Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMILIK HAK ATAS MEREK TERKAIT PERDAGANGAN BARANG PALSU DI LAPANGAN

 

Indah Maria Maddalena Simamora, Gunardi Lie, Moody Rizqy Syailendra Putra

Jurusan Hukum, Universitas Tarumanagara Jakarta, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Adanya merek diharapkan menjadi pembeda antara produk merek ini dengan produk merek pesaing. Besarnya persaingan dalam perdagangan yang tidak sehat, pencipta dan penjual barang palsu atas barang merek terkenal di pasaran, Negara memberikan hak eksklusif kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Perlindungan merek diciptakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran merek terhadap para pemilik hak atas merek yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hak atas merek tersebut. Perlindungan hukum bagi pemilik merek yang sah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang dimaksudkan untuk memberikan hak yang sifatnya khusus (eksklusif) bagi pemilik merek (exclusive right). Apabila suatu merek sudah terdaftar, maka hak atas merek tersebut harus mendapat perlindungan hukum baik secara hukum pidana maupun hukum perdata. Setiap yang melakukan pelanggaran hak atas merek dalam meniru, menciptakan barang palsu merek terkenal, dan menjual barang tiruan tersebut akan mendapatkan sanksi baik sanksi pidana, perdata maupun administrasi.

 

Kata Kunci: Perlindungan; Merek; Barang Palsu.

 

Abstract

The existence of a brand is expected to be a differentiator between this brand's products and competitors' brand products. The amount of competition in unfair trade, the creators and sellers of counterfeit goods for well-known brand goods on the market, the State gives exclusive rights to Mark owners registered in the General Register of Marks for a certain period of time by using the Mark themselves or giving permission to other parties to use it . Brand protection was created to prevent trademark infringement against owners of trademark rights by parties who do not have rights to the trademark. Legal protection for legal brand owners is regulated in Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications which is intended to provide special (exclusive) rights for brand owners (exclusive rights). If a mark has been registered, then the right to the mark must receive legal protection both in criminal law and civil law. Anyone who violates trademark rights in imitating, creating counterfeit goods from famous brands, and selling such counterfeit goods will be subject to criminal, civil and administrative sanctions.

 

Keywords: Protection; Brand; Counterfeit Goods.

 

Pendahuluan

Dalam Era Globalisasi ini, manusia cenderung ingin bekerja sendiri tanpa dibawah tekanan. Dengan adanya pemikiran menghasilkan uang dengan cara berbisnis, masyarakat Indonesia banyak terjun dalam dunia perdagangan, salah satunya menjual belikan barang palsu dengan merek terkenal (Harahap, 2018). Di era zaman yang sangat maju ini, barang-barang mewah dengan brand terkenal dari luar negeri dapat dikatakan cenderung menjadi kebutuhan untuk kalangan masyarakat (Humaira & Fitriani, 2021). Banyak masyarakat yang ingin tampil modis dengan menggunakan barang-barang brand terkenal, seperti sepatu, tas, baju dan sebagainya (Purnama & Soraida, 2018). Karena harga barang merek tersebut dapat dikatakan mahal dan tidak terjangkau, banyak masyarakat rela untuk membeli barang palsu tiruan merek tersebut untuk memenuhi gaya hidup dalam dunia fashion (Apriyanti, 2013). Hal inilah yang menyebabkan masyarakat lebih banyak memilih untuk membeli barang tiruan atau KW tersebut dibandingkan produk lokal buatan Indonesia (Iqbal & Adli, 2020).

Seiring berjalannya waktu, barang-barang palsu dengan berbagai merek terkenal ini, sudah beredar dan dijual belikan di Indonesia (Bulqis et al., 2019). Barang-barang tersebut diperjual-belikan dengan harga yang jauh dibawah harga aslinya (Munthe & Harahap, 2023). Tidak lagi disembunyikan, sudah banyak yang menjual barang palsu tersebut di pinggiran jalan, pasar modern, bahkan di e-Commerce sekalipun sudah banyak beredar bisnis barang KW. Tidak hanya itu, ada suatu pasar modern di Jakarta yang merupakan pusat jual beli barang merek tiruan yang tidak pernah diberi peringatan oleh pemerintah tentang perlindungan hak merek (Ardila, 2019).

Karena gaya hidup dan konsumsi masyarakat akan produk barang dengan brand terkenal, inilah yang menyebabkan peluang untuk industri dan perusahaan di Indonesia untuk memproduksi dan menghasilkan barang-barang tersebut dengan cara membuat barang tiruan yang serupa dengan barang aslinya atau melakukan impor barang tiruan tersebut dari luar negeri yang juga menghasilkan produk tiruan, dan menjualnya ke kalangan masyarakat dengan harga yang tidak masuk akal dari harga aslinya (Nurikhsan, 2019). Namun sering terjadi dalam dunia transaksi online, kadang konsumen tidak cermat dalam pembelanjaan online (Natih & Griadhi, 2019). Konsumen tergiur dengan harga yang lebih murah untuk membeli barang asli, ternyata malah mendapatkan paslu. Sebagai konsumen, untuk membeli suatu barang khususnya barang asli bermerek, harus cermat dalam bertransaksi agar tidak mudah tertipu (Budaya, 2019).

Saat ini sangat mudah untuk mendapatkan barang dengan merek terkenal tanpa melihat barang itu asli atau tidak (Natih & Griadhi, 2019). Banyak penjual yang kita temui menjual barang merek terkenal tersebut tanpa sepengetahuan pemilik merek aslinya (Bukit et al., 2022). Dalam hal tersebut mungkin pedagang mendapatkan keuntungan karena barang palsu merek terkenal banyak laku dan banyak dibeli oleh masyarakat (Margaret & Esa, 2022). Sedangkan karena hal itu, pemilik merek dan konsumen yang membeli barang aslinya pasti merasa dirugikan karena beredarnya pedagang yang menjual barang-barang palsu tersebut kepada konsumen yang ingin terlihat modis di lingkungannya (Rahmahidayani, 2016).

Terhadap persoalan penggunaan hak merek, Hak Kekayaan Intelektual didefinisikan sebagai hak untuk memperoleh perlindungan hukum atas kreativitas yang dituangkan menjadi kekayaan intelektual yang mencakup merek dagang, paten, hak cipta yang dimiliki oleh seseorang, kelompok maupun perusahaan (Sinaga, 2020). Pada dasarnya tujuan diadakannya hak kekayaan intelektual adalah untuk dapat mendorong kreativitas, penemuan, ide pemikiran dan inovasi di masyarakat agar dapat terus berkembang (Simatupang, 2017).

Seorang maupun sekelompok pencipta Hak Kekayaan Intelektual pasti membutuhkan pemikiran, waktu, tenaga, bakat bahkan uang yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu inovasi yang dijadikan kekayaan intelektual (Rizkia & Fardiansyah, 2022). Jika tidak ada perlindungan atas karya yang diciptakan, maka tiap orang dapat meniru dan menciplak hasil pemikiran orang yang pertama kali menciptakan dan siapapun secara bebas memiliki hak milik orang lain tanpa batas yang mengakibatkan tidak adanya insentif bagi penemu atau pencipta untuk mengembangkan kreasi-kreasi baru (Mahadewi et al., 2022). Meskipun sudah adanya perlindungan secara hukum untuk hak kekayaan intelektual dalam hukum yang tertulis yaitu undang � undang, masih saja banyak yang meniru dan menjual produk milik orang lain dengan bebas dan luas (Ningsih & Maharani, 2019). Hal tersebut bukan hanya tidak menghormati kreativitas orang lain, tetapi merugikan untuk pihak yang menjadi pencipta suatu produk tersebut (Darwanto, 2013). Sudah adanya perlindungan hukum atas hak kekayaan intelektual saja masih banyak terjadi hal seperti ini, apalagi tanpa adanya hokum (Alfons, 2017).

Merek adalah suatu nama, tanda, logo, atau lambang dari barang atau jasa yang menjadi produk dari seorang atau sekelompok penjual dan diharapkan karena adanya merek, hal tersebut menjadi pembeda antara produk merek ini dengan produk merek pesaing (Wilujeng & Edwar, 2014). Perlindungan hukum atas hak merek diatur Undang � Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Rifai, 2016). Tentang perlindungan hukum atas merek yang telah terdaftar diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan telah diganti menjadi Undang � Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Rifai, 2016). Dalam UU Merek dan Indikasi Geografis, sasaran pembinaannya tertuju kepada penjual barang palsu bermerek, dapat diperhatikan dalam Pasal 100 dan 102 UU 20/2016 yang berfokus pada hukuman pidana terhadap setiap orang yang memperdagangkan barang atau jasa yang tanpa hak menggunakan hak merek tersebut untuk ditiru bahkan untuk diperdagangkan.

Agar dapat ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang atas penjualan produk atau barang palsu ini, pihak yang merasa dirugikan atau sipemilik hak merek tersebut harus membuat aduan kepada pihak yang berwenang. Bukan hanya merasa dirugikan atas hak mereknya, tetapi pemilik hak merek harus benar-benar terbukti memiliki hak merek tersebut untuk mendapatkan perlindungan secara hukum. Merek yang sah atau merek yang terdaftar harus dilindungi Negara melalui Undang-Undang dari pihak-pihak yang merugikan.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan yang dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang terkait dengan isu hukum yang terjadi. Teknik pengumpulan data adalah proses penting dalam suatu penelitian karena tujuan utama penelitian adalah mendapatkan data yang andal. Dalam penelitian ini, Teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain, Library research, yaitu studi kepustakaan. Metode kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan cara membaca buku-buku atau majalah dengan sumber data lainnya dalam perpustakaan. Internet searching adalah proses pencarian data melalui media internet untuk memperoleh informasi berdasarkan referensi, jurnal, artikel ataupun perundangundangan secara online yang berkaitan objek penelitian.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Negara Harus Melindungi Merek Yang Terdaftar Secara Hukum

Negara Indonesia adalah negara hukum yang bertujuan untuk menegakkan supremasi hukum dalam penegakan kebenaran dan keadilan serta mempertanggungjawabkan setiap kekuasaan yang ada. Negara wajib melindungi setiap produk atau inovasi intelektual yang diciptakan seseorang maupun kelompok dari kerugian secara hukum. Khususnya perlindungan hukum terhadap merek yang sudah terdaftar. Dengan adanya perlindungan hukum terhadap hak merek, hal ini menunjukkan bahwa Negara berkewajiban dalam menegakkan hukum merek.

������� Negara memiliki tugas yang sangat besar dalam mengimplementasikan sistem hak kekayaan intelektual. Terlebih lagi karena keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO dengan konsekuensi melaksanakan ketentuan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS), sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Dalam mengaplikasikan sistem hak kekayaan intelektual yang sesuai, bukan hanya memerlukan Peraturan Perundang-Undangan yang tertuju pada ranah hak kekayaan intelektualnya saja, namun perlu juga didukung oleh administrasi, penegakan hukum serta sosialisasi dalam pengenalan yang optimal tentang hak kekayaan intelektual.�����������

Indonesia memiliki kumpulan regulasi yang mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual, mulai dari Undang � Undang sampai Keputusan Direktoral Jenderal. Berikut peraturan yang mengatur Hak Kekayaan Intelektual yang revisi terakhirnya pada 13 April 2004:

Undang-Undang yang mengatur HAKI:

1.      Paten:

a.       UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)

b.      UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)

c.       UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)

2.      Merek:

a.       UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)

b.      UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)

c.       UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110)

3.      Hak Cipta:

a.       UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)

b.      UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)

c.       UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)

d.      UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

4.      Desain Industri:

a.       UU Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 243)

5.      Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu:

a.       UU Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 244)

6.      Rahasia Dagang:

a.       UU Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 242)

���� Peraturan Pemerintah di bidang HAKI:

7.      Bidang Hak Cipta:

a.       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tanggal 5 April 1989 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1986 tentang Dewan Hak Cipta.

b.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1989 Tanggal 14 Januari 1989 tentang Penterjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan untuk Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian dan Pengembangan.

c.       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1986 Tanggal 6 Maret 1986 tentang Dewan Hak Cipta.

8.      Bidang Paten:

a.       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1995 Tanggal 29 Agustus 1995 tentang Komisi Banding Paten.

b.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1993 Tanggal 22 Februari 1993 tentang Bentuk dan Isi Surat Paten.

c.       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1991 Tanggal 11 Juni 1991 tentang Pendaftaran Khusus Konsultan Paten.

d.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1991 Tanggal 11 Juni 1991 tentang Tata Cara Permintaan Paten.

9.      Bidang Merek:

a.       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1995 Tangga1 29 Agustus 1995 tentang Komisi Banding Merek.

b.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1993 Tangga1 31 Maret 1993 tentang Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek.

c.       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1993 Tangga1 31 Maret 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek.

���� Keputusan Presiden di bidang HAKI:

10.  Bidang Umum:

b.      Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 189 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1986 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden no. 26 Tahun 1995 (29 Oktober 1998).

c.       Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 144 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan organisasi dan Tata Kerja departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 142 tahun 1998 (15 September 1998).

���� Peraturan Menteri di bidang HAKI:

11.  Bidang Hak Cipta:

d.      Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-HV.03.01 Tahun 1987 tanggal 26 Oktober 1987 tentang Pendaftaran Ciptaan.

���� Keputusan Dirjen:

12.  Keputusan Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual no. H-08-PR.07.10 tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penerimaan Permohonan Pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual melalui Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (8 Desember 2000)

 

���������� Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Hak atas merek harus dan wajib dilindungi oleh Negara, dikarenakan fungsi utama dari suatu merek adalah untuk membedakan barang atau jasa yang diproduksi atau dibuat perusahaan lain yang sejenis. Hal itulah yang dijadikan masyarakat dalam membedakan suatu merek tersebut terkenal atau tidaknya. Karena pentingnya arti merek, maka adanya perlindungan terhadap merek atau hak atas merek kepada pemegang merek terdaftar. Dan pemberian perlindungan hukum tersebut harus diberikan kepada pemilik merek yang sudah terdaftar di Direktoral Jenderal saja.

���������� Perlindungan merek diciptakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran merek terhadap para pemilik hak atas merek yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hak atas merek tersebut. Dalam dunia perdagangan, banyak penjual yang tidak memikirkan pemilik hak atas suatu merek untuk keuntungan pribadi yang ternyata menjadi kerugian untuk pihak lain. Hal ini sering terjadi dalam perdagangan jual beli barang merek terkenal. Menciptakan suatu barang palsu yang menyerupai barang aslinya, dengan ini tentu merugikan pihak � pihak yang menjadi pemilik merek yang sudah terdaftar.

���������� Perlindungan terhadap merek terkenal diberikan Negara melalui Undang-Undang baik perlindungan yang bersifat preventif dan yang bersifat represif. Perlindungan yang bersifat preventitive terdapat dalam Pasal 4, 5, 6 Undang � Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan perlindungan yang bersifat represif terdapat dalam Pasal Ketentuan Pidana dari Pasal 90 sampai dengan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Apabila terjadi pelanggaran merek, maka pemilik merek akan dilindungi oleh pasal preventive dan pasal represif.

���������� Adanya perlindungan hukum atas pemilik hak merek tersebut, menunjukkan bahwa Negara berkewajiban menegakkan hukum atas produk yang ditiru dan diperdagangkan dengan sebebas-bebasnya. Apabila terjadi pelanggaran atas merek yang sudah terdaftar, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke Kantor Pengadilan. Dengan adanya perlindungan hukum ini, maka akan terwujud keadilan yang menjadi tujuan hukum. Dalam hal ini, pemilik merek yang sah terlindungi hak-haknya. Negara wajib memberikan perlindungan terhadap pemilik ha katas merek sesuai dengan konteks State Law.

 

B.     Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Hak Atas Merek Terkait Perdagangan Barang Palsu di Lapangan

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Dasar hukum yang mengatur tentang hak merek yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Terkait dengan perdagangan barang, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU 15/2001 menyatakan bahwa Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Setiap kekayaan intelektual memiliki hak untuk mendapat perlindungan hukum atas hak merek yang telah mereka daftarkan, dan pemilik merek tersebut berhak dilindungi jika merasa dirugikan oleh pihak-pihak lain.

Untuk membangun sebuah reputasi yang baik atas merek, pemilik hak merek baik perseorangan maupun perusahaan berusaha mencegah agar tidak terjadinya pelanggaran merek yang dilakukan pihak yang tidak bertanggungjawab. Sekarang sudah tidak asing lagi, banyaknya barang-barang palsu terkenal atau barang branded yang diperdagangkan di luar sana. Dapat temui hal tersebut di pinggiran jalan, toko-toko khusus barang tiruan (KW), dan pusat perbelanjaan di kota besar. Tanpa diketahui atau bahkan sudah diketahui, pada dasarnya para penjual sudah melakukan pelanggaran hukum atas hak merek yang dimiliki oleh pemilik hak merek yang sudah terdaftar di Dirjen.

Konsep perlindungan hukum terhadap hak merek berfokus pada sifat hak merek yang bersifat khusus (exclusive). Hak khusus ini bersifat monopoli dengan artian bahwa hak tersebut hanya dapat dilaksanakan dan dipergunakan oleh pemilik merek saja. Tanpa adanya izin dari pemilik merek, pihak lain tidak boleh mempergunakan hak khusus tersebut. Jika ada pihak lain yang mempergunakan hak khusus itu tanpa adanya izin dari pemilik hak merek, maka telah terjadi pelanggaran yang dapat dikenai sanksi tertentu. Perlindungan merek diatur secara internasional melalui Konvensi Paris convention for the Protection of Industrial Property. Konvensi Paris tentang Perlindungan Kekayaan Industri adalah salah satu dari perjanjian internasional mengenai kekayaan intelektual pada tahun 1883 di Paris. Konvensi ini merupakan konvensi internasional bidang HAKI yang sangat penting karena meletakkan dasar-dasar perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan memberikan suatu pedoman bagi cakupan masalah HAKI bagi Negara-negara di dunia. Hal tersebut dilihat dari ketentuan Article 1 Paris Convention for Protection of Industrial Property yang menyebutkan:

1.      The countries to which this Convention applies constitute a Union for the protection of industrial property.

2.      The protection of industrial property has as its object patents, utility models, industrial designs, trademarks, service marks, trade names, indications of source or appellations of origin, and the repression of unfair competition.

3.      Industrial property shall be understood in the broadest sense and shall apply not only to industry and commerce proper, but likewise to agricultural and extractive industries and to all manufactured or natural products, for example, wines, grain, tobacco leaf, fruit, cattle, minerals, mineral waters, beer, flowers, and flour.

4.      Patents shall include the various kinds of industrial patents recognized by the laws of the countries of the Union, such as patents of importation, patents of improvement, patents and certificates of addition, etc

�����������

���������� Apabila suatu merek sudah terdaftar, maka hak atas merek tersebut harus mendapat perlindungan hukum baik secara hukum pidana maupun hukum perdata. Setiap yang melakukan pelanggaran hak atas merek dalam meniru, menciptakan barang palsu merek terkenal, dan menjual barang tiruan tersebut akan mendapatkan sanksi baik sanksi pidana, perdata maupun administrasi. Sanksi yang dapat dijatuhkan bagi pelaku yang melakukan pelanggaran hak atas merek sebagai berikut.

1.      Sanksi menurut hukum pidana

Sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada pihak yang melakukan pelanggaran hak atas merek. Dalam dunia perdagangan, ada pedagang yang melakuan perbuatan curang yang dimana melakukan persaingan yang tidak jujur. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga melindungi para pemilik merek dari pihak yang melakukan duplikat atau meniru barang terkenal tersebut dengan barang palsu dan di perdagangkan di lapangan tempat perbelanjaan. Hal ini dapat diperhatikan pada Pasal 382 Bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menyatakan unsur melakukan perbuatan curang atau tindakan yang bersifat menipu untuk menyesatkan atau memperdaya khalayak umum atau orang tertentu. Telah dijelaskan nahwa perbuatan materil diancam hukuman penjara setinggi-tingginya 1 tahun atau denda, setinggi-tingginya Rp900,00 ialah melakukan perbuatan yang tipu muslihat untuk mengelabuhi masyarakat atauseorang tertentu. Pengelabuhan ini dipakai oleh si pembuat sebagai upaya untuk memelihara atau menambah hasil perdagangan atau perusahaannya si pembuat atau orang lain.� Ketentuan ini digunakan oleh pemilik hak atas merek sebagai upaya untuk memelihara, melindungi mereknya atau menambah hasil perdagangan/perusahaannya dari pihak yang meniru barang terkenal tersebut dari barang tiruan.

Dalam perlindungan merek, KUHP juga memberikan sanksi dalam Pasal 393 ayat (1) dan (2) menjelaskan bahwa, �Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk mengeluarkan lagi dari Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan. barang-barang yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya dipakaikan secara palsu, nama firma atau merek yang menjadi hak orang lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu, dengan ditambahkan nama atau firma yang khayal, ataupun pada barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.� (2) Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan bulan. Dalam tindak pidana ini tidak perlu bahwa merek, nama atau firma yang dipasang persis serupa dengan merek, nama atau nama firma orang lain tersebut. Dengan demikian meskipun ada perbedaannya kecil, tetap masih dapat dihukum. Perbuatan tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran hak indikasi geografis dan hak indikasi asal, semuanya dikualifikasikan sebagai kejahatan dengan ancaman pidana bersifat kumulatif. Selain di dalam KUHP, terdapat juga ketentuan sanksi pidana dalam Undang-Undang Merek.

2.      Sanksi menurut hukum perdata

Meniru barang terkenal dengan barang palsu seolah-olah tidak ada pembedanya, meniru merek dan menggunakan merek tersebut tanpa hak dari pemilik hak atas merek, peniru merek tersebut dapat digugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum yang dinyatakan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perbuatan yang dilakukan dengan sengaja ataupun dilakukan karena kurang hati-hati atau kealpaan memiliki akibat hukum yang sama, yaitu pelaku tetap bertanggung jawab mengganti seluruh kerugian yang diakibatkan dari Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukannya. �Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti.� Sebagai pihak penggugat harus membuktikan bahwa ia karena perbuatan melanggar hukum tergugat, menderita kerugian.

3.      Sanksi menurut hukum administrasi

Jika terjadi pelanggaran terhadap hak intelektual, negara dapat menggunakan kekuasaannya untuk melindungi pemilik hak yang sah. Melalui kewenangan administrasi negara, antara lain melalui Pabean, Standar industri, kewenangan pengawasan badan penyiaran, kewenangan pengawasan standar periklanan.

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, menyebutkan bahwa merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu pelindungan itu dapat diperpanjang dan dapat diperpanjang dengan jangka waktu yang sama.

Terkait dengan produk atau barang palsu/tiruan dari barang bermerek atau sering disebut barang KW,  Pasal 100 � Pasal 102 UU MIG diatur mengenai tindak pidana terkait merek:

Pasal 100 UU MIG

1.      Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

2.      Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

3.      Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 101 UU MIG

1.      Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada keseluruhan dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda p.aling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

2.      Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

���� Pasal 102 UU MIG

���������� Setiap Orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan/atau produk yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

���������� Pada Pasal 103 UU MIG dikatakan bahwa hal dalam Pasal 100 sampai Pasal 102 UU MIG dapat ditindak pidana jika ada aduan dari pihak yang merasa dirugikan (pemilik hak atas merek). Berarti penjual produk atau barang palsu dapat ditindak oleh pihak yang berwenang jika ada aduan dari pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini pemilik merek dan pemegang lisensi.

���������� Mengenai penindaklanjutan terhadap penjual barang palsu atau KW ini, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) memiliki tugas beradsarkan Pasal 99 ayat (1) UU MIG, selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk melakukan penyidikan tindak pidana merek. Pejabat penyidik pegawai negeri sipil pada DJKI tersebut berwenang melakukan:

a.       pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;

b.      pemeriksaan terhadap Orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang merek;

c.       permintaan keterangan dan barang bukti dari Orang sehubungan dengan tindak pidana di bidang merek;

d.      pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;

e.       penggeledahan dan pemeriksaan di tempat yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;

f.       penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang merek;

g.      permintaan keterangan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang merek;

h.      permintaan bantuan kepada instansi terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penetapan daftar pencarian orang, dan pencegahan terhadap pelaku tindak pidana di bidang merek; dan

i.        penghentian penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti adanya tindak pidana di bidang merek.

���������� Mengenai tugas dari DJKI khususnya Direktorat Merek dan Indikasi Geografis memiliki tugas untuk melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang permohonan, klasifikasi merek, publikasi dan dokumentasi, pemeriksaan, sertifikasi, monitoring, dan pelayanan hukum merek dan indikasi geografis serta fasilitasi komisi banding merek.

����� Direktorat Merek dan Indikasi Geografis menyelenggarakan fungsi:

1.      Penyiapan perumusan kebijakan di bidang permohonan, klasifikasi merek, publikasi dan dokumentasi, pemeriksaan, sertifikasi, 

2.      Pelaksanaan kebijakan di bidang permohonan, klasifikasi merek, publikasi dan dokumentasi, pemeriksaan, sertifikasi, monitoring, dan pelayanan hukum merek dan indikasi geografis;

3.      Pelaksanaan fasilitasi komisi banding merek;

4.      Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang permohonan, klasifikasi merek, publikasi dan dokumentasi, pemeriksaan, sertifikasi, monitoring, dan pelayanan hukum merek dan dan indikasi geografis;

5.      Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang permohonan, klasifikasi merek, publikasi dan dokumentasi, pemeriksaan, sertifikasi, monitoring, dan pelayanan hukum merek dan dan indikasi geografis; dan

6.      Pengelolaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat Merek dan Indikasi Geografis.

���������� Pada dasarnya Direktorat Merek dan Indikasi Geografis yang akan melakukan pemantauan dan penegakan hukum terkait pelaksanaan merek di lapangan. Akan tetapi, untuk melakukan tindakan terhadap pihak yang menjual barang palsu, tetap harus ada pengaduan terlebih dahulu dari pemilik merek atau pemegang lisensi.

 

 

 

 

 

Kesimpulan

Dalam perdagangan pihak-pihak yang merugikan pihak lain untuk menguntungkan dirinya termasuk kategori perbuatan curang atau perbuatan tidak jujur dalam dagang. Perlindungan hukum bagi pemilik merek yang sah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang dimaksudkan untuk memberikan hak yang sifatnya khusus (eksklusif) bagi pemilik merek (exclusive right). Apabila suatu merek sudah terdaftar, maka hak atas merek tersebut harus mendapat perlindungan hukum baik secara hukum pidana maupun hukum perdata. Setiap yang melakukan pelanggaran hak atas merek dalam meniru, menciptakan barang palsu merek terkenal, dan menjual barang tiruan tersebut akan mendapatkan sanksi baik sanksi pidana, perdata maupun administrasi. Dengan artian pedagang yang menciptakan, menjual barang palsu di lapangan seperti pinggiran jalan, toko dan pusat perbelanjaan� akan dikenakan sanksi yang berlaku. Adanya perlindungan hukum atas pemilik hak merek tersebut, menunjukkan bahwa Negara berkewajiban menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan atas produk yang ditiru dan diperdagangkan dengan sebebas-bebasnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Alfons, M. (2017). Implementasi hak kekayaan intelektual dalam perspektif negara hukum. Jurnal Legislasi Indonesia, 14(3), 301�311.

 

Apriyanti, R. (2013). Praktek Penjualan Produk Imitasi Jenis Fashion di Pasar Sandang Pangan Kota Selatpanjang Menurut Tinjauan Ekonomi Islam. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

 

Ardila, N. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Merek Dagang (Studi Komperatif Hukum Positif dan Hukum Islam). IAIN Bengkulu.

 

Budaya, F. M. (2019). Penegakan Hukum Pidana Terhadap Perdagangan Gelap Telepon Seluler di Wilayah Hukum Direktorat Kepolisian Perairan Polda Riau. Universitas Islam Riau.

 

Bukit, A. N., Weley, N. C., Harahap, R. A., & Disemadi, H. S. (2022). Fenomena Produk dengan Merek Palsu: Perlindungan Konsumen? Sapientia Et Virtus, 7(1), 1�17.

 

Bulqis, A. R., Marilang, M., & Erlina, E. (2019). Penegakan Hukum Terhadap Pemalsuan Merek di Kota Makassar. Alauddin Law Development Journal, 1(2).

 

Darwanto, D. (2013). Peningkatan daya saing umkm berbasis inovasi dan kreativitas (strategi penguatan property right terhadap inovasi dan kreativitas). Jurnal Bisnis Dan Ekonomi, 20(2), 24200.

 

Harahap, N. A. (2018). Analisis Penerapan dan Dampak Etika Bisnis Islam Terhadap Kemajuan Bisnis Pada Supermarket De�Halal Mart Yogyakarta.

 

Humaira, H., & Fitriani, E. (2021). Penguatan Masyarakat Konsumen Abad Ke-21: Studi Kasus Konsumerisme Fast Fashion di Inggris. Paradigma: Jurnal Kajian Budaya, 11(2), 7.

 

Iqbal, M., & Adli, M. (2020). Pemalsuan Merek Body Protector Motor Oleh Produsen Terkait Dengan Hak-Hak Konsumen (Suatu Penelitian di Kota Banda Aceh). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan, 4(2), 321�334.

 

Mahadewi, K. J., Prasada, D. K., & Nandari, N. P. S. (2022). Perlindungan Hukum Motif Tradisional Perak Bali Dalam Kerangka Hak Cipta. International Conference Towards Humanity Justice for Law Enforcement and Dispute Settlement, 1(1), 36�45.

 

Margaret, M., & Esa, A. A. S. (2022). Rational Choice Penjual dan Pembeli Dalam Perdagangan Barang Counterfeit di Pasar Taman Puring, Jakarta. IKRA-ITH HUMANIORA: Jurnal Sosial Dan Humaniora, 6(2), 8�18.

 

Munthe, M. R., & Harahap, A. R. (2023). Penyalahgunaan Akun pada Handphone Iphone Perspektif Ibnu Taimiyah (Studi pada Akun Jual Beli Online di Kota Medan). AL-MANHAJ: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam, 5(1), 321�330.

 

Natih, D. D., & Griadhi, N. M. A. Y. (2019). Perlindungan Konsumen terkait Transaksi Jual Beli Barang Bermerek Palsu Secara Online. Kertha Negara, 7(1), 1�21.

 

Ningsih, A. S., & Maharani, B. H. (2019). Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring. Jurnal Meta-Yuridis, 2(1), 13�32. https://doi.org/10.26877/m-y.v2i1.3440

 

Nurikhsan, F. (2019). Fenomena coffe shop di kalangan konsumen remaja. Widya Komunika, 9(2), 137�144.

 

Purnama, D. H., & Soraida, S. (2018). Praktek Konsumsi Produk Pakaian Merek Luar Negeri Tiruan Pada Mahasiswa Pagaralam di Kota Palembang. Jurnal Media Sosiologi (JMS), 21(2), 101�110.

 

Rahmahidayani, D. (2016). Jual beli barang fashion palsu perspektif Undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang merek dan maslahah: Studi Kota Kediri. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

 

Rifai, T. P. (2016). Kesiapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, 10(4), 733�776.

 

Rizkia, N. D., & Fardiansyah, H. (2022). Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Penerbit Widina.

 

Simatupang, T. H. (2017). Sistem Hukum Perlindungan Kekayaan Intelektual Dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 17(2), 195�208.

 

Sinaga, N. A. (2020). Pentingnya perlindungan Hukum Kekayaan Intelektual bagi Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jurnal Hukum Sasana, 6(2).

 

Wilujeng, S. R., & Edwar, M. (2014). Pengaruh Brand Awareness Dan Brand Trust Terhadap Keputusan Pembelian Produk Oriflame. Jurnal Pendidikan Tata Niaga, 2(2), 1�15.

 

Copyright holder:

Indah Maria Maddalena Simamora, Gunardi Lie, Moody Rizqy Syailendra Putra (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: