Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 7, Juli 2023
REFLEKSI
KRITIS REKRIMINALISASI PENGHINAAN PRESIDEN DI INDONESIA
Melissa B. Darbang
Universitas Tarumanagara Jakarta, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji rekriminalisasi penghinaan presiden dengan meninjau sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Sejak disahkannya rancangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU
1/2023), pengaturan terkait
penghinaan presiden menjadi polemik di tengah masyarakat. Masyarakat menilai bahwasanya pengaturan penghinaan presiden merupakan wujud upaya pemerintah
dalam membungkam aspirasi dan suara rakyat dalam berdemokrasi. Metode penelitian
yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (normatif law
research) dengan melakukan
penelitian terhadap kaidah hukum dalam
peraturan perundang-undangan
secara kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menyusun deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta. Penelitian ini akan memaparkan keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu serta suatu peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan, buku-buku,
artikel jurnal atau majalah ilmiah,
makalah, serta literatur pendapat sarjana (doktrin). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi di Indonesia turut tunduk pada Pancasila sebagai landasan filosofis Indonesia, sehingga unsur kebebasan dalam demokrasi tidak dapat disalahgunakan
sebagai upaya penghinaan. Selain itu, pengaturan tindak pidana penghinaan
presiden dapat sejalan dengan teori tujuan hukum
yang disampaikan oleh Gustav Radbruch,
yaitu memenuhi unsur keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, apabila diterapkan dengan bijak.
Kata Kunci: Rekriminalisasi; Penghinaan
Presiden; Demokrasi.
Abstract
This study aims to
examine the recriminalization of presidential insults by reviewing the
democratic system applied in Indonesia. Since the passage of Bill Number 1 of
2023 concerning the Criminal Code (Law 1/2023), regulations related to
insulting the president have become polemics in the community. The public
considers that the arrangement of presidential insults is a manifestation of
the government's efforts to silence the aspirations and voices of the people in
democracy. The research method used is normative law research by conducting
qualitative research on legal rules in laws and regulations. This research is
descriptive in nature which aims to compile a systematic, factual and accurate
description of the facts. This research will describe the state of law that
applies in a certain place and a certain legal event that occurs in society.
This research uses secondary data consisting of laws and regulations, books,
journal articles or scientific magazines, papers, and scholarly opinion
literature (doctrine). The results of this study show that the democratic
system in Indonesia is also subject to Pancasila as Indonesia's philosophical
foundation, so that the element of freedom in democracy cannot be misused as an
attempt to humiliate. In addition, the regulation of the criminal act of
insulting the president can be in line with the theory of legal objectives
presented by Gustav Radbruch, namely fulfilling the
elements of justice, certainty, and legal expediency, if applied wisely.
Keywords: Recriminalization;
Presidential Contempt; Democracy.
Pendahuluan
Pengaturan tindak pidana
penghinaan presiden pada mulanya tercantum dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP terdahulu). Namun, seiring berjalannya waktu, pasal tersebut
dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) setelah adanya pengajuan Judicial Review berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 (Putusan
MK No. 013-022/PUU-IV/2006). Pada masa itu, pasal penghinaan presiden diuji karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dapat disimpulkan bahwa tindak pidana
penghinaan presiden sempat mengalami dekriminalisasi setelah dinyatakan inkonstitusional oleh
MK.
MK berpendapat bahwa Indonesia merupakan suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan
rakyat, serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945
(UUD 1945), sehingga tidak relevan jika tetap
mengimplementasikan pengaturan
sebagaimana tercantum dalam ketiga pasal
tersebut (Gaffar, 2013). Hal ini dinilai
juga dapat berimplikasi
pada penegakan prinsip persamaan derajat di mata hukum (equality before the
law), penegakan terhadap kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum (Risdianto, 2017).
Lambat laun, pengaturan
tindak pidana penghinaan presiden kembali muncul di permukaan sejak dikeluarkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP). Kemudian, sejak disahkannya RKUHP tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (UU 1/2023), maka pengaturan tindak pidana penghinaan presiden resmi mengalami rekriminalisasi.
Berdasarkan Pasal 218 ayat
(1) KUHP, tindak pidana penghinaan presiden diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah). Lebih lanjut, pada
Pasal 219 KUHP merupakan pengaturan bagi tindak pidana penghinaan
presiden yang dilakukan dengan sarana teknologi
informasi diancam dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun
dan denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Adapun kedua pasal tersebut
diatur termasuk ke dalam kategori
delik aduan.
Berdasarkan analisis dari penelitian
terdahulu, rekriminalisasi pengaturan tindak pidana penghinaan presiden sejatinya tidak memenuhi syarat untuk dilaksanakan,
selain dikarenakan pasal-pasal yang muncul kembali memuat substansi yang sama seperti di dalam KUHP terdahulu, hal tersebut juga dikarenakan oleh hal-hal sebagai berikut
a) Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 seharusnya
menjadi dasar hukum yang bersifat final,
sehingga dalam hal ini pemerintah
maupun DPR tidak mematuhinya;
b) Tidak ada argumentasi
yang sah terkait keselamatan publik, kebebasan, ketertiban umum serta moral publik apabila rekriminalisasi pengaturan tindak pidana penghinaan
presiden tetap berjalan;
c) Pengaturan tindak pidana penghinaan presiden tidak relevan apabila diterapkan di negara demokrasi;
d) Tidak terdapat penjelasan secara spesifik mengenai bentuk, unsur, serta maksud dari
frasa �penghinaan� yang berpotensi menimbulkan penafsiran yang berbeda, sehingga asas kepastian
hukum dalam penerapan pengaturan tindak pidana penghinaan
presiden dapat terganggu;
e) Pada
dasarnya hukum pidana telah memberikan
perlindungan terhadap nama baik dan kehormatan
seseorang;
f) Tindak idana penghinaan
presiden masih terpaku pada pemidanaan sebagai jalan keluar;
dan
g) Prinsip persamaan di mata hukum tidak
dicerminkan melalui pengaaturan tindak pidana penghinaan presiden.
Jauh sebelum
UU 1/2023 disahkan, Widayati
pada tahun 2017 menyampaikan
pandangannya terkait rencana rekriminalisasi tindak pidana penghinaan
presiden, yaitu hal tersebut tidak
perlu diatur kembali dalam RKUHP, mengingat bahwa substansi yang termuat dalam KUHP maupun RKUHP memiliki kesamaan, serta menimbang bahwa MK telah membatalkan pasal pengaturan tindak pidana penghinaan presiden karena bertentangan dengan UUD 1945 (Widyati, 2017).
Selain itu,
para pembentuk undang-undang
seyogianya dapat membuktikan bahwa rekriminalisasi penghinaan presiden diusung demi kepentingan negara, akan tetapi penjelasan pasal tersebut tidak menguraikan secara jelas kepentingan
apa yang ada di balik pengaturan tindak pidana penghinaan
presiden
Berangkat dari uraian di atas, peneliti lainnya juga berpandangan bahwa pengaturan tindak pidana penghinaan
presiden tidak sesuai dengan tujuan
utama suatu kebijakan hukum pidana, yaitu demi melindungi masyarakat serta memenuhi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sebagaimana disampaikan
oleh Sudarto, yang dikutip melalui
Lebih lanjut,
Prinsip negara demokrasi meliputi hubungan antara masyarakat dengan pemimpin negara yang timbul melalui mekanisme check and balance sebagai
representasi penguatan
negara dalam bentuk vertical
(Ariyanti, 2019). Oleh karena
itu, bentuk perlindungan secara khusus terhadap Presiden atau Wakil Presiden seharusnya tidak sesuai dengan
negara yang menganut prinsip
presidensial demokratis. Mengingat sudah diatur mengenai pasal penghinaan secara umum dalam
KUHP terdahulu maupun UU
1/2023, maka pasal pengaturan tindak pidana penghinaan presiden cenderung mencerminkan kediktatoran penguasa dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi dalam jabatan atau
kekuasaannya
Bertolak belakang
dengan pandangan penelitian-penelitian sebelumnya,
Hairi justru menilai bahwa pengaturan
penghinaan presiden memiliki urgensi untuk tetap ada
dalam hukum positif Indonesia, dengan catatan perlunya penyesuaian penjelasan dari pasal yang dimakud. Hairi berpandangan bahwa rumusan pasal pengaturan
tindak pidana penghinaan presiden memiliki unsur yang berbeda dalam KUHP dan UU 1/2023
Adapun perbedaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada pisau analisis yang dijadikan parameter dalam menganalisis rekriminalisasi penghinaan presiden di Indonesia,
yaitu dengan menggunakan teori tujuan hukum yang diprakarsai oleh Radbruch. Sebagaimana disampaikan, bahwa hukum memiliki
tiga tujuan utama, yakni kemanfaatan,
kepastian, dan keadilan
Hal tersebut
diharapkan agar pengaturan tindak pidana penghinaan
presiden dapat diterapkan dengan optimal tanpa menutup hak
demokrasi masyarakat
Indonesia. Mengingat sebuah
adagium yang berkata bahwa �demokrasi tanpa hukum dapat
menjadi liar dan mengakibatkan
anarki, sedangkan hukum tanpa demokrasi
bisa zalim serta sewenang-wenang.�
Metode Penelitian
Metode penelitian
yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (normative law research)
Penelitian ini bersifat deskriptif
yang bertujuan untuk menyusun deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta pengaturan tindak pidana penghinaan presiden serta latar belakang rumusan pengaturan tersebut. Penelitian ini akan memaparkan
keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu serta suatu peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat,
dalam kata lain dengan melakukan riset mengenai kasus penghinaan presiden di Indonesia,
untuk mengetahui urgensi pengaturan tindak pidana penghinaan
presiden tersebut.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, artikel jurnal atau majalah ilmiah,
makalah, serta literatur pendapat sarjana (doktrin). Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam rangkaian metode penelitian ini adalah melalui
studi dokumen atau bahan pustaka
(library research). Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang berkaitan dengan pengaturan penghinaan presiden. Dalam hal ini, teknik
analisis data yang digunakan
adalah analisis deduktif.
Hasil dan Pembahasan
Rekriminalisasi Penghinaan Presiden
Pada hakikatnya,
tindakan penghinaan secara umum diatur
dalam Pasal 315 KUHP terdahulu, yaitu berbunyi demikian: �Tiap-tiap penghinaan
dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan
lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan
lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua
minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.�
Lebih lanjut,
penghinaan secara khusus terhada martabat presiden atau wakil presiden juga diatur dalam Pasal
134 KUHP terdahulu. Kilas balik pada tahun 2006 silam, Putusan MK No.
013-022/PUU-IV/2006 membatalkan pengaturan
tindak pidana penghinaan presiden tersebut di atas, dengan alasan bahwa
pasal tersebut berpotensi menghalangi publik dalam menyampaikan
kritik atas kebijakan maupun kinerja pemerintah. Dalam hal ini,
maka pasal penghinaan presiden dinyatakan inkonstitusional, yang
dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) berarti tidak
memiliki dasar hukum atau bahkan
melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Putusan
MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang diawali
oleh pengajuan Judicial Review dari
Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis terkait Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP terdahulu, MK berpendapat bahwa Indoensia merupakan suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan
rakyat, serta menjunjung tinggi HAM sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, sehingga tidak relevan jika tetap
mengimplementasikan pengaturan
sebagaimana tercantum dalam ketiga pasal
tersebut. Hal ini dinilai juga dapat berimplikasi pada penegakan prinsip persamaan di mata hukum, penegakan
terhadap kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
Di Indonesia, kasus penghinaan maupun penyerangan martabat presiden atau wakil presiden kerap terjadi dari
tahun ke tahun. Seperti di tahun 2005 sebelum adanya pembatalan terhadap pasal penghinaan presiden, seorang penulis blog asal Yogyakarta, Herman Saksono
(HS) ditetapkan sebagai tersangka karena melakukan penghinaan terhadap presiden. Herman dikatakan memasang foto hasil retouch di laman
blog miliknya. Lebih rinci, Herman menghapus wajah Mayangsari dan menggantinya dengan foto Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono (Presiden SBY). Atas perbuatan tersebut, HS dijerat dengan Pasal 134 KUHP terdahulu. Akan tetapi, kasus tersebut
berhenti setelah HS menghapus foto rekayasa tersebut dari laman blog miliknya
Selain kasus
yang menimpa Presiden SBY
di tahun 2005 tersebut, Presiden Joko Widodo (Presiden
Jokowi) juga mengalami hal
yang serupa di tahun 2021. Pasalnya, seorang dari Bali bernama Harris Syahputra Damanik (HSD) ditangkap atas unggahan video melalui akun Youtube bernama
Raja Haris Raja Record, yang dianggap menghina Presiden Jokowi. Setelah menyatakan dirinya bersalah dan meminta maaf, kasus
HSD dihentikan.
Kasus penghinaan terhadap Presiden Jokowi tidak selesai samapi disitu. Belum lama ini, di awal tahun 2023, seorang mantan pegawai Universitas Informatika
dan Bisnis Indonesia (Unibi),
di Bandung, dipecat lantaran
melakukan penghinaan terhadap Presiden Jokowi melalui akun Twitter. Adapun penghinaan yang dilakukannya tersebut ditujukan terhadap Presiden Jokowi di saat menghadiri acara Hari Ulang Tahun ke-50 Partai Demokrat Indonesia Perjuangan (PDIP). Mengutip unggahan akun @loegie, penghinaan tersebut berupa
Menurut pendapat Sudarto, karakteristik kriminalisasi maupun dekriminalisasi diklasifikasikan sebagai berikut dalam Laporan
Simposium Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional 1980
1) Apakah tindakan tersebut dibenci oleh masyarakat dikarenakan menimbulkan kerugian atau melahirkan korban;
2) Apakah biaya kriminalisasi
terhadap suatu tindakan tersebut seimbang dengan hasil yang akan dicapai atau cost penyusunan dan/atau pembentukan peraturan perundang-undangan, pengawasan,
dan penegakan hukum serta beban kerugian
yang ditimbulkan terhadap
korban dan pelaku seimbang dengan situasi hukum yang hendak dicapai;
3) Apakah beban aparat
penegak hukum seimbang atau dapat
diemban oleh kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya; dan
4) Apakah perbuatan tersebut mengakibatkan terhambat atau terhalanginya tujuan negara, sehingga merupakan suatu ancaman bagi
seluruh masyarakat.
Rekriminalisasi tindak pidana penghinaan
presiden muncul pada 3 (tiga) pasal di UU 1/2023, yaitu dalam Pasal
218, Pasal 219, dan Pasal
220 UU 1/2023. Berikut ini merupakan uraian perbandingan muatan pasal pengaturan tindak pidana penghinaan
presiden dalam KUHP terdahulu dengan UU 1/2023.
Tabel 1 Perbandingan
Pengaturan Tindak Pidana Penghinaan Presiden dalam KUHP terdahulu dengan UU 1/2023
KUHP terdahulu |
UU 1/2023 |
Pasal�134: Penghinaan�yang dilakukan dengan sengaja terhadap presiden atau wakil presiden diancam dengan pidana paling lama 6 (enam) tahun, atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. |
Pasal�218 ayat (1): Setiap orang yang di Muka
Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
pidana denda paling banyak kategori IV. Pasal�218 ayat (2): Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. |
Pasal�136 bis: Dalam pengertian penghinaan pada pasal 134 termasuk juga perbuatan pada pasal 135, jika hal itu
dilakukan diluar adanya yang terkena, baik tingkah laku di muka umum dengan perbuatan,
lisan, atau tulisan, asal di muka lebih dari empat orang, atau di muka orang ketiga yang ada�disitu bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung karenanya. |
Pasal�219: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga
terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan
dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui
umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana
denda paling banyak kategori IV. |
Pasal�137: Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat
dari 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama maka dapat dijatuhi
pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 91 ayat (1) huruf g. |
Pasal�220 ayat (1): Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Pasal�220 ayat (2): Pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. |
Terlihat perbedaan
mendasar dalam konsep pengaturan tindak pidana penghinaan
presiden yang sebelumnya tertuang dalam KUHP terdahulu sebagai delik biasa, sedangkan
dalam UU 1/2023, penghinaan
presiden tersebut menjadi delik aduan.
Delik aduan mengacu pada hal atau perkara yang harus diajukan pengadu; melalui proses pengaduan. Secara etimologis, delik aduan berarti pelanggaran
yang hanya diproses jika ada pengaduan
atau laporan dari korban tindak pidana. E. Utrecht dalam Hukum Pidana II menjelaskan bahwa dalam delik
aduan, penuntutan terhadap pelanggaran tersebut bergantung pada persetujuan korban yang terkena dampak
Timbul tanda
tanya besar terhadap pengesahan KUHP di awal tahun 2023 yang kembali memunculkan pasal terkait pengaturan
tindak pidana penghinaan presiden. Publik berpendapat bahwa apabila pemerintah dan perancang undang-undang bermaksud untuk melakukan pembaharuan hukum pidana dan terlepas dari produk
jajahan, maka seharusnya produk hukum yang baru (UU 1/2023) bersifat progresif dengan menghilangkan pasal-pasal yang tidak relevan dengan identitas Bangsa Indonesia.
Sebagaimana diketahui
bahwa Negara Belanda dipimpin
oleh seorang ratu yang tidak
dapat digantikan sampai dia meninggal,
maka dari itu terdapat pengaturan
mengenai penghinaan terhadap pimpinan negaranya. Sedangkan kembali ke Indonesia sebagai negara demokrasi, beberapa oknum masyarakat menilai pengaturan tindak pidana penghinaan presiden dinilai tidak tepat
Pengaturan Tindak Pidana Penghinaaan
Presiden Ditinjau dari Sistem Demokrasi
di Indonesia
Demokrasi, hukum,
dan HAM merupakan tiga komponen utama dalam kehidupan berbangsa dna bernegara
di Indonesia. Sebagaimana dikutip
oleh Tjipta Lesmana, Kenneth janda mengartikan demokrasi sebagai �authority in, or rule by, the people�, yang
memiliki makna bahwa kekuasaan berada di tangan masyarakat oleh masyarakat
Pada praktiknya,
demokrasi memungkinkan masyarakat menyampaikan kritik terhadap pemerintah, yang kerap dilakukan melalui media sosial. Hal ini secara tidak langsung
berhasil mendorong pemilih muda untuk
ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum dan bahkan mempengaruhi keputusan pemungutan suara melalui pendapat, komentar, berteman, mengikuti kandidat, dan dengan mudah menyebarkan
tautan atauun unggahan sekaligus memberikan reaksi suka atau tidak
suka
Mengingat demokrasi
yang dianut oleh Indonesia merupakan
Demokrasi Pancasila, maka kebebasan individu yang ada bukan sekedar
bebas, melainkan perlu dibarengi dengan rasa tanggung jawab atas kebebasan
itu sendiri (Tjenreng, 2020). Hal tersebut merupakan ciri khas demokrasi Pancasila, dimana tanggung jawab individu bersifat vertikal (mengacu pada sang Pencipta), atau kerap disebut
sebagai humanism-religious
Lebih lanjut
mengenai Demokrasi
Pancasila, terdapat 11 ciri
yang disampaikan oleh Aziz pada tahun
2016, sebagaimana dikutip melalui
Berbicara mengenai
kebebasan individu, terdapat berbagai hak atas kebebasan
berpendapat, antara lain hak atas kebebasan
berekspresi (the right to freedom of expression),
hak atas kebebasan berpendapat (the
right to freedom of opinion), serta kebebasan berbicara dan berekspresi (freedom of speech and expression). Perbedaan istilah ketiganya memiliki makna serta maksud
yang sama
Selain itu,
kebebasan dalam berdemokrasi juga kerap disandingkan dengan kebebasan pers yang memberikan hak terhadap masyarakat
untuk mengetahui segala peristiwa yang sedang terjadi (termasuk kinerja pemerintah), sehingga terciptanya prinsip check and
balance sekaligus pengendalian
atas kekuasaan. Media saat ini disebut
sebagai pilar demokrasi dikarenakan pada dasarnya kebebasan pers bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di suatu negara
Merujuk pada penelitian
terkait demokrasi dan kebebasan pers, telah terjadi penurunan demokrasi sejalan dengan penurunan kebebasan sipil di sejumlah negara, selain
Indonesia. Negara-negara dengan skor
demokrasi rendah dan masalah kebebasan sipil yang buruk juga memiliki kebebasan pers dan media
yang terbatas. Secara keseluruhan, Asia Tenggara tidak pernah menjadi wilayah yang ramah bagi organisasi
dan pekerja media. Timor Leste,
Indonesia, dan Malaysia memiliki kondisi
yang relatif lebih baik daripada tiga
negara lainnya. Namun, masih ada kekhawatiran
terhadap penurunan kebebasan pers karena masih ada regulasi
yang memungkinkan pemerintah
untuk membatasi dan mengendalikan kebebasan pers
Dapat disimpulkan, bahwa di Indonesia kesemua kebebasan tersebut memiliki batasan. Batasan yang paling jelas
adanya adalah kebebasan berpendapat atau berbicara tidak dapat disalahgunakan
sebagai upaya penghinaan terhadap orang lain.
Bila dikaitkan dengan esensi tanggung jawab dalam demokrasi
Pancasila, maka setiap individu masyarakat Indonesia memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas hak
individu lainnya agar tidak dihina.
Kendati demikian, terdapat pandangan menarik dari MK terkait demokrasi dan kebebasan berekspresi, yang dituangkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-VII/2009 (Putusan MK
No. 2/PUU-VII/2009), yaitu berbunyi
demikian: �Penghargaan terhadap
harkat dan martabat kemanusiaan tidak boleh tercederai oleh tindakan-tindakan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan melalui tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik. Mendengung-dengunkan
nilai-nilai demokrasi tanpa disertai dengan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan sama halnya dengan menggelincirkan
demokrasi itu sendiri pada titik terendah dan itulah saat kematian demokrasi
yang diagungkan itu, karenanya konstitusi memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.
Hal tersebut berarti HAM di Indonesia
tidak terlepas dari pedoman pelaksanaan
HAM di Indonesia. HAM di Indonesia terletak pada keseimbangan antara hak dengan kewajiban
asasi sebagai anggota masyarakat
Maka, dalam implementasinya kebebasan yang diatur dalam demokrasi itu sendiri memiliki
batasan-batasan yang bertujuan
untuk menjaga ketertiban dalam suatu negara hukum, yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang
ada, tanpa merampas kebebasan masyarakat itu sendiri. Melainkan, tujuannya adalah sebagai upaya penertiban
hukum dan sosial.
Pengaturan Tindak Pidana Penghinaaan
Presiden Ditinjau dari Teori Tujuan
Hukum Radbruch
Philip S. James mengartikan hukum sebagai tubuh bagi
suatu peraturan agar dapat menjadi petunjuk
bagi perilaku manusia yang memiliki sifat paksaan. Hal ini sejalan dengan
definisi hukum yang dikemukakan oleh Leon Duquit, yaitu aturan atas
tingkah laku anggota masyarakat, sebagai jaminan atas kepentingan bersama
Bila dikonseptualkan
dengan Indonesia, maka tujuan hukum seyogyanya
adalah demi menjunjung tinggi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini,
hukum berperan sebagai penyelenggara suatu keadilan dan ketertiban
Secara umum,
keadilan merupakan upaya untuk memberikan
kesetaraan. Radbruch berpandangan bahwa kesetaraan itu sendiri hanya ada
dalam lingkup relasi, bukan secara
substansial (Nawir, 2016). Oleh karena
itu, Radbruch mengemukakan sebuah unsur tujuan hukum
demi melengkapi ide keadilan,
yaitu kemanfaatan. Kemanfaatan dimaknai untuk melayani keinginan yang beragam dari berbagai pihak.
Ide kemanfaatan tersebut dipenuhi secara relatif, karena begitu banyak ragam
kehendak yang tidak dapat disaukan, sehingga berpotensi pada perbedaan kehendak yang berkelanjutan.
Dari sana, Radbruch kembali menawarkan unsur tujuan hukum yang terakhir, yaitu kepastian. Kepastian hukum yang ditetapkan seccara positif sehingga perbedaan-perbedaan yang
ada dapat tumpas
Selanjutnya dari
segi kemanfaatan, rekriminalisasi pengaturan tindak pidana penghinaan
presiden mungkin saja dapat menjadi
pedoman bagi masyarakat secara luas dalam melakukan
kritik terhadap presiden atau wakil presiden, agar tidak menyeleweng atau menyalahgunakan kritik sebagai sarana penghinaan. Dalam hal ini, maka
diperlukan adanya indikator pasti yang menjelaskan terkait unsur penghinaan dalam UU 1/2023. Terakhir dari segi kepastian,
publik dibuat bingung dengan adanya rekriminalisasi yang merupakan penghidupan kembali suatu pasal
yang telah dibatalkan oleh
MK dahulu. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap kapasitas dan kinerja pejabat pemerintahan dalam membuat maupun menyusun suatu produk hukum yang berlaku positif di Indonesia.
�
Kesimpulan
Pengaturan tindak pidana penghinaan
presiden yang tertuang dalam UU 1/2023 merupakan suatu fenomena rekriminalisasi atas kebijakan hukum pidana di Indoneisa. Mengingat bahwa dahulu pasal terkait
penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden sempat mengalami dekriminalisasi melalui Putusan MK No.
013-022/PUU-IV/2006.
Bila ditinjau dari sudut
pandang demokrasi, pengaturan tindak pidana penghinaan presiden dapat diimplementasikan dengan menguraikan klasifikasi secara rinci terhadap
apa yang dimaksud dengan �penghinaan�. Sepanjang frasa �penghinaan� tidak meliputi upaya kritis masyarakat dalam menilai dan membangun kinerja presiden atau wakil presiden, maka pengaturan tersebut dapat sejalan dengan
prinsip demokrasi di
Indonesia. Mengingat bahwa
Indonesia juga berdiri di atas
landasan Pancasila, maka kebebasan dalam demokrasi tetap memiliki batasan tertentu agar terciptanya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat
Indonesia.
Adapun dari segi ide tujuan
hukum oleh Radbruch, pengaturan penghinaan presiden belum memenuhi rasa keadilan masyarakat secara optimal. Sedangkan dari segi kemanfaatan, pengaturan penghinaan presiden diharapkan dapat menjadi pedoman
masyarakat dalam menyampaikan kritiknya, sehingga tidak menyalahgunakan demokrasi, HAM, maupun kebebasan berekspresi sebagai sarana penghinaan yang tidak membangun. Terakhir dari segi
kepastian, pengaturan penghinaan presiden justru memundurkan ide kepastian dikarenakan pasal tersebut mencerminkan sebuah upaya penghidupan kembali pasal yang dahulu telah dinyatakan
batal demi hukum oleh MK.
Kendati demikian, mengingat bahwasanya UU 1/2023 sudah ditetapkan dan akan berlaku sebagai hukum positif Indonesia di masa
yang akan datang, maka setidaknya pemerintah dapat merumuskan sebuah indikator pasti terkait frasa penghinaan.
Hal ini bertujuan untuk kembali memajukan
ide kepastian dalam pengaturan tindak pidana penghinaan presiden. Selain itu, peningkatan literasi terkait konsep kritik yang baik dan benar juga perlu ditingkatkan agar masyarakat tidak sembarang melakukan penghinaan dan bersembunyi di balik �kritik�, kemudian protes ketika mengalami peneguran maupun penangkapan.
BIBLIOGRAPHY
Agustama, F. (2019). Analisis Kriminalisasi
Perbuatan Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden Konsep RKUHP 2015.
p. ii.
Ali, M. (2010). Pencemaran Nama Baik Melalui Sarana
Informasi dan Transaksi Elektronik (Kajian Putusan MK No. 2/PUU-VII/2009). Jurnal
Konstitusi, 7(6), 119-146.
Ali, Z. (2010). Metode
Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Anwar, A. S. (2023). Menyoal Pasal Penghinaan Presiden
dalam KUHP: Antara Proporsionalitas Prinsip Primus Interpares atau Kemunduran
Demokrasi. Jurnal Hukum dan HAM Wicarana, 2(1), 24.
Amrullah, M. A., &
SH, M. (2022). Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan
Ekonomi di Bidang Perbankan. Prenada Media.
Ariyanti, V. (2019).
Kebijakan Penegakan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jurnal
Yuridis, 6(2), 33�54.
Arief, B. N. (1996). Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
detikSumut. (2023, Januari 16). Hina Jokowi di Twitter, Pegawai UNIBI Dipecat! Retrieved from detik.com: https://www.detik.com/sumut/hukum-dan-kriminal/d-6517145/hina-jokowi-di-twitter-pegawai-unibi-dipecat
Fernando, Z. J., Pujiyono, & Rochaeti, N. (2022).
Telaah Pasal Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. Jurnal
Rechtsvinding, 11(1), 146.
Gaffar, J. M. (2013).
Peran putusan Mahkamah Konstitusi dalam perlindungan hak asasi manusia
terkait penyelenggaraan pemilu. Jurnal Konstitusi, 10(1), 1�32.
Hairi, P. J. (2022). Menyerang Kehormatan atau Harkat dan
Martabat Presiden: Urgensi Pengaturan Vis-aVis Kebebasan Berekspresi dan
Kebebasan Pers. Negara Hukum, 13(2), 162.
Hidayah, Y., Ulfa, N., Aprillio, & Belladonna, P.
(2022). Demokrasi Pancasila dalam Membangun Demokrasi "Sehat". Jurnal
Ilmu Sosial dan Humaniora, 1(2), 110-123.
Indriyani, A. (2022, Mei 26). Pengamat: Pasal Penghinaan
Presiden Sudah tak Dipakai di Negara Demokrasi. Retrieved Maret 8, 2023,
from Media Indonesia:
https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/495035/pengamat-pasal-penghinaan-presiden-sudah-tak-dipakai-di-negara-demokrasi
Kansil, C., &
Kansil, C. S. (2018). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Lawelai, H., Sadat, A., & Suherman, A. (2022). Demokrasi dan
Kebebasan Berpendapat di Media Sosial: Analisis Sentimen di Twitter. Jurnal
Praja, 10(1), 40-48.
Lesmana, T. (2005). Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan
Pers antara Indonesia dan Amerika. Jakarta: Erwin-Rika Press.
Manan, B. (2014). Politik
Publik Pers. Jakarta: Dewan Pers.
Manullang, E. F. (2022). Misinterpretasi Ide Gustav
Radbruch mengenai Doktrin Filosofis tentang Validitas dalam Pembentukan
Undang-Undang. Jurnal Hukum, 5(2), 453-480.
Muhaimin. (2020). Metode Penelitian Hukum. Mataram:
Mataram University Press.
Muslih, M. (2014). Negara Hukum Indonesia dalam Perspektif
Teori Hukum Gustav Radbruch. Jurnal Legalitas, IV(1), 143.
Nawir, M. (2016). Kajian
Tentang Hadis-Hadis Relasi Kesetaraan Gender dalam Fatwa MUI. Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rahmasari, N. S., & Soeskandi, H. (2022). Penghidupan
Kembali Pasal Terhadap Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Mimbar Keadilan, 15(1), 47.
Ramadlan, M. F., & Masykuri, R. (2021). Kemunduran
Demokrasi dan Kebebasan Pers di Asia Tenggara: Refleksi dari Enam Negara. Jurnal
Penelitian Politik, 18(2), 141-157.
Ramdan, A. (2020). Kontroversi Delik Penghinaan
Presiden/Wakil Presiden dalam RKUHP. Jurnal Yudisial, 13(2), 251-264.
Risdianto, D. (2017).
Perlindungan Terhadap Kelompok Minoritas Di Indonesia Dalam Mewujudkan
Keadilan Dan Persamaan Di Hadapan Hukum. Jurnal Rechts Vinding: Media
Pembinaan Hukum Nasional, 6(1), 125�142.
Simanjuntak, R. A. (2021, June 12). Deretan Kasus
Penghinaan Presiden, dari Sri Bintang Pamungkas hingga Arsyad Penjual Sate.
Retrieved from Sindo News: https://nasional.sindonews.com/read/453694/13/deretan-kasus-penghinaan-presiden-dari-sri-bintang-pamungkas-hingga-arsyad-penjual-sate-1623492410?showpage=all
Tjarsono, I. (2013). Demokrasi Pancasila dan Bhinneka
Tunggal Ika: Solusi Heterogenitas. Jurnal Transnasional, IV(2), 885.
Tjenreng, M. B. Z.
(2020). Demokrasi di Indonesia melalui pilkada serentak. Penerbit
Papas Sinar Sinanti.
Viryawan, M. I., Maritza, S., & Setyaningrum, S.
(2022). Melemahnya Kebebasan Pers di Filipina. Jurnal CommLine, 7(2),
124-133.
Widayati, L. S. (2017). Tindak Pidana Penghinaan Terhadap
Presiden atau Wakil Presiden: Perlukah Diatur Kembali dalam KUHP? Jurnal
Negara Hukum, 8(2), 231-232.
Yuhelson. (2018). Pengantar Ilmu Hukum. Gorontalo:
Ideas Publishing.
Copyright holder: Melissa B. Darbang
(2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |