Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 7, Juli 2023

 

MENGINTEGRASIKAN PERAN GENDER DALAM ANALISIS INTELIJEN

STRATEGIS: PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM KELOMPOK TERORIS DI INDONESIA

 

Priscilla Harjanti, Margaretha Hanita, Eko Daryanto

Universitas Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Peran perempuan dalam kelompok teroris dapat bervariasi tergantung pada organisasi, ideologi, dan konteks budaya. Sementara secara tradisional perempuan dipandang sebagai peserta pasif atau hanya terbatas pada peran pendukung, sekarang semakin banyak pengakuan atas keterlibatan aktif dan peran yang beragam oleh perempuan dalam kegiatan terorisme. Penelitian ini menyoroti pentingnya memahami peran gender dan perempuan dalam kelompok teroris, serta dampaknya terhadap analisis intelijen strategis. Dengan mempertimbangkan dinamika gender, analisis intelijen menjadi lebih akurat dan komprehensif. Analisis peran gender membantu mengungkap ancaman tersembunyi atau yang seringkali diabaikan. Organisasi teroris dan gerakan ekstremis dapat mengeksploitasi norma dan ekspektasi gender untuk merekrut, meradikalisasi, dan memobilisasi individu untuk mencapai tujuan. Mengakui bagaimana gender memengaruhi strategi rekrutmen dan mengidentifikasi kerentanan unik kelompok tertentu, dapat membantu mengidentifikasi potensi ancaman yang mungkin tidak diperhatikan. Ini juga menguntungkan analisis intelijen karena dapat menginformasikan langkah-langkah pencegahan, melindungi populasi yang rentan, dan mengatasi beragam kebutuhan dan pengalaman individu yang terkena dampak terorisme. Studi ini bertujuan untuk berkontribusi pada diskusi yang lebih luas tentang perspektif gender dalam upaya kontraterorisme dan analisis intelijen strategis. Ini menekankan perlunya analisis intelijen yang peka terhadap gender untuk meningkatkan strategi pencegahan dan mitigasi di bidang kontraterorisme dan intelijen, yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kebijakan dan praktik kontraterorisme.

 

Kata kunci: Terorisme; Perempuan; Intelijen Strategis; Peran Gender.

 

Abstract

Women's roles in terrorist groups can vary depending on the specific organization, ideology, and cultural context. While traditionally women have been viewed as passive participants or solely confined to support roles, there has been a growing recognition of their active and diverse involvement in extremist activities. This study highlights the importance of understanding the roles women play within terrorist groups and their impact on operational strategies. By considering gender dynamics, intelligence analysis becomes more accurate and comprehensive. Gender-sensitive analysis helps uncover hidden or underestimated threats. Terrorist organizations and extremist movements may exploit gender norms and expectations to recruit, radicalize, and mobilize individuals. Acknowledging how gender influences recruitment strategies and identifying the unique vulnerabilities of certain groups, can help identify potential threats that might otherwise go unnoticed. This also benefits intelligence analysis as it can better inform preventive measures, protect vulnerable populations, and address the diverse needs and experiences of individuals affected by terrorism. This study aims to contribute to a broader discussion on gender perspectives in counterterrorism efforts and strategic intelligence analysis. It emphasizes the need for gender-sensitive intelligence analysis to enhance prevention and mitigation strategies in the field of counterterrorism and intelligence, ultimately aiming to enhance counterterrorism policies and practices.

 

Keywords: Terrorism; Woman; Strategic Intelligence; Gender Roles.

 

Pendahuluan

Terorisme mengacu pada penggunaan kekerasan, intimidasi, atau ancaman oleh aktor non-negara guna menciptakan ketakutan, kepanikan, dan memberikan pengaruh terhadap khalayak luas. Ini adalah strategi bermotivasi politik yang digunakan untuk memajukan tujuan ideologis, agama, atau politik tertentu melalui sasaran yang disengaja terhadap warga sipil, infrastruktur publik, atau lembaga pemerintah. Karakteristik-karakteristik utama terorisme adalah motivasi politik atau ideologis, aktor adalah non-negara, memiliki unsur kekerasan dan pemaksaan, target sasaran merupakan target yang simbolis, bertujuan untuk mempengaruhi secara psikis, melakukan propaganda dan eksploitasi media, dan bersifat global.

Persepsi bahwa terorisme sering dipandang sebagai isu maskulin dapat dikaitkan dengan beberapa faktor, antara lain tren sejarah, stereotipe masyarakat, dan dinamika gender dalam organisasi teroris itu sendiri. Secara historis, mayoritas aksi teroris dilakukan oleh laki-laki. Meskipun ada contoh keterlibatan perempuan dalam terorisme sepanjang sejarah, keterlibatan laki-laki yang menonjol telah menciptakan persepsi bahwa terorisme didominasi oleh laki-laki. Stereotip dan pengetahuan masyarakat tentang peran gender dapat membentuk persepsi bahwa terorisme adalah sebuah isu maskulin.

Norma gender tradisional sering mengasosiasikan maskulinitas dengan agresi, kekerasan, dan penggunaan kekuatan, sedangkan feminitas dikaitkan dengan peran mengasuh dan merawat. Stereotip ini dapat mempengaruhi persepsi bahwa laki-laki lebih cenderung terlibat dalam aksi terorisme. Di banyak organisasi teroris, laki-laki cenderung lebih terlibat dalam pertempuran dan peran operasional, seperti melakukan serangan, menangani senjata, dan perencanaan strategis. Peran yang terlihat dan terbuka ini berkontribusi pada persepsi terorisme sebagai domain maskulin.

Beberapa organisasi teroris menganut struktur dan ideologi patriarki, di mana laki-laki memegang posisi kepemimpinan dan menggunakan kendali atas proses pengambilan keputusan. Hal ini memperkuat persepsi bahwa terorisme terutama didorong dan dilakukan oleh laki-laki. Penting untuk dicatat bahwa persepsi ini tidak mewakili gambaran lengkap tentang terorisme.

Dalam tinjauan laporan militer yang ditulis oleh Byrd & Decker (2008), peran operasional perempuan cenderung terbatas dalam kelompok teroris sayap kanan, yang tujuannya tidak hanya mengubah struktur masyarakat, tetapi juga mengacaukan dan bahkan menghancurkan struktur tersebut. Perempuan memiliki peran yang lebih krusial sebagai penjaga nilai-nilai keluarga dan pendukung logistik bagi organisasi teroris berbasis Islam seperti al-Qaeda dan Hamas (Byrd & Decker, 2008).

Lebih lanjut didukung oleh data statistik resmi, Amerika Serikat menuntut hampir semua peserta terorisme laki-laki selama sepuluh tahun setelah serangan 11 September 2001 (Buner, 2016). Namun, dibarengi dengan momen ketika Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mendapatkan perhatian internasional pada tahun 2014, lahir pula tren keterlibatan perempuan (Wijaya, 2020).

Lebih lanjut Jacques dan Taylor (2019) mengemukakan bahwa keterlibatan perempuan dan anak-anak dalam organisasi ekstrem atau bahkan organisasi teroris diproyeksikan akan terus meningkat, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di samping itu, mereka menemukan bahwa di antara kelompok-kelompok teroris sayap kiri, seperti yang memperjuangkan kemerdekaan atau pembebasan sebuah negara dari tirani, perempuan memiliki peran potensial yang lebih besar dalam menjalankan operasi (Jacques & Taylor, 2019). Menurut sebuah penelitian dari Pusat Internasional untuk Studi Radikalisasi di King's College London oleh Cook & Vale (2018), dari April 2013 hingga Juni 2018, 41.490 orang di seluruh dunia bergabung dengan afiliasi ISIS di Irak dan Suriah. Sekitar 13% dari mereka, atau 4.761 orang, adalah perempuan.

Di Indonesia, beberapa kejadian menunjukkan adanya peningkatan keterlibatan perempuan dalam kelompok radikalisme, dengan beberapa di antaranya secara aktif terlibat sebagai pelaku aksi terorisme. Densus 88 menahan dua orang perempuan pada bulan Desember 2016, Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari, keduanya adalah mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang merencanakan bom bunuh diri yang menargetkan Istana Presiden Jakarta dan beberapa tempat lain di Bali. Menurut pihak berwenang Indonesia, Dian dan Ika aktif di berbagai platform media sosial dan juga dalam diskusi kelompok di aplikasi pesan mereka (Wijaya, 2020).

Anggi Indah Kusuma alias Khanza Syafiyah al-Furqon, mantan pekerja migran Indonesia di Hong Kong, ditangkap pada bulan Agustus 2017 karena diduga merencanakan serangan bom terhadap PT Pindad (Persero) Bandung, Istana Kepresidenan, dan Markas Korps Brimob Kelapa Dua, Jakarta. Puji Kuswati, seorang ibu dari empat orang anak, merupakan salah satu pelaku pengeboman sejumlah gereja di Surabaya pada bulan Mei 2018, bersama dengan suaminya (Dita Oeprianto) dan anak-anaknya. Pada tanggal 13 Maret 2019, seorang ibu meledakkan diri di rumahnya di Sibolga bersama putranya setelah menolak untuk digeledah oleh pihak berwenang. Husain Alkas Abu Hamzah ditahan karena diduga terlibat dalam jaringan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), tetapi istrinya menolak izin polisi untuk menggeledah rumah mereka, dan malah meledakkan diri bersama anaknya dan menghancurkan 155 rumah (Wijaya, 2020).

Keterlibatan perempuan dalam terorisme telah didokumentasikan sepanjang sejarah, dan peran mereka dalam kelompok teroris cukup beragam dan terus berkembang. Perempuan dapat memainkan peran aktif sebagai kombatan, perekrut, fasilitator, atau propagandis dalam organisasi teroris. Mengabaikan atau meremehkan keterlibatan perempuan dalam terorisme dapat menghambat upaya kontraterorisme yang efektif. Mengakui bahwa terorisme bukan hanya masalah maskulin penting untuk analisis intelijen yang komprehensif dan pengembangan kebijakan.

Mengintegrasikan perspektif gender dalam memahami terorisme membantu mengungkap motivasi, strategi rekrutmen, dan kerentanan ekstremis laki-laki dan perempuan, yang pada akhirnya mengarah pada tindakan kontraterorisme yang lebih efektif. Integrasi peran gender ke dalam analisis intelijen strategis sangat penting untuk pemahaman komprehensif mengenai dinamika terorisme yang kompleks.

Dengan mengungkap motivasi, kerentanan, dan strategi khusus yang digunakan oleh perempuan yang terlibat dalam kegiatan terorisme, penelitian ini bertujuan untuk menginformasikan pembuat kebijakan, badan keamanan, dan praktisi kontraterorisme tentang pentingnya integrasi gender dalam upaya intelijen strategis mereka. Selanjutnya, penelitian ini selaras dengan kerangka kerja dan konvensi internasional yang menekankan pentingnya mengintegrasikan perspektif gender ke dalam langkah-langkah keamanan dan kontraterorisme.

Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Wanita, Perdamaian, dan Keamanan, di antara inisiatif global lainnya, mengakui perlunya analisis gender dalam memahami dan menangani dampak terorisme terhadap gender yang berbeda. Dengan menelaah kasus partisipasi perempuan dalam seranga-serangan teroris di Indonesia, penelitian ini berkontribusi pada pemenuhan kewajiban tersebut dan mendorong kepatuhan terhadap standar internasional.

Pada akhirnya, penelitian ini berupaya untuk meningkatkan basis pengetahuan yang ada tentang peran gender dalam analisis intelijen strategis, dengan menekankan perlunya pemahaman yang komprehensif tentang dinamika gender dalam konteks ekstremis. Dengan menjembatani kesenjangan dalam literatur dan menangani kasus khusus keterlibatan perempuan dalam serangan teroris di Indonesia, penelitian ini bertujuan untuk berkontribusi pada kebijakan dan praktik kontraterorisme yang lebih efektif yang mencakup kompleksitas faktor terkait gender.�

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif. Jenis deskriptif adalah metodologi penelitian yang menggambarkan semua data atau keadaan subjek atau objek yang diteliti sehingga dapat dianalisis berdasarkan fakta-fakta yang diketahui dan kemudian digunakan untuk mencoba menjawab masalah yang diteliti (Kartini, 2010). Tujuan utama penelitian deskriptif kualitatif adalah untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang suatu fenomena dan memperoleh wawasan baru.

Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berfokus pada mendapatkan pengetahuan menyeluruh tentang topik yang diteliti dengan mengumpulkan data deskriptif, kontekstual, dan berorientasi pada interpretasi (Creswell, 2013; Sugiyono, 2016). Metode penelitian kualitatif berupaya untuk memperluas pemahaman tentang bagaimana sebuah hal dapat terjadi. Penelitian kualitatif bertujuan untuk "menjawab sebuah pertanyaan, secara sistematis menggunakan satu rangkaian standar prosedur untuk menjawab pertanyaan, mengumpulkan bukti, menghasilkan temuan yang tidak ditentukan diawal, dan seringkali menghasilkan temuan yang berlaku melampaui batas-batas penelitian" (Hancock, E., & Windridge, 2009).

Selain menggunakan metode kualitatif, penelitian ini bersifat interdisipliner. Studi� interdisipliner melibatkan kombinasi dua atau lebih disiplin akademik menjadi satu (misalnya, proyek penelitian). Penelitian interdisipliner berupaya untuk� menciptakan sesuatu yang baru dengan berpikir melintas batas dan mengacu pada eksplorasi kolaboratif tentang topik atau masalah penelitian dengan mengintegrasikan pengetahuan, metode, dan perspektif dari berbagai disiplin ilmu. Penelitian melintasi batas disiplin tradisional untuk mengatasi masalah kompleks yang tidak dapat dipahami menggunakan satu disiplin ilmu (Sudikan & Interdisipliner, 2021).

Dalam penelitian interdisipliner, peneliti menggabungkan keahlian, teori, metodologi, dan pendekatan untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang fenomena tertentu. Kolaborasi ini memungkinkan analisis holistik dan multi-dimensi dari masalah penelitian, dengan memanfaatkan beragam wawasan dan metode yang mungkin tidak dapat diakses dalam satu disiplin ilmu.

Manfaat penelitian interdisipliner adalah (Adi, 1998 ):

1. Pemahaman yang komprehensif: Dengan menggabungkan wawasan dari berbagai disiplin ilmu, penelitian interdisipliner dapat memberikan pemahaman yang lebih lengkap dan bernuansa tentang fenomena atau masalah yang kompleks;

2. Inovasi dan kreativitas: Kombinasi berbagai perspektif dan pendekatan seringkali mengarah pada ide-ide baru, solusi inovatif, dan pemikiran kreatif;

3. Mengatasi masalah yang kompleks: Penelitian interdisipliner berguna untuk mengatasi masalah yang kompleks yang membutuhkan keahlian dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini memungkinkan pendekatan yang lebih holistik dan terintegrasi untuk pemecahan masalah;

4. Menjembatani kesenjangan: Penelitian interdisipliner dapat menjembatani kesenjangan antar disiplin ilmu, menumbuhkan kolaborasi, komunikasi, dan pertukaran pengetahuan lintas bidang tradisional yang terpisah; Dampak lintas disiplin: Temuan dan solusi yang dihasilkan melalui penelitian lintas disiplin berpotensi berdampak pada pembuatan kebijakan, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan di luar ranah akademik.

5. Namun, penelitian interdisiplin juga menghadirkan tantangan, seperti mengkoordinasikan bahasa disiplin yang berbeda, mengintegrasikan beragam metodologi, dan mengelola potensi konflik antara perspektif disiplin. Penelitian interdisipliner yang efektif membutuhkan keterbukaan pikiran, komunikasi yang efektif, dan komitmen. Secara keseluruhan, penelitian interdisiplin menawarkan pendekatan yang berguna untuk mengatasi masalah kompleks dan memajukan pengetahuan dengan memanfaatkan kekuatan dan perspektif dari berbagai disiplin ilmu.

 

Hasil dan Pembahasan

Menurut beberapa penelitian, radikalisme menjadi dasar dari terorisme, dengan perempuan sering menjadi targetnya. Seorang analis gerakan teroris, Fathali M. Moghaddam (2022), mengidentifikasi empat tahap yang dilalui oleh Islam radikal sebelum berubah menjadi terorisme. Pertama, orang berpikir bahwa mereka tertindas dan dikucilkan, yang memotivasi mereka untuk mencari cara untuk mengubah situasi mereka. Kedua, ada keyakinan bahwa mengekspresikan kemarahan dan mengejar balas dendam terhadap penindas yang dianggap sebagai sesuatu yang mendesak dan penting. Ketiga, kegiatan terorisme dipandang sebagai cara yang paling efektif dan legal untuk mencapai kemenangan dengan cepat. Terakhir, ada pandangan yang kuat bahwa terorisme adalah jenis jihad yang paling tinggi, yang mencakup kehidupan mulia atau mati syahid.

Perempuan terus menderita sebagai korban selama proses radikalisasi. Di dalam organisasi radikalisme agama, para penafsir fundamentalis dan misoginis mengeksploitasi dan mendiskriminasi perempuan, didorong oleh norma-norma budaya yang patriarkis dan bias gender. Kecenderungan fanatisme ini memiliki pengaruh yang berbahaya bagi perempuan Indonesia �(Mulia, 2019). Profesor Asep Usman Ismail dari Universitas Indonesia dalam Sarwono (2012), seorang pakar Studi Terorisme, menyoroti penelitian UI yang menunjukkan adanya pergeseran peran perempuan yang terpapar terorisme, dari yang semula berada di belakang layar menjadi pelaku serangan. Perempuan dipandang sebagai sosok yang sangat penting dalam gerakan-gerakan ini, ketika mereka bergeser dari instruktur atau kader menjadi partisipan di sektor publik.

Media sering kali berfokus pada masalah istri yang berpartisipasi dalam kegiatan terorisme, yang terkadang dieksploitasi sebagai alat propaganda (Spencer, 2016). Dian Yulia Novi, misalnya, dicuci otaknya melalui media sosial oleh suaminya, Nur Solihin, yang menyatakan keinginannya untuk menjadikannya sebagai martir�(Siiroj, 2017). Insiden lain melibatkan perempuan yang berperan sebagai kekasih atau pelaku bom bunuh diri, seperti Munfiatun, istri Noordin M. Top, yang bekerja sebagai agen rahasia teroris. Siti Rahmah, istri kedua Noordin M. Top, bekerja sebagai perekrut dan pemasok logistik. Tokoh-tokoh seperti Putri Munawaroh dan Ika Puspita Sari juga memainkan peran penting dalam merekrut dan mendukung tujuan teroris (Rahim, 2021).

Musdah (2019) mengidentifikasi faktor agama sebagai alasan utama mengapa perempuan Indonesia bergabung dengan organisasi teroris. Para perempuan pada awalnya menolak pemikiran Islam fundamentalis yang menyerukan pembantaian terhadap non-Muslim. Namun, hal ini kemudian berkembang menjadi legitimasi partisipasi perempuan dalam jihad untuk membela Islam dan negara Islam. Kedekatan pengaruh dan teknik ISIS dengan jaringan teroris di Indonesia menyebabkan keterlibatan perempuan Indonesia dalam terorisme, karena jumlah anggota ISIS yang laki-laki telah berkurang akibat penahanan atau kematian, sehingga memaksa perekrutan perempuan dan bahkan anak-anak untuk meneruskan operasi teror.

Pendekatan global ISIS kini sedang diterapkan di Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian. Telah ditemukan bahwa istri dan keluarga teroris telah lama terlibat dalam pemboman tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara seperti Suriah, Lebanon, dan Turki, di mana suami dan anggota keluarga mereka adalah jihadis.

Selain itu, perempuan yang terlibat terorisme ini biasanya tidak berasal dari kelas menengah ke bawah, dengan beberapa milik kelas menengah ke atas. Mereka memegang berbagai pekerjaan, termasuk mengajar, mengajar, berkhotbah, mengejar gelar doktor, pekerjaan kantor, aktivisme organisasi, dan pemasaran web. Beberapa bekerja sebagai pegawai toko, pekerja migran, atau pekerja pabrik.

Beberapa wanita ini direkrut ke dalam ideologi ekstremis melalui pernikahan, dengan suami mereka mengindoktrinasi mereka ke dalam Islam radikal. Mereka menikah dengan maksud menanamkan cita-cita ekstrem pada pasangan mereka, dan beberapa bahkan menikah saat suami mereka berada di penjara. Namun, banyak individu diindoktrinasi sebelum menikah, sering dipengaruhi oleh kenalan atau rekan dekat suami mereka yang telah lama terlibat dalam jaringan teroris. Wanita-wanita ini juga pengguna internet aktif. Mereka terpapar radikalisme melalui internet. Platform media sosial seperti Facebook berfungsi sebagai sarana komunikasi dengan suami dan kelompok afiliasi mereka�(Asiyah, Prasetyo, & Sudjak, 2020).

Berdasarkan penjebaran faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, kita dapat simpulkan bahwa perempuan dapat terlibat dalam terorisme dengan berbagai cara. Salah satu faktor yang signifikan adalah perempuan yang terjebak dalam lingkaran terorisme sebagai istri teroris. Sebagai pendamping utama suami mereka, mereka dapat terlibat secara aktif dalam menyembunyikan dan melindungi suami mereka dari penangkapan oleh pihak berwenang. Selain faktor tersebut, faktor lainnya adalah:

1) Beberapa perempuan direkrut melalui pernikahan yang sengaja diatur untuk menanamkan doktrin radikal ke dalam pikiran mereka�(Asiyah, Prasetyo, & Sudjak, 2020). Dalam kasus ini, suami perempuan yang terlibat dalam terorisme melakukan upaya sadar untuk mencuci otak mereka dengan ajaran ekstremis, sehingga mempengaruhi perilaku dan keyakinan mereka.

2) Faktor ekonomi atau kemiskinan juga dapat menjadi alasan perempuan terlibat dalam terorisme. Ketika keluarga mengalami keterbatasan ekonomi, pendidikan sering kali diprioritaskan bagi anak laki-laki, sementara perempuan dibiarkan dengan keterbatasan pengetahuan dan pendidikan. Kondisi ini membuat perempuan lebih rentan terhadap perekrutan dan manipulasi oleh kelompok teroris.

3) Selain itu, norma-norma budaya yang patriarkis dan bias gender juga memainkan peran dalam eksploitasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh organisasi radikalisme agama. Penafsir fundamentalis dan misoginis menggunakan norma-norma tersebut untuk memaksa perempuan menjadi bagian dari jaringan terorisme.

4) Perubahan sosial juga dapat memengaruhi peran perempuan dalam terorisme. Beberapa perempuan yang sebelumnya berada di belakang layar, seperti sebagai pendukung logistik atau pengurus keluarga teroris, dapat beralih menjadi pelaku serangan atau teror. Perubahan ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pengaruh ideologi ekstremis yang memperbolehkan partisipasi aktif perempuan dalam jihad.

5) Selanjutnya, terdapat legitimasi yang diberikan oleh beberapa kelompok teroris terhadap partisipasi perempuan dalam jihad untuk membela Islam dan negara Islam. Hal ini dapat mempengaruhi persepsi dan motivasi perempuan untuk terlibat dalam aktivitas terorisme.

6) Terakhir, penurunan jumlah anggota laki-laki dalam jaringan terorisme akibat penahanan atau kematian dapat mendorong kelompok teroris merekrut perempuan dan bahkan anak-anak sebagai bagian dari strategi mempertahankan operasi mereka.

 

Perspektif Gender terhadap Keterlibatan Perempuan dalam Pusaran Terorisme

Hasil atau temuan penelitian menunjukkan bahwa terorisme tidak eksklusif untuk laki-laki dan bahwa perempuan dapat mengambil peran dan fungsi yang sama. Hal ini menunjukkan adanya kesetaraan gender dari perspektif teori gender. Namun, muncul pertanyaan apakah fenomena ini sejalan dengan teori gender itu sendiri. Istilah "gender" dalam bahasa Inggris mengacu pada seks biologis, tetapi Webster's New World Dictionary dalam (Senathalia, Subhan, & Rosyidah, 2021) mendefinisikannya sebagai perbedaan antara pria dan wanita dalam hal nilai dan perilaku.

Namun, gender melampaui itu dan didefinisikan sebagai konsep budaya yang mencakup perbedaan peran, perilaku, pola pikir, dan karakteristik emosional yang berkembang dalam masyarakat. Kesetaraan gender memerlukan penyediaan kesempatan dan hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan sebagai manusia, yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan nasional, dan keamanan.

Ini juga mencakup penikmatan yang sama dari hasil pembangunan dan penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural terhadap laki-laki dan perempuan. Keadilan gender adalah perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki, bebas dari standarisasi peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan. Mencapai kesetaraan dan keadilan gender berarti menghapuskan diskriminasi dan memberikan perempuan dan laki-laki akses, kesempatan partisipasi, dan kontrol atas pembangunan sambil memperoleh manfaat yang setara dan adil darinya (Senathalia, Subhan, & Rosyidah, 2021).

Perbedaan gender pada dasarnya alami dan fenomena budaya, yang dikenal sebagai sunnatullah. Perbedaan-perbedaan ini tidak akan menjadi masalah jika mereka tidak mengarah pada ketidakadilan. Namun, pada kenyataannya, perbedaan tersebut menimbulkan berbagai bentuk ketidakadilan, terutama yang menimpa perempuan. Ketidaksetaraan gender termanifestasi dalam berbagai cara (Senathalia, Subhan, & Rosyidah, 2021):

1) Kemiskinan ekonomi sebagai akibat dari marjinalisasi. Dalam hal mendapatkan akses pendidikan, misalnya, anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan kembali ke dapur.

2) Subordinasi adalah anggapan bahwa salah satu jenis kelamin lebih signifikan atau lebih penting daripada yang lain. Sudah lama ada anggapan bahwa perempuan memiliki status dan peran yang lebih rendah daripada laki-laki. Sebagai contoh, anak perempuan biasanya tidak memiliki akses yang sama terhadap hak istimewa pendidikan seperti anak laki-laki. Ketika keuangan keluarga terbatas, hak untuk bersekolah diprioritaskan untuk anak laki-laki, meskipun faktanya, jika diperhatikan, anak perempuan tidak selalu tidak mampu.

3) Stereotip adalah gambaran konvensional tentang orang atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Secara umum, pelabelan negatif menyebabkan ketidakadilan. Akibatnya, perempuan menghadapi diskriminasi dan ketidakadilan lainnya. Sebagai contoh, perspektif perempuan yang tugas dan aktivitasnya terbatas pada pekerjaan domestik atau rumah tangga. Perempuan tidak boleh dicap sebagai "ibu rumah tangga" jika mereka ingin berpartisipasi dalam "kegiatan laki-laki" seperti politik, bisnis, atau birokrasi.

4) Penunjukan laki-laki sebagai pencari nafkah utama telah menyebabkan segala sesuatu yang dilakukan oleh perempuan dianggap sebagai pekerjaan sambilan atau tambahan dan sering diabaikan.

5) Kekerasan adalah serangan fisik atau psikologis terhadap integritas mental atau tubuh seseorang. Akibatnya, kekerasan tidak hanya mencakup tindakan fisik seperti pemerkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga tindakan non-fisik seperti pelecehan seksual yang menyebabkan tekanan mental.

6) Beban ganda adalah beban yang harus ditanggung secara tidak proporsional oleh salah satu jenis kelamin. Berbagai pengamatan menunjukkan bahwa perempuan melakukan lebih dari 90% pekerjaan rumah tangga. Jadi, selain bekerja di tempat kerja, individu yang bekerja juga harus melakukan pekerjaan rumah tangga.

 

Upaya Kontraterorisme dalam Intelijen Strategis Penanggulangan Fenomena Perempuan dalam Terorisme

Kontra-terorisme mengacu pada tindakan yang diambil oleh pemerintah, lembaga penegak hukum, dan organisasi lain untuk mencegah, mengganggu, dan merespons serangan teroris (Miller, Henschke, & Feltes, Counter-terrorism: the ethical issues, 2021). Tujuan kontra-terorisme adalah untuk melindungi warga sipil dan infrastruktur dari serangan teroris, serta menangkap dan menuntut mereka yang bertanggung jawab atas serangan tersebut (Miller & Bossomaier, 2021). Langkah-langkah kontra-terorisme dapat mencakup pengumpulan intelijen, pengawasan, keamanan perbatasan, operasi militer, dan kegiatan penegakan hukum (Gill, et al., 2021).

Langkah-langkah ini sering kali kontroversial, karena dapat melibatkan keseimbangan antara masalah keamanan dengan kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Upaya kontraterorisme dalam intelijen strategis merupakan suatu pendekatan yang berfokus pada pencegahan dan penanggulangan ancaman terorisme dengan menggunakan berbagai informasi dan strategi yang dikumpulkan melalui intelijen. Dalam konteks fenomena perempuan dalam terorisme, upaya kontraterorisme yang dilakukan secara strategis bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menangani peran perempuan dalam jaringan terorisme.

Untuk mencegah dan menanggulangi fenomena perempuan dalam terorisme, upaya intelijen strategis harus mempertimbangkan hal-hal berikut:

1. Pendekatan berorientasi Gender: Strategi kontraterorisme harus memasukkan perspektif sensitif gender yang mengakui motivasi, kerentanan, dan peran unik perempuan dalam terorisme. Ini melibatkan pemahaman beragam faktor yang berkontribusi terhadap keterlibatan perempuan dan mengembangkan intervensi yang ditargetkan untuk mengatasinya.

2. Memberdayakan Perempuan: Upaya harus fokus pada pemberdayaan perempuan di komunitas rentan, menyediakan akses ke pendidikan, peluang ekonomi, dan jaringan dukungan. Dengan mengatasi faktor-faktor sosial dan ekonomi mendasar yang berkontribusi terhadap marginalisasi, masyarakat dapat mengurangi daya tarik ideologi ekstremis dan menciptakan jalur alternatif bagi perempuan.

3. Mempromosikan Kesetaraan Gender: Mendorong kesetaraan gender dan menantang norma-norma sosial yang membatasi agensi dan peluang perempuan dapat memainkan peran penting dalam melawan daya pikat terorisme. Dengan mengadvokasi hak-hak perempuan dan inklusivitas, masyarakat dapat melemahkan narasi ekstremis yang mengeksploitasi ketidaksetaraan gender.

4. Keterlibatan Masyarakat: Membangun hubungan yang kuat antara lembaga penegak hukum, masyarakat lokal, dan organisasi perempuan sangat penting. Upaya kolaboratif dapat membantu mengidentifikasi dan mendukung individu yang berisiko, mempromosikan intervensi dan rehabilitasi dini, dan menumbuhkan rasa kepercayaan dan ketahanan dalam masyarakat.

5. Meningkatkan Pengumpulan Intelijen: Intelijen strategis harus fokus pada pengumpulan informasi yang secara khusus terkait dengan keterlibatan perempuan dalam jaringan terorisme. Ini termasuk memantau platform online, jejaring sosial, dan dinamika komunitas untuk mengidentifikasi pola rekrutmen, propaganda yang menargetkan perempuan, dan potensi ancaman.

Dalam konteks ini, intelijen strategis menjadi sangat penting dalam upaya kontraterorisme. Melalui pengumpulan informasi yang akurat dan analisis yang mendalam, intelijen dapat mengidentifikasi dan melacak jaringan terorisme yang melibatkan perempuan. Intelijen strategis juga dapat membantu mengembangkan strategi pencegahan yang efektif dan langkah-langkah penindakan yang tepat guna terhadap perempuan yang terlibat dalam terorisme.

 

 

 

 

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perempuan dapat memainkan peran dan fungsi yang sama dalam terorisme seperti laki-laki, menunjukkan adanya kesetaraan gender dari perspektif teori gender. Namun, artikel ini berpendapat bahwa keterlibatan perempuan dalam terorisme tidak sepenuhnya sejalan dengan konsep gender atau pengakuan gender karena perbedaan mencolok antara filosofi dan sejarah gender dengan tema terorisme. Meskipun istilah "gender" mencakup perbedaan antara pria dan wanita dalam nilai dan perilaku, gender juga melampaui itu sebagai konsep budaya yang mencakup perbedaan peran, perilaku, dan karakteristik emosional yang berkembang dalam masyarakat.

Mencapai kesetaraan dan keadilan gender memerlukan penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural terhadap perempuan dan laki-laki. Berbagai bentuk ketidaksetaraan gender, seperti kemiskinan ekonomi, subordinasi, stereotip, penunjukan laki-laki sebagai pencari nafkah utama, kekerasan, dan beban ganda, termanifestasi dalam masyarakat dan mempengaruhi perempuan secara khusus. Dalam konteks terorisme, penting untuk mempertimbangkan dan memahami dinamika gender dalam upaya memahami fenomena ini secara lebih komprehensif. Selain itu, secara garis besar ada banyak faktor dan alasan mengapa perempuan memainkan peran penting dalam jaringan terorisme.

Faktor-faktor tersebut antara lain: 1) Perempuan dapat terjebak dalam pusaran terorisme karena mereka merupakan istri teroris sendiri. 2)������ Beberapa perempuan direkrut melalui pernikahan, dan mereka sengaja dinikahkan agar bisa lebih dicuci otaknya dengan doktrin ekstremis. 3)������ Faktor ekonomi atau kemiskinan. 4) Di dalam organisasi radikalisme agama, para penafsir fundamentalis dan misoginis mengeksploitasi dan mendiskriminasi perempuan, didorong oleh norma-norma budaya yang patriarkis dan bias gender. 5) Adanya pergeseran peran perempuan (akibat perubahan sosial). 6) Legitimasi partisipasi perempuan dalam jihad untuk membela Islam dan negara Islam. 7) Berkurangnya jumlah anggota jaringan terorisme laki-laki akibat penahanan/kematian, sehingga memaksa perempuan dan bahkan anak-anak untuk meneruskan operasi teror.

Terakhir, Untuk mencegah dan menanggulangi fenomena perempuan dalam terorisme, upaya intelijen strategis harus mempertimbangkan hal-hal berikut: 1) Pendekatan Sensitif Gender; 2) Memberdayakan Perempuan; 3) Mempromosikan Kesetaraan Gender; 4) Keterlibatan Masyarakat; dan 5) Meningkatkan Pengumpulan Intelijen. �

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adi, I. R. (1998 ). Pendekatan Interdisipliner dalam Studi Amerika. Humaniora, No.7, Januari � Maret 1998, hal. 82-85.

 

Asiyah, U., Prasetyo, R. A., & Sudjak, S. (2020). Jihad perempuan dan terorisme. Jurnal Sosiologi Agama, 14(1), 125-140.

 

Buner, E. (2016). Doing Our Part: Acknowledging and Addressing Women's Contributions to ISIS. William & Mary Journal of Race, Gender and Social Justice, 420.

 

Byrd, M. B., & Decker, G. (2008). . Why the U.S. Should GENDER Its Counterterrorism Strategy. Military Review, 99.

 

Cook, J., & Vale, G. (2018). From Daesh to "Diaspora": Tracing the Women and Minors of Islamic State. London: King's College.

 

Creswell, J. W. (2013). Qualitative inquiry and research design: Choosing among five approaches. Sage Publications.

 

Gill, P., Clemmow, C., Hetzel, F., Rottweiler, B., Salman, N., Vegt, I. V., & Marchment, Z. (2021). Systematic review of mental health problems and violent extremism. The Journal of Forensic Psychiatry & Psychology 32, no. 1 (2021): 51-78.

 

Hancock, B., E., O., & Windridge, K. (2009). An Introductio nto Qualitative Research. The NIHR RDS EM / YH.

 

Jacques, K., & Taylor, P. J. (2019). Female Terrorism: A Review. Terrorism and Political Violence, 512.

 

Kartini, K. (2010). Research Methods. Bandung: Alumni.

 

Lavanderos, L. (2015). Strategic Intelligence Process. IGI Global 10.4018/978-1-4666-7369-4.ch007, 150-182.

 

Miller, S., & Bossomaier, T. (2021). Privacy, Encryption and Counter-Terrorism. Counter-Terrorism, Ethics and Technology: Emerging Challenges at the Frontiers of Counter-Terrorism, 139-154.

 

Miller, S., Henschke, A., & Feltes, J. F. (2021). Counter-terrorism: the ethical issues. Edward Elgar Publishing.

 

Moghaddam, F. M. (2022). The Psychology of Radicalization: An Interview with Fathali M. Moghaddam. In Making Sense of Radicalization and Violent Extremism Routledge, 81-88.

 

Mulia, M. (2019). Perempuan dalam gerakan terorisme di Indonesia. Al-Wardah: Jurnal Kajian Perempuan, Gender dan Agama 12.1 (2019): 80-95., 80-95.

 

Rahim, A. (2021). Begini Isi Surat Wasiat Zakiah Aini Kepada Keluarga Sebelum Lakukan Aksi Teror Di Mabes. Tratto da https://www.kompas.tv/article/160329/begini-isi-surat-wasiat-zakiah-ainikepada-keluarga-sebelum-lakukan-aksi-teror-di-mabes

 

Rusfiana, Y., & Hanifah, A. (2021). DEvelopment Capacity And Synergy Of Regional Authorities In Early Detection Of Terrorism Actions. Jurnal Ilmiah Wahana Bhakti Praja, 189-197.

 

Sarwono, S. W. (2012). Terorisme di Indonesia: Dalam Tinjauan Psikologi. Pustaka Alvabet.

 

Senathalia, A. M., Subhan, Z., & Rosyidah, I. (2021). Gender dan Fenomena Terorisme Perempuan. Kalam: Jurnal Agama dan Sosial Humaniora, 9(1), 1-12.

 

Siiroj, S. A. (2017). Perempuan Dan Terorisme. Tratto da https://nasional.kompas.com/read/2017/01/06/12565011/NaN?page=all

 

Spencer, A. N. (2016). The Hidden Face of Terrorism: An Analysis of the Women in Islamic State. Journal of Strategic Security, 78.

 

Sudikan, S. Y., & Interdisipliner, P. (2021). Multidisipliner, dan Transdisipliner dalam Studi Sastra. Jurnal Paramasastra, 2.

 

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

 

Wijaya, T. I. (2020). Peran Manipulasi Informasi Terhadap Keikutsertaan Perempuan Dalam Gerakan Terorisme. Journal of Terrorism Studies: Vol. 2 : No. 1 , Article 6., 94-113.

 

 

Copyright holder:

Priscilla Harjanti, Margaretha Hanita, Eko Daryanto (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: