rasa sedih, kecewa, penyesalan (handeueul) prihatin, serta menasihati (Kusumawati,
2016).
Pada umumnya, struktur
musikal dalam setiap pupuh yang diaransemen oleh Yus Wiradiredja memiliki pola yang relatif sama, begitu pula dengan Pupuh Magatru.
Struktur ini terdiri dari beberapa
elemen yang secara umum mengikuti urutan sebagai berikut:
1. Intro: Pada awal penyajian, pupuh dimulai dengan munculnya intro yang disajikan
oleh beberapa instrumen.
Intro ini berfungsi sebagai pembuka dan mempersiapkan pendengar untuk masuk ke
dalam suasana musik yang akan diungkapkan.
2. Intro Vokal: Setelah intro instrumental, terdapat
bagian intro vokal yang dijalankan secara ansambel. Dalam bagian ini, vokal
bergabung dengan instrumen lainnya untuk menciptakan harmoni dan memberikan pengantar vokal yang menarik.
3. Materi Pupuh:
Bagian utama dari pupuh adalah saat
dihadirkan lagu utama atau materi
pupuh itu sendiri. Pada bagian ini, vokal mengungkapkan
syair atau lirik secara melodi
dengan diiringi oleh instrumen lainnya. Pupuh menjadi fokus
utama dari penyajian ini dan biasanya mengandung ekspresi yang mendalam. Rumpaka (syair) tetap menggunakan aturan guru lagu serta guru wilangan yang sudah ada.
4. Interlude: Di bagian tengah penyajian, ada interlude yang berfungsi sebagai jembatan musikal. Interlude ini biasanya berbentuk instrumen, di mana instrumen tersebut bermain solo atau berkolaborasi untuk memberikan variasi dalam melodi
dan menambah dimensi musikal.
5. Lagu Panambih:
Setelah interlude, dilanjutkan
dengan lagu panambih. Lagu panambih sering kali berbeda dalam karakteristik
dan gaya dari materi pupuh utama.
Lagu ini memberikan variasi dan menghadirkan suasana yang berbeda dalam penyajian
musik.
6. Coda: Sebagai bagian akhir, penyajian
pupuh biasanya diakhiri dengan bagian melodis yang disajikan oleh instrumen dan vokal. Coda ini memberikan penutup yang indah dan melengkapi keseluruhan penyajian.
Dengan pola struktur
seperti ini, Yus Wiradiredja menciptakan aransemen musikal yang memiliki alur yang teratur dan menghadirkan dinamika yang menarik tanpa menghilangkan
pakem pupuh mengenai guru lagu, guru wilangan serta watak dari Pupuh
Magatru.
Penyajian pupuh raehan
Yus Wiradiredja dapat dikategorikan sebagai ansambel sedang karena penggunaan
sejumlah alat musik yang relatif banyak dan beragam dalam pertunjukan tersebut. Ansambel sedang merupakan ansambel yang jumlah pemainnya antara 10 sampai 30 orang pemain (Silitonga,
2017).
Dalam konteks pupuh
raehan Yus Wiradiredja, penggunaan instrumen meliputi kacapi siter
(4 buah), kacapi rincik (3 buah), kacapi diatonis, biola (2 buah), suling, kendang,
timbales, conga, bongo, bar chimes, bedug, dan beberapa perkusi lainnya.
Dalam pengiringan lagu,
semua instrumen tersebut bermain secara ansambel, artinya mereka bekerja sama dan saling melengkapi satu sama lain dalam menciptakan bingkai musikalitas yang kaya dan
kompleks. Dalam penyajian pupuh raehan, instrumen-instrumen tersebut berinteraksi dalam suatu susunan
semiorkestra, di mana setiap
instrumen memiliki peran dan kontribusi yang penting dalam menghasilkan
suara dan kesan musik yang dinamis Penggunaan idiom musik Barat pada
pupuh raehan Yus Wiradiredja, dapat dibuktikan dengan adanya unsur
akor, baik pada lagu maupun iringannya
(pirigan). Dalam bentuk lagu, unsur
akor terlihat pada bagian intro yang berbentuk melodi vokal yang terdapat pada aransemen lagu pupuh �Magatru�.
Hal baru yang penulis
temukan dalam Pupuh Raehan ini
adalah bentuk pertunjukan yang berbeda dari biasanya. Pupuh�� biasanya cukup dibawakan oleh satu orang saja (anggana sekar),
namun dalam Garapan Pupuh Raehan vokalis
berjumlah 2 orang atau lebih. Dalam Pasanggiri
(lomba) yang sering diadakan di Jawa Barat, peserta lomba pupuh
raehan biasa berjumlah 3 orang vokalis. Hal ini dikarenakan terdapat pembagian suara dalam pupuh
ini, sehingga akan lebih harmonis
apabila ditampilkan lebih dari 2 orang.�
Pupuh Raehan karya
Yus Wiradiredja termasuk pupuh Magatru sering dijadikan bahan untuk lomba/festival dalan Pasanggiri dan Apresiasi bahasa, Sastra dan Seni
Daerah Provinsi Jawa Barat
yang diikuti oleh siswa-siswi
SD, SMP, dan SMA.� Maka
dari itu, hasil dari kreativitas
sosok Yus Wiradiredja sudah diakui oleh pihak pemerintah Provinsi Jawa Barat sehingga hasil karya beliau
dijadikan sarana untuk generasi muda dalam mempelajari
dan mengenal seni pupuh yang ada di Jawa Barat.�
Kesimpulan
Proses
kreatif yang dilakukan oleh
seorang Yus Wiradiredja dalam mengaransemen Pupuh Magatru menjadi Pupuh Magatru dengan
bentuk raehan merupakan contoh yang bagus dari antisipasi
terhadap keadaan zaman yang
semakin global. Dia menghargai unsur tradisional dan mampu berpikir secara global namun bertindak secara lokal dengan
mengangkat seni pupuh menjadi bentuk
pertunjukan yang relevan. Selain itu, hal
ini juga menunjukkan bahwa unsur budaya
harus senantiasa dinamis agar tetap relevan dan dapat terus berkembang seiring waktu. Dengan mempertahankan akar tradisi namun
juga membuka ruang untuk eksplorasi dan inovasi, Wiradiredja mencerminkan pentingnya menjaga kelangsungan hidup budaya melalui
adaptasi yang sesuai dengan zaman.
Gagasan dari Yus Wiradiredja
dalam Pupuh Magatru Raehan ini adalah dengan
mengembangkan aspek sastra,
aspek penyajian, dan aspek musikal. Bentuk pupuh magatru
buhun dengan raehan masih memiliki
kesamaan dikarenakan adanya pakeman dari aturan guru lagu serta guru wilangan. Tidak lupa tema dari
pupuh magatru yang berisi nasihat tentang kehidupan harus tetap digunakan.
Musik yang digunakan dalam pupuh magatru raehan
ini sudah menggunakan idiom musik barat, dengan aransemen vokal yang dibagi menjadi beberapa suara, sehingga menghasilkan lagu yang sangat harmonis. Walaupun pupuh raehan menggabungkan
musik tradisional dan musik barat, pupuh ini masih kental
dengan nuansa Kasundaan. Instrumen yang digunakan diantaranya kecapi siter, kecapi rincik, kecapi diatonic, biola, suling, timbales, kendang, conga, bongo, bar chimes
dan bedug.
Struktur musikal Pupuh Magatru
Raehan berbeda dengan pupuh magatru
buhun, yang mana pada Pupuh
Raehan struktur musikalnya terdiri dari bagian intro, intro vokal, materi pupuh,
interlude, lagu panambih
dan coda.
Dalam kesimpulannya, kreativitas Wiradiredja dalam mengolah seni pupuh
menjadi pertunjukan yang dinamis dan relevan adalah contoh yang menginspirasi dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berubah. Ia menunjukkan bahwa penghormatan terhadap tradisi dapat dilakukan melalui pendekatan kreatif yang membuka ruang untuk penemuan
baru dan ekspresi individu.
BIBLIOGRAFI
Aditya, A. (2018). Kreativitas dalam Pemikiran
Csikszentmihalyi. ARTCOMM, 1(01), 54�60.
Cipta,
F., Gunara, S., & Sutanto, T. S. (2020). Seni beluk Cikondang Indigenous
Village reviewed from the perspective of music education. Humaniora, 11(1),
1�6.
Fauzy, D. A., Sukanta, S., & Kurdita, E. (2021).
PUPUH SINOM RAEHAN KARYA YUS WIRADIREDJADILIHAT DARI DINAMIKA PERKEMBANGANNYA. Swara-Jurnal
Antologi Pendidikan Musik, 2(1), 37�43.
Hendrayana, D., Dienaputra, R., Muhtadin, T., &
Nugrahanto, W. (2020). Pelurusan istilah kawih, tembang, dan cianjuran. Panggung,
30(3), 411�424.
Isnanto,
D. A., & Istiqomah, D. (2019). Makna Pupuh (Tembang) Dalam Tradisi Ritual
Sandingan Masyarakat Jawa Kabupaten Kediri. JURNAL KONFIKS, 6(1),
59�72.
Kusumawardhani,
S., & Nugraha, N. D. (2019). Ilustrasi Eksperimental Kesenian Pupuh Raehan.
EProceedings of Art & Design, 6(1).
Kusumawati,
H. (2016). Kreativitas Dalam Pembuatan Aransemen Musik Sekolah. Imaji, 14(1),
57�64.
Pratama,
R. M., & Sejati, I. R. H. (2022). Kreativitas Aransemen Musik Gereja
Pantekosta Pusat Surabaya Pondok Daud, Kabupaten Bondowoso. Tonika: Jurnal
Penelitian Dan Pengkajian Seni, 5(1), 30�41.
Rifa�i,
B., & Ridwan, A. (2019). Analisis Isi Pesan Dakwah Dalan Buku 17 Sekar
Pupuh Anggoeun di Sakola Karya Godi Suwarna. Tabligh: Jurnal Komunikasi Dan
Penyiaran Islam, 4(3), 304�324.
Rusyana,
Y., Iskandarwassid, I., & Wibisana, W. (1997). Ensiklopedia sastra Sunda.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Setiawan,
R. F. (2016). PERANAN KACAPI INDUNG DALAM KESENIAN TEMBANG SUNDA CIANJURAN.
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA.
Setyabudi,
I. (2011). Hubungan antara adversiti dan inteligensi dengan kreativitas. Jurnal
Psikologi Esa Unggul, 9(01), 126306.
Silitonga,
P. H. D. (2017). Ansambel Musik Batak Toba Sebagai Pengiring dalam Peribadata
Umat Kristen Etnis Batak Toba di Medan. Gondang: Jurnal Seni Dan Budaya,
1(2), 70�77.
Sofiyanti,
E. (2016). Peningkatan Kreativitas Bermain Musik Ansambel dengan Metode
Discovery Learning. Dinamika Pendidikan, 6(3).
Sutopo,
H. B. (2002). Metodologi penelitian kualitatif. Surakarta: sebelas maret
university press.
Copyright holder: Meta Liana, Setyo
Yanuartuti, Indar Sabri (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |