Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
PERAN GURU PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK ERA SOCIETY 5.0 (KAJIAN PERAN DAN KOMPETENSI GURU PAK)
STAKATN Pontianak, Indonesia
Email: [email protected]
Penelitian ini mau mengkaji peran Guru dalam proses Pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti serta Kompetensi Guru Pendidikan Agama Katolik yang diperlukan dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti dalam menghadapi Era Society 5.0. penelitian ini menggunakan studi kepustakaan dan Refleksi. Adapun Peran Guru Pendidikan Agama Katolik yang diharapkan dalam era Society 5.0 adalah (1) Model (Suri Tauladan), (2) Pembina Iman, (3) Katekis/ Pewarta, (4) Pengelola Pembelajaran, (5) Motivator, (6) Evaluator, (7) Konselor, (8) Komunikator, (9) Pelaksana Kurikulum, (10) Pengembang Kultur Sekolah. Kompetensi Guru Pendidikan Agama Katolik yang diperlukan adalah (1) Kompetensi Profesional, (2) Personal, (3) Kompetensi Sosial, (4) Kompetensi Spiritual, (5) Kompetensi Pedagogik; (6)Kompetensi ICT/Information, Communication, and Technology.
Kata Kunci: Pendidikan Agama Katolik, Peran Guru, Katekese
Abstract
This research wants to examine the role of the teacher in the learning process of Catholic Religious Education and the competence of Catholic Religious Education teachers needed in the learning of Catholic Religious Education in Facing the Era of Society 5.0. This research uses literature study and reflection. The expected roles of Catholic Religious Education Teachers in the Society 5.0 era are: (1) Models (Exemplars), (2) Faith Builders, (3) Catechists/PPreachers, (4) Learning Managers, (5) Motivators, (6) Evaluators, (7) Counselors, (8) Communicators, (9) Curriculum Implementers, and (10) School Culture Developers. The required Catholic Religious Education teacher competencies are (1) professional competence, (2) personal competence, (3) social competence, (4) spiritual competence, (5) paedagogic competence; (6) ICT/information, communication, and technology competence.
Keywords: Catholic Religious Education, Teacher roles, Cathecese
Pendahuluan
Guru adalah profesi yang mendapat tempat dan peran yang sangat terhormat dalam masyarakat. Guru dianggap sebagai pelaku utama pendidikan sebagai bagian integral dalam memajukan bangsa. Peran Guru dalam mencerdaskan krhidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Tidak hanya mengajar, namun juga membentuk karakter anak bangsa sebagai ujung tombak penentu masa depan Bangsa. Guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merangsang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan (Hamu:2015).
Guru Pendidikan Agama Katolik, pada khususnya, memiliki tanggung jawab terhadap peserta didiknya, tidak hanya soal pengetahuan Kekatolikan saja, namun juga mengenai budi pekerti/ sikap moral dan spiritual. Bisa dikatakan bahwa kualitas kompetensi Guru mempengaruhi kualitas muridnya. Kompetensi Guru Pendidikan Agama Katolik merupakan bentuk kemampuan dari seorang guru yang dibangun dari dalam dirinya sendiri, keluarga dan lingkungan demi terwujudnya kecerdasan, ketrampilan dalam satu instansi pendidikan.
Guru Pendidikan Agama Katolik yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga tujuan pembelajaran berada pada tingkat optimal (Haru:2019) Kematangan seseorang guru dalam mengemban profesi keguruan juga ditentukan oleh faktor pengalaman mengajar dan lamanya mengajar. Artinya setelah sekian lama mengarungi profesi keguruan yang diembannya membuat yang bersangkutan tahu dan paham tentang kapasitasnya sebagai seorang guru sehingga memungkinkan yang bersangkutan semakin dewasa dan mandiri di dalam berpikir, bertutur dan bertindak dalam kerangkah profesinya. Panorama dari gambaran guru yang ideal ini sudah dapat diduga akan berpengaruh positif pada proses pengelolaan pendidikan yang mampu melahirkan lulusan bermutu yang dibuktikan dengan hasil langsung pendidikan berupa nilai yang dicapai peserta didik dan dapat juga dilihat dari dampak pengiring, yaitu peserta didik setelah bertugas di tengah masyarakat.
Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menemukan Peran apa saja yang dimiliki oleh Guru Pendidikan Agama Katolik serta kompetensi yang menyertai guna menjawab tantangan Era Society 5.0 yang akan segera menjadi kenyataan. Penelitian ini merupakan penelitian dalam bentuk kajian pustaka (Literature review). Kajian pustaka adalah tindakan mencermati, mendalami, dan menelaah pengetahuan (Fitrah& Lutfiyah:2017). Peneliti mengumpulkan data untuk penelitian ini dari berbagai sumber literature, baik berupa buku ataupun literatur online yang diterbitkan oleh seorang penulis tunggal atau sekelompok penulis dalam buku, surat, dokumen, jurnal atau situs web. Penelitian ini menggunakan prosedur penelitian analitik. Dengan metode ini, peneliti dapat melihat fakta atau informasi dan menganalisisnya untuk mengevaluasinya secara kritis.
Hasil dan Pembahasan
Peran Guru Pendidikan Agama Katolik yang diharapkan dalam era Society 5.0
Era Society 5.0 merupakan sebuah konsep masyarakat yang berpusat pada manusia dan berbasis teknologi. Pada bidang pendidikan di era society 5.0 bisa jadi siswa atau mahasiswa dalam proses pembelajarannya langsung berhadapan dengan robot yang khusus dirancang untuk menggantikan pendidik atau dikendalikan oleh pendidik dari jarak jauh melalui teknologi (Cendana Sari : 2019).
Peran Guru dalam transormasi era Revolusi Industri 4.0 menuju era society 5.0 sangat penting. Oleh karena itu, guru terutama Guru Agama Katolik (Cendana Sari:2019), harus menyadari bahwa: (1) Guru memiliki sikap profesional, dedikatif, dan terpercaya; (2) Guru menguasai bidang pelayanannya dan mau berkontribusi penuh dalam dunia pendidikan, agama dan sosial kemasyarakatannya; (3) Guru memiliki pandangan visioner dengan mengolah sistem dan tujuan mengajarnya demi membentuk karakter dan masa depan peserta didik; (4) Guru menjadi teladan hidup yang nyata, inspirasi dan konsultan yang hadal bagi peserta didiknya; (5) Guru peka terhadap kebutuhan dan tantangan dunia, mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan zaman dan paradigma dunia pendidikan sehingga terus menerus berusaha meningkatkan intelektusal dan ketrampilannya dalam pengajaran.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka bisa dikatakan bahwa Peran Guru Pendidikan Agama Katolik yang diharapkan dalam Era Society 5.0 adalah sebagai berikut:
Model (Suri Tauladan)
Menurut Arfandi (2021) peran guru sebagai teladan tidak hanya berlaku bagi peserta didik maupun bagi lingkungan di mana guru tesebut berada. Oleh karena itu, penting diperhatikan guru dalam segala aktivitas kesehariannya, baik dalam penampilan, gaya bicara, rutinitas bekerja, pakaian yang digunakan, interaksi dengan komunitas sosialnya, gaya hidup dan bagaimana cara mengambil keputusan serta bertindak. Karena keseluruhan hidupnya adalah teladan. Layaknya pepatah Latin: “verba doscent, exempla trahunt” (kata-kata mengajarkan, tindakan meyakinkan) yang maknanya adalah Guru mengajar dengan kata-kata, namun teladannya memberi keyakinan tentang apa yang diajarkan. Teladan itu memiliki kekuatan pengajaran yang efektif dibandingkan pengajaran teori.
Pribadi Guru Pendidikan Agama Katolik mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku peserta didik. Untuk itulah, guru harus menjadi contoh (suri teladan) bagi peserta didik karena pada dasarnya Guru Pendidikan Agama Katolik adalah representasi dari sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat menjadi teladan, yang dapat digugu dan ditiru.
Mengingat interaksi pendidik-peserta didik menjadi inti dari budaya sekolah atau budaya belajar di sekolah, maka seluruh perilaku pendidik, dalam hal ini Guru Pendidikan Agama Katolik , perlu menampilkan diri sebagai seorang pembelajar, sehingga mampu menginspirasi peserta didik dan anggota komunitas yang lain dalam belajar. Guru Pendidikan Agama Katolik perlu menjadi model atau teladan sebagai pembelajar. Seorang pendidik tampak sebagai pembelajar antara lain dari pengelolaan kelas, pengembangan proses pembelajaran dalam bidang studinya, karya-karya ilmiah yang dihasilkannya, dan dalam menyikapi masalah-masalah dalam masyarakat dan lingkungan sekitar.
Pembina Iman
Pembinaan iman dapat dikatakan sebagai kegiatan yang diupayakan dalam Pendidikan Agama Katolik demi memperkembangkan iman siswa. Kegiatan pembinaan iman bagi para siswa dapat dilaksanakan melalui rekoleksi, retret, pendalaman iman camping rohani dan sebagainya.
Pembinaan dalam rumusan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah pembinaan berasal dari kata “bina”. Lebih lanjut dikatakan bahwa pembinaan mengandung tiga pengertian yaitu : “(1) Pembinaan berarti ‘proses, perbuatan, cara membina’. (2) Pembinaan berarti ‘perubahan, penyempurnaan’. (3) Pembinaan berarti ‘usaha, tindakan dan kegiatan yang dilaksanakan berguna untuk memperoleh hasil yang lebih baik”
Melalui pembinaan iman, peserta didik dapat dibantu untuk meningkatkan, baik pengetahuan keagamaan dan kecakapan praktek keagamaan, serta dapat memperbaiki sikap-karakternya untuk mencapai tujuan hidup melalui kerja secara lebih efektif. Melalui pembinaan iman di sekolah, peserta didik dapat memperdalam kemampuan, kecakapan dan pengetahuannya yang sudah dimiliki dan dapat memperoleh kemampuan, kecakapan dan pengetahuan baru yang belum dimiliki.
Ciri utama pembinaan iman (Hamu: 2019) adalah bimbingan pastoral (curra animarum=pemeliharaan jiwa-jiwa) dalam rangka penggembalaan. Artinya, pembinaan merupakan perwujudan nyata keprihatinan Gereja akan kaum muda, untuk mengembangkan pribadi mereka sebagai manusia Kristiani. Pemikiran itu mencakup dua dimensi yakni dimensi vertikal (hubungan dengan yang Ilahi, Tuhan) dan dimensi horizontal (hubungan dengan sesama dan alam pada umumnya). Meskipun merupakan bagian integral dari pendidikan manusia seutuhnya. Tujuan pembinaan iman di sini adalah untuk mengembangkan pribadi kaum muda sebagai subyek yang perlu didampingi dan diarahkan. Dalam hal ini tujuan dari pembinaan adalah kepenuhan perkembangan pribadi manusia dalam hubungannya dengan sesama, alam dan terutama dengan Tuhan.
Pendidikan Agama Katolik di sekolah, bukan hanya mengajarkan segi pengetahuan saja, melainkan juga dalam rangka pewartaan iman (baik evangelisasi maupun katekese). Iman sebagai dasar pedoman hidup manusia yang tercermin dalam sikap, baik dalam sikap doa maupun sikap dalam menanggapi peristiwa peristiwa hidup secara bertanggung jawab. Iman di sini merupakan sikap dasar manusia atas karunia Tuhan. Iman juga merupakan sikap batin manusia dalam bertindak, sehingga tindakan manusia terarah dan mampu mewujudkan sikapnya secara konkrit kepada Allah dengan sadar. Melalui iman manusia menyadari dan mengakui bahwa Allah menyapa dan memanggilnya. Dalam iman itu pula manusia menyerahkan diri kepada Allah. Iman berarti jawaban atas panggilan Allah
Dalam hal ini, peserta didik tidak hanya sekedar dibantu untuk belajar secara teoritis saja, tetapi juga dibantu untukmengimplementasikannya dalam kehidupan sosial nyata dalam komunitas mereka.. Melalui pembinaan iman, peserta didik juga dibimbing untuk mengenal dan mengembangkan kemampuannya, agar dapat memanfaatkan pembinaan secara lebih berguna dalam hidup sehari-hari.
Sebagai penanggung jawab pembinaan iman peserta didik di sekolah,, seorang Guru Pendidikan Agama Katolik dituntut memiliki sikap pengorbanan yang tinggi sebagaimana termaktub dalam Injil Yohanes 10:1-15. Hal ini disebabkan karena pembinaan iman siswa di sekolah tidak hanya dilaksanakan melalui berbagai kegiatan Pendidikan Agama Katolik saja, tetapi juga melalui berbagai kegiatan pembinaan iman di luar Pendidikan Agama Katolik atau di luar jam-jam pelajaran di sekolah. Peranan Guru Pendidikan Agama Katolik sebagai penanggung jawab pembinaaan iman peserta didik, Guru Pendidikan Agama Katolik di sekolah dapat mengadakan aneka kegiatan rohani seperti: Rekoleksi, Katekese sekolah/ pendalaman iman, camping rohani, live in, Perayaan ekaristi pelajar, dll.
Untuk menjalankan peran sebagai pembina iman guru Pendidikan Agama Katolik tidak hanya bekerja seorang diri seperti halnya dalam mengajar, tetapi Guru Pendidikan Agama Katolik dapat melibatkan orang lain untuk bekerja bersama-sama tim. Guru Pendidikan Agama Katolik dapat melibatkan para pendidik Katolik dan karyawan Katolik yang ada di sekolah. Guru Pendidikan Agama Katolik dapat juga melibatkan orang tua para siswa dan orang lain yang berkehendak baik untuk melaksanakan pembinaan iman bagi siswa. Selain itu para orang tua perlu dilibatkan dalam usaha mendorong dan memberi ijin kepada putra-putrinya untuk mengikuti kegiatan pembinaan iman yang diselenggarakan (Gravissium Educationis art. 3).
Agar dapat berperan sebagai penanggung jawab pembinaan iman siswa di sekolah, maka Guru Pendidikan Agama Katolik sendiri haruslah seorang yang matang dalam iman dan memiliki perasaan bertanggung jawab. Guru Pendidikan Agama Katolik di sekolah dituntut juga untuk memiliki semangat pengabdian dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu guru Pendidikan Agama Katolik perlu menyadari bahwa dirinya adalah penanggung jawab pembinaan iman bagi siswa di sekolah. Guru Pendidikan Agama Katolik perlu memiliki sikap untuk melayani dan menghayati perannya sebagai suatu penggilan. Panggilan menjadi Guru Pendidikan Agama Katolik merupakan rencana Allah yang mengarahkan pikiran Guru Pendidikan Agama Katolik. Untuk melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh sehingga membantu para siswa tumbuh dan berkembang menjadi manusia paripurna atau manusia beriman (Gaudium et Spes art. 11).
Katekis/ Pewarta
Guru Pendidikan Agama Katolik (Hamu:2019) merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus dalam bidang Pendidikan dan Pengajaran Agama Katolik dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar disiplin ilmu yang dimaksud. Mereka adalah orang-orang yang sungguh-sungguh paham dan ahli dalam bidangnya sebagai pendidik dan pewarta Sabda.
Prasetya, L.Pr (2010:10) menegaskan bahwa menjadi Guru Pendidikan Agama Katolik adalah sebuah panggilan kenabian untuk mengabdi Tuhan dalam wujud pewartaan Kabar Baik kepada peserta didik. Guru Pendidikan Agama Katolik dipanggil untuk menjawab panggilan Tuhan dan dengan sukarela menyediakan dirinya untuk menjadi mengemban profesinya sebagai pewarta iman. Inilah yang merupakan keunikan dan kekhasan profesi luhur sebagai Guru Pendidikan Agama Katolik jika dibandingkan dengan profesi keguruan bidang studi lainnya.
Komkat KWI (1997:35-40), mengemukakanprinsip dasar yang perlu diembang Guru Pendidikan Agama Katolik dalam melaksanakan tugasnya sebagai Katekis profesiona di sekolahl, yaitu sebagai berikut :
1. Guru Pendidikan Agama Katolik harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat mengggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi.
2. Guru Pendidikan Agama Katolikharus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berpikir serta mencari dan menemukan sendiri pengetahuan.
3. Guru Pendidikan Agama Katolik harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pelajaran dan penyesuaian dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik.
4. Guru Pendidikan Agama Katolik perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi), agar peserta didik menjadi lebih mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya.
5. Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan Guru Pendidikan Agama Katolik dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas.
6. Guru Pendidikan Agama Katolik wajib memerhatikan dan memikirkan korelasi antara mata pelajaran dan/atau praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pengelola Pembelajaran
Guru merupakan pengelola kelas saat ia mengajar. Adapun tujuan umum pengelolaan kelas adalah menyediakan dan menggunakan fasilitas bagi bermacam-macam kegiatan belajar mengajar, sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisikondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar dan membantu siswa untuk memperoleh hasil yang diharapkan.
Dalam Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti, Guru berperan menganalisa dan mengolah pengalaman sehari-hari peserta didik ke arah pengenalan tingkah laku dan kepribadiannya sendiri. Salah satu ciri manajemen kelas yang baik adalah tersedianya kesempatan bagi siswa untuk sedikit demi sedikit untuk mengurangi ketergantungannya pada guru sehingga mereka mampu membimbing kegiatannya sendiri.
Sebagai manajer, Guru Pendidikan Agama Katolik hendaknya mampu mempergunakan pengetahuan tentang teori pembelajaran dan teori psikologi perkembangan hingga memungkinkan untuk menciptakan situasi belajar yang baik, mengendalikan pelaksanaan pengajaran dan pencapaian tujuan.
Seorang Guru Pendidikan Agama Katolik sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat ditunjukkan oleh peserta didiknya. Untuk itu apabila seseorang ingin menjadi Guru Pendidikan Agama Katolik yang profesional maka sudah seharusnya ia dapat selalu meningkatkan wawasan pengetahuan akademis dan praktis melalui jalur pendidikan berjenjang (upgrading) dan/atau pelatihan yang bersifat in service training dengan rekan-rekan sejawatnya.
Perubahan dalam cara mengajar Guru Pendidikan Agama Katolik dapat diperoleh melalui peningkatan kompetensi mengajar sehingga kebiasaan lama yang kurang efektif dapat segera terdeteksi danperlahan-lahan dihilangkan. Untuk itu, maka perlu perubahan kebiasaan dalam cara mengajar Guru Pendidikan Agama Katolik yang diharapkan akan berpengaruh pada cara belajar siswa. Berkaitan dengan itu, penulis menunjuk beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang Guru Pendidikan Agama Katolik yaitu:
1. Guru Pendidikan Agama Katolik hendaknya berperan sebagai pengarah, pembimbing, pemberi kemudahan dengan menyediakan berbagai fasilitas belajar, pemberi bantuan bagi peserta yang mendapat kesulitan belajar, dan pencipta kondisi yang merangsang dan menantang peserta untuk berpikir dan bekerja (melakukan).
2. Mengubah dari berbagai metode ceramah dengan berbagai variasi metode yang lebih relevan dengan tujuan pembelajaran, memperkecil kebiasaan cara belajar peserta yang baru merasa belajar dan puas kalau banyak mendengarkan dan menerima informasi guru (ceramah) atau baru belajar kalau ada guru.
3. Guru Pendidikan Agama Katolik hendaknya mampu menyiapkan berbagai jenis sumber belajar sehingga peserta didik dapat belajar secara mandiri dan berkelompok, percaya diri, terbuka untuk saling memberi dan menerima pendapat orang lain, serta membina kebiasaan mencari dan mengolah sendiri
Motivator
Adanya pergeseran makna pembelajaran dari pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher oriented) ke pembelajaran yang berorientasi kepada peserta didik (student oriented), maka peran guru dalam proses pembelajaran pun mengalami pergeseran. Salah satunya adalah penguatan peran guru sebagai motivator. Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa mempunyai motivasi dalam belajar. Oleh sebab itu, guru perlu menumbuhkan motivasi belajar peserta didik.
Berikut beberapa petunjuk umum bagi guru, secara khususGuru Pendidikan Agama Katolik menurut Wina Senjaya (2008:99) dalam rangka meningkatkan motivasi belajarpeserta didik di antaranya:
1. Memperjelas tujuan yang ingin dicapai.
2. Membangkitkan minat siswa
3. Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar
4. Berilah pujian yang wajar terhadap setiap keberhasilan siswa.
5. Berikan penilaian.
6. Berilah komentar terhadap hasil pekerjaan siswa.
7. Ciptakan persaingan dan kerja sama
Tentunya motivasi tidak hanya bersifat positif, adakalanya motivasi itu juga dapat dibangkitkan dengan cara-cara lain yang sifatnya negatif seperti memberikan hukuman, teguran, dan kecaman, memberikan tugas yang sedikit berat (menantang). Untuk itulah seandainya masih bisa dengan cara-cara yang positif, sebaiknya membangkitkan motivasi dengan cara negatif dihindari.
Mengingat pentingnya faktor guru yang juga sebagai subyek utama di dalam kegiatan belajar mengajar, maka dalam konteks mata pelajaran pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti diharapkan seorang Guru Pendidikan Agama Katolik senantiasa berusaha menimbulkan, meningkatkan, dan memelihara motivasi peserta didik untuk belajar. Dalam hubungan ini Guru Pendidikan Agama Katolik mempunyai fungsi sebagai motivator dalam keseluruhan kegiatanpem belajaran.
Ada empat hal yang dapat dikerjakan guru dalam memberikan motivasi adalah sebagai berikut:
1. Membangkitkan dorongan siswa untuk belajar.
2. Menjelaskan secara konkret, apa yang dapat dilakukan pada akhir pengajaran.
3. Memberikan ganjaran terhadap prestasi yang dicapai hingga dapat merangsang pencapaian prestasi yang lebih baik dikemudian hari.
4. Membentuk kebiasaan belajar yang baik.
Evaluator (Evaluator student of Learning)
Dalam proses pembelajaran, melalui Peran guru sebagai evaluator, diharapkan hasil belajar peserta didik akan semakin meningkat pula. Peran evaluator yang diharapkan adalah evaluasi fomatif dan sumatif. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir penyajian suatu pelajaran atau model. Sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah sekumpulan program pelajaran selesai diberikan (Amir:2019).
Tujuan utama penilaian adalah adalah untuk melihat tingkat keberhasilan, efektivitas dan efisiensi dalam proses pembelajaran. Selain itu untuk mengetahui kedudukan peserta dalam kelas atau kelompoknya. Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar peserta didik, Guru Pendidikan Agama Katolik hendaknya secara terus-menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai peserta didik dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini akan menjadi umpan balik terhadap proses pembelajaran. Umpan balik akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran selanjutnya. Dengan demikian proses pembelajaran akan terus menerus ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.
Konselor
Konseling oleh Guru Pendidikan Agama Katolik dilakukan dalam rangka penggembalaan (pembinaan iman) yang dikenal dengan nama Konseling Pastoral. Menurut Martinus (2020:7-8), Pastoral Konseling adalah suatu pencarian dalam pimpinan Roh Kudus di dalam situasi psikologis dan spiritual yang terjadi. Pencarian ini bersifat timbal-balik, keduanya: baik Konselor (yang membimbing) dan konseli (yang dibimbing) sama-sama dalam pimpinan Roh Kudus.
Guru Pendidikan Agama Katolik menjadi tempat konsultasi bagi peserta didik untuk menyampaikan persoalan hidup yang mereka alami. Dengan peran Guru Pendidikan Agama Katolik sebagai konselor, ia diharapkan akan dapat merespon segala masalah tingkah laku yang terjadi dalam proses pembelajaran. Mengingat pentingnya peran guru sebagai konselor maka Guru Pendidikan Agama Katolik harus senantiasa menyediakan dirinya untuk:
1. Menolong peserta didik memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi.
2. Menjadi mediator komunikasi dalam hubungan inter dan antar personal.
3. Mengenal dirinya sendiri, baik itu motivasi, harapan, prasangka ataupun keinginannya
Komunikator
Guru profesional dalam kegiatan belajar mengajar berperan penting sebagai komunikator. Pengertian komunikator secara etimologi berasaldari bahasa Inggris yaitu communication, sedangkan pengertian komunikasi secara terminologi memiliki pengetian menyampaikan sebuah pesan atau informasi, yang meliputi perasaan, pikiran, gagasan, keahlian dari komunikator kepada komunikan untuk memberikan pengaruh terhadap pikiran komunikan sebagai feedback atau tanggapan balik bagi seorang komunikator. Oleh karena itu, komunikator bisa mengukur keberhasilan dan tidaknya tentang sebuah informai atau pesan yang sudah di sampaikan kepada komunikan.
Komunikasi sebagai salah satu tempat yang strategis keberadaannya di dalam kegiatan belajar mengajar dan pendidikan (Arfandi:2021). Pendidikan adalah komunikasi, karena dalam peroses pendidikan mempunyai beberapa komponen komunikator, komponen komunikan, dan komponen pesan (message). Pendidikan bisa dipahami dengan sebuah komunikasi karena adanya keterlibatan dua komponen penting yang terdiri dari seorang guru sebagai komonikator dan pserta didik sebagai komunikan. Dengan demikian, kegiatan belajar mengajar atau pendidikan jika dilakukan dengan proses yang komuniktif, maka pendidikan akan mencapai tujuan yang efektif dan efesien.Interaksi antara guru dan peserta didik di kelas merupakan komunikasi kelompok dan pada saat tertentu nanti guru akan mengubah komunikasi kelompok itu menjadi komunikasi antar personal.
Komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar memiliki peran yang sangat urgen dalam kelas, peran yang urgen itu adalah memberikan kefektifan dan kefesienan dalam kegitan belajar mengajar. Agar peran guru sebagai komunikator dapat terealisasi dengan baik, maka terdapat tiga kemampuan yang sangat esensial yang tentunya harus dilaksanakan oleh guru antara lain adalah sebagai berikut :
1. Kemampuan guru di dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar
2. Kemampuan guru di dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar
3. Kemampuan guru dalam menciptakan iklim yang komunikatif.
Pelaksana Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat pengalaman belajar yang akan didapat oleh peserta didik selama ia mengikuti suatu proses pendidikan. Keberhasilan dari suatu kurikulum yang ingin dicapai sangat bergantung pada faktor kemampuan yang dimiliki oleh seorang guru. Artinya guru adalah orang yang bertanggung jawab dalam mewujudkan segala sesuatu yang telah tertuang dalam suatu kurikulum resmi.
Kurikulum adalah jantung dari keseluruhan proses kegiatan belajar mengajar di sekolah (The curiculum is the heart of the school activities) Mengingat pentingnya faktor kurikulum maka guru yang terlibat langsung di dalam aktivitas belajar mengajar di sekolah perlu menyadari betul akan realitas ini. Dalam pengertian ini guru dapat dikategorikan sebagai salah satu faktor penentu di dalam tercapainya proses belajar mengajar di sekolah.
Dalam pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti, seorang Guru Pendidikan Agama Katolik harus paham dan sadar betul akan peran dan kedudukannya di dalam proses pembelajaran. Dalam konteks ini mentalitas kreatifitas dan inovatif sangatlah dituntut dari seorang Guru Pendidikan Agama Katolik supaya sasaran dan tujuan pelajaran yang terbingkai dalam kurikulum mata Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti dapat tercapai. Jad,i dapat dikatakan Guru Pendidikan Agama Katolik dapat disebut sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan di dalam pendidikan agama Katolik dan Budi Pekerti itu sendiri selain peserta didik dan faktor pendukung lainnya, yakni lingkungan sekolah secara keseluruhan.
Pengembang Kultur Sekolah
Kultur memiliki dua aspek yang tak terpisahkan, yakni aspek lahir dan batin. Pada aspek batiniah kultur ialah nilai, prinsip, semangat, keyakinan atau pola berpikir, merasa, dan bersikap yang dianut oleh sebuah komunitas. Pada aspek lahiriah kultur merupakan kebiasaan berperilaku yang tampak dalam aturan, prosedur kerja, pengambilan keputusan, tata krama, tata tertib, kepemimpinan, simbol-simbol, adat-istiadat yang mengatur hubungan anggota komunitas baik formal maupun informal. Sebuah tindakan konkret selalu didasari oleh nilai, prinsip, semangat, dan keyakinan tertentu. Aspek lahir dan batin itu tampak sebagai cara atau pola hidup yang bermakna.
Sekolah merupaikan komunitas pembelajar yang satu sama lain saling membantu untuk menumbuhkan dan mengembangkan kualitas kehidupan. Kualitas kehidupan itu tampak dalam perkembangan intelektual, emosi, hati nurani serta keimanan. Seluruh sumber daya sekolah melayani aktivitas belajar demi pertumbuhan dan perkembangan kualitas kehidupan tersebut. Kultur sekolah tidak lain adalah budaya belajar di sekolah. Dengan demikian tata krama, tata tertib sekolah, peraturan, prosedur kerja, prosedur pengambilan keputusan, interaksi pembelajaran, dan simbol-simbol perlu menumbuhkan dan menghasilkan nilai dan semangat belajar.
Komunitas sekolah meliputi berbagai unsur dengan fungsi tertentu, yakni peserta didik, guru, kepala sekolah beserta jajarannya, tenaga kependidikan, dan pemangku kepentingan. Inti dari komunitas sekolah ialah interaksi pendidik dengan peserta didik dalam belajar. Jadi pendidik bersama peserta didik berperan sentral dalam aktivitas belajar.
Perkembangan dan keberhasilan aktivitas pendidik-peserta didik dalam belajar memerlukan dukungan mutlak dari anggota komunitas yang lain seperti peserta didik, pemimpin sekolah, tenaga kependidikan, orang tua, komite sekolah, masyarakat dan lingkungan sekitar, serta pemangku kepentingan yang lainnya. Hubungan antar fungsi dan unsur tersebut tercermin dalam tata krama, tata tertib, peraturan, prosedur kerja, kerja sama dan simbol-simbol. Keseluruhan tata kehidupan sekolah tersebut harus dilaksanakan secara bersama-sama. Sehubungan dengan itu guru Pendidikan Agama Katolik perlu menjalin kerjasama dengan berbagai unsur komunitas sekolah untuk melaksanakan tata kehidupan sekolah yang mendukung dan demi budaya belajar.
Bersama peserta didik, guru perlu mengembangkan semangat dan proses belajar atau prosedur ilmiah bidang studi Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti. Bersama guru mata pelajaran yang lain, guru Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti perlu berkomitmen melaksanakan tata krama, tata tertib, prosedur kerja, pendekatan atau strategi pembelajaran yang dijadikan acuan oleh sekolah (2014:61-64).
Budaya sekolah tidak lepas dari budaya masyarakat. Budaya masyarakat tersusun oleh unsur lingkungan alam, sosial, dan unsur adikodrati. Sehubungan dengan itu pengembangan budaya sekolah perlu mendukung sekaligus didukung oleh budaya masyarakat dengan memanfaatkan lingkungan alam, sosial, dan religius sebagai sumber belajar. Adat masyarakat, berbagai kesenian (tari, musik, arsitektur, pahat, sastra), wawasan lingkungan, merupakan sumber belajar yang kaya nilai baik ilmiah, sosial maupun religius. Dengan memanfaatkan budaya masyarakat sebagai sumber belajar guru dapat menjadi agen pengembang budaya sebagai ‘ibu’ dari pendidikan.
Kompetensi Guru Pendidikan Agama Katolik
Guru sebagai jabatan profesional, sekurang-kurangnya memiliki kompetensi: Kompetensi pedagogik, kompetensi kepri-badian, kompetensi sosial,dan kompetensi profesional (UU RI No. 14 Tahun 2005). Kompetensi pedagogik adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran pe-serta didik. Kompetensi kepribadian ada-lah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa, serta menjadi teladan peserta didik.Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk ber-komunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan pesertadidik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar. Sedangkan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam, adapun kompetensi yang perlu dimiliki oleh Guru Agama Katolik menurut Komkat KWI (1997:55) adalah sebagai berikut:
1. Kompetensi Profesional
Guru Pendidikan Agama Katolik harus memiliki pengetahuan yang luas dari subject matter (bidang studi/mata pelajaran) yang akan diajarkan serta penguasaan metodologi dalam arti memiliki konsep teoritis dan mampu memilih metode dalam proses pembelajaran.
2. Kompetensi Personal
Artinya sikap dan kepribadian yang mantap sehingga mampu menjadi sumber intensifikasi bagi subjek. Dalam hal ini berarti memiliki kepribadian yang pantas diteladani dan mampu melaksanakan kepemimpinan.
3. Kompetensi Sosial
Artinya Guru Pendidikan Agama Katolik harus mampu menunjukkan dan berinteraksi sosial, baik dengan murid-muridnya maupun dengan sesama guru dan kepala sekolah, bahkan dengan masyarakat luas.
4. Kompetensi Spiritual
Guru Pendidikan Agama Katolik dipandang dan diakui sebagai seorang pribadi yang unggul dalam hidup rohani oleh karena relasinya dengan Tuhan. Ia dipandang sebagai guru rohani untuk membimbing dan mendampingi peserta didik mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Oleh karena itu, tutur kata dan gerak geriknya menjadi model spiritual bagi anak didiknya.
Guru Pendidikan Agama Katolik sebagai Guru Mata Pelajaran juga perlu memiliki Kompetensi Pedagogik Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 ayat 2 telah diatur mengenai Guru sebagai jabatan profesional. Pendidik merupakan seorang tenaga profesional yang bertugas untuk merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (dosen).
Kompetensi pedagogik (Sukendar: 2018) adalah kemampuan guru terhadap pemahaman peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai potensi yang dimiliki. Dapat dikatakan bahwa, Guru sebagai tenaga profesional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1) atau yang setara, dan memiliki wewenang penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengendalian pendidikan/pengajaran. Menurut Sudarwan (2002:30) Efektivitas proses pembelajaran di kelas, sangat ditentukan oleh kompetensi guru, di samping faktor lain, seperti peserta didik, lingkungan dan fasilitas.
Selanjutnya, sebagai seorang fasilitator Katekese Sekolah (Pendidikan), Guru Pendidikan Agama Katolik juga diharapkan memiliki Kompetensi ICT (Information, Communication, and Technology)
Menurut Nema & Cendana Sari dalam Jurnal dengan judul: Competence Of Communicating Catechists In The Post-Truth Era (2023) Satu hal yang dilakukan katekis dalam pewartaan di era digital haruslah piawai dalam teknologi digitalisasi karena hal ini sangat membantu pelayanan. Sidang PKKI XII menekankan bahwa dalam pelaksanaan katekese dalam budaya media digital. Interaksi antara Tuhan dengan manusia dan alam semesta terjadi dalam ruang waktu dan sejarah yang terus berkembang. Media digital menjadi media baru untuk perjumpaan dan pengalaman yang bersifat nyata dan virtual (Nema & Cendana Sari:2023). Dalam Inter Mirifica (1965), Gereja menekankan bahwa perlu memperhatikan perkembangan komunikasi. Komunikasi yang digunakan secara tepat dapat menjadi wahana yang luar biasa sebagai pengalaman perjumpaan. Media komunikasi di era digital dapat digunakan sebagai media untuk menyatukan antara orang dengan Tuhan, untuk menyebarkan Injil, dan memperluas Kerajaan Allah.
Paus Yohanes Paulus II dalam dokumen Vita Concecrata art 8 seseorang harus belajar bagaimana mengelola dan mengoperasikan teknologi komunikasi modern. Bentuk komunikasi baru digunakan dalam reksa pastoral dan mempromosikan evangelisasi yang baik. Bisa jadi ada konten di media yang menunjukkan rasa hormat dan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan dan Kristiani. Oleh karena itu, tidak perlu khawatir tentang adanya YouTube, TikTok, Snack Videos, Instagram, Twitter serta media sosial, dan platform lainnya. Meskipun hidup di era digital, pesan ini tetap berlaku untuk semua media sosial dan komunikasi (Nema & Cendana Sari:2023)
Dalam dokumen Apostolic Constitution Praedicate Evangelium (2022) Paus Fransiskus menyampaikan bahwa Gereja bertanggung jawab untuk menemukan cara agar media komunikasi dapat digunakan untuk memajukan misi melayani kehidupan dan memperbaiki tatanan moral masyarakat. Selama Hari Komunikasi Sedunia tahun 2019, Paus erbicara mengenai adanya perubahan yang signifikan dari "komunitas jaringan" menjadi "komunitas manusia dan komunikasi ciptaan manusia” tidak boleh terdistorsi oleh media teknologi. Oleh karena itu, gereja mempertahankan sikap kritis terhadap media meskipun membutuhkannya sebagai sarana pewartaan (katekese).
Senada dengan hal ini Melyawanto dalam penelitiannya mengenai Pengaruh Pembelajaran Pendidikan Agama Katolik terhadap Perkembangan Iman dan Perubahan Perilaku Siswa Sekolah Menengah Pertama Katolik di Kota Madiun mengemukakan bahwa cara mengajar Guru pendidikan Agama Katolik hendaknya disesuaikan dengan perkembangan zaman, misalnya dengan menggunakan teknologi media komunikasi massa populer.
Dalam dunia digital yang semakin canggih dan akses yang serba cepat dan luas, kemampuan Guru Pendidikan Agama Katolik dalam mengorganisasikan dan memanfaatkan teknologi sangat diharapkan generasi milenial yang sudah jamak teknologi sejak dini. Kompetensi ICT Guru Pendidikan Agama Katolik membuat peserta didik semakin bergairah dalam mengikuti proses pembelajaran karena di era society 5.0, teknologi media komunikasi merupakan bagian dari komunitas manusia itu sendiri, bahkan bisa dikatakan bahwa ruang pertemuan modern adalah platform media komunikasi massa.
Jadi, Kompetensi yang hendaknya dimiliki oleh Guru Pendidikan Agama Katolik pada era society 5.0 adalah: (1) Kompetensi Profesional; (2) Kompetensi Personal; (3) Kompetensi Sosial; (4) Kompetensi Spiritual; (5) Kompetensi Pedagogik; (6) Kompetensi ICT (Information, Communiacation, and Technology).
Setelah mengkaji dan menemukan Peran Guru Agama Katolik melalui mengumpulkan data untuk penelitian ini dari berbagai sumber literature, baik berupa buku ataupun literatur online yang diterbitkan oleh seorang penulis tunggal atau sekelompok penulis dalam buku, surat, dokumen, jurnal atau situs web, adapun Peran Guru Pendidikan Agama Katolik yang diharapkan dalam era Society 5.0 adalah (1) Model (Suri Tauladan), (2) Pembina Iman, (3) Katekis/ Pewarta, (4) Pengelola Pembelajaran, (5) Motivator, (6) Evaluator, (7) Konselor, (8) Komunikator, (9) Pelaksana Kurikulum, (10) Pengembang Kultur Sekolah.
Sedangkan Kompetensi yang hendaknya dimiliki oleh Guru Pendidikan Agama Katolik pada era society 5.0 adalah: (1) Kompetensi Profesional; (2) Kompetensi Personal; (3) Kompetensi Sosial; (4) Kompetensi Spiritual; (5) Kompetensi Pedagogik; (6) Kompetensi ICT (Information, Communiacation, and Technology).
Begitu mendesaknya masalah pendidikan dalam menyambut era society 5.0 dengan segala konsekuensinya, Guru Pendidikan Agama Katolik diharapkan untuk menjawabi tantangan zaman ini menjadikannya ladang pewartaan yang harus ditaklukkan melalui kreativitas, inovasi, aktif/giat dalam menggunakan berbagai sarana/ media komunikasi massa populer. Dengan menguasai dan cakap teknologi komunikasi, Guru Pendidikan Agama Katolik mampu memanfaatkan teknologi komunikasi sebagai sarana pewartaan, baik katekese, evangelisasi maupun karya pastoral yang lebih luas. Dengan demikian, karya pelayanan Guru Pendidikan Agama Katolik tidak hanya berfdayaguna untuk peserta didik dan sekolah saja, melainkan kepada pewartaan yang lmenjangkau komunitas virtual yang lebih luas. Selain itu diharapkan pihak berwenang yang memiliki tanggung jawab mengembangkan kompetensi Guru Pendidikan Agama Katolik, seperti Sekolah dan Kementrian Agama RI Bimas Katolik, mengupayakan segala cara yang memungkinkan dan patut untuk menyelenggarakan pelatihan-pelatihan sehingga Guru Pendidikan Agama Katolik mampu dan berdaya saing.
Referensi
Amir, MF.2019.Peran Guru Sebagai Evaluator : Studi Pada Pembelajaran Ppkn Di Ma Hidayatus Shibyan Parit Na’Im. Pontianak: Universitas Tanjungpura.
Arfandi. Samsudin, MA.2021.Peran Guru Profesional sebagai Fasilitator dan Komunikator dalam Kegiatan Belajar.Situbondo: University Ibrahimy-Edupedia: Jurnal Studi Pendidikan- journal.ibrahimy.ac.id
Arends, Richard.1994. Learning to Teach. New York: McGraw-Hill Inc.
Andres, Tomas Quintin Donato. 1992.Managing Schools by Filipino Values. Manila: Divine Word Publications.
Boli Kotan, Daniel.2020. Katekese Umat dari Masa ke Masa.Jejak Pertemuan Komisi Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia (1975-2016).Yogyakarta:Kanisius
Cendana Sari, Theresia Yovita.2021.Perspektif Kesiapan Guru Agama Katolik Dalam Menghadapi Transformasi Era Revolusi Industri 4.0 menuju Era Society 5.) (Studi pada SMP Kota Pontianak).Prosiding Transformasi Pembelajaran Nasional - ojs.uniwara.ac.id
Fitrah, Muh. Luthfiyah.2017Metodologi Penelitian: penelitian Kualitatif, Tindakan Kelas & Studi Kasus Sukabumi: Jejak
Grambs, Jean D. dan C Morris Mc Clare.2003. Who is Teacher?. Quezon City: Claretian Publish.
Hamu, FJ. 2015. Kompetensi Guru Agama Katolik. Ruteng: SEPAKAT-Jurnal Pastoral Kateketik - e-jurnal.stipas.ac.id
Haru, Emanuel. 2019.Kompetensi Guru Pendidikan Agama Katolik (PAK) di Era Milenial dan Pengaruhnya terhadap Peningkatan Motivasi Belajar Siswa. Ruteng: Jurnal Alternatif - Wacana Ilmiah Interkulutral, jurnal.stipassirilus.ac.id
Hazkew, Laurence D. dan Jonathan C. Mc Lendon.2001. Teacher is Profesional Person who Conducts Classes. New York: Pauline Press
Komkat KWI. 1997.Pedoman untuk Katekis. Yogyakarta: Kanisius.
Lokakarya Malino.1981. Pola Pelajaran Agama Kristen Katolik. Jakarta:PWI
Majid, Abdul. 2005.Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Rosda..
Martinus & Amadi. 2020. Pastoral Konseling (Kristiani). Pontianak: IAIN Pontianak
Melyawanto, Dicky & Wilhemus, Ola Rongan.2019.Pengaruh Pembelajaran Pendidikan Agama Katolik terhadap Perkembangan Iman dan Perubahan Perilaku Siswa Sekolah Menengah Pertama Katolik di Kota Madiun.https://ejournal.widyayuwana.ac.id/index.php/jpak/article/download/142/117
Nema, Kasmir. Cendana Sari, Theresia Yovita. 2023.Competence of Communicating Cathecist in The Post Truth Era. Yogyakarta: Sanatha Dharma University
Prasetya,L. 2010.Menjadi Katekis Siapa Takut?. Kanisius: Yogyakarta.
Pope Francis, Apostolic Exhortation, Evangelii Gaudium.(Makati: Word & Life Publications,(2014),http://w2.vatican.va/content/francesco/en/apost_exhortations/documents/papa-francesco_esortazione-ap_20131124_evangelii-gaudium.html, (accessed on March 13, 2023).
Paus Yohanes Paulus II. (2002).World Communications Day Message
Sebastian. R., OCSO.1988.Guru Digugu dan Ditiru. Rohani, No.0218, hal 138-145
Senjaya, Wina.2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan.Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
Siono, Y. Taek, ED. 2020.Pengaruh Kompetensi Guru Agama Katolik terhadap Prestasi Belajar Siswa-Siswi di SMP Negeri 2 Kupang. Kupang: Jurnal Pastoralia-pastoralia.net
Sukendar, Yohanes.2018.Korelasi Antara Kompetensi Pedagogi Guru Pendidikan Agama Katolik Dengan Keberhasilan Siswa Sekolah Dasar Di Malang.Malang: Jurnal SAPA
Tim Penulis.2014.Pedoman Guru Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan
Copyright holder: Theresia Yovita Cendana Sari (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |