Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 7, Juli 2023

 

UPAYA KERJA SAMA MULTILATERAL INDONESIA DALAM MENANGGAPI KEBIJAKAN RED II UNI EROPA

 

Deitra Aisha, Akim

Universitas Padjadjaran

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Indonesia memiliki industri perkebunan kelapa sawit terbesar dan menjadi produsen� produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Komoditas kelapa sawit yang berasal dari Indonesia diekspor hampir ke seluruh benua dengan konsumen tertingginya terdapat di benua Asia dan kawasan Uni Eropa. Uni Eropa sebagai salah satu konsumen besar kelapa sawit Indonesia pada tahun 2018 merevisi kebijakannya menjadi Renewable Energy Directive II (RED II) yang isinya menuai sentimen negatif terhadap industri kelapa sawit Indonesia. Lalu, Pemerintah Indonesia memberikan respons terhadap isu negatif tersebut melalui beberapa upaya diplomasi, seperti kerja sama multilateral. Artikel ini membahas mengenai kegiatan diplomasi perdagangan Indonesia ke Uni Eropa dengan menggunakan kerja sama multilateral. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan konsep diplomasi ekonomi Data yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, seperti studi Pustaka. Data-data tersebut dianalisis dan dibahas dengan menggunakan kerangka konsep diplomasi ekonomi untuk menjelaskan mengenai kegiatan diplomasi ekonomi yang dilakukan Indonesia ke Uni Eropa terhadap komoditas minyak kelapa sawitnya dengan bergabung dalam kerja sama multilateral. Hasil penelitian ini adalah Indonesia dalam melakukan upaya mempertahankan minyak kelapa sawitnya mengikuti beberapa kerja sama bilateral dan multilateral seperti keikutsertaan nya di CPOPC.

 

Kata kunci: Diplomasi Ekonomi; Indonesia; Minyak Kelapa Sawit; RED II; Uni Eropa.

 

Abstract

Indonesia has the largest palm oil plantation industry and is the world's largest producer of palm oil. Palm oil commodities originating from Indonesia are exported to almost all continents with the highest consumers found in the Asian continent and the European Union region. The European Union as one of the major consumers of Indonesian palm oil in 2018 revised its policy to Renewable Energy Directive II (RED II) which reaped negative sentiment towards the Indonesian palm oil industry. Then, the Government of Indonesia responded to these negative issues through several diplomatic efforts, such as multilateral cooperation. This article discusses Indonesia's trade diplomacy activities to the European Union using multilateral cooperation. This research uses qualitative research methods with the concept of economic diplomacy The data used in this study was obtained using several data collection techniques, such as literature studies. These data are analyzed and discussed using the framework of economic diplomacy concepts to explain the economic diplomacy activities carried out by Indonesia to the European Union on its palm oil commodities by joining multilateral cooperation. The result of this study is that Indonesia in making efforts to maintain its palm oil follows several bilateral and multilateral cooperations such as its participation in CPOPC.

 

Keywords: At Economic Diplomacy; Indonesian; palm oil; RED II; European Union.

 

Pendahuluan

Interaksi yang dijalankan oleh sebuah negara bertujuan untuk menciptakan hubungan antar satu negara dengan negara lainnya. Hubungan yang terjadi di antara negara-negara tersebut bisa berupa kerja sama atau bahkan terjadinya konflik. Maka dari itu, upaya yang dilakukan negara adalah dengan memanfaatkan diplomasi untuk mempererat, menjalin, dan meningkatkan hubungan, khususnya kerja sama antar negara untuk mencapai kepentingan bersama.

Dengan proses antar aktor seperti diplomat sebagai perwakilan negara yang ada dalam suatu sistem hubungan internasional dan terlibat dalam dialog ruang pribadi dan publik (diplomasi) untuk mencapai tujuan mereka dengan cara yang damai (Mcglinchey, 2007). Isu dalam Hubungan Internasional yang dinamis juga membuat diplomasi tidak hanya digunakan untuk perdamaian saja.

Secara lebih luas, diplomasi juga digunakan untuk berbagai kepentingan, contohnya seperti kepentingan ekonomi. Hal itu membuat diplomasi ekonomi dijadikan sebagai salah satu kajian dari Hubungan Internasional. Diplomasi ekonomi merupakan proses saat suatu negara menghadapi negara lain yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang maksimal guna mencapai kepentingan nasional mereka dalam berbagai bidang aktivitas perekonomian. Hal tersebut termasuk untuk perdagangan, investasi, dan aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan mendapatkan keunggulan komparatif, memiliki dimensi bilateral, multilateral, dan regional, yang masing-masing merupakan hal penting (Rana, 2007).

Indonesia turut menetapkan prioritas diplomasi ekonomi yang ditekankan pada para Diplomat Indonesia, diantara diplomasi perdagangan dan diplomasi komersial. Praktik-praktik diplomasi ini dapat membantu Indonesia dalam meningkatkan ekspor komoditasnya, seperti komoditas kelapa sawit. Peningkatan perdagangan dapat berhasil dengan mengoptimalkan segala SDA yang dimiliki Indonesia, terutama pada sektor komoditas unggulannya. Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia.

Minyak kelapa sawit sebagai SDA Indonesia merupakan sebuah komoditas strategis bukan hanya bagi Indonesia namun secara global. Permintaan akan komoditas tersebut terus meningkat setiap tahunnya. Bersaing dengan berbagai jenis komoditas lain dalam pasar minyak nabati global, minyak kelapa sawit menduduki peringkat pertama sebagai minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Industri kelapa sawit Indonesia memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia dengan kinerja perdagangan kelapa sawit yang kian meningkat dan industri ini juga banyak melibatkan pelaku usaha dari berbagai kelompok ekonomi.

Perkebunan kelapa sawit nasional berkembang secara siginfikan dengan luas 16,38 juta hektare dan menampung tenaga kerja lebih dari 17 juta kepala keluarga, petani, dan karyawan di area on farm maupun off farm (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, 2022). Namun, walaupun kelapa sawit mempunyai peran pada perekonomian dalam negeri dan berkontribusi untuk kebutuhan minyak nabati dunia, industri kelapa sawit ini masih mengalami tudingan pada berbagai isu-isu negatif, terutama dari Uni Eropa.

Hubungan Indonesia dan Uni Eropa dalam bidang ekonomi telah terjalin sejak lama, negara-negara Uni Eropa menjadi tujuan pasar utama minyak sawit. Hal ini menjadikan Uni Eropa sebagai salah satu mitra dagang terbesar Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan nilai investasi keduanya yang meningkat di setiap tahunnya. Minyak kelapa sawit menjadi salah satu produk yang sangat diminati Uni Eropa sebagai bahan baku minyak nabati dalam pembuatan bahan baku energi transportasi dan pembuatan makanan. Minyak kelapa sawit yang di ekspor ke Uni Eropa kemudian akan diubah menjadi biofuel (Kartika, 2016).

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa kasus perdagangan komoditas untuk minyak nabati, terutama dari Indonesia, terhambat untuk masuk ke negara-negara Eropa. Terdapat beberapa hambatan dalam perdagangan minyak kelapa sawit secara global yang harus dihadapi oleh negara-negara penghasil kelapa sawit. Salah satunya dengan berkembangnya isu tentang lingkungan akibat dari proses produksi dan penggunaan minyak kelapa sawit. Salah satu aktor yang cukup kuat menolak minyak kelapa sawit adalah Uni Eropa (Suastha, 2017). Hal ini ditegaskan dalam kebijakan Renewable Energy Directives (RED)� Uni Eropa yang menyatakan bahwa kelapa sawit merupakan masalah yang sangat besar terkait isu korupsi, pekerja anak, pelanggaran HAM, penghilangan hak-hak masyarakat adat, dan pemicu deforestasi dan perusakan habitat. Hal tersebut menjadi salah satu efek negatif dari aktivitas produksi minyak kelapa sawit.

Pada tahun 2018, Komisi Eropa mengeluarkan target baru dalam RED yaitu Renewable Energy Directives II (RED II). Kebijakan RED II dibentuk dengan tujuan untuk memastikan bahwa produksi bahan baku biofuel merupakan bahan baku yang tidak merusak lingkungan, tidak menyebabkan deforestasi hutan dan merupakan bahan baku yang bersifat berkelanjutan.� Kebijakan tersebut berpotensi berdampak pada penurunan ekspor komoditas minyak kelapa sawit karena secara tak langsung kebijakan tersebut mendiskriminasikan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa.

Inti dari kebijakan RED II adalah pemanfaatan minyak sawit yang disingkirkan sebagai bahan legal dalam produksi biofuel atau bahan bakar nabati. Kebijakan yang dicetuskan oleh European Commission�s sangat penting bagi kelangsungan ekpsor minyak kelapa sawit Indonesia ke pasar Eropa sebagai pasar kedua terbesar bagi komoditas ini (Sasmi, 2019).�

Melihat fenomena yang ada, minyak kelapa sawit sebagai salah satu penyumbang nilai ekonomi terbesar bagi Indonesia harus dilindungi dari peraturan RED II Uni Eropa yang dapat menghambat perdagangan minyak kelapa sawit Indonesia. Bila perdagangan komoditas minyak kelapa sawit ini terdampak oleh RED II dan mengakibatkan turunnya nilai perdagangan ke Uni Eropa akan berdampak juga ke perkembangan ekonomi Indonesia.� Maka dari itu, Indonesia melakukan kegiatan diplomasi perdagangan sebagai upaya dalam memepertahankan dan meningkatkan ekonomi negaranya pada komoditas kelapa sawitnya. Pada riset ini, peneliti berusaha menelaah kegiatan diplomasi perdagangan yang dilakukan Indonesia ke Uni Eropa dalam menanggapi RED II.�

Untuk dapat melaksanakan penelitian ini, peneliti perlu adanya studi dan penelitian terdahulu untuk menjadi gambaran tentang fenomena dan konsep yang terkait dengan topik yang diteliti. Peneliti membagi penelitian terdahulu dalam tiga tipologi. Pertama, penelitian terdahulu mengenai diplomasi ekonomi dan perdagangan, Dalam tipologi pertama ini, peneliti merujuk pada penelitian yang telah dilakukan oleh Sabaruddin (2016), Killian (2015), Suwarno�(2019), Bintang (2019), Setiawan, Sulastri, Aprianto, & Maulana (2020).� Penelitian tersebut membahas mengenai diplomasi ekonomi yang dilakukan oleh Indonesia ke negara-negara lain. Terdapat pula penelitian megenai diplomasi ekonomi dan perdagangan Indonesia dalam penelitan yang dilakukan oleh Sabaruddin.

Diplomasi adalah salah satu instrumen penting dalam hubungan internasional untuk mencapai kepentingan nasional suatu negara yang berkaitan dengan negara lain atau organisasi internasional. Dalam hubungan internasional, diplomasi dianggap sebagai aplikasi inteligen dan strategi untuk menjalankan hubungan formal antar pemerinatahan yang berdaulat, yang dapat diperluas dengan hubungan dengan negara lainnya. Menurut Barston, diplomasi adalah manajemen hubungan antarnegara dengan aktor hubungan internasional lainnya (Melissen, 2006).

Perwakilan resmi setiap negara dan aktor-aktor lainnya berusaha menyampaikan, mengkoordinasikan dan mengamankan kepentingan nasional yang dilakukan melaui korespodensi, saling bertukar dan menyampaikan pandangan, kunjungan antarnegara, pembicaraan tidak resmi, dan berbagai aktivitas lainnya�(Morgenthau H. J., 1991). Diplomasi dapat diartikan juga sebagai suatu hubungan atau relasi komunikasi dan keterkaitan. Selain itu, diplomasi dapat dikatan sebagai proses interaktif dua arah antara dua atau lebih negara untuk mencapai politik luar negeri masing-masing negara (S.L, 1995).

Diplomasi terus berkembang seiring dengan adanya sifat saling ketergantungan satu negara dengan negara lainnya. Kegiatan diplomasi merupakan salah satu proses yang dilakukan dengan cara negosiasi disamping bentuk kegiatan lainnyam seperti kunjungan, pertemuan, dan perjanjian-perjanjian.� Maka dari itu, negosiasi adalah salah satu cara dalam berdiplomasi untuk menyelesaikan perbedaan dan permasalahan secara damai dengan memajukan kepentingan nasional suatu negara. Diplomasi menjadi bagian yang penting untuk dijadikan salah satu jalan keluar atau solusi untuk menyelesaikan permasalahan secara damai�(Watson, 1984).

Diplomasi ekonomi adalah salah satu jenis dari diplomasi yang memanfaatkan instrumen ekonomi untuk menempuh tujuan dan kepentingan negara atau lembaga lain. Menurut Kishan S. Rana, diplomasi ekonomi adalah sebuah proses di mana negara memiliki hubungan dengan negara lain guna memaksimalkan keuntungan nasionalnya pada segala jenis aktivitas ekonomi, seperti perdagangan, investasi, dan bentuk kegiatan ekonomi lainnya yang menguntungkan.

Dimensi diplomasi ekonomi dapat dilakukan secara bilateral, regional, maupun multilateral yang terdiri dari aktor resmi Diplomasi ekonomi dapat dikatakan juga sebagai proses pengajuan kebijakan tentang prospek ekonomi untuk dinegosiasikan supaya dapat disetujui oleh negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral. Terdapat perbedaan cakupan umum antara diplomasi yang berisikan hanya aktor negara seperti kementerian luar negeri dengan diplomasi ekonomi yang memiliki lingkupan lebih luas dan lebih dari pada itu Maaike Okano-Heijmans yang meyatakan bahwa diplomasi ekonomi tak terlepas dari pengaruh politik.

Oleh karena itu, diplomasi ekonomi dapat dimengerti sebagai pemakaian sarana politik utnuk menjadi pendorong dalam negosiasi internasional yang memiliki tujuan untuk mengembangkan kesejahteraan ekonomi nasional, dan pemanfaat daya ungkit ekonomi untuk meningkatkan stabilitas politik negara.

Diplomasi ekonomi dapat diutarakan dalam beberapa hal yang bergantung kepada tujuan dan prinsip yang dapat dikelompokkan menjadi lebih dari satu kategori. Hal tersebut terbentuk dengan melihat keaadan bahwa diplomasi ekonomi mengikat politik dan ekonomi sebagai alat dan tujuan dalam satu rangkaian diplomasi ekonomi yang dilakukan. Maka dari itu, diplomasi ekonomi dimengerti sebagai penggunaan sarana politik, sebagai pengangkat dalam negosiasi internasional, dengan pemanfaatan daya pengangkat ekonomi untuk meningkatkan stabilitas politik bangsa (Okano-Heijmans, 2011).

Diplomasi ekonomi dalam hal ini tidak hanya dijalani oleh sebuah negara, tetapi juga menyertakan aktor non-negara, misalnya kelompok kepentingan lainnya atau bisnis swasta. Meskipun begitu, negara tetap menjadi aktor utama yang berperan dalam proses diplomasi ekonomi. Pada perspektif state-centric realis, diplomasi ekonomi dimengerti sebagai sebuah upaya pencapaian keamanan ekonomi dalam sistem yang anarki. Keamanan ekonomi mencakup stabilitas politik negara dan kesejahteraan ekonomi.

Maka dari itu, diplomasi ekonomi yang dilakukan oleh negara melibatkan beberapa macam instrumen yang memiliki karakter politik maupun ekonomi. Heijmans mengkelompokkan variasi tersebut ke pada dua sisi, yakni �business end� dan �power �play end� Pada power-play end, instrumen diplomasi ekonomi melibatkan aktivitas yang bersifat politis, seperti pemberian sanski. Tujuan utama aktivitas seperti ini adalah untuk menciptkan stabilitas negara. Sedangkan pada bagian business end, instrumen diplomasi yang digunakan lebih mendasar pada lgoika ekonomi.

Pada ranah tersebut, tujuan akhir dari diplomasi adalah meningkatkan ekonomi seperti di bidang: perdagangana, komersial, dan investasi. Diplomasi ekonomi dapat mempunyai tujuan akhir terbentuknya stabilitas ekonom atau terbentuknya stabilitas politik suatau negara. Dari pembagian dua spektrum di bawah ini, Heijmans menjelaskan bahwa instrumen yang bersifat politis dapat digunakan untuk melakukan diplomasi ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kemakuman negara, sedangkan instrumen yang berkarakter ekonomi dapat dipakai untuk melakukan diplomasi ekonomi untuk meningkatkan stabilitas politik negara.

Salah satu bentuk dari diplomasi ekonomi adalah dengan adanya kerja sama multilateral. Kerja sama ekonomi multilateral erat hubungannya dengan kerja sama antar negara yang dilakukan oleh beberapa negara yang jumlahnya lebih dari dua negara. Kerja sama ekonomi multilateral dapat mempengaruhi perdagangan negara-negara anggotanya. Dalam hubungan perdagangan Indonesia dan Uni Eropa, kerja sama ekonomi multilateral yang diikuti masing-masing negara dapat mendukung maupun menghambat hubungan perdagangan Indonesia dan Uni Eropa. Kerja sama multilateral ini dapat digunakan sebagai salah satu kerangka pembangun kerja sama ekonomi lainnya.

Selanjutnya, penelitian terdahulu yang membahas mengenai kebijakan Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit. Peneliti mengarah pada penelitain yang dilakukan oleh Suwarno (2019), Abdi, Pazli, & Waluyo (2021), (Khairunisa & Novianti (2017), Saragih & Rahayu (2022), Sari (2022), Musyaffa (2022). Penelitian-penelitian tersebut membahas tentang RED II sebagai kebijakan Uni Eropa serta latar belakang kebijakan tersebut. Selain itu, penelitian-penelitian itu juga meneliti mengapa RED II Uni Eropa dapat memengaruhi Indonesia.

Penelitian-penelitian diatas dianggap penting oleh peneliti karena menjadi salah satu implikasi yang nyata dari diplomasi ekonomi yang gencar dilaksanakan. Bidang ekonomi sudah menjadi instrumen yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian Hubungan Internasional dan merupakan salah satu instrumen penting bagi suatu negara untuk mencapai kepentingan-kepentingannya, khususnya bagi Indonesia yang tengah gencar melakukan diplomasi di bidang ekonomi. Secara keseluruhan, peneliti terdahulu yang dijabarkan oleh peneliti memberikan dasar dan referensi dalam melakukan riset ini. Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dijabarkan, rumusan masalah pada artikel ini adalah bagaimana Indonesia melakukan kerja multilateral dalam menanggapi kebijakan RED II. �

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode riset kualitatif untuk melakukan analisis dan pendalaman mengenai diplomasi perdagangan kelapa sawit Indonesia terhadap Uni Eropa. Metode riset kualitatif mempunyai karakteristik untuk melibatkan data yang bersifat naturalistik yang mana riset ini berusaha untuk mempelajari dengan menyatakan fakta sebeneranya dalam sebuah peristwia dan menghindari intervensi ataupun manipulasi variabel.

Christoper Lamont juga menjelaskan bahwa metode riset kualitatif adalah strategi atau teknik pengumpulan data dan analisis data yang mengandalkan pengumpulan dan analisis data non numerik. Data yang bersifat non numerik dapat dibuah menjadi sebuah data numerik sebagai pembanding dan bahan evaluasi selanjutnys. Dalam Studi Hubungan Internasional, riset kualitatif bisa digunakan untuk memahami makna dan prsoes pembentukan politik internasional seperti studi yang mendalami suatu peristiwa yang berkaitan dengan negara, organisasi, individu, serta kawasan (Lamont, 2015).

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana penelitian kualitatif merupakan proses menelusuran atau menyidikan terhadao suatu fenomena secara bertahap dengan melihat keselarasan kebijakan suatu negara dengan realita yang terjadi di dunia. Jenis data yang digunakan yakni data sekunder yang merupakan data yang telah tersedia, baik berbentuk penelitian terdahulu, suvei, dan lain sebagainya. Biasanya, data yang telah tersedia ini berbentuk data statistic yang telah diuji keabsahannya pada penelitian sebelumnya atau data-data yang tersedia di laman resmi institusi tersentu sebagai data pendukung dari suatu penelitian�(Moehar, 2002). Dalam menggunakan data sekunder, peneliti harus mengidentifikasi data secara benar untuk melihat keabsahan atau keakurasian suatu data yang digunakan, dengan demikian peneliti perlu memperhatikan.

 

Hasil dan Pembahasan

Dapat ditelusuri kembali bahwa perdagangan komoditas kelapa sawit antara Uni Eropa dan Indonesia dimulai pada awal tahun 2000-an, sejak industri komoditas kelapa sawit Indonesia mulai berkembang pesat. Pada bagian pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana kondisi umum industri komoditas kelapa sawit Indonesia dan dapat dikatakan bahwa Uni Eropa yang mana merupakan negara-negara berasal dari Uni Eropa, merupakan suatu kelompok negara yang berlangganan menjadi konsumen besar dari kelapa sawit Indonesia.

Tahun 2008 menjadi awal Uni Eropa menjadi salah satu pelanggan utama dari kelapa sawit Indonesia dan puncaknya pada tahun 2010 menjadi tujuan ekspor terbesar dari komoditas ini (Arifin & Putri , 2019). Uni Eropa merupakan mitra dagang terbesar keempat bagi Indonesia, sedangkan Indonesia merupakan mitra dagang global ke-31 bagi UE dan mitra Uni Eropa ke-5 di ASEAN. Perdagangan barang bilateral antara UE dan Indonesia mencapai �20,5 miliar pada tahun 2020, dengan surplus perdagangan sebesar �6 miliar untuk Indonesia (Delegation of the European Union to Indonesia, 2021).

Total perdagangan bilateral kedua negara bernilai 33,2 miliar US$ pada tahun 2022 dengan Indonesia terutama mengekspor minyak kelapa sawit tekstil, dan alas kaki dan mengimpor mesin, bahan kimia, dan peralatan transportasi. Pada periode tahun tersebut, nilai ekspor Indonesia kepada Uni Eropa tertulis sebanyak 21,5 miliar US$ dan impor Indonesia dari Uni Eropa sebanyak 11,7 miliar US$. Kemudian, di tahun 2016, UE dan Indonesia memulai negosiasi untuk Comperhensive Economic Partnership Agreement (CEPA), yang bertujuan untuk memperkuat hubungan perdagangan dan investasi kedua negara. Negosiasi masih terus berlanjut dan kesepakatan diharapkan akan segera ditandatangani dan dilaksanakan (Kemendag, 2023).

Pada diplomasi perdagangan menurut Okano-Heijmans kerja sama multilateral juga menjadi salah satu ekspresi dari diplomasi ini. Kerja sama multilateral adalah hubungan diplomatik dan ekonomi yang terjalin antara lebih dari dua negara, seperti World Trade Organization (WTO), United Nations, dan organisasi lainnya. Berbagai variabel, termasuk pertimbangan sejarah, budaya, perdagangan, dan keamanan, dapat membentuk hubungan ini. Kerja sama multilateral mengakui bahwa banyak masalah global saling terkait dan tidak dapat diselesaikan oleh masing-masing negara yang bertindak secara independen. Negara-negara dapat mengumpulkan sumber daya dan keterampilan mereka dengan bekerja sama untuk mengatasi masalah global termasuk kemiskinan, terorisme, pandemi, dan perubahan iklim.

Kemampuan negara-negara untuk berdiskusi dan mencapai norma dan konvensi bersama yang dapat membantu mempromosikan stabilitas dan prediktabilitas yang lebih besar dalam hubungan internasional adalah salah satu manfaat utama kerja sama multilateral. Selain itu, perjanjian multilateral dapat membantu memajukan kesetaraan dan inklusivitas yang lebih besar dalam tata kelola global dengan memberikan suara yang lebih kuat kepada negara-negara kecil dan berkembang dalam urusan internasional.

Indonesia dan Uni Eropa tergabung dalam WTO yang merupakan salah satu bentuk dari kerja sama multilateral. Pada bulan Maret 2019, Indonesia mengajukan permintaan resmi untuk konsultasi dengan UE di bawah mekanisme penyelesaian sengketa WTO, mengklaim bahwa peraturan RED II mendiskriminasi produk minyak sawit Indonesia dan melanggar peraturan WTO. Indonesia berargumen bahwa peraturan tersebut secara tidak adil mendukung biofuel yang diproduksi Eropa daripada biofuel berbasis minyak sawit dari negara-negara seperti Indonesia, dan bahwa diskriminasi ini dapat berdampak negatif pada industri dan ekonomi minyak sawit Indonesia.

Uni Eropa berpendapat bahwa peraturan RED II didasarkan pada masalah lingkungan, termasuk kebutuhan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mempromosikan keberlanjutan, dan tidak ditujukan khusus untuk minyak kelapa sawit. Namun, Indonesia dan negara penghasil minyak sawit lainnya telah menyatakan keprihatinan bahwa peraturan tersebut secara tidak adil menargetkan ekspor mereka. Proses penyelesaian sengketa WTO sedang berlangsung, dan masih harus dilihat seperti apa hasil akhirnya. Namun, perselisihan tersebut menyoroti ketegangan yang dapat timbul antara negara-negara atas kebijakan perdagangan dan lingkungan, dan tantangan untuk menyeimbangkan masalah ekonomi dan lingkungan dalam sistem perdagangan global.

Kemudian, Indonesia resmi mengutarakan gugatan kepada Uni Eropa di WTO melalui Putusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa pada tanggal 9 Desember 2019.� Gugatan tersebut diutarakan pada arahan RED II dan Delegated Regulation Uni Eropa, karena kebijakan-kebijakan tersebut dinilai mendiskriminasikan produk komoditas kelapa sawit. Dalam hal ini, Indonesia kembali mempertegas ketidaksetujuannya terhadap kebijakan Uni Eropa terhadap kelapa sawit. Gugatan ini diajukan untuk menunjukkan tindakan serius Pemerintah Indonesia dalam membantah diskriminasi oleh Uni Eropa kepada kelapa sawit Indonesai melalui kebijakan RED II (Kemendag, 2019).

Selanjutnya, di tingkat multilateral Indonesia sebagai negara anggota ASEAN juga memiliki kemitraan dengan Uni Eropa. Indonesia juga memanfaatkan pertemuan ini sebagai wadah diplomasi untuk komoditas kelapa sawit nya ke Uni Eropa. Pertemuan ini diikuti oleh 10 Menteri Luar Negeri negara anggota ASEAN dan 23 Menteri Luar Negeri dari negara anggota Uni Eropa yang menetapkan komitmen bersama untuk mendukung prinsip multilateralisme baik dalam peningkatan perdagangan kedua kawasan, pemulihan ekonomi, dan perlindungan lingkungan hidup.

Pada kesempatan tersebut, Retno Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia, meminta Uni Eropa untuk memperlakukan minyak kelapa sawit secara adil. Terkait dengan isu kelapa sawit yang dikatakan penyebab deforestasi, Menlu Retno menyampaikan bahwa Indonesia tidak mempertaruhkan kelestarian lingkungan hanya untuk menempuh pembangunan ekonomi. Indonesia menegaskan bahwa peneymbuhan ekonomi dalam hal menjaga lingkungan hidup menjadi komitmen dan kepentingan bersama, sehingga minyak sawit yang ramah lingkungan merupakan bagian dari keseriusan Indonesia (Kementerian Luar Negeri Indonesia , 2020).

Indonesia dalam memajukan kelapa sawitnya adalah dengan bergabung dalam kerja sama di organisasi sawit yaitu, Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC). CPOPC adalah suatu organisasi antar pemerintah bagi negara yang menghasilkan minyak kelapa sawit yang memiliki tujuan untuk mempromosikan, memperkuat, dan mengembangkan kerja sama dalam pemeliharan komoditas kelapa sawit di antara negara-negara anggota. Saat ini CPOPC beranggotakan Indonesia, Kolombia, dan Malaysia.

Dari ketiga negara tersebut, Indonesia dan Malaysia meruapakan dua negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar secara global. Dengan dibentuknya CPOPC ini diharapkan bisa memperkuat kampanye positif minyak kelapa sawit di tingkat internasional melawan banyaknya kampanye buruk atas minyak kelapa sawit yang berasal dari pihak negara lain khususnya Uni Eropa. Seperti yang sudah disampaikan pada bagian sebelumnya lewat kebijakan RED II, Uni Eropa telah menentukan kriteria ILUC untuk memilih kelompok suatu tanaman penghasil biofuel. Jika dikelompokkan sebagai high risk, produk turunan biofel dengan perlahan akan dihapuskan dari pasar Uni Eropa.� Biofuel adalah turunan dari minyak kelapa sawit yang pada ILUC dikelompokkan sebagai komoditas high risk dan dari hasil putusan tersebut sangat berpengaruh negatif untuk negara-negara penghasil kelapa sawit.

Maka dari itu, pada kaitannya dengan CPOPC, negara-negara penghasil kelapa sawit berusaha melakukan counter untuk kampanye negatif tersebut dengan cara 1) penguatan diplomasi sawit, 2) membuktikan dengan riset atas dampak positif sawit bagi penguatan pembangunan berkelanjutan 3) upaya hukum atau litigasi apabila upaya diplomasi menangkal kampanye negatif tersebut tidak berjalan efektif.

Dalam rangka menindaklanjuti hadirnya RED II, CPOPC sudah secara kuat menyampaikan responsnya. CPOPC melihat RED II tentang ILUC sebagai hasil dari kesepakatan politik di Uni Eropa yang mempunyai tujuan untuk mengecualikan serta mengisolasi minyak kelapa sawit dari sektor sustainable energy, demi pendapat dari rapeseed oil yang dihasilkan oleh Uni Eropa yang kurang kompetitif. CPOPC memiliki perspektif bahwa hal yang dimaksud dari Delegated Regulation yang dicetuskan merupakan bentuk pelarangan dan membatasi seluruh bahan bakar nabati yang berbahan dasar kelapa sawit di Uni Eropa dengan menggunakan konsep yang tidak memenuhi kaidah ilmiah dari ILUC.

Kriteria yang tak memiliki landasan dan ketentuan ilmiah yang dipakai dalam RED II berniat hanya memfokuskan pada minyak kelapa sawit dan deforestasi, bahkan tidak mengikutsertakan masalah lingkungan yang lebih luas dari adanya budidaya minyak nabati lainnya seperti rapeseed. Disini, CPOPC melihat bahwa Delegated Regulation sebagai alat unilateral yang diberikan kepada negara penghasil minyak kelapa sawit yang dapat mengekang pencapaian pembangunan berkelanjutan�( Kementerian Luar Negeri, 2021).�����

Dari mulai CPOPC berdiri, fokus dari organisasi ini adalah menawarkan upaya terbaik untuk mencapai pembangunan keberlanjutan atau SDGs pada negara-negara produsen minyak kelapa sawit. CPOPC sudah melakukan beberapa program yang diantara adalah mempromosika minyak kelapa sawit di tingkat internasional dan merespons hambatan perdagangan dan kampanye negatif kelapa sawit. Dalam studi yang dipublikasikan oleh CPOPC yang berjudul �Rencana Induk untuk Implementasi Strategis SDGs di Sektor Kelapa Sawit tahun 2030�, mengatakan tentang komoditas minyak kelapa sawit memiliki kemampuan untuk memenuhi sebagian besar dari 17 tujuan SDGs berdasarkan pada studi kasus yang dilakukan di Indonesia, Malaysia, Thailand, Nigeria, dan Kolombia.

Pencapaian ini akan tetap dijaga oleh negara-negara penghasil minyak kelapa sawit salah satunya dengan penguatan CPOPC dalam isu-isu terkait dengan industri kelapa sawit, seperti produktivitas, stabilisasi harga, permintaan dan penawaran, kesejahteraan petani, dan citra positif kelapa sawit di sepanjang rantai supply nya (Kajian Mandiri Kemlu , 2019). Secara keseluruhan, keterlibatan Indonesia dalam CPOPC mencerminkan komitmennya untuk mempromosikan praktik produksi minyak sawit berkelanjutan dan menjawab tantangan yang dihadapi industri. Namun, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa industri kelapa sawit di Indonesia beroperasi dengan cara yang menguntungkan secara ekonomi dan berkelanjutan secara sosial dan lingkungan.

Melihat aktivitas kerja sama multilateral yang dilakukan Indonesia terhadap komooditas kelapa sawitnya, menunjukan adanya keseriusan Indonesia dalam memperjuangkan komoditas unggulannya ini.� Meskipun dari pihak Uni Eropa belum ada respon yang dapat menyatukan perspektif antara Indonesia dan Uni Eropa, Indonesia tetap menunjukan usaha diplomasi nya. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki kesadaran sebagai aktor hubungan internasional bahwa kebijakan yang diambil dari luar negara dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan domestik dalam negara. Oleh karena itu, kebijakan RED II yang dibentuk oleh Uni Eropa turut berpengaruh pada keputusan Indonesia di industri kelapa sawit.

Bila dikaitkan dengan diplomasi perdagangan, Indonesia menggunakan ekspresi kerja sama multilateral sebagai upaya yang dilakukan untuk mempertahankan kelapa sawit nya. Hal ini dapat menjadi bukti adanya upaya bagi Indonesia dalam ber diplomasi untuk industri kelapa sawitnya.

 

 

Kesimpulan

Pada tahun 2017 Renewable Energy Directive II dicetuskan yang berisi mengenai kriteria keberlanjutannya untuk biofuel, termasuk biodiesel yang terbuat dari minyak sawit. RED II menganggap bahwa minyak kelapa sawit Indonesia tidak ramah lingkungan karena menciptakan banyak deforestasi. Hal tersebut mengakibatkan image minyak kelapa sawit Indonesia di perspektif internasional memburuk serta menimbulkan penurunan nilai kelapa sawit. Mengingat kelapa sawit Indonesia merupakan komoditas unggulan yang menyumbang banyak untuk devisa negara, tentu Indonesia merasa isu kelapa sawit ini penting untuk diperjuangkan.

Meskipun Uni Eropa bukan merupakan mitra dagang terbesar pertama Indonesia dan masih banyak negara lain yang menempati posisi di atasnya yang memiliki nilai perdagangan lebih besar daripada Uni Eropa. Namun, kebijakan Uni Eropa sangat berpengaruh bagi Indonesia. Pada artikel ini dijelaskan bagaimana Indonesia dalam melakukan diplomasi ke Uni Eropa untuk mempertahankan minyak kelapa sawit. Dalam hal ini, Indonesia melakukan kerja sama multilateral, dengan bergabung dalam organisasi negara penghasil kelapa sawit atau CPOPC.

Organisasi tersebut hadir untuk menyatukan suara negara-negara penghasil kelapa sawit agar lebih kuat di tingkat internasional.� Indonesia juga telah berusaha untuk mempromosikan produksi minyak sawit berkelanjutan, untuk terlibat dalam kerja sama multilateral, dan untuk menantang kriteria keberlanjutan RED II melalui World Trade Organization (WTO).����������

Indonesia sudah melakukan diplomasi ke Uni Eropa guna memperjuangkan kelapa sawit nya. Namun, dari beberapa kegiatan diplomasi tersebut, belum ada titik penyelesaian untuk isu kelapa sawit Indonesia di Uni Eropa. Karena kedua mitra ini memiliki perbedaan pendekatan dalam memproduksi suatu komoditas, sehingga sulit untuk menyatukan standard yang dapat diterima oleh kedua mitra dagang ini. �

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

�

S�rensen, G., & Jackson, R. (2010). Introduction To International Relations Theories And Approaches. Oxford: Oxford University Press.

 

Mcglinchey, S. (2007). Diplomacy. E-International Relations, 21.

 

Rana, K. S. (2007, January). Economic Diplomacy: The Experience Of Developing Countries. Retrieved From Researchgate: Https://Www.Researchgate.Net/Publication/337532192_Article_%27Economic_Diplomacy_The_Experience_Of_Developing_Countries%27_Book_The_New_Economic_Diplomacy_Decision_Making_And_Negotiations_In_International_Relations_Eds_Nicholas_Bayne_And_Stephen_Woolcock_

 

Lamont, C. (2015). Research Methods In International Relations. SAGE Journal.

 

Kemendag. (2019, Desember 15). Lawan Diskriminasi Kelapa Sawit, Indonesia Gugat Uni Eropa Di WTO. Retrieved From Kementerian Perdagangan RI : Https://Www.Kemendag.Go.Id/Berita/Siaran-Pers/Lawan-Diskriminasi-Kelapa-Sawit-Indonesia-Gugat-Uni-Eropa-Di-Wto-3

 

Kementerian Luar Negeri Indonesia . (2020, December 1). Menlu RI Desak Uni Eropa Perlakukan Minyak Kelapa Sawit Secara Adil. Retrieved From Kemlu.Go.Id: Https://Kemlu.Go.Id/Portal/Id/Read/1932/Berita/Menlu-Ri-Desak-Uni-Eropa-Perlakukan-Minyak-Kelapa-Sawit-Secara-Adil

 

Kementerian Luar Negeri. (2021). Laporan Kinerja 2021. Direktorat Kerja Sama Intrakawasan Dan Antar Kawasan Amerika Dan Eropa.

 

Kajian Mandiri Kemlu . (2019). �Peran Diplomasi Dalam Mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan Terhadap Pengelolaan Industri Minyak Nabati� . Jakarta: Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

 

Arifin, B., & Putri , K. A. (2019). Indonesian Government Strategies On Obtaining Crude Palm Oil (CPO) Market Access To European Union Countries Over The EU Parliament Resolution On Palm Oil And Deforestation Of Rainforest. Andalas Journal Of International Studies (AJIS), 203.

 

Delegation Of The European Union To Indonesia. (2021). RELATIONS WITH THE EU The European Union And Indonesia. Retrieved From Europa.Eu : Https://Www.Eeas.Europa.Eu/Indonesia/European-Union-And-Indonesia_En?S=168

 

Kemendag. (2023, Februari ). RI Dan Eropa Tuntaskan Putaran Ke-13 Perundingan I-EU CEPA. Retrieved From Kementerian Perdagangan : Https://Www.Kemendag.Go.Id/Berita/Pojok-Media/Ri-Dan-Eropa-Tuntaskan-Putaran-Ke-13-Perundingan-I-Eu-Cepa

 

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. (2022, Oktober 20). Pemerintah Terus Dorong Industri Sawit Berkelanjutan Dari Hulu Hingga Hilir. Retrieved From Ekon.Go.Id: Https://Www.Ekon.Go.Id/Publikasi/Detail/4639/Pemerintah-Terus-Dorong-Industri-Sawit-Berkelanjutan-Dari-Hulu-Hingga-Hilir

 

Kartika, I. T. (2016). Interaksi Kebijakan Renewable Energy Directive Dan Kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil Terhadap Ekspor Kelapa Sawit Indonesia Ke Uni Eropa. Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin Makassar, 5.

 

Suastha, R. D. (2017). Soal Kampanye Hitam, UE Sebut RI Pengekspor Sawit Terbesar Baca Artikel CNN Indonesia "Soal Kampanye Hitam, UE Sebut RI Pengekspor Sawit Terbesar" Selengkapnya Di Sini: Https://Www.Cnnindonesia.Com/Internasional/20171214110201-134-262310/Soal-Kampanye-Hi. Retrieved From CNN Indonesia: Https://Www.Cnnindonesia.Com/Internasional/20171214110201-134-262310/Soal-Kampanye-Hitam-Ue-Sebut-Ri-Pengekspor-Sawit-Terbesar

 

Sasmi, D. T. (2019). Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Menghadapi Peraturan EU Directive Tentang Sawit Di Eropa Tahun 2017-2019. Frequency Of International Relations Vol 1, 262-284.

 

Okano-Heijmans, M. (2011). Conceptualizing Economic Diplomacy: The Crossroads Of International Relations, Economics, IPE And Diplomatic Studies. In Economic Diplomacy: Economic And Political Perspectives (Pp. 7-36). Leiden, Boston: Martinus Nijhoff Publishers.

 

Sabaruddin, S. S. (2016). Grand Design Diplomasi Ekonomi Indonesia: Sebuah Pendekatan Indeks Diplomasi Ekonomi. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, 12.

 

Killian, P. M. (2015). Diplomasi Ekonomi Sebagai Kajian Dan Agenda Riset: Isu Praktis, Konseptual Dan Metodologis. Global Strategis.

 

Suwarno, W. (2019). Kebijakan Sawit Uni Eropa Dan Tantangan Bagi Diplomasi Ekonomi Indonesi. Jurnal Hubungan Internasional.

 

Bintang, H. A. (2019). Diplomasi Ekonomi Indonesia Terhadap Uni Eropa Dalam Menghadapi RED (Renewable Energy Directive) Dan Kampanye Hitam Minyak Kelapa Sawit Indonesia. Unpar Repository.

 

Setiawan, A., Sulastri, E., Aprianto, E., & Maulana, I. (2020). Analisis Diplomasi Ekonomi Indonesia Ke Asia Tengah. Seminar Nasional Penelitian.

 

Alatas, A. (2015). Trend Produksi Dan Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia. Jurnal AGRARIS.

 

Ewaldo, E. (2015). Analisis Ekspor Minyak Kelapa Sawit Di Indonesia. E-Jurnal Perdagangan, Industri Dan Moneter, 3.

 

Stephanie, H., Tinaprilla, N., & Rifin, A. (2018). Efisiensi Pabrik Kelapa Sawit Di Indonesia. Jurnal Agribisnis Indonesia, 6.

 

Hartono, W. (2019). Evaluasi Kinerja Perusahaan Minyak Kelapa Sawit PT. Astra Argo Lestari Tbk. (AALI) Dan PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP. EXERO Journal Of Research In Business And Economics.

 

Abdi, Z., Pazli, & Waluyo, T. J. (2021). Industri Kelapa Sawit Indonesia Pasca RED2 Uni Eropa. Jurnal Pendidikan Tambusai.

 

Khairunisa, G. R., & Novianti, T. (2017). Daya Saing Minyak Sawit Dan Dampak Renewable Energy Directive (Red) Uni Eropa Terhadap Ekspor Indonesia Di Pasar Uni Eropa. Jurnal Agribisnis Indonesia .

 

Saragih, H. M., & Rahayu, H. (2022). Pengaruh Kebijakan Uni Eropa Terhadap Ekspor Kelapa Sawit Indonesia. JPPI (Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia).

 

Sari, R. (2022, May). Impact Of The Policy On Ban Of Exports Of Cpo And All Derivative Products. Info Singkat.

 

Musyaffa, M. Z. (2022). Kebijakan Luar Negeri Indonesia Dalam Kebijakan Moratorium Kelapa Sawit Ke Uni Eropa Tahun 2018-2021.

 

Melissen, J. (2006). Public Diplomacy Between Theory And Practice. In N. J., The Present And Future Of Public Diplomacy: A European Perspective (P. 43). California : Randcorporation .

 

Morgenthau, H. J. (1991). Politik Antar Bangsa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia .

S.L, R. (1995). Diplomasi,. PT Raja Grafindo.

 

Watson, A. (1984). The Dialogues Between States. London : Methuem .

 

Moehar, D. (2002). Metode Penelitian Sosial Ekonomi . Jakarta : Bumi Aksara .

 

Danial, E., & Warsinah, N. (2009). Metode Penulisan Karya Ilmiah. Bandung : Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan .

 

 

 

 

 

 

 

 

Copyright holder:

Deitra Aisha, Akim (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: