Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 7, Juli 2023
PENGGUNAAN
SENTIMEN PRIMORDIAL OLEH PASANGAN CALON JOKO WIDODO-K.H. MA�RUF AMIN DAN
PRABOWO SUBIANTO-SANDIAGA SALAHUDDIN UNO DI PROVINSI BANTEN PADA PEMILU
PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TAHUN 2019
Heri Handoko, Syahrul Hidayat
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis
penggunaan sentimen
primordial dalam aspek politik praktis seperti dalam konteks
pemilu di Indonesia. Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan penelitian kualitatif adalah proses penelitian dan pemahaman berdasarkan metodologi yang menyelidiki fenomena sosial dan masalah manusia. Akibatnya, karena desentralisasi, lokus studi ilmu politik
mulai lebih memperhatikan aspek etnisitas, regionalitas, kesultanan dan adat dalam aspek politik.
Kedua, menguatnya kecenderungan penggunaan simbol-simbol primordial seiring dengan proses liberalisasi politik yang diwujudkan melalui sistem politik multi partai dan sistem pemilihan langsung yang cenderung menekankan prinsip suara mayoritas, sehingga membuat penggunaan elemen primordial semakin subur. Kesimpulannya, adapun realitasnya, menguatnya penggunaan sentimen primordial dalam konteks politik
kemudian dinilai telah membuat pola
politik cenderung primitif-tradisional karena beberapa tokoh politik dan pemimpin nasional dan daerah cenderung menggunakan unsur primordial untuk mencapai kepentingan politiknya masing-masing.
Kata Kunci: Penggunaan Sentimen
Primordial; Pemilu; Presiden;
Wakil Presiden.
Abstract
This study aims to
identify and analyze the use of primordial sentiments in practical political aspects
such as in the context of elections in Indonesia. The approach used in this
study is a qualitative approach. A qualitative research approach is a process
of research and understanding based on methodologies that investigate social
phenomena and human problems. As a result, due to decentralization, the locus
of political science studies began to pay more attention to aspects of
ethnicity, regionality, sultanate and custom in political aspects. Second, the
strengthening trend of using primordial symbols in tandem with the process of
political liberalization manifested through multi-partypolitical
systems and direct electoral systems that tend to emphasize the principle of
majority vote, thus making the use of primordial elements more fertile. In
conclusion, as for the reality, the strengthening of the use of primordial
sentiments in the context of politics is then considered to have made the
political pattern tend to be primitive-traditional because some political
figures and national and regional leaders tend to use primordial elements to
achieve their respective political interests.
Keywords: Use of Primordial
Sentiments; Election; President; Vice President.
Pendahuluan
Secara historis, kemunculan
terminologi �primordialisme�
dalam kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia tidak dapat dipisahkan dari eksistensi dan perkembangan pada unsur-unsur sosial-kultural baik dalam lingkup individu
maupun kelompok. Unsur-unsur sosial kultural tersebut pun berupa etnisitas, suku, ras, budaya,
bahasa, agama, ikatan darah, dan lain-lain.
Perspektif dari Eric Kaufmann (2012) misalnya berusaha
memaknai primordialisme ke dalam sebuah
tipologi �primordialis-konstruksionis�
yang dimanifestasikan melalui
adanya perdebatan antara paradigma yang menganggap bahwa suatu etnisitas atau bangsa akan
bertahan lama, mengakar kuat dan bersifat emosional dengan paradigma yang meyakini bahwa keberadaan etnisitas dan bangsa hanyalah merupakan sesuatu yang dikonstruksikan dan ditempa dengan didasarkan pada kepentingan-kepentingan
tertentu.
Selain itu, perdebatan
antara kedua paradigma tersebut juga terkait dengan pandangan mengenai sifat dari suatu
bangsa di mana para konstruksionis
meyakini hal tersebut merupakan bagian dari modernitas,
sedangkan para primordialis
justru meyakininya sebagai sebuah pra-sejarah yang berakar jauh sebelum adanya
modernitas (pra-modern). Lebih lanjut, masih
dengan paradigma yang hampir serupa dengan
gagasan dari Kaufmann (2012) tersebut, perspektif
dari Murat Bayar (2009) misalnya juga tercatat mengategorikan primordialisme ke dalam dua paradigma utama, yaitu primordial dan konstruktivis, meskipun dengan pemaknaan yang relatif berbeda.
Dalam paradigma primordial, Bayar merujuk pada gagasan dari Edward Shils (1957) yang menyebut primordialisme sebagai sebuah �keterikatan pribadi yang tak terbatas� dalam konteks masyarakat modern. Lebih lanjut menurut
Shils, primordialisme turut dikaitkan dengan kondisi ketika seseorang berpikir tentang keterikatan relasi dengan orang lain tidak hanya didasarkan pada sebuah ikatan darah
semata, melainkan sebagai kualitas �relasional signifikan� tertentu yang tidak hanya didasari pada proses interaksi sosial semata, melainkan karena ikatan darah
dianggap memiliki makna tertentu yang tak dapat dilukiskan
secara pasti.
Pendapat dari Shils
(1957) tersebut juga memiliki kesamaan dengan apa yang disampaikan oleh Clifford Geertz (1963) di mana dirinya menjelaskan bahwa keterikatan primordial merupakan hal yang berasal dari anggapan pemberian
kedekatan dan hubungan kekerabatan dari seseorang kepada komunitas tertentu melalui simbol-simbol seperti bahasa dan praktik sosial tertentu. Bahkan, Geertz (1963) juga menggambarkan bahwa ikatan primordial terlihat sebagai hal yang memiliki paksaan yang tak dapat dilukiskan yang di saat tertentu dapat
berlangsung dengan sangat kuat dalam diri
seseorang sebagai konsekuensi dari adanya kepentingan mutlak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan di samping adanya rasa kasih sayang, kebutuhan
praktis, kepentingan bersama ataupun kewajiban-kewajiban yang timbul.
Pemahaman itu pun yang kemudian
turut diperkuat melalui pendapat dari Rozi (2013) yang menjelaskan bahwa identitas etnis (primordial) merupakan sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial karena
tidak dilekatkan pada unsur genetik seseorang.
Meskipun begitu, dirinya juga menegaskan bahwa ikatan primordial merupakan hal yang bersifat tetap karena sekalipun dikonstruksikan secara sosial, namun akan
relatif sulit untuk direkonstruksi ketika hal tersebut
telah terbentuk dan melekat dalam diri
seseorang.
Sementara itu, jika
merujuk pada definisi yang terdapat dalam paradigma konstruktivis, Etnis (ikatan primordial) sebagai sebuah properti yang bersifat dinamis dan senantiasa berkembang baik dalam lingkup identitas
individu maupun organisasi kelompok.
Para penganut paradigma konstruktivis memiliki kesepahaman pada dua proposisi utama dari primordialisme, yakni bahwa seorang
individu memiliki banyak identitas etnis (tidak tunggal)
dan identitas yang diidentifikasi
cenderung bervariasi karena disesuaikan dengan variabel kausal tertentu, seperti komposisi organisasi kelompok etnis tertentu hingga faktor demografis
etnis.
Penggunaan sentimen primordial dalam pilpres 2019 secara umum baik
oleh paslon Jokowi-Ma�ruf
dan Prabowo-Sandi dapat diidentifikasikan
ke dalam dua bentuk, yaitu berdasarkan
aspek kedaerahan serta aspek keagamaan.
Hal ini yang jika dikontekstualisasikan secara spesifik di provinsi Banten, dapat dirumuskan ke dalam dua hal.
Pertama, dalam konteks penggunan sentimen primordial yang dilakukan
oleh paslon Jokowi-Ma�ruf, aspek kedaerahan ditekankan pada status K.H. Ma�ruf
Amin yang merupakan putra asli daerah Banten, sedangkan aspek keagamaan difokuskan pada upaya-upaya mobilisasi dukungan dari para tokoh agama khususnya ulama dan sekaligus dengan melakukan kapitalisasi terhadap status K.H. Ma�ruf Amin
yang merupakan seorang
ulama dan eks Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
(MUI).
Kedua, konteks penggunaan
sentimen primordial yang dilakukan
oleh paslon Prabowo-Sandi hanya
diidentifikasi pada aspek keagamaan di mana paslon tersebut juga diindikasikan melakukan kapitalisasi dan sekaligus memobilisasi dukungan dari para tokoh agama khususnya Islam
(ulama-ulama) dari sejumlah
organisasi massa keagamaan, seperti Fpi, Ijtima Ulama, Gnpf-U, dan lain-lain. Dalam aspek kedaerahan, paslon Prabowo-Sandi tidak dapat menggunakan sentimen tersebut karena keduanya tidak memiliki ikatan relasi kedaerahan
dengan masyarakat di provinsi Banten.
Adapun, hal yang menjadi celah (gap) adalah berupa keterkaitan
antara penggunaan sentimen primordial oleh kedua paslon presiden dan wakil presiden di pilpres 2019 dengan capaian elektoral yang berhasil diraih oleh masing-masing paslon.
Jika merujuk pada hasil rekapitulasi penghitungan akhir perolehan suara pilpres 2019 di provinsi Banten, paslon Jokowi-Ma�ruf hanya berhasil
meraih keunggulan di 1
wilayah, yakni Kota Tangerang Selatan.
Sedangkan, untuk 7 wilayah kabupaten/kota lainnya berhasil dimenangkan oleh paslon
Prabowo-Sandi. Bahkan, jika
dikomparasikan dengan hasil yang diraih pada pilpres sebelumnya di tahun 2014, dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara hasil dari kedua
pilpres. Oleh karena itu, rumusan permasalahan
dari penelitian ini adalah hendak
melihat motif, bentuk dan dampak dari penggunaan
sentimen primordial baik
oleh paslon Jokowi-Ma�ruf
dan Prabowo-Sandi di provinsi Banten pada konteks pilpres 2019 sebagai studi kasus.
Berdasarkan rumusan permasalahan
yang telah diulas, pertanyaan penelitian yang dapat diajukan adalah sebagai berikut. 1) Mengapa paslon Joko Widodo-K.H. Ma�ruf
Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno menggunakan sentimen primordial
di provinsi Banten selama pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2019? 2) Bagaimana motif, bentuk dan dampak dari penggunaan
isu primordial oleh paslon
Joko Widodo-K.H. Ma�ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno di provinsi
Banten selama pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2019?
Penelitian ini memiliki
tujuan penelitian yang terdiri atas: a)�� Mengindetifikasi
dan menganalisis penggunaan
sentimen primordial dalam aspek politik praktis
seperti dalam konteks pemilu di Indonesia; b) Menunjukkan dan menganalisis hal-hal yang melatarbelakangi penggunaan sentimen primordial khususnya dalam konteks selama pilpres 2019 secara umum; c) Mengidentifikasi dan menganalisis
motif penggunaan sentimen
primordial baik yang berbasiskan
pada aspek kedaerahan dan aspek keagamaan khususnya dalam konteks yang berlaku di provinsi Banten selama pilpres 2019.
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif (qualitative research) adalah
suatu proses penelitian dan
pemahaman berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia (Creswell & Creswell,
2017). Pendekatan kualitatif
digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok (Sutopo & Arief, 2010). Pendekatan kualitatif
dipilih dalam penelitian ini karena mampu mengeksplorasi
secara mendalam mengenai penggunaan sentimen primordial oleh paslon presiden dan wakil presiden baik itu Jokowi-Ma�ruf maupun Prabowo-Sandi di provinsi Banten selama pilpres 2019.
Menurut Creswell (2017), langkah-langkah pengumpulan data meliputi usaha membatasi penelitian, mengumpulkan informasi melalui observasi dan wawancara, baik yang terstruktur maupun tidak, dokumentasi,
materi-materi visual, serta
usaha merancang protokol untuk merekam/ mencatat informasi. Adapun dalam penelitian ini data primer akan diperoleh melalui wawancara.
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)
yang mengajukan pertanyaan
dan terwawancara (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Selanjutnya, maksud mengadakan wawancara antara lain mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan
lain-lain. Selanjutnya, peneliti
mengawali dengan pertanyaan pembuka dan dilanjutkan dengan poin-poin yang hendak ditanyakan.
Dengan persetujuan informan, penulis merekam keseluruhan wawancara. Untuk mendukung data wawancara maka peneliti juga melakukan pengumpulan data sekunder melalui penelusuran dokumen. Menurut Creswell (2017) dokumen dapat
berupa dokumen publik (seperti koran, makalah, laporan kantor) ataupun dokumen privat (seperti buku harian, diari,
surat atau email).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan data sekunder seperti dokumen berita acara rekapitulasi suara pilpres 2019 dari KPU Provinsi Banten. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan data yang berasal dari artikel
pemberitaan baik cetak maupun elektronik,
arsip dan literatur lainnya serta publikasi
secara elektronik yang membahas studi-studi tentang pilpres 2019 di provinsi Banten.
Menurut Creswell (2012) analisis data merupakan proses berkelanjutan
yang memerlukan refleksi terus menerus terhadap
data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan
analitis, dan menulis catatan singkat sepanjang penelitian. Teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah �Model Miles and
Huberman� bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai
tuntas, sehingga datanya sudah jelas.
Aktivitas dalam analisis data, yaitu: data
reduction, data display, dan conclusion drawing/verification (Miles dan
Huberman dalam (Sugiyono, 2010). �
Hasil dan Pembahasan
Strategi dan Upaya Penggunaan Sentimen Primordial Paslon Joko
Widodo-K.H. Ma�ruf Amin di Provinsi
Banten Saat Pilpres 2019
Dalam menjelaskan
upaya penggunaan sentimen primordial selama pilpres 2019 di provinsi Banten
yang dilakukan oleh paslon nomor urut 01, Joko Widodo-K.H. Ma�ruf Amin, setidaknya dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk.
Pertama, mengenai isu kesamaan asal
daerah. Adapun, sebagaimana
dapat diidentifikasi dalam realitas yang berlaku saat pilpres
2019 di provinsi Banten, paslon
Jokowi-Ma�ruf diindikasikan
menggunakan status Ma�ruf
Amin sebagai putra daerah asli keturunan
Banten sebagai salah satu cerminan dari aspek
kesamaan asal daerah yang digunakan dalam strategi pemenangannya.
Hal itu pun diperjelas oleh pernyataan dari Asep Rahmatullah
selaku ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) provinsi
Banten paslon Jokowi-Ma�ruf
dalam wawancara dengan peneliti berikut ini. �Pada saat pilpres 2019 di Banten, saya akui bahwa
isu kesamaan asal daerah digunakan
oleh kami karena mengingat
status kiai Ma�ruf Amin sendiri merupakan seorang kiai besar
di Banten. Bahkan, harus saya akui juga bahwa kami di TKD melakukan kapitalisasi terhadap aspek tersebut dengan turut serta
melakukan sowan ke kiai-kiai yang ada di Banten� (Hasil wawancara peneliti dengan Asep Rahmatullah, 24 Februari 2023).
Pernyataan yang disampaikan
oleh Asep Rahmatullah tersebut kemudian mencerminkan bahwa aspek kesamaan asal daerah relatif
digunakan sebagai salah satu aspek dari
isu primordialisme dengan cenderung menitikberatkan pada status yang melekat
dalam sosok K.H. Ma�ruf Amin yang merupakan putra asli daerah
Banten.
Hal ini pun diungkapkan oleh Asep Rahmatullah sebagai salah satu faktor yang menjadi pertimbangan untuk digunakannya aspek kesamaan asal daerah sebagai
salah satu strategi pemenangan
yang sebagaimana tercermin dalam kutipan wawancara
dengan peneliti berikut ini. �Penggunaan
aspek kesamaan asal daerah saat
itu sebenarnya didasari pada pertimbangan terhadap beberapa hal. Salah satunya adalah mengingat status kiai Ma�ruf Amin yang merupakan putra asli daerah Banten yang tinggal dan tumbuh besar di Tanara dan pasti memiliki jaringan-jaringan baik teman-teman, kiai-kiai, tokoh-tokoh di Majelis Ulama
Indonesia (MUI) karena mengingat
beliau juga eks ketua umumnya, pesantren dan lain sebagainya�
(Hasil wawancara peneliti dengan Asep Rahmatullah,
24 Februari 2023).
Strategi dan Upaya Penggunaan Sentimen Primordial Paslon
Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno di Provinsi Banten Saat Pilpres 2019
Dalam menjelaskan
penggunaan sentimen
primordial oleh paslon Prabowo Subianto-Sandiaga
Salahuddi Uno di provinsi
Banten saat pilpres 2019, setidaknya perlu dikategorikan ke dalam dua aspek. Pertama, mengenai aspek kesamaan asal daerah. Dalam
kaitannya dengan aspek ini, dapat
diidentifikasi bahwa paslon Prabowo-Sandi tidak menggunakannya sebagai bagian dari strategi pemenangan.
Hal ini dikarenakan baik sosok Prabowo maupun Sandi tidak memiliki kesamaan asal daerah
sebagai bagian dari putra asli
daerah Banten yang sebagaimana
dipunyai oleh paslon
Jokowi-Ma�ruf. Kondisi tersebut setidaknya turut disampaikan oleh Andra Soni selaku anggota Badan Pemenangan Daerah
(BPD) provinsi Banten paslon
nomor urut 02,
Prabowo-Sandi berikut ini. �Terkait dengan aspek kesamaan asal daerah, paslon
Prabowo-Sandi sendiri tidak
menggunakannya karena baik sosok Prabowo maupun Sandi bukan merupakan putra asli daerah Banten. Untuk itu, kami tidak memiliki upaya atau strategi khusus untuk menggunakan
aspek ini� (Hasil wawancara peneliti dengan Andra Soni, 1 Maret 2023).
Adapun, di saat paslon Prabowo-Sandi tidak dapat menggunakan aspek kesamaan asal daerah dalam
strategi pemenangannya di provinsi
Banten pada saat pilpres
2019 akibat bukan merupakan bagian dari keturunan atau merupakan putra asli daerah,
mereka justru berpandangan bahwa hal tersebut dalam
realitasnya secara elektoral juga relatif tidak berkontribusi secara signifikan.
Pasalnya, sekalipun
paslon Jokowi-Ma�ruf melakukan kapitalisasi terhadap status K.H. Ma�ruf Amin
yang merupakan putra asli daerah Banten, BPD paslon Prabowo-Sandi justru menganggap bahwa hal itu tidak
serta merta menjadikan paslon Jokowi-Ma�ruf mendapatkan kemenangan di provinsi Banten. Bahkan, selisih perolehan suara antar kedua paslon
dikatakan relatif terpaut jauh. Meskipun
sebelumnya. BPD paslon
Prabowo-Sandi sempat menganggap
bahwa aspek kesamaan asal daerah
yang digunakan oleh paslon
Jokowi-Ma�ruf dapat berpotensi memberikan dampak yang positif bagi pencapaian elektoral paslon tersebut.
Hal ini pun sebagaimana diungkapkan oleh Andra Soni dalam wawancara dengan peneliti berikut ini. �Ya pada awalnya kita menganggap bahwa adanya aspek
kesamaan asal daerah tersebut akan berdampak secara positif terhadap paslon Jokowi-Ma�ruf. Akan tetapi, saat pemilu berlangsung
ternyata hal tersebut tidak memberikan efek yang positif bagi paslon
tersebut. Hal itu terlihat dari perolehan
suara mereka yang justru terlampau jauh dengan paslon
Prabowo-Sandi yang saat itu
tidak memiliki aspek kesamaan asal daerah. Oleh karena
itu, kami akhirnya berpandangan bahwa isu primordialisme di Banten itu relatif tidak
terlalu memberikan efek. Contohnya, dapat dilihat dari
para anggota legislatif
yang tidak semuanya berasal dari Banten, namun tetap dapat
terpilih. Saya rasa hal ini tidak dapat
dipisahkan dari sejarah pada masa Orde Baru dahulu
di mana sekalipun Banten itu
terkenal sebagai provinsi yang Islam nya cukup kuat, namun
masyarakatnya kan tidak serta merta
memilih partai-partai
Islam. Partai-partai Islam mulai
mendapatkan tempat di
Banten itu kan saat Reformasi. Salah satunya PPP
yang pada awal Reformasi berhasil
mendapatkan suara yang cukup besar di Banten, sehingga hal itu
menurut pendapat saya yang akhirnya memperlihatkan bahwa aspek kesamaan asal daerah itu
sebenarnya tidak terlalu kental dalam konteks masyarakat
Banten� (Hasil wawancara peneliti
dengan Andra Soni, 1 Maret 2023).
Berdasarkan pernyataan
Andra Soni tersebut, dapat dikatakan bahwa aspek kesamaan
asal daerah cenderung tidak terlalu memengaruhi orientasi masyarakat provinsi Banten untuk memilih. Hal itu dikarenakan adanya anggapan bahwa karakteristik perilaku memilih masyarakat provinsi Banten cenderung lebih berpihak kepada pihak-pihak yang menjadi oposan dari pemerintah. Pada saat itu, sosok
Prabowo dan Sandi beserta partai-partai
politik pengusung dan pendukungnya tercatat bukan merupakan bagian dari pendukung
pemerintah (kecuali PAN
yang sebelumnya merupakan bagian dari koalisi
partai politik pendukung pemerintah dan kemudian beralih memutuskan menjadi bagian dari koalisi
pendukung paslon
Prabowo-Sandi).
Kemunculan Kelompok-kelompok Politik di Banten Pada Pilpres
2019
Salah satu dampak yang ditimbulkan dari adanya penggunaan
isu-isu primordial seperti kesamaan asal daerah
dan agama dalam pilpres
2019 di provinsi Banten, tidak
dapat dipisahkan dari kemunculan kelompok-kelompok politik. Kelompok-kelompok politik yang dimaksud dalam konteks ini merujuk
pada kelompok atau pihak-pihak yang memiliki perbedaan dukungan terhadap paslon presiden dan wakil presiden pada pilpres 2019.
Hal ini pun setidaknya tercermin tatkala munculnya sejumlah kelompok atau pihak yang memiliki perbedaan pandangan terhadap penggunaan isu dan sentimen primordial oleh masing-masing paslon
presiden dan wakil presiden.
Pertama, dari aspek kesamaan asal daerah. Dalam
kaitannya dengan aspek ini, paslon
Jokowi-Ma�ruf tercatat cenderung melakukan kapitalisasi terhadap status dan posisi dari K.H. Ma�ruf Amin yang dianggap sebagai bagian dari keturunan �orang Banten�.
Akan tetapi, muncul bantahan terhadap pelabelan tersebut oleh kelompok atau pihak-pihak
yang berpandangan bahwa sosok K.H. Ma�ruf Amin tidak serta merta
dapat dikatakan sebagai bagian dari keturunan orang Banten.
Hal ini pun setidaknya turut diungkapkan oleh Dr. Ail Muldi M.Sos., M.Ikom.
selaku pengamat politik yang sekaligus merupakan akademisi dari Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa dan Koordinator Peneliti Paradigma Indonesia dalam wawancara dengan peneliti berikut ini. �Saya kira dalam melihat
konteks penggunaan isu dan sentimen primordial di pilpres 2019 oleh paslon Jokowi-Ma�ruf maupun Prabowo-Sandi itu memang cukup
terlihat demikian adanya. Pasalnya, sebagaimana yang dapat dilihat dalam realitasnya,
di mana masing-masing paslon itu
kan tercatat menempuh berbagai upaya demi meraih simpati dan dukungan dari masyarakat, sehingga dilakukanlah pendekatan dari sejumlah isu. Salah satunya ya kita
dapat lihat dalam hal isu
primordial. Contohnya, pada isu
aspek kesamaan asal daerah di Banten di mana
pada masa itu kan paslon Jokowi-Ma�ruf relatif sering memunculkan narasi bahwa kiai Ma�ruf
Amin itu adalah keturunan dari Banten, keturunan Syeikh Nawawi Alwan. Nah, yang menarik yang muncul setelahnya adalah terkait dengan sanggahan dan bantahan terhadap narasi tersebut yang cenderung masif disampaikan oleh tim pemenangan paslon rivalnya.
Bantahan itu terkait dengan pandangan bahwa sosok kiai Ma�ruf
Amin itu bukan bagian dari keturunan
Syeikh Nawawi Alwan. Apakah kemudian dikatakan masih menjadi bagian dari keturunan salah satu keluarganya ya itu persoalan
lain. Namun, bantahan terhadap isu tersebut seolah
menegasikan narasi yang beredar bahwa kiai
Ma�ruf Amin itu adalah bagian dari
orang Banten. Nah, hal ini akhirnya kemudian memunculkan kelompok-kelompok di masyarakat, ada yang kemudian percaya dan ada yang kemudian menyangsikan hal tersebut� (Hasil wawancara peneliti dengan Dr. Ail Muldi M.Sos.,
M.Ikom., 2 Maret 2023).
Berdasarkan pernyataan
dari Dr. Ail Muldi M.Sos., M.Ikom.tersebut,
dapat dikatakan bahwa dalam konteks
penggunaan aspek kesamaan asal daerah
di provinsi Banten, telah memunculkan dikotomi dalam wujud kelompok-kelompok
politik yang memiliki perbedaan pandangan, yakni sekte atau
kelompok yang percaya dengan asal usul
sosok K.H. Ma�ruf Amin yang
merupakan bagian dari keturunan orang Banten, sedangkan di sisi lain muncul sekte atau
kelompok yang ragu atau menyangsikan narasi tersebut.
Bahkan, sebagaimana
disampaikan oleh Dr. Ail Muldi
M.Sos., M.Ikom.,
bantahan terhadap narasi bahwa sosok
K.H. Ma�ruf Amin merupakan bagian dari keturunan
orang Banten cenderung banyak
disuarakan oleh kelompok atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi atau dukungan terhadap
paslon presiden dan wakil presiden rivalnya, yakni paslon Prabowo-Sandi. Alhasil, hal inilah
yang menjadikan penggunaan aspek kesamaan asal daerah turut
memberikan implikasi terhadap kemunculan kelompok-kelompok politik yang memiliki perbedaan pandangan di dalam menyikapi narasi yang menyatakan bahwa sosok K.H. Ma�ruf Amin merupakan bagian dari keturunan orang Banten.
Kedua, dari aspek agama. Dalam penggunaan aspek ini, kemunculan kelompok-kelompok politik dimanifestasikan melalui hadirnya kelompok atau pihak-pihak yang memiliki persepsi yang relatif negatif terhadap masing-masing paslon presiden dan wakil presiden yang tidak didukung. Dalam konteks paslon
Jokowi-Ma�ruf misalnya, muncul persepsi negatif yang cenderung menyangsikan atau mempertanyakan tentang aspek-aspek keagamaan (keislaman) dari figur Joko Widodo dan K.H. Ma�ruf
Amin. Pada konteks Joko Widodo, muncul
narasi atau kecenderungan yang mempertanyakan
tentang keagamaan Islam
yang dimilikinya serta disinyalir masih memiliki anasir dengan isu komunisme,
seperti dekat dengan para simpatisan dan pendukung eks Partai
Komunis Indonesia (PKI), hingga
kebijakan-kebijakan yang relatif
non-populis seperti isu ketidakharmonisan relasi dengan kaum
ulama yang berlangsung selama
periode pertama pemerintahannya.
Dalam konteks
K.H. Ma�ruf Amin, muncul narasi atau kecenderungan
yang mempertanyakan kontribusinya
terhadap masyarakat Banten hingga keterkenalannya yang lebih dianggap cenderung sebagai ulama atau tokoh agama yang politis, seperti dikenal sebagai eks politisi dari
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Ketua Umum Pengurus Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketimbang
sebagai sosok ulama secara umum. Sementara
dalam konteks paslon Prabowo-Sandi, muncul narasi atau kecenderungan
yang menganggap bahwa paslon tersebut relatif bersikap ekslusif terhadap kalangan Islam semata ketimbang kepada kalangan-kalangan minoritas yang
non-muslim. Akan tetapi, di
saat yang bersamaan juga muncul kecenderungan atau narasi yang relatif lebih positif
terhadap sosok Sandiaga Salahuddin Uno terutama dalam konteks di provinsi Banten karena dianggap sebagai representasi dari tokoh cendekiawan muda muslim yang salah satunya didukung melalui narasi bahwa Sandi merupakan bagian dari pengikut
Abuya Mufasir, selaku salah satu tokoh agama yang cukup populer di kalangan masyarakat provinsi Banten.
Motif Penggunaan Isu Primordial di Banten Pada Pilpres
2019
Dalam menjelaskan
hal-hal yang menjadi motif dari digunakannya isu atau sentimen
primordial di provinsi Banten pada konteks pilpres 2019, berbagai pernyataan yang diperoleh dari hasil wawancara peneliti dengan sejumlah narasumber menunjukkan bahwa hal tersebut tidak
dapat dipisahkan dari beberapa faktor.
Pertama, faktor karakteristik masyarakat di provinsi Banten yang dianggap cenderung agamis. Dalam kaitannya dengan konteks ini, dapat
diperoleh pemahaman bahwa masing-masing tim pemenangan paslon presiden dan wakil presiden menggunakan isu/sentimen primordial, baik itu yang berupa aspek kedaerahan maupun keagamaan karena hendak menyesuaikan
diri dengan karakteristik demografis masyarakat di provinsi Banten.
Hal ini pun setidaknya turut dikuatkan oleh pernyataan dari pihak-pihak yang terkait atau memiliki
afiliasi dengan
masing-masing paslon presiden
dan wakil presiden berikut ini. �Isu atau
sentimen primordial yang digunakan
oleh paslon Jokowi-Ma�ruf baik dalam hal
kedaerahan maupun keagamaan itu tidak
dapat dipisahkan dari karakteristik masyarakat Banten itu sendiri. Pertama, kebetulan kiai Ma�ruf Amin itu keturunan asli Banten, jadi ya dapat
digunakan. Kedua, karena kiai Ma�ruf
Amin itu tokoh ulama, pernah menjadi ketua umum MUI pusat dan salah satu kiai dari NU. Apalagi,
masyarakat Banten itu terkenal agamis, jadi ya menjadi sesuatu
yang tidak dapat dipungkiri jika akhirnya isu kedaerahan
dan keagamaan itu digunakan. Persoalan apakah sentimen keagamaan lebih berdampak ketimbang sentimen kedaerahan ya itu persoalan
lain karena yang terpenting
tujuannya agar dapat memaksimalkan perolehan suara dan dukungan dari segenap masyarakat
Banten� (Hasil wawancara peneliti
dengan Asep Rahmatullah, 24 Februari 2023).
Pernyataan yang disampaikan
oleh Asep Rahmatullah tersebut juga diperkuat oleh K.H.
Martin Sarkowi dalam wawancara dengan peneliti berikut ini. �Dalam konteks
penggunaan sentimen
primordial, saya berpendapat
bahwa hal itu murni sebagai
sebuah kebutuhan karena yang terjadi dalam konteks masyarakat
di Banten itu memang demikian adanya di mana isu primordial agama relatif lebih mendapatkan perhatian. Meskipun saya pribadi merasa
itu sebagai suatu preseden buruk karena justru
kurang mendidik masyarakat bahwa hal tersebut tidak
dapat dipisahkan dari beberapa faktor.
Pertama, faktor karakteristik masyarakat di provinsi Banten yang dianggap cenderung agamis. Dalam kaitannya dengan konteks ini, dapat
diperoleh pemahaman bahwa masing-masing tim pemenangan paslon presiden dan wakil presiden menggunakan isu/sentimen primordial, baik itu yang berupa aspek kedaerahan maupun keagamaan karena hendak menyesuaikan
diri dengan karakteristik demografis masyarakat di provinsi Banten.
Bentuk Penggunaan Isu Primordial di Banten Pada Pilpres
2019
Dalam kaitannya
dengan bagaimana menjelaskan bentuk-bentuk dari penggunaan isu/sentimen primordial di provinsi Banten pada pilpres
2019, setidaknya perlu dikategorikan ke dalam dua aspek, yakni berdasarkan aspek kesamaan asal daerah dan aspek keagamaan. Pertama, dalam aspek kesamaan asal daerah. Pada aspek ini, tercatat
hanya paslon Jokowi-Ma�ruf yang menggunakannya sebagai salah satu konten atau isu
kampanye di provinsi
Banten. Hal itu dilakukan melalui berbagai metode/cara yang umumnya ditujukan untuk menciptakan kesan bahwa paslon
Jokowi-Ma�ruf memiliki kesamaan dari segi
kedaerahan dengan masyarakat di provinsi Banten. Metode/cara-cara yang digunakan seperti memasang baliho/spanduk hingga menyampaikan seruan agar sebagai sesama orang Banten untuk memilih paslon
yang juga berasal dari orang
Banten.
Hal ini pun setidaknya turut disampaikan oleh Asep Rahmatullah dalam wawancaranya dengan peneliti berikut ini. �Dalam aspek kesamaan asal daerah,
kami di TKD (Tim Kampanye Daerah) Banten salah satunya memang mengangkat isu tersebut dengan menonjolkan status kiai Ma�ruf Amin yang merupakan orang
Banten. Kami memasang baliho,
spanduk hingga billboard untuk menunjukkan kepada masyarakat Banten bahwa kiai Ma�ruf
Amin itu orang asli Banten.
Bahkan, narasi yang dicantumkan di situ juga berisikan
seruan agar orang Banten seyogyanya
ya memilih orang Banten
juga. Itu sebagai brand atau label yang ingin kami tanamkan dalam masyarakat Banten� (Hasil wawancara
peneliti dengan Asep Rahmatullah, 24 Februari 2023).
Kedua, dalam
aspek keagamaan. Pada konteks ini, baik
paslon Jokowi-Ma�ruf maupun paslon Prabowo-Sandi tercatat menggunakannya dengan berbagai bentuk/cara. Dalam
konteks paslon Jokowi-Ma�ruf, sentimen keagamaan digunakan melalui simbolisasi ketokohan keagamaan �ulama� yang melekat dalam sosok
K.H. Ma�ruf Amin yang dikenal
pernah menjabat sebagai Ketua Umum
Pengurus Pusat MUI dan Rais
Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Selain itu, penggunaan sentimen primordial keagamaan
oleh paslon Jokowi-Ma�ruf
juga diklaim relatif lebih bersifat inklusif karena cenderung tidak membatasi diri pada kalangan Islam semata, melainkan juga kepada kalangan-kalangan non-Islam.
Hal ini pun setidaknya tercermin dalam pernyataan dari sejumlah narasumber
seperti Asep Rahmatullah berikut ini. �Dalam konteks
penggunaan sentimen keagamaan, kami (TKD) memang lebih menonjolkan pada status
�ulama� kiai Ma�ruf Amin. Beliau itu kan
ketua umum MUI dan sekaligus kiai sepuh di NU. Jadi, wajar kemudian kami kapitalisasi dan sosialisasikan kepada masyarakat Banten� (Hasil wawancara
peneliti dengan Asep Rahmatullah, 24 Februari 2023).
Dampak Penggunaan Sentimen Primordial di Provinsi
Banten Saat Pilpres 2019
Dalam menjelaskan
hal-hal yang menjadi dampak dari adanya
penggunaan sentimen
primordial di provinsi Banten pada saat pilpres 2019, penelitian ini berusaha mengaitkan temuan yang diperoleh dengan perspektif Hasenclever & Rittberger (2000) mengenai
dua dimensi dari primordialisme dan kemunculan kelompok-kelompok politik yang memiliki perbedaan dukungan (sektarian). Pertama, sebagaimana diasumsikan oleh para penganut paradigma konstruktivis, konflik sosial cenderung tertanam dalam struktur kognitif seperti ideologi, nasionalisme, etnis, atau agama.
Struktur ini
yang terdiri dari 'pemahaman bersama, harapan, dan pengetahuan sosial' memberikan aktor sosial konsepsi
sarat nilai tentang diri sendiri
dan orang lain dan akibatnya mempengaruhi
pilihan strategis mereka. Misalnya, struktur kognitif membantu mengidentifikasi teman dan musuh secara independen dari setiap perselisihan
yang ada dan jika mengikuti penalaran konstruktivis, hal itu justru diindikasikan
sering membuat perbedaan penting untuk pengelolaan konflik yang serupa (Mardiansyah,
2001).
Hal inilah yang kemudian tercermin dari bagaimana masyarakat di provinsi Banten kemudian menjadikan sentimen primordial khususnya
yang berbasiskan pada aspek
keagamaan sebagai pertimbangan di dalam menentukan preferensi politiknya masing-masing. Selain itu, sentimen primordial juga memengaruhi struktur kognitif dalam wujud keyakinan dan pandangan dalam diri masyarakat di provinsi Banten yang kemudian memaknainya sebagai salah satu simbol untuk
menentukan paslon yang dipilih (teman) dan yang tidak didukung (musuh).
Kedua adalah
kepentingan yang melekat
pada para pemimpin politik.
Menurut instrumentalis dan konstruktivis, pemimpin politik memainkan peran penting dalam
pecahnya konflik bersenjata. Ketika para pemimpin berpikir bahwa pertempuran bersenjata adalah kepentingan mereka, mereka akan mulai mengumpulkan
dukungan massa untuk rencana mereka
dan mencoba menggunakan tradisi keagamaan masyarakat mereka untuk melegitimasi pilihan mereka. Namun, di sinilah kaum konstruktivis berpisah dengan kaum instrumentalis.
Sementara yang terakhir
menyarankan bahwa pada akhirnya, pemimpin yang gigih dapat memanipulasi
tradisi agama sesuka hati dan bahwa pembenaran kekerasan adalah retoris yang terbaik, tetapi bukan masalah substansial
karena kaum konstruktivis bersikeras bahwa tradisi agama adalah struktur intersubjektif yang memiliki kehidupannya sendiri. Mereka bergantung pada praktik dan wacana sosial yang, menurut pendapat Wendt, 'tidak dapat dipisahkan dari alasan dan pemahaman diri yang dibawa oleh agen ke dalam tindakan
mereka.
Untuk itu,
para penganut konstruktivis
kemudian mengusulkan untuk melihat agama sebagai variabel intervensi, yakni sebagai faktor penyebab intervensi antara konflik tertentu dan pilihan perilaku konflik (Hasenclever
& Rittberger, 2000). Hal inilah
yang kemudian tercermin dalam realitas penggunaan sentimen primordial di
provinsi Banten selama pilpres 2019. Pasalnya, kedua paslon presiden
dan wakil presiden yang berkompetisi
tercatat mengakui bahwa penggunaan sentimen primordial khususnya
yang berbasiskan pada aspek
keagamaan dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk
memobilisasi dukungan massa dan kemudian turut dijadikan sebagai salah satu faktor dalam melegitimasi
dukungan yang diberikan kepada paslon presiden
dan wakil presiden yang dikehendaki.
Hal ini yang sekaligus mencerminkan bagaimana sentimen primordial berbasis keagamaan justru akhirnya memunculkan konflik yang dimanifestasikan melalui perbedaan dukungan terhadap paslon presiden dan wakil presiden. Di sisi lain, dalam menganalisis dampak dari adanya penggunaan
sentimen primordial di provinsi
Banten selama pilpres 2019,
penelitian ini juga mengaitkan temuan yang diperoleh dengan perspektif dari Muhtar Haboddin (2015) yang berargumen
bahwa hadirnya primordialisme dalam aspek politik tidak
dapat dilepaskan dari dua kecenderungan utama.
Kecenderungan pertama
adalah akibat dilakukannya desentralisasi menjadikan lokus kajian ilmu politik
mulai menaruh perhatian yang lebih pada aspek etnisitas, kedaerahan, kesultanan dan adat dalam aspek
politik. Adapun sejak bergulirnya era Reformasi dan diterapkannya
kebijakan desentralisasi di
seluruh daerah yang ada di Indonesia, penggunaan aspek-aspek primordialisme pun cenderung menjadi tren yang kian marak dilakukan (Rozi,
2016). Hal ini
pula yang tercermin dalam realitas politik di berbagai daerah khususnya provinsi Banten.
Pasalnya, di provinsi
Banten sendiri jika merujuk pada berbagai temuan riset yang ada pun menunjukkan bahwa aspek-aspek primordialisme seperti etnisitas, kedaerahan hingga agama menjadi hal-hal yang relatif dominan dalam pemilu,
baik itu dalam lingkup pileg,
pilkada maupun pilpres (Rizqi,
2020). Dalam
konteks di provinsi Banten selama pilpres 2019 pun, terdapat dua aspek primordial
yang relatif dominan, yaitu yang berbasiskan pada aspek kedaerahan dan aspek keagamaan.
Kecenderungan kedua adalah mulai menguatnya
tren penggunaan simbol-simbol primordial yang beriringan
dengan proses liberalisasi politik yang dimanifestasikan melalui sistem politik multi-partai dan sistem pemilihan secara langsung yang cenderung menitikberatkan pada prinsip suara mayoritas,
sehingga membuat penggunaan unsur-unsur primordial
menjadi kian subur. Adapun, menguatnya penggunaan sentimen primordial dalam konteks perpolitikan
kemudian dianggap telah menjadikan corak politik menjadi
cenderung primitif-tradisional
karena sebagian tokoh politik dan pemimpin nasional maupun daerah cenderung
menggunakan unsur-unsur
primordial untuk mencapai kepentingan politiknya
masing-masing.
Kepentingan politik
yang kemudian didefinisikan
dalam konteks ini adalah sebagai
bagian dari upaya untuk memperebutkan
posisi-posisi politik baik itu di lembaga
legislatif, eksekutif maupun dalam birokrasi
pemerintahan (Haboddin,
2015). Hal ini
setidaknya tercermin dari kecenderungan yang diperlihatkan oleh masing-masing paslon
presiden dan wakil presiden
di provinsi Banten selama pilpres 2019 di mana penggunaan sentimen primordial yang dilakukan
ditujukan semata-mata hanya untuk memperoleh
kemenangan, baik itu dalam pilpres
maupun pileg oleh
masing-masing partai politik.
Akibatnya, penggunaan sentimen primordial yang dilakukan
seolah tidak dilakukan secara tertutup atau sembunyi-sembunyi,
melainkan dilakukan secara terbuka dengan maksud untuk
mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat,
sehingga posisi-posisi politik yang ditargetkan pun dapat diraih.
Sementara itu, terkait dengan pandangan dari Ubed Abdillah yang berpendapat bahwa primordialisme umumnya beranggapan bahwa kelompok-kelompok sosial dikarakteristikan oleh gambaran terhadap sejumlah aspek, seperti kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa dan organisasi sosial yang didasarkan sebagai sesuatu yang bersifat given dan tak terbantahkan pun setidaknya cukup tercermin secara konkret dalam konteks masyarakat
di provinsi Banten. Hal ini
merujuk pada bagaimana
label sentimen keagamaan
yang melekat dalam masyarakat Banten yang dianggap relatif agamis, sehingga menjadikan sentimen primordial menjadi salah satu hal yang tak terpisahkan
dengan masyarakat Banten.
Selain itu, jika dikaitkan dengan pandangan dari Giddens (1981) yang mengklasifikasikan
primordialisme ke dalam dua bentuk, berupa konteks sosio-biologis yang meyakini bahwa bangsa, etnisitas
dan ras adalah hal-hal yang dapat dilacak dari reproduksi
genetis individu dan digunakan untuk hal-hal strategis nepotisme dan kebugaran inklusi untuk memaksimalkan
kelompok genetisnya dan dalam konteks sebagai
suatu ikatan karunia budaya di mana etnisitas dan bangsa dibentuk pada keberadaan sosial, hal ini
pun juga dapat dijelaskan
oleh temuan penelitian ini.
Dalam konteks
sosio-biologis, primordialisme
tercermin dari penggunaan aspek kesamaan asal daerah
oleh paslon Jokowi-Ma�ruf melalui status K.H. Ma�ruf Amin sebagai putra asli
Banten yang merupakan cerminan
dari aspek reproduksi genetis individu. Sementara dalam konteks sebagai
ikatan karunia budaya yang dibentuk pada keberadaan sosial tercermin dari penggunaan sentimen primordial berbasis aspek keagamaan oleh paslon Jokowi-Ma�ruf maupun Prabowo-Sandi.
Paslon Jokowi-Ma�ruf
melalui konteks dukungan yang diberikan oleh sejumlah tokoh dan organisasi keagamaan di Banten
yang salah satunya seperti Abuya Muhtadi, PWNU serta PCNU dan melalui status
ulama dan eks Ketua Umum MUI yang melekat dalam diri K.H. Ma�ruf Amin. Sementara, paslon Prabowo-Sandi melalui konteks dukungan yang diberikan oleh sejumlah tokoh dan organisasi keagamaan di Banten, seperti
salah satunya dari Abuya Muhtado, FPI, Ijtima Ulama, GNPF-U dan lain sebagainya.
Konteks Relasional Primordial
di Provinsi Banten Saat Pilpres 2019
Di samping menjelaskan tentang bagaimana motif dan bentuk dari penggunaan isu/sentimen primordial oleh
masing-masing paslon di provinsi
Banten pada konteks pilpres
2019, terdapat salah satu hal lain yang juga perlu untuk dianalisis. Hal itu merujuk pada bagaimana ikatan relasional primordial yang terjalin
antara tokoh-tokoh atau masyarakat dengan paslon presiden
dan wakil presiden yang didukung.
Dalam hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan para narasumber terkait, baik yang mewakili pendukung paslon Jokowi-Ma�ruf maupun yang merepresentasikan pendukung paslon Prabowo-Sandi, diperoleh pemahaman bahwa ikatan relasional yang terbentuk antara para pendukung dengan paslon cenderung bersifat historis dan emosional.
Hal ini menegaskan bahwa para pendukung merasa tidak memiliki ikatan relasional yang bersifat biologis berdasarkan hubungan darah dan kekeluargaan, melainkan lebih bersifat sosial dan situasional. Hal ini pun setidaknya diungkapkan oleh K.H.
Martin Sarkowi selaku bagian dari pendukung
paslon Jokowi-Ma�ruf berikut ini. �Kalau
saya pribadi mendukung pak Jokowi itu sebenarnya sudah sejak pilpres
2014. Dukungan yang saya berikan pun dasarnya bukan karena merasa
ada ikatan kekerabatan, melainkan lebih kepada ikatan
sosial di mana saya yang tumbuh besar sejak
zaman Orde Baru baru kali ini
bisa melihat bahwa ada sosok
yang berlatarbelakang biasa-biasa
saja dapat terpilih menjadi presiden. Hal ini bagi saya adalah
sesuatu yang baru dan inspiratif. Jadi, seolah ada harapan baru
yang menunjukkan bahwa
Indonesia itu bukan hanya milik segelintir
orang dari kalangan elit seperti POLRI dan TNI semata yang seperti terjadi pada era Orde Baru, tetapi
juga dapat memungkinkan
orang yang biasa-biasa dapat
terpilih menjadi pemimpin� (Hasil wawancara peneliti dengan K.H. Martin Sarkowi, 3 Maret 2023).
Analisis Penggunaan Sentimen Primordial, Agama dan Sektarian
di Provinsi Banten Saat Pilpres 2019
Dalam menjelaskan
bagaimana ikatan relasional primordial yang terbentuk
selama pilpres 2019 di provinsi Banten, dapat dikatakan bahwa baik tokoh-tokoh keagamaan dengan paslon presiden dan wakil presiden yang didukung cenderung memiliki pola relasional primordial yang bersifat non-biologis (sosial) dan situasional. Hal ini dikarenakan ikatan relasional yang dibangun oleh segenap elemen pendukung dengan paslon lebih
didasarkan pada simbolisasi
terhadap hal-hal yang bersifat non-biologis, yakni berupa ketokohan
dan pertimbangan dari aspek-aspek tertentu.
Hal ini pun relevan dengan kategori primordialisme dalam arti yang lebih halus yang sebagaimana dikemukakan oleh Allahar (1996). Pasalnya,
primordialisme dalam arti
yang lebih halus yang digambarkan oleh Allahar (1996) sebagai
bentuk keterikatan relasi yang bersifat sosial (non-biologis) yang didasarkan pada proses intepretasi
dan makna simbolik yang terdapat dalam organisasi sosial seorang individu tercermin dari bagaimana tokoh-tokoh keagamaan pendukung masing-masing
paslon, baik itu karena faktor
inspiratif dari sosok yang didukung (Jokowi-Ma�ruf) maupun dari faktor dalil
keagamaan yang disimbolkan secara subjektif dalam diri paslon
yang didukung (Prabowo-Sandi).
Hal ini pun menyiratkan bahwa keintiman dalam keterikatan relasi yang terbentuk antar individu tidaklah melulu harus didasarkan
pada ikatan darah karena mereka dipandang
dapat membangun rasa kekerabatan secara sosial atau fiktif
sekalipun yang sebagaimana tercermin dari segenap elemen pendukung masing-masing paslon. Alhasil, landasan keterikatan relasi dalam konteks definisi
ini cenderung bersifat situasional, non-biologis, fleksibel serta tidak konstan
karena relatif bergantung pada bagaimana elemen pemenangan dan pendukung dari masing-masing paslon kemudian mampu mengonstruksikan kedekatan relasional dengan tokoh, masyarakat
atau segenap elemen pendukung lainnya.
Adapun, dalam konteks aspek kesamaan
asal daerah, dapat dikatakan bahwa hal tersebut
relatif tidak signifikan di dalam mengonstruksikan ikatan relasional antara paslon dengan segenap
elemen tokoh dan masyarakat di provinsi Banten.
Hal ini dikarenakan penggunaan aspek kedaerahan cenderung kurang mendapatkan atensi serius dari
masyarakat di provinsi
Banten, bahkan relatif diabaikan. Akhirnya, hal tersebut menjadikan
pendapat dari Edward Shils (1957) yang menyatakan
bahwa ikatan primordial didasarkan pada hubungan kekerabatan dan lokasi teritorial yang harus dikaitkan dengan kebutuhan individu untuk dapat bersentuhan
dengan hal-hal yang dikonstruksikan sebagai momen asalnya agar dapat membentuk sebuah kedekatan dengannya pun menjadi cenderung tidak terkonstruksikan secara maksimal antara paslon dengan segenap
masyarakat di provinsi
Banten khususnya dalam konteks yang dilakukan oleh paslon Jokowi-Ma�ruf.
Sebaliknya, yang terjadi
justru yang sebagaimana dikemukakan oleh Shils di mana ikatan primodial akan terbentuk ketika individu-individu dengan karakteristik yang dianggap sama berkumpul,
bersatu dan akhirnya melakukan mobilisasi demi mencapai kepentingan bersama, meskipun hal ini hanya
berlaku sebatas pada kalangan pendukung paslon Jokowi-Ma�ruf semata. Hal itu pun juga dikemukakan oleh Shils dengan menekankan bahwa keterikatan kelompok primer (antara komunitas yang erat, lingkungan, keluarga) justru berada di dasar �solidaritas moral� kelompok yang kemudian harus dikontraskan dengan �individualisme anomik�, yakni yang tidak dibatasi oleh sebuah standar moral umum yang biasanya menjadi karakteristik dari masyarakat urban modern di
mana aspek kesamaan asal daerah yang hendak ditawarkan kepada masyarakat Banten relatif tidak menjadi
sesuatu yang terlampau diperhatikan.�
Meskipun, perspektif
dari Allahar (1996) justru
menitikberatkan bahwa keterikatan yang kuat pada kelompok primer misalnya, kelompok kekerabatan seseorang, bukanlah fungsi interaksi sederhana di antara anggota, juga bukan sekadar masalah pengaruh atau emosi.
Pasalnya, keterikatan tidak mudah dijelaskan
dengan kata-kata karena mencakup jenis ikatan mendalam yang unik yang tidak dianggap perlu oleh orang lain untuk diartikulasikan secara sadar mengingat
hal tersebut kerap dianggap sebagai suatu makna
tertentu yang tak terlukiskan dikaitkan dengan ikatan darah.
Akan tetapi, keterikatan
yang terjalin itu sendiri memiliki kualitas yang sakral, sehingga anggota kelompok yang sama juga merasakan persekutuan spiritual melalui sebuah "kesadaran kolektif" yang ekstrim dengan sesamanya sekalipun mereka tidak saling
mengenal secara langsung serta tidak terlalu peduli
satu sama lain secara pribadi.
Hal inilah yang kemudian relatif terjadi dalam konteks
penggunaan sentimen keagamaan khususnya dalam konteks pada paslon Prabowo-Sandi di mana ikatan
relasional primordial yang terbentuk
lebih didasarkan pada kesadaran kolektif yang dikonstruksikan oleh segenap elemen pendukung yang cenderung didominasi oleh organisasi-organisasi massa keagamaan, seperti Fpi, Pa 212, Gnpf-U, Ijtima Ulama, dan lain sebagainya.
Walaupun pada akhirnya, hal tersebut dalam
realitasnya juga tidak jarang dianggap menimbulkan tingkat pengabdian dan komitmen yang relatif tidak kritis
di antara para penganutnya.
Hal itu dikarenakan dalam konteks mobilisasi politik, keterikatan primordial cenderung terlihat buta dan bahkan tidak rasional karena hanya didasarkan
pada pandangan subjektif
dan kepentingan situasional
dalam pemilu semata. Sementara sesaat setelahnya, hal tersebut dapat
berangsur-angsur mengalami perubahan secara fluktuatif karena relatif bergantung pada situasional yang berkembang, seperti hasil pemilu
yang sekalipun menempatkan kemenangan pada paslon
Prabowo-Sandi untuk konteks
provinsi Banten, namun tidak untuk kemenangan
dalam lingkup nasional yang diraih oleh paslon Jokowi-Ma�ruf.
Sementara dalam menjelaskan keterkaitan antara primordialisme agama dengan kemunculan kelompok-kelompok politik, hal ini tidak
dapat dipisahkan dari bagaimana penggunaan sentimen keagamaan dimaknai oleh segenap elemen pendukung dan pemenangan
masing-masing paslon di provinsi
Banten saat pilpres 2019 (Nurjaman,
2021). Dalam
hasil wawancara dengan para narasumber, diperoleh pemahaman yang membuktikan pandangan kaum konstruksionis mengenai agama bahwa hal tersebut dikonstruksikan
dengan alasan politik dan ekonomi.
Selain itu, hal tersebut juga dijadikan sebagai �identitas� penanda yang membedakan antara paslon yang didukung dengan paslon yang tidak didukung, seperti yang tercermin dalam perdebatan wacana dan tren sentimen keagamaan antara paslon Jokowi-Ma�ruf yang cenderung negative akibat diwarnai berbagai isu seperti
keislaman yang diragukan, anasir Pki, berjarak
dengan tokoh-tokoh agama khususnya ulama, dan lain sebagainya
dengan paslon Prabowo-Sandi
yang cenderung positif karena dianggap didukung oleh tokoh-tokoh keagamaan yang populer dan organisasi-organisasi massa keagamaan yang memiliki fanatisme dan militansi yang relatif kuat, seperti
Fpi, Pa 212, Gnpf-U, Ijtima Ulama, dan lain-lain.
Akibatnya, hal itu kemudian memunculkan
kelompok-kelompok politik
yang berbasiskan pada motif politik
dan ekonomi di tengah konteks perebutan sumber-sumber daya politik dan ekonomi dalam pilpres 2019. Dengan kata lain, pendapat dari Hasenclever & Rittberger (2000) pun menjadi
relevan untuk diajukan di mana agama kemudian dilihat sebagai variabel intervensi, yakni sebagai faktor
penyebab intervensi konflik antara segenap elemen pendukung dan pemenangan
masing-masing paslon dan pilihan
perilaku konflik untuk memilih menggunakan
atau tidak menggunakan agama sebagai bagian dari konten
kampanye.
Kesimpulan
Berdasarkan temuan yang diperoleh maka kesimpulan dari penelitian ini yaitu: Pertama,
berdasarkan motif, yaitu karena faktor karakteristik
masyarakat Banten yang cenderung
agamis dan faktor kebutuhan
elektoral untuk dapat memperoleh simpati dan dukungan dari masyarakat (pemilih). Dalam kaitannya dengan faktor karakteristik masyarakat di provinsi Banten
yang dianggap cenderung
agamis, dapat diperoleh pemahaman bahwa masing-masing tim pemenangan paslon presiden dan wakil presiden menggunakan isu/sentimen primordial, baik itu yang berupa
aspek kedaerahan maupun keagamaan karena hendak menyesuaikan
diri dengan karakteristik demografis masyarakat di provinsi Banten.
Kedua, berdasarkan bentuknya, yakni berdasarkan aspek kesamaan asal daerah serta
aspek keagamaan. Pada aspek kesamaan asal daerah, tercatat
hanya paslon Jokowi-Ma�ruf yang menggunakannya sebagai salah satu konten atau isu
kampanye di provinsi
Banten. Hal itu dilakukan melalui berbagai metode/cara yang umumnya ditujukan untuk menciptakan kesan bahwa paslon
Jokowi-Ma�ruf memiliki kesamaan dari segi
kedaerahan dengan masyarakat di provinsi Banten. Metode/cara-cara yang digunakan seperti memasang baliho/spanduk hingga menyampaikan seruan agar sebagai sesama orang Banten untuk memilih paslon
yang juga berasal dari
orang Banten.
Ketiga, berdasarkan dampak yang ditimbulkan antara lain munculnya kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan dukungan serta menguatnya simbol atau aspek primordial dalam politik khususnya
pada konteks perebutan posisi-posisi politik di lembaga formal melalui kontestasi pemilu. Dalam konteks kemunculan
kelompok-kelompok yang memiliki
perbedaan dukungan, tidak dapat dipisahkan
dari bagaimana masyarakat di provinsi Banten kemudian menjadikan sentimen primordial khususnya
yang berbasiskan pada aspek
keagamaan sebagai pertimbangan di dalam menentukan preferensi politiknya masing-masing.
BIBLIOGRAPHY
Allahar, A. L. (1996). Primordialism and ethnic
political mobilisation in modern society. Journal of Ethnic and Migration
Studies, 22(1), 5�21.
Bayar,
M. (2009). Reconsidering primordialism: an alternative approach to the study of
ethnicity. Ethnic and Racial Studies, 32(9), 1639�1657.
https://doi.org/10.1080/01419870902763878
Creswell,
J. W. (2012). Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed,
Pustaka Pelajar. Yokyakarta.
Creswell,
J. W., & Creswell, J. D. (2017). Research design: Qualitative,
quantitative, and mixed methods approaches. Sage publications.
Giddens,
A. (1981). A contemporary critique of historical materialism. Vol. 2, The
nation-state and violence. Polity.
Greetz,
C. (1963). Old societies and new states: The quest for modernity in Asia and
Africa. Free Press.
Haboddin,
M. (2015). Politik primordialisme dalam pemilu di Indonesia. Universitas
Brawijaya Press.
Hasenclever,
A., & Rittberger, V. (2000). Does religion make a difference? Theoretical
approaches to the impact of faith on political conflict. Millennium, 29(3),
641�674. https://doi.org/10.1177/03058298000290031401
Kaufmann,
E. (2012). Primordialists and constructionists: A typology of theories of
religion. Religion, Brain & Behavior, 2(2), 140�160.
https://doi.org/10.1080/2153599X.2012.680025
Mardiansyah,
A. (2001). Negara Bangsa dan Konflik Etnis: Nasionalisme vs Etno-Nasionalisme. Jurnal
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 4(3), 289�316.
Nurjaman,
A. (2021). Tantangan primordialisme dalam upaya membangun budaya politik
nasional. Satwika: Kajian Ilmu Budaya Dan Perubahan Sosial, 5(2),
367�380.
Rizqi,
A. R. (2020). Pancasila in the primordialism and modernism intersections. International
Conference on Agriculture, Social Sciences, Education, Technology and Health
(ICASSETH 2019), 24�28.
Rozi,
S. (2013). Konstruksi identitas agama dan budaya etnis minangkabau di daerah
perbatasan: perubahan identitas dalam interaksi antaretnis di rao kabupaten
pasaman sumatera barat. Masyarakat Indonesia, 39(1), 215�245.
Rozi,
S. (2016). Noor, Firman dkk. (2009). �Nasionalisme, Demokratisasi, dan Sentimen
Primordialisme di Indonesia: Problematika Identitas Keetnisan versus
Keindonesian pada Studi Kasus Aceh, Papua, Bali, dan Riau�. Jurnal Penelitian
Politik Vol. 6, No. 1. Jakarta: Lembaga. Jurnal Penelitian Politik, 6(1),
75�84.
Shils,
E. (1957). Primordial, personal, sacred and civil ties: Some particular
observations on the relationships of sociological research and theory. The
British Journal of Sociology, 8(2), 130�145.
Sugiyono, D. (2010). Metode penelitian
kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 26�33.
Sutopo,
A. H., & Arief, A. (2010). Terampil mengolah data kualitatif dengan NVIVO. Jakarta:
Prenada Media Group.
Copyright holder: Heri Handoko, Syahrul
Hidayat (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |