Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 7, Juli 2023
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN YANG TERJEBAK
DALAM PINJAMAN ONLINE
Shinta Dhea Salma
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Keberadaan teknologi telah memudahkan masyarakat dalam beraktivitas, bahkan kini menjadi
bagian dari kebutuhan pokoknya. Adapun kemudahan lain yang ditawarkan, yakni meminjam dana. Bagi masyarakat yang sedang membutuhkan dana baik dalam keadaan
pemenuhan kebutuhan, modal usaha, maupun keadaan
terdesak, mereka akan memanfaatkan keberadaan aplikasi pinjaman online. Syarat-syaratnya
bahkan sangat mudah begitu juga dalam proses pencairanya. Inilah yang membuat masyarakat tergiur untuk menggunakan
aplikasi tersebut. Namun di dalamnya tidak menjamin perlindungan hukum karena ketiadaan instrumen hukum di dalam suatu perjanjian
yang dilakukan kedua belah pihak. Dalam
penelitian ini digunakan metode deskriptif kualitatif. Tujuanya adalah untuk memahami adanya perlindungan hukum bagi konsumen
khususnya yang terdampak pinjaman online. Hasilnya adalah terdapat hukum maupun peraturan
yang mengatur mengenai pinjaman online. Disana juga tercantum mengenai perlindungan konsumen. Adapun langkah tegas diambil
pemerintah yang berkolaborasi
dengan OJK dan Kominfo dalam rangka memberantas
kejahatan fintech ilegal.
Hal ini dalam rangka melindungi masyarakat dan menumbuhkan masyarakat mengenai edukasi finansial.
Kata Kunci: Teknologi; Pinjaman Online;
Hukum
Abstract
The existence of technology has made it easier for people to do their
activities, even now it is part of their basic needs. Another convenience
offered is borrowing funds. For people who are in need of funds both in meeting
their needs, business capital, and in urgent situations, they will take
advantage of the existence of online loan applications. The conditions are very
easy as well as the disbursement process. This is what makes people tempted to
use the application. However, it does not guarantee legal protection because of
the absence of legal instruments in an agreement made by both parties. In this
study used a qualitative descriptive method. The aim is to understand that
there is legal protection for consumers, especially those who use online loans.
The result is that there are laws and regulations governing online loans. There
is also listed regarding consumer protection. The government took firm steps in
collaboration with OJK and Kominfo in order to
eradicate illegal fintech crimes. This is in order to protect the community and
manage the community regarding financial education.
Keywords: Technology; Online Loans; Law
Pendahuluan
Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah membawa
perubahan besar pada kehidupan masyarakat (Danuri, 2019). Hal ini dapat
terlihat bagaimana aktivitas keseharian mereka dipermudah oleh kehadiran teknologi tersebut. Ini menandakan
bahwa teknologi telah menjadi salah satu dari kebutuhan
pokok masyarakat. Segala macam hal
dapat dilakukan, mulai dari berinteraksi
melalui media sosial, berkomunikasi jarak jauh, memperoleh informasi dengan cepat dan singkat, pengembangan potensi dan bakat diri, hingga
memperoleh uang.
Dalam hal ini, teknologi
juga dapat dijadikan sebagai sumber penghasil uang atau menata karir (profesi).
Keberadaan teknologi ini akan berdampak
positif bagi mereka yang mampu menguasainya. Namun akan berdampak buruk ketika diperbudak
olehnya. Jadi, perlu bagi seseorang untuk mempelajari dan memahami bagaimana memanajemen teknologi dengan baik sehingga
waktu produktifnya tidak terbuang percuma hanya karena
terlalu sibuk dengan membandingkan diri di media sosial.
Saat ini, teknologi bukan saja sebagai
bagian dari kehidupan, namun juga sebagai penyelamat. Seperti misalnya terdapat seseorang yang membutuhkan dana cepat baik itu untuk
keperluan pemenuhan kebutuhan, modal usaha, maupun membayar hutang. Mereka sadar bahwa kemampuan
dan jaminan nya minim untuk meminjam di lembaga keuangan resmi macam bank, sehingga jalan pintas dengan persyaratan
mudah ditempuh. Dalam dunia
fintech (financial technology), kehadiran peer
to perr lending merupakan
pilihan bagi orang-orang
yang terdesak tersebut (Maulana, 2020).
Persyaratan yang
sangat mudah dan tanpa jaminan inilah yang menjadi umpan oleh perusahaan tersebut untuk menggaet calon konsumen. Debitur hanya perlu
mendapat kartu tanda pengenal korban yang kemudian dilakukan wawancara singkat mengenai mekanisme peminjaman, bunga, dan metode pengembalian. Berikutnya dimintakan nomor rekening dan akhirnya berbuah kesepakatan uang tersebut akan di transfer.
Dalam proses pencairan dana tersebut tentu saja akan
sangt mudah mengingat para peminjam membutuhkan uang di keadaan terdesak. Hal ini pada akhirnya mengesampingkan resiko-resiko yang akan diterimanya di masa depan membuat kehidupanya akan semakin tidak
tenang. Dalam beberapa kasus, mayoritas yang dialami oleh mereka yang tersendat dalam pembayaran adalah ancaman baik secara lisan,
maupun tulisan. Ancaman
yang paling umum adalah penyebaran data pribadi atau foto si
korban kepada rekan atau saudaranya.
Mereka akan dipermalukan hingga pada akhirnya melunasi tunggakannya. Dapat dipahami bahwa bunga yang ditawarkan oleh P2P Lending ini cukup tinggi
dan sangat mencekik. Bahkan
denda yang dikenakan juga tidak kalah besar.
Inilah yang membuat para kreditur merasa berat dalam mengangsur
pembayaran tersebut. Memang pemerolehan danaya didapatkan dengan mudah, namun
mereka melupakan resiko besar yang akan dihadapi di kemudian hari. Diperlukanya langkah edukasi yang matang mengenai dampak-dampak negatif dari pinjaman
online ini. Lalu pemerintah
diupayakan untuk mensosialisasikan dampak buruk dari pinjaman
online da mempersuasi masyarakat
untuk meminjam dana dari lembaga keuangan
resmi sehingga tidak akan menyengsarakan
masyarakat.
Dari
latar belakang ini, maka akan
ditemukan masalah mengenai keberadaan penjaminan perlindungan hukum bagi para korban yang terjebak dalam pinjaman online. Mengingat mereka melakukanya secara sadar dan menyanggupinya untuk melalui resiko yang ada. Maka berikutnya
peneliti akan berupaya memberdah aturan hukum dan mekanisme mengenai pinjaman online dan penjaminan perlindungan hukum bagi nasabah yang sudah terlanjur terjerumus dan sedang menghadapi dampak negatif dari pinjaman
online.
Metode Penelitian
Metode Penelitian ini
menggunakan 2 (dua) pendekatan masalah, yaitu :Pendekatan pertama dalam
penelitian ini adalah statute approach
atau pendekatan peraturan perundang-undangan. Statute approach adalah suatu legal
research yang menempatkan pendekatan peraturan perundang-undangan sebagai
salah satu pendekatan. Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang ada sangkut pautnya dengan isu
hukum yang sedang ditangani. Pendekatan kedua yang digunakan adalah Pendekatan
konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan mencari teori serta
doktrin yang telah ada untuk dijadikan suatu acuan agar dapat memahami suatu
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dalam membangun suatu argumentasi hukum
dalam memecahkan isu yang sedang dihadapi.
Hasil dan Pembahasan
Maraknya aksi pinjaman online saat ini telah
membawa dampak yang cukup meresahkan. Mereka yang masih meampu dalam membayar
tentunya akan terhindar dari permasalahan yang ditimbulkan di kemudian hari. Namun mereka yang tidak dapat membayar
akan selalu dihantui perasaan gelisah seolah-olah kehidupan mereka diteror. Mereka dipermalukan dan diancam seolah-olah penyelenggara telah memiliki kuasa atas korbanya.
Inilah yang perlu disadar dan diupayakan untuk dihindari oleh masayrakat yang akan meminjam uang. Mereka harus memimikkan secara lantang dan mencari informasi-ingormasi yang seluas-luasnya agar terhindar dari malapetaka yang ditimbulkan akibat salah memilih keputusan.
Dalam penegakan hukumnya, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan tentu hanya bisa
melakukan edukasi, sosialisasi dan pencegahan (Suyanto, Nugroho, &
Surahmad, 2018). Hal ini lantara banyaknya ditemukan situs-situs maupun aplikasi-aplikasi P2P
Lending yang ilegal. Hal ini
juga diperburuk dengan mudahnya sebagian masayrakat tergiur dengan iming-iming kemudahan peminajamn sehingga mereka sangat rentang dipengaruhi oleh penyelenggara ini. Sasaranya adalah bagi mereka yang minim waasan atau dalam
keadaan terdesak.
Kegiatan pinjam-meminjam berbasis teknologi ini sesungguhnya telah diatur dalam
Pasal 1 Angka 3 POJK 77/POJK.01/2016 yang menyebutkan �Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk
mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan
perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung� (Fais, 2021).
Jadi,
segala macam bentuk pinjaman tentunya didasarkan atas adanya perjanjian
juga jaminan sehingga dalam tahap melakukan
angsuran, peminjam akan memiliki motivasi
yang didasarkan atas isi perjanjian juga barang yang dijaminkan untuk melunasi tanggung jawabnya. Namun, dalam pinjaman
online, hal ini seolah-olah dikesampingkan. Jaminan yang digunakan hanya identitas diri sehingga pemerolehan
uang secara instan dan mudah dapat segera
dicairkan. kemudahan tersebutlah yang membuat masyarakat lebih condong menggunakan jasa tersebut ketika
di lembaga resmi atau legal, persyaratanya masih dianggap sulit.
Dalam suatu perjanjian, hal ini telah
diatur dalam asas-asas utama Hukum Perjanjian pada KUHPerdata yang
mana terdapat 5 asas utama Sinaga (2018), yakni: a) Asas
kebebasan berkontrak
(freedom of contract). b) Asas konsensualisme
(concensualism). c) Asas kekuatan mengikat (pacta sunt servanda). d) Asas itikad baik (good faith). e) Asas kepribadian (personality).
Jadi dapat dipahami
bahwa dalam melakukan suatu perjanjian, maka semua pihak perlu
memahami asas-asas hukum perjanjian sehingga timbul perasaan yang akan saling menghormati dan mematuhi perjanjian tersebut dalam rangka menghindari wanprestasi yang dilakukan oleh
salah satu pihak (Nainggolan, 2022). Berikutnya dalam
KUHPerdata Pasal 1338 disebutkan �semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang � undang bagi mereka
yang membuatnya�. Dalam pemahaman di Pasal tersebut, dijelaskan bahwa perjanjian yang telah disepakati akan sah berlaku
sebagai UU bagi yang menjalankanya, jadi perjanjian ini akan mengikat para pihak untuk bertanggung
jawab penuh dalam melaksanakan poin-poin kesepakatan yang telah ditandatangani.
Oleh
karena itu, dalam peraturan-peraturan di atas telah ditunjukan
bagi penyelenggara maupun peminjam ketika akan melakukan
kegiatan transaksi (pinjam-meminjam), diperlukan suatu kesepakatan atau perjanjian diatas kertas dengan
berbagai poin yang harus dipatuhi. Hal ini demi menghindarkan terjadinya pelanggaran hukum idatara kedua
belah pihak. Pihak penyelenggara dapat melakukan gugatan ketika tidak ada itikad
baik dari kreditur untuk membayar tunggakan dan hal tersebut telah
diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer) tentang Wanprestasi. Jadi sederhananya adalah, terdapat hukum resmi yang akan membantu dalam penyelesaian perkara tersebut secara berkeadilan.
Namun, hal ini tidak berlaku dalam pinjaman online dimana dalam penerapannya mengesampikan syarat-syarat hukum tersebut seperti adanya perjanjian dan penjaminan. Debitur menyadari bahwa syarat-syarat yang ada akan sulit diterapkan karena hal tersebut tidak akan dapat memancing minat konsumen untuk masuk dalam jebakan nya. Namun sebagai fintech yang legal dan resmi, tentunya mereka harus mematuhi baik dari POJK maupun UU yang berlaku sebagai langkah pelayanan kepada masyarakat dan konsumen juga merasa terlindungi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (Syafutri, 2023).
Hanya
saja, Konsumen tidak memperoleh perlindungan maksimal dari peraturan tersebut mengingat kejadian yang dilakukannya adalah sengaja dan secara sadar (Kristiyanti, 2022). Disamping itu,
ketiadaan surat perjanjian yang berasaskan hukum juga makin menyulitkan pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada konsumen (Ady, Nisrina, Ramadhani,
& Irawan, 2022). Padahal, hal
ini juga telah diatur sebagai persyaratan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu kesepakatan, kecakapan,kausa yang halal, hal tertentu dalam
hal ini proses penyelenggaraan pinjaman antara pemberi dan penerima telah sepakat dan diterangkan dalam dokumen baik
tertulis maupun elektronik. Kalaupun ada hukum yang memberikan perlindungan, tentunya diperlukan bukti-bukti konkret dan legal berdasarkan pada aturan hukum yang ada.
Disamping itu, karena banyaknya
kasus yang menyangkut tentang pinjaman online berikut penyelenggaranya juga
yang menjamur membuat pengamanan ini cukup sulit (Pardosi & Primawardani,
2020). Oleh karena itu, langkah konkret pemerintah melalui OJK hanya dapat mencegah
terjadinya dampak pinjaman online tersebut melalui edukasi dan sosialisasi (Nasution, 2017). Adapun langkah yang sedang diupayakan pemerintah yakni pemburuan Ilegal
Fintech hingga pencabutan
izin operasionalnya. Langkah
tegas pemerintah dilakukan karena para debitur ilegal ini telah melakukan
pelanggaran setidaknya terdapat 14 jenis pelanggaran hukum dan HAM yang perlu untuk ditindaklanjuti
karena telah meresahkan dan merugikan.
Adapun
ke-14 pelanggaran tersebut,
diantaranya: a) Bunga yang sangat tinggi.
b) Ancaman fitnah, penipuan,
dan pelecehan seksual. c) Penagihan yang tidak hanya dilakukan pada peminjaman atau kontak darurat yang disertakan oleh peminjam; d) Penyebaran foto dan informasi pinjaman ke kontak yang ada pada smartphone kreditur; e) Pencurian dan penyebaran data pribadi; f) Pengambilalihan hampir seluruh aksis yang terdapat di dalam Handphone pemilik; g) Kontak dan lokasi kantor penyelenggara yang tidak jelas; h) Biaya admin tidak jelas; i) Peminjam
yang sudah membayar pinjamannya namun tidak dihapus dengan
alasan tidak masuk dalam sistem;
j) Aplikasi bergant nama tanpa pemberitahuan
kepada peminjam, namun bunga terus
bekembang; k) Aplikasi yang
tidak dapat diakses bahkan tiba-tiba hilang dari aplikasi pengunduhan
ketika saat jatuh tempo; l) Penagihan dilakukan oleh orang yang berbeda;
m) Data KTP digunakan oleh penyelenggara
aplikasi online untuk mengajukan pinjaman ke aplikasi lain; n) Data KTP digunakan oleh penyelenggara aplikasi online untuk mengajukan pinjaman ke aplikasi lain; o) Data KTP digunakan oleh penyelenggara aplikasi online untuk mengajukan pinjaman ke aplikasi lain; p) Ketiadaan izin operasional penyelenggaraan.
Maka sebab itu, demi meminimalisir semakin meluasnya pelanggaran yang terjadi dalam rangka
melindungi konsumen dari kejahatan virtual tersebut, melalui Satuan Tugas Waspada
Investasi (Satgas WI) yang merupakan gabungan dari OJK yang bekerjasama dengan Bareskrim POLRI (Badan Reserse dan Kriminal Polisi Republik Indonesia) serta Kominfo (Kementerian Informasi), dilakukan penindakan tegas dengan memblokir
aplikasi yang tidak berizin atau terdaftar
dalam OJK sesuai dengan POJK No.77/POJK.01/2016. Selain
itu, langkah konkret lainya adalah mengajak masyarakat untuk meminjam uang di tempat yang
legal dan terdaftar, mengedukasi
masyarakat agar melek teknologi dan cerdas dalam mengatur dan mengelola keuangan. Hal ini penting sebagai
upaya pemerintah dalam membangun kesadaran masyarakat akan berbagai macam
bahaya yang terdapat dalam fintech illegal beserta
ancamannya.
Kesimpulan
Perkembangan teknologi
yang semakin pesat telah menjadi bagian
dari salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Hal tersebut membuat aktivitas masyarakat semakin dimudahkan karena teknologi. Bahkan kini, penggunaan teknologi bukan saja sekedar membantu,
namun juga memperoleh dana.
Seperti ketika mereka meniti karir
atau profesi, hingga memperoleh dana pinjaman, dapat dilakukan hanya melalui genggaman. Namun, kemudahan yang ditawarkan oleh pinjaman online tidak sebanding dengan kenyamanan dan keamanan yang diberikannya.
Tidak sedikit
kasus gagal bayar yang berujung pada aksi teror penyelenggara.
Saking banyaknya penyelenggara aplikasi ini, penangananya pun menjadi lambat, namun terus menimbulkan
korban. Tidak adanya perjanjian tertulis bersyarat hukum dan minimnya edukasi serta wawasan masyarakat
merupakan permasalahan inti
dari maraknya aksi tersebut. Oleh karena itu, baik
pemerintah, POLRI, maupun
OJK melakukan kolaborasi melalui peraturan-peraturan, Undang-Undang, dan penindakan tegas dalam rangka
menciptakan keamanan, kenyamanan, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Mengedukasi dan menggugah kesadaran masyarakat untuk cermat dalam mengelola
keuangan dilakukan untuk menciptakan suasana yang kondusif.
Ady, Eka Nadia Septiani, Nisrina, Faiza Batrisya,
Ramadhani, Fidyah, & Irawan, Ferry. (2022). Urgensi KUHD Dalam Menangani
Risiko Kejahatan Siber Pada Transaksi E-Commerce: Pentingnya Kodifikasi
Ketentuan Umum Hukum Dagang sebagai respon pemerintah terhadap perlindungan
konsumen dalam transaksi e-commerce. Journal of Law, Administration, and
Social Science, 2(1), 45�55.
Budiyanti,
Eka. (2019). Upaya Mengatasi Layanan Pinjaman Online Ilegal. Jurnal Pusat
Penelitian Badan Jurnal Pusat Penelitian Badan, 19�24.
Danuri,
Muhamad. (2019). Perkembangan dan transformasi teknologi digital. Jurnal
Ilmiah Infokam, 15(2).
Fais,
Kalsum. (2021). Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Tegnologi Informasi. Al-Adl: Jurnal Hukum, 13(1), 70�90.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. (2022). Hukum
perlindungan konsumen. Sinar Grafika.
Maulana,
Hawin Iqbal. (2020). Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Peer to Peer Lending).
Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.
Nainggolan,
Nicholas. (2022). Analisis Hukum Ganti Kerugian Akibat Wanprestasi Dalam Perjanjian
Jual Beli Tanah (Studi Putusan Nomor 628/Pdt. G/2020/Pn. Jkt. Tim).
Nasution,
Alvin Hamzah. (2017). Fungsi perlindungan Otoritas Jasa Keuangan terhadap
nasabah deposan. JUPIIS: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, 9(1),
1�19.
Nugroho,
Hendro. (2020). Perlindungan Hukum bagi Para Pihak dalam Transaksi Pinjaman
Online. Jurnal Hukum Positum, 5(1), 32�41.
Pardosi,
ROAG, & Primawardani, Yuliana. (2020). Perlindungan Hak Pengguna Layanan
Pinjaman Online Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (Protection of the Rights of
Online Loan Customers from a Human Rights Perspective). Jurnal Ham, 11(3),
353�367.
Priliasari,
Erna. (2019). Pentingnya Perlindungan Data Pribadi Dalam Transaksi Pinjaman
Online. Majalah Hukum Nasional, 49(2), 1�27.
Sinaga,
Niru Anita. (2018). Peranan asas-asas hukum perjanjian dalam mewujudkan tujuan
perjanjian. Binamulia Hukum, 7(2), 107�120.
Suyanto,
Heru, Nugroho, Andriyanto Adhi, & Surahmad, Surahmad. (2018). Tanggung
Jawab Otoritas Jasa Keuangan dalam Penanggulangan Penipuan Investasi. Pamulang
Law Review, 1(1), 15�30.
Syafutri,
Gempita E. K. A. (2023). Perlindungan Hukum Bagi Debitur Pinjaman Fintech
(Fintech Lending) Yang Di Rugikan Dalam Transaksi Pinjaman Uang Secara Online
Pada Aplikasi" Ada Kami". Universitas Batanghari Jambi.
Sugangga,
Rayyan, & Sentoso, Erwin Hari. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna
Pinjaman Online (Pinjol) Ilegal. Pakuan Justice Journal of Law (PAJOUL),
1(1), 47�61.
Triasih,
Dharu, Muryati, Dewi Tuti, & Nuswanto, A. Heru. (2021). Perlindungan Hukum
Bagi Konsumen dalam Perjanjian Pinjaman Online: Legal Protection for Consumers
in Online Loan Agreements. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri
Semarang, 7(2), 591�608.
Wahyuni, Raden Ani Eko, & Turisno, Bambang Eko.
(2019). Praktik Finansial Teknologi Ilegal Dalam Bentuk Pinjaman Online
Ditinjau Dari Etika Bisnis. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 1(3),
379�391.
Copyright holder: Shinta Dhea Salma (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |