Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.7, No. 11, November
2022
PELAKSANAAN TINDAKAN PENARIKAN PAKSA KENDARAAN BERMOTOR OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN KARENA KREDIT MACET DALAM PERSPEKTIF HUKUM
Hidayati
Fakultas hukum, Universitas Borobudur, Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Untuk membeli kendaraan bermotor saat ini sangat mudah karena penyedia barang bisa diperoleh melalui kredit, jaminan atas utang dalam perjanjian kredit yang dibuat dijamin dengan kendaraan yang dibelinya dengan menggunakan Jaminan Fidusia, sehingga pihak kreditor memiliki kenyamanan dalam mengucurkan dananya dan konsumen pun menjadi sangat diuntungkan, karena kendaraan tersebut tetap dapat dipergunakan dengan leluasa. Namun tidak selamanya perjanjian tersebut berjalan terlaksana antara para pihak karena ada kalanya salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya sebagai mana mestinya sehingga cidera janji, sehingga penerima fidusia pada akhirnya melakukan eksekusi terhadap objek fidusia yang sekaligus menjadi jaminan dalam perjanjian pembiayaan tersebut. Penarikan kendaraan bermotor secara paksa merupakan salah satu jenis permasalahan yang paling banyak dialami oleh Konsumen. Rumusan masalah Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen atas tindakan pengambilan paksa kendaraan bermotor oleh Lembaga Pembiayaan. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam membahas masalah penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif � empiris sehingga menghasilkan kesimpulan Perlindungan hukum terhadap debitur dalam eksekusi penarikan paksa kendaraan bermotor sebagai barang jaminan yaitu dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130PMK.0102012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi perusahaan pembiayaan yang dengan tegas melarang perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada perusahaan pembiayaan.
Kata kunci: Tindakan penarikan paksa, Kendaraan bermotor, Kredit macet.
Abstract
To buy a motor vehicle is now very easy
because the provider of goods can be obtained through credit, collateral for
debts in credit agreements made guaranteed by the vehicle they buy using
Fiduciary Guarantee, so that creditors have comfort in disbursing their funds and consumers
also benefit greatly, because the vehicle can still be used freely. However,
the agreement does not always run between the parties because there are times
when one party does not carry out its obligations as it should so that it
defaults, so that the fiduciary recipient ultimately executes the fiduciary
object which is also collateral in the financing agreement. Forced recalls of
motor vehicles are one of the most common types of problems experienced by
consumers. Problem formulation How is the legal protection for consumers
against the act of forcibly taking motor vehicles by Financing Institutions.
The approach method used in discussing this research problem is a normative �
empirical juridical approach method so as to produce conclusions Legal
protection for debtors in the execution of forced recalls of motor vehicles as
collateral, namely in the Minister of Finance Regulation Number 130PMK.0102012
concerning Registration of Fiduciary Guarantees for finance companies which
expressly prohibits finance companies from withdrawing fiduciary guarantee
objects in the form of motor vehicle if the Fiduciary Guarantee Registration
Office has not issued a fiduciary guarantee certificate and submitted it to the
finance company.
Keywords: Repossession action, Motor vehicles, Defaulted credit.
Pendahuluan
Di
era perekonomian global saat ini pengadaan barang-barang dengan cara pembayaran
kredit merupakan sebuah kebutuhan yang tidak terelakan, baik untuk kebutuhan
konsumtif maupun untuk kebutuhan modal usaha. Masyarakat tidak perlu
menyediakan dana yang terlalu besar untuk mewujudkan keingiannya dalam membeli
barang-barang yang dibutuhkan, cukup dengan menyediakan 10 sampai 20 % saja
dari harga barang sebagai downpayment (DP) maka masyarakat sudah dapat membawa
pulang barang-barang yang diinginkannya.
Banyaknya
akses yang memberikan kemudahan yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan
pembiayaan, baik dari segi bunga maupun jangka waktu kredit, membuat perusahaan
pembiayaan menjadi primadona bagi segmen masyarakat golongan menengah kebawah,
meskipun harus diakui untuk segmen masyarakat menengah keatas peran Lembaga
perbankan������ masih tetap tidak
tergoyahkan. Semakin pesatnya perkembangan masyarakat dewasa ini, kebutuhan
akan sarana transportasi juga semakin pesat. Masyarakat saatini cenderung ingin
memiliki kendaraan pribadi daripada menggunakan kendaraan umum.
Walaupun
ada sebagian masyarakat yang tidak memiliki cukup dana untuk membeli kendaraan
bermotor, namun dengan perkembangan dewasa ini masalah dana bukan lagi
merupakan penghalang.2 Konsumen tidak perlu menyediakan dana yang besar dan
jaminan yang bernilai tinggi untuk bisa memperoleh sebuah kendaraan bermotor
dan barang-barang lainnya yang dibutuhkan, karena jaminan atas utang dalam
perjanjian kredit yang dibuat dijamin dengan kendaraan yang dibelinya dengan
menggunakan Jaminan Fidusia, sehingga pihak kreditor memiliki kenyamanan dalam
mengucurkan dananya dan konsumen pun menjadi sangat diuntungkan, karena
kendaraan tersebut tetap dapat dipergunakan dengan leluasa.
Pada
prinsipnya pemberian pinjaman (utang) oleh Lembaga Jasa Keuangan (bertindak
sebagai kreditor) kepada Konsumen (bertindak sebagai debitor) harus didasarkan pada
kepercayaan kreditor bahwa debitor mampu untuk melunasi dan membayar utangnya.
Begitu pula sebaliknya, debitor dalam memilih kreditornya tentu memperhatikan
apakah kreditor merupakan badan usaha yang prudence, memiliki legalitas, dan
conduct (perilaku usaha) yang baik dengan menjadi Konsumen yang cerdas melalui
aktif mengumpulkan informasi dan menanyakan legalitas Lembaga Jasa Keuangan
tersebut. Pemberian kepercayaan ini menjadi dasar dalam penyebutan pinjaman
dari seorang kreditor kepada seorang debitor sebagai kredit (credit) yang
berasal dari kata credere yang berarti kepercayaan atau trust.
Pada
praktiknya, kreditor memiliki risiko yang lebih besar dalam pemberian pinjaman.
Oleh sebab itu, untuk meningkatkan keyakinan kreditor terhadap debitor,
kreditor harus melaksanakan prinsip Know Your Costumer (KYC) yang dapat
diterapkan dengan sistem analisis prinsip 5C kepada nasabah yang terdiri dari
character (karakter nasabah), capital (modal nasabah), capacity (kemampuan
nasabah), collateral (agunan), and condition of economy (kondisi ekonomi
nasabah). Pemberian collateral (agunan) oleh debitor merupakan salah satu
bentuk perlindungan dengan melakukan pengikatan dengan pembebanan jaminan
terhadap utang debitor kepada kreditor, untuk lebih memantapkan keyakinan
kreditor bahwa debitor membayar utangnya.
Salah
satu bentuk penjaminan yang digunakan oleh Perusahaan Pembiayaan adalah Jaminan
Fidusia. Secara sederhana Jaminan Fidusia merupakan penyerahan hak milik secara
kepercayaan atau fiduciary transfer of ownership. Adapun definisi dari Jaminan
Fidusia berdasarkan Undang-Undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
(Undang-Undang Fidusia) adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan
yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Penyerahan hak milik ini tidak
disertai dengan penyerahan objek dari Jaminan Fidusia, sehingga yang diserahkan
kepada penerima fidusia (kreditor) adalah bukti hak miliki kebendaan tersebut
misalnya seperti Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), bukti tagih hutang,
dan lainnya.
Lahirnya
jaminan dapat disebabkan karena undang undang dan juga karena perjanjian.
Jaminan yang lahir karena undang-undang merupakan jaminan yang ditunjuk
keberadaannya berdasarkan undang-undang, tanpa ada perjanjian dari para pihak,
sebagaimana yang diatur dalam pasal 1131 KUHPerdata. Adapun contoh dari jaminan
yang lahir karena undang-undang adalah jaminan umum, hak privilege dan hak
retensi. Selain itu, jaminan ada juga yang lahir karena perjanjian. Jaminan
yang lahir dari perjanjian contohnya adalah Gadai, Fidusia, Hipotik, dan Hak
Tanggungan.
Fidusia
adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda.
Perusahaan
Pembiayaan yang memberikan pinjaman dana kepada Konsumen melakukan pengikatan
terhadap benda yang dijadikan jaminan oleh Konsumen secara fidusia. Pengikatan
secara fidusia tersebut kemudian memberikan kewenangan kepada Perusahaan
Permbiayaan untuk melakukan eksekusi terhadap benda yang dijaminkan oleh
debitor (pemberi fidusia) baik melalui pelaksanaan titel eksekutorial,
penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia melalui pelelangan umum atau
penjualan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia
jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi. Di sisi lain,
eksekusi sebagaimana dimaksud hanya dapat dilakukan jika penerima fidusia telah
melakukan pendaftaran terhadap objek Jaminan Fidusia sehingga sertifikat
Jaminan Fidusia dapat diterbitkan yang menjadi dasar dalam melakukan eksekusi
tersebut.
Namun
tidak selamanya perjanjian tersebut berjalan terlaksana antara para pihak
karena ada kalanya salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya atau cidera
janji, biasanya yang lebih sering terjadi adalah debitur tidak dapat melakukan
pembayaran cicilan sampai akhirnya menyebabkan kredit macet sehingga penerima
fidusia pada akhirnya melakukan eksekusi terhadap objek fidusia yang sekaligus
menjadi jaminan dalam perjanjian pembiayaan tersebut. Eksekusi sebagaimana
dimaksud hanya dapat dilakukan jika penerima fidusia telah melakukan
pendaftaran terhadap objek Jaminan Fidusia sehingga sertifikat Jaminan Fidusia
dapat diterbitkan yang menjadi dasar dalam melakukan eksekusi tersebut.
Penarikan
kendaraan bermotor merupakan salah satu jenis permasalahan yang paling banyak
dialami oleh Konsumen. Hal tersebut disebabkan penarikan oleh pihak perusahaan
dilakukan tanpa membawa Sertifikat Jaminan Fidusia dan melibatkan pihak debt
collector dalam proses penarikan kendaraan (eksekusi) yang mana debt collector
tidak membawa atau tidak memiliki surat kuasa dari perusahaan, sertifikat
Jaminan Fidusia dan penarikan kendaraan yang tidak didahului pemberian Surat
Peringatan sesuai perjanjian.
Mengenai
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, adanya peraturan
yang menegaskan bahwa setiap konsumen haruslah dilindungi hak-haknya serta
jaminan mengenai perlindungan konsumen mendapat cukup perhatian karena sebagai
konsumen seharusnya dilindungi dari berbagai kecurangan transaksi diberikan hak
untuk mendapatkan informasi yang jelas dan tentunya hak untuk tidak didiskriminasi
dan menjamin keselamatan konsumen.
Dalam
penulisan ini penulis memilih untuk memberi fokus penelitian pada perjanjian
yang dibuat antara Lembaga Pembiayaan dan Konsumen, dengan permasalahan dari
konsumen adalah mengenai tidak sahnya penarikan mobil oleh Lembaga Pembiayaan
karena adanya kekeliruan dan kesalah pahaman penerapan hukum dari pihak Lembaga
Pembiayaan. Dalam perjanjian tersebut penarikan mobil konsumen adanya peran
jasa pihak ke tiga (debt collector). Debt Collector disebut sebagai pihak
ketiga yang membantu pihak lembaga pembiayaan dalam menyelesaikan suatu kredit
yang bermasalah yang tidak bisa diselesaikan oleh pihak lembaga pembiayaan.
penulis akan membahas mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen dalam hal
tindakan pengambilan paksa kendaraan bermotor oleh Lembaga Pembiayaan dan upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen yang mengalami penarikan kendaraan
motor secara paksa.
Tujuan
Penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisa kepastian hukum terhadap pelaksanaan
eksekusi jaminan fidusia dan perlindungan hukum bagi konsumen atas tindakan pengambilan
paksa kendaraan bermotor oleh Lembaga Pembiayaan.
Metode Penelitian
Metode
pendekatan yang dipergunakan dalam membahas masalah penelitian ini adalah
metode pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan menelaah dan menganalisa data
sekunder sebagai sumber utama yang didukung dengan penelitian lapangan5 dan
metode pendekatan yuridis empiris, yaitu pendekatan permasalahan mengenai
hal-hal yang bersifat yuridis. Kajian hukum ini adalah penelitian hukum� In Abstracto/makro yang berarti penelitian ini
lebih menitikberatkan pada nilai, asas, norma atau kaidah yang ada. Adapun
pengertian penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika
keilmuan hukum dari sisi normatif. Logika keilmuan dalam penelitian normatif
dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif.
Hasil dan Pembahasan
Menurut
R. Subekti menyebutkan Eksekusi merupakan upaya pihak yang dimenangkan dalam
putusan guna mendapatkan haknya dengan bantuan kekuatan hukum, memaksa pihak
yang dikalahkan untuk melaksanakan putusan, lebih lanjut dikemukakannya bahwa
pengertian eksekusi atau pelaksanaan putusan mengandung arti pihak yang
dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, sehingga
putusan itu harus dipaksakan padanya dengan bantuan hukum.
Menurut
Retnowulan Sutan tio dan Iskandar Oerip kartawinata yang menyatakan eksekusi
merupakan suatu tindakan paksaan oleh pengadilan terhadap pihak yang kalah dan
tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela 7. Selanjutnya pendapat Sudikno
Mertokusumo yang menjadi pelaksanaan putusan/ Eksekusi adalah realisasi dari
kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam
putusan tersebut8. Hukum eksekusi menurut R. Soepomo, adalah hukum yang
mengatur cara dan syarat yang dipakai oleh alat-alat Negara guna menbantu
pihak-pihak yang berkepentingan untuk menjalankan keputusan Hakim apabila pihak
yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyi putusan dalam waktu yang telah
ditentukan 9.
Sedangkan
Hukum Eksekusi menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, adalah Hukum yang mengatur
tentang pelaksanaan hak-hak kreditur dalam perutangan yang tertuju terhadap
harta kekayaan debitur, manakala perutangan itu tidak dipenuhi secara sukarela
oleh debitur 10. Bila melihat pengertian eksekusi menurut para pakar hukum di
atas, tampak bahwa pengertian eksekusi terbatas pada Eksekusi oleh Pengadilan
(putusan hakim), padahal yang juga dapat dieksekusi menurut hukum acara perdata
yang berlaku HIR dan Rbg yang juga dapat dieksekusi adalah salinan/grosse Akta
yang memuat irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan yang Maha Esa yang
berisi kewajiban untuk membayar sejumlah uang.
Lebih
lanjut dapat dilihat pendapat Bachtiar Sibarani, yang menyatakan Eksekusi
adalah pelaksanaan secara paksa putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap/pelaksanaan secara paksa dokumen perjanjian yang
dipersamakan dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap 11.
Putusan Pengadilan Negeri baru dapat dilaksanakan jika putusan tersebut telah
mempunyai kekuatan yang tetap artinya baik penggugat maupun tergugat telah
menerima putusan yang dijatuhkan.
Tindakan
debt collector yang menyita paksa barang, misalnya menyita sepeda motor yang
menunggak kredit atau menyita barang-barang di dalam rumah karena belum dapat
melunasi hutang pada bank, merupakan perbuatan melanggar hukum. Tindakan menyita
barang secara��������� paksa itu ibarat menyelesaikan
masalah dengan menimbulkan masalah baru masalah � menyelesaikan pelanggaran
hukum dengan melanggar hukum yang lebih berat. Hubungan hutang-piutang antara
debitur kreditur Seorang debitur yang belum mampu. Membayar lunas hutangnya
(misalnya cicilan kredit sepeda motor yang sudah jatuh tempo) adalah suatu
pelanggaran hukum, yaitu melanggar perjanjian. Dalam hal demikian kreditur (dealer
sepeda motor) mempunyai hak untuk menyita barang yang telah diserahkan kepada
debitur (pembeli sepeda motor) dengan alasan wanprestasi. Atas alasan tersebut
biasanya kreditur mengutus debt collector-nya untuk menyita barang jika tidak
berhasil menagih hutang. Suatu hubungan hutang-piutang antara debitur-kreditur
(penjual dan pembeli, atau penerima kredit dan bank) umumnya diawali dengan
perjanjian. Seorang pembeli sepeda motor secara kredit adalah debitur yang
melakukan perjanjian jual-beli dengan dealernya sebagai kreditur.
Jika
debitur wanprestasi - tidak melaksanakan kewajibannya melunasi kredit � maka
berdasarkan alasan syarat batal kreditur dapat membatalkan perjanjian. Dengan
batalnya perjanjian maka kreditur dapat menarik kembali barang-barang yang
telah diserahkannya kepada debitur. Namun pembatalan tidak mudah dilakukan oleh
kreditur. Pembatalan perjanjian itu harus dinyatakan oleh putusan pengadilan.
Tanpa adanya putusan pengadilan maka tidak ada pembatalan, dan tanpa pembatalan
maka kreditur tidak dapat menyita barang yang telah diterima oleh debitur
melalui debt collector-nya. Jikapun kreditur tetap memaksakan diri melakukan
penyitaan, maka tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum. Karena tindakan
menyita paksa barang oleh kreditur dan debt collector-nya adalah pelanggaran
hukum maka tindakan itu dapat berindikasi tindak pidana pencurian (pasal 362
KUHP)�mengambil barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain secara
melawan hukum. Atas pelanggaran hukum tersebut, pembeli sepeda motor berhak
melaporkannya kepada polisi. Kreditor tidak dapat sewenang-wenang dengan cara
paksa dan kekerasan menarik kendaraan debitur yang membayar angsuran. Pasalnya
dengan terbitnya peraturan menteri keuangan nomor 130/PMK.010/2012 tanggal 7
Agustus 2012, kreditur harus melakukan pendaftaran jaminan fidusia. Jika tidak,
maka kreditur (leasing) tidak bisa menyita aset debitur.
Menurut
Pasal 1 PMK No. 130/PMK.010/ 2012, Perusahaan Pembiayaan��� yang��� melakukan Pembiayaan
konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia wajib mendaftarkan
jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sesuai undang-undang
yang mengatur mengenai jaminan fidusia (pasal 1). Dengan keluarnya peraturan
ini, maka seluruh perusahaan pembiayaan harus mendaftarkan fidusia untuk setiap
transaksi pembiayaannya. Dalam pasal 2 PMK No. 130/PMK.010/2012, menyebutkan
Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor
Pendaftaran Fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak
tanggal perjanjian pembiayaan konsumen. Jika Perusahaan Pembiayaan belum
memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia (sebagai hasil dari pendaftaran jaminan
fidusia tersebut), maka menurut Pasal 3 PMK No. 130/PMK.010/2012,������ Perusahaan
Pembiayaan
tersebut dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan
bermotor tersebut. Secara umum, bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada
kreditor untuk pelunasan utang debitor telah diatur dalam:
1. Hadirnya lembaga jaminan umum
Lembaga
jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 dan 113240 KUHPerdata dalam bentuk
lembaga jaminan umum. Namun, pengaturan dalam Pasal 1131 KUHPerdata memiliki
kelemahan salah satunya adalah penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1131KUHPerdata
merupakan Lembaga jaminan umum berdasarkan Pasal 1132 KUHPerdata, yang berarti,
penjaminan tersebut tidak mengikat hak kebendaan dari objek jaminan, sehingga
debitor tetap berhak untuk mengalihkan benda tersebut kepada pihak ketiga.41
Padahal, keberadaan objek jaminan menjadi sangat penting dalam penyelesaian
permasalahan pembayaran utang debitor. Hal tersebut kemudian menjadi dasar
lahirnya lembaga jaminan khusus baik perorangan maupun kebendaan.
2. Hadirnya lembaga jaminan
khusus
Lembaga jaminan khusus terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu jaminan perorangan dan
kebendaan. Pada prakteknya, jaminan kebendaan lebih memberikan kepastian bagi
kreditur. Hal ini dikarenakan jaminan kebendaan memberikan hak mutlak atas
suatu benda, yang berarti, kreditor dapat mempertahankan benda tersebut terhadap
siapapun dan hak tersebut mengikuti bendanya. Salah satu bentuk dari jaminan
kebendaan adalah Jaminan Fidusia yang merupakan jaminan kebendaan atas benda
bergerak yang mana pihak debitor tetap dapat menguasai dan menggunakan objek
yang dijaminkan namun hak kepemilikan terhadap benda tersebut dikuasai oleh
debitor.
Di
sisi lain, aspek perlindungan hukum terhadap Konsumen dilakukan melalui:
1.
Penerbitan peraturan
dan ketentuan yang memberikan guideline bagi pelaku usaha dalam melaksanakan
proses bisnisnya,
2.
Pengawasanyang dilakukan
oleh regulator (dalam hal ini OJK) khususnya pengawasan market conduct
(mengawasi perilaku pelaku usaha jasa keuangan dalam implementasi jaminan
fidusia),
3.
Proses penanganan
pengaduan ataupun sengketa yang dilaporkan ke OJK.
Jaminan
Fidusia merupa kan salah satu bentuk penjaminan yang banyak digunakan oleh
perusahaan pembiayaan dalam mem berikan pembiayaan kepada Konsu men. Penggunaan
Jaminan Fidusia oleh perusahaan pembiayaan tidak terlepas dari pemenuhan
kebutuhan masyarakat yang memiliki keter batasan dalam kepemilikan benda tidak
bergerak sebagai objek jaminan dan kebutuhan masyarakat untuk tetap menggunakan
objek Jaminan Fidusia baik untuk keperluan usaha maupun sehari-hari. Lahirnya
Undang-Undang Jaminan Fidusia telah memberikan kepastian hukum dalam
pelaksanaan praktek Jaminan Fidusia yang mampu melindungi kepentingan dari
kreditor dan debitur.
Selain
UU Perlindungan Konsumen, pengaturan terkait perlindungan konsumen juga diatur
secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (UU OJK). Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang dibentuk
dengan tujuan untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan serta
melaksanakan fungsi perlindungan Konsumen dan masyarakat. Pengaturan terkait
perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 28 s.d. Pasal 31 UU
OJK
yang mengatur terkait perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan.
UU
OJK juga memberikan definisi khusus terkait Konsumen yang dimaksud dalam
UU����� OJK, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1
angka 15 UU OJK, yang berbunyi �Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan
dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan
antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada
Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan�
Sehingga
berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui UU OJK merupakan lex specialis
dalam perlindungan Konsumen di sector jasa keuangan. Adapun UU Perlindungan Konsumen
merupakan payung hukum dalam upaya perlindungan Konsumen, sehingga undang-undang
lain dapat memberikan pengaturan secara khusus selama kewenangan untuk mengatur
tersebut bersifat atribusi atau diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam
hal ini adalah undang-undang. Pasal 31 UU OJK memberikan amanat kepada OJK
untuk mengatur lebih lanjut upaya perlindungan Konsumen dan masyarakat dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang ditindaklanjuti dengan penerbitan
POJK Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Kesadaran
pentingnya keterlibatan negara dalam upaya perlindungan Konsumen didasarkan
atas posisi tawar Konsumen yang lemah. Pasal 2 POJK Perlindungan Konsumen
mengatur terkait prinsip-prinsip perlindungan Konsumen yang wajib dipenuhi
dalam melakukan kegiatan usaha oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah:
1. Transparansi;
2. Perlakuan yang adil;
3. Keandalan;
4. Kerahasiaan dan kea manan data/informasi
Konsumen; dan
5. Penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa
Konsumen
secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau 130/PMK.010/2012, Perusahaan Pembiayaan
tersebut dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan
bermotor tersebut. Secara umum, bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada
kreditor untuk pelunasan utang debitor telah diatur dalam:
1. Hadirnya lembaga jaminan umum
Lembaga
jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 dan 113240 KUHPerdata dalam bentuk
lembaga jaminan umum. Namun, pengaturan dalam Pasal 1131 KUHPerdata memiliki
kelemahan salah satunya adalah penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1131
KUHPerdata merupakan Lembaga jaminan umum berdasarkan Pasal 1132 KUHPerdata,
yang berarti, penjaminan tersebut tidak mengikat hak kebendaan dari objek
jaminan, sehingga debitor tetap berhak untuk mengalihkan benda tersebut kepada
pihak ketiga.41 Padahal, keberadaan objek jaminan menjadi sangat penting dalam
penyelesaian permasalahan pembayaran utang debitor. Hal tersebut kemudian
menjadi dasar lahirnya lembaga jaminan khusus baik perorangan maupun kebendaan.
2.��� Hadirnya
lembaga jaminan
khusus
Lembaga jaminan khusus terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu jaminan perorangan dan
kebendaan. Pada prakteknya, jaminan kebendaan lebih memberikan kepastian bagi
kreditur. Hal ini dikarenakan jaminan kebendaan memberikan hak mutlak atas
suatu benda, yang berarti, kreditor dapat mempertahankan benda tersebut
terhadap siapapun dan hak tersebut mengikuti bendanya. Salah satu bentuk dari
jaminan kebendaan adalah Jaminan Fidusia yang merupakan jaminan kebendaan atas
benda bergerak yang mana pihak debitor tetap dapat menguasai dan menggunakan
objek yang dijaminkan namun hak kepemilikan terhadap benda tersebut dikuasai
oleh debitor.
Di
sisi lain, aspek perlindungan hukum terhadap Konsumen dilakukan melalui:
1.
Penerbitan peraturan
dan ketentuan yang memberikan guideline bagi pelaku usaha dalam melaksanakan
proses bisnisnya,
2.
Pengawasan yang dilakukan
oleh regulator (dalam hal ini OJK) khususnya pengawasan market conduct
(mengawasi perilaku pelaku usaha jasa keuangan dalam implementasi jaminan
fidusia),
3.
Proses penanganan
pengaduan ataupun sengketa yang dilaporkan ke OJK.
Jaminan
Fidusia merupa kan salah satu bentuk penjaminan yang banyak digunakan oleh
perusahaan pembiayaan dalam mem berikan pembiayaan kepada Konsu men. Penggunaan
Jaminan Fidusia oleh perusahaan pembiayaan tidak terlepas dari pemenuhan
kebutuhan masyarakat yang memiliki keter batasan dalam kepemilikan benda tidak
bergerak sebagai objek jaminan dan kebutuhan masyarakat untuk tetap menggunakan
objek Jaminan Fidusia baik untuk keperluan usaha maupun sehari-hari. Lahirnya
Undang-Undang Jaminan Fidusia telah memberikan kepastian hukum dalam
pelaksanaan praktek Jaminan Fidusia yang mampu melindungi kepentingan dari
kreditor dan debitur.
Berdasarkan
penjelasan Fidusia Pasal 13 ayat 3 UU Jaminan Pasal 6 UU Jaminan Fidusia
disebutkan bahwa Kantor Fidusia mengatur terkait isi akta Pendaftaran Fidusia
tidak Jaminan Fidusia yang sekurang-melakukan penilaian terhadap kurangnya meliputi:
kebenaran yang dicantumkan���
a. identitas pihak pemberi dan dalam pernyataan
pendaftaran penerima fidusia; Jaminan Fidusia.
b. data perjanjian pokok yang pembebanan melalui
akta notaris dijamin fidusia; diharapkan dapat memberikan
c. mengenai benda yang kepastian hukum. Sebagaimana
menjadi objek Jaminan diketahui, bahwa notaris Fidusia; merupakan pejabat umum
yang
d. nilai penjaminan; dan berdasarkan
Undang-Undang
e. nilai benda yang menjadi Nomor 2 Tahun 2014 tentang
objek Jaminan Fidusia Jabatan Notaris diberikan kewenangan untuk membuat akta 12
Nico, 2003.
Tanggung
Jawab Notaris Selaku otentik untuk menjamin Pejabat Umum, Yogyakarta:� Center for Pembebanan Jaminan Fidusia melalui
akta notaris dapat digunakan kreditur sebagai dasar hukum dalam melakukan
eksekusi terhadap objek Jaminan
Fidusia
apabila debitur wanprestasi maupun sebagai alat bukti yang sah dan mempunyai
kekuatan hukum yang sempurna bagi kreditur apabila debitur melakukan perlawanan
terhadap eksekusi yang dilakukan.
Di
sisi lain, pembebanan Jaminan Fidusia dengan akta notaris juga memberikan
kepastian hukum bagi Konsumen bahwa pelaku usaha telah melaksanakan
kewajibannya untuk mengikat Jaminan Fidusia melalui akta notaris dan Konsumen
dapat mengetahui uraian mengenai nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
Biaya pembuatan akta Jaminan Fidusia diatur secara tegas dalam Pasal 18
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan
Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia (PP Pendaftaran Jaminan
Fidusia). Sehingga penerima fidusia telah dapat menghitung biaya yang harus
dikenakan dalam pembuatan akta Jaminan Fidusia yang nantinya dapat dibebankan
baik kepada pemberi fidusia. Pendaftaran benda Jaminan Fidusia (Pasal 11 ayat
(1) UU Jaminan Fidusia);
Sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya, obyek Jaminan Fidusia meliputi benda bergerak
dan benda tidak bergerak, demikian bunyi ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Fidusia. Obyek fidusia berupa benda bergerak antara lain adalah kendaraan
bermotor dan benda tidak bergerak khususnya berupa bangunan yang tidak bisa
dibebani hak tanggungan akan tetapi dengan syarat harus bisa dimiliki dan
dialihkan. Undang-Undang Fidusia juga menentukan agar benda yang menjadi obyek
Jaminan Fidusia pembebanannya dibuat dengan akta notaris dan didaftarkan pada
Kantor Pendaftaran Fidusia. Pendaftaran benda yang dibebani Jaminan Fidusia
dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia, termasuk benda yang berada di
luar wilayah negara Republik Indonesia. Demikian antara lain
yang
dinyatakan dalam penjelasan Pasal 11 Undang-Undang Fidusia.
Dari
ketentuan tersebut, maka benda yang dibebani Jaminan Fidusia, baik benda
bergerak maupun benda tidak bergerak pendaftarannya tetap dilaksanakan di
tempat kedudukan pemberi fidusia. Pendaftaran Jaminan Fidusia merupakan
rangkaian lanjutan dari pembebanan Jaminan Fidusia. Adapun tujuan dari
dilakukannya pendaftaran Jaminan Fidusia untuk mengantisipasi kemungkinan
dilakukanya tindakan debitor yang merugikan kreditor misalnya melalui fidusia
ulang terhadap objek Jaminan Fidusia yang dilarang berdasarkan Pasal 17 UU
Jaminan Fidusia.
Selain
itu, maksud dan tujuan dilakukannya pendaftaran Jaminan Fidusia yaitu:13
1. Memberikan kepastian hukum kepada para pihak
yang berkepentingan teru ta ma melahirkan ikatan Jamin an Fidusia bagi
kreditur;
2. Memberikan hak yang didahulukan kepada
kreditur terhadap kreditur lain berhubung pemberi fidusia tetap menguasai benda
yang menjadi Jaminan Fidusia berdasarkan kepercayaan;
3. Memenuhi asas publisitas terhadap kreditur
lain mengenai benda yang telah dibebani dengan Jaminan Fidusia. Penerima
fidusia, kuasa atau wakil penerima fidusia wajib melaksanakan pendaftaran
Jaminan Fidusia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13 UU Jaminan Fidusia.
Ketentuan terkait batas waktu pendaftaran Jaminan Fidusia tidak diatur dalam UU
Jaminan Fidusia.
Berdasarkan
PP Pendaftaran Jaminan Fidusia, permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia diajukan
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
pembuatan akta Jaminan Fidusia.
Namun,
jangka waktu pendaftaran Jaminan Fidusia berdasarkan Pasal 22 Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Pembiayaan (POJK Perusahaan Pembiayaan) menyebutkan Perusahaan
Pembiayaan wajib mendaftarkan Jaminan Fidusia pada kantor pendaftaran Jaminan
Fidusia paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal perjanjian
pembiayaan. Perbedaan batasan jangka waktu pendaftaran Jaminan Fidusia dapat
menimbulkan permasalahan atau kebingungan pada praktik di lapangan termasuk
dalam proses pengawasan yang dilakukan oleh OJK. Oleh sebab itu perlu dilakukan
harmonisasi peraturan sehingga upaya mendorong pendaftaran Jaminan Fidusia
menjadi sejalan. Selain itu, Pendaftaran Jaminan Fidusia tidak hanya dilakukan
untuk diadakannya Jaminan Fidusia, akan tetapi juga mencakup perubahan,
pengalihan, dan hapusnya Jaminan Fidusia. Pembebanan didaftarkannya Jaminan Fidusia
maka asas publisitas terpenuhi dan sekaligus merupakan jaminan kepastian
terhadap kreditor lainnya mengenai benda yang telah dibebani Jaminan
Fidusia.
Saat ini, proses Pendaftaran Jaminan Fidusia telah dilakukan secara online sebagaimana
diatur melalui:
1. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pendelegasian Penandatanganan Sertifikat Jaminan Fidusia
secara Elektronik;
2. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 9 itu, pendaftaran Jaminan Tahun 2013 tentang Fidusia merupakan perbuatan
Pemberlakuan��� konstitutif yang melahirkan
Pendaftaran Jaminan Jaminan Fidusia. Fidusia secara Pada dasarnya Elektronik; pengambilan
paksa
3. Peraturan Menteri kendaraan bermotor oleh Hukum
dan Hak Asasi perusahaan pembiayaan Manusia Nomor 10 kredit dan menggunakan
jasa Tahun 2013 tentang pihak ke tiga (debt collector).
Tata Cara Pendaftaran����������� merupakan perbuatan yang Jaminan Fidusia secara melawan
hokum Penarikan Elektronik; dengan paksa dilakukan Pendaftaran Jaminan penagih
utang Keuangan Fidusia secara online sebagai kreditor adalah Diharapkan mampu
termasuk pelanggaran hukum memberikan pelayanan dan dipertimbangkan sebagai
yang lebih baik kepada tindakan melawan hukum masyarakat dengan apalagi jika dilakukan
tanpa cepat dan bebas dari menunjukkan surat fidusia pungutan liar. Hal tersebut
bertentangan.
Selain itu pendaftaran dengan Peraturan Menteri
Jaminan Fidusia secara Keuangan No.130 / PMK.010 Online telah memberikan/2012 dan
persyaratannya kemudahan dalam mencetak Pasal 30 Undang-Undang sertifikat Jaminan
Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 karena dapat dicetak sendiri tentang Jaminan
Fidusia yang oleh penerima fidusia dalam bahwa penerima hal ini adalah notaris
(sampai fidusia dapat meminta saat ini hanya notaris yang bantuan pihak berwenang
memiliki akses pendaftaran jika pemberi fidusia tidak fidusia secara online). Menyerahkan
objek fidusia.
Pendaftaran
Jaminan Fidusia Pihak kebijakan yang pantas Akan menerbitkan sertifikat adalah kepolisian15
Jaminan Fidusia yang Berdasarkan Undang Memiliki kekuatan Undang No. 42 Tahun
1999 eksekutorial. Sebagaimana Tentang Jaminan Fidusia, diketahui, bahwa salah
satu adanya hak eksekusi atau cara eksekusi Jaminan kekuatan eksekutorial
adalah Fidusia adalah melalui parate���������
eksekusi yang Eksekusi atau eksekusi langsung. Adapun dari dapat 15 Shavira Ramadhanneswari,
2017 �Penarikan dilakukannya parate eksekusi Kendaraan Bermotor Oleh Perusahaan
Pembiayaan Terhadap Debitur Yang Mengalami Kredit Macet adalah adanya sertifikat
(Wanprestasi) Dengan Jaminan Fidusia Ditinjau Dari
Jaminan
Fidusia. Oleh karena Aspek Yuridis� Jurnal
Ilmiah Fakultas Hukum, langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan
bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
Tentunya mengenai aturan tersebut banyak masyarakat belum mengetahui dan hanya
pasrah jika pelaku usaha atau debt collector mengambil kendaraannya secara
paksa.
Pengambilan
kendaraan bermotor secara paksa dalam perjanjian pembiayaan adalah konsumen
telah melakukan wanprestasi (tidak membayar angsuran sesuai yang
diperjanjikan), namun apabila Kendara bermotor sebagai obyek jaminan fidusia tidak
didaftarkan oleh perusahaan pembiayaan pad kantor pendaftaran Fidusia, maka pengambilan
paksa tersebut tidak sah, sebab hak kebendaan dari perjanjian fidusia tidak lahir,
sehingga perusahaan pembiayaan selaku kreditor tidak menggunakan ketentuan
dalam Pasal 29 Undang-Undang Jaminan fidusia. Seandainya fidusia tersebut
didaftarkan sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 130/PMK.010/2012, dan
jika tidak didaftarkan, namun pengambilan kendaraan bermotor (eksekusinya)
harus melibatkan aparat kepolisian.
Hal
ini sesuai dengan Peraturan Kapolri (Perkap) No 8/2011menjelaskan bagaimana tata
cara pengambilan objek perjanjian kredit yang di atasnya sudah melekat jaminan
fidusia, dan sepengetahuan RT/RW setempat. Terhadap pengambilan paksa yang tidak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku ini, konsumen dapat mengajukan keberatan
kepada perusahaan pembiayaan berdasarkan kesepakatan bersama dalam perjanjian
pembiayaan, namun apabila tidak dapat diselesaikan, maka konsumen dapat
melaporkan pengambilan paksa tersebut dengan���������� dasa
pasal perampasan sebagaimana yang distur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana
(KUHP). Jadi apabila terjadi pengambilan paksa kendaraan bermotor yang menjadi
objek jaminan kredit di tengah jalan, konsumen harus menolak dan dapat melaporkannya
ke pihak kepolisian. Mahkamah Konstitusi atau MK membolehkan pelibatan aparat
Kepolisian Negara RI dalam pengamanan eksekusi objek jaminan fidusia. Dalam
Putusan No.18/PUU-XVII/2019, Mahkamah.
Konstitusi
mengubah mekanisme eksekusi objek jaminan fidusia sepanjang tidak diberikan
secara sukarela oleh debitor. Bila awalnya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia membolehkan kreditor mengeksekusi sendiri objek jaminan
fidusia, per 6 Januari 2020 kreditor mesti Mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan
negeri (PN). Meski demikian, Eksekusi tanpa Pengadilan Negeri masih terbuka jika
debitor sudah mengakui adanya cedera janji dalam perjanjian dengan kreditor.
Untuk kasus seperti ini, debitor semestinya memberikan secara sukarela objek
jaminan fidusia kepada kreditor. Kepolisian dimungkinkan untuk memberikan
bantuan dalam pelaksanaan eksekusi sendiri atau eksekusi melalui Pengadilan
Negeri. Lagi pula, dalam pelaksanaan putusan pengadilan perkara perdata,
bantuan polisi sudah lazim untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam proses pelaksanaan
eksekusi.
Oleh
karena itu perusahaan pembiayaan harus mendaftarkan fidusia kendaraan bermotor sebagai
obyek jaminan kredit. Ini dimaksudkan supaya jika konsumen wanprestasi, maka perusahaan
pembiayaan memiliki dasar hukum untuk melakukan penarikan kendaraan bermotor sesuai
dengan prosedur yang diterdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam hal konsumen wanprestasi, lembaga pembiayaan dalam menyelesaikan
kreditnya. Sebaiknya dilakukan dengan musyawarah dengan konsumen, tanpa harus
melibatkan pihak kepolisian. Sebab jika hal ini dilakukan akan menambah ongkos
atau biaya, dan juga mengesankan penyelesaian yang kurang menghormati hakhak
konsumen sebagai pembeli kendaraan bermotor.
Undang-Undang
No. 8 Tahun����������� 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, konsumen berhak mendapatkan perlindungan hukum jika
terjadi cidera janji yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal ini atas
pengambilan paksa kendaraan konsumen. Bentuk Perlindungan hukum Preventif bagi
konsumen terdapat dalam UUPK dimana mengatur mengenai hak dan kewajiban dari
konsumen dan pelaku usaha, selain itu dalam UUPK diatur pula mengenai
batasan-batasan dari tindakan konsumen dan pelaku usaha untuk mencegah
timbulnya kerugian bagi salah satu pihak. Selanjutnya Perlindungan Represif merupakan
perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukum tambahan
yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu
pelanggaran. Mengenai perlindungan hukum represif bagi pihak konsumen dan
pelaku usaha telah diatur dalam Pasal 45 UUPK yang menyatakan, �Penyelesaian
sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan
berdasarkan pilahan sukarela para pihak yang bersengketa. Bagi pihak konsumen
dapat melakukan gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Kesimpulan
Perlindungan
hukum terhadap debitur dalam eksekusi penarikan paksa kendaraan bermotor
sebagai barang jaminan yaitu melalui kementrian Keuangan yang telahmengeluarkan
satu terobosan peraturan baru yang melarang perusahaan pembiayaan melakukan
ekskusi penarikan paksa kendaraan bermotor. Hal tersebut dicantumkan dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130PMK.0102012 tentang Pendaftaran Jaminan
Fidusia bagi perusahaan pembiayaan. Peraturan Menteri keuangan ini dengan tegas
melarang perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan
fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia
belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada
perusahaan pembiayaan.�������� Jika����� perusahaan pembiayaan tetap memaksa
mengambil alih kendaraan, maka perusahaan pembiayaan akan dikenakan sanksi
sampai pembekuan dan pencabutan izin usaha. Perlindungan hukum lain dapat
dirasakan oleh konsumen yakni adanya kebebasan konsumen untuk mengajukan
gugatan terhadap pelaku usaha kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Peran
pemerintah sangat penting sebagai pengawasan terhadap penarikan paksa yang
dilakukan oleh lembaga pembiayaan melalui jasa debt collector karena perbuatan
tersebut meresahkan masyarakat, hendaknya pemerintah memberikan sanksi yang
tegas terhadap lembaga pembiayaan yang melanggar ketentuan peraturan yang berlaku,
seperti tidak mendaftarkan jaminan fidusia dan melakukan penarikan paksa
kendaraan bermotor tidak taat sesuai dengan peraturan yang berlaku.
BIBLIOGRAFI
Iswi Hariyani. (2010). Restrukturisasi dan
Penghapusan Kredit Macet, Jakarta: Gramedia
Nico. (2003). Tanggung Jawab Notaris Selaku
Pejabat Umum, Yogyakarta: Center for Documentation and Studies of Business Law
Rachmadi Usman. (2008). Hukum Jaminan
Keperdataan, Jakarta: Sinar Grafika
Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata. (1997). Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar
Maju, Bandung
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. (2003).
Penelitian Hukum Normatif - Suatu Tinjauan Singkat, Cet. 6, Jakarta : Raja
Grafinda Persada
Bachtiar Sibarani. (2001). Haircut atau Parate
Eksekusi, Jurnal Hukum Bisnis
Shavira Ramadhanneswari. (2017). Penarikan Kendaraan
Bermotor Oleh Perusahaan Pembiayaan Terhadap Debitur Yang Mengalami Kredit
Macet (Wanprestasi) Dengan Jaminan Fidusia Ditinjau Dari Aspek Yuridis� Jurnal
Ilmiah Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Pendelegasian Penandatanganan Sertifikat Jaminan Fidusia
secara Elektronik
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia secara
Elektronik;
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 10 Tahun (2013) tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia secara
Elektronik; Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
������������������������������������������������
Copyright holder: Nama Author (Tahun
Terbit) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |