Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
DEFISIENSI
ZAT GIZI MAKRO DAN ZAT GIZI MIKRO SAAT 1000 HARI PERTAMA KEHIDUPAN BERDAMPAK
PADA OBESITAS USIA DEWASA
Cevin
Rosse Octaviane, Ahmad
Syafiq
Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jawa
Barat, Indonesia
Email:
[email protected], [email protected]
Abstrak
Stunting merupakan masalah
gizi utama di seluruh dunia yang terjadi karena defisiensi makro dan mikronutrien selama 1000 hari pertama kehidupan. Stunting
dapat mempengaruhi perkembangan otak dan pertumbuhan kognitif anak. Stunting meningkatkan
risiko kejadian obesitas diusia dewasa. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis defisiensi makronutrien dan mikronutrien saat 1000 hari pertama kehidupan
berdampak pada obesitas usia dewasa. Penelitian
ini menggunakan tinjauan pustaka. Tiga database elektronik yang digunakan :
Google Scholar, PubMed Central dan ScienceDirect. Artikel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 8 artikel. Kriteria inklusi penelitian ini adalah artikel yang diterbitkan dalam kurun waktu sepuluh
tahun yaitu 2013-2022, full text, open access, serta dalam
bahasa Indonesia dan Inggris.
Defisiensi zat gizi makro seperti
energi dan protein serta defisiensi zat mikro seperti zat
besi, seng, asam folat dan yodium mempengaruhi regulasi faktor pertumbuhan pembelahan sel seperti hormon
pertumbuhan insulin-1, kadar
hormon yang rendah dapat mengganggu lipolisis, sehingga anak stunting dapat mengalami obesitas di masa dewasa karena tingkat
metabolisme yang rendah. Pemenuhan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan
sangat krusial untuk tumbuh dan kembang anak.
Kata kunci: Defisiensi,
Makronutrien, Mikronutrien,
Obesitas, Stunting
Abstract
Stunting is a major nutritional problem worldwide that
occurs due to deficiencies of macronutrients and micronutrients during the
first 1000 days of life. Stunting can affect brain development and cognitive
development of children. Stunting increases the risk of obesity as an adult.
This study aims to analyze the deficiency of macronutrients and micronutrients
during the first 1000 days of life impact adult obesity. This study uses a
literature review. Three electronic database are used :
Google Scholar, PubMed Central and ScienceDirect. The article used in this research are 8 articles. The
inclusion criteria for this study were articles published within ten years,
namely, 2013-2022, full text, open access, and in Indonesian and English. Deficiencies of macronutrients such as energy and protein
as well as deficiencies of micronutrients such as iron, zinc, folic acid and
iodine affect the regulation of cell division growth factors such as the
insulin growth factor-1, low hormone levels can interfere with lipolysis, so
that stunted children can experience obesity in adulthood due to low metabolic
rate. The fulfillment of nutrition in the First 1000 days of life is very
important for the growth and development of children.
Keywords:
Deficiency, Macronutrients, Micronutrients, Obesity, Stunting
PENDAHULUAN
Stunting masih menjadi masalah gizi utama di seluruh
dunia, terutama di negara-negara berpenghasilan
menengah dan rendah termasuk Indonesia. Kekurangan gizi pada anak usia dini menyebabkan
penurunan perkembangan fisik dan mental, menghasilkan kinerja sekolah yang buruk dan, rata-rata, pendapatan
22% lebih sedikit di masa dewasa. �(De
Lucia Rolfe et al., 2018; Fikawati et al., 2021).
Prevalensi stunting adalah indikator krusial pada status kesehatan dan
gizi. Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI)
tahun 2021, prevalensi stunting di Indonesia sebesar 24,4%. Hal ini menunjukkan masih banyak balita yang kekurangan gizi. Namun, prevalensi stunting menurun
pada tahun 2021 dibandingkan
tahun 2020 yaitu sebesar 27,7%. Menurut WHO hal ini termasuk
dalam masalah kesehatan tingkat medium (RI,
2021).
Stunting dapat mengganggu perkembangan otak dan fungsi kognitif. Beberapa penelitian menyatakan bahwa stunting
juga meningkatkan risiko kejadian obesitas pada usia dewasa dan hal ini terkait
dengan pengaruh terhadap efisiensi metabolisme. Anak-anak yang mengalami stunting memiliki
tingkat pernafasan yang lebih tinggi, menunjukkan
penggunaan karbohidrat yang
lebih besar sebagai sumber energi dibandingkan dengan penggunaan lemak. Mekanisme ini diduga
memediasi hubungan antara stunting dan
obesitas, yaitu oksidasi lemak yang lebih rendah dan kecenderungan penyimpanan lemak yang lebih tinggi (Muhammad,
2018; Nuraini et al., 2017).
Pemenuhan gizi selama
1000 hari pertama kehidupan sangat penting bagi tumbuh dan kembang anak. Pemerintah
Indonesia menciptakan �Gerakan 1.000 Hari Pertama Kehidupan� yang dikenal dengan 1.000 HPK (Hari Pertama Kehidupan). Tujuan dari gerakan
ini adalah mempercepat perbaikan gizi guna meningkatkan
taraf hidup anak Indonesia di masa depan. Pertumbuhan dan perkembangan anak harus diperhatikan
setelah dua tahun, karena pertumbuhan berlanjut hingga usia pubertas. Ada tiga tahap pertumbuhan
dan perkembangan yaitu tahap bayi lambat
yang mempresentasikan pada pertumbuhan
janin, tahap anak lambat yang dimulai pada bagian akhir masa anak-anak dan berlanjut hingga dewasa dan tahap remaja dimana anak
terus tumbuh (De
Lucia Rolfe et al., 2018; Djauhari, 2017).
Penulisan artikel ini
memiliki tujuan untuk mengetahui defisiensi makro dan mikronutrien pada 1000 HPK dapat berdampak pada obesitas usia dewasa.
METODE
Penulisan artikel ini
menggunakan metode tinjauan pustaka, yaitu pencarian literatur baik nasional maupun internasional dengan bantuan database.
Pencarian artikel dilakukan menggunakan tiga database elektronik, yaitu Google Scholar, PubMed Central dan ScienceDirect.
Kata kunci yang digunakan adalah �Effect and Stunting� DAN �Stunting and obesity�. Kriteria inklusi yaitu: (i) Artikel dari jurnal nasional
dan internasional tahun 2018
sampai 2022, (ii) artikel full text dan open access, (iii) artikel penelitian menggunakan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Kriteria
eksklusi yaitu : (i) skripsi,
tesis ataupun disertasi, (ii) penelitian yang dipublikasikan sebelum tahun 2018, dan (iii) artikel
yang tidak dapat diakses. Setelah dilakukan penyaringan artikel sesuai dengan kriteria inklusi pada 3 database, ditemukan
artikel yang memenuhi dan dapat dikaji. Selanjutnya
sebanyak delapan artikel yang dianggap memenuhi kriteria inklusi dan dimasukkan dalam artikel ini.
Artikel
tersebut menunjukkan bahwa defisiensi zat gizi makro
dan mikro saat 1000 HPK sebagai salah satu faktor penyebab stunting dapat berdampak pada obesitas usia dewasa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Semua penelitian yang ditinjau bertujuan untuk mengidentifikasi defisiensi makro dan mikronutrien saat 1000 hari pertama kehidupan
yang berdampak pada obesitas
usia dewasa. Tabel 1 menunjukkan bahwa kekurangan gizi pada masa kehamilan berkaitan dengan hyperinsulinemia
dan penurunan sensitivitas terhadap insulin dapat meningkatkan indeks massa tubuh (IMT) pada kehidupan dewasa, hal ini dikarenakan
anak-anak yang mengalami stunting
memiliki koefisien pernafasan yang lebih tinggi menunjukkan penggunaan karbohidrat yang lebih besar sebagai
sumber energi dibandingkan dengan penggunaan lemak. Kemudian pengerdilan secara tidak langsung berhubungan dengan massa lemak dan massa lemak bebas saat dewasa
yang berhubungan langsung dengan perkembangan pubertas yang lebih lambat.
����������� Seseorang dengan kadar Vitamin D dibawah standar berisiko 1,86 kali lebih mengalami stunting dan 2,76
kali lebih tinggi berisiko kelebihan berat badan dibandingkan dengan yang memiliki kadar Vitamin D normal. Asupan magnesium
yang juga berhubungan dengan
obesitas pada usia remaja. Remaja yang terpapar stress awal kehidupan dan terhambatnya pertumbuhan mungkin berisiko lebih besar terkena penyakit
jantung dan gangguan metabolisme. Kemudian terdapat hubungan antara perawakan pendek dan ukuran obesitas dengan IMT ≥ 30�0 kg/m2 pada wanita.
Malnutrisi akut adalah
kekurangan gizi yang disebabkan oleh asupan protein atau energi yang tidak memadai. Keadaan kekurangan gizi pada anak seperti kekurangan energi, protein dan nutrisi lainnya mengarah ke efek buruk
pada jaringan dan fungsi tubuh, serta hasil
klinis dari penyimpangan pertumbuhan (Anshori
et al., 2020; Shao et al., 2012).
Malnutrisi akut primer pada anak-anak disebabkan oleh nutrisi yang tidak memadai karena faktor sosial ekonomi,
politik, dan lingkungan,
dan paling sering diamati
di negara berpenghasilan rendah
dan menengah. Faktor-faktor
yang berkaitan termasuk kerawanan pangan rumah tangga, kemiskinan,
malnutrisi ibu hamil, retardasi pertumbuhan intrauterin, berat badan lahir rendah, pemberian ASI yang buruk dan pemberian makanan pendamping ASI yang tidak memadai, penyakit menular yang umum terjadi, kualitas
air yang buruk, kebersihan,
dll. Malnutrisi akut sekunder disisi
lain disebabkan oleh kehilangan
nutrisi yang tidak normal, peningkatan pengeluaran energi, atau karena
berkurangnya asupan makanan karena penyakit kronis (Camaschella,
2015; Sadeghi et al., 2022).
Periode 1000 hari pertama
kehidupan mengacu pada masa
pembuahan hingga tahun kedua kehidupan
anak. Hal ini merupakan jendela penting untuk pertumbuhan
dan perkembangan yang cepat
dan kelainan gizi selama periode ini dapat memiliki
konsekuensi kesehatan jangka panjang. Salah satu konsekuensi dari malnutrisi janin adalah retardasi
pertumbuhan intrauterin
(IUGR). Hal ini juga dapat menyebabkan bayi lahir kecil untuk
usia kehamilan (SGA), besar untuk usia
kehamilan (LGA), atau sesuai untuk usia
kehamilan (AGA). Konsekuensi
lain dari kekurangan gizi dapat mencakup
anak-anak yang kerdil (tinggi badan di bawah dari normal sesuai usia), kurus (berat badan di bawah normal sesuai usia), atau kekurangan
berat badan (berat badan di
bawah normal sesuai tinggi badan). Dalam jangka panjang dapat menyebabkan obesitas ataupun penyakit tidak menular seperti diabetes melitus, hipertensi dan penyakit kardiovaskular (Caputo
et al., 2021; Mayneris-Perxachs & Swann, 2019).
Sebuah penelitian menyatakan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara stunting dan obesitas pada
anak usia sekolah. Terdapat 7,5% anak usia sekolah
dengan stunting dan kelebihan
berat badan bersamaan di delapan provinsi yang diamati. Serta anak stunting berisiko 2,33 kali lebih tinggi mengalami kelebihan berat badan dibandingkan anak normal. Anak-anak dengan riwayat
stunting pada masa kecil lebih
mungkin untuk mengalami kelebihan berat badan dan mengembangkan sindrom metabolik saat dewasa. Proses ini dapat dimulai
sejak usia 7 atau 8 tahun, sehingga
komponen sindrom metabolik dapat dibentuk dengan kuat saat masa dewasa muda (Chidumwa
et al., 2021; Yasmin et al., 2019).
Defisiensi Zat Gizi
Makro
Untuk memenuhi kebutuhan
gizi anak, maka dapat dipenuhi
dari makronutrien yaitu karbohidrat, protein dan
lemak sebagai sumber energi dan bahan penting untuk komposisi
tubuh. Selama kehamilan, ibu adalah satu-satunya sumber nutrisi bagi embrio dan janin yang sedang berkembang, jika ibu menderita kekurangan
energi kronis, akan berisiko melahirkan
bayi dengan berat badan lahir rendah (Hans
& Jana, 2018; Tetteh & Faulkner, 2016).
Bayi
dengan berat badan lahir rendah dapat
menyebabkan gangguan endokrin yaitu sekresi insulin yang rusak dan resistensi insulin. Gangguan pada
sistem endokrin ini akan mempengaruhi
proses oksidasi lemak yang berujung
dalam penumpukan jaringan adiposa (Djauhari,
2017; Vaag et al., 2012).
Defisiensi Energi
Pemenuhan kebutuhan
energi bayi atau balita bertujuan
untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikomotorik, praktik aktivitas fisik, dan pemberian nutrisi yang cukup untuk kebutuhan
hidup, yaitu untuk pemeliharaan, pemulihan dan peningkatan kesehatan (Gat-Yablonski & Phillip, 2015; Wulandary &
Sudiarti, 2021).
Anak dengan asupan
energi dan protein yang kurang
memiliki risiko stunting
lebih tinggi dibandingkan anak dengan asupan yang cukup (Fikawati et al., 2021). Asupan energi yang rendah pada balita stunting dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain frekuensi dan jumlah pemberian makan, kepadatan energi yang rendah, penurunan nafsu makan dan penyakit menular (Anshori et al., 2020).
Hal ini dapat
menyebabkan kekurangan energi kronis dan dalam jangka panjang
dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan linier. Keseimbangan energi yang negatif juga dapat menyebabkan penurunan insulin
plasma, yang dapat menurunkan
sintesis faktor pertumbuhan insulin hepatik (IGF-1),
dan mengganggu aktifitas protein
pengikat IGF -1, hormon tiroid, dan faktor sistemik lainnya yang terlibat dalam faktor pertumbuhan fibroblast
(FGF-21), yang semuanya berperan
dalam pertumbuhan linier (Gat-Yablonski & Phillip, 2015).
Defisiensi Protein dan Asam Amino
Pada kelompok asupan
protein rendah prevalensi stunting 1,87 kali lebih
tinggi dibandingkan kelompok asupan protein cukup. Stunting erat kaitannya dengan asupan protein yang berfungsi untuk merangsang insulin pada IGF-1 (Millward, 2017; Sari et al., 2016). Anak-anak dengan risiko tinggi
stunting mungkin
tidak mendapatkan asupan cukup asam
amino esensial dan kolin, nutrisi yang dibutuhkan untuk sintesis sphingolipid dan gliserofosfolipid. Sembilan amino esensial
asam (triptofan, isoleusin, leusin, valin, metionin, treonin, histidin, fenilalanin, lisin), tiga asam amino esensial bersyarat (arginin, glisin, glutamin), tiga asam amino non-esensial (asparagin, glutamat, serin), dan
citrulline secara signifikan
lebih rendah pada anak yang stunting dibandingkan dengan anak yang tidak stunting. Tidak ada perbedaan
bermakna serum prolin, tirosin, alanin, dan asam aspartat antara
anak dengan dan tanpa stunting (Semba et al.,
2016).
Defisiensi Zat Gizi
Mikro
Selain makronutrien, pemberian
mikronutrien diperlukan untuk menjaga proses konstruksi dan rekonstruksi yang berkelanjutan. Akibatnya, kebutuhan mikronutrien akan berbeda tergantung
pada kebutuhan individu
yang terkait dengan kondisi metabolisme yang berbeda dalam siklus
hidup. Selama 1000 hari pertama kehidupan,
sejak konsepsi hingga akhir tahun
kedua kehidupan, tingginya kebutuhan zat gizi mikro
dan jika pasokannya tidak memadai, hal itu mungkin
berdampak pada perkembangan
fisik dan perkembangan kognitif. Secara khusus, zat besi,
yodium, vitamin D dan folat
adalah mikronutrien yang mungkin menjadi penting selama periode itu (Hans
& Jana, 2018).
Defisiensi zat
gizi mikro sebagian besar digambarkan dalam bentuk zat besi,
seng, yodium, dan pada tingkat yang lebih rendah vitamin A, karena defisiensi ini adalah yang paling umum dan menyebabkan gejala klinis yang terlihat (Black et al., 2013).
Defisiensi Zat
Besi
Kekurangan zat besi
adalah kekurangan mikronutrien paling umum di dunia,
yang mempengaruhi 3,5 miliar
orang di seluruh dunia. Anak-anak
dibawah usia 3 tahun merupakan salah satu kelompok yang paling terpengaruh serta bayi prematur dan bayi yang lahir dari ibu dengan
komplikasi kehamilan tertentu (IUGR, malnutrisi)
sangat rentan mengalami kekurangan zat besi pada masa bayi (Camaschella,
2015).
Zat besi adalah
nutrisi penting karena kofaktor besi mengaktifkan enzim yang terlibat dalam sebagian besar proses metabolisme utama dalam sel. Hal ini termasuk proses biologis seperti respirasi, produksi energi, sintesis DNA, dan proliferasi sel. Besi juga penting untuk neurotransmisi,
sinaptogenesis dan mielinisasi
selama perkembangan otak. Defisiensi besi dapat mengakibatkan
anemia defisiensi besi
(ADB), dimana sel darah merah yang sehat tidak cukup
untuk membawa oksigen yang cukup ke jaringan tubuh,
atau dapat bertahan tanpa berkembang menjadi anemia (Mayneris-Perxachs
& Swann, 2019).
Ibu
hamil dengan defisiensi zat besi meningkatkan risiko dua kali lipat terjadinya kelainan premature,
dan peningkatan tiga kali lipat berat bayi
lahir rendah. Pertumbuhan otak janin, neonatus dan anak-anak membutuhkan zat besi, dengan
terjadinya defisiensi zat besi akan
berdampak buruk pada proses
mielinisasi, sintesis
neurotransmitter dan pemrograman otak.
Ketika jumlah zat besi sangat terbatas pada neonatus, zat besi
yang tersedia akan dibawa ke sel
darah merah dengan mengorbankan otak, jantung dan otot. Bayi usia 6-24 bulan yang mengalami anemia defisiensi besi meningkatkan risiko kognitif yang buruk, motorik, social-emosional dan perkembangan neurofisiologis.
Bayi yang lahir juga memiliki
penyimpanan zat besi yang rendah (Henriques
et al., 2018; Juul et al., 2019).
Kekurangan zat besi
pada ibu dapat mengakibatkan sejumlah konsekuensi yang berpotensi serius selama kehamilan,
termasuk ukuran plasenta yang lebih kecil dan memperlambat organogenesis
pada trimester pertama. Hal ini
berdampak pada pertumbuhan janin dan dapat meningkatkan risiko hipoksia janin kronis, simpanan zat besi yang rendah
pada bayi baru lahir, risiko kelahiran
prematur dapat meningkat karena kerusakan oksidatif pada eritrosit dan unit fetoplasenta, perkembangan kognitif yang buruk, dan penyakit kardiometabolik untuk anak di kemudian hari (Beluska-Turkan
et al., 2019; Nuraini et al., 2017; Nurhayati et al., 2022).
Defisiensi Seng
Defisiensi seng memperlambat
perkembangan plasenta, yang
kemudian dapat menghambat organogenesis. Kekurangan
seng juga dapat meningkatkan risiko persalinan prematur, aborsi spontan, dan BBLR. Kekurangan seng sedang pada anak usia 0-24 bulan bermanifestasi sebagai retardasi pertumbuhan dan massa otot yang buruk, keterlambatan perkembangan kognitif, dan perubahan fungsi kekebalan yang mencakup penyembuhan luka yang buruk, peningkatan peradangan, dan peningkatan sensitivitas alergi (Beluska-Turkan
et al., 2019).
Seng
merupakan kofaktor untuk banyak enzim
dalam berbagai proses seluler didalam tubuh. Seng juga mempengaruhi ekspresi gen melalui regulasi faktor transkripsi. Seng memiliki hubungan yang langsung dan jelas dalam DNA dan sintesis protein. (Choi et al., 2020). Seng juga mempengaruhi regulasi faktor pertumbuhan pembelahan sel, seperti faktor
pertumbuhan seperti
insulin-1 (IGF-1) atau faktor
pertumbuhan saraf (NGF).
IGF-I memediasi berbagai
proses seluler termasuk dorongan asam amino, penyerapan glukosa, dan regulasi siklus sel. Hal ini mengikat reseptor
yang terikat membran melalui aktivitas tirosin kinase. Pada manusia, defisiensi seng dapat mengurangi tingkat IGF-1 yang bersirkulasi terlepas dari tingkat
asupan energi total. Penurunan IGF-1 berhubungan dengan penurunan konsentrasi seng serum (Choi
et al., 2020). Jika kadar
IGF-1 yang rendah dapat mengganggu lipolisis. Akibatnya, ada kemungkinan bahwa dengan adanya diet tinggi lemak, konsekuensi
hormonal dari malnutrisi energi protein kronis dapat meningkatkan penambahan lemak tubuh karena berkurangnya kemampuan untuk mengoksidasi lemak yang masuk dari makanan (Nuraini
et al., 2017).
Defisiensi Asam Folat
Folat adalah
vitamin B yang penting untuk
kesehatan janin dan ibu, berfungsi sebagai koenzim yang penting untuk sintesis
DNA dan metabolisme asam
amino. Salah satu fungsi utama folat adalah
menyediakan unit karbon tunggal untuk sintesis
basa nitrogen (purin dan pirimidin) dan metabolisme asam amino, membuat folat penting untuk
sintesis DNA. Jalur metabolisme
ini juga penting untuk eritropoiesis, yang meningkat pesat selama kehamilan untuk membantu meningkatkan volume darah ibu sebagai persiapan
untuk janin (Beluska-Turkan
et al., 2019). (Turkan et al., 2019)
Asupan asam folat
yang cukup sangat penting untuk perlindungan terhadap cacat tabung saraf. Perkiraan
kebutuhan folat meningkat 50% menjadi 600 g selama kehamilan. Asam folat dapat
ditemukan dalam tubuh ataupun dalam
makanan (Hans
& Jana, 2018; Patimah et al., 2021).
Defisiensi Yodium
Yodium adalah mikronutrien
yang bekerja bersama-sama dengan kelenjar tiroid. Yodium diperlukan untuk sintesis hormon tiroid pengatur pertumbuhan. Kelenjar tiroid memakai yodium dari makanan
untuk membuat dua hormon tiroid termasuk
tiroksin (T4) dan triiodothyronine (T3). Selama kehamilan, kebutuhan yodium meningkat 50% karena peningkatan produksi hormon tiroid ibu
yang diperlukan untuk memasok ke janin,
yang tidak memiliki kelenjar tiroid yang berfungsi penuh sampai usia kehamilan
20 minggu. Pada janin, yodium penting untuk perkembangan otak dan sistem saraf yang normal (Beluska-Turkan
et al., 2019; Caputo et al., 2021).
Perubahan fungsi tiroid
selama kehamilan disebabkan keterlibatan hormone
chorionic gonadotrophin (hCG) dalam
regulasi tiroid. Keseimbangan tiroid sangat diperlukan untuk perkembangan normal janin. Pada
trimester pertama hCG bertindak sebagai reseptor stimulator kuat untuk hormon perangsang
tiroid (TSH). Ketika hCG meningkat maka TSH menurun yaitu suatu
kondisi yang disebut tirotoksikosis gestasional. Setelah 12 minggu kehamilan maka hCG menurun dan TSH meningkat kembali (Sadeghi
et al., 2022).
Kekurangan yodium pada ibu
dapat menyebabkan kelambatan mental dan kelelahan
pada ibu dan dapat memperlambat atau mempengaruhi pertumbuhan sistem saraf selama
trimester pertama dan kedua
perkembangan janin. Kekurangan yodium ibu yang parah dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan janin
yang signifikan dan mengakibatkan
bayi lahir dengan kretinisme (Beluska-Turkan
et al., 2019).
Defisiensi yodium dalam
kandungan mengganggu pertumbuhan janin, dan suplementasi yodium selama kehamilan meningkatkan berat lahir 100-200 gram. Efek serupa pada pertumbuhan dilaporkan pada anak-anak usia sekolah yang kekurangan yodium. Efek ini sebagian
disebabkan oleh efek langsung hormon tiroid pada pertumbuhan epifisis, pematangan tulang, dan tinggi badan, tetapi juga pada aksis GH/IGF-I. Hormon tiroid penting
untuk ekspresi hormon pertumbuhan (GH) normal in
vitro dan in vivo, dan dalam mekanisme
umpan balik pada GHR. Selanjutnya, kadar IGF-I dan
IGFBP-3 dalam darah bergantung pada fungsi tiroid melalui efek yang diperantarai GH dan
juga stimulasi langsung (Caputo
et al., 2021).
Tabel 1 Referensi
Artikel Terkait Defisiensi
Makro dan Mikronutrien Saat
1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan)
Berdampak Pada Obesitas Usia Dewasa.
Peneliti |
Judul |
Desain Studi |
Hasil |
Nurhayati et al., (2022) |
The Effect of Vitamin D Deficiency with Stunting and
Overweight: A Meta-analysis Study |
Systematic review and meta-analysis |
Subjek dengan
kadar Vitamin D yang lebih
rendah dari normal berisiko 1,86 lebih tinggi mengalami stunting dan
2,76 lebih tinggi berisiko kelebihan berat badan dibandingkan dengan subjek dengan kadar Vitamin D normal. |
Ashraf Soliman, (2021) |
Early and Long-term Consequences of Nutritional Stunting: From Childhood to Adulthood. |
Systematic Review |
Kekurangan gizi awal
pada periode ekstrauterin,
terlepas dari berat lahir, dikaitkan dengan hiperinsulinemia dan penurunan sensitivitas terhadap insulin,
yang memperburuk keadaan dapat meningkatkan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada kehidupan dewasa. |
Patimah et al., (2021) |
Magnesium Intake and Stunting were Associated with Obesity
among Adolescent Girls |
Cross sectional |
Sebanyak 37.5% siswi yang obesitas mengalami stunting,
dan memiliki asupan
magnesium yang rendah (83,1%). Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa stunting dan asupan magnesium adalah faktor yang berhubungan dengan obesitas pada siswi. |
Chidumwa
et al., (2021) |
Stunting in infancy, pubertal trajectories and adult body
composition: the Birth to Twenty Plus cohort, South Africa |
Prospective cohort |
Pengerdilan
secara tidak langsung dikaitkan dengan massa lemak dan massa lemak bebas saat dewasa yang berhubungan langsung antara perkembangan pubertas yang lebih lambat dan massa lemak yang lebih rendah. Indeks massa tubuh secara independen terkait dengan massa lemak dan massa lemak bebas. |
Peneliti |
Judul |
Desain Studi |
Hasil |
Muhammad, (2018) |
Obesity as the Sequel of Childhood Stunting: Ghrelin and
GHSR Gene Polymorphism Explained |
Literature Review |
Anak dengan stunting lebih mudah mengalami obesitas karena memiliki metabolic
rate yang rendah. |
De Lucia Rolfe et al., (2018) |
Associations of stunting in early childhood with
cardiometabolic risk factors in adulthood |
Cohort |
Pengerdilan dini berimplikasi
pada pencapaian tinggi
badan, komposisi tubuh,
dan tekanan darah. Individu yang pendek cenderung untuk mengakumulasi lebih sedikit massa bebas lemak dan lemak subkutan
yang dapat mempengaruhi terhadap peningkatan risiko metabolisme di kemudian hari. |
Reid et al., (2018) |
Early Life Adversity with Height Stunting Is Associated
with Cardiometabolic Risk in Adolescents Independent of Body Mass Index |
Cohort |
Kaum muda
yang terpapar stres di awal kehidupan dan terhambatnya pertumbuhan mungkin berisiko lebih besar terkena
penyakit jantung dan gangguan metabolisme yang tidak bergantung pada BMI |
Henriques et al., (2018) |
The influence of stunting on obesity in adulthood: results
from the EPIPorto cohort |
Cross sectional |
Hubungan positif
ditemukan antara perawakan pendek dan ukuran obesitas (BMI ≥
30�0 kg/m2) untuk wanita |
KESIMPULAN
Defisiensi makro dan mikronutrien
pada 1000 Hari Pertama Kehidupan
dapat menyebabkan stunting pada anak
yang kemudian di masa dewasa
dapat meningkatkan risiko kejadian obesitas. Oleh karena itu, pemenuhan gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan sangat krusial untuk tumbuh dan kembang anak.
BIBLIOGRAFI
Anshori, L. M., Sutrisna, B., & Fikawati, S. (2020). Relationship
energy and protein intake with the incidence of stunting among toddler aged
(25-60 months) in Mangkung village, District of Central Lombok. Indian
Journal of Public Health Research & Development, 11(3),
1593�1598.
Beluska-Turkan,
K., Korczak, R., Hartell, B., Moskal, K., Maukonen, J., Alexander, D. E.,
Salem, N., Harkness, L., Ayad, W., & Szaro, J. (2019). Nutritional gaps and
supplementation in the first 1000 days. Nutrients, 11(12), 2891.
Black, R. E.,
Victora, C. G., Walker, S. P., Bhutta, Z. A., Christian, P., De Onis, M.,
Ezzati, M., Grantham-McGregor, S., Katz, J., & Martorell, R. (2013).
Maternal and child undernutrition and overweight in low-income and
middle-income countries. The Lancet, 382(9890), 427�451.
Camaschella, C.
(2015). Iron-Deficiency Anemia Reply. NEW ENGLAND JOURNAL OF MEDICINE, 373(5),
485�486.
Caputo, M., Pigni,
S., Agosti, E., Daffara, T., Ferrero, A., Filigheddu, N., & Prodam, F.
(2021). Regulation of GH and GH Signaling by Nutrients. Cells, 10(6),
1376.
Chidumwa, G.,
Said-Mohamed, R., Nyati, L. H., Mpondo, F., Chikowore, T., Prioreschi, A.,
Kagura, J., Ware, L. J., Micklesfield, L. K., & Norris, S. A. (2021).
Stunting in infancy, pubertal trajectories and adult body composition: the Birth
to Twenty Plus cohort, South Africa. European Journal of Clinical Nutrition,
75(1), 189�197.
Choi, S., Hong, D.
K., Choi, B. Y., & Suh, S. W. (2020). Zinc in the brain: friend or foe? International
Journal of Molecular Sciences, 21(23), 8941.
De Lucia Rolfe,
E., de Fran�a, G. V. A., Vianna, C. A., Gigante, D. P., Miranda, J. J., Yudkin,
J. S., Horta, B. L., & Ong, K. K. (2018). Associations of stunting in early
childhood with cardiometabolic risk factors in adulthood. PloS One, 13(4),
e0192196.
Djauhari, T.
(2017). Gizi dan 1000 HPK. Saintika Medika, 13(2), 125�133.
Fikawati, S.,
Syafiq, A., Ririyanti, R. K., & Gemily, S. C. (2021). Energy and protein
intakes are associated with stunting among preschool children in Central
Jakarta, Indonesia: a case-control study. Malaysian Journal of Nutrition,
27(1).
Gat-Yablonski, G.,
& Phillip, M. (2015). Nutritionally-induced catch-up growth. Nutrients,
7(1), 517�551.
Hans, K. B., &
Jana, T. (2018). Micronutrients in the life cycle: Requirements and sufficient
supply. NFS Journal, 11, 1�11.
Henriques, A.,
Teixeira, V., Cardoso, H. F. V, & Azevedo, A. (2018). The influence of
stunting on obesity in adulthood: results from the EPIPorto cohort. Public
Health Nutrition, 21(10), 1819�1826.
Juul, S. E.,
Derman, R. J., & Auerbach, M. (2019). Perinatal iron deficiency:
implications for mothers and infants. Neonatology, 115(3),
269�274.
Mayneris-Perxachs,
J., & Swann, J. R. (2019). Metabolic phenotyping of malnutrition during the
first 1000 days of life. European Journal of Nutrition, 58(3),
909�930.
Millward, D. J.
(2017). Nutrition, infection and stunting: the roles of deficiencies of individual
nutrients and foods, and of inflammation, as determinants of reduced linear
growth of children. Nutrition Research Reviews, 30(1), 50�72.
Muhammad, H. F. L.
(2018). Obesity as the sequel of childhood stunting: ghrelin and GHSR gene
polymorphism explained. Acta Medica Indonesiana, 50(2), 159.
Nuraini, I. S.,
Sulchan, M., & Dieny, F. F. (2017). Resistensi insulin pada remaja stunted
obesity usia 15-18 tahun di Kota Semarang. Journal of Nutrition College,
6(2), 164�171.
Nurhayati, I.,
Hidayat, A. R., Widiyanto, A., Putri, S. I., Atmojo, J. T., & Fajriah, A.
S. (2022). The Effect of Vitamin D Deficiency with Stunting and Overweight: A
Meta-analysis Study. Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences,
10(F), 391�396.
Patimah, S.,
Septiyanti, S., Sundari, S., & Arundhana, A. I. (2021). Magnesium Intake
and Stunting were Associated with Obesity among Adolescent Girls. Urban
Health, 3(1).
Reid, B. M.,
Harbin, M. M., Arend, J. L., Kelly, A. S., Dengel, D. R., & Gunnar, M. R.
(2018). Early life adversity with height stunting is associated with
cardiometabolic risk in adolescents independent of body mass index. The
Journal of Pediatrics, 202, 143�149.
RI, K. (2021).
Buku Saku Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tingkat Nasional. Provinsi,
Dan Kabupaten/Kota Tahun, 2021, 1�168.
Sadeghi, H. M.,
Adeli, I., Calina, D., Docea, A. O., Mousavi, T., Daniali, M., Nikfar, S.,
Tsatsakis, A., & Abdollahi, M. (2022). Polycystic ovary syndrome: a
comprehensive review of pathogenesis, management, and drug repurposing. International
Journal of Molecular Sciences, 23(2), 583.
Sari, E. M.,
Juffrie, M., Nurani, N., & Sitaresmi, M. N. (2016). Asupan protein, kalsium
dan fosfor pada anak stunting dan tidak stunting usia 24-59 bulan. Jurnal
Gizi Klinik Indonesia, 12(4), 152�159.
Semba, R. D.,
Shardell, M., Ashour, F. A. S., Moaddel, R., Trehan, I., Maleta, K. M., Ordiz,
M. I., Kraemer, K., Khadeer, M. A., & Ferrucci, L. (2016). Child stunting
is associated with low circulating essential amino acids. EBioMedicine, 6,
246�252.
Shao, J., Lou, J.,
Rao, R., Georgieff, M. K., Kaciroti, N., Felt, B. T., Zhao, Z.-Y., &
Lozoff, B. (2012). Maternal serum ferritin concentration is positively
associated with newborn iron stores in women with low ferritin status in late
pregnancy. The Journal of Nutrition, 142(11), 2004�2009.
Tetteh, D. A.,
& Faulkner, S. L. (2016). Sociocultural factors and breast cancer in
sub-Saharan Africa: implications for diagnosis and management. Women�s
Health, 12(1), 147�156.
Vaag, A. A.,
Grunnet, L. G., Arora, G. P., & Br�ns, C. (2012). The thrifty phenotype
hypothesis revisited. Diabetologia, 55, 2085�2088.
Wulandary, W.,
& Sudiarti, T. (2021). Nutrition Intake and Stunting of Under-Five Children
in Bogor West Java, Indonesia. J Food Sci Nutr, 7(104), 2.
Yasmin, G.,
Kustiyah, L., & Dwiriani, C. M. (2019). Stunted children has higher risk of
overweight: a study on children aged 6�12 years in eight provinces in
Indonesia. Pak J Nutr, 18(5), 455�463.
Copyright
holder: Cevin Rosse Octaviane, Ahmad Syafiq
(2022) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |