Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 7, Juli 2023

 

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN PEMEGANG POLIS ASURANSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA KLAIM ASURANSI (STUDI KASUS PT ASURANSI ASTRA BUANA)

 

Raras Ayundhani

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Era globalisasi seperti menuntut setiap orang agar siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi menjadi suatu risiko yang berasal dari sesuatu yang tidak diharapkan atau dari kemungkinan yang dapat diduga sebelumnya. Peluang risiko dari suatu proses membuat masyarakat mengalihkan peluang risiko ke suatu lembaga asuransi. Dinamika pelaksanakan kegiatan usaha peransuransian antara konsumen selaku pemegang polis asuransi dengan pihak perusahaan asuransi sebagai pelaku usaha berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak konsumen terutama dalam hal klaim polis asuransi oleh perusahaan asuransi. Untuk mengatasi permasalahan konsumen usaha peransuransian tersebut perlu dikaji peraturan-peraturan di sektor peransuransian mengenai perlindungan konsumen dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang�undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Usaha Peransuransian, KUHPerdata serta KUHDagang. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang meneliti hukum perlindungan konsumen usaha peransuransian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen berhak atas hak � haknya yakni pelaku usaha melaksanakan kewajibannya sesuai dengan yang telah disepekati, yakni menunaikan klaim polis asuransi sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian asuransi. Dalam hal pelaku usaha tidak beritikad baik untuk memberikan klaim polis asuransi milik konsumen, maka konsumen berhak untuk mengajukan gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen maupun mengajukan gugatan ke Badan Peradilan.

 

Kata Kunci: Perlindungan Konsumen; Klaim Asuransi; Penyelesaian Sengketa

 

Abstract

The era of globalization requires everyone to be ready with all the possibilities that will happen to be a risk that comes from something that is not expected or from a possibility that can be predicted. Risk opportunities from a process make people transfer risk opportunities to an insurance institution. The dynamics of implementing insurance business activities between consumers as insurance policyholders and insurance companies as business actors have the potential to create various problems that cause consumer rights to be violated, especially in terms of insurance policy claims by insurance companies. To overcome the problems of consumers in the insurance business, it is necessary to study the regulations in the insurance sector regarding consumer protection with Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, Law Number 40 of 2014 concerning Insurance Business, the Civil Code, and the Criminal Code of Trade. This research is normative research that examines consumer protection law in the insurance business. The results of the study indicate that consumers are entitled to their rights, namely business actors carry out their obligations according to what has been agreed, namely to fulfill insurance policy claims by the agreement outlined in the insurance agreement. If the business actor does not have good intentions to claim the consumer's insurance policy, the consumer has the right to file a lawsuit with the Consumer Dispute Settlement Agency or file lawsuit with the judiciary.

 

Keywords: Consumer Protection; Insurance Claims; Dispute Resolution

 

Pendahuluan

Era globalisasi seperti saat ini ketika perubahan terjadi begitu cepat dalam era digitalisasi 4.0 masyarakat dituntut untuk selalu siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Kemungkinan tersebut menjadi suatu risiko yang akan selalu ada dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat. Semakin berisiko prosesnya maka akan semakin besar pula risiko yang akan dihadapi oleh masyarakat yang tidak hanya berasal dari sesuatu yang tidak diharapkan tetapi juga berasal dari adanya suatu kemungkinan yang dapat diduga sebelumnya. Mengkaji adanya peluang risiko dari suatu proses membuat masyarakat mengalihkan peluang risiko tersebut ke suatu lembaga asuransi dengan tujuan untuk memberikan perlindungan atas risiko yang mungkin terjadi di kemudian hari (Putri, 2023).

Asuransi secara normatif disebut dalam pasal 1774 Kitab Undang�Undang Hukum Perdata, yakni sebagai suatu persetujuan untung-untungan ialah suatu perbuatan yang hasilnya, yaitu mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti. Salah satu karakteristik dari perjanjian untung-untungan adalah berdasarkan kemungkinan yang spekulatif dengan tujuan utama kepentingan keuangan sementara perjanjian asuransi mempunyai tujuan mengalihkan risiko yang ada berkaitan dengan kemanfaatan ekonomi tertentu sehingga tetap ada pada posisi semula (Rastuti, 2016).

Keberadaan perusahaan asuransi pada hakikatnya adalah sebagai lembaga keuangan non-bank yang menghimpun dana dan di masyarakat untuk memberikan perlindungan kepada pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbilnya kerugian materil maupun immateril (Afrianty, Isnaini, & Oktarina, 2020).

Perusahaan asuransi berkembang dan berpotensi menjadi salah satu pilar penopang perekonomian seiring dengan perkembangan zaman. Semakin berkembang peluang terjadinya risiko yang akan dialami oleh masyarakat membuat suatu perkembangan yang terjadi pada jenis permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan asuransi sebagai suatu badan hukumyang termasuk pada sektor keuangan pengambilalihan risiko. Fluktuasi dalam perekenomian juga mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya dalam regulasi yang dibuat oleh pemerintah dalam pelaksanaan usaha asuransi di Indonesia (Adelia, 2018).

Dasar hukum lembaga asuransi dalam perundangundangan di Indonesia yaitu dengan diberlakukannya Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang menmbagi usaha asuransi menjadi 3 (tiga) yakni asuransi kerugian, asuransi jiwa dan usaha reasuransi yang kemudian diperbarui dengan diberlakukannya ketentuan pada UndangUndang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dimana ada perubahan istilah yang semula asuransi kerugian�, berubah menjadi asuransi umum�.

Legalisasi terhadap kegiatan usaha peransuransian melalui pemberian izin usaha sangat diperlukan karena dalam pelaksanaan kegiatannya dilakukan dengan mengumpulkan dana masyarakat dalam bentuk premi yang kemudian akan dikembalikan lagi pada masyarakat melalui pengajuan klaim. Adanya legalisasi dengan diterbitkannya izin usaha tersebut sebagai suatu bentuk andil pemerintah dalam melindungi konsumen, yang dalam hal ini adalah masyarakat sebagai pengguna jasa asuransi.

Berbagai upaya membentuk suatu lembaga asuransi yang dapat diandalkan membuat pemerintah melakukan pengawasan yang ketat terkait beroperasinya suatu perusahaan asuransi. Adanya ketidakmampuan suatu perusahaan asuransi untuk memenuhi standar pelaksanaan usaha asuransi yang ditentukan oleh pemerintah akan mempengaruhi kemampuan suatu perusahaan asuransi dalam menyelesaikan klaim atas suatu risiko yang dialami (Marliza & Prasetiono, 2014).

Pertumbuhan perusahaan asuransi yang pesat telah menghasilkan beragam jenis produk-produk asuransi yang ditawarkan perusahaan asuransi kepada konsumen. Konsumen dihadapakan pada berbagai pilihan jenis dari asuransi yang ditawarkan secara variatif. Kondisi seperti ini pada satu sisi menguntungkan konsumen, karena kebutuhan terhadap barang atau jasa yang dinginkan dapat terpenuhi dengan beragam pilihan. Namun pada sisi lain, fenomena tersebut menempatkan kedudukan konsumen terhadap pelaku usaha, dalam hal ini perusahaan asuransi menjadi tidak seimbang karena konsumen berada pada posisi yang lemah.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan Jenis penelitian hukum normatif atau biasa dikenal dengan penelitian hukum doktrinal (doktrinal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Menurut Peter Mahmud Marzuki (2013), segala penelitian yang berkaitan dengan hukum (Legal Research) adalah normatif.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian hukum normatif mengkaji bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.

Bahan bahan hukum tersebut terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan perjanjian-perjanjian keperdataan para pihak, bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dan bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

Seluruh data yang diperoleh dari penelitian, baik data sekunder berupa penelitian kepustakaan yang dianalisis dengan menggunakan teknik kualitatif yang kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif analitis. Deskriptif analitis yaitu memberikan gambaran atau pemaparan tentang kenyataan-kenyataan berdasarkan hasil penelitian yang disertai uraian dasar hukum, kesimpulan serta saran dan seluruh hasil penelitian (Fitrah, 2018).

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Kasus Posisi

Uraian Kasus Posisi ini diambil dari Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 663/Pdt.Sus-BPSK/2021/PN.Mdn juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor 761 K/Pdt.Sus-BPSK/2022.

Sengketa ini terjadi antara Ibu Emeliana Sitepu sebagaitertanggung atau pemegang polis asuransi dari PT Asuransi Astra Buana (Asuransi Astra) selaku Pelaku Usaha atau penanggung. Ibu Emiliana Sitepu dan PT Asuransi Astra Buana (Asuransi Astra) melakukan kesepakatan perjanjian asuransi yang tertuang dalam Polis Asuransi atas nama PT Astra Sedaya Finance Syariah dan PT Bank Permata q.q Emeliana Sitepu dengan perlindungan jaminan Comprehensive (Polis Asuransi).

1.    Awal Mula Sengketa

Adapun sengketa tersebut pada awalnya yaitu Ibu Emeliana Sitepu selaku konsumen mengajukan klaim atas mobilnya � Toyota Avanza dengan Nomor Polisi BK-1255-UG yang hilang untuk diganti oleh pihak asuransi karena mobil tersebut telah diasuransikan dengan Nomor Polis Asuransi 1503166475 atas nama PT Astra Sedaya Finance Syariah dan PT Bank Permata qq Emeliana Sitepu. Mobil milik Ibu Emeliana tersebut dibeli melalui PT Astra Sedaya Finance yang memberikan fasilitas pembiayaan kepada Ibu Emeliana Sitepu sebagai Konsumen, kemudian mobil tersebut diasuransikan kepada PT Asuransi Astra Buana (Asuransi Astra). Namun, PT Asuransi Astra Buana (Asuransi Astra) tidak beritikad baik serta mengulur waktu untuk memenuhi kewajibannya dalam melaksanakan pembayaran klaim asuransi atas mobil tersebut sebagai objek asuransi yang sah kepada Ibu Emeliana Sitepu selaku konsumen atau pemegang polis asuransi.

2.    Alasan Perusahaan Asuransi Menolak Klaim Asuransi

Terhadap klaim yang diajukan oleh Ibu Emeliana, Perusahaan Asuransi (PT Asuransi Astra Buana) telah melakukan survei dan pengecekan tempat kejadian perkara (TKP) serta pengecekan atas dua kunci kontak kendaraan yang diserahkan Ibu Emeliana. Hasil pengecekan terhadap kedua kunci kontak tersebut terdapat perbedaan ulir kunci kontak yang menunjukkan bahwa kedua kunci tersebut bukan satu set ataupun berasal dari unit yang sama. Hal ini merujuk surat keterangan tanggal 26 November 2019 dari Bapak Budianto dan Bapak Sudirman selaku TL Body Repair dan Service Advisor Auto 2000 Amplas. Hal tersebutlah yang menjadi dasar Perusahaan Asuransi (PT Asuransi Astra Buana) menolak untuk membayar atas klaim asuransi yang diajukan oleh Ibu Emeliana.

3.    Jawaban Ibu Emeliana Atas Penolakan Klaim Asuransi Oleh PT Asuransi Astra Buana)

Bahwa terhadap alasan Perusahaan Asuransi (PT Asuransi Astra Buana) yang telah menolak untuk membayar penggantian atas klaim objek Asuransi milik Ibu Emeliana dengan alasan tersebut di atas, Ibu Emeliana selaku konsumen merespon alasan tersebut dengan membuat Jawaban bahwa dalam Perjanjian Polis Asuransi antara Perusahaan Asuransi selaku penanggung dengan Ibu Emeliana selaku tertanggung, tidak mengatur mengenai ketentuan bahwa kunci mobil dari objek yang diasuransikan (Mobil Toyota Avanza dengan nomor polisi BK-1255-UG) harus memiliki ulir kunci yang sama. Tidak juga diatur mengenai ulir kunci mobil yang harus sama menjadi syarat dari terpenuhinya klaim asuransi apabila sewaktu-waktu terdapat kejadian yang merugikan tertanggung sehingga tertanggung mengajukan klaim atas objek asuransi tersebut.

Atas permasalahan tersebut, Ibu Emeliana membuat laporan atas kehilangan mobilnya dalam berkas klaim asuransi. Namun, pihak asuransi (PT Asuransi Astra Buana) tetap tidak mau memberi penggantian atas kehilangan mobil milik Ibu Emeliana, sehingga Ibu Emeliana membawa sengketa ini ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Selanjutnya disebut BPSK) Kota Medan.

B.  Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Polis Asuransi (Rumusan Masalah 1)

Pembahasan mengenai Rumusan Masalah 1 dibagi menjadi beberapa bagian. Sebagai berikut.

1.    Tentang Perjanjian Asuransi dan Klaim Polis Asuransi

Polis Asuransi menurut Pasal 1 angka 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi menyatakan bahwa �Polis Asuransi adalah akta perjanjian asuransi atau dokumen lain yang dipermasakan dengan akta perjanjian asuransi, serta dokumen lain yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian asuransi, yang dibuat secara tertulis dan memuat perjanjian antara pihak perusahaan asuransi dan pemegang polis�.

Polis asuransi merupakan perjanjian tertulis mengenai pengalihan risiko yang dilakukan oleh pemegang polis sebagai tertanggung dengan perusahaan asuransi sebagai penanggung (Habeahan, 2020). Segala sesuatu yang tertulis dalam polis asuransi harus diperhatikan secara seksama oleh para pihak karena isi perjanjian yang tertulis dalam polis tersebut dapat dijadikan dasar sebagai klaim asuransi.

Polis asuransi dengan substansi sebagaimana dimuat dalam Pasal 257 Kitab Undang � undang Hukum Dagang yang menyatakan: �Perjanjianpertanggungan ada seketika setelah ia ditutup; hak � hak dan kewajiban� kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggungmulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani. Ditutupnya perjanjian menerbitkan kewajiban bagi si penanggung untuk menandatangani polis tersebut dalam waktu yang ditentukan dan menyerahkannya kepada si tertanggung.�

Selanjutnya diatur juga dalam Pasal 1 ayat (1) Undang � undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Peransuransian, yang menyatakan: �Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:

a)    Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau

b)   Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.�

Selain itu terkait dengan pengajuan klaim asuransi merujuk pada kaidah hukum dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan: �Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang � undang bagi mereka yang membuatnya�.

Bahwa merujuk pada beberapa ketentuan tersebut di atas mengenai perjanjian asuransi dan klaim atas polis asuransi, bahwa benar mobil milik konsumen (Ibu Emeliana) yang telah hilang (Toyota Avanza dengan Nomor Polisi BK-1255-UG) merupakan objek asuransi yang sah, terbukti dari adanya Polis Asuransi Nomor 1503166475 atas nama PT Astra Sedaya Finance Syariah dan PT Bank Permata qq Emeliana Sitepu. Oleh karena itu, Ibu Emeliana Sitepu selaku Tertanggung berhak mengajukan klaim asuransi atas objek asuransi yang telah hilang tersebut, yang dibuktikan dengan adanya Polis Asuransi sebagai bukti adanya perjanjian asuransi antara perusahaan asuransi (PT Asuransi Astra Buana) dengan konsumen atau tertanggung (Ibu Emeliana Sitepu).

Karenanya berdasarkan beberapa ketentuan diatas, yaitu Pasal 1 angka 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.05/2015, Pasal 1 ayat (1) Undang � Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Peransuransian, Pasal 1338 KUH Perdata, serta Pasal 257 Kitab Undang � undang Hukum Dagang, sudah sepatutnya antara perusahaan asuransi (PT Asuransi Astra Buana) selaku penanggung memberikan klaim pembayaran atas objek asuransi yang hilang kepada konsumen (Ibu Emeliana Sitepu) selaku tertanggung sebagai penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kehilangan keuntungan yang diderita tertanggung.

2.    Perlindungan Hukum Konsumen Pemegang Polis Asuransi

Di Indonesia terjadi berbagai kasus penolakan klaim yang dilakukan oleh perusahaan perasuransian. Penolakan klaim tersebut mengakibatkan kerugian finansial dari pihak tertanggung, sehingga tertanggung membutuhkan perlindungan akan hak-haknya. Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum (Handayani, 2016).

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum (Tampubolon, 2016).

Perlindungan Konsumen di sektor jasa keuangan bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan Konsumen yang andal, meningkatkan pemberdayaan Konsumen, dan menumbuhkan kesadaran Lembaga Jasa Keuangan sehingga mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada sektor jasa keuangan (Jafar, 2019).

Perlindungan Konsumen merupakan rangkaian kebijakan dan pelaksanaan kegiatan yang mencakup edukasi, pelayanan informasi, dan pengaduan serta fasilitasi penyelesaian Sengketa bagi Konsumen sektor jasa keuangan dan masyarakat pengguna jasa keuangan.

Penanggung sebagai konsumen di sektor jasa keuangan merupakan pihak yang menempatkan dananya dan/ atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan, dalam hal ini pemegang polis pada Peransuransian yang dalam kasus ini mengalami kerugian karena pihak perusahaan asuransi (in casu PT Asuransi Astra Buana) selaku penanggung tidak mau membayar penggantian atas klaim objek asuransi milik tertanggung (in casu Ibu Emeliana).

Karenanya, konsumen sudah seyogyanya mendapatkan perlindungan hukum atas kedudukannya sebagai pemegang polis asuransi atas objek asuransi yang sah sebagaimana telah diatur dalam perjanjian polis asuransi antara PT Asuransi Astra Buana dengan Ibu Emeliana yang persetujuan sebagaimana undang � undang dan seharusnya dipatuhi oleh kedua belah pihak yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata).

Menurut Ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan mengatur bahwa perlindungan konsumen dan masyarakat adalah upaya untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman atas produk dan/atau layanan PUJK yang akan digunakan atau dimanfaatkan oleh Konsumen dan/atau masyarakat, dan upaya memberikan kepastian hukum untuk melindungi Konsumen dalam pemenuhan hak dan kewajiban Konsumen di sektor jasa keuangan (Anggitafani, 2021).

Perlindungan Konsumen di sektor jasa keuangan bertujuan menciptakan sistem perlindungan Konsumen yang andal, meningkatkan pemberdayaan Konsumen, dan menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya Perlindungan Konsumen dan Masyarakat.

Perlindungan Konsumen di sektor jasa keuangan dalam hal pengajuan klaim asuransi atas objek asuransi yang sah sesuai dengan kesepakatan atas perjanjian polis asuransi, berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah Pasal 40 ayat (1) bahwa perusahaan asuransi wajib menyelesaikan pembayaran klaim sesuai jangka waktu pembayaran klaim atau manfaat yang ditetapkan dalam polis asuransi atau paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak adanya kesepakatan antara pemegang polis, tertanggung, atau peserta dengan Perusahaan Asuransi atau kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar, mana yang lebih singkat.

Dalam hal perusahaan asuransi diwajibkan membayar klaim berdasarkan putusan lembaga alternatif penyelesaian sengketa terkait, Perusahaan atau Unit Syariah pada Perusahaan wajib membayar klaim tersebut paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak putusan ditetapkan atau ditetapkan lain dalam putusan lembaga alternatif penyelesaian sengketa terkait. Dalam hal proses penyelesaian klaim telah dilimpahkan kepada pengadilan, Perusahaan atau Unit Syariah wajib membayar klaim paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah adanya putusan pembayaran klaim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) atau ditetapkan lain dalam putusan pengadilan.

Upaya dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen, dalam Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) mengatur ketentuan yang bertujuan untuk melindungi konsumen, diantaranya dalam Buku III, Bab V, Bagian II yang dimulai dari Pasal 1365 Kitab Undang � undang Hukum Perdata. Sedangkan dalam Kitab Undang- undang Hukum Dagang (KUHD), diatur mengenai perlindungan bagi pihak ketiga.

Ketentuan pada Undang � Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang perilaku pelaku usaha. Hal ini dapat dipahami, karena kerugian yang diderita oleh konsumen seringkali akibat dari pelaku usaha, sehingga perilaku pelaku usaha ini perlu diatur dan bagi para pelanggar dikenakan sanksi yang setimpal Esensi dari undang-undang ini adalah mengatur perilaku pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen terlindungi secara hukum.

Mengenai Perlindungan Konsumen, diartikan dengan cukupan yang luas, berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang � Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen, disebutkan bahwa �Perlindungan konsumen adalah �segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen�. Pengertian konsumen diatur dalam pasal 13 Undang � undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu, �Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan�.

Undang � Undang Perlindungan Konsumen tidak hanya mencantumkan hak- hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen, melainkan juga hak-hak dan kewajiban- kewajiban dari pelaku usaha. bahwa hak yang diberikan kepada konsumen yang diatur dalam Pasal 4 hak pelaku usaha dimuat dalam Pasal 6 dan kewajiban pelaku usaha Pasal 7 dan kewajiban konsumen yang termuat dalam Pasal 5.

Apabila dihubungkan dengan perjanjian asuransi, maka hak pemegang polis atau tertanggung sebagai konsumen bahwa antara lain, yaitu:

A.  Pasal 4 dapat dijadikan sebagai acuan, yaitu:

1.    Hak untuk memilih jenis asuransi yang ditawarkan

2.    Hak atas informasi yang benar,jelas dan jujur mengenai manfat dan jaminan asuransi;

3.    Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas jasa dan pelayanan petugas asuransi;

4.    Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen jika terjadi sengketa;

5.    Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

6.    Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya

B.  Mengenai kewajiban Tertanggung, Pasal 5:

1.    Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur yang ditetapkan oleh perusahaan asuransi.

2.    Beritikad baik dalam melakukan transaksi atau menutup perjanjian asuransi;

3.    Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4.    Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

C.  Mengenai Pelaku Usaha, dalam hal ini yakni Perusahaan Asuransi, Pasal 6:

1.    hak menerima pembayaran premi yang sesuai dengan kesepakatan

2.    hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen atau tertanggung yang beritikad tidak baik;

3.    hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4.    hak untuk merehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh jasa yang diperdagangkan;

D.  Kewajiban Pelaku Usaha, dalam hal ini yakni Perusahaan Asuransi, Pasal 6:

1.    Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2.    Memberikan informasi yang benar,jelas,dan jujur mengenai manfaat dan jaminan dari asuransi yang ditawarkan.

3.    Memperlakukan dan melayani konsumen dengan jujur dan tidak diskriminatif. memberikan kompensasi,ganti rugi, atau penggantian atas kerugian yang diderita konsumen.

Undang-Undang Perlindungan konsumen selain mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha, juga mengatur perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha yang dapat menjadi acuan bagi perusahaan asuransi, antara lain:

1)   Memperdagangkan jasa asuransi yang tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratakan dan ketentuan peraturan perundangundangan, yaitu yang tidak sesuai dengan yang diatur dalam Kitab Undang � undang Hukum Perdata, Kitab Undang � undang Hukum Dagang, Undang-Undang Usaha Perasuransian;

2)   Memperdagangkan jasa asuransi yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam keterangan, iklan dan promosi;

3)   Menawarkan, mempromosikan, mengiklankan asuransi yang tidak benar

4)   Menawarkan, mempromosikan, mengiklankan asuransi yang menyesatkan.

5)   Menawarkan jasa asuransi dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen;

6)   Memproduksi iklan yang mengelabui konsumen.

Undang-undang Perlindungan Konsumen juga mengatur tanggung jawab pelaku usaha pada Pasal 19. Berdasarkan ketentuan Pasal 19 tersebut, maka perusahaan asuransi bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita pemegang polis. Namun hal ini tidak berlaku apabila perusahaan asuransi dapat membuktikan bahwa kerugian yang diderita oleh pemegang polis merupakan kesalahan dari pemegang polis itu sendiri (Setiyawan, 2013).

Pasal 23 merupakan salah satu pasal yang tampaknya dimasukan secara spesifik, khusus mengatur hak konsumen untuk menggugat pelaku usaha yang menolak, dan/atau tidak memberi tanggapan, dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, baik melalui badan penyelesaian sengketa konsumen maupun dengan mengajukannya ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

3.    Penyelesaian Sengketa Klaim Asuransi yang dapat dilakukan oleh Konsumen selaku Pemegang Polis Asuransi

Dalam hal konsumen di sektor jasa keuangan, in casu penanggung yang mengalami kerugian karena perusahaan asuransi selaku penanggung tidak mau membayar atas klaim asuransi dari objek yang telah diasuransikan secara sah sesuai dengan perjanjian polis asuransi mengatur bahwa dapat diupayakan penyelesaian sengketa yang dapat diajukan melalui litigasi atau non litigasi (alternatif penyelesaian sengketa).

Penyelesaian sengketa merupakan salah satu prinsip dari perlindungan konsumen dan masyarakat di Sektor Jasa Keuangan berdasarkan Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.

Dalam hal layanan pengadian konsumen oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan tidak tercapai kesepakatan, Konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan di luar pengadilan dilakukan melalui satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa Sektor Jasa Keuangan (Kristipabawni, 2018).

Mekanisme penyelesaian Pengaduan di sektor jasa keuangan ditempuh melalui 2 (dua) tahapan yaitu penyelesaian Pengaduan yang dilakukan oleh Lembaga Jasa Keuangan (Internal Dispute Resolution) dan penyelesaian Sengketa melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan (External Dispute Resolution). Penyelesaian Pengaduan oleh Lembaga Jasa Keuangan dilakukan berdasarkan azas musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam penyelesaian Pengaduan tidak selalu tercapai kesepakatan antara Konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan. Dalam rangka melindungi Konsumen, diperlukan adanya suatu mekanisme penyelesaian Sengketa antara Konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan di eksternal Lembaga Jasa Keuangan melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan (Rahmawati & Mantili, 2016).

Penyelesaian Sengketa melalui lembaga di luar peradilan dapat dilakukan oleh Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sejalan dengan karakteristik dan perkembangan di sektor jasa keuangan yang senantiasa cepat, dinamis, dan penuh inovasi, maka Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar peradilan memerlukan prosedur yang cepat, berbiaya murah, dengan hasil yang obyektif, relevan, dan adil. Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa bersifat rahasia sehingga masing-masing pihak yang bersengketa lebih nyaman dalam melakukan proses penyelesaian Sengketa, dan tidak memerlukan waktu yang lama karena didesain dengan menghindari kelambatan prosedural dan administratif.

Selain itu, penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dilakukan oleh orang-orang yang memang memiliki keahlian sesuai dengan jenis Sengketa, sehingga dapat menghasilkan putusan yang obyektif dan relevan. Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan peraturan mengenai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan. Dalam melakukan fungsinya, Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa memenuhi beberapa prinsip yaitu aksesibilitas, independensi, keadilan, dan efisiensi dan efektifitas (Habibah & Hamzah, 2021).

Agar Konsumen dan Lembaga Jasa Keuangan memperoleh tempat penyelesaian Sengketa yang memenuhi prinsip-prinsip tersebut di atas, OJK menetapkan Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan. Dalam rangka menerapkan prinsip aksesibilitas, Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa mengembangkan strategi komunikasi. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan akses Konsumen terhadap layanan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dan meningkatkan pemahaman Konsumen terhadap proses penyelesaian Sengketa alternatif.

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa bersifat independen dalam artian tidak memiliki ketergantungan kepada Lembaga Jasa Keuangan tertentu. Mediator, ajudikator, dan arbiter Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa bersifat adil dalam menjalankan tugasnya, yaitu mediator benar-benar bertindak sebagai fasilitator demi tercapainya kesepakatan penyelesaian dan kewajiban bagi ajudikator dan arbiter untuk memberikan alasan tertulis dalam setiap putusannya. Dengan tersedianya mekanisme penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menerapkan prinsip-prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, dan efisiensi dan efektifitas, rangkaian sistem perlindungan Konsumen akan meningkatkan kepercayaan Konsumen kepada Lembaga Jasa Keuangan dan membawa dampak positif bagi perkembangan industri jasa keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.

Penanggung wajib menyelesaikan klaim yang diminta oleh tertanggung dengan syarat yang tertera di dalam polis asuransi. Ketentuan mengenai penyelesaian klaim diatur dalam Pasal 26 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang menyatakan bahwa: �perusahaan perasuransian wajib memenuhi standar perilaku usaha yang mencakup ketentuan mengenai: penyelesaian klaim�. Penanggung juga wajib menangani klaim dan keluhan tertanggung melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil serta dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 ayat (3) dan ayat (4) UU Perasuransian.

Tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim antara lain:

a)    Memperpanjang proses penyelesaian klaim dengan meminta penyerahan dokumen tertentu, yang kemudian diikuti dengan meminta penyerahan dokumen lain yang pada dasarnya berisi hal yang sama;

b)   Menunda penyelesaian dan pembayaran klaim karena menunggu penyelesaian dan / atau pembayaran klaim reasuransinya;

c)    Tidak meLakukan penyelesaian klaim yang merupakan bagran dari penutupan asuransi karena alasan adanya keterkaitan dengan penyelesaian klaim yang merupakan bagian lain dari penutupan asuransi dalam 1 (satu) polis yang sama;

d)   Memperlambat penunjukan perusahaan penilai kerugian asuransi, apabila jasa penilai kerugian asuransi dibutuhkan dalam proses penyelesaian klaim; dan

e)    Menerapkan prosedur penyelesaian klaim yang tidak sesuai dengan praktik usaha asuransi yang berlaku umum

Berkaitan dengan ketentuan penyelesaian sengketa klaim asuransi yang diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa apabila pelaku usaha menolak atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau dengan cara mengajukan gugatan ke badan peradilan. Dengan demikian penyelesaian sengketa klaim asuransi dapat dilakukan melalui peradilan dan di luar peradilan.

Penyelesaian sengketa di luar peradilan, selain melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, khusus untuk sengketa klaim asuransi telah dibentuk Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). Salah satu indikatornya adalah kasus sengketa klaim asuransi yang masuk ke Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) Sengketa klaim asuransi jiwa didominasi klaim asuransi jiwa. Menurut Ketut Sendra Sekretaris dan Mediator BMAI penurunan angka pengaduan yang masuk ke BMAI terjadi karena perusahaan asuransi terus meningkatkan kualitas pelayanan kepada pemegang polis. Di antaranya, dengan cara meningkatkan pengetahuan para agen asuransi.

Pasal 54 (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen besifat final dan mengikat. Walaupun demikian, para pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri untuk diputus.

Pada prinsipnya hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha termasuk hubungan hukum antara pemegang polis sebagai tertanggung dan perusahaan suransi sebagai penanggung adalah hubungan hukum keperdataan. Hal ini berarti setiap perselisihan yang menerbitkan kerugian harus diselesaikan secara perdata. Namun Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengenakan sanksi pidana bagi pelanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Hal ini dipertegas dengan rumusan Pasal Pasal 45 ayat (3) yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang � undangan yang berlaku.

Kesimpulan

1.    Perlindungan yang dapat diberikan bagi konsumen selaku pemegang polis asuransi diatur dalam beberapa peraturan perundang�undangan, diantaranya KUHPerdata, Undang�Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang�Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang usaha Peransuransian. Bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada Ibu Emeliana Sitepu sebagai konsumen sekaligus pemegang polis asuransi PT Asuransi Astra Buana (Asuransi Astra) sebagai pelaku usaha, dalam hal ini karena pelaku usaha tidak beritikad baik dalam menyelesaikan klaim Asuransi. Peraturan Perundang � undangan mengatur perlindungan bagi Ibu Emeliana sebagai konsumen berhak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen jasa asuransi atas terjadinya sengketa; mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; adanya tanggung jawab yang dibebankan kepada pelaku usaha yakni PT Asuransi Astra Buana (Asuransi Astra); serta berhak untuk menggugat pelaku usaha yang menolak, dan/ atau tidak memberi tanggapan, dan/ atau tidak memenuho ganti rugi atas tuntutan konsumen baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen maupun dengan mengajukannya ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Hal demikian sebagai wujud dari kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

2.    Penyelesaian sengketa klaim asuransi diatur dalam Undang � undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Usaha Peransuransian pada Pasal 26, Pasal 31 ayat (3), Pasal 31 ayat (4), serta pada penjelasan Pasal 31 ayat (4) bahwa Perusahaan Peransuransian berkewajiban untuk menangani klaim dan keluhan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil, serta dilarang melakukan perusahaan reasuransi syariah dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim. Selain itu, pada Undang � undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa apabila konsumen dirugikan oleh pelaku usaha, konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau dengan cara mengajukan gugatan ke badan peradilan. Dengan demikian penyelesaian sengketa klaim asuransi dapat dilakukan melalui peradilan dan di luar peradilan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adelia, Yoana. (2018). Tanggung Jawab PT. Jasa Raharja Dalam Membayarkan Ganti Rugi Atas Asuransi Terhadap Ahli Waris Ditinjau Dari Undang-undang No. 34 Tahun 1964 Tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Di Pekanbaru. Universitas Islam Riau.

 

Afrianty, Nonie, Isnaini, Desi, & Oktarina, Amimah. (2020). Lembaga Keuangan Syariah. Zigie Utama.

 

Anggitafani, Rachma Fadila. (2021). Perlindungan hukum data pribadi peminjam pinjaman online perspektif POJK No. 1/POJK. 07/2013 tentang perlindungan konsumen sektor keuangan dan aspek kemaslahatan. Journal of Islamic Business Law, 5(2), 55�72.

 

Fitrah, Muh. (2018). Metodologi penelitian: penelitian kualitatif, tindakan kelas & studi kasus. CV Jejak (Jejak Publisher).

 

Habeahan, Besty. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Asuransi Atas Kepailitan Perusahaan Asuransi.

 

Habibah, Pitriya Nur, & Hamzah, Devi Siti. (2021). Upaya Penanganan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Terhadap Otoritas Jasa Keuangan, Pitriya Nur Habibah dan Devi Siti Hamzah Marpaung. Jurnal Panorama Hukum, 6(1), 49�60.

 

Handayani, D. R. Tri Astuti. (2016). Mewujudkan Keadilan Gender Melalui Perlindungan Hukum terhadap Perempuan. RECHTSTAAT NIEUW, 1(01).

 

Jafar, Ahmad Ridha. (2019). Fungsi Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Terkait Perlindungan Konsumen Pada Layanan Peer To Peer Landing Fintech. Ahkam: Jurnal Hukum Islam, 7(2), 215�234.

 

Kristipabawni, Trinovita. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Penyelesaian Sengketa Perbnkan Melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Badamai Law Journal, 3(2), 283�301.

 

Marliza, Erma Noor, & Prasetiono, Prasetiono. (2014). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kondisi Financial Distress Perusahaan Asuransi (Studi Pada Perusahaan Asuransi Umum Yang Terdaftar Di Direktori Perasuransian Indonesia Tahun 2008-2012). Fakultas Ekonomika dan Bisnis.

 

Marzuki, Peter Mahmud. (2013). Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Mertokusumo, Sudikno.

 

Putri, Silmi Sudrajat. (2023). Perlindungan Hukum Terhadap Debitor Meninggal Dunia Dengan Adanya Asuransi Atas Peminjaman Dengan Agunan Surat Keputusan Pensiun Pegawai Negeri Sipil Di Bank Bni Jalan Perintis Kemerdekaan Kota Bandung Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 . Fakultas Hukum Universitas Pasundan.

 

Rahmawati, Ema, & Mantili, Rai. (2016). Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law), 3(2), 240�260.

 

Rastuti, Tuti. (2016). Aspek Hukum perjanjian asuransi. MediaPressindo.

 

Setiyawan, Didik. (2013). Tanggung Jawab Perusahaan Asuransi Jiwa Atas Kerugian yang Diderita Pemegang Polis Karena Kesalahan Agen (Studi di Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Cabang Malang Celaket). Brawijaya University.

 

Tampubolon, Wahyu Simon. (2016). Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Ditinjau Dari Undang Undang Perlindungan Konsumen. Jurnal Ilmiah Advokasi, 4(1), 53�61.

 

Copyright holder:

Raras Ayundhani (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: