Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
7, Juli 2023
MENGINTEGRASIKAN PERAN GENDER DALAM
ANALISIS INTELIJEN
STRATEGIS: PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM
KELOMPOK TERORIS DI INDONESIA
Priscilla Harjanti, Margaretha Hanita, Eko Daryanto
Universitas Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Peran perempuan dalam kelompok teroris dapat bervariasi tergantung pada organisasi, ideologi, dan konteks budaya. Sementara secara tradisional perempuan dipandang sebagai peserta pasif atau hanya terbatas pada peran pendukung, sekarang semakin banyak pengakuan atas keterlibatan aktif dan peran yang beragam oleh perempuan dalam kegiatan terorisme. Penelitian ini menyoroti pentingnya memahami peran gender dan perempuan dalam kelompok teroris, serta dampaknya terhadap analisis intelijen strategis. Dengan mempertimbangkan dinamika gender, analisis intelijen menjadi lebih akurat dan komprehensif. Analisis peran gender membantu mengungkap ancaman tersembunyi atau yang seringkali diabaikan. Organisasi teroris dan gerakan ekstremis dapat mengeksploitasi norma dan ekspektasi gender untuk merekrut, meradikalisasi, dan memobilisasi individu untuk mencapai tujuan. Mengakui bagaimana gender memengaruhi strategi rekrutmen dan mengidentifikasi kerentanan unik kelompok tertentu, dapat membantu mengidentifikasi potensi ancaman yang mungkin tidak diperhatikan. Ini juga menguntungkan analisis intelijen karena dapat menginformasikan langkah-langkah pencegahan, melindungi populasi yang rentan, dan mengatasi beragam kebutuhan dan pengalaman individu yang terkena dampak terorisme. Studi ini bertujuan untuk berkontribusi pada diskusi yang lebih luas tentang perspektif gender dalam upaya kontraterorisme dan analisis intelijen strategis. Ini menekankan perlunya analisis intelijen yang peka terhadap gender untuk meningkatkan strategi pencegahan dan mitigasi di bidang kontraterorisme dan intelijen, yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kebijakan dan praktik kontraterorisme.
Kata kunci: Terorisme; Perempuan; Intelijen Strategis; Peran Gender.
Abstract
Women's roles in
terrorist groups can vary depending on the specific organization, ideology, and
cultural context. While traditionally women have been viewed as passive
participants or solely confined to support roles, there has been a growing
recognition of their active and diverse involvement in extremist activities.
This study highlights the importance of understanding the roles women play
within terrorist groups and their impact on operational strategies. By
considering gender dynamics, intelligence analysis becomes more accurate and
comprehensive. Gender-sensitive analysis helps uncover hidden or underestimated
threats. Terrorist organizations and extremist movements may exploit gender
norms and expectations to recruit, radicalize, and mobilize individuals.
Acknowledging how gender influences recruitment strategies and identifying the
unique vulnerabilities of certain groups, can help identify potential threats
that might otherwise go unnoticed. This also benefits intelligence analysis as
it can better inform preventive measures, protect vulnerable populations, and
address the diverse needs and experiences of individuals affected by terrorism.
This study aims to contribute to a broader discussion on gender perspectives in
counterterrorism efforts and strategic intelligence analysis. It emphasizes the
need for gender-sensitive intelligence analysis to enhance prevention and
mitigation strategies in the field of counterterrorism and intelligence,
ultimately aiming to enhance counterterrorism policies and practices.
Keywords: Terrorism; Woman; Strategic Intelligence;
Gender Roles.
Pendahuluan
Terorisme mengacu pada penggunaan kekerasan, intimidasi, atau ancaman oleh aktor non-negara guna menciptakan ketakutan, kepanikan, dan memberikan pengaruh terhadap khalayak luas. Ini adalah strategi bermotivasi politik yang digunakan untuk memajukan tujuan ideologis, agama, atau politik tertentu melalui sasaran yang disengaja terhadap warga sipil, infrastruktur publik, atau lembaga pemerintah. Karakteristik-karakteristik utama terorisme adalah motivasi politik atau ideologis, aktor adalah non-negara, memiliki unsur kekerasan dan pemaksaan, target sasaran merupakan target yang simbolis, bertujuan untuk mempengaruhi secara psikis, melakukan propaganda dan eksploitasi media, dan bersifat global.
Persepsi bahwa terorisme sering dipandang sebagai isu maskulin dapat dikaitkan dengan beberapa faktor, antara lain tren sejarah, stereotipe masyarakat, dan dinamika gender dalam organisasi teroris itu sendiri. Secara historis, mayoritas aksi teroris dilakukan oleh laki-laki. Meskipun ada contoh keterlibatan perempuan dalam terorisme sepanjang sejarah, keterlibatan laki-laki yang menonjol telah menciptakan persepsi bahwa terorisme didominasi oleh laki-laki. Stereotip dan pengetahuan masyarakat tentang peran gender dapat membentuk persepsi bahwa terorisme adalah sebuah isu maskulin.
Norma gender tradisional sering mengasosiasikan maskulinitas dengan agresi, kekerasan, dan penggunaan kekuatan, sedangkan feminitas dikaitkan dengan peran mengasuh dan merawat. Stereotip ini dapat mempengaruhi persepsi bahwa laki-laki lebih cenderung terlibat dalam aksi terorisme. Di banyak organisasi teroris, laki-laki cenderung lebih terlibat dalam pertempuran dan peran operasional, seperti melakukan serangan, menangani senjata, dan perencanaan strategis. Peran yang terlihat dan terbuka ini berkontribusi pada persepsi terorisme sebagai domain maskulin.
Beberapa organisasi teroris menganut struktur dan ideologi patriarki, di mana laki-laki memegang posisi kepemimpinan dan menggunakan kendali atas proses pengambilan keputusan. Hal ini memperkuat persepsi bahwa terorisme terutama didorong dan dilakukan oleh laki-laki. Penting untuk dicatat bahwa persepsi ini tidak mewakili gambaran lengkap tentang terorisme.
Dalam
tinjauan laporan militer yang ditulis oleh Byrd
& Decker (2008),
peran operasional perempuan cenderung terbatas dalam kelompok teroris sayap kanan, yang tujuannya tidak hanya mengubah struktur masyarakat, tetapi juga mengacaukan dan bahkan menghancurkan struktur tersebut. Perempuan memiliki peran yang lebih krusial sebagai
penjaga nilai-nilai keluarga dan pendukung logistik bagi organisasi
teroris berbasis Islam seperti al-Qaeda dan Hamas
Lebih
lanjut didukung oleh data statistik resmi, Amerika Serikat menuntut hampir semua peserta
terorisme laki-laki selama sepuluh tahun setelah serangan
11 September 2001
Lebih
lanjut Jacques dan Taylor
Di Indonesia, beberapa kejadian menunjukkan adanya peningkatan keterlibatan perempuan dalam kelompok radikalisme, dengan beberapa di antaranya secara aktif terlibat sebagai pelaku aksi terorisme. Densus 88 menahan dua orang perempuan pada bulan Desember 2016, Dian Yulia
Novi dan Ika Puspitasari, keduanya
adalah mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang merencanakan
bom bunuh diri yang menargetkan Istana Presiden Jakarta dan beberapa tempat lain di Bali. Menurut pihak berwenang Indonesia, Dian
dan Ika aktif di berbagai
platform media sosial dan juga dalam
diskusi kelompok di aplikasi pesan mereka
Anggi
Indah Kusuma alias Khanza Syafiyah
al-Furqon, mantan pekerja migran Indonesia di Hong
Kong, ditangkap pada bulan Agustus 2017 karena diduga merencanakan serangan bom terhadap
PT Pindad (Persero) Bandung, Istana Kepresidenan, dan Markas Korps Brimob Kelapa Dua, Jakarta. Puji Kuswati, seorang
ibu dari empat orang anak, merupakan salah satu pelaku pengeboman sejumlah gereja di Surabaya pada bulan Mei 2018, bersama dengan suaminya (Dita Oeprianto) dan anak-anaknya. Pada
tanggal 13 Maret 2019, seorang ibu meledakkan
diri di rumahnya di Sibolga bersama putranya setelah menolak untuk digeledah
oleh pihak berwenang.
Husain Alkas Abu Hamzah ditahan
karena diduga terlibat dalam jaringan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), tetapi istrinya menolak izin polisi untuk
menggeledah rumah mereka, dan malah meledakkan diri bersama anaknya dan menghancurkan 155 rumah
Keterlibatan perempuan dalam terorisme telah didokumentasikan sepanjang sejarah, dan peran mereka dalam kelompok teroris cukup beragam dan terus berkembang. Perempuan dapat memainkan peran aktif sebagai kombatan, perekrut, fasilitator, atau propagandis dalam organisasi teroris. Mengabaikan atau meremehkan keterlibatan perempuan dalam terorisme dapat menghambat upaya kontraterorisme yang efektif. Mengakui bahwa terorisme bukan hanya masalah maskulin penting untuk analisis intelijen yang komprehensif dan pengembangan kebijakan.
Mengintegrasikan perspektif gender dalam memahami terorisme membantu mengungkap motivasi, strategi rekrutmen, dan kerentanan ekstremis laki-laki dan perempuan, yang pada akhirnya mengarah pada tindakan kontraterorisme yang lebih efektif. Integrasi peran gender ke dalam analisis intelijen strategis sangat penting untuk pemahaman komprehensif mengenai dinamika terorisme yang kompleks.
Dengan mengungkap motivasi, kerentanan, dan strategi khusus yang digunakan oleh perempuan yang terlibat dalam kegiatan terorisme, penelitian ini bertujuan untuk menginformasikan pembuat kebijakan, badan keamanan, dan praktisi kontraterorisme tentang pentingnya integrasi gender dalam upaya intelijen strategis mereka. Selanjutnya, penelitian ini selaras dengan kerangka kerja dan konvensi internasional yang menekankan pentingnya mengintegrasikan perspektif gender ke dalam langkah-langkah keamanan dan kontraterorisme.
Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Wanita, Perdamaian, dan Keamanan, di antara inisiatif global lainnya, mengakui perlunya analisis gender dalam memahami dan menangani dampak terorisme terhadap gender yang berbeda. Dengan menelaah kasus partisipasi perempuan dalam seranga-serangan teroris di Indonesia, penelitian ini berkontribusi pada pemenuhan kewajiban tersebut dan mendorong kepatuhan terhadap standar internasional.
Pada akhirnya, penelitian ini berupaya untuk meningkatkan basis pengetahuan yang ada tentang peran gender dalam analisis intelijen strategis, dengan menekankan perlunya pemahaman yang komprehensif tentang dinamika gender dalam konteks ekstremis. Dengan menjembatani kesenjangan dalam literatur dan menangani kasus khusus keterlibatan perempuan dalam serangan teroris di Indonesia, penelitian ini bertujuan untuk berkontribusi pada kebijakan dan praktik kontraterorisme yang lebih efektif yang mencakup kompleksitas faktor terkait gender.�
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif. Jenis
deskriptif adalah metodologi penelitian yang menggambarkan semua data atau
keadaan subjek atau objek yang diteliti sehingga dapat dianalisis berdasarkan
fakta-fakta yang diketahui dan kemudian digunakan untuk mencoba menjawab
masalah yang diteliti
Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berfokus pada
mendapatkan pengetahuan menyeluruh tentang topik yang diteliti dengan
mengumpulkan data deskriptif, kontekstual, dan berorientasi pada interpretasi
Selain menggunakan metode kualitatif, penelitian
ini bersifat interdisipliner. Studi�
interdisipliner melibatkan kombinasi dua atau lebih disiplin akademik
menjadi satu (misalnya, proyek penelitian). Penelitian interdisipliner berupaya
untuk� menciptakan sesuatu yang baru
dengan berpikir melintas batas dan mengacu pada eksplorasi kolaboratif tentang
topik atau masalah penelitian dengan mengintegrasikan pengetahuan, metode, dan
perspektif dari berbagai disiplin ilmu. Penelitian melintasi batas disiplin tradisional
untuk mengatasi masalah kompleks yang tidak dapat dipahami menggunakan satu
disiplin ilmu
Dalam penelitian interdisipliner, peneliti
menggabungkan keahlian, teori, metodologi, dan pendekatan untuk mendapatkan
pemahaman yang komprehensif tentang fenomena tertentu. Kolaborasi ini
memungkinkan analisis holistik dan multi-dimensi dari masalah penelitian,
dengan memanfaatkan beragam wawasan dan metode yang mungkin tidak dapat diakses
dalam satu disiplin ilmu.
Manfaat penelitian interdisipliner adalah
1. Pemahaman
yang komprehensif: Dengan menggabungkan wawasan dari berbagai disiplin ilmu,
penelitian interdisipliner dapat memberikan pemahaman yang lebih lengkap dan
bernuansa tentang fenomena atau masalah yang kompleks;
2. Inovasi dan
kreativitas: Kombinasi berbagai perspektif dan pendekatan seringkali mengarah
pada ide-ide baru, solusi inovatif, dan pemikiran kreatif;
3. Mengatasi
masalah yang kompleks: Penelitian interdisipliner berguna untuk mengatasi
masalah yang kompleks yang membutuhkan keahlian dari berbagai disiplin ilmu. Hal
ini memungkinkan pendekatan yang lebih holistik dan terintegrasi untuk
pemecahan masalah;
4. Menjembatani
kesenjangan: Penelitian interdisipliner dapat menjembatani kesenjangan antar
disiplin ilmu, menumbuhkan kolaborasi, komunikasi, dan pertukaran pengetahuan
lintas bidang tradisional yang terpisah; Dampak lintas disiplin: Temuan dan
solusi yang dihasilkan melalui penelitian lintas disiplin berpotensi berdampak
pada pembuatan kebijakan, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan di luar
ranah akademik.
5. Namun, penelitian interdisiplin juga menghadirkan tantangan, seperti mengkoordinasikan bahasa disiplin yang berbeda, mengintegrasikan beragam metodologi, dan mengelola potensi konflik antara perspektif disiplin. Penelitian interdisipliner yang efektif membutuhkan keterbukaan pikiran, komunikasi yang efektif, dan komitmen. Secara keseluruhan, penelitian interdisiplin menawarkan pendekatan yang berguna untuk mengatasi masalah kompleks dan memajukan pengetahuan dengan memanfaatkan kekuatan dan perspektif dari berbagai disiplin ilmu.
Hasil dan Pembahasan
Menurut
beberapa penelitian, radikalisme menjadi dasar dari terorisme,
dengan perempuan sering menjadi targetnya. Seorang analis gerakan teroris, Fathali M. Moghaddam
Perempuan terus menderita sebagai korban selama proses radikalisasi. Di dalam organisasi radikalisme agama,
para penafsir fundamentalis
dan misoginis mengeksploitasi
dan mendiskriminasi perempuan,
didorong oleh norma-norma budaya yang patriarkis dan bias
gender. Kecenderungan fanatisme
ini memiliki pengaruh yang berbahaya bagi perempuan Indonesia
Media sering
kali berfokus pada masalah istri yang berpartisipasi dalam kegiatan terorisme, yang terkadang dieksploitasi sebagai alat propaganda
Musdah
Pendekatan global ISIS kini sedang diterapkan di Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian. Telah ditemukan bahwa istri dan keluarga teroris telah lama terlibat dalam pemboman tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara seperti Suriah, Lebanon, dan Turki, di mana suami dan anggota keluarga mereka adalah jihadis.
Selain itu, perempuan yang terlibat terorisme ini biasanya tidak berasal dari kelas menengah ke bawah, dengan beberapa milik kelas menengah ke atas. Mereka memegang berbagai pekerjaan, termasuk mengajar, mengajar, berkhotbah, mengejar gelar doktor, pekerjaan kantor, aktivisme organisasi, dan pemasaran web. Beberapa bekerja sebagai pegawai toko, pekerja migran, atau pekerja pabrik.
Beberapa
wanita ini direkrut ke dalam
ideologi ekstremis melalui pernikahan, dengan suami mereka
mengindoktrinasi mereka ke dalam Islam radikal. Mereka menikah dengan maksud menanamkan cita-cita ekstrem pada pasangan mereka, dan beberapa bahkan menikah saat suami
mereka berada di penjara. Namun, banyak individu diindoktrinasi sebelum menikah, sering dipengaruhi oleh kenalan atau rekan dekat
suami mereka yang telah lama terlibat dalam jaringan teroris. Wanita-wanita ini juga pengguna internet aktif. Mereka terpapar
radikalisme melalui
internet. Platform media sosial seperti
Facebook berfungsi sebagai sarana komunikasi dengan suami dan kelompok afiliasi mereka
Berdasarkan penjebaran faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, kita dapat simpulkan bahwa perempuan dapat terlibat dalam terorisme dengan berbagai cara. Salah satu faktor yang signifikan adalah perempuan yang terjebak dalam lingkaran terorisme sebagai istri teroris. Sebagai pendamping utama suami mereka, mereka dapat terlibat secara aktif dalam menyembunyikan dan melindungi suami mereka dari penangkapan oleh pihak berwenang. Selain faktor tersebut, faktor lainnya adalah:
1) Beberapa
perempuan direkrut melalui pernikahan yang sengaja diatur untuk menanamkan doktrin radikal ke dalam pikiran
mereka
2) Faktor ekonomi atau kemiskinan juga dapat menjadi alasan perempuan terlibat dalam terorisme. Ketika keluarga mengalami keterbatasan ekonomi, pendidikan sering kali diprioritaskan bagi anak laki-laki, sementara perempuan dibiarkan dengan keterbatasan pengetahuan dan pendidikan. Kondisi ini membuat perempuan lebih rentan terhadap perekrutan dan manipulasi oleh kelompok teroris.
3) Selain itu, norma-norma budaya yang patriarkis dan bias gender juga memainkan peran dalam eksploitasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh organisasi radikalisme agama. Penafsir fundamentalis dan misoginis menggunakan norma-norma tersebut untuk memaksa perempuan menjadi bagian dari jaringan terorisme.
4) Perubahan sosial juga dapat memengaruhi peran perempuan dalam terorisme. Beberapa perempuan yang sebelumnya berada di belakang layar, seperti sebagai pendukung logistik atau pengurus keluarga teroris, dapat beralih menjadi pelaku serangan atau teror. Perubahan ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pengaruh ideologi ekstremis yang memperbolehkan partisipasi aktif perempuan dalam jihad.
5) Selanjutnya, terdapat legitimasi yang diberikan oleh beberapa kelompok teroris terhadap partisipasi perempuan dalam jihad untuk membela Islam dan negara Islam. Hal ini dapat mempengaruhi persepsi dan motivasi perempuan untuk terlibat dalam aktivitas terorisme.
6) Terakhir, penurunan jumlah anggota laki-laki dalam jaringan terorisme akibat penahanan atau kematian dapat mendorong kelompok teroris merekrut perempuan dan bahkan anak-anak sebagai bagian dari strategi mempertahankan operasi mereka.
Perspektif Gender terhadap Keterlibatan Perempuan dalam Pusaran Terorisme
Hasil atau
temuan penelitian menunjukkan bahwa terorisme tidak eksklusif untuk laki-laki dan bahwa perempuan dapat mengambil peran dan fungsi yang sama. Hal ini menunjukkan adanya kesetaraan gender dari perspektif teori gender. Namun, muncul pertanyaan apakah fenomena ini sejalan dengan
teori gender itu sendiri. Istilah
"gender" dalam bahasa
Inggris mengacu pada seks biologis, tetapi Webster's New World Dictionary dalam
Namun, gender melampaui itu dan didefinisikan sebagai konsep budaya yang mencakup perbedaan peran, perilaku, pola pikir, dan karakteristik emosional yang berkembang dalam masyarakat. Kesetaraan gender memerlukan penyediaan kesempatan dan hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan sebagai manusia, yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan nasional, dan keamanan.
Ini
juga mencakup penikmatan
yang sama dari hasil pembangunan dan penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural terhadap laki-laki dan perempuan. Keadilan gender adalah perlakuan adil terhadap perempuan
dan laki-laki, bebas dari standarisasi peran, beban ganda,
subordinasi, marginalisasi,
dan kekerasan. Mencapai kesetaraan dan keadilan gender berarti menghapuskan diskriminasi dan memberikan perempuan dan laki-laki akses, kesempatan partisipasi, dan kontrol atas pembangunan sambil memperoleh manfaat yang setara dan adil darinya
Perbedaan
gender pada dasarnya alami
dan fenomena budaya, yang dikenal sebagai sunnatullah. Perbedaan-perbedaan ini tidak akan
menjadi masalah jika mereka tidak
mengarah pada ketidakadilan.
Namun, pada kenyataannya, perbedaan tersebut menimbulkan berbagai bentuk ketidakadilan, terutama yang menimpa perempuan. Ketidaksetaraan gender
termanifestasi dalam berbagai cara
1) Kemiskinan ekonomi sebagai akibat dari marjinalisasi. Dalam hal mendapatkan akses pendidikan, misalnya, anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan kembali ke dapur.
2) Subordinasi adalah anggapan bahwa salah satu jenis kelamin lebih signifikan atau lebih penting daripada yang lain. Sudah lama ada anggapan bahwa perempuan memiliki status dan peran yang lebih rendah daripada laki-laki. Sebagai contoh, anak perempuan biasanya tidak memiliki akses yang sama terhadap hak istimewa pendidikan seperti anak laki-laki. Ketika keuangan keluarga terbatas, hak untuk bersekolah diprioritaskan untuk anak laki-laki, meskipun faktanya, jika diperhatikan, anak perempuan tidak selalu tidak mampu.
3) Stereotip adalah gambaran konvensional tentang orang atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Secara umum, pelabelan negatif menyebabkan ketidakadilan. Akibatnya, perempuan menghadapi diskriminasi dan ketidakadilan lainnya. Sebagai contoh, perspektif perempuan yang tugas dan aktivitasnya terbatas pada pekerjaan domestik atau rumah tangga. Perempuan tidak boleh dicap sebagai "ibu rumah tangga" jika mereka ingin berpartisipasi dalam "kegiatan laki-laki" seperti politik, bisnis, atau birokrasi.
4) Penunjukan laki-laki sebagai pencari nafkah utama telah menyebabkan segala sesuatu yang dilakukan oleh perempuan dianggap sebagai pekerjaan sambilan atau tambahan dan sering diabaikan.
5) Kekerasan adalah serangan fisik atau psikologis terhadap integritas mental atau tubuh seseorang. Akibatnya, kekerasan tidak hanya mencakup tindakan fisik seperti pemerkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga tindakan non-fisik seperti pelecehan seksual yang menyebabkan tekanan mental.
6) Beban ganda adalah beban yang harus ditanggung secara tidak proporsional oleh salah satu jenis kelamin. Berbagai pengamatan menunjukkan bahwa perempuan melakukan lebih dari 90% pekerjaan rumah tangga. Jadi, selain bekerja di tempat kerja, individu yang bekerja juga harus melakukan pekerjaan rumah tangga.
Upaya Kontraterorisme dalam Intelijen Strategis Penanggulangan Fenomena Perempuan dalam Terorisme
Kontra-terorisme
mengacu pada tindakan yang diambil oleh pemerintah, lembaga penegak hukum, dan organisasi lain untuk mencegah, mengganggu, dan merespons serangan teroris
Langkah-langkah ini sering kali kontroversial, karena dapat melibatkan keseimbangan antara masalah keamanan dengan kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Upaya kontraterorisme dalam intelijen strategis merupakan suatu pendekatan yang berfokus pada pencegahan dan penanggulangan ancaman terorisme dengan menggunakan berbagai informasi dan strategi yang dikumpulkan melalui intelijen. Dalam konteks fenomena perempuan dalam terorisme, upaya kontraterorisme yang dilakukan secara strategis bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menangani peran perempuan dalam jaringan terorisme.
Untuk mencegah dan menanggulangi fenomena perempuan dalam terorisme, upaya intelijen strategis harus mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Pendekatan berorientasi Gender: Strategi kontraterorisme harus memasukkan perspektif sensitif gender yang mengakui motivasi, kerentanan, dan peran unik perempuan dalam terorisme. Ini melibatkan pemahaman beragam faktor yang berkontribusi terhadap keterlibatan perempuan dan mengembangkan intervensi yang ditargetkan untuk mengatasinya.
2. Memberdayakan Perempuan: Upaya harus fokus pada pemberdayaan perempuan di komunitas rentan, menyediakan akses ke pendidikan, peluang ekonomi, dan jaringan dukungan. Dengan mengatasi faktor-faktor sosial dan ekonomi mendasar yang berkontribusi terhadap marginalisasi, masyarakat dapat mengurangi daya tarik ideologi ekstremis dan menciptakan jalur alternatif bagi perempuan.
3. Mempromosikan Kesetaraan Gender: Mendorong kesetaraan gender dan menantang norma-norma sosial yang membatasi agensi dan peluang perempuan dapat memainkan peran penting dalam melawan daya pikat terorisme. Dengan mengadvokasi hak-hak perempuan dan inklusivitas, masyarakat dapat melemahkan narasi ekstremis yang mengeksploitasi ketidaksetaraan gender.
4. Keterlibatan Masyarakat: Membangun hubungan yang kuat antara lembaga penegak hukum, masyarakat lokal, dan organisasi perempuan sangat penting. Upaya kolaboratif dapat membantu mengidentifikasi dan mendukung individu yang berisiko, mempromosikan intervensi dan rehabilitasi dini, dan menumbuhkan rasa kepercayaan dan ketahanan dalam masyarakat.
5. Meningkatkan Pengumpulan Intelijen: Intelijen strategis harus fokus pada pengumpulan informasi yang secara khusus terkait dengan keterlibatan perempuan dalam jaringan terorisme. Ini termasuk memantau platform online, jejaring sosial, dan dinamika komunitas untuk mengidentifikasi pola rekrutmen, propaganda yang menargetkan perempuan, dan potensi ancaman.
Dalam konteks ini, intelijen strategis menjadi sangat penting dalam upaya kontraterorisme. Melalui pengumpulan informasi yang akurat dan analisis yang mendalam, intelijen dapat mengidentifikasi dan melacak jaringan terorisme yang melibatkan perempuan. Intelijen strategis juga dapat membantu mengembangkan strategi pencegahan yang efektif dan langkah-langkah penindakan yang tepat guna terhadap perempuan yang terlibat dalam terorisme.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perempuan dapat memainkan peran dan fungsi yang sama dalam terorisme seperti laki-laki, menunjukkan adanya kesetaraan gender dari perspektif teori gender. Namun, artikel ini berpendapat bahwa keterlibatan perempuan dalam terorisme tidak sepenuhnya sejalan dengan konsep gender atau pengakuan gender karena perbedaan mencolok antara filosofi dan sejarah gender dengan tema terorisme. Meskipun istilah "gender" mencakup perbedaan antara pria dan wanita dalam nilai dan perilaku, gender juga melampaui itu sebagai konsep budaya yang mencakup perbedaan peran, perilaku, dan karakteristik emosional yang berkembang dalam masyarakat.
Mencapai kesetaraan dan keadilan gender memerlukan penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural terhadap perempuan dan laki-laki. Berbagai bentuk ketidaksetaraan gender, seperti kemiskinan ekonomi, subordinasi, stereotip, penunjukan laki-laki sebagai pencari nafkah utama, kekerasan, dan beban ganda, termanifestasi dalam masyarakat dan mempengaruhi perempuan secara khusus. Dalam konteks terorisme, penting untuk mempertimbangkan dan memahami dinamika gender dalam upaya memahami fenomena ini secara lebih komprehensif. Selain itu, secara garis besar ada banyak faktor dan alasan mengapa perempuan memainkan peran penting dalam jaringan terorisme.
Faktor-faktor tersebut antara lain: 1) Perempuan dapat terjebak dalam pusaran terorisme karena mereka merupakan istri teroris sendiri. 2)������ Beberapa perempuan direkrut melalui pernikahan, dan mereka sengaja dinikahkan agar bisa lebih dicuci otaknya dengan doktrin ekstremis. 3)������ Faktor ekonomi atau kemiskinan. 4) Di dalam organisasi radikalisme agama, para penafsir fundamentalis dan misoginis mengeksploitasi dan mendiskriminasi perempuan, didorong oleh norma-norma budaya yang patriarkis dan bias gender. 5) Adanya pergeseran peran perempuan (akibat perubahan sosial). 6) Legitimasi partisipasi perempuan dalam jihad untuk membela Islam dan negara Islam. 7) Berkurangnya jumlah anggota jaringan terorisme laki-laki akibat penahanan/kematian, sehingga memaksa perempuan dan bahkan anak-anak untuk meneruskan operasi teror.
Terakhir, Untuk mencegah dan menanggulangi fenomena perempuan dalam terorisme, upaya intelijen strategis harus mempertimbangkan hal-hal berikut: 1) Pendekatan Sensitif Gender; 2) Memberdayakan Perempuan; 3) Mempromosikan Kesetaraan Gender; 4) Keterlibatan Masyarakat; dan 5) Meningkatkan Pengumpulan Intelijen. �
BIBLIOGRAFI
Adi, I. R. (1998 ). Pendekatan Interdisipliner dalam Studi
Amerika. Humaniora, No.7, Januari � Maret 1998, hal. 82-85.
Asiyah, U., Prasetyo, R. A., & Sudjak, S. (2020). Jihad
perempuan dan terorisme. Jurnal Sosiologi Agama, 14(1), 125-140.
Buner, E. (2016). Doing Our Part: Acknowledging and
Addressing Women's Contributions to ISIS. William & Mary Journal of
Race, Gender and Social Justice, 420.
Byrd, M. B., & Decker, G. (2008). . Why the U.S. Should
GENDER Its Counterterrorism Strategy. Military Review, 99.
Cook, J., & Vale, G. (2018). From Daesh to
"Diaspora": Tracing the Women and Minors of Islamic State.
London: King's College.
Creswell, J. W. (2013). Qualitative inquiry and research
design: Choosing among five approaches. Sage Publications.
Gill, P., Clemmow, C., Hetzel, F.,
Rottweiler, B., Salman, N., Vegt, I. V., & Marchment, Z. (2021). Systematic
review of mental health problems and violent extremism. The Journal of
Forensic Psychiatry & Psychology 32, no. 1 (2021): 51-78.
Hancock, B., E., O., & Windridge, K. (2009). An
Introductio nto Qualitative Research. The NIHR RDS EM / YH.
Jacques, K., & Taylor, P. J. (2019). Female Terrorism:
A Review. Terrorism and Political Violence, 512.
Kartini,
K. (2010). Research Methods. Bandung: Alumni.
Lavanderos, L. (2015). Strategic
Intelligence Process. IGI Global 10.4018/978-1-4666-7369-4.ch007,
150-182.
Miller, S., & Bossomaier, T. (2021). Privacy,
Encryption and Counter-Terrorism. Counter-Terrorism, Ethics and
Technology: Emerging Challenges at the Frontiers of Counter-Terrorism,
139-154.
Miller, S., Henschke, A., & Feltes, J. F. (2021). Counter-terrorism:
the ethical issues. Edward Elgar Publishing.
Moghaddam, F. M. (2022). The Psychology of Radicalization:
An Interview with Fathali M. Moghaddam. In Making Sense of Radicalization
and Violent Extremism Routledge, 81-88.
Mulia, M. (2019). Perempuan dalam
gerakan terorisme di Indonesia. Al-Wardah: Jurnal Kajian Perempuan,
Gender dan Agama 12.1 (2019): 80-95., 80-95.
Rahim, A. (2021). Begini Isi Surat Wasiat Zakiah Aini
Kepada Keluarga Sebelum Lakukan Aksi Teror Di Mabes. Tratto da https://www.kompas.tv/article/160329/begini-isi-surat-wasiat-zakiah-ainikepada-keluarga-sebelum-lakukan-aksi-teror-di-mabes
Rusfiana, Y., & Hanifah, A. (2021). DEvelopment
Capacity And Synergy Of Regional Authorities In Early Detection Of Terrorism
Actions. Jurnal Ilmiah Wahana Bhakti Praja,
189-197.
Sarwono, S. W. (2012). Terorisme di
Indonesia: Dalam Tinjauan Psikologi. Pustaka Alvabet.
Senathalia, A. M., Subhan, Z., & Rosyidah, I. (2021). Gender dan Fenomena Terorisme Perempuan. Kalam: Jurnal
Agama dan Sosial Humaniora, 9(1), 1-12.
Siiroj, S. A. (2017). Perempuan Dan
Terorisme. Tratto da
https://nasional.kompas.com/read/2017/01/06/12565011/NaN?page=all
Spencer, A. N. (2016). The Hidden Face of Terrorism: An
Analysis of the Women in Islamic State. Journal of Strategic Security, 78.
Sudikan, S. Y., & Interdisipliner, P. (2021).
Multidisipliner, dan Transdisipliner dalam Studi Sastra. Jurnal Paramasastra, 2.
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Wijaya, T. I. (2020). Peran Manipulasi Informasi Terhadap
Keikutsertaan Perempuan Dalam Gerakan Terorisme. Journal of Terrorism
Studies: Vol. 2 : No. 1 , Article 6., 94-113.
Copyright holder: Priscilla Harjanti,
Margaretha Hanita, Eko Daryanto (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |