Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK MELALUI MECHAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM JINAYAH DAN HUKUM POSITIF (ANALISIS PUTUSAN No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn)

 

Ahmad Zahid Harahap, Muhammad Yadi Harahap

Universitas Islam Negeri Sumatra Utara, Medan, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Kejahatan terhadap anak adalah fenomena yang semakin marak terjadi masa kini. Salah satu aksi kejahatan tersebut ialah bujuk rayu persetubuhan terhadap anak. Yang melatar belakangi penelitian ini ialah sebab banyaknya jumlah tindakan bujuk rayu persetubuhan yang terjadi pada anak. Hal ini akan mengontaminasi kaum remaja baik sebagai pelaku atau korban dalam konteks seksualitas. Penelitian ini bertujuan untuk meninjau pandangan hukum jinayah dan hukum positif terhadap fenomena tindak pidana bujuk rayu persetubuhan terhadap anak. Untuk menggapai tujuan tersebut metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridif normatif. Hasil penelitian tindak pidana bujuk rayu persetubuhan terhadap anak dalam hukum positif diatur dalam pasal 81 Undang-Undang no. 35 tahun 2014 yang berkesimpulan pelaku dikenakan pidana penjara dan denda, sedangkan dalam tinjauan hukum pidana islam akan dikenakan hukuman had.

 

Kata Kunci: Persetubuhan Anak; Pidana; Pidana Islam

 

Abstract

Crime against children is a phenomenon that is increasingly happening today. One of these crimes is the persuasion of sexual intercourse with children. The background of this research is because of the large number of acts of seduction that occur in children. This will contaminate youth either as perpetrators or victims in the context of sexuality. This study aims to review the views of positive law and Islamic criminal law on the phenomenon of the criminal act of persuading intercourse against children. To achieve this goal the research method used is normative juridical method. The results of research on the criminal act of persuading intercourse against children in positive law are regulated in article 81 of Law no. 35 of 2014 which concludes that the perpetrators are subject to imprisonment and fines, while in the review of Islamic criminal law they will be subject to �had penalties� and �takzir penalties�.

 

Keywords: Child Intercourse; Criminal; Islamic Crime.

 

Pendahuluan

Seiring dengan perkembangan globalisasi di era modern, sosial media hadir untuk mempermudah setiap orang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Namun kehadiran sosial media seolah 2 sisi mata uang yang membawa dilema. Disatu sisi kita dapat mempermudah akses pekerjaan kita, namun disisi lain kita juga dapat melihat celah penyalah gunaan sosial media yang membekaskan dampak negative. Aplikasi sosial media yang saat ini sedang ramai adalah aplikasi Mechat. Aplikasi mechat memiliki kesitimewaan tersendiri, yaitu memiliki fitur �temukan orang disekitar anda�. Dengan fitur ini, kita dapat berjanjian ketemuan, dapat mengetahui posisi keberadaan orang yang awalnya tidak kita kenal. Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana untuk melakukan modus operandi-nya dalam melakukan kejahatan, terkhusus kejahatan seksual kepada anak �(Sonbai, 2019)

Catatan data Sistem Informasi Online dan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Simfoni Kemen PPA) menunjukkan jumlah kekerasan anak di 2022 mencapai 16.106 kasus. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan 2019 yakni 6.454 kasus, 2020 tercatat 6.980 kasus, 2021 dilaporkan 8.703 kasus. Dari sejumlah kasus tersebut, jenis kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual yaitu 9.588 anak menjadi korban pada 2022. Peningkatan jumlah kasus yang dilaporkan itu, juga dipicu dengan semakin terbuka dan beraninya masyarakat melaporkan kasus kekerasan seksual dan kekerasan pada anak. Wakil Ketua MPR Ri, Lestari Moerdijat mengatakan bahwa, "Peningkatan signifikan kasus kekerasan seksual terhadap anak harus menjadi perhatian semua pihak, untuk menjamin tumbuh kembang yang lebih baik bagi generasi penerus dalam proses membangun anak bangsa yang sehat dan tangguh di masa depan."�(Moerdijat, 2023)

 

Tabel 1

Keadaan Perkara Tingkat Pertama Pidana Anak Pada Pengadilan Negeri Medan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: www.pn-medankota.go.id/, Januari 2021

Perkara tingkat pertama pada tindak pidana anak di Pengadilan Negeri Medan pada tahun 2021 berjumlah 79 perkara yang masuk, dan seluruhnya diselesaikan pada tahun 2021.

 

Tabel 2

Keadaan Perkara Tingkat Pertama Pidana Anak Pada Pengadilan Negeri Medan

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: www.pn-medankota.go.id/, Januari 2022

 

Perkara tingkat pertama pada tindak pidana anak di Pengadilan Negeri Medan pada tahun 2022 berjumlah 92 perkara yang masuk, dan seluruhnya diselesaikan pada tahun 2022.

Bedasarkan data diatas, bahwa perkara tingkat pertama pada tindak pidana anak di Pengadilan Negeri Medan pada tahun 2021-2022 mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti salah satu dari berkas putusan Pengadilan Negeri Medan yaitu Tindak pidana Persetubuhan terhadap anak melalui Mechat berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn,

Ringaksan dari kasus ini adalah korban berkenalan dengan pelaku melalui mechat dan akhirnya berpacaran pada September 2019. Pelaku mengaku bahwa dirinya lajang dan belum menikah. Namun ternyata pelaku sudah menikah dan telah dikarunian dengan seorang anak. Kemudia pelaku mengajak jalan dengan korban. Akan tetapi pelaku malah membawa korban ke rumah pelaku yang mana kondisinya saat itu sedang kosong. Kemudia pelaku membujuk korban anak untuk melakukan persetubuhan. Namun korban anak awalnya menolak. Akan tetapi pelaku membujuk korban anak dengan berjanji akan menikahinya dan akan bertanggung jawab sepenuhnya. Diketahui bahwa kegiatan persetubuhan itu terjadi lebih dari sekali. Hingga akhirnya berdasarkan Visum Et Repertum Hasik No. R/53/VER OB/V2020/RS. Bhayangkara yang dikeluarkan di Rumah Sakit Bhayangkara pada tanggal 20 Mei 2020, diagnosa Dr RAHAMANITA SINAGA menyatakan 'Selaput dara tidak utuh +. HAMIL". Kemudian orang tua dari korban anak meminta pertanggung jawaban dari pelaku. Akan tetapi pelaku ternyata tidak mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya, hingga akhirnya pihak keluarga melaporkan kepada pihak berwajib.

Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut dituntut dengan pasal Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 "dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain".

Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui hukuman atas kejahatan pidana bujuk rayu persetubuhan pada anak dalam pandangan jinayah dan hukum positif.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yakni sebuat penelitian yang mendasarkan penelitiannya kepada sebuah kaidah-kaidah hukum yang apa adanya. Kemudian pendekatakan yuridis ialah suatu penelitian yang bersandarkan kepada hukum dan aturan perundang-undangan yang bersangkutan pada masalah yang diangkat dan yang berlaku saat ini.�(Amiruddin, 2020)

Pendekatan masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan Statute Approach (pendekatan perundangan-undangan) dan Connceptial Approach (pendekatan konseptual). Statute Approach (pendekatan perundangan-undangan) dilakukan dengan cara mendiagnosis peraturan perundang-undangan yang bersangkutan pada permasalahan yang diangkat pada penelitian ini. Disisi lain, Case Approach (pendekatan kasus) pendekatan yang dilakukan dengan menelaah kasus yang telah memiliki ketetapan hukum dari putusan pengadilan.�(Marzuki, 2016)

Bahan penyusunan penelitian ini didapatkan dari penelitian perpustakaan (Library Research). Penelitian perpustakaan ialah langkah seorang peneliti yang menggunakan buku-buku, laporan-laporan, catatan-catata yang mengarah kepada yang diteliti�(Nazir, 2003). Adapun bahan Library Research ini terdiri dari bahan primer dan sekunder. Bahan Primer dari penelitian ini ialah Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, sedangkan bahan sekunder nya ialah menjabaran sebagai penguat dari bahan primer, seperti bukum ilmu hukum, jurnal-jurnal hukum, insiklopedia hukum, serta pendapat cendikiawan hukum. (Nazir, 2003).

Adapun teknik dalam pengumpulan bahan penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yakni menggunakan penjabaran beberapa buku serta aturan perundang-undangan yang selaras dengan permasalahan yang diteliti. Metode deskriptif menjadi pilihan dalam penulisan penelitian ini, yakni dengan menyusun bahan-bahan hukum yang telah ditentukan secara terstruktur sehingga menghasilkan karya ilmiah.

 

Hasil Penelitian Dan Pembahasan

A.    Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Perspektif Jinayah

1.      Pengertian Tidak Pidana Persprektif Jinayah

Memahami pengertian tindak pidana dalam kacamata hukum islam terdapat beberapa pengistilahan untuk menjelaskannya, yakni jinayah dan jarimah. Pengistilahan "jinayah" berasal dari bahasa arab yang maknanaya adalah tindakan dosa.�(Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, 2016)

Pandangan tentang jinayah menurut salah satu pakar Fiqih jinayah, yaitu Al-Jurjani dalam kitab Al-tarifat adalah:

كل في علينا محظور يتضمن ضررا على النفس أو غيرها

Artinya: "Setiap perbuatan yang status hukumnya terlarang melekan kepadanya mudhorat baik terhadap nyawaw ataupun yang bukan nyawa".

Makna yang terkandung diatas, jinayah ialah segala perbuatan yang Allah larang baik itu ganjarannya adalah qishos, hudud,ataupun diyat.

2.      Persetubuhan Perspektif Hukum Jinayah

Zina dalam hukum pidana Islam dengan hukum positif diindonesia adalah berbeda. Dalam hukum Islam setiap hubungan badan yang tidak diikat dengan ikatan nikah, adalah zina. Pengertian zina secara umum adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita yang tidak memiliki ikatan pernikahan�(Al-Zuhaili, 1997). Adapun pengertian zina didalam kitab Kifayatul Akhyar karangan dari Imam Taqyyuddin Abi Bakar adalah sebagai berikut:

الزنا خطيئة كبيرة ، وتلزم عوقب كان. أن الزنا الذي يجلب عقوبة الحد هو إدخال الحسنة من الأعضاء التناسلية الذكرية في حفرة الأعضاء التناسلية الأنثوية

Artinya: "Salah satu diantara dosa-dosa besar adalah zina, maka diwajibkan ditegakkan hukuman had. Bahwa zina yang mendatangkan hukuman had tersebut adalah memasukkan (minimal kepala) zakar pria ke dalam kelamin perempuan.��(Ghufar, 1993)

Hubungan seksual adalah tindakan alamiah yang dapat memiliki nilai positif atau negatif tergantung pada bagaimana hal itu dilakukan sesuai dengan norma-norma masyarakat�(Panca Hutagalung, 2014). Perzinahan adalah kejahatan di bagi syari�at Islam, jika dapat menghadirkan 4 orang saksi maka dapat dihukum. Pendapat hukum Rabi'ah al-Mawardi berpendapat bahwa melakukan hubungan seksual dengan anak di bawah umur juga merupakan kejahatan, dan dapat dikenakan hukuman tertentu, seperti had atau tazir�(Al-Mawardi, 1973)

Didalam hukum pidana Islam terdapat tinjauan dari sisi pelaku dalam tindak pidana persetubuhan, yakni pelaku Ghairu Muhshan dengan Muhshan:

a.    Perbuatan zina pelaku muhshan

Pengertian dari perbuatan zina pelaku muhshan ialah perbuatan zina yang dilakukan oleh seseorang yang telah berumahtangga secara sah (istri/suami) atau sudah pernah menikah (janda/duda) (Masyrofah, 2013). Hukuman bagi tindak pidana zina pelaku muhshan adalah hukuman had, yakni rajam. Hukuman rajam adalah hukuman yang diberikan dengan cara pelaku di pertontonkan di khalayak ramai, kemudian dilempari dengan batu hingga tewas.

b.    Perbuatan zina pelaku Ghairu Muhshan

Pengertian perbuatan zina pelaku Ghairu Muhshani adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh seseorang yang belum pernah menikah (perjaka/perawan)�(Irfan, Gratifikasi &Kriminalitas Seksual dalam Hukum Pidana Islam, 2013). Adapaun hukuman bagi pelaku zina Ghairu Muhkasan termaktub didalam Al-Qur'an surah An-Nur ayat 2, yakni:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

�وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya: �Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah mereka masing-masing dengan seratus cambukan, dan janganlah ada sesuatupun yang menghalangi kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan akhirat. Eksekusinya disaksikan oleh sekelompok orang percaya�. (Q.S An-Nur:2)

Keintiman seksual adalah dosa yang melanggar hukum yang digariskan dalam Alquran dan Hadits. Para fuqaha tidak menentukan dengan tepat apa yang terjadi pada periode waktu tertentu atau jenis pelanggaran, meskipun diketahui adanya pelanggaran "pengulangan kejahatan", yang rinciannya mungkin telah ditentukan oleh negara-bangsa.�(Hanafi A. , 1976)

3.      Anak Dalam Pandangan Hukum Jinayah

Didalam perspektif Islam yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang telah berusia 7 tahun dan belum mencapai baligh, sedangkan ulama berpendapat, bahwa manusia umumnya dapat mencapai baligh di usia 15 tahun-an�(Hanafi A. , 1994).

Sesuai dengan hukum Islam, status masing-masing anak tidak disebutkan secara khusus dalam Al-Qur'an, karena mungkin tidak ada ayat khusus yang membahas hal ini. Prinsip yang secara tegas dinyatakan adalah bahwa anak harus diasuh, dididik, dan dibimbing sampai disapih atau dinikahkan. Sebagian ulama seperti Mazhab Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa jika seorang anak atau orang dewasa telah mencapai usia 15 tahun, khususnya anak atau orang dewasa yang sudah baligh (yaitu telah mencapai usia 15 tahun dan mulai haid) dan seseorang yang sudah mulai mengalami masa tua (yakni telah berusia di atas 50 tahun), maka keduanya dianggap telah mencapai baligh. Imam Syafi�i dan Hanbali berbeda pendapat tentang masalah hukum Islam, tetapi argumen mereka didasarkan pada sumber-sumber Islam yang mapan. Dan Imam al-Syafi�I berpendapat bahwa dia (ibnu Umar) tidak diberi izin oleh Rasul� untuk ikut serta dalam perang Uhud karena baru berusia empat belas tahun, tetapi mengizinkannya melakukannya setelah satu tahun kontemplasi. Di sisi lain, Al-Hanbali mengatakan bahwa Nabi harus selalu dipatuhi, berapa pun usianya.�(al-Sabuni, 1994)

Adapun para Fuqahah mengklasifikasikan anak menjadi bermacam-macam berdasarkan usianya, yakni:

a.    Fase manusia tidak memiliki kapasitas berfikir. Difase ini manusia berada di usia 0 sampai 7 tahun. Jika anak bertindak pidana di fase ini, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana.

b.    Fase manusia berfikir dengan kapasitas rendah. Difase ini manusia berapa di usia 7 sampai 15 tahun. Difase ini, jika anak melalukan perbuatan pidana, Sanksi yang diberikan kepada anak ialah berupa hukuman yang bersifat mendidik, bukan hukuman pidana.

c.    Fase manusia berfikir matang. Pada fase ini manusia berapa di usia 15 sampai 18 tahun. Jika di fasae ini manusia melakukan tindak pidana, maka perbuatan tersebut dapan dimintai pertanggung jawaban pidana atas perbuatan pidananya.�(Sudarsono, 1991)

4.      Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Bujuk Rayu Persetubuhan Terhadap Anak Melalui Mechat (Putusan No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn)

Untuk menyatakan suatu perbuatan adalah perbuatan jarimah, maka perbuatan tersebut harus memenuhi unsur jarimah dalam hukum Jinayah. Secara umum, unsur-unsur jarimah dalam perspektif Jinayah dibagi kepada 3 yaitu:

a.    Unsur Formil (العناصر الشكلية)

Unsur Formil dalam pandangan hukum pidana islam ialah seorang yang berbuat kejahatan dapat dikatakan melakukan tindak pidana (jarimah) apabila telah ada undang-undang yang secara tertulis melarangnya dan memberikan ganjaran terhadap perbuatan tersebut. Tindak Pidana Persetubuhan (zina) telah Allah atur didalam surah An-Nur ayat (2). Maka Tindak Pidana Bujuk Rayu Persetubuhan Terhadap Anak Melalui Mechat (Putusan No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn) telah memenuhi unsur formil jarimah.

b.    Unsur Materil (العناصر المادية)

Unsur materil dalam perspektif hukum pidana islam ialah seseorang dapat dinyatakan berbuat tindak pidana (jarimah) apabila seseorang tersebut terbukti melakukan tindak pidana (jarimah). Didalam berkas putusan No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn, pelaku dan korban terbukti melakukan tindak pidana jarimah zina.

c.    Unsur Moril (العنصر الأخلاقي)

Unsur moril dalam perspektif hukum pidana islam ialah seseorang dapat dipidana apabila seseorang tersebut tidak dalam kategori gila, anak dibawah umur, berada dalam situasi kekangan atau paksaan. Berdasarkan kasus yang ada di Putusan No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn, yang dianggap pelaku adalah Prana Deni dan Friska Ananda Hulu adalah korban. Akan tetapi kalau merujuk kepada Hukum Jinayah yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana jarimah zina adalah Prana Deni dan Friska Ananda Hulu. Karena Unsur Moril menyatakan bahwa keduanya tidak ada dalam paksaan, tidak kategori gila, dan kedua nya sudah dianggap dewasa. Sebagaimana Hukum Jinayah menganggap orang yang berusia diatas 15 tahun sudah dewasa, dan Friska Ananda Hulu sudah berusia 16 tahun, Maka Prana Deni dan Friska Ananda Hulu memenuhi unsur Jarimah Zina.

B.     Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Perspektif UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

1.      Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah pemaknaan dari bahasa Belanda yakni Strafbaar feit, yang didalam KUHP sendiri belum dijelaskan apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit itu sendiri. Namun Strafbaar feit jika diterjemahkan akan didapatkan bahwa Strafbaar feit adalah:

a. Delik

b. Tindak Pidana

c. Peristiwa Pidana

d. Perbuatan Pidana.�(Zulaeha, 2017)

2.      Persetubuhan Perspektif KUHP

Didalam KUHP pasal 284 menjelaskan bahwa yang dikatakan berzina atau tindak pidana persetubuhan adalah hubungan badan atau hubungan seksual diluar nikah yang dilakukan oleh wanita dan pria yang mana salah satu atau kedua pihak masih dalam ikatan perkawaninan dengan pasangannya.�(Djubaedah, 2010)

3.      Anak Dalam Hukum Positif

Jika merujuk pandangan yuridis, pengertian "anak" dikacamata hukum positif ialah orang yang belum menginjak usia dewasa, orang yang dalam keadaan dibawah usia, atau sering juga disebut dalam usia pengawasan wali. Defenisi anak telah dicantumkan didalam KBBI dengan penjabaran bahwa anak ialah turunan kedua adalam keluarga. Jika melirik defenisi anak bersandarkan kepada Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pasal 1 ayat (1), bahwa anak ialah individual yang dalam perkara anak nakal yang mana telah mencapai usia 8 tahun akan tetapi belum pernah menikah.

Sedangkan didalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak di Bab I (ketentuan Umum), pada ayat 1 dan ayat 2 dimaknai defenisi anak ialah seseorang yang belum menginjak usia 21 tahun dan belum pernah menikah.�(Lilik, 2005). Peradilan anak mendefinisikan anak sebagai anak di depan hukum, bermasalah, berkonflik dengan hukum, anak� saksi tindak pidana, dan anak� korban� tindak pidana.

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak. Menurut Pasal 1(3) Undang-Undang tersebut, anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan diduga melakukan tindak pidana. Jadi batasan usia anak adalah 12-18 tahun. Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014 mengubah UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002. Ayat 1 angka 1 mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.Menurut Undang-undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997.

Namun dalam penelitian ini, penulis mengerucutkan defenisi anak dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Jo Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 pada pasal 1 ayat 1 bahwa usia yang dikategorikan adalah adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah dan belum menikah�(Endang, 2000).

4.      Pandangan Hukum Positif Terhadap Tindak Pidana Bujuk Rayu Persetubuhan Terhadap Anak Melalui Mechat (Putusan No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn)

Merujuk kepada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 pasal 1 KUHAP menerangkan bahwa, hakim ialah pejabat Peradilan Negara yang diberikan weweng oleh negara berdasarkan undang-undang untuk mengadili. "Mengadili" pada kalimat tersebut bermakna bahwa hakim akan melakukan serangkaian tindakan memeriksa, menerima, dan memberi putusan perkara atas dasar kebebasan, kejujuran, dan tidak memihak, serta berjunjungkan kepada 3 asas: kesederhanaan, ringkas, dan biaya ringan.

a.       Dakwaan

Jaksa Penuntu Umum dalam perkara ini, berdasarkan putusan 182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn. Jaksa Penuntut Umum mengajukan Terdakwa Prana Deni dengan dakwaan berbentuk alternatif, surat dakwaan dengan No. 98/Pen.Pid/Sus/2015/PN.Smg adalah sebagai berikut:

Pertama melanggar Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, atau Kedua melanggar Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak, atau Ketiga melanggar Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak;

b.      Pembuktian

Alat bukti ialah setiap yang berhubungan dengan suatu kejadian, yang dengan alat-alat tersebut maka dapat dipergunakan untuk menemukan titik terang guna meyakinkan hakim atas adanya kebenaran dalam suatu hal tindak pidana.

Maka berdasarkan hal diatas, dalam Putusan No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn, alat bukti yang diajukan adalah keterangan hasil Visum, keterangan 3 oranng saksi, dan keterangan terdakwa Prana Deni.

c.       Penuntutan

Pada berkas Putusan No. 182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn, JPU pada intinnya menuntut:

Menjatuhkan Pidana tehadap terdakwa PRANA DENI selama 10 (sepuluh) Tahun penjara potong masa tahanan seluruhnya dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp.100.000.000,-(Seratus juta rupiah) subsider 6 (enam) bulan penjara.

1)      Hal-Hal Memberatkan

a)    Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat

b)   Perbuatan terdakwa mengakibatkan rusaknya masa depan anak korban Friska Ananda Hulu

c)    Perbuatan terdakwa mengakibatkan anak korban Friska Ananda Hulu mengalami trauma

d)   Perbuatan terdakwa mengakibatkan anak korban Friska Ananda Hulu hamil dan saat ini sudah melahirkan.

2)      Hal-Hal Meringankan

a)      Terdakwa bersikap sopan saat persidangan

b)      Terdakwa menyesali perbuatan terdakwa

d.      Putusan

Berdasarkan putusan No. 182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn, terdakwa Prana Deni terbukti melakukan tindak pidana bujuk rayu persetubuhan pada anak. Majelis Hakim menimbang berdasarkan asalan pemberatan dan pengringanan dan mengadili:

1)      Menyatakan terdakwa Prana Deni bersalah atas perbuatan pidanaya, yakni "membujuk rayu untuk melakukan perbuatan persetubuhan"

2)      Menetapkan hukuman pidana kepada terdakwa atas perbuatannya tersebut dengan pidana penjara selama 8 tahun serta denda Rp. 100.000.000, jika tidak di tunaikan pidana kurungan selama 6 bulan.

3)      seluruh masa penangkapan dan penahanan dikurangi dari pidana yang telah dijatuhkan kepada terdakwa

4)      memerintahkan terdakwa tetap ditahan

5)      membebankan biaya perkara sebesar Rp. 5.000 kepada terdakwa Prana Deni.

 

Kesimpulan

Penelitian ini menggunakan 2 sudut pandang hukum, yakin: sudut pandang hukum positif dan sudut pandang hukum pidana Islam. Dikarenakan sumber hukum yang digunakan oleh kedua hukum ini berbeda, maka barang tentu terdapat perbedaan dalam memberikan kenestapaan terhadap suatu tindak pidana. Tindak pidana bujuk rayu persetubuhan terhadap anak jika menggunakan sudut pandang hukum positif (UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak), memberikan kenestapaan berupa pidana penjara maksimal 15 Tahun dan denda maksimal Rp.5.000.000.0000. Jika berfokus kembali kepada Putusan No.182/Pid.Sus/2021/Pn Mdn, Majelis hakim mengadili terdakwa dengan menimbang alasan pemberatan dan pengringanan dengan menjatuhkan putusan kepada terdakwa berupa Pidana penjara 8 tahun dan dengan sebesar Rp. 100.000.000. Kemudian jika menggunakan perspektif hukum Jinayah Prana Deni dan Friska Ananda Hulu dikenakan hukuman Had atas tindak pidana Jarimah Zina. Adapun Prana Deni dikenakan hukuman Had Rajam. Dan hukuman bagi Friska Ananda Hulu adalah hukuman Had cambuk 100 kali.

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

���������������������������������������������������������������������������������������������

Amiruddin, H. Z. (2020). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Depok: PT Radja Grafindo.

 

Audah, A. Q. (n.d.). Ensiklopedia Islam.

 

Djamil, M. N. (2013). Anak Bukan Untuk Di Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

 

Eleanora, F. N. (2013). Sistem Pemidanaan Terhadap Anak. Jakarta: Jurnal Universitas MPU Tantular.

 

aslahah Sebagai Teori Istinbath Hukum Islam. Jurnal Digital Isharaq, 24.

 

Hidayatullah, A. (2018). Persetubuhan Anak Dibawah Umur Menurut Hukum Pidana Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 10/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Smg). Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum.

 

Irfan, M. N. (2013). Gratifikasi &Kriminalitas Seksual dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah.

 

Irfan, M. N. (2016). Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah.

 

Irfan, M. N. (2016). Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah.

 

Marzuki, P. M. (2016). Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media.

 

Masyrofah, M. N. (2013). Fiqih Jinayah. Jakarta: Amzah.

 

Moerdijat, L. (2023, Januari 28). Peningkatan Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak Harus Diatasi dengan Langkah Nyata .

 

Nashriana. (2011). Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.

 

Panca Hutagalung, d. (2014). Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan Pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1202 k/pid.sus/2009). USU Law Journal.

 

S, L. A. (2015). Komnas HAM dan Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana. Yogyakarta: CV Budi Utama.

 

Zulaeha. (2017). Dasar-Dasar Hukum Pidana. Yogyakarta: Dee Publish.

 

Copyright holder:

Ahmad Zahid Harahap, Muhammad Yadi Harahap (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: