Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 6, Juni 2023
URGENSI LEMBAGA PELINDUNGAN DATA PRIBADI DI
INDONESIA BERDASARKAN ASAS HUKUM RESPONSIF
Erlyns Yolanda, Rugun Romaida Hutabarat
Universitas Tarumanagara
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Dewasa kini, kejahatan terhadap data pribadi merupakan hal yang tidak jarang terjadi di dalam masyarakat, sehingga dibutuhkan sebuah dasar hukum untuk memberikan perlindungan hukum atas hak privasi masyarakat. Kelahiran Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi memberikan angin segar di tengah masyarakat, namun implementasinya secara menyeluruh masih belum dapat dilakukan sebab absennya lembaga yang berwenang dalam undang-undang ini. Penelitian ini bertujuan untuk membahas kepentingan sebuah lembaga pelindungan data pribadi dalam rangka menjamin keamanan data pribadi masyarakat. Penelitian ini berjenis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan historis (historical approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa undang-undang pelindungan data pribadi secara substansi telah cukup memberikan pemenuhan atas kebutuhan pelindungan data pribadi bagi masyarakat, namun aturan tersebut belum dapat dijalankan secara maksimal, sehingga luput dari segi implementasi. Alasannya adalah ketidakhadiran lembaga yang ketentuannya tidak diatur dengan rinci dalam undang-undang, sehingga mengulur waktu pembentukan lembaga tersebut. Maka diperlukan adanya regulasi yang mengatur mengenai ketentuan pencantuman sebuah lembaga negara penunjang di dalam sebuah undang-undang, agar terdapat standarisasi yang diharapkan dapat menghindari minimnya ketentuan lembaga yang meningkatkan potensi penguluran pembentukan Lembaga.
Kata kunci: Perlindungan Data Pribadi; Data Pribadi; Lembaga Pelindungan Data Pribadi.
Abstract
These days, crimes
against personal data are not uncommon in society, necessitating a legal
foundation to provide legal protection for individuals' privacy rights. The
enactment of the Personal Data Protection Act brings a breath of fresh air to
the community, but its comprehensive implementation is still not possible due
to the absence of an authorized institution under this law. This research aims
to discuss the importance of a personal data protection institution in ensuring
the security of individuals' personal data. The study is of a normative nature
and employs a statutory approach and a historical approach. The research
findings indicate that the substantive provisions of the personal data
protection law have sufficiently addressed the need for personal data
protection for the community. However, these regulations have not been fully
implemented due to the lack of a clearly defined institution in the law,
resulting in delays in the establishment of such an institution. Therefore, it
is necessary to have regulations that govern the inclusion of a supporting
state institution in a law, in order to establish the desired standardization
and avoid a lack of provisions that impede the formation of the institution.
Keywords: Protection of Personal Data; Personal Data; Personal
Data Protection Institution
Pendahuluan
Dunia telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, perubahan industrialisasi menjadi digitalisasi industri di era globalisasi ini merupakan hal
yang menyebabkan dunia menjadi
semakin terkesan tanpa batas (borderless) sehingga
membawa dunia ke dalam tingkatan yang berbeda. Menurut pakar hukum Soerjono
Soekanto, kemajuan di bidang teknologi akan berjalan bersama
dengan munculnya berbagai perubahan dalam masyarakat yang akan mempengaruhi nilai sosial, kaidah
sosial, pola perilaku, organisasi dan susunan lembaga kemasyarakatan (Soekanto, 1989). Dewasa ini,
kita telah memasuki era gesitnya laju perkembangan dan pemanfaatan dari teknologi komunikasi dan informasi itu sendiri
dan hal ini dibuktikan dengan semakin bertambahnya pengguna internet dari waktu ke waktu.
Jika dilihat berdasarkan persentase, penduduk Indonesia yang merupakan
pengguna internet berada di
angka 77%. Penggunaan teknologi dapat diandaikan sebagai pisau bermata dua, karena walaupun tidak dapat dipungkiri
bahwa terdapat banyak kontribusi yang diberikan kepada penggunanya dalam kehidupan sehari-hari seperti yang telah disebutkan sebelumnya, namun juga dapat dipergunakan sebagai sarana tindak kejahatan
apabila penggunaannya tidak dibatasi yang nantinya akan menjadi
malapetaka bagi penggunanya, terutama terkait pada pemanfaatan data pribadi.
Pengumpulan data pribadi pada zaman sekarang merupakan hal yang lazim dilakukan oleh masyarakat, terutama di dalam pemakaian sebuah aplikasi atau pengaksesan
sebuah situs pada gawai
yang biasanya meminta informasi data tersebut untuk dibuatkan sebuah akun (Humaerah, 2020).
Namun sangat disayangkan bahwa permintaan data pribadi oleh aplikasi ataupun website tersebut tidak diimbangi dengan keamanan pengelolaan aplikasi/situs (Doly, 2021). Sebuah aplikasi
ataupun situs yang tidak memiliki keamanan pengelolaan yang mumpuni dapat menyebabkan masalah kebocoran data pribadi. Kasus kebocoran data pribadi di
Indonesia dapat dikatakan cukup sering terjadi,
baik oleh instansi pemerintah maupun swasta.
Secara internasional, mengenai perlindungan data pribadi terdapat di dalam Universal Declaration of Human Rights (DUHAM), pasal tersebut bermaksud bahwa hak privasi termasuk
data pribadi memiliki hubungan yang erat dengan konsep kerahasiaan
seseorang agar kehidupan pribadinya tidak diganggu sehingga hal ini merupakan
sesuatu yang perlu untuk dilindungi dan dijaga demi menciptakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.
Keberadaan dari UU PDP juga merupakan sebuah respons dari pemerintah
terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat, karena perlindungan data pribadi bukanlah hanya merupakan kewajiban pemerintah dalam melindungi data pribadi seperti yang diamanatkan dalam UUD Nomor 28G, namun perlindungan ini juga merupakan hak dari
masyarakat untuk diperoleh. Namun yang menjadi perhatian dari UU PDP terletak pada keberadaan kelembagaan pada saat telah diundangkan.
Di Indonesia sendiri jarang
ditemukan perundang-undangan
yang telah mencakup asas, kaidah, lembaga
dan proses. Namun ditemukan
bahwa terdapat sebuah lembaga yang hadir terlebih dahulu sebelum diatur dalam undang-undang
secara menyeluruh.
Ketentuan mengenai peran
lembaga perlindungan data pribadi telah hadir
di dalam UU PDP, tepatnya
pada Bab IX mengenai kelembagaan,
yang menyatakan bahwa lembaga penyelenggara perlindungan data pribadi akan dibentuk presiden
dan bertanggung jawab kepada presiden, dan juga terdapat pengaturan mengenai wewenang dari lembaga ini
nantinya. Absennya eksistensi lembaga menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum yang menyebabkan nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan menjadi buram (Hamidi et al., 2012). Dewasa ini,
kasus mengenai pelanggaran data pribadi juga marak terjadi, sehingga dibentuk undang-undang PDP akan tetapi masih belum
terdapat kejelasan mengenai lembaganya. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menjelaskan secara objektif terkait dengan urgensi lembaga Perlindungan Data Pribadi di dalam implementasi peraturan perundang-undangannya.
Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan
metode penelitian hukum normatif atau yang sering disebut dengan library research, dimana penelitian ini akan mengungkap
isi suatu perundang-undangan yang telah dipaparkan secara sistematis dengan didasari oleh studi dokumen, seperti perundang-undangan, yurisprudensi,
kontrak/akad perjanjian, dan doktrin-doktrin
para ahli hukum. Sumber yang digunakan dalam penelitian ini nantinya akan
didasarkan pada pengumpulan
3 (tiga) data penelitian, yaitu data primer, sekunder dan tersier. Di dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan ada dua, yaitu pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan historis.
Pengumpulan data penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data kepustakaan atau disebut juga sebagai studi dokumen yang menyangkut literatur yakni dengan membaca,
mempelajari dan menelaah buku-buku, peraturan perundang-undangan dan data-data pendukung
lainnya yang berkaitan dengan lembaga dan data pribadi di Indonesia dengan maksud agar dapat memperoleh landasan teori dari penelitian.
Hasil temuan bahan hukum yang sebelumnya telah diperoleh melalui studi kepustakaan
akan dipaparkan secara sistematis dan logis guna menemukan
titik terang.
Hasil dan Pembahasan
Perkembangan zaman memberikan dampak yang cukup signifikan dalam kejahatan
terhadap data pribadi yang semakin hari kian mudah untuk diperoleh oleh orang
yang tidak berkepentingan. Kejahatan merupakan realitas yang membayangi
perkembangan-perkembangan ataupun kepentingan di dalam masyarakat. Dengan
kata lain, kejahatan adalah
sebuah tindakan pelanggaran atau tindakan yang tidak sesuai dengan kaidah
hukum yang berlaku di dalam lingkungan masyarakat tersebut menetap (Widiyanti
& Waskita, 1987). Pencurian
data pribadi, penipuan data
pribadi, penjualan data pribadi dan lain sebagainya merupakan contoh nyata dari bentuk
kejahatan yang mengikuti kemajuan di bidang teknologi dan informasi.
Pada tahun
2019 lalu, Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Jakarta menerima lebih
dari lima ribu pengaduan terkait penyalahgunaan data pribadi. Sedangkan pada tahun 2022 diketahui bahwa terdapat kenaikan sebanyak 143% kebocoran data selama kuartal kedua 2022, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh perusahaan keamanan siber Surfshark.
Adapun terdapat
beberapa kasus kebocoran data pribadi yang terjadi pada tahun 2022 silam. Peristiwa tersebut bahkan menyerang badan usaha milik negara sekalipun. Salah satunya adalah Perusahaan Listrik
Negara (PLN) yang mengalami kebocoran
atas 17 juta data pelanggan ke forum peretas. Data yang bocor meliputi
nama, alamat, dan juga tagihan. Selain itu penyedia layanan
internet terkemuka di Indonesia, Indihome,
juga sempat mengalami kebocoran data sebanyak 26 juta akun penggunanya.� Kebocoran data mencakup riwayat pencarian, nama, email hingga nomor induk
kependudukan.
Data Pertamina
pun mengalami hal serupa, yaitu sebanyak
44 juta pengguna yang dijual oleh peretas dalam bentuk bitcoin sebesar Rp 392 juta rupiah. Aplikasi yang paling sering digunakan semasa pandemi juga tidak lepas dari kebocoran
data, peduli lindungi kebocoran sekitar 3,2 miliar datanya yang dijual dalam situs gelap oleh peretas. Penyalahgunaan tersebut merupakan sebuah bukti dari lemahnya
tingkat keamanan sistem serta longgarnya
pengawasan yang dilakukan sehingga menimbulkan kerugian bagi pemilik
data.
Tidak hanya
pada aplikasi, pemerintah
juga sempat diduga mengalami kebocoran data pada situsnya yang disebabkan oleh
malware atau infeksi
program berbahaya. Situs yang mengalami
kebocoran data terbanyak adalah situs prakerja, yaitu sebanyak 17.331 kredensial yang bocor pada situs dashboard.prakerja.go.id. Selanjutnya adalah situs
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu datadik.kemedikbud.go.id dan info.gtk.kemdikbud.go.id
yang masing-masing sebanyak 15.729 kredensial dan 10.761 kredensial.�
Terdapat pula kebocoran
data pada djponline.pajak.go.id. yang merupakan situs
Dirjen Pajak sebanyak 10.409 kredensial. Kebocoran data situs milik pemerintah dapat memiliki konsekuensi yang serius karena informasi
yang tersimpan di dalamnya seringkali termasuk data pribadi, ataupun informasi sensitif lainnya.
Panjangnya daftar kebocoran
data tersebut menandakan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada belum dapat memberikan
pemenuhan hak yang mumpuni atas privasi
masyarakat. Sehingga untuk mengisi kekosongan
hukum serta mewujudkan perlindungan hak privasi warga
negara, diperlukan sebuah aturan yang lebih tegas dan menyeluruh, yaitu sebuah regulasi
khusus terkait perlindungan data pribadi (Lubis,
2022). Keperluan
regulasi ini didasari oleh fakta bahwa undang-undang yang ada hanya mampu
memberikan perlindungan
data pribadi terbatas pada lingkup undang-undang tersebut, sehingga setiap undang-undang memiliki pengaturannya sendiri terkait data pribadi. Dalam artian, undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan terhadap data pribadi secara khusus belum ada,
yang ada hanyalah kumpulan perundang-undangan yang memiliki ketentuan perlindungan data pribadi di dalamnya.
Beberapa peraturan
yang dimaksud adalah seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah
aturan teknis, tepatnya pada Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor
22/20/PBI/2020 tentang Perlindungan
Konsumen Bank Indonesia, menyatakan
bahwa �perlindungan data
dan/atau informasi konsumen termasuk ke dalam prinsip
salah satu dari tujuh kerahasiaan konsumen�.
Demikian pula Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika
Nomor 20 tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem
Elektronik dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, undang-undang menyebutkan bahwa, �Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya�.
Selain itu, undang-undang mengenai administrasi kependudukan menyebutkan bahwa data pribadi yang harus dilindungi adalah keterangan tentang cacat fisik dan/atau mental, sidik jari, iris mata, tanda tangan dan elemen data lainnya yang merupakan aib seseorang.
Adapun contoh lainnya yaitu, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyebutkan,
�bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah,
atau memanipulasi: (a) melakukan akses ke jaringan telekomunikasi;
dan/atau (b) melakukan akses ke jasa
telekomunikasi; dan/atau
(c) melakukan akses ke jaringan telekomunikasi
khusus.�
Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) pada prinsipnya telah
mengatur mengenai perlindungan data pribadi, walaupun memang tidak dinyatakan secara eksplisit. Namun apabila� diperhatikan
dengan seksama, pengaturan dalam UU ITE telah mencakup rumusan konsep yang cukup luas. Sebab
data pribadi dalam bentuk elektronik, yang disimpan, ditransfer, dan ditransmisikan merupakan objek dari peraturan
ini.
Walaupun demikian,
pengaturan pada UU ITE hanya
merefleksikan kehadiran
negara dalam memberikan perlindungan bagi masyarakatnya, namun karena terdapat cukup banyak aspek
yang tidak tercantum dalam undang-undang ini, seperti cakupan
data pribadi, pemindahan
data antar negara, otoritas
yang berwenang, sanksi dalam hal terjadinya
penyalahgunaan data tidak ditemukan, maka sejatinya undang-undang ini masih belum
dapat menunjukkan kewibawaan negara atas pengaturan hukum di mata internasional.
Data pribadi
merupakan sebuah privasi yang perlu dihormati sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) yang menyatakan bahwa �tidak seorangpun
boleh diganggu urusan pribadinya keluarganya, rumah tangganya atau hubungan surat menyuratnya dengan sewenang-wenang; juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti ini.� Bunyi
pasal tersebut menunjukkan bahwa data pribadi merupakan sebuah data serta informasi yang berhubungan erat dengan kehidupan
individu dan juga dengan konsep kerahasiaan yang sifatnya harus dilindungi.
Ada dua pengertian
dasar terkait konsep hak asasi
manusia menurut pendapat Leach Levin, seorang aktivis HAM. Pengertian pertama adalah hak asasi manusia
sebagai hak yang tidak dapat dilucuti
dari seseorang, hak ini bertujuan
untuk memberikan jaminan terhadap martabat manusia (Saufiah,
2022). Kedua
adalah hak-hak yang diakui oleh hukum disusun melalui proses pembentukan hukum yang mencerminkan partisipasi masyarakat, baik dalam skala nasional
maupun internasional (Abdul & Irfan, 2001).
Pengaturan mengenai
privasi secara internasional telah diatur dan diakui sebagai hak manusia
yang harus dilindungi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa privasi termasuk ke dalam hak
dasar manusia sebab perlindungan yang diberikan adalah kepada manusia sebagai individu yang perlu diberikan ruang untuk� mengembangkan kepribadian dirinya sendiri (Murray, 2013).
Terdapat pula instrumen
hukum internasional lainnya yang lebih menyatakan secara eksplisit terkait hak pribadi manusia.
Konvensi ini dikenal dengan International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Konvensi Internasional Perlindungan Sipil dan Politik. Konvensi yang lahir melalui Resolusi
2200 A pada 16 Desember 1966 ini
dalam Pasal 17 menyebutkan bahwa, �No one shall
be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy, family,
home or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour
and reputation�.
Setelah penulis
terjemahkan secara bebas bermakna, tidak seorang pun boleh menjadi korban campur tangan sembarangan
atau melanggar hukum terhadap privasinya, keluarganya, rumahnya, atau korespondensinya. Selain itu, tidak boleh
ada serangan yang melanggar hukum terhadap kehormatan dan reputasinya.
Pernyataan ini mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia
yang diakui secara
universal. Hak privasi merupakan
hak yang mendasar bagi setiap individu.
Selain itu, pernyataan tersebut melindungi individu dari serangan yang tidak sah terhadap
kehormatan dan reputasinya.
Ini berarti individu memiliki hak untuk dihormati
dan tidak boleh mengalami fitnah, pencemaran nama baik, atau
serangan lain yang merusak reputasinya secara tidak adil atau
melanggar hukum.
Maka dari itu, untuk memenuhi
amanat internasional terkait hak atas
privasi serta untuk mencegah atau meminimalisir terjadinya pelanggaran data pribadi, diperlukan sebuah dasar hukum
komprehensif yang dapat memberikan jaminan atas perlindungan data pribadi Jaminan atas hak atas
privasi, sebagaimana tertuang di dalam Pasal 28G UUD 1945, berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang berhak
atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.
Melalui bunyi dari pasal tersebut,
dapat dilihat betapa pentingnya peraturan perundang-undangan yang
memberikan perlindungan atas data pribadi. Hal ini didukung pula oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-I/2003,
yang menyatakan bahwa ketentuan terkait dengan hak asasi
manusia harus dituangkan ke dalam
bentuk undang-undang. Boelewoekli menyebutkan bahwa dibutuhkan keterlibatan secara langsung dari pemerintah
dan undang-undang terkait permasalahan data pribadi terutama untuk menyelesaikan sengketa pada bidang informasi dan komunikasi (Aprilia, 2017).
Data pribadi
merupakan kumpulan informasi diri seseorang yang dapat teridentifikasi ataupun diidentifikasikan secara mandiri. Eksistensi sebuah data sekarang telah bertransformasi menjadi the new oil di tengah masifnya gempuran era digital.
Telah terdapat 126 negara di dunia yang memiliki payung hukum untuk melindungi
data pribadi rakyatnya. Hal
ini menunjukkan tingginya kesadaran negara-negara
tersebut akan pentingnya perlindungan data pribadi.
Negara hukum
berlandaskan Pancasila seperti
Indonesia, pada hakekatnya tidak
terlepas dari tugasnya dalam melindungi dan mewujudkan keamanan bangsa. Salah satu caranya adalah
dengan memberikan perlindungan terhadap hak privasi masyarakat,
yang dalam hal ini tertuang ke
dalam Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP). Setelah dilakukan pengesahan rancangan pertama pada tahun 2016 silam, Indonesia pun akhirnya resmi menduduki peringkat ke-127 secara global dan ke-5 di ASEAN yang memiliki
Undang-Undang Perlindungan
Data Pribadi (UU PDP) setelah
negara Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina pada September tahun 2022 lalu.
Definisi dari
data pribadi di Indonesia yang mulanya
tersebar di dalam beberapa perundang-undangan, kini memiliki definisi
tersendiri sebagaimana yang
disebutkan dalam UU PDP sebagai berikut:
�Data Pribadi
adalah data tentang orang perseorangan yang teridentifikasi
atau dapat diidentifikasi secara tersendiri ataupun dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui sistem elektronik atau nonelektronik.�
Kodifikasi secara
komprehensif dan sistematis
seperti UU PDP memberikan angin segar di tengah masyarakat, karena undang-undang ini merupakan pemenuhan hak atas perlindungan
privasi masyarakat yang
juga diharapkan dapat memberikan pengawalan bagi Indonesia ketika memasuki era revolusi industri 5.0.
Sebab sejatinya
sifat hukum haruslah selalu mengikuti perkembangan dan kebutuhan zaman, maka dari itu pengesahan
UU PDP merupakan bukti bahwa hukum di Indonesia pun turut berusaha untuk terus beradaptasi
dengan situasi dan masalah baru yang muncul di masyarakat. Di lain sisi, undang-undang ini merupakan bentuk
dari upaya pemenuhan kewajiban pemerintah dalam memberikan respon atas kebutuhan masyarakat. Regulasi tersebut diharapkan dapat memberikan jaminan atas pengendalian
data pribadi tiap individu, dan juga dasar hukum yang jelas terkait penggunaan, penyimpanan, ataupun pengalihan data pribadi oleh pihak ketiga.
Kelahiran UU PDP merupakan
hal yang baik adanya, sebab di dalam undang-undang tersebut mengatur mengenai beberapa hal yang belum ada sebelumnya seperti, definisi data pribadi, yang dibagi menjadi dua kategori, yaitu data pribadi umum dan data pribadi khusus. Selain itu, UU PDP juga menjabarkan mengenai hak-hak yang dimiliki oleh subjek data pribadi serta kewajiban
pengendali data pribadi. Larangan terkait penggunaan data pribadi juga dijelaskan di dalam undang-undang ini, serta terdapat pula ketentuan mengenai lembaga pengawas perlindungan data pribadi guna menegakkan peraturan.
Dapat dilihat
bahwa secara substansi, UU PDP telah cukup memberikan pemenuhan atas kebutuhan masyarakat, mengingat sebelumnya perlindungan data pribadi belum memiliki keseragaman. Namun apabila hanya mendorong
aspek kepastian hukum melalui peraturan
perundang-undangan tidak akan cukup dan harus memiliki unsur pengawasan. Sehingga aspek lainnya yang perlu diperhatikan dalam memberikan jaminan kepada seluruh masyarakat atas keamanan data pribadi, terletak pada lembaga yang akan menjalankan fungsi pengawasan serta menjadi penjamin
dalam keamanan data pribadi masyarakat
Mochtar Kusumaatmadja
pernah menyebutkan bahwa hukum seharusnya
tidak dilihat hanya sebatas perangkat
kaidah dan asas yang berfungsi mengatur kehidupan bermasyarakat, namun perlu meliputi
lembaga dan proses demi merealisasikan
hukum tersebut, agar dapat disebut sebagai
sebuah hukum yang memadai (Kusumaatmadja, 1986). Sederhananya,
dapat diartikan bahwa dalam memahami
hukum tidak dapat dilihat hanya
berdasarkan komponen asas dan kaidah, tetapi juga lembaga dan proses. Keempat komponen tersebut akan bersinergi
demi mewujudkan pembinaan hukum yang diawali dengan hukum tertulis
yang menghasilkan produk hukum perundang-undangan.
Secara internasional
pun telah terdapat ketentuan yang mengatur terkait perlunya sebuah pembentukan satu atau lebih
lembaga yang bertanggung jawab dalam penegakan
dan kepatuhan regulasi, baik dengan investigasi
maupun memantau implementasi peraturan, sebagaimana diatur di dalam European Union General Data Protection Regulation (EU
GDPR) yang berbunyi sebagai
berikut:
�Each Member State shall provide
for one or more independent public authorities to be responsible for monitoring
the application of this Regulation, in order to protect the fundamental rights
and freedoms of natural persons in relation to processing and to facilitate the
free flow of personal data within the Union (�supervisory authority�).�
Pasca amandemen
konstitusi, struktur dari penyusunan sebuah lembaga lebih diarahkan agar dapat memenuhi aspirasi masyarakat dan kebutuhan perkembangan zaman. Perkembangan ini membawa perubahan terhadap model kelembagaan di
Indonesia yang melatarbelakangi lahirnya
lembaga negara yang memiliki
karakteristik yang independen.
Menurut Sri Soemantri, apabila sebuah lembaga negara dilihat dari segi tugas
serta wewenangnya maka lembaga negara dapat dibagi ke
dalam dua kelompok yaitu, lembaga negara utama dan lembaga negara yang berfungsi untuk melayani atau yang disebut juga dengan Auxiliary
State Organ (Basarah, 2014).
Selain Auxiliary State Organ, terdapat beberapa istilah lain yang digunakan untuk merujuk pada lembaga ini seperti,
lembaga non-struktural, lembaga negara independen maupun lembaga negara penunjang (Sutami
Tampu Bolon, 2019). Shiddiqoh,
(2019) menyebutkan
bahwa fungsi dari lembaga negara penunjang adalah untuk memberikan dukungan kepada lembaga negara utama dalam rangka efektivitas
pelaksanaan kekuasaan yang merupakan tanggung jawab dari lembaga
negara utama.
Adapun beberapa
contoh dari lembaga negara penunjang seperti Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK), Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lain sebagainya.
Persoalan perlindungan
data pribadi bukan hanya mengenai bagaimana cara melindungi data pribadi masyarakat dengan instrumen hukum setingkat undang-undang. Namun persoalan lain yang tidak kalah penting
terletak pada pembentukan lembaga perlindungan data pribadi. Selama ini, pengawasan terkait perlindungan data pribadi hanya bersifat
sektoral berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh peraturan yang mengatur atas data pribadi tersebut.
Adapun beberapa
pengawasan sektoral yang dimaksud seperti OJK pada bidang perbankan yang memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap data nasabah. Selain itu ada pula Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada bidang telematika, dan Badan Siber dan
Sandi (BSSN) pada bidang siber
dan sandi. Implementasi atas pengawasan data pribadi secara sektoral dapat dibilang tidak berjalan dengan begitu baik. Hal ini dapat dibuktikan
dari banyaknya data pribadi yang dicuri, seperti data nasabah di perbankan, data pelanggan di
marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak,
dan lain sebagainya.
Ketiadaan lembaga
yang dikhususkan untuk perlindungan data pribadi, tidak jarang menyebabkan
terjadinya perdebatan kewajiban masing-masing, terutama
di antara Kominfo dan BSSN dalam hal terjadinya
kebocoran data pada aplikasi
milik pemerintah (Peduli Lindungi, PLN, eHac, dsb). Tidak
hanya itu, BSSN pun dalam menjalankan tugasnya, cukup banyak bersinggungan yang beresiko besar terjadinya tumpang tindih kewenangan dengan pihak-pihak lain.
Terdapat berbagai
pekerjaan yang terkait dengan penanganan insiden keamanan informasi, seperti tugas memantau dan menangani ujaran kebencian yang juga melibatkan Kemenkominfo dan Kepolisian RI. Selain itu, pengejaran
penjahat digital (cyber criminal)
yang ditangani oleh Unit Cybercrime Mabes Polri juga akan melibatkan Kementerian Pertahanan yang memiliki Cyber
Operation Center (COC) dalam upaya
pertahanan. Kejahatan keuangan dan ekonomi digital ditangani oleh PPATK dan KPK, serta
masih mungkin terdapat tugas-tugas lain yang tumpang tindih di antara mereka.
UU PDP menyebutkan
bahwa pengawasan data pribadi akan dilakukan
oleh lembaga sebagaimana
yang diamanatkan di dalam Pasal 59 tentang kelembagaan, di samping fungsi lainnya seperti merumuskan kebijakan serta strategi perlindungan data pribadi, menegakkan hukum administratif dan memfasilitasi penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Lembaga ini memiliki peran
besar dalam menjalankan pengawasan pelindungan data pribadi. Pengawasan adalah proses atau tindakan untuk
memantau, mengontrol, dan mengawasi kegiatan, proses, atau orang dengan tujuan memastikan kepatuhan terhadap aturan, peraturan, standar, atau tujuan
yang telah ditetapkan (Sula
& Alim, 2014).
Selain fungsi
pengawasan, adapun bentuk-bentuk penyelenggaraan perlindungan lainnya adalah seperti perumusan kebijakan serta strategi, pengawasan penyelenggaraan, menegakkan hukum administratif, dan memfasilitasi penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Berdasarkan hal ini, dapat
terlihat bahwa fungsi dari lembaga
tersebut sangat krusial dalam memastikan implementasi undang-undang secara maksimal.
Jika dibandingkan,
terdapat hal yang tidak ditemui antara
UU PDP dengan undang-undang
serupa yang turut memiliki kepentingan konstitusional di dalamnya, yaitu terkait dengan
penamaan dan bentuk kelembagaannya. Seperti halnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan sebagai sebuah lembaga yang mandiri. Demikian pula dengan Undang-Undang Perlindungan Anak
yang mengemukakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merupakan
komisi yang bersifat independen demi meningkatkan efektivitas implementasi pelaksanaan perlindungan anak (Nomor, 2002).
Berbeda halnya
dengan UU PDP yang tidak menyebutkan nama dari lembaga ini
nantinya, selain itu bentuk dari
lembaga ini juga belum ditentukan dan menyerahkan pembentukan lembaga sepenuhnya pada Presiden. Sehingga dapat dikatakan bahwa walaupun undang-undang ini telah mencakup beberapa aspek penting seperti hak subjek data pribadi, ketentuan pemrosesan data, pembentukan lembaga, dan pemberian sanksi, namun terdapat
juga hal-hal yang tidak termasuk atau diperhatikan
dengan cukup baik dalam teks
undang-undang ini terutama dalam hal kelembagaan.
Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, undang-undang ini tidak menyebutkan secara eksplisit terkait bentuk dari lembaga ini
nantinya dan hanya menetapkan bahwa lembaga nantinya akan ditetapkan oleh Presiden. Tentunya ketika lembaga dibentuk langsung oleh presiden, terdapat risiko kurangnya kemandirian dan independensi lembaga tersebut. Kemandirian yang cukup adalah aspek penting
dalam memastikan lembaga dapat menjalankan
tugasnya secara objektif, adil, dan bebas dari pengaruh
politik yang mungkin merusak integritasnya.
Ketika lembaga
yang disebutkan sepenuhnya tergantung pada keputusan dan wewenang presiden, dapat timbul kekhawatiran
bahwa lembaga tersebut mungkin tidak mampu mengoperasikan
fungsi pengawasan dan pemeriksaan secara independen. Selain itu, risiko lainnya
adalah adanya potensi intervensi yang dapat mengancam integritas dan efektivitasnya.
Oleh karena itu, independensi merupakan salah satu aspek penting
bagi keberhasilan sebuah lembaga.
Bentuk independen
sebuah lembaga PDP sejatinya merupakan hal yang lazim ditemukan di berbagai perundang-undangan di berbagai
negara, adapun beberapa contohnya adalah negara Perancis dengan Commission Nationale de l�informatique et
des Libert�s (CNIL) atau
yang juga dikenal dengan sebutan Komisi Nasional untuk Informatika dan Kebebasan. Komisi ini merupakan sebuah
lembaga pengawas nasional terkait dengan perlindungan data pribadi. Komisi� lahir
dari Undang-Undang Data,
File (Dokumen), dan Kebebasan
pada tahun 1978. CNIL dibentuk
dalam rangka melindungi privasi individu, dan untuk mengawasi implementasi undang-undang. Selain itu, CNIL juga berperan sebagai lembaga penasehat untuk pemerintah dalam pengembangan kebijakan perlindungan data.
�Melalui undang-undang tersebut, CNIL dinyatakan secara tegas sebagai sebuah
lembaga pemerintah yang bersifat mandiri. Sehingga sebagai lembaga independen, CNIL tidak tunduk pada campur tangan politik
dan memiliki kebebasan dalam menjalankan tugasnya. Mereka memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan, penyelidikan, dan penegakan hukum terkait pelanggaran privasi data pribadi. Selain itu, di dalam bagian yang sama juga diatur mengenai struktur keanggotaan dari para calon pengisi kedudukan
lembaga.� Keanggotaan tersebut terdiri dari 17 (tujuh belas) komisioner
dengan masa jabatan lima tahun yang sebagian besarnya dipilih oleh badan legislatif.
Keberadaan CNIL sebagai
lembaga independen di Perancis menunjukkan komitmen negara tersebut dalam melindungi privasi dan keamanan data pribadi warganya. Dengan adanya CNIL, individu dan organisasi di Perancis dapat mengandalkan lembaga yang memiliki otonomi dan kewenangan untuk memastikan bahwa penggunaan data pribadi dilakukan secara transparan, adil, dan sesuai dengan undang-undang
yang berlaku.
Tidak hanya Perancis, namun Korea Selatan
juga memiliki hal serupa yang dinamakan Personal
Information Protection Act 2011 (PIPA). PIPA diundangkan
pada 29 Maret 2011 dan berlaku
efektif pada waktu pembentukan Komisi perlindungan informasi pribadi atau yang dikenal dengan sebutan Personal Information Protection Commission (PIPC).
PIPC adalah
lembaga perlindungan data pribadi nasional di Korea
Selatan. Lembaga ini merupakan
sebuah badan independen di bawah Presiden yang dibentuk pada tahun 2011 berdasarkan Personal Information Protection Act 2011
(PIPA).� Namun
pada tahun 2020, terdapat amandemen untuk memberikan kekuasaan penuh kepada PIPC sebagai lembaga pengatur independen, dengan wewenang untuk menyelidiki kasus kegagalan privasi data pribadi dan yurisdiksi dalam memutuskan keluhan dan sengketa terkait informasi pribadi.
Selain diatur
mengenai bentuknya yang independen, undang-undang ini juga mengatur mengenai keanggotaan lembaga yang mana tidak lebih dari 15 (lima belas) Komisioner, termasuk satu Ketua
dan satu Komisioner Tetap, dengan masa jabatan Ketua dan Komisioner adalah tiga tahun, dan mungkin dapat diperpanjang
sekali masa jabatan.
Tidak hanya itu, negara Filipina juga memiliki
komisi yang telah secara tegas dinyatakan
independen di dalam pengaturannya yaitu Data Privacy
Act of 2012 (Republic Act 10173). Lembaga dikenal dengan istilah komisi privasi nasional atau national privacy
commission, yang fungsinya secara
garis besar adalah mengawasi dan memastikan bahwa negara mematuhi standar internasional yang ditetapkan dalam perlindungan data.
Beberapa fungsinya
secara rinci meliputi, memastikan ketaatan dengan ketentuan undang-undang terhadap pengontrol informasi pribadi, menerima keluhan, menyelidiki, memfasilitasi atau memungkinkan penyelesaian keluhan melalui penggunaan metode penyelesaian sengketa alternatif, melakukan koordinasi dengan lembaga pemerintah dan swasta untuk membuat rumusan
rencana serta kebijakan penguatan perlindungan informasi pribadi, dan lain sebagainya.
Perancis, Korea Selatan, dan Filipina merupakan contoh nyata dari negara yang benar-benar menunjukkan kesiapan dalam pengesahan undang-undangnya. Dapat dikatakan demikian, sebab telah terlihat dari ketentuan yang lebih rinci terkait
kelembagaannya. Negara-negara tersebut
memiliki undang-undang perlindungan data pribadi yang komprehensif dengan memberikan kerangka kerja yang jelas dan terperinci tentang struktur dan fungsi lembaga yang bertanggung jawab atas perlindungan
data pribadi. Hal ini menunjukkan komitmen mereka untuk menciptakan
lembaga yang independen, kuat, dan efektif dalam melindungi privasi data pribadi warganya. Dengan memiliki kerangka hukum yang rinci, negara-negara ini dapat memberikan
kepastian hukum, transparansi, dan akuntabilitas dalam perlindungan data pribadi.
Ketentuan yang rinci
mengenai struktur kelembagaan seperti yang dimiliki negara-negara tersebut merupakan sesuatu yang tidak dimiliki oleh UU PDP. Walaupun di satu sisi ketentuan tersebut tidak terlihat sebagai sesuatu yang sangat mendesak, namun hal ini
dapat berpengaruh besar dalam proses pembentukan lembaga nantinya. Umumnya peraturan di Indonesia juga memiliki
persiapan yang cukup matang terkait kelembagaannya, apabila dilihat dari riwayat
perundang-undangan yang mengamanatkan
sebuah lembaga negara penunjang di dalamnya. Seperti dalam Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan
Korban, bisa ditemukan bahwa undang-undang tersebut mengatur dengan lebih rinci
terkait struktur keanggotaan lembaga, teknis pengangkatan, pemberhentian, dan aspek lainnya.
Selain itu, undang-undang tersebut juga mengatur prosedur dan persyaratan teknis terkait dengan pengangkatan dan pemberhentian anggota lembaga. Adapun hal-hal yang diatur di dalam prosedur dan teknis tersebut meliputi, syarat-syarat seseorang untuk dapat diangkat sebagai anggota, proses pengangkatan anggota lembaga, yang dalam hal ini akan
dilakukan melalui penetapan oleh Presiden, dengan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Sedangkan pemberhentian
anggota lembaga juga turut diatur dengan
memberikan sejumlah alasan, seperti meninggal dunia, berakhirnya masa
tugas, pelanggaran tindak pidana, atau mencemarkan ataupun mengurangi kemandirian lembaga. Dengan ketentuan sedemikian rupa, maka kerangka kerja
dapat terlihat lebih jelas dan terperinci dalam mengatur lembaga tersebut agar berfungsi secara efektif dan efisien. Tindakan ini menunjukkan adanya upaya ekstra yang dilakukan oleh pembuat undang-undang dalam merancang kerangka kerja secara terperinci.
Ketika sebuah
undang-undang dirancang dengan memperhatikan
detail-detail seperti struktur
lembaga dan proses pengangkatan
serta pemberhentian anggota, itu menunjukkan
bahwa pembuat undang-undang telah melakukan analisis yang cermat dan pemikiran yang mendalam terhadap aspek-aspek tersebut. Hal ini menunjukkan kesiapan dan kehati-hatian dalam merancang kerangka hukum yang diperlukan untuk lembaga tersebut.
Pemikiran yang mendalam
dan rinci juga dapat mencerminkan upaya untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pelaksanaan tugas lembaga tersebut. Dengan adanya ketentuan
yang jelas dan terperinci,
proses pengangkatan dan pemberhentian
anggota lembaga dapat dilakukan dengan adil, obyektif,
dan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Selain itu, ketentuan-ketentuan
tersebut juga dapat memberikan kepastian hukum bagi semua
pihak yang terlibat, termasuk lembaga itu sendiri, anggota
lembaga, dan masyarakat umum.
Selain bentuk
dari lembaga, terdapat satu hal
lain yang tidak terlihat di
dalam UU PDP, yaitu mengenai ketentuan maksimal pembentukan lembaga. Apabila dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan lain
yang memiliki pembentukan lembaga di dalamnya, waktu maksimal terbentuknya lembaga merupakan hal yang lazim ditemukan. Adapun beberapa contoh peraturan perundang-undangan yang
dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Setiap peraturan-peraturan tersebut menentukan paling lambat 1 (satu) tahun setelah undang-undang
diberlakukan, lembaga sudah harus terbentuk.
Tentu saja tidak dapat dipungkiri,
bahwa dicantumkannya ketentuan tersebut tidak serta-merta memberikan jaminan akan terlaksana tepat waktu. Apalagi
batas waktu maksimal dicantumkan tanpa sanksi yang mengikutinya dalam hal terjadi
pelanggaran. Namun, setidaknya dengan adanya ketentuan tersebut, masyarakat bisa mendapatkan gambaran terkait kapan implementasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan secara utuh dan menyeluruh. Tidak hanya itu, dengan
dicantumkan ketentuan tersebut pun dapat memberikan ruang bagi masyarakat untuk menagih komitmen
dari pemerintah dalam memastikan keberlangsungan perancangan lembaga.
Hal ini
pun terbukti dengan keterlambatan dalam pembentukan LPSK, yang dinyatakan
dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban bahwa lembaga harus
ada paling lambat 1 (satu) tahun setelah
peraturan tersebut diundangkan.� UU tersebut diundangkan pada 11 Agustus 2006, yang artinya tenggat waktu pembentukan
lembaga adalah pada 11 Agustus 2007. Fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda, pembentukan LPSK belum hadir sesuai
dengan batas waktu maksimal yang dicantumkan.
Keterlambatan ini lalu menimbulkan munculnya protes dari beberapa organisasi
masyarakat, yang tergabung ke dalam Koalisi
Perlindungan Saksi (KSI). Koalisi ini terdiri
dari 10 organisasi, yaitu Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia (LPHAM), Indonesia
Legal Resource Center (ILRC), Lembaga Kajian dan Advokasi
untuk Independensi Peradilan (LeIP), Masyarakat Profesi Penilai Indonesia
(MAPPI), LBH Jakarta, Indonesia Corruption Watch (ICW), Komisi
untuk Orang Hilang dan
Korban Kekerasan (KontraS),
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
(PSHK).
Melalui koalisi
ini, mereka mengajukan penuntutan hak yang seharusnya telah diperoleh semenjak 11 Agustus 2007. Surat terbuka yang dibuat pada 14 Februari 2008 tersebut ditujukkan pada presiden saat itu, yakni
Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Berdasarkan surat tersebut, alasan keterlambatan pembentukan LPSK dikarenakan adanya penundaan penyeleksian anggota lembaganya. Walaupun sebelumnya telah dibentuk panitia seleksi dan telah dikeluarkan aturan mengenai teknis penyeleksian anggota yang termuat di dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2007 tentang Susunan Panitia Seleksi, Tata Cara Pelaksanaan Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, namun terdapat hambatan dalam penyeleksian anggotanya. Hingga akhirnya, setelah dua tahun peraturan ini diundangkan,
dan hampir setahun melewati batas waktu pembentukan lembaga, barulah terbentuk LPSK pada 8 Agustus 2008.
Tindakan yang dilakukan
oleh organisasi masyarakat
yang tergabung ke dalam koalisi tersebut
merupakan bukti nyata dari implikasi
ketentuan batas maksimal pembentukan undang-undang. Selain itu, yang menjadi perhatian lainnya adalah ketentuan mengenai teknis keanggotaan lembaga memang dapat mempercepat proses penyelesaian lembaga walaupun tidak memberikan absolut akan ketepatan pembentukannya.
Sama halnya
seperti yang dihadapi dalam pembentukan LPSK, Komisi Pengawas Persaingan� Usaha (KPPU) yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga mengalami keterlambatan selama 3 (tiga) bulan. Keterlambatan
pembentukan lembaga yang relatif lebih singkat
apabila dibandingkan dengan LPSK, dilatarbelakangi
oleh dasar hukum pemberlakuannya ditetapkan satu tahun semenjak
regulasi tersebut diundangkan.� Pemberlakuan regulasi ini tidak langsung
mengikat, sebab perancang undang-undang menilai bahwa dalam
pelaksanaannya secara utuh, dibutuhkan beberapa hal yang harus dipersiapkan terlebih dahulu, seperti lembaga negara penunjang yang dalam hal ini adalah
KPPU. Ketentuan batas maksimal
merupakan hal yang cukup penting untuk
dicantumkan, bukan hanya terbatas pada waktu pembentukan lembaga, namun dapat juga digunakan untuk menentukan tenggat waktu pembentukan
aturan turunan.
Dapat dilihat
bahkan untuk undang-undang yang telah mengatur mengenai pembentukan lembaga secara rinci dan menentukan batas maksimal pembentukan lembaga seperti undang-undang perlindungan saksi dan korban serta undang-undang larangan praktek monopoli pun, masih mengalami hambatan pada proses pembentukannya. Tidak hanya terbatas pada waktu maksimal pembentukan namun, waktu daya ikat juga merupakan faktor penting di dalam pemberlakuan perundang-undangan. Pengesahan sebuah undang-undang hanya dapat berlaku mengikat
umum apabila telah diundangkan ke dalam lembaran
negara.
UU PDP sendiri
langsung memiliki daya ikat sesaat setelah diundangkan, hal ini disebabkan
karena pada ketentuan penutupnya dinyatakan bahwa pemberlakuan undang-undang adalah pada tanggal diundangkan, yakni pada 17 Oktober 2022. Tetapi kehadiran lembaga pelindungan data pribadi yang memangku peranan penting dalam UU PDP masih belum terlihat. Sehingga sebagian besar dari ketentuan
di dalam undang-undang masih belum dapat
ditegakkan. Secara norma hukum, apabila
setelah tanggal diundangkan tersebut terjadi sebuah pelanggaran data pribadi individu, maka UU PDP merupakan regulasi yang dapat digunakan. Namun dengan telah
berlakunya peraturan yang belum memiliki lembaga yang bersifat sebagai eksekutor peraturan, dapat memunculkan masalah baru terkait dengan
kepastian hukum.
Maka dari itu, penulis berpendapat
bahwa absennya ketentuan-ketentuan terkait struktur dan mekanisme kelembagaan, batas maksimal pembentukan lembaga serta� waktu pemberlakuan peraturan dalam UU PDP, dapat meningkatkan potensi penguluran dalam pemberlakukan peraturan secara menyeluruh. Hal ini disebabkan karena perancang undang-undang memilih untuk tidak menyertakan
ketentuan tersebut di dalam UU PDP. Mengingat lembaga negara penunjang belum diatur di dalam hukum positif
Indonesia, sehingga tidak terdapat ketentuan dalam pencantumannya di dalam undang-undang dan sepenuhnya bergantung pada pilihan politik perancang undang-undang.
Pelaksanaan pembentukan
lembaga dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien, apabila memiliki kerangka hukum yang rinci serta dapat pula mencegah potensi kesalahan atau penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan yang lebih rinci menunjukkan kesiapan undang-undang dalam pengesahannya dan komitmen untuk mengatur lembaga tersebut secara tuntas dan terperinci.
Hans Kelsen
berpendapat bahwa sejatinya hukum merupakan sebuah sistem norma, yang mana norma tersebut lebih ditekankan pada aspek das sollen atau aspek keharusannya.
Melalui pendapat tersebut, apabila berkaca pada UU PDP sekarang, terdapat banyak ketentuan yang seharusnya dicantumkan untuk mencapai esensi dari tujuan hukum
terutama pada aspek kepastian hukum.
Kesimpulan
Apabila dibandingkan dengan regulasi perlindungan data pribadi mancanegara seperti Perancis, Filipina dan
Korea Selatan yang dinyatakan sebagai
lembaga yang bersifat independen pun, di dalam undang-undangnya turut mencantumkan ketentuan lebih lanjut mengenai
lembaga, khususnya terkait keanggotaan lembaga. Sama halnya dengan peraturan perundang-undangan Indonesia lainnya
yang juga turut melahirkan lembaga negara penunjang juga ditemukan ketentuan-ketentuan serupa. Dengan adanya ketentuan tersebut, dapat terlihat kesiapan dalam perancangan undang-undang sampai akhirnya diberlakukan dan memiliki daya ikat bagi masyarakat. Sedangkan bagi UU PDP yang tidak mencantumkan hal-hal tersebut, mengaburkan nilai dari tujuan hukum
itu sendiri, terutama dalam aspek kepastian hukum. Kehadiran UU PDP merupakan hal yang telah dinantikan lama oleh masyarakat, namun agar undang-undang dapat berjalan secara efektif, peraturan saja tidak cukup.
Sehingga lembaga memegang peranan penting dalam menyelenggarakan
perlindungan data pribadi.
Minimnya ketentuan kelembagaan dalam UU PDP sebenarnya merupakan implikasi dari belum diaturnya
standarisasi lembaga negara
penunjang dalam hukum positif Indonesia, sehingga untuk pencantumannya seluruhnya diserahkan kepada kebijakan pembuat undang-undang. Maka dari itu diperlukan
pertimbangan dan persiapan
yang cermat dan matang sebelum memberlakukan undang-undang ini agar menghindari goyahnya kepastian hukum dalam implementasinya. Berdasarkan hal ini, UU PDP menyiratkan ketidakmatangan dalam pemberlakuannya, dan terkesan hanya memberikan respon yang �seadanya� bagi masyarakat dengan tidak memastikan
kualitas rancangan tersebut
BIBLIOGRAFI
Abdul, W., & Irfan, M. (2001). Perlindungan
Terhadap Korban Kekerasan Seksual. Bandung: PT Refika Aditama.
Aprilia,
M. L. (2017). Perlindungan Hukum terhadap Data Pribadi Konsumen Pengguna
Gojek. Untag Surabaya.
Basarah,
A. (2014). Kajian Teoritis Terhadap Auxiliary StateS Organ Dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia. Masalah-Masalah Hukum, 43(1), 1�8.
Doly,
D. (2021). Pembentukan Lembaga Pengawas Pelindungan Data Pribadi dalam
Perspektif Pembentukan Lembaga Negara Baru (Establishment of a Personal Data
Protection Supervisory Agency in the Perspective of the Establishment of a New
State Institution). Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan
Kesejahteraan, 12(2), 223�244.
Hamidi,
J., Arrsa, R. C., Fadhilah, N. L., Mauntie, Y., Annafi, B. U., & Iswara, D.
B. (2012). Teori dan Hukum Perancangan Perda. Universitas Brawijaya
Press.
Humaerah,
P. (2020). Studi Gambaran Intensitas Pemakaian Gawai dan Pengaruhnya
Terhadap Kesehatan serta Prestasi Belajar Siswa di SMA Handayani Sungguminasa.
Universitas Hasanuddin.
Kusumaatmadja,
M. (1986). Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional. Bandung:
Lembaga Penelitian Hukum Dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
Cetakan Kedua.
Lubis, P. R. F. (2022). PERLINDUNGAN HAK ASASI
MANUSIA ATAS DATA PRIBADI DI ERA DIGITAL DALAM PRINSIP NEGARA HUKUM BERDASARKAN
PANCASILA.
Murray,
A. (2013). Information technology law: the law and society. Oxford
University Press.
Nomor,
U.-U. R. I. (2002). Tahun 2002 tentang perlindungan Anak, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109. Jakarta.
Saufiah,
S. (2022). Pandangan Majelis Permusyawaratan Ulama Terhadap Hak Asasi
Manusia Dalam Penetapan Sanksi Qanun No. 6 Tahun 2014 Tentang Jinayat (Analisa
Penarapan Nilai-Nilai Maqasid Al-Syari�ah). Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara Medan.
Shiddiqoh,
A., Wisnaeni, F., & Wardhani, L. T. A. L. (2019). KEDUDUKAN KOMISI NASIONAL
HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGANS). Diponegoro
Law Journal, 8(1), 59�79.
Soekanto, S. (1989). Pokok-pokok sosiologi
hukum. Rajawali Pers.
Sula,
A. E., & Alim, M. N. (2014). Pengawasan, strategi anti fraud, dan audit
kepatuhan syariah sebagai upaya fraud preventive pada lembaga keuangan syariah.
Journal of Auditing, Finance, and Forensic Accounting, 2(2), 91�100.
Sutami
Tampu Bolon, R. (2019). Analisis Pembubaran Lembaga Negara Nonstruktural
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 116 Tahun 2016.
IAIN BENGKULU.
Widiyanti,
N., & Waskita, Y. (1987). Kejahatan dalam masyarakat dan pencegahannya.
Bina Aksara.
Copyright holder: Erlyns Yolanda, Rugun Romaida Hutabarat (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |