Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 6, Juni 2023
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP KOSMETIK TANPA IZIN EDAR: ANALISIS PUTUSAN NOMOR 190/PID.SUS/2021/PT PAL
Erika Aurellya Eryansyah1, Hanafi Tanawijaya2
Universitas Tarumanagara
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memahami perlindungan konsumen terhadap produk kosmetik ilegal yang dijual secara bebas dan menganalisis pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terhadap produk kosmetik impor yang dijual tanpa izin edar, serta sanksi yang diberikan kepada pelaku usaha yang melakukan praktik tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dan kepustakaan, dengan menggunakan data dan sumber hukum seperti putusan kasus, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta bahan hukum primer, sekunder, dan tersier lainnya. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan penelusuran sumber-sumber hukum. Penelitian ini akan membahas perlindungan konsumen terhadap produk kosmetik yang tidak memiliki izin edar dan mengacu pada Pengadilan Negeri Palu Nomor 190/PID.SUS/2021/PT PAL sebagai acuan. Harapannya, hasil penelitian ini akan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perlindungan konsumen dalam konteks produk kosmetik ilegal serta memberikan kontribusi pada pengembangan hukum yang lebih baik dalam hal ini.
Kata kunci: Perlindungan Konsumen, Produk Kosmetik Ilegal, Pengawasan BPOM, Sanksi Pelaku Usaha
Abstract
This research aims to understand consumer protection regarding freely sold illegal cosmetic products and analyze the supervision conducted by the Indonesian Food and Drug Authority (BPOM) on imported cosmetics sold without proper distribution permits, as well as the sanctions imposed on businesses engaged in such practices. The research employs normative legal and literature review methods, utilizing data and legal sources such as case verdicts, Consumer Protection Law Number 8 of 1999, and other primary, secondary, and tertiary legal materials. Data collection is conducted through literature studies and legal source exploration. The study will discuss consumer protection concerning cosmetic products lacking distribution permits, with reference to Pengadilan Negeri Palu Number 190/PID.SUS/2021/PT PAL. The expected outcome of this research is to provide a better understanding of consumer protection in the context of illegal cosmetic products and contribute to the development of improved legislation in this field.
Keywords: Consumer Protection, Illegal Cosmetic Products, BPOM Supervision, Business Sanctions.
Pendahuluan
Dalam era perdagangan bebas di masyarakat saat ini, terdapat banyak jenis kosmetik yang beredar di pasaran dengan merek dagang yang berbeda. Namun, seringkali penjual atau pedagang yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan keinginan masyarakat, terutama wanita, untuk selalu tampil sempurna dan cantik. Mereka memproduksi dan menjual kosmetik yang tidak memenuhi standar distribusi kepada masyarakat luas.
Banyak wanita tertarik untuk membeli produk kosmetik murah yang memberikan hasil yang cepat dengan harga yang terjangkau. Mereka tidak selalu mengetahui kandungan apa yang terdapat dalam produk tersebut. Akibatnya, banyak pelaku usaha memanfaatkan kesempatan ini dengan menjual produk kosmetik yang tidak sesuai dengan standar dan tidak terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Produk-produk ini sering disebut sebagai barang ilegal.
Ahmadi Miru dalam bukunya "Principles of Consumer Repair in Indonesia" menjelaskan bahwa hal ini memungkinkan tersebar luasnya produk kosmetik yang tidak terdaftar di BPOM untuk memenuhi kebutuhan pasar. Ini menjadi bidang usaha bagi para penjual atau pengusaha produk kosmetik, baik yang memiliki izin edar dari pemerintah maupun tidak.
Perlindungan hukum bagi setiap warga negara Indonesia merupakan bagian penting dari pembangunan hukum di Indonesia.(Ghoni & Pujiyono, 2020) Hal ini sama pentingnya dengan pertanyaan tentang keadilan,(Nasution, 2014) kepastian hukum, dan hukum yang sering diperbincangkan oleh para ahli teori dan praktisi hukum.(Rangga & Ayuni, 2022) Salah satu tujuan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia, dan perlindungan konsumen menjadi salah satu isu yang mendapat perhatian pemeri(Suhadi & Fadilah, 2021)ntah.
Hal ini terlihat dari adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan konsumen,(Agus, 2017) seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.(Suhadi & Fadilah, 2021) Perlindungan konsumen sangat penting dilakukan karena berkaitan dengan upaya mensejahterakan masyarakat dalam konteks perkembangan transaksi perdagangan pada zaman modern saat ini.
Produksi kosmetik yang beredar di pasaran memiliki berbagai macam jenis.(Dominika & Hasyim, 2019) Pelaku usaha memanfaatkannya untuk memproduksi kosmetik yang terdaftar di BPOM dan sebagian lagi tidak terdaftar.(Nuarini, 2019) Banyak pelaku usaha yang tidak konsisten dalam menjual kosmetik yang tidak efektif atau tiruan. Oleh karena itu, perlindungan konsumen diperlukan untuk melindungi hak-hak konsumen dari perbuatan pelaku usaha yang memasarkan dan menjual kosmetik yang tidak berkualitas.(Soemarwi & Ridzkia, 2023)
Banyak kosmetik yang beredar saat ini berasal dari produk luar negeri atau impor yang tidak terdaftar di BPOM dan tidak memiliki kandungan yang jelas.(Sari & Tan, 2021) Produk-produk ini dapat dengan mudah ditemukan di pusat perbelanjaan, toko online, atau penjual di internet yang semakin memudahkan akses untuk mendapatkan alat kosmetik tersebut.
Jika para konsumen membeli produk dari toko resmi dan penjual yang memiliki izin edar dari Food and Drug Administration atau BPOM, maka harga produk tersebut akan tinggi.
v Namun, jika pembeli membelinya dari toko yang tidak resmi dan penjual tidak memiliki izin edar, harganya bisa jauh lebih murah, bahkan setengah harga. Hal ini menggiurkan para pembeli tanpa mereka menyadari bahwa produk yang mereka beli ilegal dan tidak terjamin keamanannya. TERDAFTAR DI BPOM". Proposal ini akan membahas tentang perlindungan konsumen terhadap produk kosmetik yang belum terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Fokus proposal ini adalah memberikan pemahaman mengenai pentingnya perlindungan hukum bagi konsumen dalam menggunakan produk kosmetik dan mendorong pelaku usaha kosmetik untuk beroperasi secara jujur dan transparan.
Proposal ini juga akan membahas pentingnya informasi yang jelas dan akurat mengenai produk kosmetik, yang harus disampaikan oleh pelaku usaha secara tertulis. Selain itu, pentingnya memberikan kesempatan kepada konsumen untuk mencoba produk yang ditawarkan juga akan menjadi bagian dari proposal ini.
Dalam era perdagangan bebas, terdapat dua hal yang menjadi kekhawatiran bagi konsumen. Pertama, meskipun mereka memiliki lebih banyak pilihan produk, kurangnya pengawasan dalam hal standar kualitas produk dan undang-undang produk dapat merugikan konsumen di negara berkembang. Kedua, adanya pelaku usaha yang tidak jujur yang memanfaatkan keadaan dengan menjual produk kosmetik ilegal atau belum terdaftar di BPOM.
Dalam bisnis kosmetik yang menjanjikan keuntungan besar, ada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang melakukan kecurangan untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Kurangnya perlindungan yang memadai untuk melindungi hak-hak konsumen membuat mereka berada dalam posisi yang tidak berdaya. Oleh karena itu, perlindungan yang lebih efektif diperlukan untuk mencegah penjualan produk kosmetik ilegal atau tanpa izin edar.
Proposal ini bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut permasalahan tersebut dan mengusulkan langkah-langkah perlindungan konsumen terhadap produk kosmetik yang belum terdaftar di BPOM.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dan kepustakaan untuk menganalisis dan menyimpulkan permasalahan yang berkaitan dengan bentuk perlindungan konsumen terhadap pemakaian produk kosmetik ilegal yang dijual secara bebas. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis yang mencoba untuk meneliti dan menganalisis permasalahan serta solusi yang dapat diterapkan. Data yang digunakan meliputi data primer yang terdiri dari putusan pengadilan dan undang-undang perlindungan konsumen, serta data sekunder berupa turunan perundang-undangan dan sumber-sumber literatur. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan pendekatan perundang-undangan. Analisis data dilakukan dengan mengaitkan hasil penelitian dengan teori sebelumnya dan membuat kesimpulan berdasarkan studi kepustakaan yang dilakukan.(Sagita & Saputra, 2022)
Hasil dan Pembahasan
Teori
Perlindungan hukum merupakan konsep universal dalam peraturan perundang-undangan, yang terdiri dari perlindungan hukum preventif dan represif.(Gegen & Santoso, 2022) Perlindungan hukum preventif berfokus pada pencegahan pelanggaran hukum dan membatasi pemenuhan kewajiban, sedangkan perlindungan hukum represif berperan dalam penyelesaian sengketa melalui penerapan sanksi.(Ramadhan, 2022) Para ahli seperti Satjipto Rahardjo, C.S.T., dan Philipus M. Hadjon mengemukakan pandangan mereka mengenai perlindungan hukum, termasuk perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dilanggar, jaminan mental dan fisik, serta perlindungan badan hukum dengan sarana hukum.
Perlindungan hukum bukan hanya berlaku untuk korban, tetapi juga bagi pihak lain yang terlibat dalam suatu tindakan kejahatan. Prinsip praduga tak bersalah dianut oleh Indonesia, di mana pelaku dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah di pengadilan. Selain itu, pentingnya perlindungan konsumen ditunjukkan dengan perlunya menjaga kepastian hukum bagi konsumen agar terhindar dari praktik yang merugikan. Pengaturan perlindungan konsumen mencakup sistem yang melibatkan akses dan informasi yang terbuka, perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha, serta peningkatan kualitas barang dan pelayanan jasa. Integrasi perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan lainnya juga diperlukan. .
Perlindungan hukum memiliki dua bentuk, yaitu perlindungan preventif dan represif. Perlindungan preventif dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya pelanggaran dengan aturan hukum yang memastikan pemenuhan kewajiban dan memberikan indikasi atau tanggapan terhadap pelanggaran. Perlindungan represif merupakan langkah terakhir yang melibatkan penerapan sanksi seperti denda, penjara, atau hukuman tambahan dalam menyelesaikan perselisihan atau pelanggaran hukum. Pemerintah bertindak preventif dan represif dalam perlindungan hukum terhadap rakyat, dengan tujuan mencegah perselisihan dan membuat keputusan yang bijaksana serta menyelesaikan perselisihan melalui pendekatan yudisial.
Dengan demikian, teori perlindungan hukum memberikan dasar penting dalam menjaga kepastian hukum dan melindungi konsumen. Perlindungan hukum memiliki peran strategis dalam mencegah pelanggaran, menegakkan hak asasi manusia, dan memberikan perlindungan kepada semua pihak yang terlibat dalam suatu tindakan hukum.
Pengertian konsumen dan pelaku usaha memiliki beragam definisi. Konsumen adalah semua pengguna barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun transaksi komersial. Sementara itu, pelaku usaha adalah orang atau perusahaan yang membeli dan menggunakan barang dan jasa untuk keperluan bisnis. Konsumen dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu konsumen komersial, konsumen antara, dan konsumen akhir. Konsumen bukan hanya pembeli, melainkan juga pemakai yang mengkonsumsi barang dan jasa tanpa memerlukan hubungan kontraktual dengan pelaku usaha.
Definisi konsumen dan pelaku usaha berfokus pada peran dan hubungan mereka dalam mengonsumsi atau memproduksi barang dan jasa. Konsumen melibatkan semua individu dan badan usaha yang menggunakan barang dan jasa untuk berbagai tujuan, termasuk untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau komersial. Pelaku usaha, di sisi lain, adalah orang atau perusahaan yang membeli dan menggunakan barang dan jasa untuk keperluan bisnis.
Dalam pengertian konsumen, terdapat penekanan pada pengguna akhir yang membeli barang dan jasa untuk kebutuhan pribadi, keluarga, atau orang lain, dan tidak untuk tujuan perdagangan. Sementara itu, dalam pengertian pelaku usaha, fokusnya adalah pada pembeli yang memanfaatkan barang dan jasa untuk kepentingan bisnis, termasuk upaya mencari keuntungan.
Dalam hubungan konsumen dan pelaku usaha, penting untuk memahami bahwa konsumen bukan hanya pembeli, tetapi juga semua individu dan badan usaha yang menggunakan barang dan jasa. Hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak selalu harus bersifat kontraktual, melainkan melibatkan pemakaian barang dan jasa tanpa keterikatan kontrak.
Posisi Kasus
Studi kasus Putusan Nomor 190/PID.SUS/2021/PT PAL adalah kasus yang melibatkan pelaku yang memproduksi, mengedarkan, menjual, dan memperdagangkan produk kosmetik secara ilegal tanpa izin dari BPOM. Pada bulan Juli 2020, berdasarkan informasi yang diterima oleh Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Palu tentang penjualan kosmetik tanpa izin dari BPOM Palu oleh Terdakwa, petugas dari BPOM Palu dan petugas kepolisian dari Polda Sulteng mendatangi rumah Terdakwa di Perumahan Durian Mas Blok E No 5 Jalan Durian-Kecamatan Palu Selatan-Kota Palu.
Selama pemeriksaan, petugas dari BPOM Palu dan petugas kepolisian menemukan produksi kosmetik yang tidak memiliki izin, tempat/allat produksi kosmetik, serta kemasan kosmetik dan bahan-bahan kosmetik. Barang-barang tersebut kemudian disita oleh petugas kepolisian dari Polda Sulteng untuk dimusnahkan.
Itulah rangkuman singkat dari barang-barang yang disita oleh petugas kepolisian dari Polda Sulteng dalam kasus tersebut.
Terdakwa mengakui bahwa produk kosmetik HDSS (Hand Body Super Sofi) yang dia buat/sendiri tidak memiliki izin dari BPOM Palu. Terdakwa membeli beberapa produk Hand Body dan Cream di beberapa toko kosmetik, lalu membuat produk kosmetik sendiri dengan mencampur campuran Hand Body Vienna dan Cream Quinal dalam satu wadah kemudian diisi dalam pot kecil berisi 500 gram. Setelah itu, ditempelkan stiker dengan merek kosmetiknya sendiri, yaitu Kosmetik HDSS (Hand Body Super Sofi), dan dijual kepada pembeli.
Terdakwa tidak memiliki izin untuk membuat dan memproduksi Kosmetik HDSS (Hand Body Super Sofi) dari BPOM Palu. Meskipun demikian, Kosmetik HDSS (Hand Body Super Sofi) yang Terdakwa jual kembali di rumahnya atau melalui penjualan online tidak memiliki izin dari BPOM Palu.
Terdakwa kemudian menjual produk kepada pembeli dengan harga Rp 35.000,- per botol/500 gram baik melalui penjualan online maupun langsung dari rumah terdakwa.
BPOM juga memberikan peringatan terhadap produksi kosmetikal yang dilakukan oleh terdakwa namun tidak dihentikan. Informasi terkait obat resep, obat bebas, obat herbal, dan kosmetik harus disediakan. Selain itu, informasi harus sesuai dengan aturan pelabelan, memenuhi standar mutu, keamanan, dan manfaat pembuatan, serta memiliki izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk dibuat dan didistribusikan. Informasi kosmetik harus mencakup: nama kosmetik, penggunaan, cara penggunaan, komposisi, nama dan alamat produsen, nama pemohon pendaftaran dan alamat lengkap, nomor batch, ukuran kosmetik, isi, berat bersih, tanggal kadaluarsa kosmetik, peringatan dan perhatian, serta informasi lain yang diperlukan oleh nomor Pendaftaran. Kementerian Kesehatan harus memberikan izin kepada produsen kosmetik untuk menggunakan Calral Pembuatan Kosmetikal yang Baik (CPKB), dan BPOM harus memberikan izin kepada sektor kosmetik untuk menggunakan produknya.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha memiliki tanggung jawab terhadap hal-hal yang dihasilkan atau dilakukan olehnya. Ketika terjadi kerusakan atau masalah terkait produk yang dihasilkan, seperti produk yang cacat akibat kesalahan dalam proses produksi, tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh pelaku usaha, pelaku usaha memiliki tanggung jawab hukum.
Berdasarkan Pasal 19 sampai Pasal 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha ketika terjadi gugatan oleh konsumen terkait produk cacat adalah sebagai berikut:
a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian, pencemaran, atau kerugian lain yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi atau menggunakan produk yang cacat dan diperdagangkan. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang yang setara nilainya, serta perawatan kesehatan atau pemberian sanksi yang sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilakukan dalam tenggat waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi. Namun demikian, pemberian ganti rugi tidak menghapuskan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai unsur kesalahan.
b. Pelaku usaha bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Pelaku usaha yang bertindak sebagai importir juga memiliki tanggung jawab, yaitu:
- Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
- Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa apabila penyediaan jasa tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa.
3. Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen jika:
a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun terhadap barang dan/atau jasa tersebut.
b. Pelaku usaha lain, dalam transaksi jual beli, tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha dan tidak sesuai contoh, mutu, dan komposisinya.
4. Pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen jika pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
5. Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemalsuan berkelanjutan dalam waktu sekurang-kurangnya satu tahun wajib menyediakan suku cadang dan fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan dan garansi sesuai dengan yang dijanjikan.
6. Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan garansi yang disepakati dan yang dijanjikan.
Penerapan UUD Dalam Penelitan ini
Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu di luar pengadilan dan melalui litigasi di pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan mencakup beberapa metode, seperti konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi.
Konsiliasi: Ini adalah metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan di mana pihak-pihak yang bersengketa bertemu untuk mencapai kesepakatan penyelesaian dengan bantuan konsiliator. Konsiliasi ini juga dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa konsumen dengan pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Konsiliasi biasanya bersifat fleksibel dan tidak mengikat secara hukum, namun kesepakatan yang dicapai dapat menjadi dasar untuk penyelesaian selanjutnya.
Mediasi: Dalam mediasi, BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) berperan sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada pihak-pihak yang bersengketa. BPSK bertindak sebagai mediator yang membantu negosiasi antara pihak konsumen dan pelaku usaha untuk mencapai kompromi dan kesepakatan. Mediasi seringkali melibatkan kesepakatan awal antara pihak-pihak sebelum proses mediasi dimulai. Mediator berperan sebagai fasilitator dan membantu pihak-pihak untuk menemukan jalan keluar dari sengketa yang sedang mereka hadapi.
Arbitrasi: Arbitrasi melibatkan pihak-pihak yang bersengketa mengajukan sengketa mereka kepada BPSK atau majelis arbitrase yang ditunjuk. Arbitrasi adalah proses di mana satu atau beberapa orang yang independen dan netral, yang disebut arbiter atau majelis arbitrase, memutuskan sengketa tersebut berdasarkan hukum yang berlaku. Putusan arbitrase ini bersifat final dan mengikat para pihak yang bersengketa. Dalam hal penyelesaian sengketa konsumen, BPSK berperan sebagai badan arbitrase yang mengeluarkan putusan akhir.
Pilihan metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini memberikan keuntungan seperti waktu yang lebih singkat, fleksibilitas dalam negosiasi, dan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan litigasi di pengadilan. Namun, penting untuk dicatat bahwa keputusan untuk menggunakan metode penyelesaian sengketa mana tergantung pada kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa dan kompleksitas serta kebutuhan penyelesaian kasus yang spesifik.
Kendala Yang Dihadapi
Kendala yang dihadapi dalam menerapkan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Terhadap Konsumen dalam kosmetik yang tidak memiliki izin edar oleh BPOM antara lain:
Kurangnya jumlah sumber daya manusia yang ada dapat mempengaruhi pelaksanaan tugas pengawasan oleh BPOM.(Ramadhan, 2022) Terutama dalam hal ini, wilayah kerja yang luas, dengan jumlah sumber daya yang terbatas, dapat menyebabkan ketidaktahuan yang dimiliki oleh BPOM tidak sebanding dengan besarnya jumlah pengawasan yang harus dilakukan, sehingga berpengaruh pada intensitas pengawasan.
Terbatasnya data dan informasi yang digunakan untuk pengawasan menyebabkan fungsi pengawasan tidak dapat berjalan dengan baik.(Putri & Muid, 2017) Terbatasnya data yang dimiliki oleh BPOM menjadi salah satu kendala efektivitasnya dalam upaya perlindungan dan pengawasan terhadap kosmetik yang tidak memiliki izin edar.
Selain itu, terdapat juga faktor eksternal yang mempengaruhi penerapan Undang-Undang ini, seperti kesadaran hukum produsen dan konsumen dalam memahami izin edar kosmetik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Terhadap Konsumen. Hasil wawancara dengan konsumen juga mengungkapkan beberapa hal, antara lain:
Beberapa konsumen yang menggunakan kosmetik yang tidak memiliki izin edar mengeluhkan bahwa harga produk yang legal relatif terlalu tinggi, sehingga konsumen tidak sanggup untuk membelinya.(Wahyuningtyas, 2021)
Beberapa konsumen juga menyatakan bahwa mereka lebih memilih untuk membeli produk tanpa izin edar karena lebih murah. Menurut mereka, produk ilegal tidak terlalu berbeda dengan yang memiliki izin edar, sementara yang memiliki izin edar dihargai lebih mahal dan terkadang tidak sebagus yang tidak memiliki izin.
Konsumen yang menggunakan kosmetik dengan izin edar mengungkapkan bahwa kualitas lebih diutamakan dari pada harga, dan penggunaan produk yang memiliki izin edar dianggap lebih aman dan menarik.
Dari analisis tersebut, kesalahan hukum yang rendah baik dari produsen maupun konsumen dalam memahami Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Terhadap Konsumen mempengaruhi pelaksanaan hukum. Tingginya kesalahan hukum tersebut dapat menjadi kendala dalam pelaksanaan penerapan hukum, baik dalam tingkat pelanggaran hukum maupun tingkat partisipasi produsen dan konsumen dalam pelaksanaan perlindungan hukum.
Adapun sanksi yang dapat diberikan sebagai konsekuensi dari pelanggaran Undang-Undang ini adalah:
Sanksi Administratif: a. Penyelesaian sengketa konsumen melalui penerapan sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26. b. Sanksi administratif berupa pembayaran ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). c. Total besaran pembayaran sanksi administratif ditentukan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Sanksi Pidana: a. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). b. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf e diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). c. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berkepanjangan, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. d. Sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat diterapkan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan, berupa:
Perampasan barang tertentu;
Pengumuman keputusan hakim;
Pembayaran ganti rugi;
Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
Pencabutan izin usaha.
Sanksi
Bentuk Perlindungan Konsumen Akibat Pemakaian Produk Kosmetik Ilegal yang Dijual Secara Bebas Kosmetik adalah kebutuhan penting bagi setiap orang, terutama kaum wanita, untuk penampilan yang cantik. Untuk memastikan mutu, manfaat, dan keamanan produk kosmetik, diperlukan standar yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pengawasan produksi dan penjualan kosmetik merupakan upaya perlindungan terhadap konsumen pengguna. Kosmetik yang beredar harus memenuhi standar keamanan, manfaat, mutu, penandaan, klaim, dan dinotifikasi. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat berakibat berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan pengguna. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan dan perlindungan hukum terhadap konsumen yang menggunakan produk kosmetik ilegal yang berbahaya.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen nomor 8 Tahun 1999 (UUPK) menjadi landasan perlindungan bagi konsumen. Tujuan perlindungan konsumen meliputi peningkatan kesadaran dan kemampuan konsumen dalam melindungi diri, menghindarkan efek negatif produk, pemberdayaan konsumen dalam memilih dan menuntut hak-haknya, menciptakan sistem perlindungan hukum yang pasti, meningkatkan kesadaran pelaku usaha, dan meningkatkan kualitas produk serta kelangsungan usaha produksi yang aman bagi konsumen.
Keamanan produk kosmetik diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Kosmetik yang diproduksi dan diedarkan harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Namun, masih banyak produk kosmetik ilegal yang berbahaya beredar secara bebas, melanggar peraturan dan perundang-undangan yang mengatur tentang bahan, zat warna, substratum, zat pengawet, dan tabir surya dalam kosmetik.
Untuk meningkatkan pengawasan terhadap keamanan dan mutu produk kosmetik, Badan Pengawas Obat dan Makanan telah mengatur persyaratan teknis kosmetik. Kosmetik yang beredar harus memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan, mutu, penandaan, dan klaim. Pengawasan terhadap produk kosmetik berbahaya harus dilakukan dari produsen hingga penjual, dengan penekanan pada penghentian produksi produk kosmetik berbahaya.
Pelaku usaha produsen atau pabrik kosmetik juga memiliki kewajiban untuk menjamin mutu barang yang diproduksi dan memenuhi standar mutu yang berlaku. Dalam UUPK, pelaku usaha juga dilarang memproduksi atau memperdagangkan produk kosmetik berbahaya semata-mata untuk keuntungan yang besar.
Pengawasan dan penertiban harus dilakukan secara menyeluruh, termasuk pabrik dan penjual, untuk memutus rantai peredaran produk kosmetik.
Bentuk Perlindungan Konsumen
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan pengawasan terhadap produk kosmetik impor yang dijual tanpa izin edar untuk memastikan bahwa produk tersebut aman dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Pengawasan dilakukan secara rutin dan intensif untuk melindungi konsumen dari produk kosmetik yang tidak memenuhi standar keamanan dan kualitas.
Beberapa bentuk pengawasan yang dilakukan oleh BPOM atas produk kosmetik impor yang dijual tanpa izin edar antara lain:
Pengecekan Dokumen: BPOM memeriksa dokumen-dokumen terkait impor produk kosmetik, seperti sertifikat keamanan, izin edar, dan label produk. Dokumen-dokumen ini harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan sebelum produk kosmetik diizinkan beredar di pasar.
Pengujian Laboratorium: BPOM melakukan pengujian laboratorium terhadap produk kosmetik impor untuk memastikan bahwa tidak terkandung bahan berbahaya atau bahan yang melanggar aturan. Pengujian dilakukan untuk mendeteksi adanya zat seperti merkuri, hidrokuinon, pewarna yang dilarang, atau bahan-bahan lain yang dapat membahayakan kesehatan konsumen.
Penyelidikan dan Pemeriksaan Lapangan: BPOM melakukan penyelidikan dan pemeriksaan lapangan untuk mengidentifikasi produk kosmetik impor yang dijual tanpa izin edar. Hal ini dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak berwenang lainnya, seperti aparat penegak hukum, untuk mengumpulkan bukti dan menindak pelanggaran.
Pemberian Peringatan dan Sanksi: Jika ditemukan produk kosmetik impor yang dijual tanpa izin edar atau tidak memenuhi persyaratan, BPOM dapat memberikan peringatan kepada pelaku usaha. Pelaku usaha tersebut akan diminta untuk menghentikan penjualan produk yang tidak memenuhi persyaratan dan diberikan teguran agar tidak mengulangi perbuatannya. Jika pelanggaran berlanjut, BPOM dapat memberlakukan sanksi yang lebih berat, seperti pencabutan izin edar atau tuntutan hukum.
Bentuk Pengawasan
Melalui pengawasan yang dilakukan, BPOM berupaya memberantas peredaran produk kosmetik ilegal yang mengandung bahan berbahaya dan melindungi konsumen dari risiko yang ditimbulkan oleh produk kosmetik yang tidak memenuhi standar. . Upaya ini juga dilakukan untuk memberikan keadilan bagi para pelaku usaha yang beroperasi secara sah dan mematuhi peraturan yang berlaku.
Pelaku usaha yang melakukan kecurangan dan tidak memenuhi persyaratan mengenai produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya dapat dikenakan Pasal 196, dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp. 1.000.000.000,00.
Pelaku usaha yang tidak memiliki izin edar untuk produk kosmetik yang diproduksi, dijual, atau diedarkan dapat dikenakan Pasal 197, dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp. 1.500.000.000,00.
Konsumen yang merasa dirugikan oleh pemalsuan produk kosmetik berbahaya dapat mengajukan pengaduan melalui Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK), yang akan ditindaklanjuti oleh Kepala Badan POM berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor HK 03.1.23.12.11.10050 Tahun 2011.
Badan POM melakukan penyelidikan atas pengaduan masyarakat terhadap pelaku usaha yang memproduksi, menjual, dan mengedarkan produk kosmetik yang memiliki legalitas.(Winata, 2022) Badan POM melakukan pengawasan pra-pemasaran dan paska-pemasaran produk kosmetik, termasuk penilaian dan pengujian mutu keamanan, inspeksi sarana produksi dan distribusi, monitoring efek samping, pengawasan iklan produk kosmetik, serta edukasi masyarakat dan public warning.
Produk kosmetik harus mencantumkan tanggal kadaluarsa, kecuali jika digunakan dalam pengobatan oleh dokter ahli. Produk kosmetik harus terdaftar di Badan POM sebelum dijual atau dipasarkan secara bebas. Produk kosmetik tanpa izin edar memiliki ciri-ciri seperti pengiriman melalui jasa ekspedisi, pembelian dalam jumlah banyak yang mencurigakan, dan iklan dengan klaim berlebihan.
Pengawasan terhadap peredaran produk kosmetik dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari informasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Indonesia mengatur sanksi pidana bagi pelaku usaha yang melakukan kecurangan atau tidak memenuhi persyaratan terkait produk kosmetik yang berbahaya. Sanksi ini meliputi pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp. 1.000.000.000,00.
2. Pelaku usaha yang tidak memiliki izin edar untuk produk kosmetik juga dapat dijerat dengan sanksi pidana, dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp. 1.500.000.000,00.
3. Konsumen yang mengalami kerugian akibat pemalsuan produk kosmetik berbahaya dapat mengajukan pengaduan melalui Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK). Pengaduan tersebut akan ditindaklanjuti oleh Badan POM berdasarkan peraturan yang berlaku.
4. Badan POM bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha yang memproduksi, menjual, dan mengedarkan produk kosmetik yang legal. Pengawasan ini mencakup penilaian mutu dan keamanan sebelum produk dipasarkan, inspeksi sarana produksi dan distribusi, pemantauan efek samping, pengawasan iklan, serta edukasi masyarakat dan pemberian peringatan publik.
5. Produk kosmetik harus mencantumkan tanggal kadaluarsa, kecuali jika digunakan dalam pengobatan oleh dokter ahli. Produk kosmetik harus memiliki izin edar dari Badan POM sebelum dijual atau dipasarkan secara bebas. Produk kosmetik tanpa izin edar memiliki ciri-ciri tertentu seperti pengiriman melalui jasa ekspedisi, pembelian dalam jumlah besar yang mencurigakan, dan iklan dengan klaim yang berlebihan.
6. Pengawasan terhadap peredaran produk kosmetik dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia.
Kesimpulan tersebut menekankan pentingnya kepatuhan terhadap persyaratan dan regulasi terkait produk kosmetik, serta perlindungan konsumen dari produk kosmetik yang berbahaya.
Agus, Panji Adam. (2017). Kedudukan sertifikasi halal dalam sistem hukum nasional sebagai upaya perlindungan konsumen dalam hukum Islam. Amwaluna: Jurnal Ekonomi Dan Keuangan Syariah, 1(1), 149–165.
Dominika, Novel, & Hasyim, Hasyim. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Penjualan Kosmetik Berbahaya Di Indonesia: Suatu Pendekatan Kepustakaan. Niagawan, 8(1), 60–67.
Gegen, Gerardus, & Santoso, Aris Prio Agus. (2022). Perlindungan Hukum Tenaga Kesehatan di Masa Pandemi Covid-19. QISTIE, 14(2), 25–38.
Ghoni, Mahendra Ridwanul, & Pujiyono, Pujiyono. (2020). Perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui implementasi diversi di indonesia. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 2(3), 331–342.
Nasution, Bahder Johan. (2014). Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan Dari Pemikiran Klasik Sampai Pemikiran Modern. Yustisia Jurnal Hukum, 3(2).
Nuarini, Ni Nyoman Pitri. (2019). PERLIDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN YANG DIRUGIKAN AKIBAT PEMAKAIAN OBAT PEMUTIH YANG TIDAK TERDAFTAR DI BPOM. Universitas Udayana, Denpasar.
Putri, Rowina Kartika, & Muid, Dul. (2017). Pengaruh good corporate governance terhadap kinerja perusahaan. Diponegoro Journal of Accounting, 6(3), 84–92.
Ramadhan, Fathurian. (2022). Perlindungan Hukum Bagi Member Sj Travel Pass Terhadap Perjanjian Baku Dalam Program Keanggotaan Khusus Jasa Angkutan Penerbangan (Studi Kasus Sriwijaya Travel Pass)”. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rangga, Galih Setyo, & Ayuni, Sinda Eria. (2022). KEPASTIAN HUKUM PUTUSAN PEMIDANAAN YANG TIDAK BERDASARKAN SURAT DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM. Jurnal Magister Hukum Perspektif, 13(2), 32–41.
Sagita, Alda Meydiyana, & Saputra, Arikha. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Makanan Impor Tanpa Izin Edar Yang Dijual Melalui Aplikasi Shopee. Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum, 6(1), 73–88.
Sari, Nabila, & Tan, Winsherly. (2021). ANALISIS HUKUM PRODUK KOSMETIKA YANG DI IMPOR UNTUK DIGUNAKAN SECARA PRIBADI OLEH KONSUMEN. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 9(3), 959–973.
Soemarwi, Vera Wheny Setijawati, & Ridzkia, Yudith. (2023). PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN KOSMETIK PALSU BERDASARKAN UU NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERATURAN BPOM NOMOR 23 TAHUN 2019. JURNAL RECTUM: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana, 5(1), 995–1010.
Suhadi, Endi, & Fadilah, Ahmad Arif. (2021). Penyelesaian Ganti Rugi Akibat Wanprestasi Perjanjian Jual Beli Online Dikaitkan Dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Jurnal Inovasi Penelitian, 2(7), 1967–1978.
Wahyuningtyas, Adelia. (2021). Analisis Sad Al-Dhari’ah dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 terhadap jual beli Skincare Share In Jar di Online Shop@ share_skincarekediri. UIN Sunan Ampel Surabaya.
Winata, Melina Gabrila. (2022). Perlindungan Hukum Bagi Korban Pengguna produk KOsmetik Ilegal Berbahaya. SAPIENTIA ET VIRTUS, 7(1), 34–43.
Copyright holder: Erika Aurellya Eryansyah, Hanafi Tanawijaya (2023)
|
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
|
This article is licensed under: |