Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

TRANSMISI INTERGENERASI DALAM HUBUNGAN ROMANTIS: STUDI PADA LAKI � LAKI DEWASA AWAL DARI KELUARGA BERCERAI

 

Fadilla M Aulia Rahma, Dwi Hastuti, Herien Puspitawati

Fakultas Ekologi Manusia, IPB University, Bogor, Indonesia

E-mail: [email protected]

 

Abstrak

Peningkatan signifikan pada kasus perceraian di Indonesia memiliki dampak bagi anak laki � laki terutama dalam hubungan romantisnya. Perspektif transmisi intergenerasi menjelaskan mekanisme proses belajar dalam menangani konflik hubungan romantis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme transmisi intergenerasi yang terjadi selama konflik dan perceraian orang tua kepada anak laki � laki serta implikasi konflik dan perceraian orang tua terhadap hubungan romantis mereka di masa depan. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan teknik analisis tematik data driven. Sebanyak 11 laki � laki dewasa awal berusia 20 � 29 tahun yang dipilih dengan purposive sampling. Teknik penarikan data menggunakan wawancara mendalam selama �2 jam untuk tiap wawancara. Hasil penelitian menunjukkan konflik dan perceraian orang tua banyak disebabkan oleh perselingkuhan, percecokan, dan masalah ekonomi. Konflik orang tua menyebabkan anak merasa sedih, takut, terancam, dan bingung. Dalam hubungan romantis, laki � laki yang pesimis dan cemas akan kesulitan dalam beradaptasi, berkomunikasi, dan mempertahankan hubungan, sementara laki � laki yang optimis dan yakin memiliki kemampuan regulasi diri, komunikasi, dan kepercayaan diri, serta berusaha menghindari kesalahan orang tua di masa lalu. Penelitian ini menunjukkan pentingnya pendampingan dan edukasi tentang resolusi konflik hubungan romantis pada individu dewasa awal, khususnya laki � laki.

 

Kata Kunci: Hubungan Romantis; Laki � laki; Dewasa Muda; Perceraian Orang Tua.

 

Abstract

The significant increase in divorce rates in Indonesia has implications for young males, particularly in their romantic relationships. The intergenerational transmission perspective explains the learning process mechanisms involved in handling conflicts in romantic relationships. This paper investigates the intergenerational transmission mechanisms that occur during parental conflicts and divorce, specifically focusing on their implications for young males' future romantic relationships. This qualitative study utilized a data-driven thematic analysis approach to explore the experiences of 11 early adult males aged 20 to 29. In-depth interviews were conducted with each lasting approximately 2 hours. The findings revealed that parental conflicts and divorce were often attributed to infidelity, arguments, and financial issues. These conflicts resulted in feelings of sadness, fear, threat, and confusion among the children. In the context of romantic relationships, males who displayed pessimism and anxiety faced difficulties in adaptation, communication, and relationship maintenance. Conversely, optimistic and confident males demonstrated self-regulation skills, effective communication, and self-assuredness. They made conscious efforts to avoid repeating their parents' past mistakes. This study provides insights into the intergenerational transmission of relationship skills among young adult males affected by parental divorce. The findings highlight the importance of education for young males in conflict resolution of romantic relationship.

 

Keywords: Romantic Relationship; Parental Divorce; Male; Young Adult.

 

Pendahuluan

Cerai talak dan cerai gugat merupakan fenomena yang semakin meningkat setiap tahun di Indonesia. Menurut data statistik BPS (2022), terdapat peningkatan jumlah kasus perceraian sebesar 8.862 kasus (2016-2017) dan 33.686 kasus (2017-2018). Peningkatan yang signifikan ini menunjukkan adanya situasi darurat dalam kehidupan keluarga di Indonesia. Anak-anak yang mengalami perceraian harus menghadapi konsekuensi tinggal bersama keluarga yang tidak stabil. Konflik dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang umum terjadi. Namun, ketidakmampuan dalam menyelesaikan konflik secara efektif dapat menimbulkan masalah yang lebih kompleks dan akhirnya memunculkan keputusan untuk bercerai. Keluarga yang tidak stabil dan penuh dengan konflik tidak mendukung pertumbuhan optimal anak-anak.

Beberapa penelitian telah mengkaji dampak konflik orang tua terhadap anak dengan mempertimbangkan frekuensi, intensitas, dan cara penyelesaian masalah selama konflik berlangsung. Jika konflik orang tua terjadi lebih sering dan intensitasnya tinggi tanpa penyelesaian yang sehat, kemungkinan besar dampak negatif yang dirasakan anak akan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan anak, termasuk hubungan romantis di masa dewasa. Sebuah penelitian longitudinal menemukan bahwa perceraian juga memiliki konsekuensi yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan anak, seperti kesehatan mental, kesejahteraan subjektif, pendidikan, dan hubungan interpersonal.

Dalam konteks hubungan interpersonal, terbukti bahwa konflik dan perceraian orang tua memiliki dampak signifikan terhadap sikap anak terhadap perkawinan. Dampak tersebut mencakup sikap pesimis dan ketakutan terhadap pernikahan, tingkat komitmen yang rendah, serta kurangnya kemampuan interpersonal yang diperlukan untuk menjaga hubungan romantis. Efek yang ditimbulkan oleh konflik dan perceraian ini dapat berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Pada anak laki-laki, cenderung terjadi penundaan atau bahkan penolakan untuk menikah, terutama jika mereka berasal dari latar belakang ekonomi rendah. Hal ini dapat dijelaskan oleh pengaruh negatif dari pola hubungan romantis yang tidak sehat yang mereka saksikan dari orang tua mereka. Ketika anak menyaksikan atau mengetahui orang tua bertengkar, anak-anak mendapatkan contoh yang tidak baik dalam hubungan romantis, sehingga mereka juga cenderung menghadapi konflik serupa dalam hubungan mereka sendiri di masa depan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme transmisi intergenerasi yang terjadi selama konflik dan perceraian orang tua kepada anak laki � laki serta implikasi konflik dan perceraian orang tua terhadap hubungan romantis mereka di masa depan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada berbagai pihak seperti peneliti, praktisi keluarga, lembaga swadaya masyarakat, organisasi non-pemerintah, lembaga pemerintah, dan stakeholder lainnya agar dapat meningkatkan kesadaran mengenai dampak yang ditimbulkan oleh konflik dan perceraian orang tua. Melalui pengembangan program yang mendukung dan mendampingi keluarga dalam proses penyelesaian konflik dan adaptasi pasca perceraian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan sebagai langkah awal yang menjelaskan fenomena dampak permasalahan dan meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh konflik dan perceraian tersebut.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan teknik kualitatif deskriptif yang dapat menjelaskan fenomena unik yang terjadi. Teknik kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus komparatif yang berfokus pada membandingkan pola hasil temuan antar responden dengan kategori-kategori tertentu. Data akan dianalisis dengan metode analisis tematik yang memudahkan peneliti untuk menyusun data hasil penelitian secara sistematis serta meningkatkan akurasi dan sensitivitas dalam menginterpretasi data. Penelitian ini menggunakan teknik data driven untuk membahas hasil data penelitian. Fokus dari penelitian ini adalah persepsi anak tentang perceraian orang tua dan persepsi tentang hubungan romantis mereka di masa depan.

Teknik pengambilan contoh yang digunakan adalah metode non probability sampling dengan teknik purposive sampling. Kriteria tertentu ditetapkan untuk menjaring responden yaitu laki � laki berusia 20 � 30 tahun, memiliki orang tua yang bercerai, dan belum menikah. Sebanyak 11 orang laki � laki berusia 20 � 29 tahun bersedia mengikuti rangkaian penelitian. Wawancara mendalam (in-depth interview) dilakukan dengan tatap muka secara daring dan luring selama �2 jam untuk tiap wawancara. Data kemudian diolah dalam tema � tema tertentu melalui transkripsi, reduksi, dan interpretasi data. Teknik validasi data yang digunakan adalah triangulasi teori yang berarti beberapa teori digunakan untuk membahas fenomena atau data yang telah dikumpulkan.

Peneliti akan memberikan pertanyaan terkait (1) Karakteristik personal (tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, usia ketika orang tua bercerai, status hubungan romantis); karakteristik keluarga (tingkat pendidikan ayah dan ibu, pendapatan keluarga, penyebab perceraian); (2) Riwayat konflik dan perceraian orang tua, pengalaman anak mengalami konflik dan perceraian orang tua (frekuensi, intensitas, alasan konflik, keterlibatan responden dalam konflik, cara orang tua berkonflik, dan persepsi setelah konflik orang tua); (3) Riwayat hubungan romantis (jumlah, durasi, pengalaman yang paling berkesan, konflik yang dialami dengan pasangan, ekspektasi hubungan romantis, cara responden menghadapi konflik dengan pasangan); dan (4) pengaruh lingkungan sosial (personal value, gaya hidup).

 

Tabel 1

Gambaran Responden Penelitian

ID/Inisial/Usia

Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendapatan

Usia Ketika Orang Tua Bercerai

Status Hubungan Romantis

RR/21

S1

4

2

1

ES/21

S1

2

3

1

MI/24

S1

2

1

1

BP/25

S1

4

2

1

RA/25

S1

4

3

0

IJ/26

S1

1

3

0

ZD/26

S1

5

3

0

MRA/26

S1

4

3

0

VA/26

S1

4

1

1

FF/27

S1

4

3

0

MRH/27

S1

4

3

1

Hasil dan Diskusi

Karakteristik keluarga

Tabel 2 menunjukkan gambaran karakteristik keluarga pada tiap responden. Berdasarkan hasil wawancara, tingkat pendidikan ayah dan ibu yang paling rendah adalah tingkat SMA. Sebagian besar keluarga responden (64%) memiliki pendapatan sebesar 5.000.001 � 10.000.000 rupiah, dengan skenario pendapatan tunggal maupun pendapatan gabungan dari ayah dan ibu. Sebagian besar perceraian (55%) disebabkan oleh masalah tunggal, dan sisanya karena penyebab ganda. Penyebab perceraian yang dilaporkan diantaranya masalah ekonomi, pertengkaran terus menerus, perselingkuhan, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Diantara penyebab tunggal dan ganda, perselingkuhan menjadi penyebab yang paling banyak dilaporkan. Senada dengan temuan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa perselingkuhan merupakan alasan yang paling sering diungkapkan, diikuti dengan alasan kedua yaitu rendahnya kualitas pernikahan yang disebabkan buruknya komunikasi, ketidakcocokan kepribadian, dan lainnya. Masalah ekonomi yang terkait dengan hutang, ketidakmampuan untuk menafkahi keluarga, dan tidak ada transparansi dalam pengelolaan keuangan keluarga menjadi alasan ketiga yang dilaporkan dalam penelitian ini. Tekanan finansial meningkatkan risiko kesalahpahaman antar suami dan istri dan berpotensi pada konflik. Konflik yang berkepanjangan berisiko menurunkan stabilitas dan kepuasan pernikahan, dan permasalahan ini cenderung diturunkan kepada anak.

Tabel 2

Gambaran Karakteristik Keluarga

ID/Inisial/Usia

Tingkat Pendidikan Ayah/Ibu

Tingkat Pendapatan Keluarga

Alasan Perceraian

RR/21

4/4

5

Masalah ekonomi

ES/21

4/4

5

Perselingkuhan, percekcokan

MI/24

3/4

4

Masalah ekonomi, Tanggung jawab

BP/25

4/4

4

Perselingkuhan

RA/25

4/3

5

Percekcokan

IJ/26

4/3

4

Kekerasan dalam rumah tangga, Perselingkuhan

ZD/26

3/3

5

Perselingkuhan

MRA/26

3/3

4

Masalah ekonomi

VA/26

3/4

5

Perselingkuhan

FF/27

4/4

5

Masalah ekonomi, Percekcokan

MRH/27

4/4

5

Perselingkuhan, Percekcokan

 

Konflik dan Perceraian Orang Tua

Pasangan suami istri dapat terlibat dalam konflik karena berbagai keadaan keluarga yang berbeda. Studi sebelumnya menemukan bahwa konflik orang tua berdampak pada banyak aspek kehidupan keluarga, termasuk tingkat stres individu (ayah dan ibu), praktik pengasuhan ayah dan ibu, tingkat penyesuaian diri anak, perkembangan psikososial, dan perspektif mereka tentang pernikahan.

Ketika orang tua berkonflik, frekuensi, intensitas, dan keterlibatan anak menjadi sumber pembelajaran tentang hubungan romantis bagi anak.Keterlibatan anak dalam konflik orang tua dapat berbentuk secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan secara langsung ditunjukkan seperti terlibat langsung dalam perselisihan orang tua, anak mencoba melerai perselisihan orang tua, atau menyaksikan perselisihan orang tua dari dekat. Keterlibatan tidak langsung ditunjukkan seperti mendengar konflik dari jauh, mendengar salah satu orang tua menceritakan konflik diantara kedua orang tua, atau diminta pendapat untuk memberikan solusi atau keputusan terhadap konflik orang tua. Berikut pernyataan beberapa responden terkait konflik orang tua yang mereka alami.

�Aku tuh baru tau kalo orang tuaku sebenernya udah tengkar dari lama, setelah mama cerita ke aku dan minta pendapatku gimana kalo papa sama mama cerai. Dulu sempet beberapa kali tau kalo mereka lagi adu mulut, tapi kaya yaudah� (RU, 25).

�Jadi sebelum cerai itu ya udah sering bertengkar, sampai cerai. Aku tau kalo papa sama mama tuh lagi tengkar, tapi papa selalu mengkondisikan kita supaya nggak tau kalo mereka bertengkar. Kita biasanya disuruh masuk kamar, aku juga mendistraksi diriku dengan main game. Setelah cerai konfliknya justru tambah parah karena ada campur tangan dari pacar baru mama.� (ES, 21).

�Jadi masalahnya karena orang ketiga, dan abi kan emang orangnya temperamental jadi gampang marah. Jadi abi memang sudah melakukan kekerasan dari dulu, nggak cuma ke mamaku tapi juga ke aku dan mbak � mbakku. Puncaknya adalah pas orang ketiga ini dipanggil mamaku kerumah. Abi pulang terus marah, dipukulinlah mamaku di depan si orang ketiga itu, mamaku dibenturin ke TV sama tembok sampai pingsan, aku dibanting ke lantai sampe engep (re:sesak napas) gitu lho� (IJ, 26).

 

Dalam meresolusi konflik sebelum dan setelah bercerai, orang tua responden menggunakan beberapa cara untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah. Cara yang biasanya digunakan diantaranya (1) menggunakan konfrontasi baik secara verbal maupun nonverbal; (2) membiarkan masalah berlalu tetapi menjadi semakin intens hingga salah satu pihak meninggalkan pasangan; dan (3) saling mendiamkan dan menghindari satu sama lain. Berikut pernyataan beberapa responden terkait resolusi konflik yang dilakukan oleh orang tua.

�Setelah cerai agama waktu aku umur sembilan tahun, ya udah mulai perang dingin. Jadi masih serumah, tapi aku tidur dibawah sama ayah, adikku tidur diatas sama ibuku.� (RR,22).

�Jadi ketika proses cerai itu, papa mamaku kaya mengulur � ulur gitu buat menyelesaikan masalahnya. Akhirnya dibantu sama kakak � kakaknya mamaku buat mengkomunikasikan mereka berdua tuh maunya apa.� (RU, 25).

 

Tabel 3

Gambaran Konflik Orang Tua

Dimensi

Keterangan

Keterlibatan anak dalam konflik

1.  Tidak mengetahui dan tidak terlibat dalam konflik

2.  Mengetahui tetapi tidak terlibat dalam konflik

3.  Mengetahui dan terlibat dalam konflik

Frekuensi konflik

Jarang: Terjadi 1x seminggu

Sedang: Terjadi 3-5x seminggu

Sering: Terjadi setiap hari

Intensitas konflik

Rendah: Percekcokan tentang hal sehari � hari atau miskomunikasi

Sedang: Percekcokan tentang masalah sepele namun berulang

Tinggi:

Resolusi konflik

1.  Konfrontasi verbal maupun nonverbal

2.  Membiarkan masalah berlalu tanpa penyelesaian

3.  Saling mendiamkan dan menghindari satu sama lain

4.  Meninggalkan pasangan

Perasaan terancam dan bersalah

1.  Merasa tidak berguna karena tidak bisa mendamaikan orang tua

2.  Ketakutan akan terkena dampak fisik/kekerasan

3.  Khawatir tentang kehidupan setelah orang tua bercerai

4.  Khawatir diabaikan oleh orang tua setelah bercerai

 

Dari berbagai macam model konflik orang tua beserta penyelesaiannya, anak terdampak secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu dampaknya adalah perasaan terancam dan bersalah. Hal ini dirasakan dalam berbagai bentuk seperti bingung, kecewa, dan tidak berdaya. Berikut pernyataan beberapa responden terkait bentuk perasaan terancam dan bersalah akibat konflik orang tua.

�Menurut aku sumber masalahnya uang, dan kalo aku mencoba mendamaikan mereka berdua tuh kaya cuma meredakan simtomnya aja.� (RR, 22).

�Aku merasa takut ya, yaa kalo anak kecil pasti kan takut ya kalo liat orang marah � marah. Dan karena udah beberapa kali tau kalo marah � marah kaya gitu pasti akan ada kekerasan kan, jadi kaya trauma gitu lho. Aku merasa marah juga, waktu itu sempet mau telepon polisi hehe. Aku lebih mengkhawatirkan mamaku. Aku mencoba melerai, tapi malah kena sendiri.� (IJ, 26).

 

Perasaan yang paling umum dirasakan oleh anak saat mengetahui perceraian orang tua adalah sedih dan bingung. Pada anak � anak yang terlibat ataupun hanya menyaksikan orang tua berkonflik, mereka merasakan sedih karena melihat kondisi keluarga yang tidak harmonis. Ketika perceraian terjadi, perasaan malu muncul karena keluarga menjadi tidak utuh dan membandingkan dengan keluarga lainnya. Temuan penelitan sebelumnya menegaskan bahwa anak yang orang tuanya bercerai merasakan berbagai emosi seperti mengasihani diri sendiri, menyalahkan orang tua, dan kecewa terhadap keputusan berpisah yang diambil. Emosi negatif ini diperkuat dengan adanya stigma � stigma negatif yang dilekatkan kepada anak dari keluarga yang bercerai. Kemudian, responden berusaha menjadi penengah bagi orang tuanya yang sedang berkonflik, namun karena keterbatasan diri dan sumber daya sehingga mereka tidak dapat membantu menyelesaikan konflik dan timbul perasaan tidak berdaya untuk memperbaiki situasi dan menyelamatkan keutuhan keluarga.

Hubungan Romantis Laki � Laki Dewasa

Hubungan romantis merupakan hubungan yang dibangun atas dasar kepercayaan serta perlu diupayakan. Namun pada anak laki � laki yang beranjak dewasa dan memiliki riwayat konflik keluarga yang berujung cerai menghadapi tantangannya sendiri. Ketika menyaksikan konflik orang tuanya, muncul rasa terancam dan bersalah yang mengarah pada kecemasan yang termanifestasikan dalam hubungan romantis yang ia jalani. Kecemasan dalam hubungan berkaitan dengan rasa cemas terhadap penolakan, pengkhianatan, ketakutan akan ditinggalkan, dan hal negatif lainnya yang dirasakan seseorang ketika menjalin hubungan romantis. Berikut pernyataan beberapa responden terkait rasa cemas yang dirasakan ketika hubungan romantis mereka mengalami masalah maupun pandangan tentang hubungan romantis kedepannya.

�Kalo lagi ada masalah, aku cenderung ngalah sih karena itu opsi paling aman buatku. Agak sulit buat aku bisa memulai dan mempertahankan hubungan, karena dari kecil aku merasa nggak dilihat gitu sama orang tuaku, sama orang lain. Jadi sebisa mungkin kalau aku udah punya hubungan yang cocok buat aku, aku akan berusaha mempertahankan itu, even aku harus banyak ngalah. Aku ngerasa kaya mainan rusak gitu karena orang tuaku yang bercerai, jadi aku ngerasa aku yang nggak ada apa � apanya ini nggak punya banyak pilihan untuk bereaksi pada suatu hal.� (BP, 25, memiliki pasangan).

Aku kadang merasa nggak yakin gitu ketika menjalin hubungan, entah itu takut diselingkuhin, atau gagal lagi untuk hubungan yang serius. Kebayang gitu sih. Apalagi kalo menikah, aku pun kebayang tentang perceraian kedepannya.� (ZD, 26, tidak memiliki pasangan).

�Apa ya, aku nggak ngerti gimana caranya menyelesaikan konflik, sama pasangan maupun nggak sama pasangan. Aku jarang bilang apa yang tak rasakan karena juga nggak dibiasain ngomong ya di keluarga. Biasanya kalo ada masalah tuh tak biarin aja gitu sampe masalahnya mereda sendiri, atau sampe siap buat ngebicarain masalah itu.� (MRA, 26, tidak memiliki pasangan).

�Hmm mungkin gue menunda menikah saking lamanya gue mempersiapkan diri gue untuk menikah, ya gawe, baca buku, ngatur budget, supaya nggak kaya artis � artis yang nikah muda gampang cerai gitu. Yaa berkaca lagi dari orang tua gue yang nggak bisa mempertahankan pernikahannya.� (FF, 27, tidak memiliki pasangan).

 

Anak laki � laki dewasa menggunakan hubungan romantis orang tuanya sebagai patokan dalam merencanakan dan menjalani hubungan romantis dengan pasangan. Pengalaman buruk dalam pernikahan orang tua berpengaruh pada cara orang tua bersikap dan menyalurkan kecemasan dan kekesalannya kepada anak melalui interaksi sehari � hari. Para responden yang kesulitan untuk menentukan cara pemecahan masalah dalam hubungan romantisnya dikarenakan melihat orang tuanya menghadapi dan menyelesaikan konflik dengan cara � cara yang tidak adaptif. Orang tua yang memiliki cara yang salah dalam mengelola hubungan diamati oleh anak sehingga anak mengembangkan hendaya atau kesulitan tertentu dan keyakinan yang negatif terhadap hubungan romantis. Contohnya, orang tua yang saling mendiamkan ketika ada masalah dipelajari oleh anak sebagai resolusi masalah dengan cara mendiamkan atau membiarkan masalah tanpa dibicarakan. Hal ini tentunya membuat masalah dalam hubungan tidak bisa dikomunikasikan dengan baik dan berakhir tanpa penyelesaian.

Selain perilaku, respons emosi dapat dikembangkan dengan mempelajari bagaimana orang lain merespons suatu stimulus, yang dalam konteks ini adalah konflik orang tua. Tingkat intensitas dan frekuensi konflik orang tua berkaitan dengan ekspektasi seseorang untuk mencintai dan dicintai dalam sebuah relasi interpersonal, khususnya dalam hubungan romantis. Hal ini menegaskan bahwa hubungan pernikahan orang tua menjadi acuan bagi anak untuk membentuk, mengelola, dan mempertahankan hubungan romantisnya sendiri atau dikenal dengan transmisi intergenerasi konflik interpersonal.

Terdapat tiga kemungkinan yang dapat terjadi ketika orang tua berkonflik hingga akhirnya bercerai. Pertama, anak akan meniru cara orang tuanya berelasi romantis dalam pola yang kurang adaptif. Kedua, anak akan mempelajari kesalahan � kesalahan orang tuanya dan berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut dalam hubungan romantisnya di masa depan. Ketiga, anak akan mengalami kebingungan dalam mengambil sikap dan tindakan yang perlu dilakukan dalam resolusi konflik dengan pasangan sehingga berpengaruh pada keyakinan terhadap diri sendiri yang rendah. Senada dengan temuan penelitian sebelumnya yang menunjukkan pengaruh signifikan antara masalah dalam rumah tangga orang tua dengan kecenderungan konflik pada individu dalam hubungan romantis mendatang kualitas dan kemampuan interpersonal individu dalam hubungan romantis dipengaruhi oleh praktik pengasuhan dan interaksi orang tua dalam rumah tangga.

Namun, konflik yang dipelajari anak juga bisa menjadi motivasi untuk menghindari kesalahan yang dilakukan orang tuanya. Beberapa responden mengungkapkan optimisme dalam menjalani hubungan romantisnya.

�Ketika aku misalnya tengkar sama cewekku ya, menurutku blaming itu ga nyelesein masalah, kita berdua cari solusinya, kita harus cari titik keluarnya, walaupun itu pelan � pelan, tapi kita menuju kesana. Aku ngelihat masalah dari akar sampe solusinya, karena pasti nggak satu faktor aja kan. Aku telusuri sebab akibatnya, jadi bisa tau bagian mana yang menyebabkan masalah. Aku mikir nggak ada masalah yang nggak bisa diselesaikan sih.� (MRH, 27, memiliki pasangan).

�Pertengkaran itu kan pasti akan selalu terjadi ya dalam hubungan, jadi yaudah kalo waktunya bertengkar ya tengkar, tapi menurutku konflik itu harus bisa diselesaikan, harus.� (RU, 25, tidak memiliki pasangan).

Meskipun aku nggak bisa belajar problem solving dari orang tuaku, aku belajar dari ngamati orang lain gitu. Kan nanti kalo udah nikah ya aku pengennya melibatkan pasanganku untuk menyesuaikan kehidupan sama ibuku, aku cukup yakin sih untuk bisa ngehandle mereka berdua. Apalagi ibuku kan agak emosian, tapi aku udah tau titik � titiknya jadi aman lah.� (VA, 27, memiliki pasangan).

 

Meskipun memiliki sumber daya yang terbatas untuk mempelajari hubungan romantis yang sehat, responden berusaha belajar dari sumber lain dan menanamkan keyakinan pada diri sendiri bahwa mereka akan mampu untuk mewujudkan hubungan romantis dan kehidupan yang lebih baik daripada orang tuanya.

 

Tabel 4

Gambaran Hubungan Romantis Laki � Laki Dewasa

Situasi

Keterangan

Pesimisme dan cemas

1.           Merasa tidak cocok/sulit cocok dengan karakter pasangan

2.           Merasa malu dengan histori keluarga yang bercerai

3.           Takut akan ditinggalkan karena tidak memenuhi ekspektasi pasangan

4.           Merasa tidak divalidasi dan didukung secara emosional

5.           Tidak memiliki gambaran dan kemampuan untuk komunikasi dan resolusi konflik dengan pasangan

6.           Merasa tidak memiliki gambaran dan keinginan untuk memiliki hubungan romantis jangka panjang di masa depan

Optimis dan yakin

1.           Mampu mengelola emosi, pengendalian diri, dan percaya diri

2.           Mampu mengkomunikasikan kebutuhan dan memiliki kemampuan resolusi konflik yang goal oriented

3.           Merasa mendapatkan dukungan yang cukup dari pasangan (kompromi dan komunikasi)

4.           Merasa mampu untuk memiliki, memimpin, dan mengarahkan pasangan dalam hubungan romantis jangka panjang di masa depan

 

DEARR (Development of The Early Adult Romantic Relationships) Model menjelaskan bahwa pola hubungan orang tua dan pengalaman interaksi dalam keluarga mempengaruhi hubungan romantis individu dewasa awal terutama dalam perilaku individu dan kemampuan interpersonal. Mengacu kembali pada teori sosial belajar yang dikemukakan Bandura bahwa pengalaman interaksi dalam keluarga menjadi hal yang tidak disadari telah dipelajari dan diinternalisasi oleh anak. Teori besar tersebut yang melandasi adanya proses transmisi intergenerasi (intergenerational transmission) dari kehidupan keluarga asal pada keengganan menikah yang muncul pada laki � laki dewasa awal.

 

Kesimpulan

Penelitian ini menemukan penyebab perceraian yang sering dilaporkan yaitu perselingkuhan, perselisihan, dan masalah ekonomi. Ketika konflik orang tua terjadi, anak merasakan berbagai dampak emosional seperti perasaan terancam, bersalah, sedih, dan bingung. Dinamika konflik orang tua yang kompleks memberikan banyak implikasi pada persepsi anak laki � laki tentang hubungan romantis dan membentuk cara mereka dalam menjalani hubungan tersebut. Konflik dan perceraian orang tua menjadi faktor yang membentuk (1) sikap terhadap hubungan romantis/pernikahan, (2) cara resolusi konflik dalam hubungan romantis, (3) penyesuaian diri dan pola komunikasi anak dalam hubungan romantis, dan (4) ekspektasi untuk memiliki hubungan romantis jangka panjang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik Indonesia 2022�. Jakarta.

 

Afifi, T. "Divorce." Dalam Berger, C., & Roloff, M. (Eds.), (2016). The International Encyclopedia of Interpersonal Communication, First Edition, 123-130. John Wiley & Sons, Inc. DOI:10.1002/9781118540190.wbeic0050.

 

Amato, Paul R., & Christopher Dorius. (2010). "Fathers, Children, and Divorce." Dalam The Role of the Father in Child Development, diedit oleh Michael Lamb, 177-200. John Wiley & Sons Inc.

 

Amato, Paul R., & Denise Previti. (2003). "People's reasons for divorcing: Gender, social class, the life course, and adjustment." Journal of family issues 24, no. 5: 602-626.

 

Bandura, Albert, & Richard H. Walters. (1977). Social learning theory. Vol. 1. Prentice Hall: Englewood cliffs.

 

Boyatzis, Richard E. (1998). Transforming qualitative information: Thematic analysis and code development. SAGE Publications.

 

Braithwaite, Scott R., Reed A. Doxey, Krista K. Dowdle, & Frank D. Fincham. (2016). "The unique influences of parental divorce and parental conflict on emerging adults in romantic relationships." Journal of Adult Development 23: 214-225.

 

Conger, Rand D., Ming Cui, and Frederick O. Lorenz. (2011). "Intergenerational continuities in economic pressure and couple conflict in romantic relationships." Romantic relationships in emerging adulthood (pp. 101�122). Cambridge University Press.

 

Conger, Rand D., Ming Cui, Chalandra M. Bryant, & Glen H. Elder Jr. (2000). "Competence in early adult romantic relationships: a developmental perspective on family influences." Journal of personality and social psychology 79, no. 2: 224

 

Creswell, J. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design Second Edition. California: Sage Publications.

 

Cui, Ming, & Frank D. Fincham. (2010). "The differential effects of parental divorce and marital conflict on young adult romantic relationships." Personal relationships 17, no. 3: 331-343.

 

Cui, Ming, & Frank D. Fincham. (2010). "The differential effects of parental divorce and marital conflict on young adult romantic relationships." Personal relationships 17, no. 3: 331-343.

 

Cui, Ming, Frank D. Fincham, & B. Kay Pasley. (2008). "Young adult romantic relationships: The role of parents' marital problems and relationship efficacy." Personality and Social Psychology Bulletin 34, no. 9: 1226-1235.

 

Cui, Ming, Frank D. Fincham, & Jared A. Durtschi. (2011). "The effect of parental divorce on young adults' romantic relationship dissolution: What makes a difference?." Personal Relationships 18, no. 3: 410-426. https://doi.org/10.1111/j.1475-6811.2010.01306.x."

 

Dalton III, William T., Donna Frick-Horbury, & Katherine M. Kitzmann. (2006). "Young adults' retrospective reports of parenting by mothers and fathers: Associations with current relationship quality." The Journal of general psychology 133, no. 1: 5-18.

 

Einav, Michal. (2014). "Perceptions about parents' relationship and parenting quality, attachment styles, and young adults� intimate expectations: A cluster analytic approach." The Journal of psychology 148, no. 4: 413-434. DOI: 10.1080/00223980.2013.805116.

 

Eversole, Brittany, Clifton P. Flynn, & Laura Jennings. (2014). "Divorce, Parental Conflict and Adult Children�s Relationship Attitudes: Examining the Connection."

 

Hastuti, Dwi. (2008). "Pengasuhan: Teori, prinsip dan aplikasinya." Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Hetherington, E. Mavis, & Anne Mitchell Elmore. (2004). "The intergenerational transmission of couple instability." Human development across lives and generations: The potential for change : 171-203.

 

Keith, Verna M., and Barbara Finlay. (1988). "The impact of parental divorce on children's educational attainment, marital timing, and likelihood of divorce." Journal of Marriage and the Family: 797-809.

 

Newman, Barbara M., & Philip R. Newman. (2015). Development through life: A psychosocial approach. Cengage Learnin.

 

Olson, David HL, John D. DeFrain, and Linda Skogrand. (2011). Marriages & Families: The Social Context of Intimate. Mcgraw-Hill.

 

Rauer, Amy J., Gregory S. Pettit, Jennifer E. Lansford, John E. Bates, and Kenneth A. Dodge. (2013) "Romantic relationship patterns in young adulthood and their developmental antecedents." Developmental psychology 49, no. 11: 2159.

 

Rhoades, Galena K., Scott M. Stanley, Howard J. Markman, & Erica P. Ragan. (2012). "Parents' marital status, conflict, and role modeling: Links with adult romantic relationship quality." Journal of Divorce & Remarriage 53, no. 5: 348-367.

 

Roper, Skyer W., Stephen T. Fife, and Ryan B. Seedall. (2020). "The intergenerational effects of parental divorce on young adult relationships." Journal of Divorce & Remarriage 61, no. 4: 249-266.

 

Roper, Skyer W., Stephen T. Fife, and Ryan B. Seedall. (2020). "The intergenerational effects of parental divorce on young adult relationships." Journal of Divorce & Remarriage 61, no. 4: 249-266.

 

Sağkal, Ali S., and Yal�ın �zdemir. (2019). "Interparental conflict and emerging adults� couple satisfaction: The mediating roles of romantic relationship conflict and marital attitudes." Başkent University Journal of Education 6, no. 2: 181-191.

 

Sağkal, Ali Serdar, and Yal�ın �zdemir. (2019). "Interparental conflict and emerging adults� couple satisfaction: The mediating roles of romantic relationship conflict and marital attitudes." Başkent University Journal of Education 6, no. 2: 181-191.

 

Sassler, Sharon, Anna Cunningham, & Daniel T. Lichter. (2009). "Intergenerational patterns of union formation and relationship quality." Journal of Family Issues 30, no. 6: 757-786.

 

Soloski, Kristy L., Thomas W. Pavkov, Kathryn A. Sweeney, and Joseph L. Wetchler. (2013). "The social construction of love through intergenerational processes." Contemporary Family Therapy 35: 773-792.

 

Soloski, Kristy L., Thomas W. Pavkov, Kathryn A. Sweeney, and Joseph L. Wetchler. (2013). "The social construction of love through intergenerational processes." Contemporary Family Therapy 35: 773-792.

 

Supratman, Lucy Pujasari. (2020). "A qualitative study of teenagers viewpoint in dealing with parents� divorce in Indonesia." Journal of Divorce & Remarriage 61, no. 4: 287-299.

 

Surjadi, Florensia F., Frederick O. Lorenz, Rand D. Conger, and K. A. S. Wickrama. (2013). "Harsh, inconsistent parental discipline and romantic relationships: mediating processes of behavioral problems and ambivalence." Journal of family psychology 27, no. 5: 762.

 

Van Ijzendoorn, Marinus H. (1992). "Intergenerational transmission of parenting: A review of studies in nonclinical populations." Developmental review 12, no. 1: 76-99.

 

Wallerstein, J., and J. Lewis. (2004). "The unexpected legacy of divorce: The 25-year legacy of divorce." Psychoanalytic Psychology 21, no. 3: 353-370.

 

Willoughby, Brian J., Scott S. Hall, and Heather P. Luczak. (2015). "Marital paradigms: A conceptual framework for marital attitudes, values, and beliefs." Journal of Family Issues 36, no. 2: 188-211.

 

Wolfinger, Nicholas H. (2003). "Parental divorce and offspring marriage: Early or late?." Social Forces 82, no. 1: 337-353. doi:10.1353/sof.2003.0108

 

Xia, Mengya, Gregory M. Fosco, Melissa A. Lippold, and Mark E. Feinberg. (2018). "A developmental perspective on young adult romantic relationships: Examining family and individual factors in adolescence." Journal of youth and adolescence 47: 1499-1516.

 

Yaacob, Siti Nor, Fam Jia Yuin, Firdaus Mukhtar, and Zarinah Arshat. (2016). "Being caught in the middle of inter-parental conflict: Relationship between inter-parental conflict and attitudes towards marriage among male and female adolescents from divorced families." Asian Social Science 12, no. 12: 57-64.

 

Copyright holder:

Fadilla M Aulia Rahma, Dwi Hastuti, Herien Puspitawati (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: