Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 7, Juli 2023

 

REFLEKSI KRITIS REKRIMINALISASI PENGHINAAN PRESIDEN DI INDONESIA

 

Melissa B. Darbang

Universitas Tarumanagara Jakarta, Indonesia

E-mail: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji rekriminalisasi penghinaan presiden dengan meninjau sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Sejak disahkannya rancangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU 1/2023), pengaturan terkait penghinaan presiden menjadi polemik di tengah masyarakat. Masyarakat menilai bahwasanya pengaturan penghinaan presiden merupakan wujud upaya pemerintah dalam membungkam aspirasi dan suara rakyat dalam berdemokrasi. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (normatif law research) dengan melakukan penelitian terhadap kaidah hukum dalam peraturan perundang-undangan secara kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menyusun deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta. Penelitian ini akan memaparkan keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu serta suatu peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, artikel jurnal atau majalah ilmiah, makalah, serta literatur pendapat sarjana (doktrin). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi di Indonesia turut tunduk pada Pancasila sebagai landasan filosofis Indonesia, sehingga unsur kebebasan dalam demokrasi tidak dapat disalahgunakan sebagai upaya penghinaan. Selain itu, pengaturan tindak pidana penghinaan presiden dapat sejalan dengan teori tujuan hukum yang disampaikan oleh Gustav Radbruch, yaitu memenuhi unsur keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, apabila diterapkan dengan bijak.

 

Kata Kunci: Rekriminalisasi; Penghinaan Presiden; Demokrasi.

 

Abstract

This study aims to examine the recriminalization of presidential insults by reviewing the democratic system applied in Indonesia. Since the passage of Bill Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code (Law 1/2023), regulations related to insulting the president have become polemics in the community. The public considers that the arrangement of presidential insults is a manifestation of the government's efforts to silence the aspirations and voices of the people in democracy. The research method used is normative law research by conducting qualitative research on legal rules in laws and regulations. This research is descriptive in nature which aims to compile a systematic, factual and accurate description of the facts. This research will describe the state of law that applies in a certain place and a certain legal event that occurs in society. This research uses secondary data consisting of laws and regulations, books, journal articles or scientific magazines, papers, and scholarly opinion literature (doctrine). The results of this study show that the democratic system in Indonesia is also subject to Pancasila as Indonesia's philosophical foundation, so that the element of freedom in democracy cannot be misused as an attempt to humiliate. In addition, the regulation of the criminal act of insulting the president can be in line with the theory of legal objectives presented by Gustav Radbruch, namely fulfilling the elements of justice, certainty, and legal expediency, if applied wisely.

 

Keywords: Recriminalization; Presidential Contempt; Democracy.

 

Pendahuluan

Pengaturan tindak pidana penghinaan presiden pada mulanya tercantum dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP terdahulu). Namun, seiring berjalannya waktu, pasal tersebut dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) setelah adanya pengajuan Judicial Review berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 (Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006). Pada masa itu, pasal penghinaan presiden diuji karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dapat disimpulkan bahwa tindak pidana penghinaan presiden sempat mengalami dekriminalisasi setelah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

MK berpendapat bahwa Indonesia merupakan suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), sehingga tidak relevan jika tetap mengimplementasikan pengaturan sebagaimana tercantum dalam ketiga pasal tersebut (Gaffar, 2013). Hal ini dinilai juga dapat berimplikasi pada penegakan prinsip persamaan derajat di mata hukum (equality before the law), penegakan terhadap kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum (Risdianto, 2017).

Lambat laun, pengaturan tindak pidana penghinaan presiden kembali muncul di permukaan sejak dikeluarkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Kemudian, sejak disahkannya RKUHP tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU 1/2023), maka pengaturan tindak pidana penghinaan presiden resmi mengalami rekriminalisasi.

Berdasarkan Pasal 218 ayat (1) KUHP, tindak pidana penghinaan presiden diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Lebih lanjut, pada Pasal 219 KUHP merupakan pengaturan bagi tindak pidana penghinaan presiden yang dilakukan dengan sarana teknologi informasi diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Adapun kedua pasal tersebut diatur termasuk ke dalam kategori delik aduan.

Berdasarkan analisis dari penelitian terdahulu, rekriminalisasi pengaturan tindak pidana penghinaan presiden sejatinya tidak memenuhi syarat untuk dilaksanakan, selain dikarenakan pasal-pasal yang muncul kembali memuat substansi yang sama seperti di dalam KUHP terdahulu, hal tersebut juga dikarenakan oleh hal-hal sebagai berikut (Rahmasari & Soeskandi, 2022):

a) Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 seharusnya menjadi dasar hukum yang bersifat final, sehingga dalam hal ini pemerintah maupun DPR tidak mematuhinya;

b) Tidak ada argumentasi yang sah terkait keselamatan publik, kebebasan, ketertiban umum serta moral publik apabila rekriminalisasi pengaturan tindak pidana penghinaan presiden tetap berjalan;

c) Pengaturan tindak pidana penghinaan presiden tidak relevan apabila diterapkan di negara demokrasi;

d) Tidak terdapat penjelasan secara spesifik mengenai bentuk, unsur, serta maksud dari frasa �penghinaan� yang berpotensi menimbulkan penafsiran yang berbeda, sehingga asas kepastian hukum dalam penerapan pengaturan tindak pidana penghinaan presiden dapat terganggu;

e) Pada dasarnya hukum pidana telah memberikan perlindungan terhadap nama baik dan kehormatan seseorang;

f) Tindak idana penghinaan presiden masih terpaku pada pemidanaan sebagai jalan keluar; dan

g) Prinsip persamaan di mata hukum tidak dicerminkan melalui pengaaturan tindak pidana penghinaan presiden.

Jauh sebelum UU 1/2023 disahkan, Widayati pada tahun 2017 menyampaikan pandangannya terkait rencana rekriminalisasi tindak pidana penghinaan presiden, yaitu hal tersebut tidak perlu diatur kembali dalam RKUHP, mengingat bahwa substansi yang termuat dalam KUHP maupun RKUHP memiliki kesamaan, serta menimbang bahwa MK telah membatalkan pasal pengaturan tindak pidana penghinaan presiden karena bertentangan dengan UUD 1945 (Widyati, 2017).

Selain itu, para pembentuk undang-undang seyogianya dapat membuktikan bahwa rekriminalisasi penghinaan presiden diusung demi kepentingan negara, akan tetapi penjelasan pasal tersebut tidak menguraikan secara jelas kepentingan apa yang ada di balik pengaturan tindak pidana penghinaan presiden (Widayati, 2017).

Berangkat dari uraian di atas, peneliti lainnya juga berpandangan bahwa pengaturan tindak pidana penghinaan presiden tidak sesuai dengan tujuan utama suatu kebijakan hukum pidana, yaitu demi melindungi masyarakat serta memenuhi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sebagaimana disampaikan oleh Sudarto, yang dikutip melalui (Ramdan, 2020), bahwa dalam menggunakan hukum pidana, perlu mempertimbangkan tujuan pembangunan nasional, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur secara merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu sebuah kebijakan hukum pidana selain bertujuan untuk memberantas kejahatan, juga digunakan sebagai upaya penanggulangan kejahatan itu sendiri (mencegah), demi kesejahteraan dan perlindungan masyarakat (Amrullah & SH, 2022).

Lebih lanjut, Prinsip negara demokrasi meliputi hubungan antara masyarakat dengan pemimpin negara yang timbul melalui mekanisme check and balance sebagai representasi penguatan negara dalam bentuk vertical (Ariyanti, 2019). Oleh karena itu, bentuk perlindungan secara khusus terhadap Presiden atau Wakil Presiden seharusnya tidak sesuai dengan negara yang menganut prinsip presidensial demokratis. Mengingat sudah diatur mengenai pasal penghinaan secara umum dalam KUHP terdahulu maupun UU 1/2023, maka pasal pengaturan tindak pidana penghinaan presiden cenderung mencerminkan kediktatoran penguasa dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi dalam jabatan atau kekuasaannya (Anwar, 2023).

Bertolak belakang dengan pandangan penelitian-penelitian sebelumnya, Hairi justru menilai bahwa pengaturan penghinaan presiden memiliki urgensi untuk tetap ada dalam hukum positif Indonesia, dengan catatan perlunya penyesuaian penjelasan dari pasal yang dimakud. Hairi berpandangan bahwa rumusan pasal pengaturan tindak pidana penghinaan presiden memiliki unsur yang berbeda dalam KUHP dan UU 1/2023 (Hairi, 2022). Begitu juga dengan penelitian oleh Agustama pada tahun 2019, yang menyatakan bahwa pengaturan tindak pidana penghinaan presiden masih diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum serta mengingat bahwasanya presiden merupakan simbol dari kedaulatan, kelangsungan dan keagungan atau kebesaran dari seorang Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan (Agustama, 2019).

Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada pisau analisis yang dijadikan parameter dalam menganalisis rekriminalisasi penghinaan presiden di Indonesia, yaitu dengan menggunakan teori tujuan hukum yang diprakarsai oleh Radbruch. Sebagaimana disampaikan, bahwa hukum memiliki tiga tujuan utama, yakni kemanfaatan, kepastian, dan keadilan (Muslih, 2014). Dalam kaitannya dengan pengaturan penghinaan presiden, penelitian ini meninjau penerapan pengaturan tersebut baik dari segi kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.

Hal tersebut diharapkan agar pengaturan tindak pidana penghinaan presiden dapat diterapkan dengan optimal tanpa menutup hak demokrasi masyarakat Indonesia. Mengingat sebuah adagium yang berkata bahwa �demokrasi tanpa hukum dapat menjadi liar dan mengakibatkan anarki, sedangkan hukum tanpa demokrasi bisa zalim serta sewenang-wenang.�

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (normative law research) (Ali Z. , 2010), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap kaidah hukum dalam peraturan perundang-undangan secara kualitatif. Penelitian ini mengkaji suatu hukum yang dirancang sebagai norma atau aturan yang diberlakukan terhadap masyarakat serta menjadi panduan bagi tindakan-tindakan masyarakat (Muhaimin, 2020), secara spesifik terkait pengaturan tindak pidana penghinaan presiden dalam UU 1/2023.

Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menyusun deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta pengaturan tindak pidana penghinaan presiden serta latar belakang rumusan pengaturan tersebut. Penelitian ini akan memaparkan keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu serta suatu peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat, dalam kata lain dengan melakukan riset mengenai kasus penghinaan presiden di Indonesia, untuk mengetahui urgensi pengaturan tindak pidana penghinaan presiden tersebut.

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, artikel jurnal atau majalah ilmiah, makalah, serta literatur pendapat sarjana (doktrin). Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam rangkaian metode penelitian ini adalah melalui studi dokumen atau bahan pustaka (library research). Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang berkaitan dengan pengaturan penghinaan presiden. Dalam hal ini, teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deduktif.

 

Hasil dan Pembahasan

Rekriminalisasi Penghinaan Presiden

Pada hakikatnya, tindakan penghinaan secara umum diatur dalam Pasal 315 KUHP terdahulu, yaitu berbunyi demikian: �Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.�

Lebih lanjut, penghinaan secara khusus terhada martabat presiden atau wakil presiden juga diatur dalam Pasal 134 KUHP terdahulu. Kilas balik pada tahun 2006 silam, Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 membatalkan pengaturan tindak pidana penghinaan presiden tersebut di atas, dengan alasan bahwa pasal tersebut berpotensi menghalangi publik dalam menyampaikan kritik atas kebijakan maupun kinerja pemerintah. Dalam hal ini, maka pasal penghinaan presiden dinyatakan inkonstitusional, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak memiliki dasar hukum atau bahkan melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang diawali oleh pengajuan Judicial Review dari Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis terkait Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP terdahulu, MK berpendapat bahwa Indoensia merupakan suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi HAM sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, sehingga tidak relevan jika tetap mengimplementasikan pengaturan sebagaimana tercantum dalam ketiga pasal tersebut. Hal ini dinilai juga dapat berimplikasi pada penegakan prinsip persamaan di mata hukum, penegakan terhadap kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.

Di Indonesia, kasus penghinaan maupun penyerangan martabat presiden atau wakil presiden kerap terjadi dari tahun ke tahun. Seperti di tahun 2005 sebelum adanya pembatalan terhadap pasal penghinaan presiden, seorang penulis blog asal Yogyakarta, Herman Saksono (HS) ditetapkan sebagai tersangka karena melakukan penghinaan terhadap presiden. Herman dikatakan memasang foto hasil retouch di laman blog miliknya. Lebih rinci, Herman menghapus wajah Mayangsari dan menggantinya dengan foto Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (Presiden SBY). Atas perbuatan tersebut, HS dijerat dengan Pasal 134 KUHP terdahulu. Akan tetapi, kasus tersebut berhenti setelah HS menghapus foto rekayasa tersebut dari laman blog miliknya (Simanjuntak, 2021).

Selain kasus yang menimpa Presiden SBY di tahun 2005 tersebut, Presiden Joko Widodo (Presiden Jokowi) juga mengalami hal yang serupa di tahun 2021. Pasalnya, seorang dari Bali bernama Harris Syahputra Damanik (HSD) ditangkap atas unggahan video melalui akun Youtube bernama Raja Haris Raja Record, yang dianggap menghina Presiden Jokowi. Setelah menyatakan dirinya bersalah dan meminta maaf, kasus HSD dihentikan.

Kasus penghinaan terhadap Presiden Jokowi tidak selesai samapi disitu. Belum lama ini, di awal tahun 2023, seorang mantan pegawai Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia (Unibi), di Bandung, dipecat lantaran melakukan penghinaan terhadap Presiden Jokowi melalui akun Twitter. Adapun penghinaan yang dilakukannya tersebut ditujukan terhadap Presiden Jokowi di saat menghadiri acara Hari Ulang Tahun ke-50 Partai Demokrat Indonesia Perjuangan (PDIP). Mengutip unggahan akun @loegie, penghinaan tersebut berupa (detikSumut, 2023): �Jadi Pengen Nimpuk Bibirnya Pake Batako��

Menurut pendapat Sudarto, karakteristik kriminalisasi maupun dekriminalisasi diklasifikasikan sebagai berikut dalam Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional 1980 (Arief, 1996):

1) Apakah tindakan tersebut dibenci oleh masyarakat dikarenakan menimbulkan kerugian atau melahirkan korban;

2) Apakah biaya kriminalisasi terhadap suatu tindakan tersebut seimbang dengan hasil yang akan dicapai atau cost penyusunan dan/atau pembentukan peraturan perundang-undangan, pengawasan, dan penegakan hukum serta beban kerugian yang ditimbulkan terhadap korban dan pelaku seimbang dengan situasi hukum yang hendak dicapai;

3) Apakah beban aparat penegak hukum seimbang atau dapat diemban oleh kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya; dan

4) Apakah perbuatan tersebut mengakibatkan terhambat atau terhalanginya tujuan negara, sehingga merupakan suatu ancaman bagi seluruh masyarakat.

Rekriminalisasi tindak pidana penghinaan presiden muncul pada 3 (tiga) pasal di UU 1/2023, yaitu dalam Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 UU 1/2023. Berikut ini merupakan uraian perbandingan muatan pasal pengaturan tindak pidana penghinaan presiden dalam KUHP terdahulu dengan UU 1/2023.

 

Tabel 1 Perbandingan Pengaturan Tindak Pidana Penghinaan Presiden dalam KUHP terdahulu dengan UU 1/2023

KUHP terdahulu

UU 1/2023

Pasal�134: Penghinaan�yang dilakukan dengan sengaja terhadap presiden atau wakil presiden diancam dengan pidana paling lama 6 (enam) tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal�218 ayat (1): Setiap orang yang di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

 

Pasal�218 ayat (2): Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal�136 bis: Dalam pengertian penghinaan pada pasal 134 termasuk juga perbuatan pada pasal 135, jika hal itu dilakukan diluar adanya yang terkena, baik tingkah laku di muka umum dengan perbuatan, lisan, atau tulisan, asal di muka lebih dari empat

orang, atau di muka orang ketiga yang

ada�disitu bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung

karenanya.

Pasal�219: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal�137: Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat dari 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 91 ayat (1) huruf g.

Pasal�220 ayat (1): Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.

 

Pasal�220 ayat (2): Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

 

Terlihat perbedaan mendasar dalam konsep pengaturan tindak pidana penghinaan presiden yang sebelumnya tertuang dalam KUHP terdahulu sebagai delik biasa, sedangkan dalam UU 1/2023, penghinaan presiden tersebut menjadi delik aduan. Delik aduan mengacu pada hal atau perkara yang harus diajukan pengadu; melalui proses pengaduan. Secara etimologis, delik aduan berarti pelanggaran yang hanya diproses jika ada pengaduan atau laporan dari korban tindak pidana. E. Utrecht dalam Hukum Pidana II menjelaskan bahwa dalam delik aduan, penuntutan terhadap pelanggaran tersebut bergantung pada persetujuan korban yang terkena dampak (Fernando, Pujiyono, & Rochaeti, 2022).

Timbul tanda tanya besar terhadap pengesahan KUHP di awal tahun 2023 yang kembali memunculkan pasal terkait pengaturan tindak pidana penghinaan presiden. Publik berpendapat bahwa apabila pemerintah dan perancang undang-undang bermaksud untuk melakukan pembaharuan hukum pidana dan terlepas dari produk jajahan, maka seharusnya produk hukum yang baru (UU 1/2023) bersifat progresif dengan menghilangkan pasal-pasal yang tidak relevan dengan identitas Bangsa Indonesia.

Sebagaimana diketahui bahwa Negara Belanda dipimpin oleh seorang ratu yang tidak dapat digantikan sampai dia meninggal, maka dari itu terdapat pengaturan mengenai penghinaan terhadap pimpinan negaranya. Sedangkan kembali ke Indonesia sebagai negara demokrasi, beberapa oknum masyarakat menilai pengaturan tindak pidana penghinaan presiden dinilai tidak tepat (Indriyani, 2022).

 

Pengaturan Tindak Pidana Penghinaaan Presiden Ditinjau dari Sistem Demokrasi di Indonesia

Demokrasi, hukum, dan HAM merupakan tiga komponen utama dalam kehidupan berbangsa dna bernegara di Indonesia. Sebagaimana dikutip oleh Tjipta Lesmana, Kenneth janda mengartikan demokrasi sebagai �authority in, or rule by, the people�, yang memiliki makna bahwa kekuasaan berada di tangan masyarakat oleh masyarakat (Lesmana, 2005).

Pada praktiknya, demokrasi memungkinkan masyarakat menyampaikan kritik terhadap pemerintah, yang kerap dilakukan melalui media sosial. Hal ini secara tidak langsung berhasil mendorong pemilih muda untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum dan bahkan mempengaruhi keputusan pemungutan suara melalui pendapat, komentar, berteman, mengikuti kandidat, dan dengan mudah menyebarkan tautan atauun unggahan sekaligus memberikan reaksi suka atau tidak suka (Lawelai, Sadat, & Suherman, 2022).

Mengingat demokrasi yang dianut oleh Indonesia merupakan Demokrasi Pancasila, maka kebebasan individu yang ada bukan sekedar bebas, melainkan perlu dibarengi dengan rasa tanggung jawab atas kebebasan itu sendiri (Tjenreng, 2020). Hal tersebut merupakan ciri khas demokrasi Pancasila, dimana tanggung jawab individu bersifat vertikal (mengacu pada sang Pencipta), atau kerap disebut sebagai humanism-religious (Tjarsono, 2013).

Lebih lanjut mengenai Demokrasi Pancasila, terdapat 11 ciri yang disampaikan oleh Aziz pada tahun 2016, sebagaimana dikutip melalui (Hidayah, Ulfa, Aprillio, & Belladonna, 2022); 1) kedaulatan rakyat; 2) asas musyawarah mufakat dan gotong royong; 3) pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat; 4) ketiadaan sistem partai pemerintahan maupun oposisi; 5) pengakuan dan penyelarasan hak dan kewajiban; 6) menjunjung tinggi HAM; 7) ketidaksetujuan rakyat atas kebijakan pemerintah diaspirasikan melalui perwakilan rakyat; 8) Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia; 9) menganut sistem partai; 10) tidak mengakui adanya diktator mayoritas dan tirani minoritas; dan 11) kepentingan rakyat diutamakan atas kepentingan pribadi.

Berbicara mengenai kebebasan individu, terdapat berbagai hak atas kebebasan berpendapat, antara lain hak atas kebebasan berekspresi (the right to freedom of expression), hak atas kebebasan berpendapat (the right to freedom of opinion), serta kebebasan berbicara dan berekspresi (freedom of speech and expression). Perbedaan istilah ketiganya memiliki makna serta maksud yang sama (Manan, 2014).

Selain itu, kebebasan dalam berdemokrasi juga kerap disandingkan dengan kebebasan pers yang memberikan hak terhadap masyarakat untuk mengetahui segala peristiwa yang sedang terjadi (termasuk kinerja pemerintah), sehingga terciptanya prinsip check and balance sekaligus pengendalian atas kekuasaan. Media saat ini disebut sebagai pilar demokrasi dikarenakan pada dasarnya kebebasan pers bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di suatu negara (Viryawan, Maritza, & Setyaningrum, 2022).

Merujuk pada penelitian terkait demokrasi dan kebebasan pers, telah terjadi penurunan demokrasi sejalan dengan penurunan kebebasan sipil di sejumlah negara, selain Indonesia. Negara-negara dengan skor demokrasi rendah dan masalah kebebasan sipil yang buruk juga memiliki kebebasan pers dan media yang terbatas. Secara keseluruhan, Asia Tenggara tidak pernah menjadi wilayah yang ramah bagi organisasi dan pekerja media. Timor Leste, Indonesia, dan Malaysia memiliki kondisi yang relatif lebih baik daripada tiga negara lainnya. Namun, masih ada kekhawatiran terhadap penurunan kebebasan pers karena masih ada regulasi yang memungkinkan pemerintah untuk membatasi dan mengendalikan kebebasan pers (Ramadlan & Masykuri, 2021).

Dapat disimpulkan, bahwa di Indonesia kesemua kebebasan tersebut memiliki batasan. Batasan yang paling jelas adanya adalah kebebasan berpendapat atau berbicara tidak dapat disalahgunakan sebagai upaya penghinaan terhadap orang lain. Bila dikaitkan dengan esensi tanggung jawab dalam demokrasi Pancasila, maka setiap individu masyarakat Indonesia memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas hak individu lainnya agar tidak dihina.

Kendati demikian, terdapat pandangan menarik dari MK terkait demokrasi dan kebebasan berekspresi, yang dituangkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-VII/2009 (Putusan MK No. 2/PUU-VII/2009), yaitu berbunyi demikian: �Penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan tidak boleh tercederai oleh tindakan-tindakan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan melalui tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik. Mendengung-dengunkan nilai-nilai demokrasi tanpa disertai dengan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan sama halnya dengan menggelincirkan demokrasi itu sendiri pada titik terendah dan itulah saat kematian demokrasi yang diagungkan itu, karenanya konstitusi memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Hal tersebut berarti HAM di Indonesia tidak terlepas dari pedoman pelaksanaan HAM di Indonesia. HAM di Indonesia terletak pada keseimbangan antara hak dengan kewajiban asasi sebagai anggota masyarakat (Ali M. , 2010). Sejatinya konsep negara hukum maupun negara demokrasi tidak dapat dipisahkan dari Indonesia, keduanya merupakan karakteristik bangsa yang juga diatur secara tegas dalam UUD 1945.

Maka, dalam implementasinya kebebasan yang diatur dalam demokrasi itu sendiri memiliki batasan-batasan yang bertujuan untuk menjaga ketertiban dalam suatu negara hukum, yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang ada, tanpa merampas kebebasan masyarakat itu sendiri. Melainkan, tujuannya adalah sebagai upaya penertiban hukum dan sosial.

 

Pengaturan Tindak Pidana Penghinaaan Presiden Ditinjau dari Teori Tujuan Hukum Radbruch

Philip S. James mengartikan hukum sebagai tubuh bagi suatu peraturan agar dapat menjadi petunjuk bagi perilaku manusia yang memiliki sifat paksaan. Hal ini sejalan dengan definisi hukum yang dikemukakan oleh Leon Duquit, yaitu aturan atas tingkah laku anggota masyarakat, sebagai jaminan atas kepentingan bersama (Yuhelson, 2018). Lebih lanjut, tujuan hukum sebagaimana disampaikan oleh Subekti adalah untuk mengabdi kepada tujuan negara itu sendiri.

Bila dikonseptualkan dengan Indonesia, maka tujuan hukum seyogyanya adalah demi menjunjung tinggi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, hukum berperan sebagai penyelenggara suatu keadilan dan ketertiban (Kansil & Kansil, 2018).� Garis besar dari seluruh definisi dan teori yang disampaikan di atas, Gustav Radbruch menyimpulkan bahwasanya hukum memiliki tiga bintang tujuan utama yang hendak digapai, yaitu demi keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.

Secara umum, keadilan merupakan upaya untuk memberikan kesetaraan. Radbruch berpandangan bahwa kesetaraan itu sendiri hanya ada dalam lingkup relasi, bukan secara substansial (Nawir, 2016). Oleh karena itu, Radbruch mengemukakan sebuah unsur tujuan hukum demi melengkapi ide keadilan, yaitu kemanfaatan. Kemanfaatan dimaknai untuk melayani keinginan yang beragam dari berbagai pihak. Ide kemanfaatan tersebut dipenuhi secara relatif, karena begitu banyak ragam kehendak yang tidak dapat disaukan, sehingga berpotensi pada perbedaan kehendak yang berkelanjutan.

Dari sana, Radbruch kembali menawarkan unsur tujuan hukum yang terakhir, yaitu kepastian. Kepastian hukum yang ditetapkan seccara positif sehingga perbedaan-perbedaan yang ada dapat tumpas (Manullang, 2022). Bila merujuk pada rekriminalisasi pengaturan tindak pidana penghinaan presiden, maka sayangnya ide keadilan belum dapat dikonseptualkan pada pengaturan tersebut. Pasalnya, publik resah dan tidak mendukung rekriminalisasi tersebut terjadi, karena dianggap menciderai asas persamaan di mata hukum, mengingat sudah ada pengaturan terkait penghinaan secara umum baik di KUHP maupun dalam Pasal 436 UU 1/2023).

Selanjutnya dari segi kemanfaatan, rekriminalisasi pengaturan tindak pidana penghinaan presiden mungkin saja dapat menjadi pedoman bagi masyarakat secara luas dalam melakukan kritik terhadap presiden atau wakil presiden, agar tidak menyeleweng atau menyalahgunakan kritik sebagai sarana penghinaan. Dalam hal ini, maka diperlukan adanya indikator pasti yang menjelaskan terkait unsur penghinaan dalam UU 1/2023. Terakhir dari segi kepastian, publik dibuat bingung dengan adanya rekriminalisasi yang merupakan penghidupan kembali suatu pasal yang telah dibatalkan oleh MK dahulu. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap kapasitas dan kinerja pejabat pemerintahan dalam membuat maupun menyusun suatu produk hukum yang berlaku positif di Indonesia.

�

Kesimpulan

Pengaturan tindak pidana penghinaan presiden yang tertuang dalam UU 1/2023 merupakan suatu fenomena rekriminalisasi atas kebijakan hukum pidana di Indoneisa. Mengingat bahwa dahulu pasal terkait penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden sempat mengalami dekriminalisasi melalui Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006.

Bila ditinjau dari sudut pandang demokrasi, pengaturan tindak pidana penghinaan presiden dapat diimplementasikan dengan menguraikan klasifikasi secara rinci terhadap apa yang dimaksud dengan �penghinaan�. Sepanjang frasa �penghinaan� tidak meliputi upaya kritis masyarakat dalam menilai dan membangun kinerja presiden atau wakil presiden, maka pengaturan tersebut dapat sejalan dengan prinsip demokrasi di Indonesia. Mengingat bahwa Indonesia juga berdiri di atas landasan Pancasila, maka kebebasan dalam demokrasi tetap memiliki batasan tertentu agar terciptanya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Adapun dari segi ide tujuan hukum oleh Radbruch, pengaturan penghinaan presiden belum memenuhi rasa keadilan masyarakat secara optimal. Sedangkan dari segi kemanfaatan, pengaturan penghinaan presiden diharapkan dapat menjadi pedoman masyarakat dalam menyampaikan kritiknya, sehingga tidak menyalahgunakan demokrasi, HAM, maupun kebebasan berekspresi sebagai sarana penghinaan yang tidak membangun. Terakhir dari segi kepastian, pengaturan penghinaan presiden justru memundurkan ide kepastian dikarenakan pasal tersebut mencerminkan sebuah upaya penghidupan kembali pasal yang dahulu telah dinyatakan batal demi hukum oleh MK.

Kendati demikian, mengingat bahwasanya UU 1/2023 sudah ditetapkan dan akan berlaku sebagai hukum positif Indonesia di masa yang akan datang, maka setidaknya pemerintah dapat merumuskan sebuah indikator pasti terkait frasa penghinaan. Hal ini bertujuan untuk kembali memajukan ide kepastian dalam pengaturan tindak pidana penghinaan presiden. Selain itu, peningkatan literasi terkait konsep kritik yang baik dan benar juga perlu ditingkatkan agar masyarakat tidak sembarang melakukan penghinaan dan bersembunyi di balik �kritik�, kemudian protes ketika mengalami peneguran maupun penangkapan.

 

BIBLIOGRAPHY

 

Agustama, F. (2019). Analisis Kriminalisasi Perbuatan Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden Konsep RKUHP 2015. p. ii.

 

Ali, M. (2010). Pencemaran Nama Baik Melalui Sarana Informasi dan Transaksi Elektronik (Kajian Putusan MK No. 2/PUU-VII/2009). Jurnal Konstitusi, 7(6), 119-146.

 

Ali, Z. (2010). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

 

Anwar, A. S. (2023). Menyoal Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP: Antara Proporsionalitas Prinsip Primus Interpares atau Kemunduran Demokrasi. Jurnal Hukum dan HAM Wicarana, 2(1), 24.

 

Amrullah, M. A., & SH, M. (2022). Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan. Prenada Media.

 

Ariyanti, V. (2019). Kebijakan Penegakan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jurnal Yuridis, 6(2), 33�54.

 

Arief, B. N. (1996). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

 

detikSumut. (2023, Januari 16). Hina Jokowi di Twitter, Pegawai UNIBI Dipecat! Retrieved from detik.com: https://www.detik.com/sumut/hukum-dan-kriminal/d-6517145/hina-jokowi-di-twitter-pegawai-unibi-dipecat

 

Fernando, Z. J., Pujiyono, & Rochaeti, N. (2022). Telaah Pasal Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. Jurnal Rechtsvinding, 11(1), 146.

 

Gaffar, J. M. (2013). Peran putusan Mahkamah Konstitusi dalam perlindungan hak asasi manusia terkait penyelenggaraan pemilu. Jurnal Konstitusi, 10(1), 1�32.

 

Hairi, P. J. (2022). Menyerang Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden: Urgensi Pengaturan Vis-aVis Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Pers. Negara Hukum, 13(2), 162.

 

Hidayah, Y., Ulfa, N., Aprillio, & Belladonna, P. (2022). Demokrasi Pancasila dalam Membangun Demokrasi "Sehat". Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 1(2), 110-123.

 

Indriyani, A. (2022, Mei 26). Pengamat: Pasal Penghinaan Presiden Sudah tak Dipakai di Negara Demokrasi. Retrieved Maret 8, 2023, from Media Indonesia: https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/495035/pengamat-pasal-penghinaan-presiden-sudah-tak-dipakai-di-negara-demokrasi

 

Kansil, C., & Kansil, C. S. (2018). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Lawelai, H., Sadat, A., & Suherman, A. (2022). Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat di Media Sosial: Analisis Sentimen di Twitter. Jurnal Praja, 10(1), 40-48.

 

Lesmana, T. (2005). Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Pers antara Indonesia dan Amerika. Jakarta: Erwin-Rika Press.

 

Manan, B. (2014). Politik Publik Pers. Jakarta: Dewan Pers.

 

Manullang, E. F. (2022). Misinterpretasi Ide Gustav Radbruch mengenai Doktrin Filosofis tentang Validitas dalam Pembentukan Undang-Undang. Jurnal Hukum, 5(2), 453-480.

 

Muhaimin. (2020). Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University Press.

 

Muslih, M. (2014). Negara Hukum Indonesia dalam Perspektif Teori Hukum Gustav Radbruch. Jurnal Legalitas, IV(1), 143.

 

Nawir, M. (2016). Kajian Tentang Hadis-Hadis Relasi Kesetaraan Gender dalam Fatwa MUI. Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

Rahmasari, N. S., & Soeskandi, H. (2022). Penghidupan Kembali Pasal Terhadap Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Mimbar Keadilan, 15(1), 47.

 

Ramadlan, M. F., & Masykuri, R. (2021). Kemunduran Demokrasi dan Kebebasan Pers di Asia Tenggara: Refleksi dari Enam Negara. Jurnal Penelitian Politik, 18(2), 141-157.

 

Ramdan, A. (2020). Kontroversi Delik Penghinaan Presiden/Wakil Presiden dalam RKUHP. Jurnal Yudisial, 13(2), 251-264.

 

Risdianto, D. (2017). Perlindungan Terhadap Kelompok Minoritas Di Indonesia Dalam Mewujudkan Keadilan Dan Persamaan Di Hadapan Hukum. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 6(1), 125�142.

 

Simanjuntak, R. A. (2021, June 12). Deretan Kasus Penghinaan Presiden, dari Sri Bintang Pamungkas hingga Arsyad Penjual Sate. Retrieved from Sindo News: https://nasional.sindonews.com/read/453694/13/deretan-kasus-penghinaan-presiden-dari-sri-bintang-pamungkas-hingga-arsyad-penjual-sate-1623492410?showpage=all

 

Tjarsono, I. (2013). Demokrasi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika: Solusi Heterogenitas. Jurnal Transnasional, IV(2), 885.

 

Tjenreng, M. B. Z. (2020). Demokrasi di Indonesia melalui pilkada serentak. Penerbit Papas Sinar Sinanti.

 

Viryawan, M. I., Maritza, S., & Setyaningrum, S. (2022). Melemahnya Kebebasan Pers di Filipina. Jurnal CommLine, 7(2), 124-133.

 

Widayati, L. S. (2017). Tindak Pidana Penghinaan Terhadap Presiden atau Wakil Presiden: Perlukah Diatur Kembali dalam KUHP? Jurnal Negara Hukum, 8(2), 231-232.

 

Yuhelson. (2018). Pengantar Ilmu Hukum. Gorontalo: Ideas Publishing.

 

 

 

Copyright holder:

Melissa B. Darbang (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: