Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
TINDAK
PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK MELALUI MECHAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM JINAYAH
DAN HUKUM POSITIF (ANALISIS PUTUSAN No.182/Pid.Sus/2021/Pn
Mdn)
Ahmad
Zahid Harahap, Muhammad Yadi Harahap
Universitas Islam Negeri Sumatra Utara, Medan, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Kejahatan
terhadap anak adalah fenomena yang semakin marak terjadi masa kini. Salah satu
aksi kejahatan tersebut ialah bujuk rayu persetubuhan terhadap anak. Yang
melatar belakangi penelitian ini ialah sebab banyaknya jumlah tindakan bujuk
rayu persetubuhan yang terjadi pada anak. Hal ini akan mengontaminasi kaum
remaja baik sebagai pelaku atau korban dalam konteks seksualitas. Penelitian
ini bertujuan untuk meninjau pandangan hukum jinayah dan hukum positif terhadap
fenomena tindak pidana bujuk rayu persetubuhan terhadap anak. Untuk menggapai
tujuan tersebut metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridif normatif.
Hasil penelitian tindak pidana bujuk rayu persetubuhan terhadap anak dalam
hukum positif diatur dalam pasal 81 Undang-Undang no. 35 tahun 2014 yang
berkesimpulan pelaku dikenakan pidana penjara dan denda, sedangkan dalam
tinjauan hukum pidana islam akan dikenakan hukuman had.
Kata
Kunci: Persetubuhan Anak; Pidana; Pidana Islam
Abstract
Crime against children is a
phenomenon that is increasingly happening today. One of these crimes is the
persuasion of sexual intercourse with children. The background of this research
is because of the large number of acts of seduction that occur in children.
This will contaminate youth either as perpetrators or victims in the context of
sexuality. This study aims to review the views of positive law and Islamic
criminal law on the phenomenon of the criminal act of persuading intercourse
against children. To achieve this goal the research method used is normative
juridical method. The results of research on the criminal act of persuading
intercourse against children in positive law are regulated in article 81 of Law
no. 35 of 2014 which concludes that the perpetrators are subject to
imprisonment and fines, while in the review of Islamic criminal law they will
be subject to �had penalties� and �takzir penalties�.
Keywords:
Child Intercourse; Criminal; Islamic Crime.
Pendahuluan
Seiring
dengan perkembangan globalisasi di era modern, sosial media hadir untuk
mempermudah setiap orang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Namun kehadiran
sosial media seolah 2 sisi mata uang yang membawa dilema. Disatu sisi kita
dapat mempermudah akses pekerjaan kita, namun disisi lain kita juga dapat
melihat celah penyalah gunaan sosial media yang membekaskan dampak negative.
Aplikasi sosial media yang saat ini sedang ramai adalah aplikasi Mechat.
Aplikasi mechat memiliki kesitimewaan tersendiri, yaitu memiliki fitur �temukan
orang disekitar anda�. Dengan fitur ini, kita dapat berjanjian ketemuan, dapat
mengetahui posisi keberadaan orang yang awalnya tidak kita kenal. Situasi
inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana untuk melakukan modus
operandi-nya dalam melakukan kejahatan, terkhusus kejahatan seksual kepada
anak
Catatan
data Sistem Informasi Online dan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (Simfoni Kemen PPA) menunjukkan jumlah kekerasan anak di 2022
mencapai 16.106 kasus. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan
dengan 2019 yakni 6.454 kasus, 2020 tercatat 6.980 kasus, 2021 dilaporkan 8.703
kasus. Dari
sejumlah kasus tersebut, jenis kekerasan yang paling banyak terjadi adalah
kekerasan seksual yaitu 9.588 anak menjadi korban pada 2022. Peningkatan jumlah
kasus yang dilaporkan itu, juga dipicu dengan semakin terbuka dan beraninya
masyarakat melaporkan kasus kekerasan seksual dan kekerasan pada anak. Wakil
Ketua MPR Ri, Lestari Moerdijat mengatakan bahwa, "Peningkatan signifikan
kasus kekerasan seksual terhadap anak harus menjadi perhatian semua pihak,
untuk menjamin tumbuh kembang yang lebih baik bagi generasi penerus dalam
proses membangun anak bangsa yang sehat dan tangguh di masa depan."
Tabel 1
Keadaan Perkara Tingkat Pertama Pidana Anak Pada Pengadilan Negeri
Medan
Sumber: www.pn-medankota.go.id/,
Januari 2021
Perkara
tingkat pertama pada tindak pidana anak di Pengadilan Negeri Medan pada tahun
2021 berjumlah 79 perkara yang masuk, dan seluruhnya diselesaikan pada tahun
2021.
Tabel 2
Keadaan Perkara Tingkat Pertama Pidana Anak Pada Pengadilan Negeri
Medan
Sumber: www.pn-medankota.go.id/,
Januari 2022
Perkara
tingkat pertama pada tindak pidana anak di Pengadilan Negeri Medan pada tahun
2022 berjumlah 92 perkara yang masuk, dan seluruhnya diselesaikan pada tahun
2022.
Bedasarkan
data diatas, bahwa perkara tingkat pertama pada tindak pidana anak di
Pengadilan Negeri Medan pada tahun 2021-2022 mengalami kenaikan yang cukup
signifikan. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti salah satu dari berkas
putusan Pengadilan Negeri Medan yaitu Tindak pidana Persetubuhan terhadap anak
melalui Mechat berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn,
Ringaksan dari kasus ini adalah korban berkenalan
dengan pelaku melalui mechat dan akhirnya berpacaran pada September 2019.
Pelaku mengaku bahwa dirinya lajang dan belum menikah. Namun ternyata pelaku
sudah menikah dan telah dikarunian dengan seorang anak. Kemudia pelaku mengajak
jalan dengan korban. Akan tetapi pelaku malah membawa korban ke rumah pelaku
yang mana kondisinya saat itu sedang kosong. Kemudia pelaku membujuk korban
anak untuk melakukan persetubuhan. Namun korban anak awalnya menolak. Akan
tetapi pelaku membujuk korban anak dengan berjanji akan menikahinya dan akan
bertanggung jawab sepenuhnya. Diketahui bahwa kegiatan persetubuhan itu terjadi
lebih dari sekali. Hingga akhirnya berdasarkan Visum Et Repertum Hasik No.
R/53/VER OB/V2020/RS. Bhayangkara yang dikeluarkan di Rumah Sakit Bhayangkara
pada tanggal 20 Mei 2020, diagnosa Dr RAHAMANITA SINAGA menyatakan 'Selaput
dara tidak utuh +. HAMIL". Kemudian orang tua dari korban anak meminta
pertanggung jawaban dari pelaku. Akan tetapi pelaku ternyata tidak mampu
mempertanggung jawabkan perbuatannya, hingga akhirnya pihak keluarga melaporkan
kepada pihak berwajib.
Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut dituntut
dengan pasal Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 "dengan
sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk Anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain".
Tujuan Penelitian ini
untuk mengetahui hukuman atas kejahatan pidana bujuk rayu persetubuhan pada
anak dalam pandangan jinayah dan hukum positif.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah yuridis normatif, yakni sebuat penelitian yang mendasarkan penelitiannya
kepada sebuah kaidah-kaidah hukum yang apa adanya. Kemudian pendekatakan
yuridis ialah suatu penelitian yang bersandarkan kepada hukum dan aturan
perundang-undangan yang bersangkutan pada masalah yang diangkat dan yang
berlaku saat ini.
Pendekatan masalah yang digunakan pada penelitian ini
adalah pendekatan Statute Approach (pendekatan perundangan-undangan) dan
Connceptial Approach (pendekatan konseptual). Statute Approach
(pendekatan perundangan-undangan) dilakukan dengan cara mendiagnosis peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan pada permasalahan yang diangkat pada
penelitian ini. Disisi lain, Case Approach (pendekatan kasus) pendekatan
yang dilakukan dengan menelaah kasus yang telah memiliki ketetapan hukum dari
putusan pengadilan.
Bahan penyusunan penelitian ini didapatkan dari
penelitian perpustakaan (Library Research). Penelitian perpustakaan ialah langkah
seorang peneliti yang menggunakan buku-buku, laporan-laporan, catatan-catata
yang mengarah kepada yang diteliti
Adapun teknik dalam pengumpulan bahan penelitian ini
menggunakan metode deskriptif, yakni menggunakan penjabaran beberapa buku serta
aturan perundang-undangan yang selaras dengan permasalahan yang diteliti.
Metode deskriptif menjadi pilihan dalam penulisan penelitian ini, yakni dengan
menyusun bahan-bahan hukum yang telah ditentukan secara terstruktur sehingga
menghasilkan karya ilmiah.
Hasil
Penelitian Dan Pembahasan
A. Tindak
Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Perspektif Jinayah
1. Pengertian
Tidak Pidana Persprektif Jinayah
Memahami
pengertian tindak pidana dalam kacamata hukum islam terdapat beberapa
pengistilahan untuk menjelaskannya, yakni jinayah dan jarimah. Pengistilahan
"jinayah" berasal dari bahasa arab yang maknanaya adalah tindakan
dosa.
Pandangan
tentang jinayah menurut salah satu pakar Fiqih jinayah, yaitu Al-Jurjani dalam
kitab Al-tarifat adalah:
كل
في علينا محظور
يتضمن ضررا على
النفس أو غيرها
Artinya: "Setiap perbuatan yang status hukumnya terlarang melekan kepadanya mudhorat baik terhadap nyawaw ataupun
yang bukan nyawa".
Makna
yang terkandung diatas, jinayah ialah segala perbuatan yang Allah larang baik
itu ganjarannya adalah qishos, hudud,ataupun diyat.
2. Persetubuhan
Perspektif Hukum Jinayah
Zina
dalam hukum pidana Islam dengan hukum positif diindonesia adalah berbeda. Dalam
hukum Islam setiap hubungan badan yang tidak diikat dengan ikatan nikah, adalah
zina. Pengertian zina secara umum adalah persetubuhan yang dilakukan oleh
seorang pria dengan seorang wanita yang tidak memiliki ikatan pernikahan
الزنا خطيئة
كبيرة ، وتلزم
عوقب كان. أن الزنا
الذي يجلب عقوبة
الحد هو إدخال
الحسنة من الأعضاء
التناسلية الذكرية
في حفرة الأعضاء
التناسلية الأنثوية
Artinya:
"Salah satu diantara dosa-dosa besar adalah zina, maka diwajibkan
ditegakkan hukuman had. Bahwa zina yang mendatangkan hukuman had tersebut
adalah memasukkan (minimal kepala) zakar pria ke dalam kelamin perempuan.�
Hubungan seksual adalah tindakan alamiah yang dapat
memiliki nilai positif atau negatif tergantung pada bagaimana hal itu dilakukan
sesuai dengan norma-norma masyarakat
Didalam
hukum pidana Islam terdapat tinjauan dari sisi pelaku dalam tindak pidana
persetubuhan, yakni pelaku Ghairu Muhshan dengan Muhshan:
a.
Perbuatan zina pelaku muhshan
Pengertian
dari perbuatan zina pelaku muhshan ialah perbuatan zina yang dilakukan
oleh seseorang yang telah berumahtangga secara sah (istri/suami) atau sudah
pernah menikah (janda/duda)
b.
Perbuatan zina pelaku Ghairu Muhshan
Pengertian
perbuatan zina pelaku Ghairu Muhshani adalah perbuatan zina yang
dilakukan oleh seseorang yang belum pernah menikah (perjaka/perawan)
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا
كُلَّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا مِائَةَ
جَلْدَةٍ ۖ وَلَا
تَأْخُذْكُمْ
بِهِمَا رَأْفَةٌ
فِي دِينِ اللَّهِ
إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
�وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ
عَذَابَهُمَا
طَائِفَةٌ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
�Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah mereka
masing-masing dengan seratus cambukan, dan janganlah ada sesuatupun yang
menghalangi kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah
dan akhirat. Eksekusinya disaksikan oleh sekelompok orang percaya�. (Q.S
An-Nur:2)
Keintiman
seksual adalah dosa yang melanggar hukum yang digariskan dalam Alquran dan
Hadits. Para fuqaha tidak menentukan dengan tepat apa yang terjadi pada periode
waktu tertentu atau jenis pelanggaran, meskipun diketahui adanya pelanggaran
"pengulangan kejahatan", yang rinciannya mungkin telah ditentukan
oleh negara-bangsa.
3. Anak
Dalam Pandangan Hukum Jinayah
Didalam
perspektif Islam yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang telah berusia
7 tahun dan belum mencapai baligh, sedangkan ulama berpendapat, bahwa manusia
umumnya dapat mencapai baligh di usia 15 tahun-an
Sesuai
dengan hukum Islam, status masing-masing anak tidak disebutkan secara khusus
dalam Al-Qur'an, karena mungkin tidak ada ayat khusus yang membahas hal ini.
Prinsip yang secara tegas dinyatakan adalah bahwa anak harus diasuh, dididik,
dan dibimbing sampai disapih atau dinikahkan. Sebagian ulama seperti Mazhab
Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa jika seorang anak atau orang dewasa telah
mencapai usia 15 tahun, khususnya anak atau orang dewasa yang sudah baligh
(yaitu telah mencapai usia 15 tahun dan mulai haid) dan seseorang yang sudah
mulai mengalami masa tua (yakni telah berusia di atas 50 tahun), maka keduanya
dianggap telah mencapai baligh. Imam Syafi�i dan Hanbali berbeda pendapat
tentang masalah hukum Islam, tetapi argumen mereka didasarkan pada
sumber-sumber Islam yang mapan. Dan Imam al-Syafi�I berpendapat bahwa dia (ibnu
Umar) tidak diberi izin oleh Rasul� untuk
ikut serta dalam perang Uhud karena baru berusia empat belas tahun, tetapi
mengizinkannya melakukannya setelah satu tahun kontemplasi. Di sisi lain,
Al-Hanbali mengatakan bahwa Nabi harus selalu dipatuhi, berapa pun usianya.
Adapun
para Fuqahah mengklasifikasikan anak menjadi bermacam-macam berdasarkan
usianya, yakni:
a.
Fase manusia tidak memiliki kapasitas
berfikir. Difase ini manusia berada di usia 0 sampai 7 tahun. Jika anak
bertindak pidana di fase ini, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana.
b.
Fase manusia berfikir dengan kapasitas
rendah. Difase ini manusia berapa di usia 7 sampai 15 tahun. Difase ini, jika
anak melalukan perbuatan pidana, Sanksi yang diberikan kepada anak ialah berupa
hukuman yang bersifat mendidik, bukan hukuman pidana.
c.
Fase manusia berfikir matang. Pada fase
ini manusia berapa di usia 15 sampai 18 tahun. Jika di fasae ini manusia
melakukan tindak pidana, maka perbuatan tersebut dapan dimintai pertanggung
jawaban pidana atas perbuatan pidananya.
4. Pandangan
Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Bujuk Rayu Persetubuhan Terhadap Anak
Melalui Mechat (Putusan No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn)
Untuk
menyatakan suatu perbuatan adalah perbuatan jarimah, maka perbuatan tersebut
harus memenuhi unsur jarimah dalam hukum Jinayah. Secara umum, unsur-unsur
jarimah dalam perspektif Jinayah dibagi kepada 3 yaitu:
a.
Unsur Formil (العناصر
الشكلية)
Unsur
Formil dalam pandangan hukum pidana islam ialah seorang yang berbuat kejahatan
dapat dikatakan melakukan tindak pidana (jarimah) apabila telah ada
undang-undang yang secara tertulis melarangnya dan memberikan ganjaran terhadap
perbuatan tersebut. Tindak Pidana Persetubuhan (zina) telah Allah atur didalam
surah An-Nur ayat (2). Maka Tindak Pidana Bujuk Rayu Persetubuhan Terhadap Anak
Melalui Mechat (Putusan No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn) telah memenuhi unsur formil
jarimah.
b.
Unsur Materil (العناصر
المادية)
Unsur
materil dalam perspektif hukum pidana islam ialah seseorang dapat dinyatakan
berbuat tindak pidana (jarimah) apabila seseorang tersebut terbukti melakukan
tindak pidana (jarimah). Didalam berkas putusan No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn, pelaku
dan korban terbukti melakukan tindak pidana jarimah zina.
c.
Unsur Moril (العنصر
الأخلاقي)
Unsur
moril dalam perspektif hukum pidana islam ialah seseorang dapat dipidana
apabila seseorang tersebut tidak dalam kategori gila, anak dibawah umur, berada
dalam situasi kekangan atau paksaan. Berdasarkan kasus yang ada di Putusan No.182/Pid.Sus/2021/Pn
Mdn, yang dianggap pelaku adalah Prana Deni dan Friska Ananda Hulu adalah
korban. Akan tetapi kalau merujuk kepada Hukum Jinayah yang dianggap sebagai
pelaku tindak pidana jarimah zina adalah Prana Deni dan Friska Ananda Hulu.
Karena Unsur Moril menyatakan bahwa keduanya tidak ada dalam paksaan, tidak
kategori gila, dan kedua nya sudah dianggap dewasa. Sebagaimana Hukum Jinayah
menganggap orang yang berusia diatas 15 tahun sudah dewasa, dan Friska Ananda
Hulu sudah berusia 16 tahun, Maka Prana Deni dan Friska Ananda Hulu memenuhi
unsur Jarimah Zina.
B. Tindak
Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Perspektif UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak
1. Pengertian
Tindak Pidana
Tindak pidana adalah pemaknaan dari bahasa Belanda
yakni Strafbaar feit, yang didalam KUHP sendiri belum dijelaskan apa yang
dimaksud dengan Strafbaar feit itu sendiri. Namun Strafbaar feit jika
diterjemahkan akan didapatkan bahwa Strafbaar feit adalah:
a. Delik
b. Tindak Pidana
c. Peristiwa Pidana
d. Perbuatan Pidana.
2. Persetubuhan
Perspektif KUHP
Didalam KUHP pasal 284 menjelaskan bahwa yang
dikatakan berzina atau tindak pidana persetubuhan adalah hubungan badan atau
hubungan seksual diluar nikah yang dilakukan oleh wanita dan pria yang mana salah
satu atau kedua pihak masih dalam ikatan perkawaninan dengan pasangannya.
3. Anak
Dalam Hukum Positif
Jika merujuk pandangan yuridis, pengertian
"anak" dikacamata hukum positif ialah orang yang belum menginjak usia
dewasa, orang yang dalam keadaan dibawah usia, atau sering juga disebut dalam
usia pengawasan wali. Defenisi anak telah dicantumkan didalam KBBI dengan
penjabaran bahwa anak ialah turunan kedua adalam keluarga. Jika melirik
defenisi anak bersandarkan kepada Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak pasal 1 ayat (1), bahwa anak ialah individual yang dalam
perkara anak nakal yang mana telah mencapai usia 8 tahun akan tetapi belum
pernah menikah.
Sedangkan didalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak di Bab I (ketentuan Umum), pada ayat 1 dan ayat 2
dimaknai defenisi anak ialah seseorang yang belum menginjak usia 21 tahun dan
belum pernah menikah.
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Peradilan Anak. Menurut Pasal 1(3) Undang-Undang tersebut, anak adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun dan diduga melakukan tindak pidana. Jadi batasan usia anak adalah 12-18
tahun. Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014 mengubah UU Perlindungan Anak No. 23
Tahun 2002. Ayat 1 angka 1 mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.Menurut Undang-undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997.
Namun dalam penelitian ini, penulis mengerucutkan
defenisi anak dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Jo
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 pada pasal 1 ayat 1 bahwa usia yang
dikategorikan adalah adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah dan belum
menikah
4. Pandangan
Hukum Positif Terhadap Tindak Pidana Bujuk Rayu Persetubuhan Terhadap Anak
Melalui Mechat (Putusan No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn)
Merujuk kepada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 pasal 1
KUHAP menerangkan bahwa, hakim ialah pejabat Peradilan Negara yang diberikan
weweng oleh negara berdasarkan undang-undang untuk mengadili.
"Mengadili" pada kalimat tersebut bermakna bahwa hakim akan melakukan
serangkaian tindakan memeriksa, menerima, dan memberi putusan perkara atas
dasar kebebasan, kejujuran, dan tidak memihak, serta berjunjungkan kepada 3
asas: kesederhanaan, ringkas, dan biaya ringan.
a.
Dakwaan
Jaksa Penuntu Umum dalam perkara ini, berdasarkan putusan
182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn. Jaksa Penuntut Umum mengajukan Terdakwa Prana Deni
dengan dakwaan berbentuk alternatif, surat dakwaan dengan No.
98/Pen.Pid/Sus/2015/PN.Smg adalah sebagai berikut:
Pertama melanggar Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang RI
No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak, atau Kedua melanggar Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang
RI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang RI No. 23 tahun 2002
tentang perlindungan Anak, atau Ketiga melanggar Pasal 82 Ayat (1)
Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang RI No.
23 tahun 2002 tentang perlindungan anak;
b.
Pembuktian
Alat bukti ialah setiap yang berhubungan dengan suatu
kejadian, yang dengan alat-alat tersebut maka dapat dipergunakan untuk
menemukan titik terang guna meyakinkan hakim atas adanya kebenaran dalam suatu
hal tindak pidana.
Maka berdasarkan hal diatas, dalam Putusan
No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn, alat bukti yang diajukan adalah keterangan hasil
Visum, keterangan 3 oranng saksi, dan keterangan terdakwa Prana Deni.
c.
Penuntutan
Pada berkas Putusan No. 182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn, JPU
pada intinnya menuntut:
Menjatuhkan Pidana tehadap terdakwa PRANA DENI selama
10 (sepuluh) Tahun penjara potong masa tahanan seluruhnya dengan perintah
terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp.100.000.000,-(Seratus juta rupiah)
subsider 6 (enam) bulan penjara.
1)
Hal-Hal
Memberatkan
a) Perbuatan
terdakwa meresahkan masyarakat
b) Perbuatan
terdakwa mengakibatkan rusaknya masa depan anak korban Friska Ananda Hulu
c)
Perbuatan terdakwa mengakibatkan anak
korban Friska Ananda Hulu mengalami trauma
d) Perbuatan
terdakwa mengakibatkan anak korban Friska Ananda Hulu hamil dan saat ini sudah
melahirkan.
2)
Hal-Hal
Meringankan
a)
Terdakwa bersikap sopan saat persidangan
b)
Terdakwa menyesali perbuatan terdakwa
d.
Putusan
Berdasarkan putusan No. 182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn,
terdakwa Prana Deni terbukti melakukan tindak pidana bujuk rayu persetubuhan
pada anak. Majelis Hakim menimbang berdasarkan asalan pemberatan dan
pengringanan dan mengadili:
1) Menyatakan
terdakwa Prana Deni bersalah atas perbuatan pidanaya, yakni "membujuk rayu
untuk melakukan perbuatan persetubuhan"
2) Menetapkan
hukuman pidana kepada terdakwa atas perbuatannya tersebut dengan pidana penjara
selama 8 tahun serta denda Rp. 100.000.000, jika tidak di tunaikan pidana
kurungan selama 6 bulan.
3) seluruh
masa penangkapan dan penahanan dikurangi dari pidana yang telah dijatuhkan
kepada terdakwa
4) memerintahkan
terdakwa tetap ditahan
5) membebankan
biaya perkara sebesar Rp. 5.000 kepada terdakwa Prana Deni.
Kesimpulan
Penelitian ini menggunakan 2 sudut pandang hukum,
yakin: sudut pandang hukum positif dan sudut pandang hukum pidana Islam.
Dikarenakan sumber hukum yang digunakan oleh kedua hukum ini berbeda, maka
barang tentu terdapat perbedaan dalam memberikan kenestapaan terhadap suatu
tindak pidana. Tindak pidana bujuk rayu persetubuhan terhadap anak jika
menggunakan sudut pandang hukum positif (UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak), memberikan kenestapaan berupa pidana penjara maksimal 15
Tahun dan denda maksimal Rp.5.000.000.0000. Jika berfokus kembali kepada
Putusan No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn, Majelis hakim mengadili terdakwa dengan
menimbang alasan pemberatan dan pengringanan dengan menjatuhkan putusan kepada
terdakwa berupa Pidana penjara 8 tahun dan dengan sebesar Rp. 100.000.000.
Kemudian jika menggunakan perspektif hukum Jinayah Prana Deni dan Friska Ananda
Hulu dikenakan hukuman Had atas tindak pidana Jarimah Zina. Adapun Prana Deni
dikenakan hukuman Had Rajam. Dan hukuman bagi Friska Ananda Hulu adalah hukuman
Had cambuk 100 kali.
BIBLIOGRAFI
Amiruddin, H. Z. (2020). Pengantar Metode Penelitian
Hukum. Depok: PT Radja Grafindo.
Audah, A. Q. (n.d.). Ensiklopedia Islam.
Djamil, M. N. (2013). Anak Bukan Untuk Di Hukum. Jakarta:
Sinar Grafika.
Eleanora, F. N. (2013). Sistem Pemidanaan Terhadap Anak.
Jakarta: Jurnal Universitas MPU Tantular.
aslahah Sebagai Teori Istinbath Hukum Islam. Jurnal
Digital Isharaq, 24.
Hidayatullah, A. (2018). Persetubuhan Anak Dibawah Umur
Menurut Hukum Pidana Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Semarang
No. 10/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Smg). Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum.
Irfan, M. N. (2013). Gratifikasi &Kriminalitas Seksual
dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah.
Irfan, M. N. (2016). Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah.
Irfan, M. N. (2016). Korupsi dalam Hukum Pidana Islam.
Jakarta: Amzah.
Marzuki, P. M. (2016). Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada
Media.
Masyrofah, M. N. (2013). Fiqih Jinayah. Jakarta: Amzah.
Moerdijat, L. (2023, Januari 28). Peningkatan Kasus
Kekerasan Seksual terhadap Anak Harus Diatasi dengan Langkah Nyata .
Nashriana. (2011). Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di
Indonesia. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.
Panca Hutagalung, d. (2014). Penegakan Hukum Pidana
Terhadap Pelaku Persetubuhan Pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah
Agung Nomor: 1202 k/pid.sus/2009). USU Law Journal.
S, L. A. (2015). Komnas HAM dan Perlindungan Anak Pelaku
Tindak Pidana. Yogyakarta: CV Budi Utama.
Zulaeha. (2017). Dasar-Dasar Hukum Pidana. Yogyakarta: Dee
Publish.
Copyright
holder: Ahmad
Zahid Harahap, Muhammad Yadi Harahap (2022) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |