Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
AKTIVISME DIGITAL DALAM
SURAT TERBUKA MARCUS RASHFORD
Aditama
Rizky Noviandry
Universitas
Indonesia, Indonesia
E-mail:
[email protected]
�
Penelitian ini
akan mengkaji mengenai aktivisme digital yang dilakukan oleh Marcus Rashford
lewat surat terbukanya yang ditunjukkan kepada parlemen Inggris. Surat terbuka
ini merupakan permohonan terbuka yang dilakukan oleh Marcus Rashford kepada
pemerintah Inggris untuk memperpanjang skema pemberian voucher makanan untuk
anak-anak yang masih bersekolah selama pandemi COVID-19. Penelitian ini akan
menggunakan pendekatan kualitatif dan metode studi literatur. Tulisan ini
bertujuan untuk menjelaskan mengenai aktivisme digital yang dilakukan oleh
Rashford dalam surat terbukanya. Dalam analisisnya, penulis akan menggunakan
konsep aktivisme digital dalam membahas surat terbuka tersebut. Dari analisis
dapat ditemukan bahwa surat terbuka Marcus Rashford merupakan aktivisme digital
yang dilakukan untuk merubah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Inggris
untuk memberhentikan pemeberian voucher makanan gratis. Pada kesimpulannya,
tulisan ini menyimpulkan bahwa surat terbuka tersebut telah mampu untuk merubah
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Inggris sehingga membuat mereka tetap
menyediakan voucher makanan gratis tersebut bagi mereka yang membutuhkan.
Kata Kunci: Marcus Rashford, Surat
Terbuka, Aktivisme Digital, Media Sosial, Kebijakan Pemerintah Inggris
This research will examine the digital activism
carried out by Marcus Rashford through his open letter which was shown to the
British parliament. This open letter is an open request made by Marcus Rashford
to the British government to extend the food voucher scheme for children who
are still in school during the COVID-19 pandemic. This research will use a qualitative
approach and literature study methods. This article aims to explain the digital
activism carried out by Rashford in his open letter. In his analysis, the
author will use the concept of digital activism in discussing the open letter.
From the analysis it can be found that Marcus Rashford's open letter is a
digital activism carried out to change the policy issued by the British
government to stop giving out free food vouchers. In conclusion, this paper
concludes that the open letter has been able to change the policies issued by
the British government so that they continue to provide these free food
vouchers for those in need.
Keywords: Marcus Rashford, Open Letters, Digital Activism,
Social Media, UK Government Policy
�
Perkembangan
teknologi digital dari masa transisi media lama ke media baru seperti saat ini
memberikan ruang interaksi digital yang memungkinkan individu untuk membangun
relasi dan berpartisipasi ke dalam sebuah komunitas maupun kelompok organisasi
berbasis virtual atasdasar kesamaan minat, ketertarikan, maupun tujuan yang
ingin dicapai termasuk gerakan sosial (Putri, 2022). Di era digital yang terus
berkembang, aktivisme telah mengalami transformasi revolusioner. Aktivisme
digital telah membuka pintu bagi partisipasi global, menghapus batasan
geografis, dan memungkinkan suara-suara kecil terdengar di seluruh dunia.
Melalui hashtag yang viral dan petisi daring, aktivis dapat dengan cepat
mengumpulkan dukungan dan meningkatkan kesadaran terhadap isu-isu penting.
Mereka memanfaatkan kekuatan retweet dan share untuk mengampanyekan perubahan
positif.
Dalam arti luas,
aktivisme digital mengacu pada aktivisme politik di internet atau gerakan
politik yang mengandalkannya (McCaughey & Ayers, 2003; Vegh, 2003).
Contohnya termasuk tindakan bermotivasi politik yang terdiri dari praktik
aktivisme tradisional versi digital atau online, misalnya petisi dan protes,
dan penggunaan teknologi digital yang mendukung internet untuk mendukung atau
mempersiapkan aktivisme offline, mis. organisasi acara offline melalui
media sosial (Mercea, 2011). Fenomena tersebut telah mendapat perhatian luas
dari kalangan ilmiah, jurnalistik, dan publik, khususnya untuk memungkinkan
komunikasi massa dua arah atau �many-to-many� (Castells, 2007).
Perubahan itu, dalam dua dekade terakhir, terbukti memungkinkan interaksi dan
jaringan tingkat tinggi, misalnya melalui tweeting, posting, chatting,
dan berbagi - terutama konten yang dibuat pengguna dan melalui bingkai tindakan
yang dipersonalisasi melintasi batas nasional dan regional. Atribut-atribut ini
telah dikatakan mengubah dinamika gerakan melalui kerangka tindakan penghubung
baru yang mencakup jaringan yang mengatur diri sendiri dan yang diaktifkan
secara organisasi (Bennett & Segerberg, 2012)
Aktivisme digital
juga memberikan akses yang mudah dan cepat ke informasi. Aktivis dapat
menggunakan media sosial dan blog untuk menyebarkan laporan investigasi,
statistik, dan cerita pribadi yang dapat mempengaruhi opini publik. Mereka
menggunakan platform-platform ini untuk membangun gerakan yang solid dan
mengekspos pelanggaran hak asasi manusia, ketidakadilan sosial, atau perusakan
lingkungan.
Sementara
bentuk-bentuk aktivisme baru ini dipuji karena jangkauannya yang luas,
jaringan, kesegeraan, keterusterangan/disintermediasi, potensi interaktif, dan
potensi pemberdayaan (McCaughey & Ayers, 2003; Polletta, 2013; Negroponte,
1995), mereka juga telah dikritik karena apa yang dianggap tidak efektif,
penciptaan atau penguatan sikap apatis politik, dan potensi konsekuensi berbahaya
seperti peretasan dan pengawasan (Murdoch, 2010; Gladwell, 2010; Morozov, 2009;
Karpf, 2010a). Akibatnya, istilah clicktivism dan slacktivism
telah digunakan secara merendahkan untuk menggambarkan bentuk apatis dari
aktivisme yang diaktifkan secara digital yang berakar pada komitmen rendah
(Karpf, 2010a), atau, dalam kata-kata Shulman (2009, hlm. 26),
"berkualitas rendah , komentar yang berlebihan, dan umumnya tidak penting
oleh publik". Dengan demikian, aktivisme digital tetap menjadi subjek
perdebatan dan agak kabur sehubungan dengan ruang lingkup dan dampak sosialnya,
isu-isu yang menginformasikan konseptualisasinya.
Aktivisme digital
juga menghadapi tantangan. Meskipun dapat memperluas jangkauan pesan, ia juga
dapat menyebabkan munculnya informasi palsu dan kabar bohong. Manipulasi media
sosial dan serangan siber sering kali digunakan untuk membatasi aktivitas para
aktivis. Selain itu, aktivisme digital sering kali menghadapi kritik bahwa itu
hanya berdampak sementara dan kurang memiliki dampak yang nyata dalam mencapai
perubahan struktural.
Namun demikian,
aktivisme digital telah membuka pintu bagi kolaborasi yang lebih luas,
pemberdayaan individu, dan pendorong perubahan sosial yang signifikan. Dengan
terus berkembangnya teknologi, aktivisme digital akan terus menjadi kekuatan
penting dalam membentuk dunia yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Marcus Rashford
dalam surat terbukanya, mengkritik kebijakan pemerintah yang menghapus program
bantuan makanan sekolah selama musim panas. Seperti yang diketahui, Pemerintah
Inggris mendanai makanan sekolah gratis untuk anak-anak di Inggris yang
bersekolah di sekolah negeri, sekolah gratis, atau akademi. Termasuk pembiayaan
makan atau bingkisan makanan untuk anak-anak yang diharuskan isolasi mandiri atau
tinggal di rumah akibat COVID-19 (NRFP). Program tersebut disebut dengan Free
School Meals. Di Inggris, FSM telah digunakan sebagai indikator kemiskinan
setidaknya sejak tahun 1998/1999, ketika semua sekolah yang didanai negara
Inggris diminta untuk pertama kalinya memberikan angka, pada hari tertentu,
kepada Department of the Secretary of State for Education (sekarang
disebut Department for Education in England atau DfE) untuk jumlah murid
yang mengambil makanan gratis (Gorard, 2012). Program tersebut telah membantu
jutaan anak-anak miskin di Inggris untuk mendapatkan makanan gratis saat tidak
bersekolah. Keputusan pemerintah ini dianggap sangat merugikan bagi
keluarga-keluarga yang mengandalkan program tersebut untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi anak-anak mereka.
Dalam surat
terbukanya, Rashford membagikan kisah pribadinya tentang pengalaman hidup dalam
kemiskinan dan kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh keluarganya saat ia masih
kecil. Ia menekankan betapa pentingnya program bantuan makanan sekolah ini bagi
banyak anak-anak yang kurang mampu di Inggris, terutama selama masa pandemi
COVID-19 yang telah memperburuk kondisi ekonomi. Surat terbuka Rashford menjadi
viral di media sosial dan memicu gelombang dukungan dan kritik dari masyarakat,
termasuk dari politisi dan pejabat pemerintah.
Surat terbuka
Rashford memunculkan banyak pertanyaan dan perdebatan di kalangan sosiolog dan
aktivis sosial. Bagaimana seorang atlet muda bisa menjadi sosok yang memimpin
gerakan sosial dan mempengaruhi kebijakan pemerintah? Bagaimana kekuatan media
sosial dapat digunakan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat dan membentuk
opini publik? Apa dampak dari gerakan sosial seperti ini terhadap dinamika
kekuasaan dan politik di masyarakat?
Dalam tulisan
ini, penulis akan menganalisis surat terbuka Marcus Rashford dari perspektif
sosiologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana Rashford
menggunakan posisinya sebagai pemain sepak bola dan pengaruh media sosialnya
untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat dan mengkritik kebijakan pemerintah
yang dianggap merugikan. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penulis akan
menganalisis isi surat terbuka Rashford, memeriksa naratif dan argumen yang
digunakan, serta mencari tahu bagaimana respon masyarakat terhadap kampanye sosialnya.
Dalam tulisan
ini, penulis akan membahas teori-teori sosiologi tentang gerakan sosial dan
aktivisme. Teori-teori ini akan membantu memahami bagaimana gerakan sosial
dapat mempengaruhi dinamika kekuasaan dan politik dalam masyarakat. Penulis
juga akan membahas bagaimana media sosial dapat digunakan sebagai alat untuk
memperjuangkan hak-hak masyarakat dan mengkritik kebijakan pemerintah.
Selanjutnya,
penulis akan menganalisis surat terbuka Marcus Rashford secara detail. Analisis
ini akan meliputi tinjauan naratif dan argumentasi yang digunakan oleh Rashford
dalam suratnya. Penulis juga akan membahas bagaimana Rashford menggunakan
posisinya sebagai pemain sepak bola dan media sosialnya untuk memperjuangkan
hak-hak masyarakat dan mendesak pemerintah untuk mengubah kebijakan yang
dianggap merugikan. Dalam analisis ini, penulis akan menyoroti bagaimana
Rashford menggambarkan pengalaman hidupnya dalam kemiskinan dan
menghubungkannya dengan situasi yang dihadapi oleh banyak keluarga miskin di
Inggris. Selain itu, penulis akan memeriksa cara Rashford membangun naratif
emosional dan memanfaatkan dukungan sosial yang kuat untuk memperjuangkan
kampanye sosialnya.
Kemudian, penulis
akan menganalisis respon masyarakat terhadap kampanye sosial Rashford. Analisis
ini akan meliputi tanggapan media, dukungan dari organisasi masyarakat sipil
dan individu, serta respons dari politisi dan pejabat pemerintah. Penulis akan
menyoroti bagaimana kampanye sosial Rashford memperoleh dukungan luas dari
masyarakat dan memicu perubahan kebijakan pemerintah. Namun, penulis juga akan
membahas tantangan dan kritik yang dihadapi oleh kampanye sosial ini, termasuk
kritik dari pihak yang tidak setuju dengan pendekatan Rashford dalam
memperjuangkan hak-hak masyarakat.
Dalam kesimpulan,
penulis akan menyoroti temuan utama dari analisis sosiologis tentang surat
terbuka Marcus Rashford. Penulis akan membahas bagaimana aktivisme digital yang
dilakukan Marcus Rashford lewat kampanye sosial ini mencerminkan peran penting
atlet dan aktivis sosial dalam membentuk opini publik dan mempengaruhi
kebijakan pemerintah. Penulis juga akan menyoroti bagaimana media sosial dapat
digunakan sebagai alat yang efektif dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat dan
memobilisasi dukungan sosial. Akhirnya, penulis akan membahas tantangan dan
peluang yang dihadapi oleh gerakan sosial dan aktivisme di masa depan, termasuk
dalam konteks pandemi global saat ini.
Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi pemahaman tentang dinamika
gerakan sosial dan aktivisme dalam masyarakat kontemporer. Selain itu,
penelitian ini juga dapat memberikan wawasan bagi atlet dan aktivis sosial yang
ingin memperjuangkan hak-hak masyarakat dan memobilisasi dukungan sosial
melalui media sosial. Dalam era digital dan pandemi global saat ini, gerakan
sosial dan aktivisme menjadi semakin penting sebagai cara untuk memperjuangkan
keadilan dan mengubah kebijakan yang dianggap merugikan bagi masyarakat.
�
Penelitian
ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan data
sekunder yaitu studi literatur. Menurut Nurdin dan Hartati
(2019), peneliti-an kualitatif adalah penelitian yang bersumber dari
data,memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas danberakhir dengan
sebuah teori. Studi literatur adalah cara yang dipakai untuk menghimpun
data-data atau�� sumber-sumber yang
berhubungan dengan topik yang diangkat dalam suatu penelitian (Habsy, 2017).
Literatur yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan jurnal dan artikel
ilmiah yang memiliki topik yang relevan dengan penelitian ini yaitu �aktivisme
digital dalam media sosial� dan �perjuangan sosial lewat media sosial�. Dalam
penelitian ini, peneliti akan menggunakan literatur jurnal dan artikel ilmiah
yang tersedia dalam berbagai platform seperti
Google Scholar, Taylor Francis dan Sage Publications. Data-data yang sudah
diperoleh kemudian dianalisis dengan metode analisis deskriptif. Metode
analisis deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang
kemudian disusul dengan analisis, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga
memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya (Habsy, 2017).
Dalam
penelitian kali ini, peneliti akan berfokus kepada praktik aktivisme digital
yang dilakukan oleh Marcus Rashford dalam surat terbuka yang dirinya tulis
tersebut. Dalam penulisannya, penulis akan mencoba mengkaji mengenai surat
terbuka yang ditulis oleh Marcus Rashford dan aktivisme digital dari surat
terbuka yang ditulisnya tersebut sehingga dapat mempengaruhi banyak orang dan mambawa
perubahan yang positif.
.
�
Marcus Rashford memiliki hubungan erat dengan isu kemiskinan anak.
Sebagai seseorang yang tumbuh dalam lingkungan ekonomi rendah dan mengalami
dampak langsung dari ketidakamanan pangan, Rashford telah menjadi pendukung dan
advokat vokal dalam memerangi kemiskinan anak di Inggris. Rashford dibesarkan
di Wythenshawe, Manchester, bersekolah di sekolah dasar di mana jumlah siswa
yang menerima makanan sekolah gratis dua kali lipat dari rata-rata nasional (Forsey,
2020). Marcus Rashford adalah anak bungsu dari lima bersaudara, yang diasuh
oleh ibu tunggal mereka Melani Maynard. Pemain internasional Inggris itu
sebelumnya merinci bahwa ibunya harus melakukan banyak pekerjaan untuk memberi
makan keluarga mereka, kadang-kadang melewatkan makan sendiri untuk memastikan
Rashford dan saudara-saudaranya makan (Menon, 2021).
Pada 2017, 30% anak Inggris hidup dalam kemiskinan (Abbasi, 2020).
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutuk ini sebagai bencana sosial dan bencana ekonomi.
Di masa-masa sulit, seperti penghematan atau krisis pandemi, anak-anak yang
kurang beruntung paling terpengaruh. Ini bukan kasus tanggung jawab individu.
Anak-anak tidak memilih kemiskinan tempat mereka dilahirkan dan tinggal
bersama, atau keadaan orang tua yang menyebabkan mereka tidak divaksinasi,
tidak diberi makan, atau dibesarkan dengan makanan cepat saji (Megget, 2020;
Tan, He & MacGregor, 2020).
Sebagai seorang anak, Rashford dan saudara-saudaranya menghadapi kendala
keuangan yang seringkali membuat sulit untuk memenuhi kebutuhan. Uang ketat,
dan kebutuhan dasar tidak selalu dijamin. Keluarga mengandalkan bantuan
pemerintah dan dukungan masyarakat untuk bertahan hidup. Terlepas dari keadaan
tersebut, keluarga Rashford menanamkan dalam dirinya nilai-nilai kerja keras,
ketekunan, dan tekad.
Di tengah tantangan hidup yang dialami oleh dirinya, sepak bola menjadi
tempat perlindungan Rashford. Dia menemukan hasratnya untuk permainan di usia
muda dan mencurahkan hati dan jiwanya ke dalamnya. Bakat dan dedikasi Rashford
di lapangan sepak bola terlihat jelas, bahkan saat menghadapi kesulitan. Namun,
kesulitan yang dia alami saat tumbuh dewasa berdampak besar pada perspektif
Rashford. Dia memahami perjuangan yang dihadapi banyak anak dari keluarga berpenghasilan
rendah, terutama dalam hal akses ke makanan bergizi. Rashford tahu secara
langsung pentingnya makanan sekolah gratis, karena makanan itu sering menjadi
penyelamat baginya dan saudara-saudaranya.
Hubungan pribadi dengan kemiskinan dan kelaparan ini memicu tekad
Rashford untuk membuat perbedaan. Dia menggunakan platform dan kesuksesannya
sebagai pesepakbola profesional untuk meningkatkan kesadaran tentang kemiskinan
pangan anak di Inggris Raya. Tujuan Rashford adalah untuk memastikan bahwa
tidak ada anak yang kelaparan dan mereka memiliki akses ke nutrisi yang memadai
terlepas dari latar belakang ekonomi mereka. Melalui kerja advokasinya,
Rashford telah menjadi tokoh terkemuka dalam memerangi kemiskinan anak.
Komitmennya untuk membuat dampak positif dan kemampuannya menggunakan suaranya
untuk membawa perubahan telah menginspirasi banyak orang dan memicu
perbincangan nasional tentang masalah ini.
Dalam sebuah langkah yang
penuh dengan empati dan keprihatinan yang mendalam, Marcus Rashford,
mengeluarkan sebuah surat terbuka yang menggetarkan hati pada saat-saat yang
sulit. Surat ini menjadi wujud dari tekadnya untuk memperjuangkan keadilan dan
mengatasi kemiskinan anak-anak di Inggris.
Surat terbuka ini
disampaikan oleh Rashford pada bulan Juni 2020, ketika pandemi COVID-19 melanda
dunia dan menghadirkan tantangan besar bagi masyarakat, terutama mereka yang
hidup dalam kemiskinan. Dalam surat yang ditujukan kepada pemerintah Inggris,
Rashford dengan tulus memohon agar pemberian voucher makanan sekolah gratis
diperpanjang selama liburan musim panas.
Latar belakang pribadi
Rashford memberikan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya makanan bagi
anak-anak dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi. Dalam masa kecilnya,
Rashford dan saudara-saudaranya sering kali menghadapi kesulitan keuangan yang
membuat mereka berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Marcus Rashford tumbuh
dengan mengandalkan makanan sekolah gratis (Abbasi, 2020) dan Rashford
menyadari bahwa tidak semua anak beruntung memiliki akses yang sama terhadap
nutrisi yang cukup.
Dalam surat terbukanya,
Rashford menggambarkan pengalaman pribadinya dan membagikan cerita mengenai
betapa pentingnya makanan sekolah gratis bagi anak-anak yang hidup dalam
kemiskinan. Seperti yang ditulis dalam surat terbuka tersebut �sebagai sebuah
keluarga, kami mengandalkan klub sarapan, makanan sekolah gratis, dan tindakan
baik dari tetangga dan pelatih. Bank makanan dan dapur umum tidak asing bagi
kami; Saya ingat dengan sangat jelas kunjungan kami ke Northern Moor untuk
mengumpulkan makan malam Natal kami setiap tahun� (Rashford, 2020). Ia
menyuarakan keprihatinan akan konsekuensi yang mungkin terjadi jika akses ini
ditarik selama liburan musim panas, yang dapat meningkatkan angka kelaparan
anak-anak yang sudah rentan.
Surat terbuka ini segera
memicu gelombang dukungan dan simpati dari masyarakat luas. Banyak orang merasa
terinspirasi oleh keberanian dan ketulusan Rashford untuk berbicara atas nama
mereka yang kurang beruntung. Petisi online mendapatkan ribuan tanda tangan,
dan seruan untuk mendukung kampanye Rashford menjadi sorotan media utama.
Tanggapan publik yang
menggembirakan ini akhirnya memaksa pemerintah Inggris untuk mempertimbangkan
kembali kebijakan mereka. Setelah adanya tekanan dari masyarakat, pemerintah
mengambil langkah-langkah untuk memperpanjang pemberian voucher makanan sekolah
gratis selama liburan musim panas. Ini adalah kemenangan yang membanggakan bagi
Rashford dan semua yang turut serta dalam perjuangannya.
Namun, Rashford tidak
berhenti di situ. Ia terus mengadvokasi isu kemiskinan anak dan memberikan
suara kepada mereka yang terdengar paling lemah dalam masyarakat. Kampanyenya
terus berlanjut, dengan fokus pada peningkatan akses terhadap makanan sehat, pendidikan
gizi, dan bantuan bagi keluarga yang membutuhkan.
Dalam surat terbukanya,
Marcus Rashford dengan tulus mengajak pemerintah, masyarakat, dan berbagai
pihak terkait untuk bekerja sama dalam mengatasi masalah yang mendalam ini. Ia
menyoroti bahwa ketika anak-anak tumbuh dalam kondisi yang sehat dan terpenuhi
kebutuhan gizinya, mereka memiliki kesempatan yang lebih baik untuk berkembang,
belajar, dan mencapai potensi terbaik mereka. Menurutnya apa yang dirinya
lakukan dengan membagikan kakanan gratis untuk mereka yang membutuhkan. Dalam
suratnya Rashford menulis bahwa ��Seperti yang Anda ketahui, karena penguncian
melanda dan sekolah ditutup sementara, saya bermitra dengan badan amal
distribusi makanan FareShare untuk membantu menutupi sebagian defisit makanan
sekolah gratis. Sementara kampanye saat ini mendistribusikan 3 juta makanan
seminggu kepada mereka yang paling rentan di seluruh Inggris, saya menyadari
itu tidak cukup.� (Rashford, 2020).
Tidak hanya itu, Rashford
juga menekankan pentingnya pendidikan tentang gizi dan membangun sistem yang
memastikan setiap anak memiliki akses yang adil terhadap makanan sehat. Ia
menyoroti bahwa masalah kemiskinan dan kelaparan anak tidak bisa diabaikan,
karena konsekuensinya akan dirasakan dalam jangka panjang oleh masyarakat dan
negara.
Surat terbuka ini tidak
hanya membangunkan kesadaran publik, tetapi juga mendorong tindakan nyata.
Banyak individu, organisasi, dan perusahaan merespons seruan Rashford dengan
memberikan dukungan finansial, makanan, dan sumber daya lainnya untuk membantu
anak-anak yang membutuhkan.
Rashford juga memanfaatkan
popularitasnya sebagai seorang atlet untuk memobilisasi rekan-rekan sepak bola
dan menginspirasi mereka untuk turut serta dalam perjuangan melawan kemiskinan
anak. Banyak rekan-rekannya yang ikut berkontribusi dalam mengumpulkan dana dan
menyediakan bantuan bagi anak-anak yang membutuhkan. Rashford juga mendapat
dukungan dari beberapa penelitian yang mendukung pernyataannya dalam surat
terbuka tersebut. Rashford memiliki sains di sisinya. Ian Sinha dan rekannya
memasukkan gelombang kerawanan pangan yang meningkat dalam daftar cara mereka
mengabaikan kesehatan dan kesejahteraan anak-anak akibat COVID-19 (Abbasi,
2020).
Surat terbuka ini tidak
hanya menjadi simbol keberanian dan ketulusan Rashford, tetapi juga
mengingatkan kita akan pentingnya mendengarkan suara anak-anak dan memastikan
bahwa mereka diberikan kesempatan yang adil dalam hidup. Rashford telah menjadi
pahlawan bagi banyak anak yang merasakan dampak langsung dari kemiskinan,
memberikan mereka harapan dan keyakinan bahwa mereka tidak sendirian dalam
perjuangan mereka.
Seiring berjalannya waktu,
Rashford terus memperjuangkan hak-hak anak dan mengadvokasi perubahan kebijakan
yang dapat mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan di masyarakat. Dia telah
menjadi suara yang kuat bagi mereka yang terpinggirkan dan memperjuangkan masa
depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang.
Dalam surat terbukanya,
Marcus Rashford telah mengubah pandangan banyak orang tentang masalah kemiskinan
anak dan membangun gerakan yang kuat untuk mengatasinya. Semangat dan
ketekunannya dalam menciptakan perubahan positif menginspirasi kita semua untuk
berdiri bersama dalam melawan ketidakadilan dan memastikan bahwa setiap anak
memiliki kesempatan yang setara untuk tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
yang lebih baik.
�
Pada Juni 2020,
di tengah pandemi global COVID-19, Rashford turun ke media sosial untuk berbagi
keprihatinannya tentang kemiskinan pangan anak. Dengan pengalaman pribadinya
dan empati yang mendalam bagi mereka yang menghadapi kesulitan ekonomi, dia
menulis surat terbuka yang ditujukan kepada pemerintah Inggris, menganjurkan
perpanjangan voucher makan sekolah gratis selama liburan musim panas.
Praktik aktivisme
yang diperantarai oleh komunikasi dan interaksi secara online tetap harus
menghasilkan gerakan masal, protes di jalanan, ataupun berbagai kegiatan lain
yang bersifat offline (Lim, 2013). Melalui kekuatan media sosial, Rashford
memperkuat pesannya untuk menjangkau jutaan orang di seluruh dunia. Dia
menggunakan platform seperti Twitter dan Instagram untuk terlibat dengan para
pengikutnya, membagikan kisahnya sendiri dan menekankan pentingnya makanan
sekolah gratis untuk anak-anak yang rentan. Unggahannya yang tulus beresonansi
dengan orang-orang dari semua lapisan masyarakat, menciptakan efek gelombang
kesadaran dan kasih sayang.
Surat terbuka itu
berfungsi sebagai seruan, menginspirasi individu dan komunitas untuk berdiri
dalam solidaritas dengan perjuangan Rashford. Tagar #ENDCHILDFOODPOVERTY
mulai menjadi tren di media sosial, memobilisasi dukungan publik dan
menciptakan ruang untuk percakapan seputar kemiskinan dan kelaparan anak.
Aktivisme digital
Rashford melampaui postingan online belaka. Dia menyemangati para pengikutnya
untuk mengambil tindakan nyata dengan menandatangani petisi, menghubungi
perwakilan lokal mereka, dan mendukung bank makanan dan badan amal yang bekerja
untuk mengentaskan kemiskinan anak. Media sosial menjadi katalis untuk
perubahan dunia nyata saat individu dan organisasi bersatu untuk membuat
perbedaan.
Dampak aktivisme
digital Rashford sangat besar. Surat terbukanya mendapat perhatian besar, tidak
hanya dari publik tetapi juga dari pemerintah dan media. Ini memicu
perbincangan nasional tentang kemiskinan makanan anak dan memaksa pembuat
kebijakan untuk mengevaluasi kembali sikap mereka terhadap masalah tersebut.
Penggunaan media
sosial oleh Rashford sebagai platform aktivisme menunjukkan kekuatannya yang
luar biasa untuk memperkuat suara dan menghasilkan perubahan sosial. Dengan
memanfaatkan jangkauan dan kesegeraan platform ini, dia mampu melampaui batasan
tradisional dan langsung terhubung dengan orang-orang dari berbagai latar
belakang. Melalui transparansi, keaslian, dan tekadnya yang tak tergoyahkan, ia
mampu membangun komunitas advokat yang berdedikasi untuk mengatasi kemiskinan
anak.
Selain itu,
aktivisme digital Rashford memicu efek domino, menginspirasi figur publik
lainnya, selebritas, dan bahkan individu biasa untuk menyuarakan aspirasi
mereka. Kekuatan kolektif dari suara-suara ini mendorong kemiskinan anak ke
puncak agenda nasional dan menyebabkan perubahan kebijakan yang konkret,
seperti perpanjangan kupon makan sekolah gratis selama liburan sekolah.
Aktivisme digital
Marcus Rashford berfungsi sebagai contoh cemerlang tentang bagaimana media
sosial dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan untuk kebaikan. Surat terbukanya
tidak hanya membangkitkan kesadaran tetapi juga memicu gerakan yang terus
membawa perubahan positif. Ini menunjukkan potensi platform digital untuk
memperkuat suara yang terpinggirkan, menantang ketidakadilan sistemik, dan
memobilisasi komunitas untuk bekerja menuju masyarakat yang lebih adil.
Di dunia yang
semakin terhubung melalui media sosial, aktivisme digital Marcus Rashford
mencontohkan kekuatan satu individu untuk membuat dampak yang signifikan.
Tekad, belas kasih, dan penggunaan platform media sosial yang strategis telah
mengukuhkan statusnya sebagai suar harapan dan panutan bagi calon aktivis di
seluruh dunia.
�
Implementasi
kebijakan adalah proses penting yang berpengaruh pada tujuan yang ditetapkan.
Hal ini kompleks dan dipengaruhi oleh kepentingan, interpretasi, dan strategi
pelaksana kebijakan. Konsep implementasi kebijakan, seperti yang diajukan oleh
Merilee Grindle (1980), membaginya menjadi konten dan konteks. Dalam konteks
kebijakan pajak air tanah di Kota Bekasi, penting untuk memastikan
implementasinya sesuai dengan tujuan dan optimal. Keberhasilan implementasi
terlihat dalam proses pelaksanaan kebijakan tersebut.
Abbasi, K. (2020).
Rashford, racism, and bankrupt excuses.
Bennett, W. L., &
Segerberg, A. (2012). The logic of connective action: Digital media and the
personalization of contentious politics. Information, Communication &
Society, 15(5), 739�768. https://doi.org/10.1080/1369118X.2012.670661
Castells, M. (2007). Communication,
power and counter-power in the network society. International Journal of
Communication, 1, 238-266. https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/46
Forsey, Zoey. (2020).� Inside Marcus Rashford's tough childhood -
shopping at Poundworld and going hungry. Mirror.
Habsy, B. A. (2017). Seni memehami
penelitian kuliatatif dalam bimbingan dan konseling: studi literatur. Jurnal
Konseling Andi Matappa, 1(2), 90-100.
Karpf, D. (2010a). Online Political
Mobilization from the Advocacy Group�s Perspective: Looking Beyond Clicktivism.
Policy & Internet, 2(4), 7-41.https://doi.org/10.2202/1944-2866.1098
Lim,
M. (2013). Many clicks but little sticks: social media activism in Indonesia.
Journal of Contemporary Asia, 43(4), 636�657. https://doi.org/10.1080/00472336.2013.769386
McCaughey,
M., & Ayers, M. D. (Eds.). (2003). Cyberactivism - Online Activism in
Theory and Practice. New York: Routledge.
Megget K. Even covid-19 can�t kill
the anti-vaccination movement. BMJ 2020;369:m2184. https://www.bmj.com/content/369/bmj.m2184.
doi: 10.1136/bmj.m2184 pmid: 32499217
Menon, Sreehari. (2021). Marcus Rashford
Story: How The Manchester United Star Struggled For Food During Childhood.
Republic World.
Mercea, D. (2011). Digital
prefigurative participation: The entwinement of online communication and
offline participation in protest events. New Media & Society, 14(1), 153
�169. https://doi.org/10.1177/1461444811429103
Morozov,
E. (2009). Iran: downside to the "Twitter revolution". Dissent,
56(4), 10-14.
Murdoch,
S. (2010). Destructive Activism: The Double-Edged Sword of Digital Tactics. In
M. Joyce (Ed.), Digital Activism Decoded - the New Mechanics of Change (pp.
137-147). New York: Idebate Press.
Negroponte,
N. (1995). Being digital. London: Hodder & Stoughton.
Nurdin,
I., dan Hartati, S. (2019). Metodologi Peneli-tian Sosial. Jatinangor: Media
Sahabat Cendekia. NRPF. Free School Meal.
Polletta, F. (2013). Participatory
Democracy in the New Millenium. Contemporary Sociology, 42(1), 40-50. https://doi.org/10.1177/0094306112468718b
Rashford, M. (2020). Open letter to
all MPs in Parliament. The Guardian.
Sinha I, Bennett D, Taylor-Robinson
DC. Children are being sidelined by covid-19. BMJ 2020;369:m2061.
https://www.bmj.com/content/369/bmj.m2061. doi: 10.1136/bmj.m2061 pmid:
32461203
Shulman, S. W. (2009). The Case
Against Mass E-mails: Perverse Incentives and Low Quality Public Participation
in U.S. Federal Rulemaking. Policy & Internet, 1(1), 23-53. https://doi.org/10.2202/1944-2866.1010
Tan M, He FJ, MacGregor GA. Obesity
and covid-19: the role of the food industry. BMJ 2020;369:m2237.
https://www.bmj.com/content/369/bmj.m2237. doi: 10.1136/bmj.m2237 pmid:
32522740
Vegh,
S. (2003). Classifying Forms of Online Activism: The Case of Cyberprotests
against the World Bank. In M. McCaughey & M. D. Ayers (Eds.),
Cyberactivism: Online Activism in Theory and Practice (pp. 71-96). New York:
Routledge.
�
Copyright holder: Aditama Rizky
Noviandry (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |