Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

KEADAAN INSOLVENSI DALAM PERMOHONAN PAILIT PERUSAHAAN SEBAGAI UPAYA MENJAGA KEPENTINGAN KREDITOR DAN DEBITOR MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PKPU

 

Annisa Egis Agnesia, Christine S.T Kansil

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Indonesia

E-mail: [email protected]

 

Abstrak

Undang-Undang Kepailitan Indonesia (Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Banckrupcty dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)) perlu diubah beberapa kali menyusul tuntutan perubahan bisnis dan investasi yang semakin global. Penerapan prinsip kepailitan dalam permohonan pailit suatu perusahaan dapat menjadi salah satu langkah untuk memperbaiki iklim kepailitan di Indonesia sehingga dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya.

 

Kata kunci: kepailitan, bank cruptcy, kepentingan kreditor dan debitur.

 

Abstract

The Indonesian Bankruptcy Law (The Law Number 37 of 2004 concerning Banckrupcty and Postponement of Debt Payment Obligations (PKPU)) needs to be amended several times following the increasingly global demands of business and investment changes. The application of the principle of insolvency in a company's bankruptcy application can be one of the steps to improve the bankruptcy climate in Indonesia so as to attract investors to invest their capital.

 

Keywords: bankruptcy, bankruptcy, the interests of creditors and debtors.

 

Pendahuluan

Topik ini berangkat dari iklim investasi yang diterapkan pemerintah Indonesia didukung dengan dibentuknya berbagai produk hukum pendukung seperti UU Cipta Kerja mendorong peneliti untuk mengkaji lebih jauh mengenai bagaimana kepastian hukum atas iklim investasi yang sedang gencar-gencarnya dicanangkan pemerintah (Masitah et al., 2022).

Dalam hal ini peneliti mengambil bidang kepailitan sebagai topik penelitian mengingat ada rencana revisi UU Kepailitan dan PKPU yang masih menjadi pro dan kontra dikalangan para ahli hukum. Tidak dapat dipungkiri kepailitan dan PKPU memiliki peran penting tersendiri dalam terselenggaranya kegiatan investasi di sebuah negara (Nindyo Pramono & Sularto, 2017). Semakin berkembanganya kegiatan bisnis dan investasi di era globalisasi secara tidak langsung juga mendorong dan menuntut perubahan iklim hukum kepailitan dalam sebuah negara (Nasarudin, 2014). Oleh karena itu diperlukan perubahan-perubahan baik secara mendasar maupun menyeluruh mengenai asas-asas dan ketentuan-ketentuan pada hukum kepailitan di Indonesia yang dapat diterima secara global (globally accepted principles) sehingga membuka minat investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia (Khair, 2018).

Menilik dari beberapa referensi perkembangan ketentuan hukum positif kepailitan di Indonesia hingga saat ini, yakni UU No. 37 Tahun 2004 belum dibentuknya pengaturan yang eksplisit mengenai perlindungan kreditor, debitor, dan stakeholders dalam pengajuan permohonan pailit (Adrian Sutedi, 2015). Syarat formill yang limitatif dalam pengajuan permohonan pailit serta UU Kepailitan Pasal 2 ayat (1) yaitu adanya fakta bahwa utang yang telah jatuh tempo dan tidak dibayar adalah garis besar utama dalam pengajuan permohonan pailit di Indonesia serta penerapan prinsip pembuktian sederhana yang dituangkan dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU dimana menyebutkan bahwa �Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan jika terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa pernyataan pailit sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.� seringkali menjadi momok yang merugikan debitor yang sebenarnya masih dalam keadaan solven jatuh kedalam kondisi pailit (Filza, 2021). Kepailitan disini seharusnya berperan sebagai solusi dari masalah penyelesaian hutang debitur yang sedang mengalami kebangkrutan bukan malah dijadikan sebagai alasan untuk membangkrutkan perusahaan. Sedang disisi lain, tidak dapat dipungkiri syarat ini dapat dimanfaatkan oleh debitor untuk mempailitkan diri sendiri untuk melepas tanggung jawabnya kepada kreditor dengan mudah sehingga berdampak pada tidak terbayarnya debitur secara maksimal. Maka dari itu, pada hukum kepailitan negara maju dikenal keadaan insolven atau insolvensi. Mengutip pendapat Sutan Remy dalam bukunya, �Insolvency arises when individuals or business have insufficient assets to cover the debts, or are unable to pay their debts when they are supposed to�, yang berarti, keadaan dimana debitur tidak dapat membayar hutang kepada seluruh debiturnya bukan hanya kepada satu kreditur (Onakoya & Olotu, 2017).

Sehingga, peran insolvensi dalam hal ini menjadi perantara pembuktian hukum bagi kreditur dan debitur dalam permohonan pailit untuk mencegah kreditur nakal yang merugikan debitur, maupun debitur yang memiliki itikad tidak baik, yaitu debitur bukan tidak dapat mengembalikan utangnya (ability to repay) melainkan tidak mau membayar utangnya (willingness to repay). Sebagai implikasi dari pertimbangan hakim yang cenderung menganut asas pembuktian sederhana dengan mengenyampingkan pertimbangan keadaan insolven bagi debitur adalah tingginya angka permohonan pailit yang masuk ke pengadilan niaga. Hal ini akan memberi representasi buruk pada para investor asing mengenai penyelesaian hutang-piutang antara kreditur dan debitur dalam sebuah Lembaga kepailitan di Indonesia.

Maka dari itu, dengan membandingkan hukum kepailitan di negara-negara lain, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa keadaan insolvensi memiliki peran penting dalam memberikan perlindungan bagi kreditur dan debitur dalam sebuah permohonan pailit. Dimana hukum kepailitan tidak lagi hanya memberikan perlindungan dominan ke salah satu pihak, melainkan dapat menjaga seluruh kepentingan yang terlibat dalam pailitnya sebuah perusahaan.

 

Metode Penelitian

Bentuk penelitian dari penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dimana penelitian ini pengolahan data merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan yang ada (Soerjono, 2015). Dikarenakan bahwa penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dibahas.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Implementasi Keadaan Insolvensi Dalam UU Kepailitan dan PKPU Sebagai Upaya Memberikan Perlindungan Bagi Kreditor dan Debitor Dalam Permohonan Pailit Perusahaan

Merujuk ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU tidak diatur secara pasti mengenai definisi dari insolvensi (Insolvensi, 2017). Tetapi dari beberapa interpretasi hukum dan penjelasan Pasal 57 (1) UU Kepailitan, dapat disimpulkan insolvensi dalam UU Kepailitan Indonesia adalah ketidakmampuan membayar atau keadaan dimana debitur tidak mampu membayar lagi hutangnya (Ratnasari et al., 2022). Prof. Sutan Jeremy Sjahdeini dalam bukunya menyebutkan bahwa seorang debitur berada dalam keadaan insolven adalah jika debitor itu tidak mampu secara finansial membayar sebagian besar utang-utangnya atau nilai aktiva atau asetnya kurang dari nilai pasiva atau liabilitiesnya (Santoso et al., 2022).

Perlu digarisbawahi bahwa sampai saat ini, UU Kepailitan Indonesia belum mengatur secara rinci mengenai ketentuan pembuktian keadaan insolven dalam sebuah perkara kepailitan (Firdaus, 2018). Meski keadaan tidak mampu membayar beberapa kali disebut dalam ketentuan dibeberapa pasal, tapi nyatanya keadaan insolvensi masih jarang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sebuah putusan dalam perkara kepailitan padahal jika menilik dari hukum kepailitan negara lain, misalnya Bankruptcy Code di Amerika, insolvensi memegang peranan penting dalam proses penjatuhan pailit.

Dalam UU Kepailitan Indonesia sendiri menganut beberapa asas yaitu (Anggoro, 2021);

1.      Asas Keseimbangan, terdapat beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan dimana terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan Lembaga kepailtian oleh debitor yang tidak jujur maupun sebaliknya bagi Lembaga kepailitan oleh kreditor yang beritikad buruk.

2.      Asas Kelangsungan Usaha, dimana terdapat ketetapan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap berjalan.

3.      Asas Keadilan, mencegah tindakan kesewenang-wenangan yang mengusahakan pembayaran tagihannya dengan mengabaikan kreditor yang lain.

4.      Asas Integrasi, mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan materill peraturan kepailitan merupaka satu kesatuan utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata.

Tapi dalam implementasi, asas-asas tersebut dapat dikatakan belum secara maksimal diterapkan. Masih banyak terjadi kontra antara pengaturan asas dengan ketentuan yang ada. Misalnya penerapan asas keseimbangan, dimana disebutkan melindungi kepentingan kreditur dan debitur maupun Lembaga kepailitan dari penyalahgunaan, yang pada nyatanya masih terjadi kekosongan hukum untuk melindungi setiap kepentingan tersebut sehingga penerapannya menjadi tidak maksimal. Atau asas keberlangsungan usaha yang focus diterapkan setelah putusan pailit bukan mempertimbangkan lebih dahulu kondisi keberlangsungan usaha perusahaan sebelum permohonan pailit diajukan ke pengadilan.

Sebelum dibentuknya UU NO. 37 Tahun 2004, Indonesia menganut UU No. 4 Tahun 1998 dimana terdapat perubahan yang signifikan pada syarat penjatuhan pailit. UU No. 4 Tahun 1998 hanya memberikan syarat penjatuhan pailit yaitu pada saat debitur dalam keadaan berhenti membayar. Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai alasan berhenti membayar ini seringkali dijadikan celah bagi debitur yang tidak beritikad baik untuk mempailitkan dirinya sendiri. Oleh karena itu pada perubahan UU No. 37 Tahun 2004 dibuatlah syarat penjatuhan �pailit yang lebih condong melindungi kreditur yakni (Lie et al., 2019);

1.      Ada dua atau lebih kreditur (concursus creditorium)

2.      Adanya hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (due and payable)

Akan tetapi nyatanya, dua syarat tersebut masih tergolong mudah bagi debitur untuk meloloskan diri dari tanggung jawab kepada para kreditornya. Apalagi, jika di pengadilan debitur tersebut mampu membuktikan secara sederhana keberadaan hutang tersebut sehingga memenuhi pertimbangan umum para hakim di Indonesia yakni pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan.

Pada UU Kepailitan Negara maju, diakui adanya asas persyaratan insolven dimana asas ini menganut prinsip bahwa hanya perusahaan yang insolven saja yang dapat dipailitkan. Asas ini bertujuan agar debitor yang diajukan atau mengajukan diri dalam permohonan pailit merupakan debitor yang telah terbukti benar-benar dalam keadaan tidak dapat melunasi seluruh hutangnya lagi. Sedang dalam praktiknya, asas ini diimplementasikan dalam pembuktian menggunakan tes insolvensi (insolvency test.).

Secara universal dengan perbandingan beberapa jenis tes insolvensi di berbagai negara terdapat 3 finansial tes untuk menentukan insolvensi dalam kepailitan dan hukum perusahaan yaitu (Surjanto, 2018);

1.      To ability to pay solvency test, yaitu tes untuk menentukan apakah suatu debitur (dalam hal ini perusahaan) dapat membayar utangnya ketika jatuh waktu.

2.      The balance sheet solvency test, yakni tes untuk menentukan apakah nilai aset yang wajar dari suatu debitor dapat menutupi dari kewajibannya (hutang).

3.      The capital adequany solvency test, yaitu tes yang menentukan apakah perusahaan memiliki kapital yang memadai.

Selama ini di Indonesia, dalam perkara kepailitan umumnya hakim hanya secara subjektif menilai apakah suatu debitur dalam permohonan pailit masuk kedalam keadaan insolven atau solven. Subjektifitas ini tentu saja menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak pada kepentingan kreditur dan debitur. Hal ini mendorong urgensi untuk merubah syarat penjatuhan pailit dalam UUKPKPU dengan menambahkan instrument pertimbangan keadaan insolven dalam syarat permohonan pailit.

Dengan adanya asas persyaratan insolven menggunakan instrument test insolvensi ini, baik kreditur maupun debitur sendiri (voluntary petition) dalam mengajukan permohonan pailit ke pengadilan wajib membuktikan bahwa debitur tersebut berada dalam keadaan insolven, atau dengan kata lain jika terbukti sebaliknya yakni debitur dinilai masih dalam keadaan solven maka permohonan pailit debitur tersebut tidak dapat diajukan ke pengadilan untuk dipailitkan.

B.  Akibat Hukum dari Kekosongan Hukum (vacuum of norm) Pengaturan Insolvensi dalam UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU dalam Permohonan Pailit Perusahaan bagi Kreditor dan Debitor

Pada beberapa kasus perkara kepailitan, Hakim di Indonesia cenderung lebih mempertanyakan dan memberi pertimbangannya kepada apakah hutang tersebut dapat dibuktikan secara sederhana (pembuktian sederhana) setelah dipenuhinya kedua syarat dalam Pasal 2 (1) UUKPKPU tersebut diatas dalam sebuah permohonan pailit. Padahal secara umum esensi kepailitan sendiri adalah keadaan dimana debitur benar-benar tidak mampu melunasi hutangnya, yang dimana sebenarnya dalam pengertian ini sudah menganut pertimbangan insolvensi. Dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU disebutkan bahwa �Permohonan penryataan pailit harus dikabulkan jika terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan pailit sebagaimana dalam Pasal 2(1) telah dipenuhi� Ketentuan ini mengenyampingkan apakah perusahaan tersebut masih dapat dikategorikan perusahaan yang solven/ tidak dan mempersempit pertimbangan hakim untuk tidak mengabulkan permohonan tersebut setelah terpenuhinya dua syarat penjatuhan pailit. Dengan kosongnya aturan hukum mengenai keadaan insolven pada hukum kepailitan tidak dapat diterapkannya instrument tes insolvensi dalam sebuah perkara kepailitan, padahal asas dan instrument ini dapat dijadikan sebuah upaya dalam melindungi kepentingan debitur dan kreditur. Seperti telah disebutkan diatas, limitatifnya syarat penjatuhan pailit dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU memberikan dampak tingginya angka permohonan pailit pada Pengadilan Niaga. Padahal dengan adanya instrument tes insolvensi lebih dahulu sebelum permohonan pailit diajukan, dapat diketahui keadaan dan potensi keuangan debitur dalam melunasi hutangnya. Jika test insolvensi diterapkan, maka keadaan insolven dapat dibagi menjadi dua jenis yakni;

1.      Debitur dinyatakan insolven hanya jika nilai aktiva atau hutangnya sudah melebihi nilai pasiva atau nilai aset. Keadaan ini dikenal sebagai Balance Sheet Insolvency.

2.      Debitur dalam keadaan keuangan yang tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk membayar hutangnya saat jatuh tempo karena pemasukan (cash inflow) lebih besar daripada pengeluarannya (cash outflow) meskipun nilai asetnya lebih besar daripada nilai hutangnya dikenal sebagai Cash Flow Insolvency.

Dua jenis keadaan insolven diatas membawa akibat hukum dimana hanya debitur yang terbukti berada dalam keadaan Balance Sheet Insolvency yang dapat diajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga. Sedangkan, untuk debitur yang masih berada dalam keadaan Cash Flow Insolvency menjadi perkara wanprestasi biasa yang dapat masuk kedalam kewenangan Pengadilan Umum. Sehingga tidak terjadi penumpukkan, atau overlapping di Lembaga Kepailitan. Selain itu, dengan kosongnya pengaturan mengenai insolvensi mempermudah pengajuan permohonan pailit yang berdampak bergesernya fungsi dan esensi dari kepailitan itu sendiri, dimana seharusnya kepailitan dijadikan sebagai upaya terakhir (Ultimum Remidium) dalam penyelesaian hutang-piutang antara kreditur dan debitur.

1.    Akibat Hukum Bagi Debitur

Akibat hukum yang signfikan dari tidak diaturnya insolvensi secara khusus pada hukum kepailitan di Indonesia adalah banyaknya perusahaan yang jatuh kedalam pailit, padahal perusahaan tersebut sebenarnya masih dalam kategori solven dalam melunasi hutang-hutang kepada debitur. Membandingkan dengan iklim kepailitan pada negara maju, misalnya Amerika dan Belanda, hukum kepailitan mereka condong memberikan perlindungan bagi para debitur yang dalam hal ini utamanya adalah sebuah perusahaan. Bukan tanpa alasan, merangkum dari beberapa sumber peneliti menyimpulkan alasan perlu diutamakannya perlindungan bagi debitur yang berbentuk perusahaan adalah yakni,

a.       Perusahaan adalah wujud representasi terselenggaranya bisnis pada sebuah negara

b.      Pengaturan hukum dan tata kelola perusahaan yang baik pada sebuah negara akan menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di negara tersebut

c.       Perusahaan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat banyak Sehingga yang terjadi jika representasi hukum kepailitan yang menjadi salah satu pranata penyelesaian hukum dalam perkara bisnis tidak dapat melindungi debiturnya, investor asing akan kehilangan minatnya untuk menanamkan modal di Indonesia.

2.    Akibat Hukum Bagi Kreditur

Dalam hukum kepailitan Indonesia, diakui adanya mekanisme permohonan pernyataan pailit oleh debitur sendiri �voluntary petition�. Dalam mekanisme ini dimungkinkan debitur mengajukan pailit untuk dirinya sendiri dengan persyaratan yang sama seperti penjatuhan pailit pada Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, yang berakibat hukum debitur yang mengajukan pailit hanya harus membuktikan dirinya memiliki dua atau lebih kreditur dan hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Terdapat celah hukum dimana setelah terbuktinya syarat-syarat kepailitan oleh pemohon, tidak dipertimbangkan lebih lanjut adanya persangkaan akan rekayasa yang dilakukan oleh debitur. Mengutip pernyataan Mantan Hakim Agung Retnowulan dalam tulisannya �Tanggung Jawab Pengurus Perusahaan Debitur dalam Kepailitan� disebutkan terjadinya hal ini disebabkan,

a.       Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang pemohon yang telah sengaja telah membuat hutang kanan kiri dengan maksud untuk tidak membayar dan setelah itu mengajukan permohonan untuk dinyatakan pailit;

b.      Kepailitan diajukan oleh teman baik termohon pailit, yang berkolusi dengan orang atau badan hukum yang dimohon agar dinyatakan pailit, sedangkan alasan yang mendukung permohonan tersebut sengaja dibuat tidak kuat sehingga jelas permohonan tersebut akan ditolak oleh Pengadilan Niaga. Permohonan ini justru diajukan untuk menghindarkan agar kreditur yang lain tidak bisa mengajukan permohonan kreditur yang lain akan terhambat. 3

Sedangkan dalam kasus persangkaaan macam ini harus dibuktikan melalui gugatan kepada Pengadilan Negeri yang diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus sebuah perkara perdata maupun pidana sipil. Pengadilan Niaga tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara sejenis ini, karena hanya diberi kewenangan untuk menangani masalah- masalah pokok kepailitan saja. Hal ini akan mempersulit proses pemeriksaan yang sebenarnya pokok perkaranya adalah perkara kepailitan sehingga berdampak pada praktik Lembaga kepailitan yang tidak akan berjalan dengan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, peran ketentuan mengenai persyaratan insolven menjadi penting dalam melindungi kreditur dari debitur yang tidak beritikad baik dalam melunasi hutangnya.

 

Kesimpulan

Asas dan ketentuan dalam hukum kepailitan Indonesia perlu banyak dilakukan perubahan mengikuti tuntutan perkembangan bisnis, investasi dan penanaman modal yang gencar dicanangkan pemerintah. Perlu dibentuknya ketentuan- ketentuan yang lebih modern dan dapat diterima secara global, terutama negara-negara yang menjadi sasaran pemodal di Indonesia. Dengan iklim hukum kepailitan yang mampu melindungi berbagai kepentingan utamanya debitor, kreditor dan stakeholders peneliti meyakini akan membawa dampak baik yakni menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah yaitu dengan menambahkan asas persyarat insolvensi dalam UUKPKPU. Implementasinya dapat diwujudkan dalam rupa instrument tes insolvensi (insolvency test). Asas dan instrument ini akan membawa banyak perubahan dalam sebuah permohonan pailit seperti yang telah dianut lebih dahulu dalam ketentuan hukum kepailitan di berbagai negara maju seperti Amerika dan Belanda.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adrian Sutedi, S. H. (2015). Buku pintar hukum perseroan terbatas. Raih Asa Sukses.

 

Anggoro, T. (2021). Transformasi Asas Publisitas Kepailitan Dan Pkpu Untuk Penurunan Biaya Kepailitan Dan Kemudahan Akses Informasi Dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi Indonesia. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 10(3), 479�497.

 

Filza, L. (2021). Tinjauan Yuridis Permohonan Kepailitan Perseroan Komanditer (CV) Menurut Hukum Kepailitan di Indonesia. Universitas Medan Area.

 

Firdaus, D. (2018). Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Perdamaian pada Perseroan Terbatas Sebagai Upaya Perlindungan Debitor. Jurnal Penelitian Hukum Legalitas, 10(2), 67�89.

 

Insolvensi, K. S. D. K. (2017). Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Yang Dilakukan. Jurnal Nuansa Kenotariatan Volume, 3(1).

 

Khair, U. (2018). Analisis Yuridis Terhadap Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Bagi Debitor Terhadap Kreditor Pemegang Hak Tanggungan. JCH (Jurnal Cendekia Hukum), 3(2), 258�271.

 

Lie, G., Saly, J. N., Gunadi, A., & Tiray, A. M. (2019). Problematik UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU terhadap bank sebagai kreditor separatis. Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia, 2(2).

 

Masitah, D., Munandar, A., & Suhartana, L. W. P. (2022). Perubahan Bidang Usaha Dalam Kegiatan Penanaman Modal Asing Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. JURNAL EDUCATION AND DEVELOPMENT, 10(2), 677�687.

 

Nasarudin, M. I. (2014). Aspek hukum pasar modal Indonesia. Kencana.

 

Nindyo Pramono, S. H., & Sularto, S. H. (2017). Hukum Kepailitan dan Keadilan Pancasila-Kajian Filsafat Hukum atas Kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia. Penerbit Andi.

 

Onakoya, A. B., & Olotu, A. E. (2017). Bankruptcy and insolvency: An exploration of relevant theories. International Journal of Economics and Financial Issues, 7(3), 706�712.

 

Ratnasari, D., Fasa, M. I., & Ja�far, A. K. (2022). Pandangan Hukum Islam terhadap Status Muflis (Debitur Pailit) sebagai Gharimin (Mustahik Zakat). Reslaj: Religion Education Social Laa Roiba Journal, 4(2), 528�544.

 

Santoso, G. S., Ismail, Y., & Budiarti, D. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Atas Keadaan Insolvensi Debitur. Yurijaya: Jurnal Ilmiah Hukum, 4(2).

 

Soerjono, S. (2015). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta, Rajawali Pers.

 

Surjanto, D. (2018). Urgensi pengaturan syarat insolvensi dalam undang-undang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Denpasar: Acta Comitas Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(2).

 

Copyright holder:

Annisa Egis Agnesia, Christine S.T Kansil (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: