Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

ANALISIS PREDATORY PIERCING DALAM PRAKTIK FLASH SALE DENGAN FITUR LIVE STREAMING PADA APLIKASI TIKTOK

 

Chica Octa Andinda, Gunardi Lie, Moody Rizqy Syailendra Putra

Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara Jakarta, Indonesia

E-mail: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Meningkatnya jumlah dan nilai transaksi e-commerce khususnya di Indonesia membuat semakin terbukanya peluang terjadinya tindakan persaingan usaha bahkan kini semakin banyak fitur yang disediakan dalam melakukan penjualan seperti adanya flash sale dengan fitur live steaming yang dilakukan oleh penjual terutama dalam aplikasi Tiktok. Peningkatan teknologi ini memanglah sangat berdampak besar terhadap ekonomi oleh karena itu tulisan ini meneliti mengenai apakah flash sale live streaming yang dilakukan berbagai e-commerce terutama aplikasi Tiktok termasuk dalam predatory piercing karena melakukan penjualan dengan potongan harga besar-besaran dan pada umumnya berlangsung dengan batasan waktu. Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, yang mana sebagian besar penelitian ini berhubungan dengan setiap peraturan baik yang dalam bentuk tertulis yang tentunya berkaitan erat dengan studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa praktik flash sale pada aplikasi Tiktok dengan fitur live streaming tidaklah serta merta dapat digolongkan sebagai perbuatan predatory pricing karena hal ini tidak memicu timbulnya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebgaimana seperti yang dimuat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

 

Kata kunci: Predatory piercing, E-Commerce, flash sale, Persaingan usaha, Monopoli, live streaming.

 

Abstract

The increasing number and value of e-commerce transactions, especially in Indonesia, has opened up opportunities for business competition to take place, even now more and more features are provided in making sales, such as flash sales with live steaming features carried out by sellers, especially in the Tiktok application. This technological improvement has indeed had a major impact on the economy, therefore this paper examines whether live streaming flash sales carried out by various e-commerce, especially the Tiktok application, are included in predatory piercing because they make sales at massive discounts and generally take place within a time limit. . The writing of this article uses the normative juridical law research method, in which most of this research relates to every regulation both in written form which is of course closely related to literature studies. The results of this study explain that the practice of flash sales on the Tiktok application with live streaming features cannot necessarily be classified as an act of predatory pricing because this does not trigger monopolistic practices and unfair business competition as stated in Law no. 5 of 1999.

 

Keywords: Predatory piercing, E-Commerce, flash sale, Business competition, Monopoly, live streaming

 

Pendahuluan

Perkembangan teknologi dan informasi yang berkembang pesat telah berhasil memajukan aspek di seluruh bidang kehidupan manusia. Salah satu kemajuan tersebut terjadi di bidang perdagangan (Hasan & Azis, 2018). Transaksi perdagangan yang pada awalnya hanya dilakukan melalui pola konvensional secara tatap muka, kini dapat dilakukan secara online melalui media internet (Hotana, 2018). Electronic Commerce atau disingkat dengan e-commerce berarti transaksi paperless dimana inovasi seperti pertukaran data elektronik, Surat elektronik, papan buletin elektronik, transfer dana elektronik dan teknologi berbasis jaringan lainnya diterapkan berdasarkan jaringan (Hotana, 2018).

E- Commerce dapat dipahami sebagai sebuah transaksi perdagangan atau jual beli yang dilakukan secara online dengan menggunakan bantuan jaringan internet (Hidayat, 2020). Semakin berkembangnya jumlah transaksi e- commerce di Indonesia tentunya juga mendorong bertumbuhnya jumlah pelaku usaha pada sektor tersebut oleh karena itu semakin banyaknya jumlah pelaku usaha maka pasti kondisi persaingan usaha dalam transaksi bisnis juga menjadi semakin memanas (Hidayat & Alifah, 2022).

Dalam hal ini, adanya persaingan dalam mekanisme pasar akan memacu pelaku usaha berinovasi untuk menghasilkan produk yang bervariatif dengan harga bersaing dan akan dapat menguntungkan produsen maupun konsumen bahkan semakin maju teknologi penjual semakin pandai berinovasi dalam melakukan penjualan terutama dengan melakukan penjualan dengan live streaming atau video siaran langsung dimana penonton dapat melihat langsung display barang yang akan dibeli namun apa yang terjadi jika siaran langsung ini melakukan jual rugi atau disebut predatory pricing. Predatory pricing atau jual rugi ini sendiri diartikan sebagai upaya pelaku usaha yang cenderung menjual harga sangat murah, dalam jangka waktu tertentu, yang dimaksudkan untuk mematikan usaha pesaing (A. F. Lubis, 2020). Setelah menjadi satu-satunya pelaku usaha dominan di dalam pasar, pelaku predatory pricing akan menaikkan harga secara signifikan untuk menutupi kerugiannya di awal (A. F. Lubis, 2017).

Hal ini menjadi sesuatu yang perlu diingat bahwa persaingan usaha harus dilakukan secara sehat untuk mencegah timbulnya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yang akan berdampak pada perekonomian negara. Untuk saat ini memang sudah ada Undang-Undang yang mengatur persaingan usaha yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Indonesia (Ningsih, 2019). Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis tertarik untuk mencoba mengkaji lebih lanjut mengenai persaingan jual beli dalam bentuk predatory pricing di fitur live streaming di aplikasi tiktok. Dengan mengangkat judul �Analisis Predatory Piercing Dalam Praktik Flash Sale Dengan Fitur Live Streaming Pada Aplikasi Tiktok.�

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka kami selaku Peneliti menyimpulkan rumusan masalah yaitu: 1) Bagaimana Analisis predatory pricing berdasarkan Hukum Persaingan Usaha? 2) Apakah praktik flash sale dengan fitur live streaming termasuk pada perbuatan predatory pricing yang berpotensi memicu praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat?

 

Hasil dan Pembahasan

A. Analisis Predatory Pricing Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha

Predatory Pricing merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh perusahaan atau penjual dalam menyingkirkan kompetitornya melalui penetapan harga di bawah ongkos produksi lalu setelah pesaing tersingkir dan tidak dapat masuk kembali ke dalam pasar, perusahaan tersebut akan menaikkan harga sehingga mendapatkan keuntungan yang besar dengan menyingkirkan pesaing (F. Lubis, 2017). Perbuatan jual rugi ini awalnya mungkin menguntungkan konsumen walau dalam waktu sementara atau sebentar namun setelah itu pelaku usaha yang melakukan jual rugi ini dapat melancarkan praktik monopoli dengan meningkatkan harga setelah para pesaingnya berhasil disingkirkan.

Pada dasarnya larangan terhadap jual rugi telah ditegaskan dan dituangkan didalam pasal 20 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang menyebutkan (Indonesia, 2012):

�Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat�

Dalam Pasal 20 tersebut secara tersirat mengandung pengertian jika melakukan jual rugi tidak seutuhnya dilarang asalkan tidak memiliki maksud untuk menyingkirkan atatu membinasakan usaha pesaingnya dan tidak memiliki dampak munculnya tidak sehatnya persaingan pada pasar (Febrina, 2017).

Berdasarkan rumusan Pasal 20 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 unsur-unsur yang bilamana seluruh unsur terpenuhi maka dapat dikatakan kegiatan tersebut merupakan predatory pricing unsur tersebut antara lain:

1.    Adanya pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ialah orang perorangan atau suatu badan usaha, baik berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

2.    Adanya pemasokan, unsur ini merujuk pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 yang menyebutkan Memasok adalah menyediakan pasokan, baik barang maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa menyewa, sewa beli, dan sewa guna usaha (leasing).

3.    Adanya barang penjelasan ini berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang berisikan� Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

4.    Unsur Jasa merujuk pada Pasal 1 angka 17 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

5.    Unsur Jual Rugi, berdasarkan teori ekonomi, jual rugi ialah suatu keadaan di mana pelaku usaha mematok harga jual yang lebih rendah dari average total cost dan pelaku usaha akan dikatakan mendapatkan untung apabila penjual menetapkan produknya diatas average total cost sehingga apabila penjual menjualnya dibawah rata-rata dapat kita katakan sebagai jual rugi.

6.    �Unsur Harga Yang Sangat Rendah, pelaku usaha menjual berangnya dengan harga dibawah patokan harga yang dijual oleh penjual lainnya.

7.    Unsur Dengan Maksud, dapat diartikan bahwa secara umum bahwa seseorang yang melakukan jual rugi memiliki tujuan atau maksud tertentu.

8.    �Unsur Menyingkirkan atau Mematikan, dapat diartikan bahwa pelaku usaha melakukan berbagai cara untuk menggeser pesaing lain dengan membuat jatuh pailit karena melakukan kerugian secara terus menerus.

9.    Unsur Usaha Pesaing,pelaku usaha lain ikut menjual produk yang serupa sehingga menimbulkan suatu persaingan.

10.    Unsur Pasar, merujuk pada Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa.

11.    Unsur Pasar Bersangkutan, terkait dengan unsur ini, perlu merujuk pada Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 berisikan Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.

12.    Unsur Praktik Monopoli, merujuk pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

13.    Unsur Persaingan Usaha Tidak Sehat, merujuk pada Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa �Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Oleh karena itu berdasarkan unsur-unsur diatas maka dapat dipahami apabila salah satu untuk tidak terpenuhi maka perbuatan yang dilakukan pelaku usaha tidak dapat dikategorikan sebagai predatory pricing atau tidak melakukan persaingan usaha tidak sehat. Predatory pricing baru dapat dinyatakan terjadi bilamana pelaku usaha pesaing tidak mampu bertahan, sehingga akhirnya memutuskan untuk menarik diri dari pasar (Putra et al., 2023).

B. Analisis Predatory Pricing Dalam Praktik Flash Sale Dengan Fitur Live Streaming

Pada zaman digitalisasi saat ini para pelaku usaha dan para pengembang aplikasi semakin berlomba-lomba dalam berinovasi terutama pada sektor penjualan dimana pelaku usaha dapat berjualan secara langsung melalui siaran langsung atau live streaming dan memberikan potongan harga miring dengan waktu singkat atau flash sale. Saat ini pun berbagai aplikasi e-commerce ikut memfasilitasi pelaku usaha dalam memberikan fitur live streaming terutama pada aplikasi Tiktok. Flash sale adalah promosi jangka pendek yang menawarkan diskon, cashback, atau pengiriman gratis kepada pembelanja yang berbelanja online pada e-commerce. Flash sale menawarkan harga yang sangat rendah bahkan memungkinkan dibawah harga produksi (Virgiawan, 2020). Namun pada praktiknya perusahaan e-commerce ini tidak melarang jika harga jual produk suatu barang tidak lebih tinggi dari pada harga produksi itu sendiri merupakan suatu aktivitas promosi yang dilangsungkan oleh pelaku usaha dalam jangka waktu yang singkat dengan cara memangkas harga atas suatu produk yang dilakukan melalui platform E-Commerce (Devica, 2020).

Umumnya telah banyak e-commerce yang menarik minat konsumen dengan aplikasinya yang mudah dalam berbelanja dan banyak fitur tambahan namun tidak dapat dipungkiri bahwa manusia merupakan makhluk visual yang lebih menyukai hal-hal yang menarik dan dapat langsung dilihat dalam video bukan hanya sekedar gambar sehingga peminat berbelanja di aplikasi Tiktok ini melonjak pesat dengan cepat karena mudahnya membeli barang dan dapat melakukan tanya jawab secara langsung dengan para host yang menjual barang mereka. Pada awalnya aplikasi ini melakukan flash sale hanya pada hari tertentu seperti pada menjelang hari-hari besar namun semakin banyak pembeli membuat para penjual seringkali melakukan flash sale secara acak pada saat live streaming dengan memberikan penawaran harga yang lebih murah pada pilihan produk yang terbatas dan pada waktu yang singkat sehingga pada saat selesai live streaming harga akan kembali pada harga normal dengan adanya hal ini membuat konsumen lebih memilih berbelanja pada saat penjual melakukan live streaming dan hal ini membuat pelaku usaha lain menjadi sepi pembeli sehingga praktik ini diduga melakukan predatory pricing. Namun, sebelumnya telah bahwa untuk menganggap suatu praktik sebagai predatory pricing haruslah dibuktikan sesuai dengan unsur-unsurnya yang tertuang dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

Pada praktik itu sendiri faktanya memanglah telah terjadi penjualan dengan harga yang lebih murah pada saat flash sale karena dijual dengan harga dibawah rata-rata harga jual pelaku usaha lain dan hal ini dapat diindikasikan sebagai predatory pricing. Namun kegiatan ini terdapat unsur yang tidak terpenuhi atau seharusnya perlu dibuktikan terlebih dahulu, sehingga tidak serta merta dapat dikatakan predatory pricing, yakni terdapat beberapa unsur yang tidak terpenuhi, diantaranya berupa unsur Dengan Maksud, Menyingkirkan atau Mematikan, Praktik Monopoli, serta Persaingan Usaha Tidak Sehat.

1.      Dengan Maksud Menyingkirkan atau Mematikan Pelaku Usaha Pesaing tidak serta merta terpenuhi karena pelaku usaha kemungkinan tidak bermaksud mematikan pesaing usaha dengan melakukan flash sale dalam live streaming. Karena pada dasarnya praktik flash sale yang dilangsungkan bukanlah ditujukan guna menimbulkan pemusatan kekuatan ekonomi dan/atau persaingan usaha tidak sehat, akan tetapi sekadar sebagai media promosi atas lapak yang dimiliki pihak pelaku usaha (Ardin, 2020). Hal ini dilakukan guna untuk mengangkat produknya agar naik dipasaran oleh karena itu hanya terjadi pada waktu singkat untuk mengindari kerugian yang lebih besar dan pemberian harga murah ini dapat saja dikarenakan biaya produksinya yang rendah karena diproduksi secara massal atau memang sedang melakukan penghabisan barang.

2.      Praktik Monopoli ini tidak serta merta terpenuhi karena sistem dalam e-commerce ini masuk kedalam pasar bebas dan tidak memiliki hambatan untuk masuk dan keluar atau barrier to entry and exit. Oleh karena itu, setelah pelaku usaha dapat memonopoli pasar dan menaikkan harganya, pelaku usaha pesaing yang sebelumnya telah keluar pasar dapat dengan mudah kembali ke dalam pasar dan menjadi pilihan konsumen (Prahmana & Wiradiputra, 2022).

3.      Unsur Persaingan Usaha Tidak Sehat ini tidak pula terpenuhi karena� pelaku usaha melakukan ini secara jujur dan memiliki tujuan lain yang dapat kita anggap tidak untuk merugikan orang pesaing lain.

Tetapi, predatory pricing ini dapat ditimbulkan oleh penerapan aktivitas flash sale, jika (Wijaksana & Elsina, 2023):

1.      Harga rata-rata pada pasar lebih rendah dari harga produksi

2.      Durasi waktu flash sale tidak dibatasi

3.      memiliki itikad buruk untuk menyingkirkan pelaku usaha pada pasar ataukah menghalangi pesaing lain memasuki pasar.

Dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sangat diperlukan untuk mengawasi setiap kegiatan usaha baik usaha kovensional maupun usaha berbasis online, sehingga para pelaku usaha dapat melakukan persaingan usaha yang sehat dengan cara KPPU melakukan pencegahan praktik monopoli serta persaingan usaha tidak sehat. Dalam hal praktik� predatory pricing dengan sistem flash sale melalui kegiatan live streaming �KPPU seharusnya dapat mendeteksi secara dini, dan melihat dengan cermat tindakan yang merujuk seperti jual rugi mana yang hanya tergolong strategi pemasaran dan tindakan jual rugi mana yang mengakibatkan adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa batu uji, seperti menunggu adanya akibat dari kegiatan promosi tersebut. Beberapa tes yang dapat digunakan untuk mengetahui apakah pelaku usaha e-commerce dengan fitur menjalankan praktik predatory pricing atau tidak. Beberapa test yang dapat dipakai guna mengetahui pelaku usaha melakukan praktik predatory pricing, yakni (Wijaksana & Elsina, 2023):

a.    Above-Cost Test

Meskipun penetapan harga produk ada di atas biaya produksi, pelaku usaha tetap dapat diduga memiliki itikad menyingkirkan atau mematikan pesaingnya.Jika keinginan pelaku usaha menguasai pasar telah tercapai selanjutnya keuntungan akan dinaikkan setinggi -tingginya karena pelaku usaha incumbent sadar bahwa telah tidak ada pesaing. Hal tersebut tentunya merugikan konsumen karena tidak memiliki pilihan lain dalam melakukan transaksi.

b.    Limit-Pricing Strategy

Strategi ini dikenal pada niat pelaku usaha dominan agar tetap berada pada posisi yang diinginkannya melalui cara menurunkan harga dengan tajam atau meningkatkan banyak produksi secara drastis. Dilaksanakannya hal tersebut memiliki tujuan agar pesaing baru tidak tertarik bergabung ke pasar. Strategi tersebut dilaksanakan dengan memperingatkan kepada pesaing yang akan bergabung di pasar, bahwa keberadaan pelaku usaha baru yang akan masuk ke pasar, berpengaruh pada penambahan produk yang memberikan dampak pada turunnya harga yang membuat kemungkinan terjadinya penjualan produk tanpa keuntungan. Sehingga pesaing baru yang bakal memasuki pasar akan berfikir dua kali untuk memasuki pasar.

 

Kesimpulan

Digitalisasi dan Perkembangan teknologi memang akan terus berkembang seiring berkembangnya zaman hal ini juga akan selalu melahirkan cara baru untuk melakukan kegiatan usaha sehingga hal ini menjadi tantangan sendiri untuk KPPU dan pelaku usaha untuk tetap dalam melakukan kegiatan usaha menjadi tantangan baru bagi pelaku usaha untuk tetap bersaing secara sehat serta menjadi hal yang harus ditingkatkan oleh KPPU untuk terus melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha serta memberikan perlindungan terhadap pelaku usaha yang dirugikan. Praktik Jual rugi ini seringkali digunakan pelaku usaha untuk berbagai tujuan ada yang memang menggunakan jual rugi ini untuk menggeser para pesaing namun adapula yang melakunnya sebagai promosi diawal ataupun untuk menghabiskan stock barang. Hal ini tergantung tujuan pelaku usaha itu sendiri . Namun, praktik flash sale pada fitur live stream tidak serta merta dapat digolongkan sebagai predatory pricing atau jual rugi karena tidak terpenuhinya unsur dengan maksud menyingkirkan atau mematikan pelaku usaha pesaing unsur akibat praktik monopoli dan unsur persaingan usaha tidak sehat. Meskipun begitu KPPU sebagai lembaga untuk persaingan usaha haruslah dapat mendeteksi secara dini akan tindakan mana yang tergolong persaingan usaha tidak sehat dengan melihat tujuan dan maksudnya terlebih dahulu serta pula membuktikan hal tersebut dengan uji atau test Above-Cost Test dan Limit-Pricing Strategy.


BIBLIOGRAFI

 

Ardin, W. N. (2020). Pengaruh flash sale dan tagline �gratis ongkir� shopee terhadap keputusan pembelian impulsif secara online. Universitas Sumatera Utara.

 

Devica, S. (2020). Persepsi konsumen terhadap flash sale belanja online dan pengaruhnya pada keputusan pembelian. Jurnal Bisnis Terapan, 4(1), 47�56.

 

Febrina, R. (2017). Dampak kegiatan jual rugi (predatory pricing) yang dilakukan pelaku usaha dalam perspektif persaingan usaha. Jurnal Selat, 4(2), 234�249.

 

Hasan, M., & Azis, M. (2018). Pembangunan Ekonomi & Pemberdayaan Masyarakat: Strategi Pembangunan Manusia dalam Perspektif Ekonomi Lokal. CV. Nur Lina Bekerjasama dengan Pustaka Taman Ilmu.

 

Hidayat, A. R. (2020). Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Jual Beli Online Account Game Mobile Legends: Bang Bang Dalam Tinjauan Fiqih Muamalah. Jurnal Syntax Admiration, 1(1), 13�22.

 

Hidayat, A. R., & Alifah, N. (2022). Analysis of The Basis of The Creative Economy in The Development Strategy of Economic Innovation. Asian Journal of Social and Humanities, 1(3), 95�104.

 

Hotana, M. S. (2018). Industri e-commerce dalam menciptakan pasar yang kompetitif berdasarkan hukum persaingan usaha. Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune, 1(1), 28�38.

 

Indonesia, R. I. N. (2012). Large Impacts of Indo-Pacific Climate Modes on The Extremie Streamiflows of Citarum. Journal of Global Environment Engineering, 17, 1�8.

 

Lubis, A. F. (2017). Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Gaya Mengajar Guru dan Motivasi Belajar Siswa Terhadap Prestasi Belajar Siswa. ITTIHAD, 1(01).

 

Lubis, A. F. (2020). Manajemen Kurikulum Berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) di Perguruan Tinggi Islam. Al-Tanzim: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 4(02), 146�158.

 

Lubis, F. (2017). Tinjauan Ketidaklengkapan Penulisan Resume Medis Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia (IPI) Medan Tahun 2016. Jurnal Ilmiah Perekam Dan Informasi Kesehatan Imelda (JIPIKI), 2(1), 229�234.

 

Ningsih, A. S. (2019). Implikasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada Pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 19(2), 207�215.

 

Prahmana, V. D., & Wiradiputra, D. (2022). Predatory Pricing Dalam E-Commerce Menurut Perspektif Hukum Persaingan Usaha. JISIP (Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan), 6(3).

 

Putra, W. B., Anggriawan, T. P., & Purwanto, A. M. D. C. (2023). Akibat Hukum Praktik Jual Rugi Semen Conch Dalam Persaingan Usaha Industri Semen di Indonesia. Jurnal Hukum, Politik dan Ilmu Sosial, 2(3), 71�88.

 

Virgiawan, R. D. (2020). Flash Sale Pada Ecommerce Dalam Konteks Peraturan Perundangundangan di Indonesia. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

Wijaksana, F., & Elsina, R. (2023). Implikasi Yuridis Strategi Flash Sale Oleh Pelaku Usaha E-commerce. Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance, 3(1), 257�269.

 

Copyright holder:

Chica Octa Andinda, Gunardi Lie, Moody Rizqy Syailendra Putra (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: