Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

PERLINDUNGAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI LUAR NEGERI

 

Fransiscus Lature, Amsori

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM, Jakarta, Indonesia

E-mail: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dan menganalisa hukum mengenai Perlindungan hukum dan tanggung jawab negara terhadap korban tindak pidana perdagangan orang di luar negeri. Salah satu permasalahan terkait HAM di Indonesia adalah tindak pidana perdagangan orang yang merupakan bentuk perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh. Di Indonesia, kejahatan perdagangan orang manusia mengambil bentuk perdagangan untuk tujuan eksploitasi seksual, pekerja rumah tangga, pekerja migran, pekerja anak, dan perkawinan pesanan. Ujung dari kejahatan ini adalah para korban dipaksa untuk bekerja dalam lingkungan kerja yang buruk dan dengan gaji yang tidak layak. Sejatinya perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia dan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.

 

Kata Kunci : perdagangan orang, eksploitasi, kejahatan transnasional.

 

Abstract

This study aims to obtain information and analyze the law regarding legal protection and state responsibility towards victims of trafficking abroad. One of the human rights-related issues in Indonesia is trafficking in persons which is a form of recruitment, sending, transferring, sheltering or receiving a person, with the threat or use of force or other forms of coercion, kidnapping, fraud, lying, or abuse of power, or a vulnerable position or giving or receiving payment or obtaining benefits in order to obtain the consent of someone who has power over others,for exploitation purposes. Exploitation includes, at a minimum, exploitation to prostitute another person or other forms of sexual exploitation, forced labor or service, slavery or slavery-like practices, servitude or organ harvesting. In Indonesia, human trafficking takes the form of trafficking for the purpose of sexual exploitation, domestic workers, migrant workers, child labor, and order marriages. The end of this crime is that victims are forced to work in a poor work environment and with inadequate pay. Indeed, trafficking in persons is a modern form of human slavery and one of the worst forms of abuse of human dignity and dignity. Women and children were the most trafficking victims.

 

Keywords: trafficking in persons, exploitation, transnational crime.

 

Pendahuluan

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dijelaskan bahwa Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi (Monita, 2013).

Di Dalam Perdagangan orang atau yang dikenal dengan sebutan human trafficking merupakan bentuk kejahatan transnasional baru yang semakin marak terjadi (Nugroho, 2018). Kejahatan dalam bentuk ini biasa ditemui di negara�negara berkembang yang memiliki jumlah populasi penduduk yang besar dengan perbandingan jumlah penduduk perempuan dan laki�laki yang tidak seimbang (Saputra et al., 2022). Selain itu yang melatar belakangi terjadinya kejahatan dalam bentuk ini adalah adanya kesenjangan ekonomi dengan banyaknya jumlah kemiskinan dimana tuntutan kebutuhan tenaga kerja murah yang biasanya berasal dari luar negeri (Ulandari, 2014). Hampir setiap negara terlibat dalam jejaring perdagangan orang adalah bahwa negara dapat berfungsi sebagai negara asal, yaitu negara dimana orang�orangnya diperdagangkan ke luar negeri, sebagai negara tujuan, yaitu negara tersebut menjadi tujuan praktik perdangan orang, dan atau sebagai negara transit, yaitu negara tersebut menjadi persinggahan sementara dalam rute perdagangan orang (Winterdyk & Reichel, 2010).

Salah satu permasalahan terkait HAM di Indonesia adalah tindak pidana perdagangan orang yang merupakan bentuk perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi (Fadilla, 2016). Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari ekspolitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh (Ferrario, 2021). Di Indonesia, kejahatan perdagangan orang manusia mengambil bentuk perdagangan untuk tujuan eksploitasi seksual, pekerja rumah tangga, pekerja migran, pekerja anak, dan perkawinan pesanan. Ujung dari kejahatan ini adalah para korban dipaksa untuk bekerja dalam lingkungan kerja yang buruk dan dengan gaji yang tidak layak (Takariawan & Putri, 2018).

Terkait dengan perlindungan hak asasi manusia, UUD 1945 setelah perubahan cukup mengakomodir masalah hak asasi manusia secara lengkap. Bahkan dapat dikatakan jauh lebih lengkap dari pengaturan yang terdapat dalam konstitusi yang pernah berlaku sebelumnya. Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang merupakan salah satu tujuan dari kebijakan hukum pidana (social defence), yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat (social welfare) harus sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yaitu bahwa negara dan pemerintah harus melindungi segenap bangsa, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan kesejahteraan umum (Henny Nuraeny, 2022).

Sejumlah peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana khususnya tindak pidana perdagangan orang telah diciptakan oleh pemerintah indonesia baik yang terkait dengan migrasi tenaga kerja maupun undang-undang perdagangan orang itu sendiri yang diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi warga negara indonesia (Frada, 2019). Undang-Undang Dasar 1945 memberikan perlindungan serta kesetaraan hak bagi laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh jaminan serta pemenuhan hak untuk dapat hidup yang layak, sehat, serta bermartabat (Kilala, 2018).

Oleh karena itu, negara terutama pemerintah dapat bertanggung jawab atas perlindungan serta pemenuhan dari hak-hak tersebut, sebagai bentuk dari perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi warga negaranya. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, merupakan upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum baik secara langsung maupun tidak langsung kepada korban dan atau calon korban agar tidak menjadi salah satu korban dikemudian hari (Adudu, 2022).

Menurut Jeremy Bentham dalam bukunya the theory of legislation menyebutkan, bahwa tujuan hukum adalah sebagai sumber nafkah, kemakmuran, kesetaraan dan rasa aman, artinya secara normatif sangat ditentukan oleh hukum. Dengan diwujudkannya rasa aman, maka korban atau setiap warga negara akan terjamin mendapatkan nafkah, kemakmuran dan kesetaraan (Yulianti, 2022). Terkait dengan fungsi dan tujuan hukum tersebut di atas, selain penegakan hukum dengan cara penjatuhan pidana penjara terhadap pelaku, maka diperlukan juga penegakan hukum dengan penerapan atau implementasi pemberian restitusi bagi korban kejahatan dari pelaku tindak pidana, khususnya terhadap korban trafficking tanpa harus melakukan upaya hukum lain untuk memperoleh hak restitusinya tersebut.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang di luar negeri? serta Bagaimana Tanggungjawab dan Peran Negara terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di luar Negeri?

 

Metode Penelitian

Metode pendekatan yang dilakukan oleh Penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan implementasi terhadap perlindungan hukum dan tanggung jawab negara terhadap korban trafficking secara sistematis, metodologis, dan konsisten di masa yang akan datang. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah (Soekanto & Mamudji, 2015). Pendekatan yuridis adalah pendekatan yang memakai kaidah-kaidah serta perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, sedangkan pendekatan normatif adalah penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagai data utama, yaitu bahwa Penulis tidak perlu mencari data langsung ke lapangan. Adapun spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, dan untuk menarik suatu kesimpulan dan hasil penelitian, maka data yang telah dikumpulkan oleh Penulis dalam penelitian ini kemudian dianalisis secara yuridis kualitatif, dengan mengacu pada data sekunder yang Penulis peroleh dari penelitian kepustakaan, baik terhadap peraturan perundangan maupun terhadap teori ataupun pendapat para pakar yang berkaitan dengan Restitusi bagi korban tindak pidana dalam upaya perlindungan hukum dan pencegahan tindak pidana perdagangan orang, yaitu dengan menyusun secara sistematis yang bertujuan untuk dianalisis tanpa menggunakan angka-angka.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Di Luar Negeri

Tindak pidana perdagangan orang adalah merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam menimbang huruf b, bahwa perdagangan orang khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas. Lebih lanjut dalam huruf c menyebutkan bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi atas penghormatan terhadap hak asasi manusia (Syaputra & Setiawan, 2019).

Di indonesia sendiri pemerintah bergerak cepat untuk memberantas tindak pidana perdagangan orang. Terbukti dengan adanya pasal 297 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yaitu, mengatur mengenai perdagangan orang. Dimana dalam Pasal 297 ini mengatur dan menjelaskan bahwa memasarkan perempuan dan memasarkan laki-laki yang belum dewasa dapat dihukum penjara selama 6 (enam) tahun. Dengan berkembangnya zaman dan bentuk perdagangan orang ini makin beragam maka dibuatlah undang-undang sendiri yang mengatur tentang perdagangan orang ini secara rinci, aturan ini dibuat dengan tujuan untuk mengatur keselarasan hidup dalam masyarakat. Undang-Undang yang diterbitkan yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang dimana undang-undang ini dibuat untuk melindungi hak asasi manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya. Hal ini tidak terlepas dari salah satu tugas dari negara yaitu melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia. Terdapat beberapa jenis atau bentuk mengenai tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di indonesia, bentuknya sering sekali terjadi pada perempuan serta anak-anak, yaitu (Mustafid, 2019):

1.    Perdagangan dengan tujuan sebagai pembantu rumah tangga

2.    Perdagangan dengan tujuan sebagai pekerja di tempat-tempat hiburan atau club.

3.    Perdagangan dengan tujuan sebagai pekerja seks.

4.    Perdagangan dengan tujuan untuk industri atau perusahaan pornografi dengan alasan untuk dijadikan model iklan, artis atau penyanyi bahkan selebgram.

5.    Perdagangan untuk dipekerjakan sebagai pengedar obat terlarang atau narkoba yang terlebih dahulu menjadikan korban sedang dalam ketergantungan dengan obat terlarang.

6.    Buruh atau migran.

7.    Perempuan yang dikontrak untuk dikawinkan paksa guna mendapat keturunan.

8.    Perdagangan bayi.

9.    Perdagangan untuk dijadikan pengemis.

Berdasarkan bentuk-bentuk tersebut sebenarnya tujuan dari para pelaku tindak pidana perdagangan orang hanya sebatas untuk mengeksploitasi secara seksual atau secara ekonomi dan lain-lain. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya aksi tindak pidana perdagangan orang ini dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu penawaran dan permintaan. Yang pertama kita akan bahas dari sudut pandang penawaran. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain, yang pertama, perdagangan orang merupakan salah satu bisnis yang menguntungkan.

Implementasi pencegahan dalam bentuk sosialisasi dilakukan terbatas dan belum menyeluruh, dalam artian belum sampai ke desa - desa tertinggal dan pelosok. Begitu pula belum melibatkan rakyat kecil di pedesaan. Dengan demikian, sasaran pencegahan perdagangan orang dari kalangan masyarakat pedesaan yang rentan menjadi korban karena ketidakpahamannya menjadi terabaikan. Untuk sosialisasi telah diatur pelaksanaannya dalam bentuk program dan kegiatan, seperti perlindungan dini dan pendekatan komunitas. Program dan kegiatan tersebut baru dalam tataran perencanaan dan untuk realisasi ke lapangan, diperlukan sumber daya manusia dan anggaran yang besar, sehingga jauh lebih efektif jika menggunakan tatanan pemerintahan yang sudah ada.

Dengan kata lain menggunakan saluran aparat desa dan juga kecamatan dalam rangka pemberian sosialiasi ke daerah-daerah terpencil yang menjadi sentra atau tempat transit Tenaga Kerja Indonesia. Sebagaimana disampaikan oleh Soerjono Soekanto dalam teori efektivitas hukum bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu (Arif, 2015):

1.    Faktor hukumnya sendiri (undang-undang);

2.    Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;

3.    Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4.    Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

5.    Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup

Perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang di luar negeri adalah rehabilitasi terhadap korban, baik secara medis, psikologis dan sosial, pemulangan serta integrasi yang wajib dilakukan oleh negara, khususnya bagi korban yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang. Undang-undang ini juga mengatur ketentuan tentang pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang sebagai tanggungjawab pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga, serta pembentukan gugus tugas untuk mewujudkan langkah-langkah yang terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan perdagangan orang (Amin, 2023).

Peningkatan perlindungan kepada korban perdagangan orang di luar negeri juga dilaksanakan dengan meningkatkan aksesibilitas layanan melalui pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu di rumah sakit umum milik pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota serta rumah sakit kepolisian pusat dan rumah sakit Bhayangkara di daerah.

Hukum memiliki tujuan guna memberikan keadilan dan kepastian hukum, (Nurhayati, 2013) tentunya juga dalam memberikan keadilan hukum bagi korban tindak pidana. Perlunya dilakukan atau diberikannya perlindungan hukum bagi korban kejahatan tidak hanya merupakan isu nasional, melainkan juga termasuk isu internasional. Selama ini penderitaan yang dirasakan oleh korban tindak kejahatan hanya berlaku untuk dijadikan instrument penetapan putusan dan penjatuhan pidana bagi si pelaku, padahal sebenarnya penderitaan yang dialami pelaku pidana tidak berhubungan dengan penderitaan yang dirasa korban kejahatannya, justru korban akan merasa lebih menderita dari apa yang telah mereka alami. Dari segi psikologi korban tindak pidana kejahatan akan mengalami stress dan depresi atas apa yang telah mereka alami, korban juga akan sering mengasingkan diri dari lingkungan sekitar, bahkan dapat diperparah dengan korban yang menjauhkan diri dari keluarganya sendiri, dan korban juga sering kehilangan kesempatan mereka untuk turut mengalami perubahan sosial, moral, dan (Nurhayati, 2013).

Perlindungan Hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang semakin mendapatkan posisinya sehubungan dengan disahkannya UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Ketetapan tentang perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang diatur secara khusus dalam Pasal 43 sampai Pasal 53, Pasal 43 UU No. 21 Tahun 2007 yang mengatur tentang Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam tindak pidana perdagangan orang (Budiyati, 2013).

Sedangkan perlindungan korban menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, selain dengan memidanakan pelakunya, juga diwujudkan dari bentuk-bentuk pemenuhan hak, diantaranya ialah:

1.  Hak atas kerahasiaan identitas korban, hal ini diatur dalam pasal 44 ayat (1) UUPTPPO. Dan hak untuk merahasiakan identitas ini juga diberikan kepada keluarga korban hingga derajat kedua, jika korban mendapat ancaman secara fisik maupuk psikis dari luar yang berkaitan dengan keterangan korban (Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang).

Hak atas perolehan restitusi Hal ini diatur dalam pasal 48 ayat (1) Undang-Undangan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Restitusi menurut pasal 1 poin 13 UUPTPPO ialah �pembayaran ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan pada putusan pengadilan atau hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap atas kerugian materiil serta imateriil yang diderita oleh korban ataupun ahli warisnya�. Berdasarkan pada PP No. 3 Tahun 2002, restitusi ialah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya dari pelaku atau pihak ketiga, bisa berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti atas kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, ataupun penggantian biaya atas tindakan tertentu (Siku & SH, 2016).

2.  Hak atas rehabilitasi kesehatan, sosial, pemulangan, dan reintegrasi Rehabilitasi merupakan salah satu langkah konkrit yang dilakukan untuk memperbaiki sesuatu yang telah menyimpang atau rusak. 23 Tindakan rehabilitasi pada korban tindak pidana perdagangan orang dilakukan agar pulihnya kondisi korban baik secara fisik maupun psikis, sehingga korban bisa kembali menjalankan hidupnya dalam lingkungan masyarakat seperti semula. Berdasarkan pada UUPTPPO pasal 51 ayat (1), korban tindak pidana perdagangan orang berhak mendapatkan rehabilitasi kesehatan, sosial, pemulangan , dan reintegrasi sosial dari pemerintah jika korban mengalami penderitaan secara fisik maupun psikis akibat dari tindakan perdagangan orang tersebut.

 

B.  Tanggung Jawab Dan Peran Negara Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Di Luar Negeri

Indonesia adalah merupakan salah satu negara yang menyetujui dan berjanji untuk melaksanakan Protocol Palermo, dan Indonesia berhasil mengesahkan dan pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2007 No. 58, yang merupakan tambahan dari Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720. Yakni UU No. 21 tahun 2007, tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Tindak pidana perdagangan orang itu sendiri berarti setiap tindakan yang terdapat unsur tindak pidana yang telah diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak PidanaPerdagangan Orang.

Dalam kasus yang terjadi di Indonesia sebenarnya korban tindak pidana perdagangan orang tidak hanya dieksploitasi ke negara China, tetapi ada juga yang dikirim ke negara lain contohnya Gabon, Afrika. Dalam kasus yang terjadi pada awal Maret 2018, tercatat 30 WNI diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang di Gabon. Peran negara melalui Kemenlu mendapatkan informasi tersebut dari para ABK di Gabon bahwa WNI korban perbudakan modern berjumlah 30 orang, tetapi dari komunikasi yang dilakukan lebih lanjut diperkirakan lebih dari 30 orang WNI yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Pelaku tindak pidana perdagangan orang ada juga yang mengirimkan korbannya ke Malaysia untuk dijadikan PSK disana. Kasus ini melibatkan jaringan Aceh, Batam, dan Malaysia. Modus awal si pelaku tindak pidana perdagangan orang ialah mengajak dan menjamin korban yang kebanyakan wanita Aceh tersebut bekerja di Malaysia. Mendengar perkataan si pelaku, korban pun tergiur dan memutuskan untuk ikut si pelaku ke Malaysia untuk mendapatkan posisi pekerjaan disana. Ternyata sesampainya para korban di Malaysia, para korban dipekerjakan sebagai PSK.

Kasus selanjutnya ialah kasus yang marak terjadi, yakni para korban tindak pidana perdagangan orang yang ditempatkan atau dikirim ke China. Contoh kasus lainnya ialah kasus yang terjadi pada September tahun 2018 lalu, kasus ini dialami langsung oleh seorang wanita berinisial Er 21 tahun. Seorang wanita asal Kabupaten Bandung ini melalui sambungan teleponnya bercerita bahwa ia menjadi korban tindak pidana perdagangan orang yang dinikahi oleh orang China, ia sangat ingin kembali ke tanah air. Ia merasa tertekan karena ia mendapat perlakuan kekerasan, walaupun hanya berupa kata-kata kasar tidak sampai ke kekerasan fisik atau seksual. Korban dipaksa meminum obat penyubur kandungan setiap hari oleh si pelaku, pelaku mengatakan bahwa ia ingin sekali mendapat keturunan orang Indonesia, karena pelaku menganggap hal itu akan membawa keuntungan materiil bagi pelaku. Korban sangat ingin bebas dari keadaan tersebut, ia sangat ingin kembali pulang ke tanah air Indonesia, karena jika ia memiliki keturunan dari si pelaku maka ia semakin sulit untuk kembali ke Indonesia. Korban merasa tertekan dan tertipu, atas semua perilaku yang ia terima selama ini.

Pelaku dalam kasus ini diduga ada 3 orang, dari ketiga pelaku ini memiliki perannya masing-masing ada yang sebagai perekrut, lalu sebagai perekrut dan warga Tiongkok, dan yang terakhir sebagai perantara dari Indonesia ke Tiongkok. Tercatat korban tindak pidana perdagangan orang pada September 2018 tersebut sebanyak 11 orang. Dan kuasa hukum dari kesebelas orang tersebut berharap Kementerian Luar Negeri dapat segera memulangkan para korban tindak pidana perdagangan orang tersebut. Karena jika sampai korban tindak pidana perdagangan orang tersebut sudah melahirkan maka akan semakin sulit untuk proses pemulangan para korban tindak pidana tersebut ke tanah air Indonesia. Dan kuasa hukum dari kesebelas korban tersebut juga sudah sering melakukan komunikasi dengan para korban untuk mengetahui kondisi terkini korban, dan tidak sedikit dari korban tindak pidana perdagangan orang tersebut mengalami depresi, karena disaat kah kebebasan mereka diabaikan, mereka malah ditambah mendapatkan kekerasan seksual. Banyak kendala yang dialami saat proses pemulangan para korban tindak pidana perdagangan orang, karena para korban tindak pidana perdagangan orang tersebut telah menjadi istri sah dari pelaku dan disisi lain cara mereka pergi ke China juga telah melanggar banyak aturan hukum bahkan sudah memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang.

Peran negara dalam penanganan tindak pidana perdagangan orang tidak hanya sebatas pada upaya penegakan hukum saja. Melainkan juga pada upaya pencegahan (prevention) dan perlindungan korban perdagangan orang, Dalam hal ini upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang dilakukan melalui:

1.    Menetapkan UU No. 21 tahun 2007 sebagai pedoman dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;

2.    Memperluas sosialisasi UU No.21 Tahun 2007;

3.    Membentuk Pusat Pelayanan Terpadu (Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang);

4.    Menyusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak melalui Keputusan Presiden No.88 Tahun 2002;

5.    Membentuk Gugus Tugas Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang terdiri dari berbagai unsur melalui Peraturan Presiden No.69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Bentuk perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang harus diberikan dengan berbagai cara yang sesuai dengan kerugian yang telah diderita oleh para korban baik itu kerugian yang bersifat psikis maupun mental. Dalam implementasi penegakan hukum juga masih jauh dari harapan, hal ini terlihat dari data kepolisian yang menunjukkan penanganan kasus perdagangan orang yang sedikit dibanding kasus itu sendiri. Sementara itu, penegakan hukum terhadap oknum tidak pernah terdengar adanya sanksi hukuman. Begitu pula dengan kualitas penegakan hukum sangat tidak signifikan, dimana tidak pernah ada sanksi optimal sesuai aturan termasuk bagi pelaku perdagangan orang.

Tanggung jawab dan peran negara terkait penegakan hukumnya sendiri belum optimal seperti masih sedikit pelaku perdagangan orang yang tertangkap dan minimnya oknum aparat yang berhasil ditahan, serta putusan pidana terhadap pelaku yang ringan sehingga tidak memberikan efek jera kepada pelaku dan masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh adanya oknum aparat yang turut bermain serta masih adanya perbedaan persepsi antar para penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) terkait ketentuan peraturan perundangan yang harus diterapkan, dimana masih ada aparat di daerah yang masih menggunakan KUHP dan Undang-undang Nomo 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri dan bukan merujuk pada Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Pemerintah berusaha untuk melindungi hak asasi manusia dan kebebasan dari warga negaranya dan memberikan perlindungan dari kejahatan transnasional�� serta�� pencegahan�� dari tindakkejahatan.�� Mengacu�� pada poin pertimbangan dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 260 Tahun 2015:

1.    Bahwa banyaknya permasalahan yang menimpa Pekerja Migran Indonesia yang bekerja padapenggunaperseorangandan lemahnya jaminan perlindungan di negara-negara kawasan Timur Tengah, maka harus dilakukan penghentian dan pelarangan penempatan Pekerja Migran Indonesia pada pengguna�� perseorangan di negara�negara tersebut;

2.    Bahwa penghentian dan pelarangan penempatan Pekerja Migran Indonesia pada pengguna perseorangan di negara-negara kawasan Timur Tengah sebagaimana dimaksud pada huruf a, merupakan pelaksanaan dari ketentuan pasal 36 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri. Jika menggunakan indikator human security oleh Commission of Human Security (CHS), unsur protection dari konsep human security oleh CHS adalah penjelasan yang sesuai apabila kebijakan moratorium ini dikaitkan dengan indikator personal security.

Keputusan Menteri Ketenagakerjaan tentang penghentian pengiriman Pekerja Migran Indonesia informal ke negara timur tengah, merupakan upaya perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah kepada calon Pekerja Migran Indonesia dengan negara penempatan Arab Saudi atau negara Timur Tengah. Hal ini mengacu pada kasus kekerasan dan permasalahan terhadap Pekerja Migran Indonesia informal di negara-negara Timur Tengah. Pemerintah Indonesia selaku otoritas tertinggi menggunakan top down approach dimana permasalahan PMI informal merupakan wewenang pemerintah.

Di dalam upaya pencegahan dilakukan melalui kebijakan berupa Keputusan Presiden No.88 tahun 2002 menetapkan pembentukan Gugus Tugas Rencana aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Gugus Tugas RAN-P3A), pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Arliman, 2017), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (dimandatkan oleh Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Selain itu, sesuai amanat Pasal 58 UU No.21 tahun 2007 ditetapkan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pusat Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, penetapan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2008 tentag Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta penetapan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI No.1 Tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Minimal Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Pemerintah membuat konep Human Security yang merupakan konsep tentang perlindungan dan penciptaan kesejahteraan bagi setiap individu warga negara sehingga setiap individu manusia bisa mendapatkan keamanan dan kebebasan untuk memperoleh kesejahteraan mereka, human Security didasarkan atas pandangan konstruksi sosial yang berasumsi apa yang disebut aman, aman dari apa, untuk siapa, dan bagaimana, kemudian mendefinisikan keamanan dari hasil kesepakatan aktor yang terlibat dalam diskursus sosial, human Security menekankan pada keadilan dan emansipasi serta menghubungkan politik domestik dan hubungan internasional, sebab gagasan Human Security menghadapkan negara dan kedaulatannya pada kedaulatan individu warganya, human Security berusaha menggeser pemikiran keamanan dari dominasi keamanan negara ke keamanan manusia yang mencakup masalah kesejahteraan sosial, perlindungan HAM, kelompok minoritas, masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik (Bajpai, 2000). Human Security merupakan konsep keamanan yang sangat berbeda dengan pendahulunya (traditional concept of security) karena Human Security ini sebagai konsep baru mencoba mendefinisikan kembali tentang apa yang dimaksud aman, aman dari ancaman apa, termasuk di dalamnya Human Security juga mendefinisikan kembali tentang peran dan bentuk-bentuk ancaman terhadap kemanusiaan. Dalam dunia yang terus berubah, pertanyaan keamanan tidak terkait dengan geopolitik dan isu-isu keseimbangan kekuatan militer, tetapi pertanyaan tentang keamanan dan ketidakamanan lahir dari penyakit, kelaparan, pengangguran, konflik sosial, kejahatan, politik yang represif serta terorisme (Burgess, 2008). Dalam hal ini kejahatan Perdagangan manusia merupakan salah satu dari ancaman kemanusiaan yang terus saja �menghantui� manusia dari rasa aman. Fenomena human trafficking (perdagangan manusia) merupakan salah satu masalah kontemporer yang tengah mendapat perhatian serius dunia Internasional. Lebih dari itu Human Trafficking adalah bentuk pelecehan dan eksploitasi yang sangat nyata dalam menghancurkan wanita, pria dan anak-anak dari semua lapisan masyarakat (Countryman-Roswurm & Patton Brackin, 2017).

 

Kesimpulan

Bahwa perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang di luar negeri adalah dengan membentuk gugus tugas untuk mewujudkan langkah-langkah yang terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan perdagangan orang di luar negeri. Melakukan rehabilitasi terhadap korban, baik secara medis, psikologis dan sosial, pemulangan serta integrasi yang wajib dilakukan oleh negara, khususnya bagi korban yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang. Tindak pidana perdagangan orang merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh oknum tertentu yang akan mendatangkan keuntungan yang besar bagi si pelaku dan akan mendatangkan kerugian yang sangat besar juga bagi korban baik dari segi fisik, maupun psikis. Tindak pidana perdagangan orang disebabkan oleh beberapa faktor maupun faktor intern maupun ekstern, faktor ekonomi maupun faktor sosial. Pelaku tindak pidana perdagangan orang akan mendapat sanksi baik itu berupa kurungan atau pembayaran denda yang wajib dipenuhi. Dan korban tindak pidana perdagangan orang pun mendapatkan haknya atas perlindungan hukum dari beberapa hal yang diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Bahwa negara berusaha untuk melindungi hak asasi manusia dan kebebasan dari warga negaranya dan memberikan perlindungan dari kejahatan transnasional serta pencegahan dari tindak kejahatan. Peran negara dalam penanganan tindak pidana perdagangan orang tidak hanya sebatas pada upaya penegakan hukum saja. Melainkan juga pada upaya pencegahan (prevention) dan perlindungan korban perdagangan orang, Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah tingginya kasus Human Trafficking yang terjadi pada pekerja Migran yang ada di belum mendapatkan hasil yang maksimal dan signifikan . Hal ini karena didalam proses strategi Multi Track Diplomacy yang dilakukan menemui berbagai kendala dalam hal ini kendala tersebut umumnya berasal dari dalam negeri (bersumber dari proses penegakkan hukum), dan juga berasal dari Malaysia (akibat perbedaan kepentingan dan juga perbedaan cara memperlakukan Pekerja Migran)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adudu, R. R. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia. LEX CRIMEN, 11(3).

 

Amin, I. (2023). Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Meminimalisir Kejahatan. Jurnal Kompilasi Hukum, 8(1), 24�34.

 

Arif, A. R. (2015). Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Terdakwa Yang Tidak Mampu Dalam Perkara Pidana Di Kota Bandar Lampung. FIAT JUSTISIA: Jurnal Ilmu Hukum, 9(1).

 

Arliman, L. (2017). KOMNAS Perempuan Sebagai State Auxialiary Bodies Di Dalam Penegakan Hak Asasi Manusia Perempuan Di Indonesia. Justicia Islamica: Jurnal Kajian Hukum Dan Sosial, 14(2), 125�136.

 

Bajpai, K. P. (2000). Human security: concept and measurement. Citeseer.

 

Budiyati, D. S. R. I. (2013). Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Proses Peradilan. UNIVERSITAS AIRLANGGA.

 

Burgess, J. P. (2008). Non-military security challenges. Contemporary Security and Strategy, 60�78.

 

Countryman-Roswurm, K., & Patton Brackin, B. (2017). Awareness without re-exploitation: Empowering approaches to sharing the message about human trafficking. Journal of Human Trafficking, 3(4), 327�334.

 

Fadilla, N. (2016). Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jurnal Hukum Dan Peradilan, 5(2), 181�194.

 

Ferrario, M. H. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Human Trafficking. Prosiding Seminar Nasional & Call for Paper" Peran Perempuan Sebagai Pahlawan Di Era Pandemi" PSGESI LPPM UWP, 8(1), 391�411.

 

Frada, K. (2019). Tinjauan Yuridis Putusan Bebas Terhadap Pelaku Perdagangan Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar Negeri (Studi Putusan No. 49PID. SUS2018PN. SMG).

 

Henny Nuraeny, S. H. (2022). Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya. Sinar Grafika.

 

Kilala, R. G. (2018). Kajian Yuridis Terhadap Asas Retroaktif Menurut Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. LEX ADMINISTRATUM, 6(2).

 

Monita, Y. (2013). Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum, 6(2).

 

Mustafid, F. (2019). Perdagangan Orang dalam Perspektif HAM dan Filsafat Hukum Islam. Al-Ahkam, 29(1), 85�108.

 

Nugroho, O. C. (2018). Tanggung Jawab Negara dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 18(4), 543.

 

Nurhayati, Y. (2013). Perdebatan Antara Metode Normatif Dengan Metode Empirik Dalam Penelitian Ilmu Hukum Ditinjau Dari Karakter, Fungsi, dan Tujuan Ilmu Hukum. Al-Adl: Jurnal Hukum, 5(10).

 

Saputra, T., Manalu, H., & Sayudi, A. (2022). Penyalahgunaan Kondisi Rentan Seseorang Dalam Praktik Perdagangan Orang (Human Trafficking). Jurnal Hukum Pelita, 3(1), 102�110.

 

Siku, A. S., & SH, M. H. (2016). Perlindungan Hak Asasi Saksi dan Korban Dalam Proses Peradilan Pidana. Indonesia Prime.

 

Soekanto, S., & Mamudji, S. (2015). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat Cet XVII. Rajawali Pers, Jakarta.

 

Syaputra, W. B., & Setiawan, M. F. (2019). Perdagangan Manusia Lintas Negara Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Dunia Hukum, 3(2), 87�99.

 

Takariawan, A., & Putri, S. A. (2018). Perlindungan hukum terhadap korban human trafficking dalam perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 25(2), 237�255.

 

Ulandari, N. D. (2014). Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Prostitusi Anak Ditinjau Dari Sudut Kriminologi di Kota Pontianak. Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura, 2(2).

 

Winterdyk, J., & Reichel, P. (2010). Introduction to special issue: human trafficking: issues and perspectives. In European Journal of Criminology (Vol. 7, Issue 1, pp. 5�10). SAGE Publications Sage UK: London, England.

 

Yulianti, S. W. (2022). Kebijakan Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Kekerasan Seksual Kepada Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Amnesti Jurnal Hukum, 4(1), 11�29.

 

Copyright holder:

Fransiscus Lature, Amsori (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: