Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PAJAK AIR TANAH DI KOTA BEKASI
Andreas Victor Baringin P, Inayati
Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Indonesia
Email:
[email protected], [email protected]
Abstrak
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak air tanah merupakan jenis pajak daerah kabupaten/kota. Pada tahun 2014, dengan diterbitkannya Undang-Undang 23 tentang Pemerintahan Daerah, dilakukan pembagian urusan pemerintahan konkuren urusan bidang energi dan sumber daya mineral menjadi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Penelitian ini menganalisis implementasi kebijakan dengan menggunakan teori kebijakan Grindlle untuk melihat keberhasilan suatu kebijakan dari isi kebijakan dan konteks. Penelitian ini menggunakan pendekatan post postitivis dengan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa kepentingan pemungutan pajak air tanah pada wilayah Kota terpengaruhi oleh kepentingan penerintah provinsi dalam pengendalian air tanah.� Kebijakan pemungutan pajak air tanah pada tingkat Kota tidak mendapat dukungan memadai oleh pemerintah provinsi. Penggunaan kewenangan menggabungan kegiatan perizinan dalam rangkaian pemungutan pajak tanpa berjalannya fungsi pengendalian serta penerapan regulasi yang tidak sesuai dengan konsep pembuatan kebijakannya memberikan dampak terhadap implementasi kebijakan pajak air tanah di Kota Bekasi. Tidak terwujudnya kepastian hukum bagi fiskus dalam memungut pajak dan bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajak merupakan dampak yang timbul selain lemahnya kepastian mekanisme pemungutan dan penegakan hukum atas pengendalian pemanfaatan air tanah.
Kata kunci: kebijakan pajak, pajak air tanah, pajak.
Abstract
Since the promulgation of Law Number 28 of
2009 concerning Regional Tax and Regional Retribution, groundwater tax is a type
of district/city regional tax. In 2014, with the issuance of Law 23 on Regional
Government, a concurrent division of government affairs in the field of energy
and mineral resources into the authority of the central government and
provincial government was carried out. This study analyzes policy
implementation using Grindlle policy theory to see the success of a policy from
policy content and context. This research uses a post-postitivist approach with
qualitative methods. The results showed that the importance of collecting
groundwater tax in the City area was influenced by the interest of the
provincial government in groundwater control.�
The policy of collecting groundwater tax at the municipal level did not
receive adequate support by the provincial government. The use of authority to
combine licensing activities in a series of tax collection without the running
of the control function and the application of regulations that are not in
accordance with the concept of policy making have an impact on the
implementation of groundwater tax policy in Bekasi City. The lack of legal
certainty for the fiscus in collecting taxes and for taxpayers in fulfilling
tax obligations is an impact arising in addition to the lack of certainty of
collection mechanisms and law enforcement on controlling groundwater
utilization.
Keywords: tax policy, groundwater tax, tax.
Pendahuluan
Air merupakan sumber daya alam yang
memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Undang-Undang Dasar 1945
sendiri memberikan jaminan untuk warga negara Indonesia untuk mendapatkan air
bersih. Pengelolaan air tanah yang esensial dan karakternya sebagai barang
publik perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah guna memperhatikan faktor
pengendalian atas pemanfaatan air tanah. Ketentuan perundangan juga mengatur
tentang pemberian izin secara ketat berdasarkan prioritas bagi pemanfaatan
sumber daya air untuk kebutuhan usaha. Ketentuan UU 23 Tahun 2014 mengatur ketentuan baru dengan memberikan kewenangan pemerintah
daerah pada tingkat provinsi untuk melaksanakan penetapan Nilai Perolehan Air
Tanah (NPA). �Hal ini menjadi tidak sesuai dengan ketentuan
mengenai NPA yang tercantun dalam UU 28 Tahun 2009 yang mengatur bahwa
penetapan besaran NPA ditetapkan oleh Peraturan Bupati/Walikota.
Hubungan dari penyusunan ketentuan
perundangan dan pelaksaaan administrasi tidak selalu tuntas, hal ini karena
dalam pelaksanaan administrasi perpajakan banyak melibatkan faktor diskresi
dalam mengintrepretasi undang-undang yang sudah dibuat. Thuronyi (1998) menyebutkan bahwa administrative rulings merupakan instrumen
penting dalam melaksanakan implementasi ketetentuan perpajakan. Hal ini mengacu
pada kewenangan pemerintah kota dalam melaksanakan pemungutan pajak atas air
tanah berkaitan dengan kewenangan penetapan NPA yang dilaksanakan oleh
pemerintah provinsi. Dengan demikian dalam penetapan ketentuan perundangan seharusnya
juga menerbitkan pedoman pelaksanaan yang sesuai dengan hal-hal yang relevan
terjadi di lapangan. Thuronyi (1998) membagi pembagian kewenangan
dalam penetapan pajak menjadi tiga yaitu berdasar jenis pajaknya, berdasarkan
elemen dasar atau struktur pajaknya, dan ketiga berdasarkan tingkat
implementasinya. Akan tetapi perbedaan antara pembagian kewenangan dan
pelaksanaan implementasi dapat terjadi juga pada tingkatan pemerintahan yang
berbeda seperti pemerintah pusat dan daerah. Dalam kasus ini perlu secara
spesifik ditentukan tingkat pemerintahan apa yang membuat ketetentuan umum
perundangan, dan tingkat pemerintah apa yang melaksanakan impelmentasi
ketentuan administrasi.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahaan Daerah, telah mengatur pembagian kewenangan urusan sumber
daya air, khususnya penetapan Nilai Perolehan Air Tanah yang menjadi kewenangan
Pemerintah Provinsi. Ketentuan ini memberikan ketidakpastian hukum dalam
pemungutan pajak atas air tanah yang merupakan pajak daerah
yang dipungut oleh Kepala Daerah pada tingkat kabupaten/kota. Permasalahan juga
timbul dalam hal jumlah surat ketetapan pajak daerah yang ditetapkan sebagai
dasar pemungutan pajak air tanah tidak sesuai dengan jumlah objek pajak
terdaftar. Hal ini disebabkan pemerintah provinsi selaku pemilik kewenangan
penetapan NPA tidak akan menetapkan NPA atas perusahaan yang masa berlaku
izinya sudah habis dan belum diperpanjang. Sementara pemanfaatan air tanah
tetap dilaksanakan oleh perusahaan.
Konsep pemungutan pajak sejatinya
mengacu pada keadaan terpenuhinya kondisi subjek pajak, objek pajak, dan saat
terutangnya pajak. Terkait pajak atas air tanah dimana fiskus tidak dapat
menetapkan pajak atas pemungutan air tanah walaupun ada subjek pajak dan wajib
pajaknya yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau
pemanfaatan Air Tanah, terdapat objek pajaknya yaitu pengambilan dan/atau
pemanfaatan dan diketahui ada dasar pengenaannya yakni dilaksanakannya
pencatatan volume meter air atas pengunaan air tanah untuk dilakukan
penghitungan dengan formulasi penghitungan air baku untuk memperoleh nilai
perolehan Air Tanahnya. Penelitian ini hendak melihat lebih dalam terhadap
fenomena ini dimana berdasarkan analisa awal fungsi reguleren dalam
implementasi kebijakan pajak air tanah seolah-olah menjadi tidak berjalan dan
menimbulkan ketidakpastian bagi wajib pajak dan bagi pemungut pajak.
Dampak tidak ditetapkannya pajak air
tanah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi wajib pajak, karena dalam hal ini fiskus melakukan pencatatan meteran air atas penggunaan air tanah wajib pajak setiap bulan atau setiap masa pajak namun dapat tidak dilakukan penerbitan
surat ketetapan pajak dalam hal tidak
dilakukan penetapan NPA oleh pemerintah provinsi. Keadaan ini menyebabkan juga tidak adanya
kepastian hukum bagi fiskus untuk memungut pajak air tanah secara optimal, dan
tidak adanya pengendalian pemanfaatan air tanah oleh pemerintah kota, sehingga
peran pajak sebagai instrumen pengatur/reguleren menjadi tidak terwujud. Pemerintah seyogyanya menjalankan tugas dan fungsinya
menjalankan pemerintahan yang baik. Karakteristik pemerintah yang baik
merupakan sebuah kondisi yang harus dimiliki guna melaksanakan tata kelola
pajak yang baik (Alink dan Kommer ,2011). Berangkat dari hal tersebut peneliti
akan meneliti implementasi kebijakan pajak air tanah di Kota Bekasi ini dalam
melihat fenomena didalamnya serta bagaimana dampak
implementasi kebijakan pajak air tanah di Kota Bekasi.
Metode Penelitian
Penelitian
ini menggunakan pendekatan post-positivsme dengan metode kualitatif. Berbeda
dengan pardigma positivisme, paradigma ini lebih menekankan pada
penjelasan-penjelasan atau deskripsi kualitatif. Pendekatan post-positivisme
juga beranggapan bahwa realitas bersifat subyektif dan jamak serta pengetahuan
bersifat tidak bebas nilai. (Neuman, 2007). Pendekatan post-positivisme
menentang gagasan tentang kebenaran mutlak atas pengetahuan dan mengakui tidak
adanya kebenaran yang pasti. (Creswel dan Creswell, 2018).� Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif
untuk mendapatkan analisis data komprehensif dan mendapatkan pemahaman
menyeluruh yang menjelaskan implementasi kebijakan pajak air tanah di Kota
Bekasi. Melalui metode kualitatif peneliti menarik makna yang mendalam dari
kumpulan data yang diperoleh dan menguraikan dan menganalisis mendalam
implementasi kebijakan air tanah.
Hasil dan Pembahasan
A. Implementasi Kebijakan
Pajak Air Tanah di Kota Bekasi
Implementasi kebijakan adalah proses penting dalam
pelaksanaan kebijakan yang memiliki dampak pada pencapaian tujuan yang
ditetapkan. Proses ini kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk
kepentingan berbagai pihak, interpretasi yang beragam, dan strategi yang
dilakukan oleh pelaksana kebijakan. Konsep implementasi kebijakan yang
diusulkan oleh Merilee Grindle (1980) membaginya menjadi dua aspek, yaitu
konten (content) dan konteks (context). Pendekatan ini membantu peneliti untuk
melihat implementasi kebijakan secara menyeluruh, serta mengidentifikasi
faktor-faktor yang memengaruhi implementasi kebijakan pajak air tanah di Kota
Bekasi, apakah telah sesuai dengan tujuan kebijakannya dan dilaksanakan dengan
optimal. Keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat dari proses
pelaksanaannya.
B. Isi Kebijakan (Content Policy) Kepentingan Yang Terpengaruhi
Undang-Undang 23 Tahun 2014 membagi kewenangan terkait
sumber daya air tanah antara pemerintah pusat dan provinsi. Penetapan nilai
perolehan air tanah dilakukan oleh pemerintah provinsi sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016. Sebelumnya, ketentuan dalam Undang-Undang 28
menetapkan bahwa nilai perolehan air tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Hal
ini membuat Pemerintah Provinsi memiliki kepentingan tambahan terhadap izin dan
nilai perolehan air tanah. Dr. Machfud Sidik, seorang praktisi dan akademisi,
mengemukakan bahwa kewenangan dalam pajak air tanah berada di Pemerintah
Provinsi dengan pertimbangan terhadap lingkungan. Dengan demikian, pemerintah
kota, pemerintah provinsi, pemerintah pusat, dan masyarakat pelaku usaha
merupakan kelompok yang memiliki kepentingan terkait kebijakan pajak air tanah,
dengan tingkat kepentingan yang berbeda-beda.
Gambar 1
Alur Mekanisme Pengelolaan Pajak Air Tanah
Alur
pengelolaan pajak air tanah melibatkan beberapa instansi dengan peran dan
kewenangan masing-masing. DPMPTSP berkoordinasi dengan BPLH untuk mengatur
perizinan, sementara Bapenda bertanggung jawab dalam pemungutan pajak. Proses
perizinan dan pendaftaran pajak saling terkait, namun tidak bertentangan. Badan
Pendapatan Daerah Kota Bekasi sebagai pemungut pajak air tanah melakukan
pendataan dan pencatatan volume pemakaian air tanah wajib pajak oleh petugas di
setiap kecamatan. Hasil perhitungan volume pemakaian air digunakan untuk
menghitung nilai perolehan air tanah, yang kemudian dikirim ke Dinas Energi dan
Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Barat untuk penetapan nilai perolehan air.
Gambar 2
Alur Mekanisme Pengelolaan Pajak Air Tanah Pasca Pergub 50
Tahun 2017
Mekanisme
pengelolaan air tanah mengalami perubahan dengan adanya persetujuan penetapan
nilai perolehan air oleh pemerintah provinsi sebagai dasar pemungutan pajak air
tanah. Kepentingan Bapenda dalam pemungutan pajak terkait dengan kepentingan
pemerintah provinsi dalam menetapkan nilai perolehan air, yang mempengaruhi
proses pemungutan pajak. Pasal 2 ayat (2) Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor
50 tahun 2017 menyatakan bahwa nilai perolehan air ditetapkan untuk setiap
titik pengambilan air tanah dengan izin. Sebagai daerah otonom, pemerintah kota
mengikuti kebijakan pemerintah provinsi, meskipun kebijakan tersebut bisa
menghambat fungsi pemerintah kota. Pemerintah provinsi memiliki kepentingan
dalam menjalankan fungsi pemerintahan konkuren terkait pengendalian air tanah
dan menetapkan izin serta nilai perolehan air. Namun, di tingkat pemerintah
kota masih terdapat wajib pajak air tanah yang masa berlaku izin pemanfaatannya
telah habis.
Tabel 1.
Jumlah wajib pajak air tanah terdaftar yang habis masa
berlaku SIPA (Surat Izin Pengusahaan Air)
No |
Kecamatan |
Jumlah Wajib Pajak Air Tanah Terdaftar |
Jumlah SIPA Habis Masa Berlaku |
1 |
Bekasi Timur |
29 |
7 |
2 |
Bekasi Barat |
19 |
16 |
3 |
Bekasi Utara |
38 |
26 |
4 |
Bekasi Selatan |
29 |
26 |
5 |
Jati Asih |
23 |
3 |
6 |
Pondok Gede |
20 |
1 |
7 |
Bantar Gebang |
65 |
14 |
8 |
Jati Sampurna |
18 |
10 |
9 |
Rawalumbu |
80 |
37 |
10 |
Medan Satria |
46 |
22 |
11 |
Pondok Melati |
8 |
3 |
12 |
Mustika Jaya |
22 |
14 |
|
|
397 |
179 |
Sumber: Bapenda Kota Bekasi
(diolah peneliti)
Wajib pajak air tanah di kota Bekasi
terkonsentrasi pada wilayah Bantar Gebang, Rawalumbu, dan Medan Satria.
Berdasarkan data pada tabel 5.1 dapat dilihat bahwa masih terdapat banyak wajib
pajak air tanah terdaftar di Kota Bekasi yang telah habis masa berlaku izinnya.
Sekitar 45% dari wajib pajak terdaftar telah habis masa berlaku izinnya dengan
jumlah terbanyak pada wilayah Rawalumbu. Kewenangan penerbitan izin pemanfaatan
air atau SIPA merupakan kewenangan pemerintah provinsi dalam hal ini Dinas
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Proses pelayanan
perizinan dilakukan secara online dimana DPMPTSP hanya melakukan
penerbitan izin sementara Dinas Teknis melakukan rekomendasi.
C. Manfaat Yang Diinginkan
Implementasi
kebijakan pajak air tanah bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan pendapatan
daerah, mengendalikan pemanfaatan air tanah, dan melindungi lingkungan. Namun,
penyelarasan kebijakan nasional yang mendorong desentralisasi fiskal dengan
karakteristik legal dari pajak air tanah menjadi tantangan. Penting untuk
mengimplementasikan kebijakan sesuai dengan konsep yang ditetapkan. Meskipun
pendapatan pajak air tanah di Kota Bekasi mengalami penurunan, diharapkan tetap
memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah.
Tabel 2.
Komposisi Penerimaan Pajak Air Tanah di Kota Bekasi
No |
Tahun |
Target |
Realisasi |
Capaian (%) |
1 |
2018 |
�� 16,100,500,300 |
�� 10,456,499,200 |
64.95% |
2 |
2019 |
�� 16,100,500,300 |
���� 7,504,472,450 |
46.61% |
3 |
2020 |
���� 4,544,103,402 |
���� 5,270,880,229 |
115.99% |
4 |
2021 |
5,365,064,369 |
5,473,755,681 |
102.03% |
5 |
2022 |
�� 10,088,640,646 |
���� 4,613,961,190 |
45.73% |
Kemampuan
daerah dalam membiayai dirinya sendiri melalui pendapatan asli daerah masih
minim dengan rata-rata sekitar 15%. Pajak menjadi instrumen utama pembiayaan
yang efektif, terutama dalam kebijakan pajak air tanah untuk meningkatkan
pendapatan daerah dan mengendalikan pemanfaatan yang berlebihan. Namun,
implementasi kebijakan ini kompleks, dan penerimaan pajak air tanah di Kota
Bekasi mengalami penurunan. Kebijakan pajak air tanah belum mengatur alokasi
pendapatan untuk membiayai dampak pemanfaatan air tanah. Undang-Undang Hak
Keuangan dan Perimbangan Keuangan Daerah (HKPD) memberikan kejelasan mengenai
penggunaan pendapatan pajak air tanah, tetapi besaran alokasi masih diatur
dalam Peraturan Pemerintah. Dalam jangka pendek, diperlukan kejelasan regulasi
dan harmonisasi peraturan untuk pemungutan pajak di tingkat kabupaten/kota.
Bagi Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), tujuan utamanya adalah melaksanakan
pemungutan pajak air tanah dengan jelas. Dalam jangka panjang, perubahan yang
diinginkan adalah tersedianya layanan air minum oleh Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM).
D. Derajat Perubahan Yang Diinginkan
Menurut
Grindle, perubahan kebijakan yang berhasil umumnya terjadi dalam jangka pendek,
sementara perubahan jangka panjang bisa sulit. Bagi Bapenda, tujuan perubahan
adalah memastikan pemungutan pajak sesuai persyaratan subjektif dan objektif.
Diharapkan ada kejelasan regulasi dan harmonisasi peraturan untuk pemungutan
pajak di tingkat kabupaten/kota. Dalam implementasi kebijakan pajak air tanah,
konsep memberikan taxing power kepada pemerintah daerah dan pengendalian pada
tingkat provinsi dan pusat belum berjalan optimal. Perubahan jangka pendek
adalah pemungutan pajak air tanah di tingkat kabupaten/kota dan fungsi
pengendalian yang efektif. Bagi wajib pajak dan pelaku usaha, perubahan yang
diinginkan adalah kemudahan birokrasi dalam perpajakan dan perizinan. Namun,
proses perizinan yang dilakukan di tingkat provinsi dan pemungutan pajak yang
berhenti saat izin pemanfaatan air tanah habis masa berlaku menjadi kendala.
Pelaku usaha membutuhkan kemudahan dalam memanfaatkan air tanah sesuai
kapasitasnya, terutama ketika PDAM belum dapat menyediakan air secara
menyeluruh. Dalam jangka panjang, perubahan yang diharapkan adalah tersedianya
layanan PDAM di seluruh wilayah Kota Bekasi untuk mendukung pengendalian
pemanfaatan air tanah secara menyeluruh.
E. Letak Pengambilan Keputusan
Dalam
kebijakan pajak air tanah, kewenangan terbagi di berbagai tingkat pemerintahan.
Pemerintah pusat memainkan peran pemimpin dalam perumusan dan perancangan pajak
air tanah. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral bertanggung jawab dalam
urusan air tanah. Di tingkat provinsi, pembuatan keputusan terkait nilai
perolehan air berada di tangan pemerintah provinsi. Pemerintah kota, melalui
Bapenda, mengambil keputusan terkait perhitungan nilai perolehan air dan
penetapan pajak air tanah. Klaritas dalam pembuatan keputusan pada setiap level
pemerintahan penting untuk keberhasilan implementasi kebijakan pajak air tanah.
F. Pelaksana Program
Pelaksanaan kebijakan pajak air tanah di Kota Bekasi
melibatkan beberapa bidang yang memiliki tugas dan fungsi yang melekat. Tidak
ada unit khusus untuk pelaksanaan program pajak air tanah, melainkan setiap
unit dan bidang menjalankan tugas sesuai dengan perannya. Terdapat empat bagian
pelaksana program yang terlibat, yaitu pendataan, penilaian, penerbitan
ketetapan pajak, dan penyusunan regulasi. Selain itu, ada juga instansi di
tingkat provinsi dan pusat yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan, seperti
Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, DPMPTSP Provinsi Jawa Barat, dan Kementerian
ESDM. Dalam hal koordinasi, Bapenda bertanggung jawab sebagai pembuat keputusan
dalam pemungutan pajak, sedangkan Dinas ESDM Provinsi berperan dalam penetapan
nilai perolehan air. Namun, koordinasi antara pemerintah provinsi dan
pemerintah kota tidak berjalan optimal terkait pemungutan pajak dan
langkah-langkah pengendalian.
G. Sumber Daya Yang Dipakai
Dalam
implementasi kebijakan pajak air tanah, dukungan sumber daya manusia dan
fasilitas yang memadai sangat penting. Bapenda Kota Bekasi dibantu oleh Unit
Teknis di 12 wilayah kecamatan dalam pemungutan pajak. Unit teknis tersebut
melakukan pencatatan volume meter air tanah, pendataan jumlah sumur, dan
potensi pelaku usaha yang menggunakan air tanah. Perhitungan nilai perolehan
air dilakukan oleh Sub Bidang Pendataan dan Penilaian, dengan mengacu pada
Peraturan Gubernur. Data perhitungan tersebut disampaikan kepada pemerintah
provinsi. Operator pengelola pajak air tanah bertanggung jawab atas penerbitan
SKPD Pajak Air Tanah dan distribusi kepada wajib pajak, serta tagihan sanksi
administrasi atas keterlambatan pembayaran. Meskipun sarana yang ada cukup
memadai, Bapenda tidak memiliki peralatan khusus seperti pencatatan meter air
tanah, pendeteksi sumur, dan alat-alat pendukung pengendalian.
H. Hubungan
Implementasi (Context of Implementation)
Kekuatan, Kepentingan dan Strategi Aktor Yang Terlibat
Kebijakan
pajak air tanah melibatkan aktor-aktor dengan kepentingan berbeda di tingkat
pemerintahan. Perbedaan kepentingan ini dapat menyebabkan hambatan dalam
implementasi kebijakan. Diperlukan fungsi koordinasi dan intervensi dari aktor
dengan kekuatan paling tinggi untuk menjaga kelancaran implementasi kebijakan
tersebut. Strategi diperlukan untuk mengatasi perbedaan kepentingan agar
implementasi kebijakan pajak air tanah dapat berjalan lancar. Bapenda telah
mengambil beberapa langkah, seperti mengirim surat kepada Gubernur Jawa Barat
terkait pengendalian pemanfaatan air tanah dan memberikan himbauan kepada wajib
pajak untuk memperpanjang izin. Bapenda juga mendukung kepentingan pemerintah
provinsi dengan melakukan pengawasan terhadap perusahaan yang menggunakan air
tanah. Namun, keterbatasan kewenangan Bapenda mengakibatkan tidak dapat
melakukan penindakan, sehingga hanya dilakukan pelaporan kepada pemerintah
provinsi.
I. Lembaga dan Karakteristik Rezim yang Berkuasa
Dukungan
politik berperan penting dalam implementasi kebijakan. Undang-undang memberi
kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk pemungutan pajak air tanah.
Pemerintah Kota Bekasi mengacu pada Peraturan Daerah dan Peraturan Wali Kota
terkait kebijakan ini. Dukungan pemerintah provinsi belum maksimal dalam
pemungutan pajak air tanah. Pemerintah kota lebih banyak membantu provinsi
dalam pengawasan air tanah dan menginformasikan perusahaan mengenai izin air
tanah.
J. Kepatuhan dan Daya Tanggap
Implementasi
kebijakan pajak air tanah di Kota Bekasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
perundangan. Penetapan wajib pajak air tanah di Kota Bekasi dilakukan hanya
terhadap subjek pajak yang sudah memiliki izin pemanfaatan air dan masih
berlaku. Persyaratan izin pemanfaatan air tanah / SIPA dalam pendaftaran subjek
pajak air tanah dituangkan di dalam SOP Pendaftaran dan Penerbitan Nomor Pokok
Wajib Pajak Daerah. Dalam hal penerbitan ketetapan pajak daerah, SKPD Pajak Air
Tanah hanya ditetapkan berdasarkan nilai perolehan air yang telah disetujui dan
ditetapkan oleh Dinas ESDM Provinsi dalam setiap masa pajak. Terhadap nilai
perolehan air yang tidak ditetapkan oleh provinsi, Bapenda tidak menerbitkan
SKPDnya. Sementara bagi wajib pajak air tanah yang memiliki kewajiban dalam.
Tabel 3.
Tunggakan Pajak Air Tanah Per Tahun Pajak
Tahun |
SKP |
Jumlah (Rp) |
Tunggakan |
Jumlah (Rp) |
2018 |
4456 |
� 10,449,641,700 |
213 |
� 370,863,100 |
2019 |
2616 |
��� 7,316,163,000 |
111 |
� 180,960,200 |
2020 |
1756 |
��� 5,218,612,900 |
47 |
� 135,507,600 |
2021 |
1983 |
��� 5,456,117,500 |
45 |
� 137,939,500 |
2022 |
1723 |
��� 4,863,640,000 |
123 |
� 390,453,600 |
Melihat
tabel diatas dalam pemungutan pajak air tanah jumlah tunggakan pembayaran pajak
air tanah setiap tahun tidak melebihi 10% dari total jumlah SKPD yang
diterbitkan. Tingkat kepatuhan wajib pajak air tanah tidak bisa diakatakan
buruk namun tidak berarti kepatuhan telah terlaksana dengan baik. Hal ini
dilihat dengan kembali meningkatnya jumlah tunggakan di tahun 2022 dan berada
pada persentase tertinggi dalam 5 tahun terakhir, yakni 123 tunggakan dari 1723
ketetapan pajak air tanah atau sebesar 7%. Angka ini adalah juga yang tertinggi
dalam 5 tahun terakhir.
K. Dampak
Implementasi Kebijakan Pajak Air Tanah di Kota Bekasi
Kepastian Hukum
Bagi Fiskus dan Wajib Pajak Air Tanah
Kebijakan
pajak air tanah dalam desentralisasi fiskal memberi wewenang kepada pemerintah
daerah. Bupati/Wali Kota bertanggung jawab menetapkan dan mengumpulkan pajak
air tanah. Air tanah merupakan urusan konkuren, melibatkan pemerintah dalam
bidang Energi dan Sumber Daya Mineral. Pemungutan pajak di Kota Bekasi
dilakukan oleh Bapenda, sementara nilai perolehan air tanah diatur oleh Dinas
ESDM Provinsi Jawa Barat dan Kementerian ESDM. Pengambilan dan penggunaan air tanah
menjadi objek pajak, dengan pengecualian untuk keperluan rumah tangga,
pertanian, perikanan, dan peribadatan. Subjek dan wajib pajak air tanah adalah
orang pribadi atau badan yang menggunakan air tanah. Pajak terutang saat
pengambilan dan penggunaan air tanah. Namun, pajak tidak dapat ditetapkan jika
izin pemanfaatan air habis masa berlakunya atau sedang dalam proses
perpanjangan. Kepastian pemungutan pajak terhambat oleh undang-undang dan
ketentuan izin. Perlu pedoman yang rinci untuk menjaga kepastian hukum.
Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 50 Tahun 2017 mengatur penetapan nilai
perolehan air tanah, tetapi pembagian kewenangan air tanah tumpang tindih. Hal
ini berdampak pada penurunan pemungutan pajak air tanah. Pada tahun 2022,
terdapat 139 SKPD Pajak Air Tanah diterbitkan dari 399 wajib pajak terdaftar di
Kota Bekasi.
Tabel 4
Daftar
Perkembangan Rata-rata Penerbitan SKPD Pajak Air Tanah
No |
Tahun |
Jumlah Wajib Pajak |
Jumlah rata-rata Penerbitan SKPD per bulan*) |
1 |
2018 |
348 |
323 |
2 |
2019 |
359 |
208 |
3 |
2020 |
379 |
141 |
4 |
2021 |
390 |
157 |
5 |
2022 |
399 |
139 |
Dalam Tabel 4 dapat dilihat bahwa sejak 5 tahun terakhir
terus terjadi penurunan rata-rata penerbitan SKPD Pajak Air Tanah per bulan. Pemungutan
pajak di Indonesia sulit, meski persyaratan terpenuhi. Kepastian hukum terkait
pajak air tanah terganggu oleh otoritas provinsi yang lebih tinggi daripada
kota. Otoritas yang berlebihan menghambat kebijakan. UU HKPD mengatur bahwa
penetapan nilai air tanah dilakukan oleh gubernur dengan pedoman dari Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan gubernur harus dibuat dengan
bijaksana agar tidak menghambat pemungutan pajak air tanah. Pemerintah provinsi
Bekasi menerapkan persyaratan izin dalam menentukan nilai air tanah, menghambat
pemungutan pajak. Permasalahan terletak pada persyaratan izin, bukan pada
kewenangan penetapan nilai. Persyaratan izin tidak boleh menghambat pemungutan
jika penggunaan air telah terjadi. Ini berdampak negatif pada pemungutan pajak
air tanah.
Penempatan
izin sebagai persyaratan menghambat perencanaan penerimaan daerah. Pemerintah
provinsi Jawa Barat harus mempertimbangkan hambatan ini saat mengevaluasi
Peraturan Gubernur Nomor 50 tahun 2017. Pemerintah provinsi harus mendukung
kepastian hukum pemungutan pajak air tanah di Bekasi. Wajib pajak juga
menghadapi ketidakpastian dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Jika proses izin
memakan waktu lama, pembayaran pajak air tanah akan bertambah. Ini memberatkan
wajib pajak karena terjadi akumulasi pembayaran yang signifikan dengan beberapa
periode pajak sekaligus.
L. Kepastian Mekanisme Pemungutan Pajak Air Tanah
Undang-Undang
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan bahwa nilai
perolehan air tanah sebagai dasar pengenaan pajak air tanah dihitung dengan
mempertimbangkan faktor-faktor seperti jenis sumber air, lokasi sumber air,
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air, volume air yang diambil dan/atau
dimanfaatkan, kualitas air, dan tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan
oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air. Besarnya nilai perolehan air tanah
ditetapkan oleh peraturan Bupati/Walikota, yang dapat berbeda antar wilayah
kabupaten/kota sesuai dengan kondisi masing-masing. Rumus perhitungan nilai
perolehan air menggunakan perkalian antara harga air baku dan bobot air tanah.
Perubahan dalam Undang-Undang HKPD menghapus pasal yang mengatur penyesuaian
dengan kondisi masing-masing daerah dan menetapkan bahwa penetapan nilai
perolehan air tanah diatur oleh peraturan gubernur dengan berpedoman pada
peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Tabel 5
Perbandingan Undang-Undang
Perbandingan Pasal |
Undang-Undang 28 Tahun 2009 |
Undang-Undang 1 2022 |
Nilai Perolehan Air |
Nilai
Perolehan Air Tanah dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan
mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut: jenis sumber
air, lokasi sumber air, tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air; volume
air yang diambil dan/atau dimanfaatkan; kualitas air, dan tingkat kerusakan
lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air. Penggunaan
faktor-faktor tersebut disesuaikan dengan kondisi masing-masing Daerah, dan
besarnya nilai perolehan air tanah ditetapkan dengan peraturan
Bupati/Walikota |
Nilai
perolehan Air Tanah adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot
Air Tanah. Harga air
baku ditetapkan berdasarkan biaya pe meliharaan dan pengendalian sumber daya
Air Tanah. Harga air
baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya
Air Tanah. |
|
Besarnya nilai perolehan air
tanah ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota
dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah
yang ditetapkan oleh Gubernur |
Ketentuan lebih lanjut
mengenai penetapan nilai perolehan Air Tanah diatur dengan Peraturan Gubernur
dengan berpedoman pada peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang
menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya
mineral. |
|
|
|
Undang-Undang
HKPD dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 mengatur bahwa kewenangan
penetapan nilai perolehan air tanah berada di tangan gubernur. Konsep kebijakan
air tanah ini mengacu pada formula nilai perolehan air yang didasarkan pada
nilai air dan mengikuti Peraturan Menteri ESDM. Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2016 menggunakan frasa yang berbeda, yaitu nilai perolehan air tanah
dalam daerah provinsi ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
Tabel 6.
Perbandingan PP 55 Tahun 2016 dan PP 35 Tahun 2023
Perbandingan Pasal |
PP 55 Tahun 2016 |
PP 35 Tahun 2023 |
Nilai Perolehan Air |
Nilai
perolehan air tanah dalam daerah provinsi ditetapkan dengan peraturan
Gubernur |
Nilai
perolehan air tanah dalam Daerah provinsi diatur dengan peraturan Gubernur. |
|
Besarnya nilai perolehan air
tanah ditetapkan dengan Peraturan Bupati / Walikota dengan berpedoman pada
nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur |
Besarnya nilai perolehan Air
Tanah Daerah kabupaten /kota diatur dengan peraturan bupati/ wali kota dengan
berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur. |
|
|
|
Pada
tabel diatas mengenai nilai perolehan air terdapat perbedaan penggunaan kata
ditetapkan dan diatur baik terhadap nilai perolehan air tanah dan terhadap
besarannya. PP 55 Tahun 2016 merupakan petunjuk pelaksana yang terbit 7 tahun
setelah diundangkannya Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah. PP ini terbit
setelah diundangkannya Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang membagi kewenangan konkuren urusan air tanah.� Ketentuan UU HKPD dan PP 35
Tabel 7
Perbandingan PP 55 2016 dan Pergub Jawa Barat No. 50 Tahun
2017
Perbandingan Pasal |
PP 55 Tahun 2016 |
Pergub Jawa Barat 50� Tahun 2017 |
Nilai Perolehan Air |
Nilai
perolehan air tanah dalam daerah provinsi ditetapkan dengan peraturan
Gubernur Besarnya
nilai perolehan air tanah ditetapkan dengan Peraturan Bupati / Walikota
dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh
Gubernur Penetapan
besarnya nilai perolehan air dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang
ditetapkan oleh kementerian teknis terkait. |
Nilai
Perolehan Air ditetapkan untuk setiap titik pengambilan air tanah yang sudah
memiliki ljin Pengusahaan Air Tanah. Nilai
Perolehan Air sebagai dasar pengenaan pajak Air Tanah diperoleh dengan cara
mengalikan volume air yang diambil dan dimanfaatkan (dalam ukuran m3) dengan
Harga Dasar Air. |
Ketentuan
PP 55 Tahun 2016 dan Permen ESDM Nomor 20 Tahun 2018 mengatur penetapan nilai
perolehan air tanah berdasarkan pedoman Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral. Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengikuti pedoman tersebut, namun
menambahkan persyaratan izin pemanfaatan air tanah dalam penetapan nilai
perolehan air. Mekanisme pemungutan pajak air tanah membutuhkan persetujuan
Pemerintah Provinsi sebelum penetapan pajak dilakukan, yang berbeda dengan
konsep PP 55 Tahun 2016. Perhitungan nilai perolehan air tanah menggunakan
rumus yang kompleks dan membutuhkan sumber daya yang memadai. Kesalahan dalam
mekanisme perhitungan dapat menyebabkan kesalahan perhitungan nilai perolehan
air tanah wajib pajak.
Pemerintah
Provinsi Jawa Barat melalui Peraturan Gubernur Nomor 50 Tahun 2017 tentang
Pedoman Penetapan Nilai Perolahan Air Tanah memberikan pedoman tentang tata
cara perhitungan nilai perolehan air tanah sebagai berikut:
Table 7
Pedoman Penetapan
Nilai Perolahan Air Tanah
NPA |
= |
Volume Progresif x HDA (Harga Dasar Air) |
HDA |
= |
HAB (Harga
Air Baku) x FNA (Faktor Nilai Air) |
FNA |
= |
(60% x nilai Komponen Sumber
Daya Alam) + (40% x nilai Komponen Peruntukan dan Pengelolaan) |
NPA |
= |
Volume
Progresif x HAB x FNA |
|
= |
Volume Progresif x HAB x
[(60% x nilai Komponen Sumber Daya Alam) + (40% x Nilai Komponen peruntukan
dan Pengelolaan) |
Ketentuan
dalam UU HKPD dan peraturan turunannya menunjukkan bahwa kebijakan pajak air
tanah seharusnya berkaitan dengan nilai perolehan air tanah, bukan memasukkan
unsur perizinan dalam proses pemungutan pajak. Pembagian kewenangan antara
pemerintah provinsi dan pemerintah kota harus jelas. Penetapan nilai perolehan
air diatur untuk mencegah ketidakseimbangan antar daerah. Namun, penentuan izin
pemanfaatan air tanah sebagai dasar pemungutan pajak air tanah oleh Pemerintah
Jawa Barat dianggap tidak tepat. Hal ini menghambat pemungutan pajak air tanah
di Kota Bekasi. Mekanisme pemungutan pajak air tanah melibatkan Bapenda dan
Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, tetapi keterlambatan dalam persetujuan
penetapan nilai perolehan air berdampak pada penundaan penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) Pajak Air Tanah. Keterlambatan ini menyebabkan
ketidakpastian dalam perencanaan penerimaan pajak air tanah dan wajib pajak
menerima SKPD yang tidak tepat.
Kepastian
Penegakan Hukum Dalam Pengendalian Pajak Air Tanah
Pengendalian
dalam kebijakan pajak air tanah yang dapat dilakukan oleh Bapenda Kota Bekasi
terbatas pada pengelolaan pajak air tanah, bahkan semakin terbatas hanya pada
pengendalian administratif pada pengenaan sanksi pajak daerah. Sanksi pajak
diberikan terhadap wajib pajak daerah yang terlambat melakukan pembayaran pajak
air tanah. Pengaturan pengendalian dalam perhitunahn pajak air tanah yang
diatur dalam ketentuan regulasi dalam Peraturan Gubernur Nomor 50 Tahun 2017
mengenai perhitungan pajak air tanah atas kelebihan debit air. Denda yang
dikenakan terhadap kelebihan debit air atas pemanfaatan air tanah yang telah
memiliki izin pemanfaatan air tanah adalah sebesar 100%. Cara perhitungan denda
kelebihan debit dalam pajak air tanah dirumuskan sebagai berikut:
Pajak
Air Tanah dengan kelebihan debit |
= |
Pajak
Air Tanah + Denda Kelebihan Debit |
Denda
Kelebihan Debit |
= |
100%
x Tarif Pajak x NPA x (Volume Pemakaian � Volume yang diizinkan) |
Pengendalian pemanfaatan air tanah dalam kebijakan pajak
memiliki beberapa kendala. Perusahaan yang tidak memiliki izin dan wajib pajak
air tanah yang telah habis masa berlaku izinnya tidak dapat langsung
dikendalikan oleh Bapenda. Bapenda hanya dapat memberikan himbauan dan
melaporkan kepada pemerintah provinsi. Kewenangan pengendalian air tanah berada
di tangan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Pada perusahaan yang telah
memanfaatkan air tanah namun belum menjadi wajib pajak daerah, Bapenda hanya
dapat memberikan himbauan dan melaporkan kepada pemerintah provinsi. Tindakan
pengendalian tidak dapat dilakukan oleh Bapenda karena perusahaan tersebut
belum menjadi wajib pajak daerah. Selain itu, perusahaan yang tidak memiliki
nilai perolehan air tanah karena izin pemanfaatannya telah habis juga tidak
dapat dikendalikan oleh Bapenda. Pengendalian terhadap pemanfaatan air tanah
oleh perusahaan ini menjadi sulit karena tidak dapat ditetapkan nilai perolehan
air tanahnya. Kendala pengendalian ini mempengaruhi implementasi kebijakan
pajak air tanah oleh Bapenda. Sulitnya mengenakan pajak pada
perusahaan-perusahaan ini disebabkan oleh keterbatasan kewenangan penindakan.
Untuk meningkatkan pengendalian, penindakan seperti penutupan sumur atau
penyegelan titik sumur dapat dilakukan. Dengan tidak adanya pemanfaatan air
tanah, tidak ada pajak yang harus dibayar, sehingga memberikan kepastian hukum
bagi fiskus.
Namun, hingga saat ini pemerintah provinsi belum
melaksanakan pengendalian pemanfaatan air tanah. Tidak ada pembentukan tim
pengawasan bersama atau koordinasi pengendalian antara pemerintah provinsi dan
pemerintah kota. Pengawasan lebih difokuskan pada perizinan, namun tidak
dilakukan pengawasan dan pengendalian terhadap perusahaan yang telah
memanfaatkan air tanah tanpa izin. Meskipun Bapenda telah melakukan pendataan
dan melaporkan perusahaan yang memanfaatkan air tanah tanpa izin, belum ada
tindakan penindakan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi. Hal ini
menyebabkan kepastian hukum terkait penindakan pengendalian air tanah menjadi
lemah. Secara keseluruhan, pengendalian pemanfaatan air tanah dalam kebijakan
pajak memiliki kendala dalam implementasinya. Kewenangan penindakan yang
terbatas dan kurangnya koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah
kota mempengaruhi pengendalian yang efektif. Untuk meningkatkan pengendalian,
perlu dilakukan upaya penegakan hukum yang lebih kuat dan koordinasi yang lebih
baik antara pihak terkait.
Kesimpulan
Implementasi kebijakan pajak air tanah di Kota Bekasi
dipengaruhi oleh kepentingan kelompok sasaran yang terlibat, menyebabkan
ketidakpastian hukum dalam pemungutan pajak air tanah. Optimalisasi penerimaan
asli daerah dan pengendalian pemanfaatan air tanah belum berjalan optimal. PP
35 Tahun 2023 memberikan kepastian alokasi penerimaan pajak air tanah untuk
pencegahan kerusakan lingkungan. Perbedaan keputusan antara pemerintah provinsi
dan pemerintah kota menyebabkan kendala dalam pelaksanaan kebijakan. Bapenda
memiliki sumber daya yang memadai, namun kepentingan aktor yang berbeda
menyebabkan hambatan. Dukungan pemerintah provinsi terhadap pemungutan pajak
air tanah masih lemah. Meskipun tingkat kepatuhan wajib pajak cukup tinggi,
penegakan hukum terhadap pelanggaran izin masih lemah.
BIBLIOGRAFI
Alink, M dan Victor van Kommer. (2011). Handbook
on Tax Administration. Amsterdam: IBFD.
Bird, Richard M.& Milka Casanegra de
Jantscher. (1997) Improving Tax Administration in Developing Countries.
Washington D.C: International Monetary Fund.
Binsarjono, Tugiman. Grey Area Perpajakan.
Jakarta: Gigih Publishing. 2007.
Bungin, B. (2015). Analisis data Penelitian
Kualitatif. PT Raja Grafindo Persada.
Afifah, Nuha Amiratul, dan Notodarmojo, S.
(2018).Identifikasi Sebaran Logam Berat Arsen dari Sistem Panas Bumi Pada Air
Tanah Dangkal Dengan Metode Kriging. Jurnal Teknik Lingkungan Volume 24
Nomor 1.
Chen, Zi-Rui, Yuan, Y., Xiao, X. (2021). Analysis
of the Fee-to-Tax Reform on Water Resources in China. Frontiers in Energy
Research, 9 (752592).
Creswell, J.W. (2010). Research design:
pendekatan penelitian kualitatif, kuantitatif, dan mixed. Yogyakarta: PT
Pustaka Pelajar.
Cornelia, Piciu Gabriela & Lenuta, Trica
Carmen. (2012).Assessing the Impact and Effectiveness of Enviromental Taxes. Elsevier,
Procidia Economics and Finance 3, (728-733).
Demin, Alexander V. (2020).� Certainty and Uncertainty in Tax Law: Do
Opposites Attract?.� Law Institure
Siberian Federal University, MDPI, 9(30).
Davey, Kennerth J. (1988). Pembiayaan
Pemerintah Daerah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Esterhuyse, S., Vermeulen, D., & Glazewski,
J. (2022). Developing and enforcing fracking regulations to protect groundwater
resources. King Fahd University of Petroleum & Minerals, 3
Grindle, M.S. (ed). (1980). Politics and
Policy Implementation in the Third World. New Jersey: Princeton University
Press.
Grubb, H. W. (1968). Groundwater Utilization and
Tax Policy. Oxford University Press, American Journal of Agricultural
Economics, 50 (5), 1621-1630
Irianto, Edi Slamet, Rosdiana, H., Tambunan, M.
R. (2018). On Quest of evironmental tax implementation in Indonesia. E3S Web
of Conferences 52.
Irianto, Edi Slamet, Rosdiana, H., Sardjono,
L.S., Tambunan M.R. (2018). Fiscal legitimacy of environmental taxation:
challenges for green growth policy. E3S Web of Conferences 52.
Indonesia, R. (2022). Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor, 6757.
Indonesia, P. (2019). Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Lembaran RI Tahun, (17).
Keuangan, K. (2009). Undang-undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. KEMENKEU, Jakarta.
Koraag, Engeline Talitha Rachael & Fadila
Cahyaningtyas. (2021). Analysis of Potential and Effectiveness of Groundwater
Tax as a Contribution to Locally-Generated Revenue of Malang City in Pandemic
Era. International Journal of Educational Research and Social Sciences.
Mankiw, Gregory. (2004). Principle of
Microeconomics. Cengage Learning.
Mardiasmo. (2002). Otonomi dan Manajemen
Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi.
Marsuni, Lauddin.� (2006). Hukum dan Kebijakan Perpajakan
Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Musgrave, Richard A and Peggy B. Musgrave.
(1989). Public Finance in Theory and Practice. McGraw-Hill Book Company.
Mulyanti, Dewi, Indra Perwira, Zainal Muttaqin,
Dewi Kania Sugiharti. (2022). The Legal Policy Role of Groundwater Tax on Water
Resources Conservation in Indonesia. Journal of Positive School Psychology, 6(8),
2654-2661.
Miller, C. T., Rabiedeau, A. J., Mayer, A. S.
(1991). Groundwater. Willey Research Journal of The Water Pollution Control
Federation, 63(4), 552-593.
Nurhasanah, N.,Pancasilawan, R., Munajat, E M D.
(2021). Pengendalian Pemanfaatan Air Tanah di Kecamatan Bandung Wetan Oleh
Cabang Dinas ESDM Wilayah IV Bandung. Jurnal Administrasi Negara Volume 13
Nomor 1
Neuman, Lawrence W. 2007. Basics of Social
Research: Quantitative and Qualitative Approaches. Boston: Allyn and Bacon.
Nowak, Norman. (1970). Tax Administration:
Theory and Practice. Washington: Prager Publisher Inc.
Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan.
Jakarta: Granit.
Nugraha, Hendra Akbar , Fikri Adiyasa Rosidin,
Wimba Roofi Hutama and Muhammad Gaidy Wiratama. (2020). The Authority
Concerning the Collection of Groundwater Taxes After Law No. 23 Year 2014 in
the City of Surabaya. Yuridika, 35(3).
OECD. (2011). Environmental Taxation A Guide for
Policy Makers. Paris: OECD Publishing.
Pigou, AC. (1920). The Economics of Welfare.
London: Macmillan and Co, Ltd.
Pistone, P., Roeleveld, K., Hatttingh, J., Pinto
Nogueira, J.F., & West, C. (2019) Fundamentals of Taxation: An Introduction
to Tax Policy, Tax Law and Tax Administration. Amsterdam: IBFD.
Porwandari, K. (2007). Pendekatan Kualitatif
dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: PSP3 Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
R. Mansury. (1999).� Kebijakan Fiskal.� Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran
Pengetahuan (YP4).
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah
Rosdiana, H. & Irianto, E. S. (2014). Pengantar
Ilmu Pajak:� Kebijakan dan Implementasi
di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Rejekiningrum, Popi. (2009). Capturing the
Benefit of Groundwater for Water Resources Sustainability. Jurnal Sumberdaya
Lahan, 3(2).
Smith, Ryan, Rosemary, K. & Fendorf, S.
(2018) Overpumping leads to California Groundwater Arsenic Threat. Nature Communications,
9, 2089.Schiffler, Manuel. (1998). The Economics of Groundwater Management
in Arid Countries: Theory, International Experience, and A Case Study of Jordan.
New York: Routledge
Siahaan, Marihot P. (2005). Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Stiglitz, J.E., & Rosengard, J.K. (2015). Economics
of The Public Sector: Fourth International Student Edition. WW Norton &
Company.
Suandy, Erly. (2014). Hukum Pajak.
Jakarta: Salemba 4.
Tietenberg, Tom. (1992). Environmental and
Natural Resources Economics 3rded. New York : HarperCollins
Publishers Inc.
Theodoulou, Stella Z & Matthew Alan Cahn.
(1995). Public Policy: The Essential Readings. Englewood Cliffs:
Prentice Hall.
Thuronyi V. (1998). Tax law design and
drafting. International Monetary Fund.
Wahyudi, F.R., Moersidik, S. S. (2016). The
analysis of groundwater availability and utility in DKI Jakarta. Elsevier,
Procedia Social and Behavioral Sciences, 227 (799-807).
Yandle, Bruce. (1984). Environmental Control Growth. Growth
and Change, 15 (3).
Ziolo, M., Iwona, Bak., Cheba, K.(2019)
Environmental taxes-how public policy makers use then in the descision-making
process?. Elsevier, Procedia Computer Science 159, 2216-2223.
Copyright holder: Andreas
Victor Baringin P, Inayati (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |