Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesiap�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

SISTEM PENGGAJIAN DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAHAAN GURU DI PONDOK PESANTREN AL-MISHBAH KABUPATEN MUARO JAMBI

 

Ahmad Ridwan, Satya Wiranata, Joni Aprianda

Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

E-mail: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Tulisan ini menjelaskan tentang apa saja kebijakan terkait dengan pembiayaan pendidikan di lembaga pendidikan Islam, salah satunya di Pondok Pesantren. Pondok Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam untuk mempelajari segala sesuatu tentang Agama Islam secara mendalam. Saat ini, Pembiayaan pondok pesantren dapat diperoleh dari banyak pihak, antara lain pemerintah, orang tua santri, masyarakat dan dunia usaha. Dari sumber pendanaan tersebut, pesantren memiliki akses dana reguler dan otomatis yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pendidikan dan pengembangan pesantren. Penulis juga melakukan studi kepustakaan dengan mengkaji berbagai buku, jurnal dan Karya-karya lain yang barkaitan dengan permasalahan kebijakan pembiayaan pendidikan di pesantren guna menyempurnakan penelitian.

 

Kata Kunci: Kebijakan, Pembiayaan Pendidikan, Pondok Pesantren, Lembaga Pendidikan Islam

 

Abstract

This paper explains what policies are related to financing education in Islamic educational institutions, one of which is Islamic boarding schools. Islamic Boarding School is one of the Islamic educational institutions to learn everything about Islam in depth. The author wants to examine how the financing policies at Islamic boarding schools, from the acquisition to the use of these funds. Currently, funding for Islamic boarding schools can be obtained from many parties, including the government, parents of students, the community and the business world. From these funding sources, Islamic boarding schools have access to regular and automatic funds that can be used to finance Islamic boarding school education and development activities. The author also conducts a literature study by reviewing various books, journals and other works related to the problem of education financing policies in Islamic boarding schools in order to perfect the research.

 

Keywords : Policy, Financial Education, Islamic Boarding School.

 

Pendahuluan

Desentralisasi pendidikan merupakan peluang untuk meningkatkan kualitas kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dengan kata lain, ini adalah kesempatan untuk mengembangkan mutu pendidikan di setiap daerah. Hal ini menyangkut tentang peningkatan kualitas guru, peningkatan kualitas manajemen kepala sekolah, meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan, serta pembiayaan pendidikan akan lebih baik jika dikelola oleh penanggung jawab pendidikan di daerah. Pada akhirnya, tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan (Made Salhu, 2020)

Saat ini, dunia pendidikan menjadi faktor penentu kemajuan suatu negara. oleh karena itu, Guru, Biaya, sarana pendukung ataupun mutu pendidikan sangat menentukan, karena pendidikan merupakan kunci untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Hal ini membutuhkan upaya yang luar biasa dari dunia pendidikan agar tenaga kerja yang mengacu pada tenaga pasar global dapat bersaing dalam persaingan internasional (A. Rusdiana, 2019).

Seperti yang dijelaskan oleh Mu�alimin dan Hambali (2020), Pengelolaan pembiayaan madrasah yang ideal harus berdasarkan prinsip transparansi, efisiensi dan akuntabilitas. Selain itu, madrasah harus memiliki sumber biaya atau dana yang tetap, berkembang, dan berkesinambungan dan penggunaannya disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan program pendidikan yang sedang berjalan.

Menurut Fadjar (1998) yang dikutip oleh Widodo dan Nurhayati (2020) menyebutkan bahwa keberadaan lembaga pendidikan Islam, baik itu pondok pesantren, madrasah, sekolah, ataupun perguruan tinggi, baik secara tersendiri ataupun secara bersama-sama masih jauh dari yang diharapkan. Realita pahit ini dilatari dari kurangnya kesadaran masyarakat, khususnya dari kalangan menengah ke atas, untuk menyekolahkan anak-anaknya di lembaga pendidikan Islam. lembaga pendidikan Islam dirasa belum mampu memfasilitasi kepentingan dan tuntutan masyarakat sehubungan dengan perkembangan anak didik untuk menyiapkan hidupnya di masa depan. Sebagian besar orang tua siswa madrasah berasal dari kategori menengah ke bawah. Kalaupun ada masyarakat dari kategori menengah ke atas, jumlahnya tidak cukup signifikan untuk menunjang pembiayaan Madrasah.

Hadirnya pesantren dalam berbagai situasi dan kondisi hampir dapat dipastikan bahwa lembaga pendidikan ini, meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana dan karekteristik yang beragam, tidak akan pernah mati. Begitupun seluruh komponen yang ada didalamnya seperti pimpinan pesantren atau sering disebut sebagai kyai serta para asatidz dan seluruh santri senantiasa mengabdikan diri mereka terhadap kelangsungan pondok pesantren. Tentu hal ini tidak dapat diukur dengan standar sistem pendidikan modern dimana tenaga pengajarnya dibayar dalam bentuk materi karena jerih payahnya. Saat ini, pondok pesantren sudah banyak bertransformasi menjadi Pondok Pesantren Modern yang berupaya memadukan tradisionalitas dengan modernitas salah staunya yaitu sistem pembelajaran kitab kuning secara formal di dalam kelas. Ilmu agama dan ilmu umum sama-sama diajarkan namun lebih didominasi oleh ilmu agama. Manajemen atau administrasinya dikelola dengan tertib dan rapih, penekanan bahasa arab dan inggris dalam percakapan sehari-hari, serta lulusan pondok pesantren modern diberikan ijazah yang sama dengan sekolah umum yaitu ijazah negeri (Anisa Wahyuni, M ., et al, 2021).

Pembiayaan pondok pesantren dapat diperoleh dari banyak pihak, antara lain pemerintah, orang tua santri, masyarakat dan dunia usaha. Dari sumber pendanaan tersebut, pesantren memiliki akses dana reguler dan otomatis yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pendidikan dan pengembangan pesantren (Tirta Yogi, 2020).

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan tentang apa saja kebijakan terkait dengan pembiayaan pendidikan di lembaga pendidikan Islam, salah satunya di Pondok Pesantren.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan literatur review. Literatur review adalah sebuah metode yang sistematis, eksplisit dan reprodusibel untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan sintesis terhadap karya-karya hasil penelitian dan hasil pemikiran yang sudah dihasilkan oleh para peneliti dan praktisi. Langkah dalam penulisan literatur review ini diawali dengan pemilihan topik. Melakukan penelusuran pustaka atau sumber untukmengumpulkan informasi yang relevan dari database Google Scholar, CINAHL, Proquest, Ebsco, atau Perpustakaan Nasional. Menentukan keyword atau kata kunci untuk pencarian jurnal. Setelah data terkumpul kemudian diolah, dianalisis dan diambil kesimpulan.

 

Hasil dan Pembahasan

1.    Konsep Pesantren

Pesantren adalah lembaga pendidikan islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Agama Islam (Tafaqquh fiddin) yang menekankan moralitas Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Secara bahasa, Istilah pesantren berasal dari kata santri dengan awana �pe� dan diakhiri dengan akhiran �an� yang berarti tempat tinggal santri. Kata �Santri� juga merupakan gabungan antara suku kata sant (Manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat dipahami sebagai tempat untuk mendidik manusia yang baik (Hadi Purnomo, 2017).

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia yang telah ada sejak sekitar abad ke-13 Masehi. Pesantren merupakan sarana yang mempelajari ilmu-ilmu agama Islam dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan menekankan pada aspek moral dalam kehidupan bermasyarakat. 

Dalam konteks Islam, pesantren pada hakekatnya merupakan sistem pendidikan yang berakar pada agama Hindu, yang juga mengikuti kehidupan yang unik yang bisa kita dari perspektif Lahiriah. Pesantren merupakan sebuah komplek dengan lokasi yang seringkali terpisah dari kehidupan sekitarnya (Muwaldi Shulhan & Shoim, 2013). 

Pesantren sebagai tempat kajian keislaman memiliki potensi yang lebih besar untuk menghasilkan individu-individu dengan memiliki keislaman yang baik. Disebutkan dalam buku terbitan Departemen Agama RI (2003) tentang Pola Pengembangan Pondok Pesantren, dijelaskan secara lengkap bahwa potensi pondok pesantren antara lain sebagai berikut :

a.       Jumlah yang sangat besar. Jumlah pondok pesantren yang sangat besar merupakan potensi kuantitatif yang dapat ditingkatkan menjadi sumber daya yang sangat penting bagi perkembangan lembaga itu sendiri dan masyarakat. Jumlah yang sangat besar ini menunjukkan pada peran besar pondok pesantren dalam menciptakan �generasi emas� yang tidak diragukan lagi dalam hal kekuatan Imtaq dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologinya serta dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan agama yang plural ini.

b.      Mengakar dan disetujui oleh masyarakat. Pesantren adalah lembaga berbasis pada masyarakat, sehingga keterikatan Pesantren dengan masyarakat sangat penting untuk kelangsungan hidup kehidupan pesantren saat ini. Keterikatan ini menjadikan lembaga ini sebagai lembaga yang berakar secara sosial. Apalagi, daya tarik kiai adalah di mana kepercayaan publik diletakkan.

c.       Waktu yang fleksibel. Berbeda dengan lembaga pendidikan formal lainnya, pesantren memiliki grafik belajar yang cukup panjang bahkan dapat dikatakan selama 24 jam sehari. Dengan demikian, fokus siswa pada pembelajaran dan pengembangan dilakukan secara terpadu.

d.      Merupakan lembaga yang maju dan berkarakter. Dengan menitikberatkan pada pendidikan agama dan kehidupan asrama, pesantren telah berkembang menjadi lembaga pembentukan karakter dimana mereka belajar bertanggung jawab dengan mengurus diri sendiri, belajar untuk hidup berdampingan dengan orang lain (Widodo & Nurhayati, 2020)

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berakar kuat (indigenous) dalam masyarakat muslim Indonesia, yang dalam perjalanannya dapat menjaga dan memelihara eksistensinya (survival system) dan memiliki model pendidikan yang multiaspek. Santri tidak hanya dididik untuk berilmu dalam ilmu agama, tetapi juga diberkahi dengan bawaan kepemimpinan, kemandirian, kesederhanaan, ketekunan, kebersamaan, kesetaraan, dan sikap-sikap positif lainnya. Pendanaan ini akan mewujudkan masyarakat yang berkualitas dan mandiri sebagai bentuk partisipasi aktif dalam pencapaian tujuan pembangunan nasional dan berperan aktif dalam pendidikan negara, sesuai persyaratan laporan UUD 1945 (Al Furqon, 2015)

2.    Pembiayaan Pendidikan

Sebelum membahas mengenai Pembiayaan pendidikan, terlebih dahulu akan diuraikan apa itu Pembiayaan. Sebelumnya, diketahui bahwa Pengelolaan keuangan tidak pernah lepas dari yang namanya pembiayaan. Pembiayaan adalah pengeluaran keuangan untuk suatu lembaga, baik itu lembaga pemerintah maupun swasta. Konstitusi amandemen Undang-Undang Dasar 1945 menginstruksikan bahwa pemerintah wajib mengalokasikan biaya pendidikan senilai 20% dari APBN dan 20% dari APBD selain gaji guru agar mutu dan pemerataan pendidikan dapat lebih ditingkatkan. Pelaksaan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 berimplikasi pada perlunya menyusun standar pembiayaan yang meliputi standarisasi komponen biaya pendidikan meliputi biaya operasional, biaya investasi dan biaya pribadi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa standar biaya untuk satuan pendidikan ini ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan rekomendasi dari Badan Nasional Satuan Pendidikan (BSNP) (Hasbiyallah & Mahlil, 2019).

Kata biaya dalam pendidikan, jika diterapkan adalah suatu proses, maka disebut pembiayaan. Menurut kaidah Bahasa Indonesia, kata dasar biaya ditambah awalan pe dan akhiran an. Menjelaskan tentang biaya pendidikan, dalam pikiran manusia, mestinya mengarah pada barang dan jasa tertentu yang penting bagi proses pendidikan itu sendiri (Arwildayanto, 2017)

Pembiayaan pendidikan adalah uang yang dihasilkan dan dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan diantaranya gaji guru, peningkatan profesionalisme guru, pengadaan fasilitas ruang belajar, memperbaiki ruang kelas, membeli peralatan, buku pelajaran, Perlengkapan dan alat tulis kantor, pendukung kegiatan ekstrakurikuler, pengelolaan pendidikan, dan supervisi pendidikan (Saifullah Isri, 2021).

Pembiayaan pendidikan juga merupakan kegiatan yang berkenaan dengan perolehan dana atau biaya pendapatan dan penggunaan data tersebut digunakan untuk mendanai semua program pendidikan yang ditetapkan. Sumber dana atau pendapatan yang diterima sekolah adalah dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja daerah (APBD), dan dari masyarakat atau orang tua (Mohammad Rojii., et al, 2020).

Keterkaitan pendidikan dengan ekonomi makro berimplikasi pada kebijakan pembiayaan pendidikan. Pada awal perkembangan Islam, Rasulullah SAW. dan empat khalifah lainnya mengambil dua kebijakan ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, yakni (1) mendorong masyarakat untuk memulai kegiatan ekonomi, baik secara sendiri maupun bekerjasama dengan yang lainnya tanpa biaya dari baitul mal, dan (2) kebijakan ekonomi dengan mengeluarkan dana dari baitul mal untuk membantu perekonomian masyarakat (Jumira & Sumarto, 2022).

Jadi, menurut analisa penulis terkait dengan perihal pembiayaan pendidikan, pembiayaan pendidikan adalah kegiatan perolehan dana atau biaya yang digunakan untuk membiayai dan memfasilitasi semua program pendidikan di suatu lembaga pendidikan.

3.    Pembiayaan Pendidikan Di Pondok Pesantren di Indonesia dan Kebijakannya

Didalam Jurnal Rida Fironika K. menjelaskan bahwa kalau dilihat dari jatah yang disediakan bagi pendidikan dasar, Perguruan tinggi berperan dalam memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), serta peningkatan mutu pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi, yang semuanya dijadikan wilayah tanggung jawab oleh pemerintah dan yang mengelolanya adalah Departemen Pendidikan Nasional, hanya disediakan anggaran bagi Depdiknas yang jauh dari kata cukup, justru hanya terpenuhi untuk keperluan kebutuhan penyelenggaraan pendidikan dasar yang wajib pun kurang. Artinya, tanggung jawab konstitusional pemerintah untuk melaksanakan Pasal 31 Ayat 1, Pasal 31 Ayat 2, Pasal 31 Ayat 3, dan Pasal 31 Ayat 5 tidak dapat dilaksanakan (Rida Fironika Kusuma Dewi, 2015).

J. Wiseman dalam Rosita, T., Nasoha, M., & Isman, S.M. tahun 2013, menjelaskan ada tiga aspek yang perlu dikaji dalam melihat apakah pemerintahan perlu terlibat dalam masalah pembiayaan pendidikan 1) kebutuhan dan ketersediaan pendidikan terkait dengan sektor pendidikan dapat dianggap sebagai salah satu alat perdagangan dan kebutuhan akan investasi dalam sumber daya manusia/human capital; 2) pembiayaan pendidikan terkait dengan hak orang tua dan murid untuk memilih menyekolahkan anaknya ke pendidikan yang akan berdampak pada social benefit secara keseluruhan; 3) pengaruh faktor politik dan ekonomi terhadap sektor pendidikan.

Seperti yang dijelaskan oleh Arwildayanto, Latamenggo, dan Sumar menyebutkan bahwa, Setiap kebijakan pembiayaan akan mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Mencermati berbagai peraturan dan kebijakan di bidang pendidikan, dapat kita lihat implikasinya terhadap pembiayaan pendidikan, yaitu :

a.       Sasaran pendidikan, tentang siapa yang akan dididik dan jumlah layanan pendidikan yang dapat diberikan.

b.      Proses pendidikan, tentang bagaimana mereka akan dididik

c.       Tanggung jawab terkait dengan siapa yang akan membiayai pendidikan,

d.      memutuskan tentang jenis mekanisme pembiayaan pendidikan yang paling tepat untuk mendukung pembiayaan lembaga pendidikan.

Mencermati statement tersebut, ada dua hal utama yang perlu ditekankan, yaitu : Pertama, bagaimana sumber daya pendidikan akan didapatkan, Kedua, bagaimana sumber daya pendidikan akan dialokasikan ke berbagai jenis dan tingkat pendidikan/jenis sekolah/kondisi daerah. Ada dua kriteria untuk menganalisisnya, yaitu Pertama, efisiensi terkait dengan adanya sumber daya yang dapat memaksimalkan kesejahteraan subyek pendidikan dan Kedua, pemerataan terkait dengan keseimbangan pendidikan, keseimbangan antara manfaat dan biaya (Arwildayanto, 2020)

Kebijakan pembiayaan pendidikan dinilai sangat penting untuk meningkatkan mutu, baik fisik maupun non fisik, baik sekolah dibawah naungan Kementerian Agama ataupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 ini berusaha menempatkan madrasah dengan sekolah umum termasuk dalam perlakukan anggarannya. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 ini, pesantren juga dinyatakan sebagai bagian dari subsistem pendidikan nasional.

Saat ini, lembaga pendidikan Islam mendapat perhatian khusus daripemerintah terkait pembiayaan pendidikan dengan nominal yang cukup signifikan. Di samping itu, madrasah dan pesantren juga didorong untuk mengelola pembiayaan pendidikannya yang berbasis madrasah dan pesantren. Pendekatan ini mencakup tiga kegiatan utama yang harus diusahakan oleh para pengelola lembaga pendidikan Islam yaitu perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pertanggungjawaban. Sumber pendanaan pendidikan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003berasal dari pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pengelolaan danapendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (M, Hanif Satria Budi, 2020).

Salah satu bagian terpenting dari manajemen pesantren adalah yang berhubungan dengan manajemen keuangan pesantren. Dalam manajemen keuangan, akan menyebabkan masalah serius jikalau manajemennya tidak baik. Manajemen keuangan pesantren yang baik pada hakikatnya merupakan usaha melindungi petugas personil pengawas pesantren, diantaranya Kiai, Pengasuh, Ustadz, atau pengurus pesantren lainnya. Dari pandangan yang kurang bagus dari luar pesantren, sampai saat ini, banyak pesantren yang tidak memisahkan antara harta kekayaan dan harta individu, meskipun diyakini bahwa pembiayaan pesantren justru lebih banyak bersumber dari kekayaan individu. Namun, dalam rangka penerapan manajemen yang baik, sebaiknya diadakan pemilahan antara harta kekayaan dengan harta individu, agar kelemahan dan kekurangan pesantren bisa diketahui secara transparan oleh pihak lain, termasuk orang tua santri (Salhu, 2020).

Pesantren sebagai lembaga non formal dan juga lembaga keagamaan. Selama ini, pembiayaan di bidang pendidikan pesantren dapat diperoleh dari swadaya pemerintah yaitu Kementerian Agama, Link Kementerian Agama, lembaga daerah dan lembaga otoritas lainnya. karena ketertarikan pesantren ini didasari dengan keterlibatan pemerintah dalam memajukan pondok pesantren dengan perbedaannya yang khas (Salhu, 2019).

Keberadaan pesantren sebagai bagian dari partisipasi masyarakat dalam pendidikan juga mendapat penguatan dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Pasal 54 yang menjelaskan bahwa :

a.       Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam mpenyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.

b.      Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.

Pesantren sebagai lembaga nonformal umumnya memiliki keterbatasan dalam sumber pembiayaan. Hal yang belum terpenuhi di lingkungan pesantren diantaranya peningkatan kualitas pendidikan, kemandirian dalam pembiayaan, dan pemerataaan kesempatan menjadi sangat minim. Keterbatasan anggaran berdampak pada rendahnya mutu pendidikan pesantren. Pesantren telah masuk dalam kebijakan Pemerintah dengan dimuat pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 30 dan telah diatur dalam PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan dan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Peraturan perundang-undangan yang berlaku telah mengatur tentang penyediaan dana pendidikan dan tanggung jawab pendanaan pendidikan. Dalam UU tahun 2003, No. 20 bab 13 Pasal 46 ayat 1, tentang tanggung jawab pendanaan menjelaskan mengatur Pendanaan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakatKemudian dalam ayat pertama dan kedua pada Pasal 47 tentang sumber dana pendidikan mengatur: �Sumber dana Pendidikan ditentukan berdasarkan asas keadilan, memadai, dan berkelanjutan (Khambali et al., 2021).

 

Kesimpulan

Konsep tentang pembiayaan pendidikan sudah menjadi kewajiban untuk membentuk pendidikan yang baik dan berkualitas, baik itu lembaga pendidikan umum maupun di lembaga pendidikan Islam, termasuk juga dalam hal ini adalah Pesantren. Saat ini, Pesantren sudah masuk ke dalam kebijakan Pemerintah dengan dimuat dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 30 dan sudah diatur dalam PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan dan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Pemerintah harus terlibat dalam masalah pembiayaan pendidikan, karena pemerintah berperan krusial untuk memenuhi kebutuhan dan ketersediaan pendidikan terkait dengan sektor pendidikan dapat dianggap sebagai salah satu alat perdagangan dan kebutuhan akan investasi dalam sumber daya manusia.

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Arwildayanto, Nina Lamatenggo, dan Warni Tune Sumar. Manajemen Keuangan dan Pembiayaan Pendidikan.

 

Aulia, Tirta Yogi, dan Muhammad Syafri. �Manajemen Pembiayaan Pendidikan Pesantren.� Pesantren 1 (2022).

 

Budi, M. Hanif Satria. �Analisis Sistem Pembiayaan Pendidikan yang dikelola Kementerian Agama.� SALIMIYA : Jurnal Studi Ilmu Keagamaan Islam 1, no. 2 (2020).

 

Dewi, Rida Fironika Kusuma. �Pembiayaan Pendidikan di Indonesia.� Pendidikan Dasar 2 (2015).

 

Furqan, Al. Konsep Pendidikan Islam Pondok Pesantren Dan Upaya Pembenahannya. Padang: UNP Press, 2015.

 

Hambali, Muh., dan Mu�alimin. Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer. Yogyakarta: IRCiSoD, 2020.

 

Hasbiyallah, dan Mahlil Nurul Ihsan. Administrasi Pendidikan Perspektif Ilmu Islam. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2019.

 

Isri, Saifullah. Kebijakan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Semesta Aksara, 2021.

 

Khambali, Mumu, Mohamad Erihadiana, dan Muhibbin Syah. �Manejemen Pembiayaan Pendidikan Pondok Pesantren Berbasis Kewirausahaan di Pondok Modern Cordoba.� Ta�dib 10, no. 2 (2021): 341�352.

 

Purnomo, Hadi. Manajemen Pendidikan Pondok Pesantren. Bantul: Bildung Pustaka Utama, 2017.

 

Rojii, Mohammad, Priyo Nurdiyan, An�nur Ridwan P, Annisa Nur Islamiar, Nony Anggraeni, Suci Wulandari, Renny Oktafia, Hidayatullah, dan Eni Fariyatul Fahyuni. Buku Ajar Konsep Pembiayaan Pendidikan Islam. Sidoarjo: UMSIDA PRESS, 2020.

 

Rusdiana, A. Manajemen Pembiayaan Pendidikan : Filosofi, Konsep, dan Aplikasi. Bandung: Pusat Penelitian Penerbitan UIN SGD Bandung Tresna Bhakti Press, 2019.

 

Salhu, Made. Manajemen Berbasis Sekolah, Madrasah, dan Pesantren. Tangerang Selatan: Yapin An-Namiyah, 2020.

 

Shulhan, Muwahid, dan Soim. Manajemen Pendidikan Islam : Strategi Dasar Menuju Peningkatan Mutu Pendidikan Islam. Yogyakarta: TERAS, 2013.

 

Wahyuni, Anisa, M. Ihsan Alhusaeni Hijaz, dan Irawan. �Tata Kelola Pembiayaan Pendidikan di Pesantren Modern.� Evaluasi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 5, no. 1 (2021).

 

Warlizasusi, Jumira, dan Sumarto dkk. Analisis Kebijakan Pendidikan Islam. Bengkulu: Literasiologi, 2022.

 

Widodo, Hendro, dan Etyk Nurhayati. Manajemen Pendidikan Sekolah, Madrasah, dan Pesantren. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2020.

 

Copyright holder:

Ahmad Ridwan, Satya Wiranata, Joni Aprianda (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: