Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
Meidyto Nafa, Hanafi
Tanawijaya
Universitas Tarumanagara Jakarta, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Sejak tahun 2010, pemerintah pusat telah berupaya untuk melakukan renegosiasi terhadap kontrak PT Freeport Indonesia, demi memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia itu sendiri. Akan tetapi, tim renegosiasi kontrak PT Freeport Indonesia kerap dinilai tidak mementingkan isu-isu lapangan seperti halnya lingkungan, konflik sosial, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan militerisasi yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat adat Amungme. Sejatinya masyarakat adat Amungme memiliki hak ulayat yang melekat sejak lahir dan seyogianya dilindungi sebagaimana diatur dalam hukum positif Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis upaya optimalisasi perlindungan hukum terhadap hak ulayat masyarakat adat Amungme dalam konteks renegosiasi kontrak PT Freeport Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi kepustakaan dan analisis terhadap regulasi dan kebijakan yang terkait dengan perlindungan hak ulayat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun ada beberapa langkah perlindungan yang telah diupayakan oleh pemerintah Indonesia, perlindungan hukum terhadap hak ulayat masyarakat adat Amungme dalam renegosiasi kontrak PT Freeport Indonesia masih belum optimal. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam memperbaiki dan memperkuat perlindungan hukum terhadap hak ulayat masyarakat adat Amungme dalam konteks renegosiasi kontrak PT Freeport Indonesia, serta memberikan dasar bagi penelitian lebih lanjut dalam bidang perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam industri pertambangan.
Kata kunci: hak ulayat; masyarakat adat; renegosiasi.
Abstract
Since 2010, the central government
has attempted to renegotiate PT Freeport Indonesia's contract, in order to provide
justice for all Indonesian people themselves. However,
PT Freeport Indonesia's contract renegotiation team is often
How to cite: |
Meidyto Nafa, Hanafi Tanawijaya (2023) Optimalisasi
Perlindungan Hukum terhadap Hak
Ulayat Masyarakat Adat Amungme dalam
Renegosiasi Kontrak PT Freeport
Indonesia, (8) 7, http://dx.doi.org/10.36418/syntax-literate.v6i6 |
E-ISSN: |
|
Published by: |
seen as not concerned with
field issues such as the environment, social conflict, violations of human rights (HAM), and militarization which have
caused harm to the Amungme indigenous
people. In fact, the Amungme indigenous people have customary rights that are inherent
from birth and should be protected as stipulated in Indonesian positive law. This study
aims to examine and analyze efforts to optimize
legal protection of the customary rights of the Amungme indigenous people in the context of PT Freeport
Indonesia's contract renegotiation. The research method
used in this study is a literature study approach and an analysis of regulations and policies related
to the protection of customary rights. The results
of this study indicate that although there have been several protective
measures taken by the Indonesian government, the legal protection of the customary rights of the Amungme indigenous people in the
renegotiation of PT Freeport Indonesia's contracts
is still not optimal. It is hoped that the results of this research can contribute to improving and strengthening
the legal protection of the customary rights of the Amungme
indigenous people in the context
of PT Freeport Indonesia's contract renegotiations, as well as providing a basis for further research
in the field of protection of indigenous peoples' rights
in the mining industry.
Keywords: customary rights; indigenous
peoples; renegotiation.
Legitimasi Indonesia sebagai negara hukum tertuang pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang berbunyi demikian, �Negara Indonesia adalah negara hukum.� Kemudian pada tahun 1966, pemerintah Indonesia mengadakan simposium terkait negara hukum yang menghasilkan 3 (tiga) ciri utama negara hukum di Indonesia, yaitu sebagai berikut (Kusnardi & Ibrahim, 1983): (1) Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang meliputi persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan budaya; (2) Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta terlepas dari segala pengaruh kekuasaan ataupun kekuatan; dan (3) Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia dapat disebut sebagai masyarakat hukum yang wajib tunduk pada hukum negara serta dilindungi atas Hak Asasi Manusia (HAM). Selain hukum negara, suatu kelompok masyarakat juga mengenal istilah hukum adat yang lahir dari tradisi. Kedua jenis hukum tersebut merupakan wujud dari keberagaman hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat atau pluralisme hukum (Safiuddin, 2018). Hukum adat itu sendiri berlaku bagi masyarakat hukum adat, yang muncul dikarenakan faktor teritorial dna faktor genealogis (Prasetyo, 2010).
Sifat hukum yang pluralisme tersebut kerap menimbulkan persoalan hukum, khususnya ketika negara memiliki keinginan untuk membangun suatu sistem hukum yang berlaku secara nasional untuk seluruh masyarakat. Berdasarkan pandangan pakar hukum yang menganut prinsip yurisprudensi sosiologis (sociological jurisprudence), hukum yang baik dan efektif adalah hukum yang lahir dari nilai-nilai yang hidup di tengah
masyarakat (Kusumaatmadja, 1976). Lebih lanjut, prinsip yurisprudensi sosiologis merupakan sebuah mazhab yang diprakarsai oleh Pound, yang berpandangan bahwa ilmu hukum tidak terbatas pada kajian hukum positif atau normatif, melainkan dapat dibedakan dengan peraturan (Qamar & Rezah, 2022).
Salah satu persoalan dalam implementasi prinsip pluralisme hukum dalam sebuah kaidah hukum di Indonesia dapat ditemukan dalam bidang sumber daya alam yang kerap berbenturan antara hukum negara dengan hukum adat masyarakat. Bagi masyarakat hukum adat, sumber daya alam bukan semata-mata merupakan suatu kegiatan produksi (ekonomi), melainkan memiliki hubungan magis religius sebagai salah satu warna dari hukum adat itu sendiri (Hadikusuma, 2014).
Secara historis, masyarakat hukum adat sempat mengalami krisis eksistensi di Indonesia, mengingat pada era kolonial dahulu hukum bersifat dualisme, hukum adat berlaku di samping hukum yang didasarkan oleh hukum barat (Zain & Siddiq, 2015). Akan tetapi kemudian eksistensi masyarakat adat mulai dikuatkan sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Secara sederhana, hal tersebut dapat dilihat melalui bagian pembukaan UUPA, yang berbunyi demikian:
bahwa berhubungan dengan apa yang tersebut
dalam pertimbangan- pertimbangan diatas perlu adanya hukum
agraria nasional, yang berdasar atas hukum
adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh
rakyat Indonesia, dengan
tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama;
Pasal 3 UUPA juga memberikan ruang bagi hak yang melekat pada masyarakat adat, yaitu hak ulayat. Secara sederhana, hak ulayat merupakan hak masyarakat adat tertentu atas suatu wilayah yang merupakan lingkungan hidup masyarakat adat tersebut. Hak ulayat meliputi hak-hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kendati demikian, perlindungan atas hak ulayat kerap mengalami kesenjangan di Indonesia. Pasalnya, konflik agraria yang melibatkan hak ulayat masyarakat hukum adat masih sering terjadi. Salah satunya dirasakan oleh masyarakat adat Amungme di Papua Tengah yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan PT Freeport Indonesia. Menilik sejarah, pada tahun 2010, masyarakat adat Amungme mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap PT Freeport Indonesia dikarenakan telah mengambilalih hak ulayat sebagai lokasi utama pertambangan perusahaan tanpa kompensasi apapun , yang mengakibatkan kerugian baik bagi masyarakat adat Amungme maupun wilayah setempat lainnya. Mengingat Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (UU Pokok Pertambangan), mengatur demikian:
Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengganti kerugian akibat dari usahanya pada segala sesuatu
yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas tanah di dalam lingkungan daerah kuasa pertambangan maupun di luarnya,
dengan tidak memandang
apakah perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak dengan sengaja,
maupun yang dapat atau tidak dapat diketahui terlebih
dahulu.
Konflik antara masyarakat adat Amungme dan PT Freeport Indonesia telah terjadi sekitar sejak tahun 1970. Hal tersebut dipicu oleh beberapa rencana pembangunan PT Freeport pada masa itu. Mulai dari pembangunan kompleks perumahahan bagi para pekerja PT Freeport Indonesia, pembangunan jalan penghubung dari Pad II ke Tembagapura dan Kota Baru melalui Sungai Ajkwa, yang mengakibatkan penggusuran skala besar dari wilayah Pomako hingga ke Mile 50. Pembangunan tersebut merusak hutan dan ladang perburuan masyarakat adat Amungme dan Kamoro (Nugroho, 2014).
Perlu dipahami bahwa hak pengusahaan dalam bidang pertambangan umum diberikan kepada perusahaan swasta melalui sistem kontrak atau Kontrak Karya (KK). Adapun sistem tersebut pertama kali diterapkan oleh Pemerintah Indonesia terhadap PT Freeport Indonesia di tahun 1967 (Rahadiyan & Savira, 2017). Seiring berjalannya waktu, dampak lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangan PT Freeport Indonesia terus menerus menjadi sorotan publik. Pasalnya, dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangan PT Freeport Indonesia semakin memuncak. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk melakukan renegosiasi demi tercapaikan kesepakatan baru yang memenuhi rasa keadilan bagi kedua belah pihak (Rahadiyan & Savira, 2017).
Menimbang berdasarkan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity) dari Rawls, maka masyarakat adat di Papua yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan PT Freeport Indonesia masih belum merasakan keadilan tersebut secara optimal. Merujuk pada penelitian terdahulu, Redi menyatakan bahwasanya masyarakat adat di Papua belum mendapatkan persamaan yang adil atas kesempatan, khususnya dalam hal kesempatan untuk tinggal di lingkungan yang baik, kesejahteraan hidup, serta atas hak asasinya itu sendiri (Redi, 2016).
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terdapat pada rumusan permasalahan sekaligus tujuan yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Adapun penelitian ini fokus dalam menemukan sebuah model perlindungan hukum yang optimal bagi masyarakat adat Amungme sehubungan dengan renegosiasi kontrak PT Freeport Indonesia. Dalam kata lain, penelitian ini bertujuan untuk melahirkan gagasan terkait optimalisasi perlindungan hukum terhadap hak ulayat masyarakat adat Amungme dalam renegosiasi kontrak PT Freeport Indonesia, demi menciptakan harmonisasi antara kegiatan perekonomian negara, hukum negara, dan hukum adat yang tidak dapat lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, terpusat pada peraturan perundang-undangan atau penelitian yang berdasarkan pada kaidah atau norma yang berlaku di tengah masyarakat (Armia, 2022), dengan melakukan analisis deskriptif terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hak ulayat masyarakat adat Amungme, seperti UUD 1945, UUPA, dan lainnya. Selain itu, penelitian
ini juga melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen relevan, seperti kontrak PT Freeport Indonesia, perjanjian-perjanjian terkait, keputusan pengadilan, dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan upaya perlindungan hukum masyarakat adat, khususnya di Amungme. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan penelusuran, baik melalui internet maupun berdasarkan bahan-bahan buku, jurnal ilmiah, dan lain-lain. Data-data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan mengkaji isu dengan lebih rinci melalui data primer dan data sekunder (Sahir, 2021).
Pengaturan Hak Ulayat
Masyarakat Adat Amungme
Papua merupakan salah satu provinsi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terletak di ujung timur Indonesia, seluas 312.224,37 km2 atau sekitar 16% dari luas wilayah Indonesia. Sejak tahun 2022, Papua mengalami pemekaran dalam rangka mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat serta menjunjung tinggi harkat dan martabat Orang Asli Papua, melalui penetapan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah. Adapun salah satu suku yang tinggal di wilayah dataran tinggi Papua Tengah adalah suku Amungme. Lebih tepatnya, masyarakat adat Amungme tinggal di beberapa lembah di Kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya.
Sebagian masyarakat adat Amungme telah tinggal di Kota Timika dan sekitarnya dikarenakan proses pembangunan pemukiman PT Freeport Indonesia. Adapun sebagian masyarakat adat Amungme yang khususnya berasal dari Pegunungan Jayawijaya telah mendapatkan fasilitas tempat tinggal serta lahan perkebunan dari PT Freeport Indonesia. Akan tetapi, sebagianlainnya memilih untuk menetap di kampung-kampung yang terletak di sekitar wilayah kegiatan pertambangan, yaitu Kampung Banti, Waa, Tsinga, Arwanop (Jehabut, 2023)
Masyarakat adat Amungme dalam hal ini memiliki hak-hak hidup sebagai masyarakat adat, sebagaimana diakui dalam hukum positif Indonesia, antara lain pada ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1)
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi:
Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
diundangkan.
2) Pasal 28I ayat (3) UUD
1945, yang berbunyi:
Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman
dan peradaban.
3)
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang berbunyi:
(1)
Dalam
rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
(2)
Identitas
budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Lebih lanjut, merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otonomi Khusus Papua), hak ulayat didefinisikan sebagai berikut:
Hak ulayat adalah hak
persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu
yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk
memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai referensi hukum adat, hak ulayat dikarakteristikan memiliki 6 (enam) ciri utama, yaitu (Sudiyat, 1981):
1) Hak ulayat
melekat hanya terhadap
masyarakat hukum adat tertentu;
2)
Selain masyarakat hukum adat
tertentu tersebut, tanah ulayat hanya dapat digunakan
berdasarkan perizinan dari penguasa atau petinggi dari masyarakat hukum
adat yang berkuasa;
3)
Hak ulayat memperbolehkan
masyarakat hukum adat untuk memanfaatkan wilayah
tanah dengan restriksi, yaitu untuk keperluan somah, brayat, dan/atau keluarga;
4)
Masyarakat hukum adat bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi terhadap
wilayah kekuasaannya;
5)
Hak ulayat tidak dapat dilepaskan,
dialihkan, dihilangkan untuk selamanya; dan
6)
Hak ulayat mencakup tanah yang sudah digarap atau diliputi oleh hak perorangan.
Mengingat hak ulayat berhubungan dengan tanah Indonesia, maka pengakuan hak ulayat masyarakat adat juga tertuang dalam Pasal 3 UUPA, yaitu:
Dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Lebih lanjut, terdapat 2 (dua) bentuk kepemilikan tanah ulayat, yaitu kepemilikan komunal dan kepemilikan individu yang lahir dari warisan keturunan. Pemisahan kekuasaan atas kepemilikan dan pengelolaan tanah di mana kekuasaan tersebut diberikan kepada anak pertama dari garis keturunan tertua adalah suatu praktik yang umum di berbagai suku adat. Secara tradisional, aturan dalam marga keluarga mengatur perubahan yang terjadi seiring dengan pentingnya tanah dalam konteks perkembangan kapitalisme.
Namun, dalam masyarakat Papua saat ini, pengakuan terhadap hak anak tertua untuk mengatur tanah adat tidak terjadi (Jehabut, 2023).
Sejatinya penegasan hukum adat beserta hak-hak atas tanah ulayat di atas merupakan suatu kemajuan dalam pembangunan hukum Indonesia yang menerapkan nilai-nilai masyarakat didalamnya (Gayo, 2016). Akan tetapi, hukum hanya akan menjadi suatu gabungan kata tak berdaya jikalau tidak dibarengi dengan upaya perlindungan yang optimal. Dalam hal ini, upaya perlindungan hukum atas hak ulayat masyarakat adat Amungme masih menjadi tanda tanya besar.
Sejak disahkannya UU Pokok Pertambangan dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA), sistem KK mulai diimplementasikan di Indonesia dengan PT Freeport Indonesia sampai dengan saat ini. Pada mulanya, PT Freeport Indonesia berhasil masuk ke Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Penguasa orde baru tersebut membuat KK atau persetujuan pada tahun 1967 dengan perusahaan Amerika Serikat untuk melakukan kegiatan penggarapan tambang emas yang berada di Irian Jaya yang kini menjadi Papua (Abidin, 2011).
Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara, mendefinisikan KK sebagai berikut:
Kontrak Karya adalah perjanjian antara pemerintah Indonesia
dengan perusahaan berbadan
hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak
termasuk minyak bumi, gas alam, panas
bumi, radio aktif, dan batu bara.
Dalam hal hubungan KK dengan Pemerintah Indonesia dapat dilihat melalui ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Pokok Pertambangan, dimana Pemerintah Indonesia memiliki wewenang dalam menerbitkan dan memberikan izin kepada kontraktor yang bersangkutan apabila usaha pertambangan dilaksanakan oleh kontraktor. Adapun izin yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia merupakan kuasa pertambangan, KK, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara, dan kontrak production sharing.
Lebih lanjut, Salim HS menguraikan unsur-unsur dalam suatu KK, yaitu antara lain (HS, 2004):
1. Adanya sebuah
kesepakatan yang diikat
dalam suatu perjanjian oleh dan antara
para pihak;
2. Adanya subjek
hukum, yaitu Pemerintah Indonesia ataupun Pemerintah Daerah (provinsi,
kabupaten, dan/atau kota) dengan kontraktor asing;
3. Adanya objek
berupa eksplorasi dan eksploitasi;
4. Berkutat dalam bidang pertambangan umum; dan
5. Berlaku dalam
jangka waktu tertentu
yang diatur dalam KK itu sendiri.
Dalam perjalanannya, KK PT Freeport Indonesia dihujani kritik terkait dampak negatif kegiatan pertambangannya terhadap kondisi lingkungan di sekitar wilayah kegiatan pertambangan. Kendati demikian, KK PT Freeport Indonesia hingga saat ini
masih berjalan, dikarenakan apabila ditinjau dari sudut pandang perekonomian, PT Freeport Indonesia meyumbang pajak terbesar dengan rata-rata USD 180,000,000 per tahun periode 1991-2001 (Rahmawati, 2006).
Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Indonesia berupaya melakukan renegosiasi KK untuk menekan angka kerugian yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Perlu diingat bahwa dalam hal renegosiasi KK PT Freeport Indonesia, Pemerintah Indonesia berhadapan dengan beragam kepentingan, baik dengan Amerika Serikat maupun pengusaha lokal yang mengais keuntungan dari kegiatan usaha pertambangan PT Freeport Indonesia, dengan penyedia jasa pelabuhan sampai penyedia makanan. Maka dari itu, upaya renegosiasi KK PT Freeport Indonesia menjadi tantangan besar bagi Pemerintah Indonesia (Jehabut, 2023).
Adapun renegosiasi KK PT Freeport Indonesia berjalan sejak masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Adapun hal-hal yang dimuat dalam renegosiasi pada masa itu mencakup 6 (enam) klausal, yaitu sebagai berikut (Jehabut, 2023):
1)
PT
Freeport Indonesia berkewajiban meningkatkan angka royalty atas
pertambangan emas dan tembaga;
2) PT Freeport
Indonesia berkewajiban memperkecil luas lahan;
3)
PT
Freeport Indonesia diharuskan untuk mengakomodir kepentingan domestik;
4) PT Freeport Indonesia diwajibkan membangun smelter
dalam negeri;
5)
PT Freeport Indonesia wajib
melakukan divestasi saham sebesar 51% kepada
pihak nasional; dan
6)
Apabila kelima syarat di atas
dipenuhi oleh PT Freeport Indonesia, maka Pemerintah
Indonesia mengizinkan PT Freeport Indonesia untuk melakukan perpanjangan kontrak sampai 20 (dua puluh) tahun mendatang, terhitung setelah berakhirnya KK di tahun 2021.
Lebih lanjut, pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, Beliau memandatkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melanjutkan renegosiasi KK PT Freeport Indonesia, terutama terkait divestasi saham, pembangunan smelter, serta perpanjangan KK. Keberhasilan mencapai keenam klausul renegosiasi di atas nyatanya belum optimal bagi kepentingan masyarakat adat Amungme yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan PT Freeport Indonesia.
Pasalnya, masyarakat adat Amungme menilai baik PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia tidak melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan pertambangan PT Freeport Indonesia. Padahal sejak tahun 1971, PT Freeport Indonesia telah memasuki wilayah Amungsal, tanah yang memiliki nilai krusial bagi masyarakat adat Amungme, sekaligus menggeser masyarakat adat Amungme keluar wilayah tersebut ke wilayah kaki pegunungan.
Seyogianya pertambangan nasional dikembangkan demi mewujudkan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana disampaikan oleh Manan, yaitu (Lita & Nasution, 2013):
1)
Segala bentuk pemanfaatan bumi dan air serta seluruh
isinya harus didedikasikan demi meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;
2)
Melindungi dan menjamin segala
hak-hak masyarakat untuk dapat merasakan hasil kekayaan
alam tertentu; dan
3)
Mencegah segala tindakan dari pihak manapun
yang dapat menyebabkan masyarakat tidak mempunyai kesempatan atau kehilangan haknya dalam menikmati
atau memanfaatkan kekayaan lama tersebut.
Terlepas dari hak ulayat, terdapat 4 (empat) hak masyarakat adat yang kerap disuarakan, yaitu (Arizona, 2009):
1)
Hak untuk menguasai, memiliki,
mengendalikan, mengelola, menjaga, dan memanfaatkan
tanah serta sumber daya alam yang terkandung di wilayah adatmya;
2)
Hak untuk mengatur diri sendiri sesuai
hukum adat dan aturan-aturan adat yang disepakati bersama oleh masyarakat adat;
3)
Hak untuk menguasai diri sendiri berdasarkan sistem kepengurusan atau kelembagaan adat; dan
4)
Hak atas identitas, budaya, sistem
kepercayaan, sistem pengetahuan (kearifan tradisional), dan bahasa asli.
Masyarakat adat Amungme, yang merupakan suku pribumi yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan PT Freeport Indonesia, telah lama menghadapi tantangan dan konflik terkait dengan pemenuhan hak ulayat mereka. Sebagai pemilik tanah adat yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, mereka memiliki ikatan emosional, budaya, dan spiritual yang kuat dengan tanah tersebut. Namun, dengan adanya kegiatan pertambangan skala besar, terutama oleh PT Freeport Indonesia, masyarakat adat Amungme telah mengalami perubahan drastis dalam lingkungan fisik, sosial, dan budaya mereka.
Sejatinya pengakuan negara terhadap hak ulayat masyarakat adat dapat dijadikan pedoman sebagai perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat itu sendiri. Kendati demikian, meskipun hak-hak masyarakat adat diakui oleh konstitusi dan perundang-undangan Indonesia, pelaksanaannya dalam praktik sering kali tidak memadai. Dalam konteks renegosiasi kontrak PT Freeport Indonesia, perlindungan hukum terhadap hak ulayat masyarakat adat Amungme masih menjadi isu yang belum sepenuhnya teratasi. Sejauh ini, kepentingan ekonomi dan keuntungan dari aktivitas pertambangan sering kali mengambil prioritas utama, sementara hak-hak masyarakat adat terabaikan atau diabaikan.
Dalam hal ini, perlu adanya peningkatan perlindungan hukum yang lebih kuat untuk masyarakat adat Amungme. Ini harus mencakup mekanisme yang jelas dan terstruktur untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak ulayat mereka. Lebih
lanjut, perlu adanya regulasi yang tegas yang menjamin partisipasi aktif masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan terkait penggunaan tanah mereka, termasuk renegosiasi kontrak PT Freeport Indonesia.
Dalam renegosiasi kontrak dengan PT Freeport Indonesia, pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa hak ulayat masyarakat adat Amungme dihormati dan dipertimbangkan dengan serius. Masyarakat adat harus terlibat dalam semua tahap proses negosiasi, mulai dari perumusan kebijakan hingga penentuan kondisi dan klausul kontrak. Dalam hal ini, perlu adanya representasi yang adil dan seimbang dari masyarakat adat Amungme dan pihak-pihak terkait dalam forum perundingan.
Selain itu, penting untuk memastikan bahwa kontrak baru mencakup klausul- klausul yang jelas terkait tanggung jawab sosial dan lingkungan PT Freeport Indonesia. Perlindungan lingkungan harus menjadi prioritas utama, dengan memastikan bahwa aktivitas pertambangan dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan menjaga ekosistem yang sensitif di sekitar wilayah pertambangan. Selain itu, kontrak juga harus mengatur mekanisme kompensasi yang adil bagi masyarakat adat Amungme atas dampak negatif yang mereka alami akibat aktivitas pertambangan.
Beberapa faktor yang menyebabkan perlindungan hukum yang kurang optimal antara lain adanya ketidakseimbangan kekuatan antara PT Freeport Indonesia dan masyarakat adat Amungme dalam negosiasi kontrak, lemahnya implementasi regulasi yang ada, serta kekurangan pemahaman dan kesadaran akan hak ulayat di kalangan masyarakat adat itu sendiri.
Untuk meningkatkan perlindungan hukum terhadap hak ulayat masyarakat adat Amungme, penelitian ini merekomendasikan beberapa langkah. Pertama, perlu dilakukan peningkatan kesadaran dan pemahaman akan hak ulayat serta perlindungan hukum yang ada melalui pendidikan dan kampanye yang melibatkan masyarakat adat itu sendiri. Kedua, diperlukan peningkatan koordinasi antara pemerintah, PT Freeport Indonesia, dan masyarakat adat dalam proses renegosiasi kontrak, dengan memastikan partisipasi aktif dan keterlibatan masyarakat adat dalam setiap tahapan negosiasi.
Selain itu, perlu penguatan regulasi yang jelas dan tegas mengenai hak ulayat dan pemenuhan kewajiban perusahaan terkait hak ulayat. Pemerintah juga perlu memastikan adanya mekanisme pengawasan yang efektif untuk memastikan implementasi dan pemenuhan hak ulayat secara berkelanjutan.
Abidin,
R. F. (2011). Aspek Yuridis Renegosiasi Kontrak Karya di Indonesi (Studi Kontrak
Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Freeport
Indonesia). Jurnal Kajian Hukum Islam dan
Sosial Kemasyarakatan I, 11(1).
Arizona, Y. (2009). Pendekatan Hak Asasi Manusia dan Konstitusionalisme Indonesia.
Jurnal Konstitusi, 6(2), 105.
Armia, M. S. (2022).
Penentuan Metode & Pendekatan Penelitian Hukum. Aceh:
Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia
(LKKI).
Gayo, A. A. (2016). Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Adat (Studi Kasus di Provinsi Aceh Khususnya Kabupaten Bener Meriah). Jurnal Penelitian Hukum, 18(3).
Hadikusuma,
H. (2014). Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia (Revisi ed.). Bandung: Mandar Maju.
HS,
S. (2004). Hukum Pertambangan di
Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jehabut, K. (2023).
Kedudukan dan Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat Adat
Amungme dan Kamoro dalam Renegosiasi Kontrak PT Freeport Indonesia.
Universitas Trisakti.
Kusnardi,
M., & Ibrahim, H. (1983). Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Kusumaatmadja,
M. (1976). Hukum, Masyarakat dan
Pembinaan Hukum Nasional: Suatu
Uraian tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di
Indonesia. Bandung: Binacipta.
Lita, H. N., & Nasution, F. U. (2013). Perlindungan Hukum Masyarakat Adat di Wilayah Pertambangan. Lex Jurnalica, 10(3).
Nugroho, A. B. (2014). Kekuatan Modal dan Perilaku Kekerasan Negara pada Masa Orde Baru dan Pasca Orde Baru: Studi Kasus Freeport. Jurnal Penelitian Sosial, 3(1).
Prasetyo,
A. B. (2010). Hak Ulayat sebagai Hak Konstitusional (Suatu Kajian Yuridis Empiris).
Masalah-Masalah Hukum, 39(2).
Qamar, N., & Rezah, F. S. (2022). Dikotomi Pendekatan dalam Kajian Ilmu Hukum: Sebuah Tinjauan Kritis. SIGn Jurnal Hukum, 4(2).
Rahadiyan, I., & Savira, K. A. (2017). Menimbang Posisi Indonesia dalam Kontrak Karya Freeport (Problematika Hukum-Sosial Serta Kemungkinan Solusinya). Jurnal Defendonesia, 3(1).
Rahmawati,
A. (2006). Analisa Konflik Vertikal di Papua. Fenomena Konflik Sosial di Indonesia dari Aceh sampai Papua, p. 314.
Redi, A. (2016). Kontrak Karya PT Freeport Indonesia dalam Perspektif Pancasila dan UUD NRI 1945. Jurnal Konstitusi, 13(3).
Safiuddin, S. (2018). Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Menguasai Negara di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Mimbar Hukum, 30(1).
Sahir, S.
H. (2021). Metodologi Penelitian. Yogyakarta:
Penerbit KBM Indonesia. Sudiyat, I. (1981).
Hukum
Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty.
Zain, M. A., & Siddiq, A. (2015). Pengakuan atas Kedudukan dan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Pasca Dibentuknya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Jurnal Penelitian Hukum, 2(2).
Copyright holder: Meidyto Nafa, Hanafi Tanawijaya (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |