Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PAJAK AIR TANAH DI KOTA BEKASI

 

Andreas Victor Baringin P, Inayati

Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak air tanah merupakan jenis pajak daerah kabupaten/kota. Pada tahun 2014, dengan diterbitkannya Undang-Undang 23 tentang Pemerintahan Daerah, dilakukan pembagian urusan pemerintahan konkuren urusan bidang energi dan sumber daya mineral menjadi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Penelitian ini menganalisis implementasi kebijakan dengan menggunakan teori kebijakan Grindlle untuk melihat keberhasilan suatu kebijakan dari isi kebijakan dan konteks. Penelitian ini menggunakan pendekatan post postitivis dengan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa kepentingan pemungutan pajak air tanah pada wilayah Kota terpengaruhi oleh kepentingan penerintah provinsi dalam pengendalian air tanah.Kebijakan pemungutan pajak air tanah pada tingkat Kota tidak mendapat dukungan memadai oleh pemerintah provinsi. Penggunaan kewenangan menggabungan kegiatan perizinan dalam rangkaian pemungutan pajak tanpa berjalannya fungsi pengendalian serta penerapan regulasi yang tidak sesuai dengan konsep pembuatan kebijakannya memberikan dampak terhadap implementasi kebijakan pajak air tanah di Kota Bekasi. Tidak terwujudnya kepastian hukum bagi fiskus dalam memungut pajak dan bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajak merupakan dampak yang timbul selain lemahnya kepastian mekanisme pemungutan dan penegakan hukum atas pengendalian pemanfaatan air tanah.

 

Kata kunci: kebijakan pajak, pajak air tanah, pajak.

 

Abstract

Since the promulgation of Law Number 28 of 2009 concerning Regional Tax and Regional Retribution, groundwater tax is a type of district/city regional tax. In 2014, with the issuance of Law 23 on Regional Government, a concurrent division of government affairs in the field of energy and mineral resources into the authority of the central government and provincial government was carried out. This study analyzes policy implementation using Grindlle policy theory to see the success of a policy from policy content and context. This research uses a post-postitivist approach with qualitative methods. The results showed that the importance of collecting groundwater tax in the City area was influenced by the interest of the provincial government in groundwater control.The policy of collecting groundwater tax at the municipal level did not receive adequate support by the provincial government. The use of authority to combine licensing activities in a series of tax collection without the running of the control function and the application of regulations that are not in accordance with the concept of policy making have an impact on the implementation of groundwater tax policy in Bekasi City. The lack of legal certainty for the fiscus in collecting taxes and for taxpayers in fulfilling tax obligations is an impact arising in addition to the lack of certainty of collection mechanisms and law enforcement on controlling groundwater utilization.

 

Keywords: tax policy, groundwater tax, tax.

 

Pendahuluan

Air merupakan sumber daya alam yang memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Undang-Undang Dasar 1945 sendiri memberikan jaminan untuk warga negara Indonesia untuk mendapatkan air bersih. Pengelolaan air tanah yang esensial dan karakternya sebagai barang publik perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah guna memperhatikan faktor pengendalian atas pemanfaatan air tanah. Ketentuan perundangan juga mengatur tentang pemberian izin secara ketat berdasarkan prioritas bagi pemanfaatan sumber daya air untuk kebutuhan usaha. Ketentuan UU 23 Tahun 2014 mengatur ketentuan baru dengan memberikan kewenangan pemerintah daerah pada tingkat provinsi untuk melaksanakan penetapan Nilai Perolehan Air Tanah (NPA). Hal ini menjadi tidak sesuai dengan ketentuan mengenai NPA yang tercantun dalam UU 28 Tahun 2009 yang mengatur bahwa penetapan besaran NPA ditetapkan oleh Peraturan Bupati/Walikota.

Hubungan dari penyusunan ketentuan perundangan dan pelaksaaan administrasi tidak selalu tuntas, hal ini karena dalam pelaksanaan administrasi perpajakan banyak melibatkan faktor diskresi dalam mengintrepretasi undang-undang yang sudah dibuat. Thuronyi (1998) menyebutkan bahwa administrative rulings merupakan instrumen penting dalam melaksanakan implementasi ketetentuan perpajakan. Hal ini mengacu pada kewenangan pemerintah kota dalam melaksanakan pemungutan pajak atas air tanah berkaitan dengan kewenangan penetapan NPA yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi. Dengan demikian dalam penetapan ketentuan perundangan seharusnya juga menerbitkan pedoman pelaksanaan yang sesuai dengan hal-hal yang relevan terjadi di lapangan. Thuronyi (1998) membagi pembagian kewenangan dalam penetapan pajak menjadi tiga yaitu berdasar jenis pajaknya, berdasarkan elemen dasar atau struktur pajaknya, dan ketiga berdasarkan tingkat implementasinya. Akan tetapi perbedaan antara pembagian kewenangan dan pelaksanaan implementasi dapat terjadi juga pada tingkatan pemerintahan yang berbeda seperti pemerintah pusat dan daerah. Dalam kasus ini perlu secara spesifik ditentukan tingkat pemerintahan apa yang membuat ketetentuan umum perundangan, dan tingkat pemerintah apa yang melaksanakan impelmentasi ketentuan administrasi.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahaan Daerah, telah mengatur pembagian kewenangan urusan sumber daya air, khususnya penetapan Nilai Perolehan Air Tanah yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi. Ketentuan ini memberikan ketidakpastian hukum dalam pemungutan pajak atas air tanah yang merupakan pajak daerah yang dipungut oleh Kepala Daerah pada tingkat kabupaten/kota. Permasalahan juga timbul dalam hal jumlah surat ketetapan pajak daerah yang ditetapkan sebagai dasar pemungutan pajak air tanah tidak sesuai dengan jumlah objek pajak terdaftar. Hal ini disebabkan pemerintah provinsi selaku pemilik kewenangan penetapan NPA tidak akan menetapkan NPA atas perusahaan yang masa berlaku izinya sudah habis dan belum diperpanjang. Sementara pemanfaatan air tanah tetap dilaksanakan oleh perusahaan.

Konsep pemungutan pajak sejatinya mengacu pada keadaan terpenuhinya kondisi subjek pajak, objek pajak, dan saat terutangnya pajak. Terkait pajak atas air tanah dimana fiskus tidak dapat menetapkan pajak atas pemungutan air tanah walaupun ada subjek pajak dan wajib pajaknya yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah, terdapat objek pajaknya yaitu pengambilan dan/atau pemanfaatan dan diketahui ada dasar pengenaannya yakni dilaksanakannya pencatatan volume meter air atas pengunaan air tanah untuk dilakukan penghitungan dengan formulasi penghitungan air baku untuk memperoleh nilai perolehan Air Tanahnya. Penelitian ini hendak melihat lebih dalam terhadap fenomena ini dimana berdasarkan analisa awal fungsi reguleren dalam implementasi kebijakan pajak air tanah seolah-olah menjadi tidak berjalan dan menimbulkan ketidakpastian bagi wajib pajak dan bagi pemungut pajak.

Dampak tidak ditetapkannya pajak air tanah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi wajib pajak, karena dalam hal ini fiskus melakukan pencatatan meteran air atas penggunaan air tanah wajib pajak setiap bulan atau setiap masa pajak namun dapat tidak dilakukan penerbitan surat ketetapan pajak dalam hal tidak dilakukan penetapan NPA oleh pemerintah provinsi. Keadaan ini menyebabkan juga tidak adanya kepastian hukum bagi fiskus untuk memungut pajak air tanah secara optimal, dan tidak adanya pengendalian pemanfaatan air tanah oleh pemerintah kota, sehingga peran pajak sebagai instrumen pengatur/reguleren menjadi tidak terwujud. Pemerintah seyogyanya menjalankan tugas dan fungsinya menjalankan pemerintahan yang baik. Karakteristik pemerintah yang baik merupakan sebuah kondisi yang harus dimiliki guna melaksanakan tata kelola pajak yang baik (Alink dan Kommer ,2011). Berangkat dari hal tersebut peneliti akan meneliti implementasi kebijakan pajak air tanah di Kota Bekasi ini dalam melihat fenomena didalamnya serta bagaimana dampak implementasi kebijakan pajak air tanah di Kota Bekasi.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivsme dengan metode kualitatif. Berbeda dengan pardigma positivisme, paradigma ini lebih menekankan pada penjelasan-penjelasan atau deskripsi kualitatif. Pendekatan post-positivisme juga beranggapan bahwa realitas bersifat subyektif dan jamak serta pengetahuan bersifat tidak bebas nilai. (Neuman, 2007). Pendekatan post-positivisme menentang gagasan tentang kebenaran mutlak atas pengetahuan dan mengakui tidak adanya kebenaran yang pasti. (Creswel dan Creswell, 2018).Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif untuk mendapatkan analisis data komprehensif dan mendapatkan pemahaman menyeluruh yang menjelaskan implementasi kebijakan pajak air tanah di Kota Bekasi. Melalui metode kualitatif peneliti menarik makna yang mendalam dari kumpulan data yang diperoleh dan menguraikan dan menganalisis mendalam implementasi kebijakan air tanah.

 

Hasil dan Pembahasan

A. Implementasi Kebijakan Pajak Air Tanah di Kota Bekasi

Implementasi kebijakan adalah proses penting dalam pelaksanaan kebijakan yang memiliki dampak pada pencapaian tujuan yang ditetapkan. Proses ini kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kepentingan berbagai pihak, interpretasi yang beragam, dan strategi yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan. Konsep implementasi kebijakan yang diusulkan oleh Merilee Grindle (1980) membaginya menjadi dua aspek, yaitu konten (content) dan konteks (context). Pendekatan ini membantu peneliti untuk melihat implementasi kebijakan secara menyeluruh, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi implementasi kebijakan pajak air tanah di Kota Bekasi, apakah telah sesuai dengan tujuan kebijakannya dan dilaksanakan dengan optimal. Keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat dari proses pelaksanaannya.
B. Isi Kebijakan (Content Policy) Kepentingan Yang Terpengaruhi

Undang-Undang 23 Tahun 2014 membagi kewenangan terkait sumber daya air tanah antara pemerintah pusat dan provinsi. Penetapan nilai perolehan air tanah dilakukan oleh pemerintah provinsi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016. Sebelumnya, ketentuan dalam Undang-Undang 28 menetapkan bahwa nilai perolehan air tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Hal ini membuat Pemerintah Provinsi memiliki kepentingan tambahan terhadap izin dan nilai perolehan air tanah. Dr. Machfud Sidik, seorang praktisi dan akademisi, mengemukakan bahwa kewenangan dalam pajak air tanah berada di Pemerintah Provinsi dengan pertimbangan terhadap lingkungan. Dengan demikian, pemerintah kota, pemerintah provinsi, pemerintah pusat, dan masyarakat pelaku usaha merupakan kelompok yang memiliki kepentingan terkait kebijakan pajak air tanah, dengan tingkat kepentingan yang berbeda-beda.

 

Gambar 1

Alur Mekanisme Pengelolaan Pajak Air Tanah

Alur pengelolaan pajak air tanah melibatkan beberapa instansi dengan peran dan kewenangan masing-masing. DPMPTSP berkoordinasi dengan BPLH untuk mengatur perizinan, sementara Bapenda bertanggung jawab dalam pemungutan pajak. Proses perizinan dan pendaftaran pajak saling terkait, namun tidak bertentangan. Badan Pendapatan Daerah Kota Bekasi sebagai pemungut pajak air tanah melakukan pendataan dan pencatatan volume pemakaian air tanah wajib pajak oleh petugas di setiap kecamatan. Hasil perhitungan volume pemakaian air digunakan untuk menghitung nilai perolehan air tanah, yang kemudian dikirim ke Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Barat untuk penetapan nilai perolehan air.

 

Gambar 2

Alur Mekanisme Pengelolaan Pajak Air Tanah Pasca Pergub 50 Tahun 2017

A picture containing text, screenshot, font, rectangle

Description automatically generated

Mekanisme pengelolaan air tanah mengalami perubahan dengan adanya persetujuan penetapan nilai perolehan air oleh pemerintah provinsi sebagai dasar pemungutan pajak air tanah. Kepentingan Bapenda dalam pemungutan pajak terkait dengan kepentingan pemerintah provinsi dalam menetapkan nilai perolehan air, yang mempengaruhi proses pemungutan pajak. Pasal 2 ayat (2) Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 50 tahun 2017 menyatakan bahwa nilai perolehan air ditetapkan untuk setiap titik pengambilan air tanah dengan izin. Sebagai daerah otonom, pemerintah kota mengikuti kebijakan pemerintah provinsi, meskipun kebijakan tersebut bisa menghambat fungsi pemerintah kota. Pemerintah provinsi memiliki kepentingan dalam menjalankan fungsi pemerintahan konkuren terkait pengendalian air tanah dan menetapkan izin serta nilai perolehan air. Namun, di tingkat pemerintah kota masih terdapat wajib pajak air tanah yang masa berlaku izin pemanfaatannya telah habis.

 

Tabel 1.

Jumlah wajib pajak air tanah terdaftar yang habis masa berlaku SIPA (Surat Izin Pengusahaan Air)

No

Kecamatan

Jumlah Wajib Pajak Air Tanah Terdaftar

Jumlah SIPA Habis Masa Berlaku

1

Bekasi Timur

29

7

2

Bekasi Barat

19

16

3

Bekasi Utara

38

26

4

Bekasi Selatan

29

26

5

Jati Asih

23

3

6

Pondok Gede

20

1

7

Bantar Gebang

65

14

8

Jati Sampurna

18

10

9

Rawalumbu

80

37

10

Medan Satria

46

22

11

Pondok Melati

8

3

12

Mustika Jaya

22

14

 

 

397

179

Sumber: Bapenda Kota Bekasi (diolah peneliti)

 

Wajib pajak air tanah di kota Bekasi terkonsentrasi pada wilayah Bantar Gebang, Rawalumbu, dan Medan Satria. Berdasarkan data pada tabel 5.1 dapat dilihat bahwa masih terdapat banyak wajib pajak air tanah terdaftar di Kota Bekasi yang telah habis masa berlaku izinnya. Sekitar 45% dari wajib pajak terdaftar telah habis masa berlaku izinnya dengan jumlah terbanyak pada wilayah Rawalumbu. Kewenangan penerbitan izin pemanfaatan air atau SIPA merupakan kewenangan pemerintah provinsi dalam hal ini Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Proses pelayanan perizinan dilakukan secara online dimana DPMPTSP hanya melakukan penerbitan izin sementara Dinas Teknis melakukan rekomendasi.

C. Manfaat Yang Diinginkan

Implementasi kebijakan pajak air tanah bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan pendapatan daerah, mengendalikan pemanfaatan air tanah, dan melindungi lingkungan. Namun, penyelarasan kebijakan nasional yang mendorong desentralisasi fiskal dengan karakteristik legal dari pajak air tanah menjadi tantangan. Penting untuk mengimplementasikan kebijakan sesuai dengan konsep yang ditetapkan. Meskipun pendapatan pajak air tanah di Kota Bekasi mengalami penurunan, diharapkan tetap memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah.

 

Tabel 2.

Komposisi Penerimaan Pajak Air Tanah di Kota Bekasi

No

Tahun

Target

Realisasi

Capaian (%)

1

2018

�� 16,100,500,300

�� 10,456,499,200

64.95%

2

2019

�� 16,100,500,300

���� 7,504,472,450

46.61%

3

2020

���� 4,544,103,402

���� 5,270,880,229

115.99%

4

2021

5,365,064,369

5,473,755,681

102.03%

5

2022

�� 10,088,640,646

���� 4,613,961,190

45.73%

 

Kemampuan daerah dalam membiayai dirinya sendiri melalui pendapatan asli daerah masih minim dengan rata-rata sekitar 15%. Pajak menjadi instrumen utama pembiayaan yang efektif, terutama dalam kebijakan pajak air tanah untuk meningkatkan pendapatan daerah dan mengendalikan pemanfaatan yang berlebihan. Namun, implementasi kebijakan ini kompleks, dan penerimaan pajak air tanah di Kota Bekasi mengalami penurunan. Kebijakan pajak air tanah belum mengatur alokasi pendapatan untuk membiayai dampak pemanfaatan air tanah. Undang-Undang Hak Keuangan dan Perimbangan Keuangan Daerah (HKPD) memberikan kejelasan mengenai penggunaan pendapatan pajak air tanah, tetapi besaran alokasi masih diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dalam jangka pendek, diperlukan kejelasan regulasi dan harmonisasi peraturan untuk pemungutan pajak di tingkat kabupaten/kota. Bagi Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), tujuan utamanya adalah melaksanakan pemungutan pajak air tanah dengan jelas. Dalam jangka panjang, perubahan yang diinginkan adalah tersedianya layanan air minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

D. Derajat Perubahan Yang Diinginkan

Menurut Grindle, perubahan kebijakan yang berhasil umumnya terjadi dalam jangka pendek, sementara perubahan jangka panjang bisa sulit. Bagi Bapenda, tujuan perubahan adalah memastikan pemungutan pajak sesuai persyaratan subjektif dan objektif. Diharapkan ada kejelasan regulasi dan harmonisasi peraturan untuk pemungutan pajak di tingkat kabupaten/kota. Dalam implementasi kebijakan pajak air tanah, konsep memberikan taxing power kepada pemerintah daerah dan pengendalian pada tingkat provinsi dan pusat belum berjalan optimal. Perubahan jangka pendek adalah pemungutan pajak air tanah di tingkat kabupaten/kota dan fungsi pengendalian yang efektif. Bagi wajib pajak dan pelaku usaha, perubahan yang diinginkan adalah kemudahan birokrasi dalam perpajakan dan perizinan. Namun, proses perizinan yang dilakukan di tingkat provinsi dan pemungutan pajak yang berhenti saat izin pemanfaatan air tanah habis masa berlaku menjadi kendala. Pelaku usaha membutuhkan kemudahan dalam memanfaatkan air tanah sesuai kapasitasnya, terutama ketika PDAM belum dapat menyediakan air secara menyeluruh. Dalam jangka panjang, perubahan yang diharapkan adalah tersedianya layanan PDAM di seluruh wilayah Kota Bekasi untuk mendukung pengendalian pemanfaatan air tanah secara menyeluruh.

E. Letak Pengambilan Keputusan

Dalam kebijakan pajak air tanah, kewenangan terbagi di berbagai tingkat pemerintahan. Pemerintah pusat memainkan peran pemimpin dalam perumusan dan perancangan pajak air tanah. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral bertanggung jawab dalam urusan air tanah. Di tingkat provinsi, pembuatan keputusan terkait nilai perolehan air berada di tangan pemerintah provinsi. Pemerintah kota, melalui Bapenda, mengambil keputusan terkait perhitungan nilai perolehan air dan penetapan pajak air tanah. Klaritas dalam pembuatan keputusan pada setiap level pemerintahan penting untuk keberhasilan implementasi kebijakan pajak air tanah.

F. Pelaksana Program

Pelaksanaan kebijakan pajak air tanah di Kota Bekasi melibatkan beberapa bidang yang memiliki tugas dan fungsi yang melekat. Tidak ada unit khusus untuk pelaksanaan program pajak air tanah, melainkan setiap unit dan bidang menjalankan tugas sesuai dengan perannya. Terdapat empat bagian pelaksana program yang terlibat, yaitu pendataan, penilaian, penerbitan ketetapan pajak, dan penyusunan regulasi. Selain itu, ada juga instansi di tingkat provinsi dan pusat yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan, seperti Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, DPMPTSP Provinsi Jawa Barat, dan Kementerian ESDM. Dalam hal koordinasi, Bapenda bertanggung jawab sebagai pembuat keputusan dalam pemungutan pajak, sedangkan Dinas ESDM Provinsi berperan dalam penetapan nilai perolehan air. Namun, koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota tidak berjalan optimal terkait pemungutan pajak dan langkah-langkah pengendalian.

G. Sumber Daya Yang Dipakai

Dalam implementasi kebijakan pajak air tanah, dukungan sumber daya manusia dan fasilitas yang memadai sangat penting. Bapenda Kota Bekasi dibantu oleh Unit Teknis di 12 wilayah kecamatan dalam pemungutan pajak. Unit teknis tersebut melakukan pencatatan volume meter air tanah, pendataan jumlah sumur, dan potensi pelaku usaha yang menggunakan air tanah. Perhitungan nilai perolehan air dilakukan oleh Sub Bidang Pendataan dan Penilaian, dengan mengacu pada Peraturan Gubernur. Data perhitungan tersebut disampaikan kepada pemerintah provinsi. Operator pengelola pajak air tanah bertanggung jawab atas penerbitan SKPD Pajak Air Tanah dan distribusi kepada wajib pajak, serta tagihan sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran. Meskipun sarana yang ada cukup memadai, Bapenda tidak memiliki peralatan khusus seperti pencatatan meter air tanah, pendeteksi sumur, dan alat-alat pendukung pengendalian.

H. Hubungan Implementasi (Context of Implementation)

Kekuatan, Kepentingan dan Strategi Aktor Yang Terlibat

Kebijakan pajak air tanah melibatkan aktor-aktor dengan kepentingan berbeda di tingkat pemerintahan. Perbedaan kepentingan ini dapat menyebabkan hambatan dalam implementasi kebijakan. Diperlukan fungsi koordinasi dan intervensi dari aktor dengan kekuatan paling tinggi untuk menjaga kelancaran implementasi kebijakan tersebut. Strategi diperlukan untuk mengatasi perbedaan kepentingan agar implementasi kebijakan pajak air tanah dapat berjalan lancar. Bapenda telah mengambil beberapa langkah, seperti mengirim surat kepada Gubernur Jawa Barat terkait pengendalian pemanfaatan air tanah dan memberikan himbauan kepada wajib pajak untuk memperpanjang izin. Bapenda juga mendukung kepentingan pemerintah provinsi dengan melakukan pengawasan terhadap perusahaan yang menggunakan air tanah. Namun, keterbatasan kewenangan Bapenda mengakibatkan tidak dapat melakukan penindakan, sehingga hanya dilakukan pelaporan kepada pemerintah provinsi.

I. Lembaga dan Karakteristik Rezim yang Berkuasa

Dukungan politik berperan penting dalam implementasi kebijakan. Undang-undang memberi kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk pemungutan pajak air tanah. Pemerintah Kota Bekasi mengacu pada Peraturan Daerah dan Peraturan Wali Kota terkait kebijakan ini. Dukungan pemerintah provinsi belum maksimal dalam pemungutan pajak air tanah. Pemerintah kota lebih banyak membantu provinsi dalam pengawasan air tanah dan menginformasikan perusahaan mengenai izin air tanah.

J. Kepatuhan dan Daya Tanggap

Implementasi kebijakan pajak air tanah di Kota Bekasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundangan. Penetapan wajib pajak air tanah di Kota Bekasi dilakukan hanya terhadap subjek pajak yang sudah memiliki izin pemanfaatan air dan masih berlaku. Persyaratan izin pemanfaatan air tanah / SIPA dalam pendaftaran subjek pajak air tanah dituangkan di dalam SOP Pendaftaran dan Penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah. Dalam hal penerbitan ketetapan pajak daerah, SKPD Pajak Air Tanah hanya ditetapkan berdasarkan nilai perolehan air yang telah disetujui dan ditetapkan oleh Dinas ESDM Provinsi dalam setiap masa pajak. Terhadap nilai perolehan air yang tidak ditetapkan oleh provinsi, Bapenda tidak menerbitkan SKPDnya. Sementara bagi wajib pajak air tanah yang memiliki kewajiban dalam.

 

Tabel 3.

Tunggakan Pajak Air Tanah Per Tahun Pajak

Tahun

SKP

Jumlah (Rp)

Tunggakan

Jumlah (Rp)

2018

4456

10,449,641,700

213

370,863,100

2019

2616

��� 7,316,163,000

111

180,960,200

2020

1756

��� 5,218,612,900

47

135,507,600

2021

1983

��� 5,456,117,500

45

137,939,500

2022

1723

��� 4,863,640,000

123

390,453,600

 

Melihat tabel diatas dalam pemungutan pajak air tanah jumlah tunggakan pembayaran pajak air tanah setiap tahun tidak melebihi 10% dari total jumlah SKPD yang diterbitkan. Tingkat kepatuhan wajib pajak air tanah tidak bisa diakatakan buruk namun tidak berarti kepatuhan telah terlaksana dengan baik. Hal ini dilihat dengan kembali meningkatnya jumlah tunggakan di tahun 2022 dan berada pada persentase tertinggi dalam 5 tahun terakhir, yakni 123 tunggakan dari 1723 ketetapan pajak air tanah atau sebesar 7%. Angka ini adalah juga yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir.

K. Dampak Implementasi Kebijakan Pajak Air Tanah di Kota Bekasi

Kepastian Hukum Bagi Fiskus dan Wajib Pajak Air Tanah

Kebijakan pajak air tanah dalam desentralisasi fiskal memberi wewenang kepada pemerintah daerah. Bupati/Wali Kota bertanggung jawab menetapkan dan mengumpulkan pajak air tanah. Air tanah merupakan urusan konkuren, melibatkan pemerintah dalam bidang Energi dan Sumber Daya Mineral. Pemungutan pajak di Kota Bekasi dilakukan oleh Bapenda, sementara nilai perolehan air tanah diatur oleh Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat dan Kementerian ESDM. Pengambilan dan penggunaan air tanah menjadi objek pajak, dengan pengecualian untuk keperluan rumah tangga, pertanian, perikanan, dan peribadatan. Subjek dan wajib pajak air tanah adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan air tanah. Pajak terutang saat pengambilan dan penggunaan air tanah. Namun, pajak tidak dapat ditetapkan jika izin pemanfaatan air habis masa berlakunya atau sedang dalam proses perpanjangan. Kepastian pemungutan pajak terhambat oleh undang-undang dan ketentuan izin. Perlu pedoman yang rinci untuk menjaga kepastian hukum. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 50 Tahun 2017 mengatur penetapan nilai perolehan air tanah, tetapi pembagian kewenangan air tanah tumpang tindih. Hal ini berdampak pada penurunan pemungutan pajak air tanah. Pada tahun 2022, terdapat 139 SKPD Pajak Air Tanah diterbitkan dari 399 wajib pajak terdaftar di Kota Bekasi.

 

Tabel 4

Daftar Perkembangan Rata-rata Penerbitan SKPD Pajak Air Tanah

No

Tahun

Jumlah Wajib Pajak

Jumlah rata-rata Penerbitan SKPD per bulan*)

1

2018

348

323

2

2019

359

208

3

2020

379

141

4

2021

390

157

5

2022

399

139

 

Dalam Tabel 4 dapat dilihat bahwa sejak 5 tahun terakhir terus terjadi penurunan rata-rata penerbitan SKPD Pajak Air Tanah per bulan. Pemungutan pajak di Indonesia sulit, meski persyaratan terpenuhi. Kepastian hukum terkait pajak air tanah terganggu oleh otoritas provinsi yang lebih tinggi daripada kota. Otoritas yang berlebihan menghambat kebijakan. UU HKPD mengatur bahwa penetapan nilai air tanah dilakukan oleh gubernur dengan pedoman dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan gubernur harus dibuat dengan bijaksana agar tidak menghambat pemungutan pajak air tanah. Pemerintah provinsi Bekasi menerapkan persyaratan izin dalam menentukan nilai air tanah, menghambat pemungutan pajak. Permasalahan terletak pada persyaratan izin, bukan pada kewenangan penetapan nilai. Persyaratan izin tidak boleh menghambat pemungutan jika penggunaan air telah terjadi. Ini berdampak negatif pada pemungutan pajak air tanah.

Penempatan izin sebagai persyaratan menghambat perencanaan penerimaan daerah. Pemerintah provinsi Jawa Barat harus mempertimbangkan hambatan ini saat mengevaluasi Peraturan Gubernur Nomor 50 tahun 2017. Pemerintah provinsi harus mendukung kepastian hukum pemungutan pajak air tanah di Bekasi. Wajib pajak juga menghadapi ketidakpastian dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Jika proses izin memakan waktu lama, pembayaran pajak air tanah akan bertambah. Ini memberatkan wajib pajak karena terjadi akumulasi pembayaran yang signifikan dengan beberapa periode pajak sekaligus.

L. Kepastian Mekanisme Pemungutan Pajak Air Tanah

Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan bahwa nilai perolehan air tanah sebagai dasar pengenaan pajak air tanah dihitung dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti jenis sumber air, lokasi sumber air, tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air, volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan, kualitas air, dan tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air. Besarnya nilai perolehan air tanah ditetapkan oleh peraturan Bupati/Walikota, yang dapat berbeda antar wilayah kabupaten/kota sesuai dengan kondisi masing-masing. Rumus perhitungan nilai perolehan air menggunakan perkalian antara harga air baku dan bobot air tanah. Perubahan dalam Undang-Undang HKPD menghapus pasal yang mengatur penyesuaian dengan kondisi masing-masing daerah dan menetapkan bahwa penetapan nilai perolehan air tanah diatur oleh peraturan gubernur dengan berpedoman pada peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

 

Tabel 5

Perbandingan Undang-Undang

Perbandingan Pasal

Undang-Undang 28 Tahun 2009

Undang-Undang 1 2022

Nilai Perolehan Air

Nilai Perolehan Air Tanah dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut: jenis sumber air, lokasi sumber air, tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air; volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan; kualitas air, dan tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.

 

Penggunaan faktor-faktor tersebut disesuaikan dengan kondisi masing-masing Daerah, dan besarnya nilai perolehan air tanah ditetapkan dengan peraturan Bupati/Walikota

Nilai perolehan Air Tanah adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.

 

Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pe meliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.

 

Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.

 

 

Besarnya nilai perolehan air tanah ditetapkan dengan

Peraturan Bupati/Walikota dengan berpedoman pada

nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan nilai perolehan Air Tanah diatur dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.

 

 

 

 

Undang-Undang HKPD dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 mengatur bahwa kewenangan penetapan nilai perolehan air tanah berada di tangan gubernur. Konsep kebijakan air tanah ini mengacu pada formula nilai perolehan air yang didasarkan pada nilai air dan mengikuti Peraturan Menteri ESDM. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 menggunakan frasa yang berbeda, yaitu nilai perolehan air tanah dalam daerah provinsi ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.

 

Tabel 6.

Perbandingan PP 55 Tahun 2016 dan PP 35 Tahun 2023

Perbandingan Pasal

PP 55 Tahun 2016

PP 35 Tahun 2023

Nilai Perolehan Air

Nilai perolehan air tanah dalam daerah provinsi ditetapkan dengan peraturan Gubernur

Nilai perolehan air tanah dalam Daerah provinsi diatur dengan peraturan Gubernur.

 

 

Besarnya nilai perolehan air tanah ditetapkan dengan Peraturan Bupati / Walikota dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur

 

Besarnya nilai perolehan Air Tanah Daerah kabupaten /kota diatur dengan peraturan bupati/ wali kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.

 

 

 

 

Pada tabel diatas mengenai nilai perolehan air terdapat perbedaan penggunaan kata ditetapkan dan diatur baik terhadap nilai perolehan air tanah dan terhadap besarannya. PP 55 Tahun 2016 merupakan petunjuk pelaksana yang terbit 7 tahun setelah diundangkannya Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah. PP ini terbit setelah diundangkannya Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang membagi kewenangan konkuren urusan air tanah.Ketentuan UU HKPD dan PP 35

 

Tabel 7

Perbandingan PP 55 2016 dan Pergub Jawa Barat No. 50 Tahun 2017

Perbandingan Pasal

PP 55 Tahun 2016

Pergub Jawa Barat 50Tahun 2017

Nilai Perolehan Air

Nilai perolehan air tanah dalam daerah provinsi ditetapkan dengan peraturan Gubernur

 

Besarnya nilai perolehan air tanah ditetapkan dengan Peraturan Bupati / Walikota dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur

 

Penetapan besarnya nilai perolehan air dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian teknis terkait.

Nilai Perolehan Air ditetapkan untuk setiap titik pengambilan air tanah yang sudah memiliki ljin Pengusahaan Air Tanah.

 

Nilai Perolehan Air sebagai dasar pengenaan pajak Air Tanah diperoleh dengan cara mengalikan volume air yang diambil dan dimanfaatkan (dalam ukuran m3) dengan Harga Dasar Air.

 

Ketentuan PP 55 Tahun 2016 dan Permen ESDM Nomor 20 Tahun 2018 mengatur penetapan nilai perolehan air tanah berdasarkan pedoman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengikuti pedoman tersebut, namun menambahkan persyaratan izin pemanfaatan air tanah dalam penetapan nilai perolehan air. Mekanisme pemungutan pajak air tanah membutuhkan persetujuan Pemerintah Provinsi sebelum penetapan pajak dilakukan, yang berbeda dengan konsep PP 55 Tahun 2016. Perhitungan nilai perolehan air tanah menggunakan rumus yang kompleks dan membutuhkan sumber daya yang memadai. Kesalahan dalam mekanisme perhitungan dapat menyebabkan kesalahan perhitungan nilai perolehan air tanah wajib pajak.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Peraturan Gubernur Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pedoman Penetapan Nilai Perolahan Air Tanah memberikan pedoman tentang tata cara perhitungan nilai perolehan air tanah sebagai berikut:

 

Table 7

Pedoman Penetapan Nilai Perolahan Air Tanah

NPA

=

Volume Progresif x HDA (Harga Dasar Air)

HDA

=

HAB (Harga Air Baku) x FNA (Faktor Nilai Air)

FNA

=

(60% x nilai Komponen Sumber Daya Alam) + (40% x nilai Komponen Peruntukan dan Pengelolaan)

NPA

=

Volume Progresif x HAB x FNA

 

=

Volume Progresif x HAB x [(60% x nilai Komponen Sumber Daya Alam) + (40% x Nilai Komponen peruntukan dan Pengelolaan)

 

Ketentuan dalam UU HKPD dan peraturan turunannya menunjukkan bahwa kebijakan pajak air tanah seharusnya berkaitan dengan nilai perolehan air tanah, bukan memasukkan unsur perizinan dalam proses pemungutan pajak. Pembagian kewenangan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota harus jelas. Penetapan nilai perolehan air diatur untuk mencegah ketidakseimbangan antar daerah. Namun, penentuan izin pemanfaatan air tanah sebagai dasar pemungutan pajak air tanah oleh Pemerintah Jawa Barat dianggap tidak tepat. Hal ini menghambat pemungutan pajak air tanah di Kota Bekasi. Mekanisme pemungutan pajak air tanah melibatkan Bapenda dan Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, tetapi keterlambatan dalam persetujuan penetapan nilai perolehan air berdampak pada penundaan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) Pajak Air Tanah. Keterlambatan ini menyebabkan ketidakpastian dalam perencanaan penerimaan pajak air tanah dan wajib pajak menerima SKPD yang tidak tepat.

Kepastian Penegakan Hukum Dalam Pengendalian Pajak Air Tanah

Pengendalian dalam kebijakan pajak air tanah yang dapat dilakukan oleh Bapenda Kota Bekasi terbatas pada pengelolaan pajak air tanah, bahkan semakin terbatas hanya pada pengendalian administratif pada pengenaan sanksi pajak daerah. Sanksi pajak diberikan terhadap wajib pajak daerah yang terlambat melakukan pembayaran pajak air tanah. Pengaturan pengendalian dalam perhitunahn pajak air tanah yang diatur dalam ketentuan regulasi dalam Peraturan Gubernur Nomor 50 Tahun 2017 mengenai perhitungan pajak air tanah atas kelebihan debit air. Denda yang dikenakan terhadap kelebihan debit air atas pemanfaatan air tanah yang telah memiliki izin pemanfaatan air tanah adalah sebesar 100%. Cara perhitungan denda kelebihan debit dalam pajak air tanah dirumuskan sebagai berikut:

Pajak Air Tanah dengan kelebihan debit

=

Pajak Air Tanah + Denda Kelebihan Debit

Denda Kelebihan Debit

=

100% x Tarif Pajak x NPA x (Volume Pemakaian � Volume yang diizinkan)

 

Pengendalian pemanfaatan air tanah dalam kebijakan pajak memiliki beberapa kendala. Perusahaan yang tidak memiliki izin dan wajib pajak air tanah yang telah habis masa berlaku izinnya tidak dapat langsung dikendalikan oleh Bapenda. Bapenda hanya dapat memberikan himbauan dan melaporkan kepada pemerintah provinsi. Kewenangan pengendalian air tanah berada di tangan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Pada perusahaan yang telah memanfaatkan air tanah namun belum menjadi wajib pajak daerah, Bapenda hanya dapat memberikan himbauan dan melaporkan kepada pemerintah provinsi. Tindakan pengendalian tidak dapat dilakukan oleh Bapenda karena perusahaan tersebut belum menjadi wajib pajak daerah. Selain itu, perusahaan yang tidak memiliki nilai perolehan air tanah karena izin pemanfaatannya telah habis juga tidak dapat dikendalikan oleh Bapenda. Pengendalian terhadap pemanfaatan air tanah oleh perusahaan ini menjadi sulit karena tidak dapat ditetapkan nilai perolehan air tanahnya. Kendala pengendalian ini mempengaruhi implementasi kebijakan pajak air tanah oleh Bapenda. Sulitnya mengenakan pajak pada perusahaan-perusahaan ini disebabkan oleh keterbatasan kewenangan penindakan. Untuk meningkatkan pengendalian, penindakan seperti penutupan sumur atau penyegelan titik sumur dapat dilakukan. Dengan tidak adanya pemanfaatan air tanah, tidak ada pajak yang harus dibayar, sehingga memberikan kepastian hukum bagi fiskus.

Namun, hingga saat ini pemerintah provinsi belum melaksanakan pengendalian pemanfaatan air tanah. Tidak ada pembentukan tim pengawasan bersama atau koordinasi pengendalian antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota. Pengawasan lebih difokuskan pada perizinan, namun tidak dilakukan pengawasan dan pengendalian terhadap perusahaan yang telah memanfaatkan air tanah tanpa izin. Meskipun Bapenda telah melakukan pendataan dan melaporkan perusahaan yang memanfaatkan air tanah tanpa izin, belum ada tindakan penindakan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi. Hal ini menyebabkan kepastian hukum terkait penindakan pengendalian air tanah menjadi lemah. Secara keseluruhan, pengendalian pemanfaatan air tanah dalam kebijakan pajak memiliki kendala dalam implementasinya. Kewenangan penindakan yang terbatas dan kurangnya koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota mempengaruhi pengendalian yang efektif. Untuk meningkatkan pengendalian, perlu dilakukan upaya penegakan hukum yang lebih kuat dan koordinasi yang lebih baik antara pihak terkait.

 

Kesimpulan

Implementasi kebijakan pajak air tanah di Kota Bekasi dipengaruhi oleh kepentingan kelompok sasaran yang terlibat, menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pemungutan pajak air tanah. Optimalisasi penerimaan asli daerah dan pengendalian pemanfaatan air tanah belum berjalan optimal. PP 35 Tahun 2023 memberikan kepastian alokasi penerimaan pajak air tanah untuk pencegahan kerusakan lingkungan. Perbedaan keputusan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota menyebabkan kendala dalam pelaksanaan kebijakan. Bapenda memiliki sumber daya yang memadai, namun kepentingan aktor yang berbeda menyebabkan hambatan. Dukungan pemerintah provinsi terhadap pemungutan pajak air tanah masih lemah. Meskipun tingkat kepatuhan wajib pajak cukup tinggi, penegakan hukum terhadap pelanggaran izin masih lemah.

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Alink, M dan Victor van Kommer. (2011). Handbook on Tax Administration. Amsterdam: IBFD.

 

Bird, Richard M.& Milka Casanegra de Jantscher. (1997) Improving Tax Administration in Developing Countries. Washington D.C: International Monetary Fund.

 

Binsarjono, Tugiman. Grey Area Perpajakan. Jakarta: Gigih Publishing. 2007.

 

Bungin, B. (2015). Analisis data Penelitian Kualitatif. PT Raja Grafindo Persada.

 

Afifah, Nuha Amiratul, dan Notodarmojo, S. (2018).Identifikasi Sebaran Logam Berat Arsen dari Sistem Panas Bumi Pada Air Tanah Dangkal Dengan Metode Kriging. Jurnal Teknik Lingkungan Volume 24 Nomor 1.

 

Chen, Zi-Rui, Yuan, Y., Xiao, X. (2021). Analysis of the Fee-to-Tax Reform on Water Resources in China. Frontiers in Energy Research, 9 (752592).

 

Creswell, J.W. (2010). Research design: pendekatan penelitian kualitatif, kuantitatif, dan mixed. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar.

 

Cornelia, Piciu Gabriela & Lenuta, Trica Carmen. (2012).Assessing the Impact and Effectiveness of Enviromental Taxes. Elsevier, Procidia Economics and Finance 3, (728-733).

 

Demin, Alexander V. (2020).Certainty and Uncertainty in Tax Law: Do Opposites Attract?.Law Institure Siberian Federal University, MDPI, 9(30).

 

Davey, Kennerth J. (1988). Pembiayaan Pemerintah Daerah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).

 

Esterhuyse, S., Vermeulen, D., & Glazewski, J. (2022). Developing and enforcing fracking regulations to protect groundwater resources. King Fahd University of Petroleum & Minerals, 3

 

Grindle, M.S. (ed). (1980). Politics and Policy Implementation in the Third World. New Jersey: Princeton University Press.

 

Grubb, H. W. (1968). Groundwater Utilization and Tax Policy. Oxford University Press, American Journal of Agricultural Economics, 50 (5), 1621-1630

 

Irianto, Edi Slamet, Rosdiana, H., Tambunan, M. R. (2018). On Quest of evironmental tax implementation in Indonesia. E3S Web of Conferences 52.

 

Irianto, Edi Slamet, Rosdiana, H., Sardjono, L.S., Tambunan M.R. (2018). Fiscal legitimacy of environmental taxation: challenges for green growth policy. E3S Web of Conferences 52.

 

Indonesia, R. (2022). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor, 6757.

 

Indonesia, P. (2019). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Lembaran RI Tahun, (17).

 

Keuangan, K. (2009). Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. KEMENKEU, Jakarta.

 

Koraag, Engeline Talitha Rachael & Fadila Cahyaningtyas. (2021). Analysis of Potential and Effectiveness of Groundwater Tax as a Contribution to Locally-Generated Revenue of Malang City in Pandemic Era. International Journal of Educational Research and Social Sciences.

 

Mankiw, Gregory. (2004). Principle of Microeconomics. Cengage Learning.

 

Mardiasmo. (2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi.

 

Marsuni, Lauddin.(2006). Hukum dan Kebijakan Perpajakan Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

 

Musgrave, Richard A and Peggy B. Musgrave. (1989). Public Finance in Theory and Practice. McGraw-Hill Book Company.

 

Mulyanti, Dewi, Indra Perwira, Zainal Muttaqin, Dewi Kania Sugiharti. (2022). The Legal Policy Role of Groundwater Tax on Water Resources Conservation in Indonesia. Journal of Positive School Psychology, 6(8), 2654-2661.

 

Miller, C. T., Rabiedeau, A. J., Mayer, A. S. (1991). Groundwater. Willey Research Journal of The Water Pollution Control Federation, 63(4), 552-593.

 

Nurhasanah, N.,Pancasilawan, R., Munajat, E M D. (2021). Pengendalian Pemanfaatan Air Tanah di Kecamatan Bandung Wetan Oleh Cabang Dinas ESDM Wilayah IV Bandung. Jurnal Administrasi Negara Volume 13 Nomor 1

 

Neuman, Lawrence W. 2007. Basics of Social Research: Quantitative and Qualitative Approaches. Boston: Allyn and Bacon.

 

Nowak, Norman. (1970). Tax Administration: Theory and Practice. Washington: Prager Publisher Inc.

 

Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit.

 

Nugraha, Hendra Akbar , Fikri Adiyasa Rosidin, Wimba Roofi Hutama and Muhammad Gaidy Wiratama. (2020). The Authority Concerning the Collection of Groundwater Taxes After Law No. 23 Year 2014 in the City of Surabaya. Yuridika, 35(3).

 

OECD. (2011). Environmental Taxation A Guide for Policy Makers. Paris: OECD Publishing.

 

Pigou, AC. (1920). The Economics of Welfare. London: Macmillan and Co, Ltd.

 

Pistone, P., Roeleveld, K., Hatttingh, J., Pinto Nogueira, J.F., & West, C. (2019) Fundamentals of Taxation: An Introduction to Tax Policy, Tax Law and Tax Administration. Amsterdam: IBFD.

 

Porwandari, K. (2007). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: PSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

 

R. Mansury. (1999).Kebijakan Fiskal.Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan (YP4).

 

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

 

Rosdiana, H. & Irianto, E. S. (2014). Pengantar Ilmu Pajak:Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

 

Rejekiningrum, Popi. (2009). Capturing the Benefit of Groundwater for Water Resources Sustainability. Jurnal Sumberdaya Lahan, 3(2).

 

Smith, Ryan, Rosemary, K. & Fendorf, S. (2018) Overpumping leads to California Groundwater Arsenic Threat. Nature Communications, 9, 2089.Schiffler, Manuel. (1998). The Economics of Groundwater Management in Arid Countries: Theory, International Experience, and A Case Study of Jordan. New York: Routledge

 

Siahaan, Marihot P. (2005). Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

 

Stiglitz, J.E., & Rosengard, J.K. (2015). Economics of The Public Sector: Fourth International Student Edition. WW Norton & Company.

 

Suandy, Erly. (2014). Hukum Pajak. Jakarta: Salemba 4.

 

Tietenberg, Tom. (1992). Environmental and Natural Resources Economics 3rded. New York : HarperCollins Publishers Inc.

 

Theodoulou, Stella Z & Matthew Alan Cahn. (1995). Public Policy: The Essential Readings. Englewood Cliffs: Prentice Hall.

 

Thuronyi V. (1998). Tax law design and drafting. International Monetary Fund.

 

Wahyudi, F.R., Moersidik, S. S. (2016). The analysis of groundwater availability and utility in DKI Jakarta. Elsevier, Procedia Social and Behavioral Sciences, 227 (799-807).

 

Yandle, Bruce. (1984). Environmental Control Growth. Growth and Change, 15 (3).

 

Ziolo, M., Iwona, Bak., Cheba, K.(2019) Environmental taxes-how public policy makers use then in the descision-making process?. Elsevier, Procedia Computer Science 159, 2216-2223.

 

Copyright holder:

Andreas Victor Baringin P, Inayati (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: