Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

STUDI KASUS: DINAMIKA PSIKOLOGIS DAN FISIK PADA PEREMPUAN BALI PENDERITA EPILEPSI

 

Ni Made Dwi Jayanti, Mary Philia Elisabeth

Fakultas Psikologi, Universitas Surabaya, Indonesia

E-mail: [email protected]

 

Abstrak

Epilepsi adalah kondisi medis dengan prevalensi tinggi dibandingkan dengan kondisi neurologis medis lainnya. Penyakit ini biasanya ditandai dengan kejang berulang yang memengaruhi gerakan tubuh secara tidak sadar. Episode kejang terjadi akibat pelepasan energi listrik yang berlebihan pada sekelompok sel otak. Penyebab epilepsi biasanya dibagi menjadi beberapa kategori seperti: struktural, genetik, menular, metabolik, imun dan penyebab lain yang tidak diketahui. Sangat umum bagi individu dengan epilepsi untuk memiliki kondisi komorbid dengan depresi. Depresi sendiri merupakan gangguan mood yang serius. Depresi ditandai dengan perasaan sedih yang terus-menerus, putus asa, dan bahkan kehilangan minat pada aktivitas yang Anda sukai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika psikologis yang terjadi pada penderita epilepsi dan dampak yang ditimbulkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu orang (N=1), seorang wanita penderita epilepsi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan skala psikologis lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penderita epilepsi sangat mungkin mengalami gejala depresi, meski tidak semuanya mengalami hal tersebut. Epilepsi masih melekat pada stigma negatif sehingga tidak jarang penderitanya merasa minder dengan kondisinya. Sedangkan penjelasan medisnya, gejala depresi sangat mungkin berkembang pada penderita epilepsi selama masa pengobatan antiseizure yang sedang dilakukan (bisa melalui obat-obatan atau pembedahan). Dengan demikian, pengobatan bagi penderita epilepsi tidak hanya melalui pendekatan medis tetapi juga diperlukan secara psikologis.

 

Kata kunci: epilepsi, depresi, dinamika psikologis.

 

Abstract

Epilepsy is a medical condition with a high prevalence compared to other medical neurological conditions. This disease is usually characterized by recurrent seizures that affect body movements unconsciously. Seizure episodes occur due to the release of excessive electrical energy in a group of brain cells. The causes of epilepsy are usually divided into categories such as: structural, genetic, infectious, metabolic, immune and other unknown causes. It is very common for individuals with epilepsy to have comorbid conditions with depression. Depression itself is a serious mood disorder. Depression is characterized by persistent feelings of sadness, hopelessness and even loss of interest in activities you enjoy. The purpose of this study was to determine the psychological dynamics that occur in people with epilepsy and the impacts that arise. The method used in this study is a case study with a qualitative approach. The participants used in this study were one person (N = 1), a woman with epilepsy. Data was collected using interviews, observation and other psychological scales. The results of this study indicate that people with epilepsy are very likely to develop depressive symptoms, although not all of them experience this. Epilepsy is still attached to a negative stigma, so it is not uncommon for sufferers to feel inferior about their condition. While the medical explanation, depressive symptoms are very likely to develop in patients with epilepsy during the period of antiseizure treatment that is being carried out (can be through drugs or surgery). Thus, treatment for people with epilepsy is not only through a medical approach but is also necessary psychologically.

 

Keywords: epilepsy, depression, psychological dynamics.

 

Pendahuluan

Epilepsi merupakan salah satu kondisi medis dengan prevalensi tinggi dibandingkan kondisi neurologis medis lainnya (Hasibuan & Dimyati, 2020). Epilepsi sendiri masih menjadi isu global hingga saat ini yang memengaruhi 50 juta orang di seluruh dunia (Salim, 2015). Di Asia sendiri, terdapat 23 juta kasus epilepsi yang terdeteksi dari total populasi sebanyak 4 milliar orang (Yuliana et al., 2021). Setiap tahun di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru (Alkandahri & Putri, 2021). Di Bali sendiri, epilepsi termasuk dalam peringkat 10 besar diagnosa rawat jalan tingkat lanjutan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Program JKN (Saraswati et al., 2022). Epilepsi merupakan suatu penyakit otak kronis yang tidak dapat ditularkan kepada orang lain. Penyakit ini biasanya ditandai dengan adanya kejang berulang yang mempengaruhi gerakan tubuh secara tidak sadar. Episode kejang terjadi akibat adanya pelepasan energi listrik yang berlebihan pada sekelompok sel otak. Bagi penderita epilepsi, gejala sementara yang mungkin ditimbulkan seperti, kehilangan kesadaran, gangguan gerakan, sensasi (termasuk penglihatan, pendengaran dan rasa), gangguan suasana hati, gangguan fungsi kognitf. Penyebab epilepsi biasanya terbagi ke dalam kategori seperti: struktural, genetik, infeksi, metabolisme, imun dan penyebab lain yang tidak diketahui. Adapun berikut ini beberapa contoh penyebab yang dapat teridentifikasi sebagai penyebab epilepsi yaitu: kerusakan otak sejak kelahiran (misalnya kehilangan oksigen atau trauma saat lahir, berat badan lahir rendah), kelainan bawaan atau kondisi genetik dengan malformasi otak, cedera kepala parah, stroke yang membatasi jumlah oksigen ke otak, infeksi otak seperti meningitis, ensefalitis atau neurocysticercosis, sindrom genetik tertentu dan, tumor otak (WHO, 2019).

Individu dengan penyakit epilepsi, sangat umum ditemukan memiliki kondisi komorbid dengan depresi. Depresi sendiri merupakan gangguan mood yang serius. Depresi ditandai dengan adanya perasaan sedih, putus asa yangberkelanjutan bahkan kehilangan minat pada aktivitas-aktivitas yang disenangi.Selain masalah emosional, depresi juga dapat hadir dengan penyakit kronis tertentu. Menurut American Psychiatric Association (2015) Beberapa faktor yang dapat menyebabkan depresi yaitu: (1) Biochemistry: perbedaan beberapa zat kimia yang ada di otak. (2) Genetik: depresi dapat diturunkan pada keluarga yang berada dalam garis keturunan yang sama. (3) Personality: individu dengan harga diri rendah yang mudah diliputi stres, atau yang umumnya pesimis lebih mungkin mengalami depresi. (4) Faktor Lingkungan: paparan secara terus menerus pada kekerasan, penelantaran, pelecehan atau kemiskinan dapat membuat individulebih rentan mengalami depresi.

Menurut DSM-V (2009) terdapat beberapa kriteria dalam mendiagnosis bila individu tersebut mengalami depresi. Individu harus mengalami lima atau lebih gejala selama periode 2 minggu yang sama dan setidaknya salah satu gejala harus berupa (1) suasana hati yang tertekan atau (2) kehilangan minat atau kesenangan. Adapun gejalanya yaitu: (1) Suasana hati yang tertekan hampir sepanjang hari, hampir setiap hari. (2) Berkurangnya minat atau kesenangan pada hampir semua aktivitas sepanjang hari. (3) Penurunan atau penambahanberat badan yang signifikan saat tidak berdiet atau sedang menambah berat badan. (4) Lambat dalam berfikir dan menurunnyamobilitas (dapat diamati oleh orang lain, bukan hanya perasaan subjektif). (5) Merasa pusing dan kehilangan energi. (6) Perasaan tidak berharga dan atau bersalah yang berlebihan hampir setiap hari. (7) Berkurangnya kemampuan berpikir atau berkonsentrasi hampir setiap hari.

(8) Pikiran tentang kematian atau ide bunuh diri yang berulang tanpa ada rencana yang khusus, atau adanya usaha khusus untuk bunuh diri.

����������� Keterkaitan epilepsi dengan depresi sendiri dikarenakan adanya kondisi keterkaitan dalam hal psikologis maupun neurologis (Laksono Utomo et al., 2013). Epilepsi sendiri saat ini merupakan kondisi yang lekat dengan berbagai stigma, marginalisasi serta terbatasnya kemampuan sosial (seperti menurunnya kemampuan berkendara). Stigma sosial dan kurangnya informasi membuat penderita epilepsi merasa memiliki beban akan kondisi yang dialami. Kondisi kejang alami yang mungkin dimunculkan oleh epilepsi dan perasaan malu yang muncul dapat mengarahkan pada rendahnya self esteem, menarik diri secara sosial serta menurunnya perasaan moral dalam diri. Sehingga, bukan hal yang mengejutkan bila kondisi medis penderita epilepsi dapat memengaruhi kualitashidup dan depresi dapat bertindak sebagaisalah satu prediktor utama dari menurunnya kualitas hidup tersebut (Barco et al., 2020).

����������� Secara neurologis, penderita depresi mengalami perubahan pada area otak seperti pengurangan volume pada area hippocampus, menurunnya kertebalan korteks pada area frontal lobe, serta menurunnya kepadatan pada beberapa area otak lainnya. Disfungsional pada area otak yang menghasilkan zat serotonin juga bertanggung jawab pada kemungkinan terjadinya kondisi depresi. Berbagai perubahan pada otak ini juga ditemukan pada penderita epilepsi, meskipun tidak semua penderita epilepsidiiringi juga dengan gangguan depresi. Hal ini dikarenakan adanya faktor lain yang berperan seperti stres, lingkungan serta faktor risiko (predispossing factor) lainnya (Salpekar & Mula, 2019). Selain itu terbatas atau tidak adanya emosional suport, buruknya komunikasi juga dapat memperburuk kondisi.

����������� Secara fakta individu dengan epilepsi dapat menumbuhkan gejala depresi padamasa preictal symptoms atau sebagai efek dari treatment antiseizure (bisa dengan obat-obatan ataupun operasi). Cara pertama untuk memanajemen depresi pada epilepsi adalah dengan mengidentifikasi berbagai faktor potensial yang berkontribusi (Fikry & Indika, 2020). Berbeda faktor pastinya memerlukan pendekatan yang berbeda pula seperti psikoterapi, konseling, obat antidepresan dan berbagai modifikasi lainnya.

����������� Menurut National Institute of Clinical Excellence (NICE) (2015), penanganan depresi pada epilepsi, penganan psikologis yang diberikan mewakili sebagaipenangan pertama pada depresi dalamlevel rendah dan sedang pada populasi secara umum, serta pada individu dengan permasalahan kesehatan yang kronis.

����������� Berdasarkan wawancara dengan Ibu Tini yang merupakan penderita epilepsi, kondisi dirinya membuat dirinya merasa tak berdaya. Terlebih ketika kejang yang dialami kambuh sehingga membuatnya tak sadarkan diri tanpa mengenal tempat. Selama ini Ibu Tini memang sudah melakukan pengobatan secara medis, namun ada waktu saat dirinya ingin berhenti dan dengan sengaja untuk terlambat meminum obat epilepsi yang dimiliki. Dukungan dan perhatian yang diharapkan dari keluarganya untuk dapat berbagi beban dan keluh kesah juga tak didapatkannya. Kondisinya tersebut kerap membuat dirinya merasa semakin terpuruk. Pada saat yang bersamaan juga ketika pertama kali Ibu Tini melakukan pemeriksaan terkait epilepsinya, Ibu Tini ditemukan memiliki gejala depresi sehingga harus dirujuk ke psikiater. Hal ini membuat dirinya semakin merasa rendah diri dan malu untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Penelitian ini sendiri berbentuk single case study dan dilakukan untuk dapat menggambarkan dinamika psikologis pada penderita epilepsi serta penanganan yang memungkinkan untuk diberikan.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan studi kasus untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan. Studi kasus sendiri merupakan cara mengumpulkan data yang dilakukan oleh peneliti secara mendalam tentang suatu kasus, biasanya pada program, aktivitas, proses pada satu individu atau lebih. Kasus ini dibatasi oleh waktu dan aktivitas. Peneliti sendiri menggunakan berbagai prosedur untuk pengumpulan data selama periode waktu yang telah ditentutkan (Creswell, 2014).

Partisipan

Pada penelitian ini partisipan yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah metode nonrandom sampling yang mana pemilihan partisipan didasarkan padakualitas dankarakteristik yang ditunjukkan sesuai dengan kebutuhandalam penelitian. Secara sederhana, peneliti menentukan hal apa saja yang ingin diketahui serta menentukan siapa yang bersedia untuk memberikan informasi yang dibutuhkan (Etikan et al., 2016). Pada penelitian ini partisipan yang dilibatkan yaitu satu orang perempuan yang berusia 43 tahun. Adapun kriteria yang ditetapkan yaitu berusia di atas 40 tahundan memiliki riwayat penyakit medis tertentu.

Adapun data dari partisipan yaitu:

 

Tabel 1

Identitas Partisipan

Data

 

Nama (samaran)

Tini

Jenis kelamin

Perempuan

Tempat/tanggal lahir

Denpasar ;3 Juli 1978

Usia

43 Tahun

Alamat (inisial)

Denpasar

Pendidikan

SMK

Pekerjaan

Freelance

Suku bangsa

Bali

Latar belakang budaya

Bali

Agama

Hindu

Urutan kelahiran

2 (dari 3 bersaudara)

Status perkawinan

Menikah

 

 

 

Instrumen

Pada penelitian ini, data-data yang dikumpulkan menggunakan teknik kuantitatif serta kualitatif. Pengumpulan data secara kualitatif menggunakan teknik wawancara dan observasi. Sedangkan pengumpulan data secara kuantitatif menggunakan skala. Adapun skala yang digunakan yaitu World Health Organization Dissability Assesment Schedule 2.0 (WHODAS 2.0) (α = 0.8) untuk mengetahui hambatan yang dirasakan penderitaakibat kondisi medis yang diderita. Instrumen kedua yakni DASS (Depression, Anxiety, Stress Scale) milik Lovibond and Lovibond tahun 1995 (α = 0.8). Skala ini merupakan skala subjektif untuk mengukur status emosional negatif, depresi, kecemasan serta stres. Selain itu, peneliti juga menggunakan tes grafisuntuk mengetahui gambaran pandangan dan karakter diri dari Ibu Tini sebagai partisipan penelitian.

Prosedur

Proses pengambilan data ini diawali dengan meminta persetujuan partisipan dengan penandatanganan informed consent. Selanjutnya dilakukan anamnesa dengan sumber data utamanya adalah partisipan itu sendiri. Namun untuk menunjang keakuratan serta kekayaan data juga dilakukan heteroanamnesa pada significant others yaitu salah satu anggota keluarga partisipan. Hasil dari observasi serta wawancara yang telah dilakukan teruskan sebagai kesimpulan sementara gangguan yang dialami oleh partisipan. Selanjutnya, dari sinilah kemudian dilanjutkan dengan pemilihan instrumen skala yang akan diberikan kepada partisipan penelitian. Setelah pelaksanaan pemeriksaan dengan skala yang telah ditentukan, barulah data yang diperoleh dioleh sehingga diperoleh dinamika serta kesimpulan dari gangguan yang diderita.

Data Analysis

����������������������� Data yang telah dikumpulkan sebelumnya melalui asesmen kemudian diolah sehingga mampu memahami gambaran dinamika psikologis pada penderita epilepsi. Selanjutnya dinamika tersebut, untuk lebih mudah dipahami diturunkan menggunakan susunan 5P. Tahap terakhir kemudian penarikan yang mengacu kepada DSM V. Berikut ini merupakan hasil dari asesmen yang telah dilakukan.

 

Tabel 2

Test DASS(Depression, Anxiety, Stress Scale)

No.

Patologis

Skor

Keterangan

1.

Depresi

15

Sedang

2.

Aniaty

1

Normal

3.

Stres

8

Normal

 

����������������������� Hasil pemeriksaan asesmen yang telah dilakukan pada Ibu Tini dengan menggunakan skala DASS (Depression, Anxiety, Stress Scale), menemukanbahwaIbu Tini berada pada kategori sedang pada area depresi. Sedangkan kategori normal untuk kategori stres dan anxiety.

 

 

Tabel 3

Tes WHODAS 2.0

No

Domain

Skor

Kategori

1

Pemahaman dan Komunikasi

3

����� Mengalami Hambatan Sedang

 

2

Bergerak

3,4

Mengalami Hambatan Sedang

 

3

Merawat/Mengurus diri

2,25

Mengalami Hambatan Ringan

 

4

Bergaul dengan orang lain

1,8

Mengalami Hambatan Ringan

 

5

Aktivitas harian- Rumah Tangga

3

Mengalami Hambatan Sedang

 

6

Aktivitas sehari-hari/ Sekolah/Bekerja

3

Mengalami Hambatan Sedang

 

7

Partisipasi dalam lingkungan sosial

3,125

Mengalami Hambatan Sedang

 

Total

2,82

Mengalami Hambatan Sedang

 

 

Selanjutnya adalah hasil asesmen dengan instrumen WHODAS. Hasil asesmen menunjukkan Ibu Tini secara umum mengalami hambatan pada kategori sedang akibat kondisi epilepsi yang dideritanya. Adapun domain dari WHOSDAS yang termasuk dalam mengalami hambatan sedang yaitu pemahaman komunikasi, bergerak, aktivitas rumah tangga, aktivitas sehari-hari/ sekolah/ bekerja, serta partisipasi dalam lingkungan sosial. Sedangkan domain merawat atau mengurus diri, bergaul dengan orang lain berada dalam kategori ringan.

Pembahasan

Berdasarkan hasil asesmen yang telah dilakukan dengan skala DASS (Depression, Anxiety, Stress Scale) hasil menunjukkan bahwa Ibu Tini berada pada kategori sedang untuk bagian depresi. Sedangkan untuk area stres dan anxiety berada kategori normal. Ibu Tini sendiri sebelumnya pernah mendapatkan pemeriksaan oleh psikiater dan terdiagnosa depresi. Hal ini diketahui, saat dirinya pertama kali memeriksakan kondisi terkait dengan gangguan dari penyakit epilepsi yang dirasakan.

Depresi sendiri merupakan gangguan mood yang serius. Depresi ditandai dengan adanya perasaan sedih, putus asa yangberkelanjutan bahkan kehilangan minat pada aktivitas-aktivitas yang disenangi. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan depresi yaituadanya perbedaan zat di dalam otak, faktor genetik, personaliti individu yang merasa rendah diri, serta faktor lingkungan terkait dengan paparan terkait kekerasan, penelantaran, pelecehan ataupun kemiskinan (Silverman et al., 2015).

Berdasarkan hasil wawancara, Ibu Tini sendiri kerap merasa terpuruk akan kondisi dirinya yang sakit-sakitan dan merasa menjadi beban bagi banyak orang. Ia juga kerap menyalahkan dirinya jika terjadi permasalahan dalam keluarganya. Dirinya juga, merasa rendah diri dengan kondisi financial keluarganya dan merasa ragu-ragu untuk terlibat dalam relasi sosial.

Selanjutnya, hasil dari skala WHODAS menunjukkan bahwa Ibu Tini mengalami hambatan pada level sedang akibat kondisi medis yang dialami. Hambatan ini mencakup dengan pemahaman dan komunikasi, bergerak, aktivitas sehari-hari serta partisipasi dalam lingkungan sosial. Hal ini didukung dengan hasil wawancara yang disampaikan. Ibu Tini menyampaikan bahwa dirinya kerap kali mengalami kejang hingga tak sadarkan diri jika terlalu lelah atau banyak pikiran. Kondisi kejang yang dialami biasanya dimulai dirinya merasakan pusing yang hebat hingga penglihatan dan pendengaran yang tak jelas. Jika dirinya sudah mengalami hal tersebut, membuat dirinya tidak bisa pergi bekerja dan harus beristirahat secara total.

Predisposing Factors: (faktor pemudah)

1.������������ Kurang teratur dalam minum obat

2.������������ Managemen stres yang kurang efektif

3.������������ Memilikiriwayat depresi

Precipitating Factors: (faktor pencetus)

1.        Mengalami benturan pada area kepala sebelah kanan depan saat usia 6/ 7 tahun

2.        Permasalahan/ bebanfinancial dalam keluarga yang ditanggung sendiri

3.        Kesulitan ekonomi sehingga lambat terlambat dalam pemeriksaan awal

Perpetuating Factors: (faktor yang mempertahankan)

1.        Kurangnya perhatian dari suami dan anak laki-laki

2.        Kerap menerima/ menyalahkan diri sendiri atas permasalahan dalam keluarga

3.        Tidak memiliki teman dekat untuk bercerita

Protective Factor: (faktor pendukung)

1.        Mengenyam jenjang pendidikan SMK hingga selesai

2.        Memiliki tujuan agar dapat menjaga kesehatannya tetap stabil dan beban pikiran yang dirasakan dapat dikelola dengan baik

3.        Dukungan yang baik dari Tari (anak) agar Tini dapat berada dalam kondisi yang baik

 

4.         

Presenting Problem:

 

1.        Menderita epilepsi

2.        Kerap sulit tidur

 


Berikut ini merupakan bagan 5P untuk dapat memahami dari dinamika psikologis kondisi yang dialami Ibu Tini.

 

Dari bagan tersebut dapat dilihat, permasalahan terkini yang dialami oleh Ibu Tini adalah epilepsi serta kerap sulit tidur. Kondisi epilepsi ini muncul karena pengalaman trauma pada kepala yang dialami oleh Ibu Tini saat kecil akibat terjatuh. Kurangnya kondisi perekonomian keluarga membuat Ibu Tini terlambat mendapat penanganan sehingga baru diperiksakan saat gejala kejang sudah mulai sering muncul. Beban terkait financial masih menjadi salah satu beban yang menjadi pikiran bagi Ibu Tini.

Kondisi yang dialami semakin dipermudah karena Ibu Tini kurang teratur untuk minum obat yang membuatkejangnya kambuh hingga tak sadarkan diri. Ibu Tini juga kurang baik dalam memanajemen stres yang dialami. Selain itu adanya riwayat depresi pada Ibu Tini juga menjadi faktor pemudah dari kondisi yang dialami saat ini.

Pada orang yang mengalami depresi ditemukanterjadi perubahan pada beberapa area otak yang juga ditemukan sama pada penderita epilepsi, meskipun tak seluruhnya demikian. Hal ini karena bisa saja terjadi akibat faktor lain yang berperan seperti stres, lingkungan serta faktor risiko lainnya (Mula, 2019). Selain itu terbatas atau tidak adanya emosional suport, buruknya komunikasi juga dapat memperburuk kondisi. Epilepsi sendiri memang lekat dengan stigma negatif yang tak jarang membuat penderitanya menjadi rendah diri bahkan tak jarang menarik diri dalam pergaulan sosialnya. Penderita epilepsi juga tak jarang menumbuhkan gejala depresi padamasa preictal symptoms atau sebagai efek dari treatmen antiseizure (bisa dengan obat-obatan ataupun operasi (Mula, 2019).

Kondisi Ibu Tini juga tetap bertahan hingga kinidikarenakan kurangnya perhatian dari anggota keluarga seperti suami serta anak laki-lakinya akan kondisi yang dialami. Dirinya juga kerap menyalahkan diri atas segala permasalahan yang terjadi dalam keluarga serta tak adanya teman dekat untuk berbagi cerita.

Namun kondisi Ibu Tini dapat saja membaik karena ia memiliki kemauan dalam diri untuk mencari cara terbaik agar kondisi dirinya dapat tetap stabil serta mampu memanajemen stresnya dengan baik. Selain itu, dukungan dan perawatan dari anak perempuan satu-satunya juga dapat membantu agar kondisiIbu Tini menjadi lebih baik.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil asesmen dengan skala DASS, Ibu Tini berada pada kategori sedang untuk depresi, namun stres dan kecemasannya berada dalam kategori normal. Ibu Tini sebelumnya sudah didiagnosis mengalami depresi saat menjalani pemeriksaan terkait penyakit epilepsi yang dialaminya. Depresi adalah gangguan mood yang ditandai dengan perasaan sedih, putus asa, dan kehilangan minat pada aktivitas. Faktor penyebab depresi dapat meliputi perbedaan zat di otak, faktor genetik, rendahnya harga diri, serta faktor lingkungan yang terkait dengan kekerasan, penelantaran, pelecehan, atau kemiskinan. Ibu Tini merasa terpuruk karena kondisi kesehatannya dan merasa menjadi beban bagi orang lain. Ia juga merasa rendah diri secara finansial dan ragu untuk terlibat dalam relasi sosial. Hasil skala WHODAS menunjukkan bahwa Ibu Tini mengalami hambatan sedang dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari akibat kondisi medisnya, termasuk pemahaman dan komunikasi, gerakan, aktivitas sehari-hari, dan partisipasi sosial. Kejang yang dialami oleh Ibu Tini menyebabkannya tidak dapat bekerja dan harus beristirahat total.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Alkandahri, M. Y., & Putri, I. Q. A. E. (2021). Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Fenitoin Pada Pasien Epilepsi di Rumah Sakit Citra Sari Husada Intan Barokah Karawang. Buana Ilmu, 5(2), 119�128.

 

Barco, R. A., Garrity, G. M., Scott, J. J., Amend, J. P., Nealson, K. H., & Emerson, D. (2020). A genus definition for bacteria and archaea based on a standard genome relatedness index. MBio, 11(1), 10�1128.

 

Creswell, J. W. (2014). Qualitative, quantitative and mixed methods approaches. Sage.

Etikan, I. (2016). Comparison of Convenience Sampling and Purposive Sampling. American Journal of Theoretical and Applied Statistics, 5(1), 1. https://doi.org/10.11648/j.ajtas.20160501.11

 

Etikan, I., Alkassim, R., & Abubakar, S. (2016). Comparision of snowball sampling and sequential sampling technique. Biometrics and Biostatistics International Journal, 3(1), 55.

 

Fikry, I. A. Q., & Indika, P. M. (2020). Upaya Meningkatkan Motivasi Siswa Sekolah Menengah Pertama Dalam Mengikuti Kegiatan Ekstrakurikuler Olahraga. JURNAL STAMINA, 3(6), 527�543.

 

Hasibuan, D. K., & Dimyati, Y. (2020). Kejang Demam sebagai Faktor Predisposisi Epilepsi pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran, 47(9), 668�672.

 

Laksono Utomo, T., Abi Muhlisin, H. M., SKM, M., & Alis, N. (2013). Hubungan antara faktor somatik, psikososial, dan sosio-kultur dengan kejadian skizofrenia di instalasi rawat jalan RSJD Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

 

Rawlins, M. D. (2015). National Institute for clinical excellence: NICE works. Journal of the Royal Society of Medicine, 108(6), 211�219.

 

Regier, D. A., Narrow, W. E., Kuhl, E. A., & Kupfer, D. J. (2009). The conceptual development of DSM-V. American Journal of Psychiatry, 166(6), 645�650.

 

Salim, I. (2015). Perspektif Disabilitas dalam Pemilu 2014 dan Kontribusi Gerakan Difabel Indonesia bagi Terbangunnya Pemilu Inklusif di Indonesia. The POLITICS: Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 1(2), 127�156.

 

Salpekar, J. A., & Mula, M. (2019). Common psychiatric comorbidities in epilepsy: How big of a problem is it? Epilepsy & Behavior, 98, 293�297.

 

Saraswati, D. A., Sandrian, D. N., Nazulfah, I., Abida, N. T., Azmina, N., Indriyani, R., Suryaningsih, S., Usman, U., & Lestari, I. D. (2022). Analisis kegiatan p5 di sma negeri 4 kota tangerang sebagai penerapan pembelajaran terdiferensiasi pada kurikulum merdeka. Jurnal Pendidikan Mipa, 12(2), 185�191.

 

Silverman, J. J., Galanter, M., Jackson-Triche, M., Jacobs, D. G., Lomax, J. W., Riba, M. B., Tong, L. D., Watkins, K. E., Fochtmann, L. J., & Rhoads, R. S. (2015). The American Psychiatric Association practice guidelines for the psychiatric evaluation of adults. American Journal of Psychiatry, 172(8), 798�802.

 

WHO. (2019). Postpartum care of the mother and newborn: A practical guide: report of a technical working group. (1st ed.). Stationery Office Books.

 

Yuliana, A., Ruswanto, M. S., Apt, F. G., & Farm, M. (2021). Covid-19: Pandemi Yang Menyerang Bumi Kami. Jakad Media Publishing.

Copyright holder:

Ni Made Dwi Jayanti, Mary Philia Elisabeth (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: