Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 7, Juli 2023

 

KEDUDUKAN SURAT PENERIMAAN PEMBERITAHUAN PERUBAHAN

DATA YAYASAN SEBAGAI OBJEK SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

 

Jenifer Beatrix Renjaan, Rasji

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Sesuai dengan Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya, pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat.

 

Kata kunci: Hakim; Kepastian Hukum; Putusan.

 

Abstract

In accordance with the principle of independent judicial power itself, among others, must be manifested in the independence of judges in examining and deciding the cases they face, the judge's consideration is one of the most important aspects in determining the realization of the value of a judge's decision that contains justice (ex aequo et bono) and contains legal certainty, in addition to containing benefits for the parties concerned so that this judge's consideration must be addressed with Meticulous, kind, and meticulous.

 

Keywords: Judge; Legal Certainty; Punishment.

 

Pendahuluan

Peradilan di indonesia dewasa ini menjamin warga negaranya untuk mendapatkan keadilan sesui dengan hukum yang berlaku melalui kekuasaan kehakiman dengan perantara peradilan (Joko & SH, 2020). Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan, kemudian kekuasaan kehakiman diperinci ke dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Perdaila Umum diatur dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Jo. Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004. Yang dimaksud Badan Peradilan Umum di dalam Undang-Undang tersebut adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan umum. Kemudian di dalam pasal 8 menyebutkan bahwa di lingkugan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang.Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dalam hal ini adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama. Peradilan Agama adalah peradilan khusus yang ditujukan kepada umat Islam dengan lingkup kewenagan yang khusus, baik mengenai perkarannya ataupun para pencari keadilan (justiciable) (Anshori, 2007).

Kemudian di Pasal 3 menyatakan bahwa di lingungan peradilan agama dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang. Peradilan militer diatur dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam hal ini adalah pengadilan militer, pengadilan tinggi militer, pengadilan militer utama, dan pengadilan militer pertempuran. Peradilan Tata Usaha Negara dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam hal ini adalah pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara di lingkungan peradilan tata usaha negara.Kemudian pasal 9A menyebutkan bahwa di lingkungan peradilan tata usaha negara dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang.

Adapun untuk Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan pokok Mahkamah Agung adalah sebagai pengadilan negara tertinggi, yakni mempunyai mempunyai fungsi bidang peradilan (Angkouw, 2014). Dalam bidang peradilan sebagai Lembaga kasasi dan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang Kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen, yang menyatakan: �Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang�.

Seperti yangdijelaskan diatas terkait dengan kewenagan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 diatur tentang kekuasaan Pengadilan Tata Usaha Negara(PTUN) dalam system Peradilan di Indonesia, dikutip dan berbunyi sebagai berikut: pengadilan bertugas dan berwenang memerikasa,memutus, dan menyeleaikan Sengketa Tata Usaha Negara�.

Bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 yang dikutip dan berbunyi:

�Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.�

Sengketa Tata Usaha Negara muncul jikalau seseorang atau badan hukum perdata merasa dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. Sebagaimana diketahui bahwa Pejabat TUN dalam fungsi menyelenggarakan kepentingan dan kesejahteraan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan keputusan, sehingga tidak menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan kerugian (Koraag, 2021). Hal ini sejalan dengan konsep negara hukum yang mensyaratkan setiap tindakan pejabat harus berdasar pada kewenangan yang diberikan kepadanya, dan setiap penggunaan wewenang selalu disertai dengan tanggung jawab. Prinsip yang populer dalam kajian hukum administrasi menyatakan, �tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban� (deen bevoegdheid zonder verantwoordenlijkheid).

Sesuai dengan karakteristiknya yang bersifat konkrit individual, Final suatu KTUN secara langsung menimbulkan akibat hukum tertentu begitu diterbitkan meskipun KTUN itu ternyata cacat dan menimbulkan kerugian bagi pihak yang dituju. Memahami konsekuensi ini maka sejak semula telah ditegaskan agar pejabat TUN benar-benar cermat dan hati-hati dalam menerbitkan keputusan. Sebaliknya, bagi pihak yang merasa dirugikan kepentingannya atas penerbitan suatu keputusan disediakan sarana untuk menguji keabsahannya melalui gugatan ke peradilan tata usaha negara (PTUN).

Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Dalam memutus suatu perkara, hakim tentunya memiliki beberapa pertimbangan agar putusan yang dikeluarkannya bersifat adil, namun kata �adiltentunya memiliki pengertian yang berbeda bagi setiap pihak karena putusan pengadilan bersifat win-lose solution. Setiap hakim tentunya boleh memiliki pertimbangannya sendiri sehingga putusan suatu sengketa dapat berbeda.

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat (Permana, 2016). Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Mahkamah Agung (Arto, 2004).

Putusan hakim dalam mengadili suatu perkara haruslah menggambarkan adanya penegakan hukum itu sendiri, misalnya apakah telah dilaksanakan baik atau tidak, apakah putusan itu melanggar kepastian hukum untuk mencapai keadilan, apakah putusan itu meninggalkan keadilan untuk mencapai kepastian hukum, ataukah apakah putusan tersebut mampu menyelaraskan antara kepastian hukum dengan keadilan yang ingin dicapai.

Berkaitan dengan putusan hakim, khusunya dalam sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Adapun Objek Sengketa yang yang menjadi permasalahan adalah: Surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-AH.010.06-0019613 tanggal 23 Agustus 2020Perihal: Penerimaan Perubahan Data Yayasan Kawaluyaan, Mengenai Perubahan Pembina, Pengurus, Pengurus Yayasan Kwaluyaan. (selanjutnya disebut Objek Sengketa)

Pada Putusan Tingkat Pertama Nomor: 207/G/2020/PTUN-JKT, Menurut Majelis Hakim �Objek sengketa merupakan sebuah keputusan Tata Usaha Negara karena telah memenuhi Unsur-unsur sebuah Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 9, angka 10, angka 12 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara�.

Pada Putusan Tingkat Banding dan Kasasi, Majelis Hakim berbeda pendapat yaituObjek sengketa hanya sebuah tanda terima surat/pencatatan administratif, tidak memenuhi unsur besslising (memutus) dan Willsforming (kehendak), sehingga tidak memenuhi kualifikasi sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi kewenangan Pengadilan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.�

Hal tersebut yang menjadi permasalahan dari aspek hukum karena tidak ada kepastian hukum tentang Objek sengketa tersebut sebagai sebuah KTUN yang menjadi kewenagan Peradilan Tata Usaha Negara atau hanya Surat Penerimaan Pemberitahuan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. (bukan KTUN)

 

Metode Penelitian

Metode penelitian tentunya menjadi hal yang penting dalam menetukan tindakan-tindakan apa saja dan dengan cara bagaimana suatu penelitian dilakukan.Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, dalam hal ini hukum dipahami sebagai apa yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan (Law in books) maupun sebagai aturan atau norma yang menjadi standar perilaku manusia yang dapat diterima (Asikin, 2004).

Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, merupakan sumber hukum yang digunakan. Bahan hukum primer, yakni suatu bahan hukum yang sifatnya mengikat dan terdiri dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor51 Tahun 2009. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 207/G/2020/PTUN-JKT jo 143/B/2021/PT.TUN.JKT jo 171 K/TUN/2022. Bahan hukum sekunder, yang dalam hal ini akan mampu menjadi penjelas tentang berbagai bahan yang sifatnya primer, seperti diktat, jurnal, skripsi, serta pendapat para ahli terkait kewenagan peradilan tata usaha negara. Bahan hukum tersier menjadi bahan pendukung dan penjelasan yang mengandung makna terhadap dua bahan sebelumnya (primer dan sekunder) seperti, ensiklopedia dll.

 

Hasil dan Pembahasan

Apa yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim PTUN Jakarta dan hakim PT-TUN Jakarta dalam memutus perkara yang sama terkait Objek sengketa Surat Penerimaan perubahan data yang dikeluarkan oleh Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia?

Dalam Penelitian ini, penulis akan menguraikan apa yang menjadi perbedaan pertimbangan hukum hakim di pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding terhadap kedudukan surat penerimaan perubahan data yayasan yang menjadi objek sengketa di peradilan tata usha negara.

Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor207/G/2020/PTUN-JKT, maksud dan tujuan gugat Penggugat pada pokoknya memohon agar Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta menyatakan batal atau tidak sah, dan mewajibkan Tergugat untuk mencabut objek sengketa berupa Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : AHU-AH.01.06-0019613 Tanggal 23 Agustus 2020 Perihal : Penerimaan Perubahan Data Yayasan Kawaluyaan, Mengenai Perubahan Pembina, Pengurus, Pengawas Yayasan Kawaluyaan. (selanjutnya disebutObjek Sengketa�).

Majelis Hakim terlebih dahulu mempertimbangan eksepsi yang diajukan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manuisa Republik Indonesia, (selanjutnya disebutTergugat�) dan Yayasan Kawaluyaan yang diwakili oleh James Nangoi, (selanjutnya disebut Tergugat II Intervensi). Eksepsi yang diajukan antara lain berkaitan dengan Kewenagan Pengadilan Tata Usaha Negara, Legal Standing Penggugat dalam Mengajukan Gugatan, Gugatan Kabur Dan Tidak Jelas.

Tergugat mendalilkan permasalahan ini pada prinsipnya secara substansi merupakan permasalahan keperdataan, bahwa objek sengketa didasarkan pada ketentuan Undang-undang, dimana Tergugat hanya melaksanakannya sebagai tindakan yang diperintahkan oleh Undang-undang. Adapun perubahan menurut Tergugat hanyalah sebatas surat bukti telah diterima dan dicatatkannya pada Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) melalui system layanan elektronik yang dikembangkan Tergugat. Menurut majelis hakim yang perlu dipertimbangkan terlebih dahulu yaitu mengenai apa yang menjadi wewenang atau Kompetensi absolut dari pengadilan Negeri (sengketa perdata) dan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Majelis hakim berpendapat tolak ukur objectum litis dari masing-masing Lembaga yaitu Keputusan Tata Usaha Negara untuk Pengadilan Tata Usaha Negara, perkara pidana dan perkara perdata untuk Lembaga Pengadilan Negeri. Mencermati objek sengketa In litis yang diterbitkan oleh Tergugat menurut Majelis Hakim telah memenuhi Unsur-unsur sebuah Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka (9), angka (10), angka (12) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara sehingga surat keputusan yang dimaksud menurut Majelis hakim adalah sebuah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Demikian menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta untuk memeriksa dan mengadili objek sengketa ini.

Berkaitan dengan eksepsi kedua, Legal Standing Penggugat dalam mengajukan gugatan, menurut Menurut Majelis Hakim berdasarkan ketentuan pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, jelas bahwa orang atau badang hukum perdata selaku subyek hukum diberikan hak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, sepanjang ia dapat membuktikan bahwa ada suatu kepentingan yang dirugikan dengan terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (Point d` interet, pint`d action atau no interest no action).

Bahwa mendasari Penggugat untuk menggugat objek sengketa adalah terbitnya objek sengketa menyebabkan ketidakpastian hukum karena objek sengketa terbit dalam keadaan Penggugat dan Tergugat II Intervensi dalam keadaan masih bersengketa di Peradilan umum dimana fakta hukum sesuai bukti terdapat putusan perkara dengan No. 389/Pdt.G/2019/PN Bdg dan putusan banding No. 640/Pdt/2020/PT Bandung tertanggal 11 Januari 2021 dimana sengketa yang sedang berlangsung tersebut substansinya adalah mengenai perubahan atas nama-nama yang sebelumnya terdaftar menjadi tidak terdaftar sehingga menyebabkan hilangnya hak dari pengurus yang tidak tercantum lagi namanya dalam objek sengketa a quo.

Sengketa ini masih dalam proses upaya hukum karena putusan pengadilan mengenai hal tersebut masih belum memiliki kekuatan hukum yang tetap (Inkracht van gewijsde). Sehingga menurut Majelis Hakim Penggugat memiliki kapasitas secara yuridis untuk mengajukan gugatan ini.

Berkaitan dengan eksepsi ketiga, Gugatan Kabur (obscuur libel), menurut Majelis Hakim syarat formal dan materil dari suatu gugatan sudah terpenuhi berdasarkan Pasal 56 Undang-undang Nomo 5 Tahun 1986 yang menyatakan: (1) Gugatan harus memuat: a) nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya; b) nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat; c) dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan. (2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah. (3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara. yang disengketakan oleh penggugat.

Dalam pokok perkara, Majelis Hakim memberikan penilaian hukum menggunakan 3 (tiga) parameter syarat sahnya Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administratif Pemerintahan yaitu: (1) Syarat sahnya Keputusan meliputi: a) ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; b) dibuat sesuai prosedur; c) substansi yang sesuai dengan objek Keputusan. (2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.

Berdasarkan 3 (tiga) parameter syarat tersebut Majelis hakim berpedoman pada peraturan Perundang-undangan yang dijadikan dasar bagi Tergugat dalam menerbitkan objek sengketa yaitu berdasarkan pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Angaran Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Angaran Dasardan Perubahan Data Yayasan, Pasal 19 PP Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas PP Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Tentang Yayasan.

Berkaitan dengan kewenagan Tergugat dalam menerbitkan objek sengketa berdasarkan ketentuan pasal 19 ayat (1) (3) PP Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas PP No. 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan menyatakan pemberitahuan perubahan data yayasan disampaikan kepada menteri oleh pengurus yayasan atau kuasanya dengan melampirkan dokumen yang memuat perubahan tersebut dan menteri berdasarkan pemberitahuan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pencatatan perubahan data dan menerbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan data.

Dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. 2 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Dan Perubahan Data Yayasan Pasal 27 ayat (1) menyatakan perubahan data yayasan cukup diberitahukan oleh pemohon kepada menteri dan ayat (3) menyatakan perubahan data yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi a) perubahan pembina, b) perubahan atau pengangkatan kembali pengurus dan pengawas dan, c) perubahan alamat lengkap.

Menurut Majelis hakim dari ketentuan yakni pasal 19 ayat (1) (3) PP Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas PP No. 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. 2 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Dan Perubahan Data Yayasan Pasal 27 ayat (1), (3) diatas Majelis Hakim berpendapat bahwa dalam segi kewenangan mengeluarkan keputusan objek sengketa a quo telah sesuai dengan peraturan perundangan yang mengaturnya maka, selanjutnya Majelis Hakim akan menguji dari segi prosedural formal dan materiil substansi dari terbitnya obyek sengketa.

Majelis hakim berpendapat dalam rangka memberikan pertimbangan yang cukup untuk menghindari putusan yang kurang mempertimbangkan (onvoeldoende gemotiveerd) maka Majelis Hakim dalam rangka mencari kebenaran materiil berdasarkan kewenangannya dalam pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara tidak terikat hanya terhadap dalil maupun bukti yang diajukan oleh Para pihak yang bersengketa. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf f dan i, Pasal 10 ayat (1) huruf a dan d Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan :

Pasal 7 ayat (2): Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban: 1) memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk didengar pendapatnya, sebelum membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2) memeriksa dan meneliti dokumen Administrasi Pemerintahan, serta membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada warga masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang;

Pasal 10 ayat (1): Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang dimaksud dalam Undang-Undang ini, meliputi asas: a. kepastian hukum dan d. Kecermatan;

Majelis Hakim berpendapat meskipun secara prosedural penerbitan objek sengketa telah memenuhi apa yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Dan Perubahan Data Yayasan, namun dari aspek substansi Majelis Hakim berpendapat penerbitan Surat Keputusan Tergugat telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Pasal 7 ayat (2) huruf f dan i, Pasal 10 ayat (1) huruf a dan d UUAP, sehingga telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh karenanya terhadap gugatan Penggugat haruslah dikabulkan seluruhnya dan terhadap objek sengketa a quo dinyatakan batal dan kepada Tergugat diwajibkan untuk mencabut objek sengketa.

Berdasarkan pada Pertimbangan-pertimbangan Putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta tersebut, telah diajukan banding oleh Yayasan Kawaluyaan yang diwakili oleh James Nangoi (selanjutnya disebut Pembanding/Tergugat II Intervensi) dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI (selanjutnya disebut Pembanding/Tergugat).

Terhadap eksepsi tentang kompetensi absolut Majelis Banding memberikan pertimbangan sebagai berikut: Pembanding/Tergugat dan Pembanding/Tergugat II Intervensi dalam eksepsi dan jawaban maupun dalam memori bandingnya pada pokoknya menyatakan bahwa objek sengketa tidak memenuhi kualifikasi sebagai suatu keputusan tata usaha negara melainkan hanya sebuah tanda terima surat/pencatatan administratif. Majelis Banding menilai apakah Tindakan Pembanding/Tergugat yang memberitahukan adanya penerimaan dan pencatatan dalam SABH merupakan suatu keputusan tata usaha negara? Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas Majelis Banding menggunakan tolak ukur unsur beslising (memutus) dan willsforming (kehendak) yang merupakan suatu ajaran yang sudah diterima secara universal, dan telah dianut dalam Putusan Mahkamah Agung RI.

Menurut Majelis Banding ditinjau dari segi fungsi, sesuai dengan isinya, surat objek sengketa merupakan pemberian informasi/pemberitahuan ke Notaris Popy Sofiah Sofyan, S.H. SP.N bahwa permohonannya telah diterima dan dicatat dalam SABH. Surat objek sengketa diterbitkan setelah adanya permohonan perubahan data yang diunggah oleh Notaris Popy Sofiah Sofyan, S.H.SP.N., ke dalam SABH. SABH merupakan layanan online Pembanding/Tergugat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan modern, dan notaris sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pada Pasal 1 angka 1, notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, yaitu suatu akta yang memiliki kekuatan pembuktian yang kuat dan penuh.

Notaris sebagai pejabat umum yang telah diberi wewenang membuat akta otentik bertanggung jawab penuh terhadap kebenaran akta yang dibuatnya sehingga dalam sistem online milik Pembanding/Tergugat, akta notaris tersebut diterima sebagai sebuah akta otentik yang tidak dilakukan pengujian keabsahannya, dan Pembanding/Tergugat hanya menerima dan mencatatnya dan setelah menerima dan mencatat dalam sistem online-nya, Pembanding/Tergugat membuat surat pemberitahuan penerimaan sebagaimana objek sengketa. Dengan demikian surat objek sengketa sebetulnya merupakan derifatif/turunan dari tindakan utama yang sudah terjadi yaitu pendaftaran dalam sistem SABH yang dilakukan oleh Notaris Popy Sofiah Sofyan, S.H., SP.N.

Majelis Banding berpendapat surat pemberitahuan tidak mengandung suatubeslissingsifat memutuskan atau menetapkan dari Dirjen AHU atas nama Pembanding/Tergugat. Pembanding/Tergugat hanya memberitahu bahwa kehendak Notaris Popy Sofiah Sofyan, S.H., SP.N. melakukan perubahan data telah diterima dan dicatat dalam SABH; Menimbang, bahwa dalam Objek Sengketa juga tidak ditemukan adanya sifat �Will� kehendak dari Pembanding/Tergugat, yang ada adalah �Will� kehendak dari Notaris Popy Sofiah Sofyan, S.H., SP.N; Menimbang, bahwa surat objek sengketa juga tidak termasuk dalam sebuah keputusan yang bersifat konstitutif (keputusan yang bersifat penetapan mandiri) maupun deklaratif (keputusan yang bersifat pengesahan setelah melalui proses pembahasan di tingkat pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan yang bersifat konstitutif), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UUAP.

Sesuai dengan pertimbangan hukum tingkat pertama yang membatalkan surat objek sengketa dengan pertimbangan bahwa perkara No.289/Pdt.G/2019/PN.Bdg belum incracht sehingga Pembanding/Tergugat seharusnya tidak melakukan perubahan data meurut Majelis Banding seharusnya juga diterapkan terhadap Surat Nomor AHU.AH.01.06.0019186 tanggal 3 Agustus 2020, oleh karena Terbanding/Penggugat pun melakukan hal yang sama seperti yang Pembanding/Tergugat II Intervensi lakukan yaitu mengajukan permohonan perubahan data melalui SABH dan atas permohonan perubahan data tersebut Terbanding/Penggugat juga telah mendapatkan surat sejenis sebagaimana objek sengketa yaitu Surat Nomor AHU.AH.01.06.0019186 tanggal 3 Agustus 2020 tentang penerimaan perubahan data.

Majelis Banding berpendapat apabila surat objek sengketa dinyatakan batal maka Surat Nomor AHU.AH.01.06.0019186 tanggal 3 Agustus 2020 demi hukum juga batal karena surat tersebut juga diterbitkan pada saat perkara No.289/Pdt.G/2019/PN.Bdg belum incracht, padahal Surat Nomor AHU.AH.01.06.0019186 tanggal 3 Agustus 2020 dijadikan dasar legalitas (legal standing) Terbanding/Penggugat bertindak untuk dan atas nama Yayasan Kawaluyaan sebagai Penggugat dalam perkara ini sebagaimana dalam surat gugatannya;

Demikian berdasarkan semua Pertimbangan Majelis Banding diatas maka menurutnya surat objek sengketa bukanlah suatu keputusan tata usaha negara dan dengan berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka Majelis Banding berpendapat bahwa eksepsi dari Pembanding/Tergugat dan Pembanding/Tergugat II Intervensi terkait dengan status hukum objek sengketa tidak memenuhi kualifikasi sebagai suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah beralasan menurut hukum sehingga eksepsi tersebut dapat diterima sehingga oleh karena eksepsi mengenai objek sengketa yang digugat oleh Pembanding/Penggugat adalah tidak memenuhi kualifikasi sebagai suatu Keputusan Tata Usaha Negara, maka Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus Objek Sengketa, dan dengan demikian eksepsi yang lain tidak perlu lagi untuk dipertimbangkan.

Berdasarkan pada perbedaan pendapat pertimbangan hakim dalam putusan tingkat pertama dan tingkat banding diatas, maka menurut penulis untuk menilai pokok kesalahan yang menyebabkan ketidakpastian hukum objek sengketa tersebut terletak pada Rapat Dewan Pembina Yayasan yang kemudian di Aktakan, atau Surat Penerimaan Pemberitahuan Perubahan data Yayasan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, mempunyai kewenangan untuk membuat akta pendirian Yayasan (Pangemanan, 2016). Ruang lingkup kewenangan notaris adalah dalam bidang hukum perdata untuk menciptakan kepastian hukum melalui akta autentik. Akta autentik termasuk dalam alat bukti tertulis. Dalam Pendirian Yayasan maupun Perubahan Yayasan diwajiban untuk membuat Akta Notaris dan pengesahan atau penerimaan melalui surat Keputusan oleh Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia (Riszky, 2022).

Notaris sebagai pejabat umum yang telah diberi wewenang membuat akta otentik bertanggung jawab penuh terhadap kebenaran akta yang dibuatnya sehingga dalam sistem online milik Pembanding/Tergugat, akta notaris tersebut diterima sebagai sebuah akta otentik yang tidak dilakukan pengujian keabsahannya, dan Pembanding/Tergugat hanya menerima dan mencatatnya dan setelah menerima dan mencatat dalam sistem online-nya, Pembanding/Tergugat membuat surat pemberitahuan penerimaan sebagaimana objek sengketa. Dengan demikian surat objek sengketa sebetulnya merupakan derifatif/turunan dari tindakan utama yang sudah terjadi yaitu pendaftaran dalam sistem SABH yang dilakukan oleh Notaris Popy Sofiah Sofyan, S.H., SP.N.;

Romejin mengemukakan bahwa Tindakan pemerintah adalah tiap-tiap Tindakan atau perbuatan dari yang satu alat administrasi negara (bestuur organ) yang mencangkup juga perbuatan atau hal-hal yang berada diluar lapangan hukum tata pemerintahan, seperti keamanan, peradilan dan lain-lain dengan maksud menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum Administrasi (Wibawa & Putu, 2020). Perbuatan Pemerintah yang termasuk golongan perbuatan hukum dapat berupa:

A. Perbuatan hukum menurut hukum privat (sipil)

Dapatkah administrasi negara mengadakan hubungan hukum berdasarkan hukum privat? Terdapat dua pendapat yang mengataka; administrasi tidak dapat menggunakan hukum privat dan administrasi dapat menggunakan hukum privat

Pendapat kedua yang menyatakan bahwa administrasi negara dalam menjalankan tugasnya dalam beberapa hal dapat juga menggunakan hukum privat. Tetapi untuk menyelesaikan suatu soal khusus dalam lapangan administrasi negara telah tersedia peraturan-peraturan hukum publik, maka administrasi negara harus menggunakan hukum publik itu dan tidak dapat menggunakan hukum privat. Pendapat ini dikemukakan oleh Prof. Krabbe,Kranenburg Vegting,Donner dan Huart.

B. Perbuatan hukum menurut hukum publik terbagi atas dua yaitu:

1) Perbuatan hukum publik yang bersegi satu artinya hukum publik itu lebih merupakan kehendak satu pihak saja yaitu pemerintah.

2) Perbuatan hukum publik bersegi dua.

Akta merupakan suatu perjanjian yang dalam prakteknya diatur dalam Hukum Perdata atau masuk dalam ranah Hukum Privat (Tutik & SH, 2015). Sedangkan Tindakan badan atau pejabat Administrasi dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia masuk dalam ranah hukum publik. Oleh karena Tindakan pendirian maupun perubahan itu adalah merupakan perbuatan hukum bersegi dua yang melibatkan aspek hukum publik dan hukum privat. Prakteknya terkait dengan Akta Pendirian maupun perubahan Yayasan disengketakant di pengadilan negeri karena menyangkut ranah Hukum Privat. Sedangkan Tindakan Badan/Pejabat Administrasi dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia dalam menerima atau menerbitkan Surat Keputusan di sengketakan di pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan ranah hukum publik.

Dalam kasus ini dalam kasus ini Akta merupakan suatu perjanjian yang dalam prakteknya diatur dalam Hukum Perdata atau masuk dalam ranah Hukum Privat. Sedangkan Tindakan badan atau pejabat Administrasi dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia masuk dalam ranah hukum publik. Oleh karena Tindakan pendirian maupun perubahan data yayasan itu adalah merupakan perbuatan hukum bersegi dua yang melibatkan aspek hukum publik dan hukum privat (Puang, 2015).

Prakteknya terkait dengan Akta Pendirian maupun perubahan Yayasan disengketa di pengadilan negeri karena menyangkut ranah Hukum Privat. Sedangkan Tindakan Badan/Pejabat Administrasi dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia dalam menerima atau menerbitkan Surat Keputusan di sengketakan di pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan ranah hukum publik. Bahwa dalam pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor: 9 Tahun 2004 dinyatakan bahwa:

Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntuan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitas.

Oleh sebab itu jelas bahwa terdapat pihak yang dirugikan dengan terbitnya objek sengketa sehingga bisa disengketakan di Pengadilan Tata Usaha Negara dan terkait dengan akta menjadi kewenagan pengadilan Negeri (sengketa perdata) (Mintarum & Afhami, 2022).

Sesuai dengan kewenagan atau kompetensi absolut dari Pengadilan Negeri (sengketa perdata). Selanjutnya penulis akan melihat dari Surat Penerimaan Pemberitahuan Perubahan data Yayasan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI yang menjadi objek sengketa di kasus ini.

Sesuai dengan badan hukum Yayasan terdapat 3 macam/jenis perubahan dalam Yayasan yaitu sebagai berikut:

1) Perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang harus mendapat Persetujuan Menteri yaitu: (a) Perubahan Nama Yayasan. (b) Perubahan Kegiatan Yayasan.

2) Perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang diberitahukan kepada Menteri. Perubahan Anggaran Dasar Yayasan ini merupakan perubahan selain perubahan yang dimaksud dalam angka 1 (satu) di atas, yang cukup diberitahukan kepada Menteri: Perubahan Pasal atau ayat dalam anggaran dasar Yayasan.

3) Perubahan data Yayasan yang diberitahukan kepada Menteri. Perubahan data Yayasan ini meliputi: (a) Perubahan Pembina Yayasan. (b) Perubahan atau Pengangkatan Kembali pengurus/atau Pengawas Yayasan. (c) Perubahan alamat lengkap Yayasan.

Dalam kasus ini, objek sengekta adalah Surat Jenderal Administrasi Hukum Umum atas nama Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: AHU-AH.01.06-0019613, diterbitkan tanggal 23 Agustus 2020, perihal penerimaan perubahan data Yayasan Kawaluyaan.

Isi dari surat objek sengketa selengkapnya sebagai berikut: �Sesuai dengan data dalam format Isian Perubahan yang disimpan di dalam Sistem Administrasi Badan Hukum berdasarkan Akta Notaris Nomor 06, tanggal 21 Agustus 2020 yang dibuat oleh Notaris Popy Sofiah Sofyan, S.H. SP.N, berkedudukan di Kabupaten Bandung, mengenai perubahan Pembina, Pengurus, Pengawas, Yayasan Kawaluyaan, berkedudukan di Kota Bandung, telah diterima dan dicatat di dalam Sistem Administrasi Badan Hukum.

Demikian untuk diketahui

Berdasarkan pada penjelasan tersebut di atas, perubahan yayasan dalam objek sengekta termasuk dalam point ke 3 (tiga) yang ditinjau dari segi fungsi, sesuai dengan isinya, surat objek sengketa merupakan pemberian informasi/pemberitahuan ke Notaris Popy Sofiah Sofyan, S.H. SP.N bahwa permohonannya telah diterima dan dicatat dalam SABH. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa menteri hukum dan HAM juga dijadikan tergugat III di peradilan perdata.

Berdasarkan pada penjelasan tersebut di atas, perubahan yayasan dalam objek sengekta termasuk dalam point ke 3 (tiga) yang ditinjau dari segi fungsi, sesuai dengan isinya, surat objek sengketa merupakan pemberian informasi/pemberitahuan ke Notaris Popy Sofiah Sofyan, S.H. SP.N bahwa permohonannya telah diterima dan dicatat dalam SABH. Benar bahwa sesuai dengan pertimbangan hukum majelis banding bahwa surat pemberitahuan tidak mengandung suatubeslissingsifat memutuskan atau menetapkan dari Dirjen AHU atas nama Pembanding/Tergugat dalam hal ini Menteri hukum dan HAM.

Pembanding/Tergugat hanya memberitahu bahwa kehendak Notaris Popy Sofiah Sofyan, S.H., SP.N. melakukan perubahan data telah diterima dan dicatat dalam SABH; bahwa dalam Objek Sengketa juga tidak ditemukan adanya sifat �Will� kehendak dari Pembanding/Tergugat, yang ada adalah �Will� kehendak dari Notaris Popy Sofiah Sofyan, S.H., SP.N.

Bahwa surat objek sengketa juga tidak termasuk dalam sebuah keputusan yang bersifat konstitutif (keputusan yang bersifat penetapan mandiri) maupun deklaratif (keputusan yang bersifat pengesahan setelah melalui proses pembahasan di tingkat pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan yang bersifat konstitutif), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UUAP (Putra, 2020).

Namun Menurut pertimbangan hukum majelis tingkat pertama sesuai dengan fakta hukum di persidangan terhadap objek sengketa dikeluarkan dalam masa proses gugatan di peradilan umum yang belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan pada saat itu Menteri hukum dan HAM juga dijadikan Terggugat III dalam perkara di peradilan umum tersebut.

Menurut majelis banding bahwa dalam pertimbangan hukum tingkat pertama yang membatalkan surat objek sengketa dengan pertimbangan bahwa perkara perdata belum incracht sehingga Menteri hukum dan HAM seharusnya tidak melakukan perubahan data seharusnya juga diterapkan terhadap Surat Nomor AHU.AH.01.06.0019186 tanggal 3 Agustus 2020, oleh karena Terbanding/Penggugat pun melakukan hal yang sama seperti yang Pembanding/Tergugat II Intervensi lakukan yaitu mengajukan permohonan perubahan data melalui SABH dan atas permohonan perubahan data tersebut Terbanding/Penggugat juga telah mendapatkan surat sejenis sebagaimana objek sengketa yaitu Surat Nomor AHU.AH.01.06.0019186 tanggal 3 Agustus 2020 tentang penerimaan perubahan data.

Sehingga Majelis Banding berpendapat apabila surat objek sengketa dinyatakan batal maka Surat Nomor AHU.AH.01.06.0019186 tanggal 3 Agustus 2020 demi hukum juga batal karena surat tersebut juga diterbitkan pada saat perkara No.289/Pdt.G/2019/PN.Bdg belum incracht, padahal Surat Nomor AHU.AH.01.06.0019186 tanggal 3 Agustus 2020 dijadikan dasar legalitas (legal standing) Terbanding/Penggugat bertindak untuk dan atas nama Yayasan Kawaluyaan sebagai Penggugat dalam perkara ini sebagaimana dalam surat gugatannya.

Berdasarkan pada perbedaan pertimbangan diatas, menurut penulis terdapat kelemahan dari penerapan SABH yang diterapkan oleh Menteri hukum dan HAM oleh sistim pelayanan secara elektronik(berlaku istilah �First Come First Serve�), Sedangkan faktanya banyak nama-nama yang diajukan oleh pemohon yang dikemudian hari baru ditemukan adanya permasalahan terkait dengan keabsahan atau masih adanya permasalahan hukum berkaitan dengan berkas yang dijadikan lampiran dan diserahkan kepada notaris, yang dijadikan pelengkap dokumen persyaratan untuk diajukannya permohonan perubahan data kepada Menteri hukum dan HAM oleh karenanya Tindakan Menteri hukum dan HAMbertentangan dengan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) dan (d) UUAP yaitu melanggar asas kepastian hukum dan asas kecermata.

Putusan majelis banding dalam mengadili perkara haruslah menggambarkan adanya penegakan hukum itu sendiri, apakah telah dilaksanakan baik atau tidak, apakah putusan itu melanggar kepastian hukum untuk mencapai keadilan, apakah putusan itu meninggalkan keadilan untuk mencapai kepastian hukum, ataukah apakah putusan tersebut mampu menyelaraskan antara kepastian hukum dengan keadilan yang ingin dicapai.

Berdasarkan pada hal tersebut penulis berpendapat bahwa majelis banding telah keliru dalam majatuhkan putusan tingkat banding. Surat penerimaan perubahan data yang menjadi objek sengketa seharusnya dibatalkan terlebih dahulu dalam rangka memperbaiki adanya kekurangan dari penerapan sistem SABH berupa sistem pelayanan secara elektronik yang diterapkan oleh Menteri hukum dan HAM yang menyebabkan ketidakpastian hukum.

Sesuai dengan Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya, pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat (Pasetyo, Islamil, Rasyid, & Asih, 2021).

Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Mahkamah Agung berdasarkan pada perkara nomor 171 K/TUN/2022 dalam kasus ini.

 

Kesimpulan

Dalam putusan PTUN Jakarta Menurut pertimbangan hukum majelis tingkat pertama sesuai dengan fakta hukum di persidangan terhadap objek sengketa dikeluarkan dalam masa proses gugatan di peradilan umum yang belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan pada saat itu Menteri hukum dan HAM yang mengeluarkan objek sengketa juga dijadikan Tergugat III dalam perkara di peradilan umum tersebut.

Menurut majelis banding bahwa dalam pertimbangan hukum tingkat pertama yang membatalkan surat objek sengketa dengan pertimbangan bahwa perkara perdata belum incracht sehingga Menteri hukum dan HAM seharusnya tidak melakukan perubahan data seharusnya juga diterapkan terhadap Surat Nomor AHU.AH.01.06.0019186 tanggal 3 Agustus 2020, oleh karena Yayasan Kawaluyaan yang diwakili oleh Alisar (selanjutnya disebut Terbanding/Penggugat) pun melakukan hal yang sama seperti yang Pembanding/Tergugat II Intervensi dalam hal ini Yayasan kawaluyaan yang diwakili oleh James Nangoi lakukan yaitu mengajukan permohonan perubahan data melalui SABH dan atas permohonan perubahan data tersebut Terbanding/Penggugat juga telah mendapatkan surat sejenis sebagaimana objek sengketa yaitu Surat Nomor AHU.AH.01.06.0019186 tanggal 3 Agustus 2020 tentang penerimaan perubahan data.

Sehingga Majelis Banding berpendapat apabila surat objek sengketa dinyatakan batal maka Surat Nomor AHU.AH.01.06.0019186 tanggal 3 Agustus 2020 demi hukum juga batal karena surat tersebut juga diterbitkan pada saat perkara perdata belum incracht, padahal Surat Nomor AHU.AH.01.06.0019186 tanggal 3 Agustus 2020 dijadikan dasar legalitas (legal standing) Terbanding/Penggugat bertindak untuk dan atas nama Yayasan Kawaluyaan sebagai Penggugat dalam perkara ini sebagaimana dalam surat gugatannya.

Berdasarkan pada perbedaan pertimbangan diatas, menurut penulis terdapat kelemahan dari penerapan SABH yang diterapkan oleh Menteri hukum dan HAM oleh sistim pelayanan secara elektronik(berlaku istilah �First Come First Serve�), Sedangkan faktanya banyak nama-nama yang diajukan oleh pemohon yang dikemudian hari baru ditemukan adanya permasalahan terkait dengan keabsahan atau masih adanya permasalahan hukum berkaitan dengan berkas yang dijadikan lampiran dan diserahkan kepada notaris, yang dijadikan pelengkap dokumen persyaratan untuk diajukannya permohonan perubahan data kepada Menteri hukum dan HAM oleh karenanya Tindakan Menteri hukum dan HAMbertentangan dengan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) dan (d) UUAP yaitu melanggar asas kepastian hukum dan asas kecermata.

Putusan majelis banding dalam mengadili perkara haruslah menggambarkan adanya penegakan hukum itu sendiri, apakah telah dilaksanakan baik atau tidak, apakah putusan itu melanggar kepastian hukum untuk mencapai keadilan, apakah putusan itu meninggalkan keadilan untuk mencapai kepastian hukum, ataukah apakah putusan tersebut mampu menyelaraskan antara kepastian hukum dengan keadilan yang ingin dicapai.

Berdasarkan pada hal tersebut penulis berpendapat bahwa majelis banding telah keliru dalam menjatuhkan putusan tingkat banding. Surat penerimaan perubahan data yang menjadi objek sengketa seharusnya dibatalkan terlebih dahulu dalam rangka memperbaiki adanya kekurangan dari penerapan sistem SABH berupa sistem pelayanan secara elektronik yang diterapkan oleh Menteri hukum dan HAM yang menyebabkan ketidakpastian hukum.

 

BIBLIOGRAFI

Angkouw, Kevin. (2014). Fungsi Mahkamah Agung Sebagai Pengawas Internal Tugas Hakim Dalam Proses Peradilan. Lex Administratum, 2(2).

 

Anshori, Abdul Ghofur. (2007). Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan). (No Title).

 

Arto, Mukti. (2004). Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

 

Asikin, Zainal. (2004). Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 

Joko, Dr Joko Sriwidodo, & SH, M. H. (2020). Perkembangan Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Kepel Press.

 

Koraag, Satria. (2021). Terjadinya Sengketa Tata Usaha Negara Akibat Dikeluarkannya Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara. Lex Administratum, 9(7).

 

Mintarum, Ahadin, & Afhami, Sahal. (2022). 2. Analisis Penyelesaian Sengketa Tanah Di Kecamatan Bareng Kabupaten Jombang:(Studi Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 34/6/2018/Ptun. Sby). Justicia Journal, 11(2), 82�98.

 

Pangemanan, Alventura Bernard. (2016). Kewajiban Notaris Sebagai Pejabat Umum Yang Berwenang Untuk Membuat Akta Autentik. LEX ADMINISTRATUM, 4(2).

 

Pasetyo, Bayu, Islamil, Rezky Robiatul Aisyiah, Rasyid, Fikri Ananta Nur, & Asih, Illa Amanda Nur. (2021). Argumentasi Hukum Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Perkara Sengketa Kepegawaian. Jurnal Palar (Pakuan Law Review), 7, 478.

 

Permana, L. Hendi. (2016). Analisis Pertimbangan Hukum Hakim dalam Penjatuhan Pidana di Bawah Minimum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kesusilaan (Perkara No. 107/Pid. Sus/2015/PN. MET).

 

Puang, Victorianus M. H. Randa. (2015). Hukum Pendirian Usaha Dan Perizinan. Deepublish.

 

Putra, Muhammad Amin. (2020). Keputusan Tata Usaha Negara Yang Berpotensi Menimbulkan Akibat Hukum Sebagai Objek Sengketa Di Pengadilan Tata Usaha Negara. J. Huk. Peratun, 3, 1�18.

 

Riszky, Rahmadhani Sri. (2022). Tanggung Jawab Notaris Atas Terjadinya Pembatalan SK Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Terkait Pengesahan Badan Hukum Yayasan Dayah Bustanul Ulum (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 68/K/TUN/2020). Jurnal Hukum Al-Hikmah: Media Komunikasi Dan Informasi Hukum Dan Masyarakat, 3(3), 697�728.

 

Tutik, D. R. Titik Triwulan, & SH, M. H. (2015). Hukum perdata dalam sistem hukum nasional. Kencana.

 

Wibawa, Sastra, & Putu, I. (2020). Bahan Ajar Hukum Administrasi Negara.

 

Copyright holder:

Jenifer Beatrix Renjaan, Rasji (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: