Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
10, Oktober 2022
KEPASTIAN HUKUM DALAM PENJATUHAN TINDAKAN
ATAS DASAR KEADAAN PRIBADI ANAK
Delviola Azhara, Ade Adhari
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai penjatuhan tindakan kepada Anak yang melakukan tindak pidana berdasarkan keadaan pribadi Anak. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang. Keadaan pribadi anak dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan sanksi pidana, namun bukanlah sebagai alasan yang mampu membenarkan diri dalam melakukan pelanggaran hukum. Sampai saat ini keadaan pribadi anak masih tetap ada sebagai bagian dari alasan pemidanaan pidana. Kepastian hukum dari keadaan pribadi Anak sebagai penjatuhan sanksi Tindakan menjadi penting untuk memberikan keadilan terhadap Anak yang menjadi pelaku tindak pidana, bahwa Anak yang memiliki (kondisi) keadaan pribadi pada waktu dilakukan perbuatan dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan sanksi pidana dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Kata kunci: Penjatuhan Tindakan, Keadaan pribadi Anak, Kepastian Hukum.
Abstract
The purpose of
this research is to find out how Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile
Criminal Justice System regulates the imposition of measures on children who
commit criminal offenses based on the child's personal circumstances. The
research method used is normative juridical method with statutory approach. The
personal circumstances of children can be used as a basis for judges'
consideration not to impose criminal sanctions, but not as an excuse that can
justify themselves in violating the law. Until now, the personal circumstances
of children still exist as part of the reasons for criminal punishment. The
legal certainty of the child's personal circumstances as the imposition of
sanctions is important to provide justice to children who are perpetrators of
criminal acts, that children who have (conditions) personal circumstances at
the time of the act can be used as a basis for judges not to impose criminal
sanctions by considering aspects of justice and humanity.
Keywords: Imposition of Measures, Personal
circumstances of the Child, Legal certainty
Pendahuluan
Hukum
diciptakan dengan tujuan untuk menjaga
ketertiban dan kesejahteran
masyarakat. Hukum telah menjadi bagian dari masyarakat dan terus berkembang seiring waktu. Sebuah adigium terkenal yang sangat mencerminkan
tidak dapat dipisahkannya hukum dengan masyarakat adalah ubi societas ibi ius, yang artinya
dimana ada masyarakat disitulah hukum berada, dan apabila ada keduanya,
maka disitu timbul sebuah kejahatan
(Utrecht, 1966).
Tindakan
pidana merupakan suatu kealpaan dalam menjalankan aturan, baik secara
sengaja maupun tidak sengaja dilakukan
oleh seseorang. Tindak pidana yang sebagaimana dimaksud mencakup sebab dan akibat, sehingga apabila dilanggar akan dikenakan sanksi yang diterima oleh orang yang bertanggung
jawab (Marselino,
2019). Seseorang yang melakukan perbuatan pidana nantinya akan mendapatkan sanksi pidana, hal ini juga bergantung
pada bagaimana perbuatan
yang dilakukan tersebut terdapat suatu kesalahan (Moeljatno, 2002). Jika orang tersebut terbukti melakukan kesalahan, maka ia patut melakukan
pertanggungjawaban pidana.
Lain halnya apabila dalam tindakan yang dilarang tersebut dinilai terdapat suatu alasan-alasan dalam penjatuhan sanksi.
Penerapan sanksi pidana terhadap
pelaku tindak pidana tidak hanya
terhadap orang dewasa saja, tetapi juga diterapkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Berdasarkan
Pasal 10 KUHP Buku Kesatu-Bab II Pidana, jenis jenis tindak
pidana dibagi menjadi dua yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap
anak yang berkonflik dengan hukum, termasuk
anak yang melakukan tindak pidana kekerasan,
hakim wajib memperhatikan kebutuhan-kebutuhan sang anak terutama hak-hak nya sebagai seorang
anak (Djamil, 2017). Hak Asasi Anak adalah suatu bagian
yang penting dan tidak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak
Anak (Convention on The Rights of The Child).�
Sebagai bentuk keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Hak-Hak Anak, maka hal itu
diwujudkan dalam hukum nasional dengan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang Anak. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan undang-undang yang dibentuk untuk anak yang berkonflik dengan hukum dan memiliki sistem peradilan pidana tersendiri.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Indonesia menganut
double track system. Berdasarkan Pasal
71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, double track system merupakan
sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana,
yaitu sanksi pidana dan pengenaan tindakan. Keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber
pada ide dasar �mengapa diadakan pemidanaan". Sedangkan pengenaan tindakan bertolak dari ide dasar "untuk apa diadakan
pemidanaan itu� (Sholehuddin, 2003).
Dengan kata lain, fokus sanksi pidana
ditujukan pada perbuatan
salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Sedangkan, fokus pengenaan tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah (Muladi, 1992). Tindakan itu tidak selalu diberikan
kepada pelaku tindak pidana, karena memang Tindakan itu diberikan bilamana
diperlukan.
Salah
satu pengenaan tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak yaitu pengembalian kepada orang tua/wali, penyeranan kepada seseorang, perawatan di Balai Rehabilitasi Kementrian Sosial Anak. Sedangkan sanksi pidana terdiri dari pidana pokok
dan pidana tambahan yang dapat dikenakan kepada Anak yaitu pidana peringatan, pidana dengan syarat,
pidana penjara.� Berdasarkan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang berbunyi: �Anak
yang belum berusia 14 (empat belas) tahun
hanya dapat dikenai tindakan.� Hal tersebut menjelaskan bahwa syarat pengenaan
tindakan hanya dapat diberikan kepada anak yang belum berusia 14 tahun.
Salah
satu contoh yang menyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum dan seharusnya diberi pengenaan tindakan jika anak yang melakukan tindak pidana adalah anak
yang mengalami PTSD (Post Traumatic Syndrome
Disorder), yang disebabkan oleh rangkaian
panjang peristiwa kehidupan yang penuh trauma. Menurut Dr. Seto Mulyadi, S.Psi.,
M.Si., bahwa sesorang anak yang tidak mendapatkan pola asuh yang baik dapat mengalami
Post Traumatic Syndrome Disorder atau trauma masa lalu yang menyebabkan kelainan perilaku. Dr. Seto Mulyadi, S.Psi., M.Si., mengatakan bahwa gangguan Post Traumatic Syndrome Disorder dapat menjadi penyebab
kelainan perilaku dimana seorang anak dapat melakukan
sesuatu namun tidak menyadari pada saat melakukan perbuatan tersebut, namun baru sadar
setelah melakukan perbuatan yang dinilai tidak baik.
Melihat bahwa anak yang melakukan tindak pidana mengalami PTSD (Post
Traumatic Syndrome Disorder), maka penjatuhan sanksi pidana terhadap anak diatur dalam
Pasal 70 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menyebutkan: �Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.�
Keadaan pribadi anak dapat
dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan sanksi pidana, namun bukanlah sebagai alasan yang mampu membenarkan diri dalam melakukan
pelanggaran hukum. Sampai saat ini
keadaan pribadi anak masih tetap
ada sebagai bagian dari alasan
pemidanaan pidana.
Pidana penjara terhadap anak diatur dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu pada Pasal 81 ayat (5), yang berbunyi: �Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.�
Hal yang disebut terakhir ini �sebagai upaya
terakhir�, memberikan sifat pada Anak tersebut sudah sepatutnya diberikan pengenaan tindakan yang bersifat rehabilitasi atau perawatan (treatment), bukan sanksi pidana yang bersifat pembalasan tau perampasan kemerdekaan (pidana).
Sedangkan Berdasarkan KUHP Buku Kesatu Pasal 45, yang menyebutkan: �Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena
melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas
tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa
pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal [�] atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.�
Kepastian hukum dari keadaan
pribadi Anak sebagai penjatuhan sanksi Tindakan menjadi penting untuk memberikan keadilan terhadap Anak yang menjadi pelaku tindak pidana, bahwa Anak yang memiliki (kondisi) keadaan pribadi pada waktu dilakukan perbuatan dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan
sanksi pidana dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas
mengenai bagaimana kepastian hukum dalam penjatuhan tindakan atas dasar
keadaan pribadi anak.
Berdasarkan uraian latar belakang
masalah, maka dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan yang akan ditelaah secara ilmiah, yakni: Bagaimana kepastian hukum dalam penjatuhan
tindakan atas dasar keadaan pribadi
anak. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian hukum ini adalah: Untuk
mengetahui kepastian hukum dalam penjatuhan
tindakan atas dasar keadaan pribadi
anak.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dijalankan dengan metode mengkaji
bahan literatur (Soekanto, 2007). Sehingga didapatkan
melalui bacaan dan analisis bahan-bahan yang tertulis. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa penelitian hukum normatif merupakan proses mencari aturan, prinsip, maupun doktrin hukum sehingga
mampu menjawab isu hukum (Marzuki, 2013).
Konsep pada jenis penelitian hukum ini digambarkan
sebagai apa yang sudah tertulis dalam suatu aturan
perundang-undangan yang akan
menjadi dasar kepantasan manusia dalam bertindak. Penelitian ini dilakukan untuk meneliti perihal bagaimana ketentuan normatif terkait dengan kepastian hukum dalam penjatuhan
tindakan atas dasar keadaan pribadi
anak. Oleh karena itu, peneliti akan
melakukan suatu penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan aturan normatif dan juga terhadap literatur-literatur terkait dengan jenis sanksi yang dijatuhkan terhadap Anak yang menjadi pelaku tindak pidana.
Hasil dan Pembahasan
Analisis Kepastian Hukum Dalam Penjatuhan Tindakan Atas
Dasar Keadaan Pribadi Anak
Hans
Kelsen menytakan bahwa hukum adalah
suatu rangkaian norma. Norma merupakan pernyataan yang menekankan pada aspek "seharusnya" atau das sollen, yang mencakup beberapa peraturan mengenai tindakan yang harus dilakukan. Norma-norma adalah hasil dan tindakan manusia yang dipertimbangkan dengan saksama (deliberatif). Peraturan-peraturan dalam undang-undang yang mencakup aturan dan bersifat umum menjadi pedoman
bagi manusia untuk berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat (Marzuki, 2005).
Aturan-aturan tersebut menjadi pembatas dalam interaksi antar individu maupun masyarakat. Kehadiran peraturan dan pelaksanaan dari peraturan tersebut menimbulkan sistem pemidanaan. Sistem Pemidanaan (the sentencing
system) adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan sanksi dan pemidanaan (the statutor rules
relating to penal sanction and punishment) (Arief, 2011b). Barda Nawawi Arief (2011b) menjelaskan bahwa
bila pemidanaan diartikan sebagai tindakan "pemberian atau penjatuhan pidana", maka pengertian "sistem pemidanaan" dapat dipahami dari 2 (dua) perspektif. Dalam arti luas, sistem pemidanaan
dapat dipandang dari sudut fungsional,
yaitu dari cara kerjanya atau
prosesnya.
Sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai seluruh sistem aturan perundang-undangan yang berfungsi untuk menerapkan hukum pidana dan mengatur pelaksanaannya secara konkret. Sistem ini meliputi semua
peraturan hukum yang mengatur proses pelaksanaan hukum pidana sehingga
seseorang yang melakukan pelanggaran dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Sedangkan dalam arti sempit, sistem pemidanaan dilihat dari sudut
normatif atau substantif, yang hanya mempertimbangkan norma-norma hukum pidana subtantif
(Arief, 2011a).
Sistem pemidanaan diartikan sebagai rangkaian sistem peraturan perundang-undangan untuk pemidanaan dan keseluruhan sistem untuk pemberian
atau penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), maupun di dalam undang-undang khusus di luar KUHP, merupakan bagian dari sistem
pemidanaan.
Secara mendasar, untuk menjatuhkan suatu pidana terhadap seseorang haruslah memenuhi persyaratan, yakni terdapat perbuatan yang melanggar hukum (syarat objektif)
dan adanya kesalahan atau pertanggungjawaban pidana (syarat subjektif). Syarat pemidanaan tersebut merupakan syarat pemidanaan yang konvensional, namun seiring dengan
waktu terdapat satu persyaratan tambahan yang harus terpenuhi, yakni tujuan pemidanaan. Oleh karena itu, dalam
syarat pemidanaan yang kontemporer, sebelum seorang Hakim menjatuhkan suatu pidana, ia
tidak hanya membuktikan bahwa ada tindak pidana
dan pertanggungjawaban pidana
saja, tetapi juga harus mempertimbangkan tujuan dari pemidanaan
itu sendiri.
Dalam pertanggungjawaban pidana, seorang dianggap telah melakukan kejahatan apabila tindakannya terbukti sebagai tindakan yang melanggar hukum pidana yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, seseorang yang telah terbukti melakukan suatu tindak pidana tidak
selalu dapat dihukum (Moeljatno,
2002). Hal ini disebabkan
dalam pertanggungjawaban pidana, tidak hanya
dipertimbangkan dari tindakan yang dilakukan, tetapi juga dari unsur kesalahan yang terlibat.
Terdapat sebuah prinsip yang sangat umum dalam pertanggungjawaban
pidana, yaitu seseorang tidak dapat dipidana jika tidak melakukan
kesalahan atau yang dikenal dengan adagium "geen straf zonder schuld,
actus non facit reum nisi mens sir rea".� Dapat diartikan bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana, bukan hanya
karena melakukan tindak pidana, melainkan juga karena terdapat unsur kesalahan dalam perbuatannya, dan pelaku perbuatan tersebut telah memenuhi semua unsur dalam
kemampuan bertanggungjawab.
Pertanggungjawaban pidana bertujuan untuk menentukan kesalahan seorang pelaku perbuatan pidana dan apakah layak ia dihukum/
dipidana atas perbuatannya yang melanggar hukum. Dalam pertanggungjawaban
pidana terdapat beberapa persyaratan yang harus terpenuhi, sehingga seseorang yang melakukan perbuatan pidana tersebut dapat dipidana. Agar seseorang dapat didakwa atas perbuatan
pidana yang dilakukannya, ada persyaratan bahwa tindakan tersebut harus memenuhi unsur-unsur yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan pidana, serta mempertimbangkan
kemampuan bertanggung jawab pelaku. Menurut
Moeljatno (2002), seseorang dapat
dipidana jika memenuhi persyaratan dalam pertanggungjawaban pidana, salah satunya yaitu kemampuan bertanggungjawab.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), tidak ada pasal yang menjelaskan tentang kemampuan bertanggung jawab. Namun, terdapat aturan yang terkait dengan kemampuan bertanggungjawab, yaitu dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, yang menyatakan bahwa: �Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana�. Hal tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang melakukan tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya karena adanya cacat mental (gebrekkige ontwikkeling) atau gangguan mental akibat penyakit (ziekelijke storing), tidak akan dipidana.
Berdasarkan Pasal 44 ayat (I) KUHP tersebut, Moeljatno (2002) menyimpulkan bahwa
untuk adanya kemampuan bertanggungjawab, seseorang harus ada: a)������ Kemampuan untuk membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum
dan yang melawan hukum. b) Kemampuan untuk menetapkan kehendaknya berdasarkan rasa kesadaran mengenai baik dan buruknya perbuatan.
Dalam kemampuan bertanggung jawab, harus memperhatikan
beberapa hal. Pertama, dilihat dari faktor intelektual,
yaitu apakah pelaku mampu membedakan
antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kedua, perlu diperhatikan faktor emosi/ perasaan
atau kehendak dari pelaku, apakah
ia mampu menyesuaikan perilakunya dengan kesadaran akan apa yang diperbolehkan
dan yang tidak diperbolehka.
Oleh karena itu, jika seorang yang melakukan perbuatan pidana tidak mampu
mengendalikan kehendaknya berdasarkan kesadaran tentang baik dan buruk dari perbuatannya,
maka pelaku dianggap tidak bersalah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan pidananya.
Hal
ini sejalan dengan Teori Double Track System
yang dianut dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), menyatakan bahwa Double Track
System merupakan sistem dua
jalur mengenai sanksi dalam hukum
pidana, yaitu jenis sanksi pidana
dan pengenaan tindakan yang
keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar �mengapa diadakan pemidanaan". Sedangkan pengenaan tindakan bersumber dari ide dasar "untuk apa diadakan
pemidanaan itu� (Sholehuddin,
2003).
Dapat dikatakan bahwa sanksi pidana bersifat
reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan memiliki sifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan. Sanksi pidana berfokus pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan
menjadi jera. Sebaliknya fokus sanksi tindakan berfokus pada upaya memberi pertolongan pada pelanggar agar ia berubah.
Ide
dasar mengenai double track
system merupakan gagasan dasar sistem sanksi
yang menjadi dasar kebijakan dan penggunaan sanksi dalam hukum
pidana. Ide dasar sistem sanksi tersebut
merupakan kesetaraan antara sanksi pidana
dan sanksi tindakan. Ide kesetaraan ini dapat ditelusuri melalui perkembangan yang terjadi pada sistem sanksi hukum pidana
dari aliran klasik ke aliran
modern dan aliran neo-klasik.� Oleh karena itu, sebuah ide dasar selalu bersifat
konstitutif, yang berarti
ide dasar tersebut menentukan masalah, metode, dan penjelasan yang dianggap relevan untuk ditelaah. Untuk mengetahui hal ini, dapat
ditelusuri lewat perkembangan yang terjadi dalam sistem sanksi
hukum pidana dari aliran klasik
ke aliran modern dan aliran neo klasik.
Double
track system mencakup dua hal,
yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sistem dua jalur ini menempatkan
dua jenis sanksi tersebut dalam kedudukan yang setara.� Fokus pada kesetaraan sanksi pidana dan pengenaan tindakan dalam kerangka double track system, sesungguhnya
berkaitan dengan fakta bahwa unsur
pencelaan/penderitaan melalui sanksi pidana dan unsur pembinaan melalui sanksi tindakan sama-sama penting. Tindakan dan Pidana ini diberikan
jika terbukti adanya tindak pidana,
kesalahan, dan tujuan pemidanaan.
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat ketentuan khusus mengenai penjatuhan sanksi Tindakan maupun Pidana terhadap Anak yang menjadi pelaku tindak pidana yaitu
dengan adanya double track
system (sistem dua jalur)
yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi: a) pengembalian kepada orang tua/wali; b) penyeranan kepada seseorang; c)������ perawatan di ruman sakit jiwa:
d) perawatan di LPKS: e) kewajiban
mengikuti pendidikan formal
dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f) pencabutan surat 1zin mengemudi; dan/ atau; g) perbaikan akibat tindak pidana.
Sedangkan, Pidana Pokok dan Pidana Tambahan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi: a) pidana peringatan: b) pidana dengan syarat:
c) pembinaan di luar lembaga; d) pelayanan masyarakat; atau e) pengawasan; f) pelatihan kerja; g) pembinaan dalam lembaga; h) penjara; i) perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
atau; j) pemenuhan kewajiban adat.
Salah
satu pengenaan Tindakan
yang diatur dalam UU SPPA adalah mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi
yang bertujuan untuk menghindari Anak dari proses peradilan, sehingga Anak tidak terkena stigma negatif. Melalui Diversi, Anak dapat kembali ke
dalam lingkungan masyarakat dengan baik. Pasal 1 ayat
(7) UU SPPA menjelaskan bahwa
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Proses
Diversi bertujuan untuk terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak
yang terlibat dalam suatu tindak pidana
tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala
sesuatunya menjadi lebih baik dengan
melibatkan korban, Anak, dan masyarakat
dalam mencari solusi untuk memperbaiki,
rekonsiliasi, dan menenteramkan
hal yang tidak berdasarkan pembalasan.
Diversi
hanya dapat dilaksanakan dalam hal tindak pidana
yang dilakukan diancam dengan pidana penjara
di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana (recidive). Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap tindak pidana yang serius. Dalam hal proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan, maka proses peradilan pidana Anak akan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan
dan penuntutan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU SPPA dan Hukum
Acara Pidana.
Berdasarkan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang berbunyi: �Anak
yang belum berusia 14 (empat belas) tahun
hanya dapat dikenai tindakan.� Hal tersebut menjelaskan bahwa syarat pengenaan
tindakan hanya dapat diberikan kepada anak yang belum berusia 14 tahun.
Adanya perbedaan pengaturan dalam pengenaan tindakan terhadap anak karena Anak memiliki keterbatasan dan sift khusus yang perlu dilindungi, sehingga perlakuan tersebut akan jauh berbeda
jika perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang telah dewasa. Berbeda jika halnya Anak yang melakukan tindak pidana sebagai korban kekerasan seksual sehingga memiliki keadaan pribadi berupa Post Traumatic Syndrome Disorder atau
trauma masa lalu yang menyebabkan
kelainan perilaku.
Maka terhadap Anak, hakim tidak dapat menjatuhkan Tindakan maupun Pidana. Hal tersebut dinyatakan secara jelas dalam
Pasal 70 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan bahwa keadaan pribadi
anak dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan sanksi pidana.
Melihat bahwa Anak yang melakukan tindak pidana mengalami
PTSD (Post Traumatic Syndrome Disorder), maka penjatuhan sanksi pidana terhadap anak diatur dalam
Pasal 70 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menyebutkan: �Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.�
Dengan adanya double track system dan Pasal
70 UU SPPA ini dapat disebut sebagai implementasi dari kebijakan hukum pidana (penal policy). Menurut Barda Nawawi Arief dalam bukunya yang berjudul �Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru)� istilah �kebijakan hukum pidana� dapat diartikan
sebagai istilah �politik hukum pidana�.
Sedangkan, Sudarto mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul �Hukum dan
Hukum Pidana� bahwa menerapkan "politik hukum pidana" berarti melakukan seleksi untuk mencapai
hasil perundang-undangan pidana yang paling optimal dengan
kondisi dan situasi saat ini, serta
untuk masa depan.
Usaha
pemberantasan tindak kejahatan melalui hukum pidana pada hakikatnya termasuk dalam upaya penegakan
hukum (khususnya penegakan hukum pidana) (Arief, 2011a).� Oleh karena itu, sering
juga disebutkan bahwa politik atau kebijakan
hukum pidana termasuk dalam kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Dengan
demikian, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan bentuk dari kebijakan
hukum pidana. Undang-undang tersebut merupakan usaha rasional yang dilakukan oleh suatu negara untuk menanggulangi tindak pidana yang dilakukan oleh Anak melalui sarana hukum pidana.
Berbicara mengenai kebijakan hukum, Menurut Dr. M. Hamdan,
S.H., M. dalam bukunya yang
berjudul �Politik Hukum Pidana�, bahwa kebijakan hukum dirancang untuk mencapai tujuan tertentu dan berlaku bagi seluruh masyarakat.
Artinya, suatu kebijakan dapat tercipta karena adanya kepentingan atau keperluan, tujuan atau maksud
untuk mengatur dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih
baik.
Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia menganut konsep Trias Politica.
Konsep Trias Politica pertama kali dicetuskan oleh filsuf inggris bernama John Locke dan kemudian dikembangkan oleh seorang sarjana Perancis bernama Montesquieu. Menurut konsep ini, kekuasaan negara dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu legislatif
(pembuat undang-undang), eksekutif (pelaksana undang-undang), dan yudikatif (pengawas pelaksanaan undang-undang).
Hal
ini sejalan dengan kebijakan hukum pidana yang melalui proses konkretisasi, operasionalisasi, dan fungsionalisasi
hukum pidana, yang terdiri dari: a) Tahap Formulasi (Kebijakan Legislatif), yaitu tahap penegakan
hukum in abstracto oleh
badan pembuat undang-undang.
b) Tahap Aplikasi (Kebijakan Yudikatif), yaitu tahap penerapan
hukum pidana in conreto oleh apart penegak hukum, mulai dari
tahap penyelidikan (polisi) sampai ke pengadilan. c) Tahap Eksekusi (Kebijakan Eksekutif), yaitu tahap pelaksanaan
hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana.
Pembentukan UU SPPA
inilah yang disebut dengan tahap kebijakan
legislatif. Tepatnya, dalam hal ini
double track system dan Pasal 70 UU SPPA merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana, yaitu
tahap kebijakan legislatif. Tahap kebijakan legislatif adalah tahap yang paling strategis dari upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal. Pada tahap ini, akan
menghasilkan peraturan hukum yang akan menjadi pedoman (guidances) pada tahap berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi dalam proses kebijakan hukum. Oleh karena itu, kesalahan dalam membuat kebijakan
legislatif suatu peraturan perundang-undangan akan berdampak negatif bagi operasionalisasi
peraturan tersebut pada tahap aplikasi dan eksekusi.
Dalam konteks kebijakan hukum pidana, undang-undang
sebagai produk legislatif merupakan tahap kebijakan legislatif yang berada pada tataran abstrak berupa peraturan atau undang-undang. Dengan demikian, undang-undang ini akan mempunyai makna, apabila diaplikasikan dalam kehidupan nyata (Arief, 1996).� Oleh karena itu, agar undang-undang dapat diterapkan dalam masyarakat, dibutuhkannya lembaga yang mampu melaksanakannya yang dalam ilmu hukum dikenal
dengan badan eksekutif, sedangkan badan yang bertugas untuk menerapkan atau mengefektifkan peraturan perundang-undangan adalah badan yudisial atau badan yudikatif yang mandiri dan netral, serta tidak terpengaruh
oleh lembaga lain.
Selain itu, G.P. Hoefnagels menganggap bahwa tahap kebijakan legislatif memiliki peran yang penting dalam menentukan kebijakan hukum (penitensier) atau hukum pemidanaan (sentencing
policy), sehingga tahap ini dianggap sangat penting (Henny Nuraeny,
2022). Semua tahapan
dalam kebijakan hukum pidana, termasuk
tahap kebijakan legislatif, aplikasi (yudikatif), dan eksekusi (eksekutif), merupakan kebijakan penanggulangan hukum pidana, bertujuan
untuk melindugi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dapat terwujud apabila proses dan prosedurnya dijalankan sesuai mekanisme yang ditetapkan.
Double
track system dan Pasal 70 UU SPPA yang mengatur tentang penjatuhan pengenaan Tindakan dan
Pidana kepada Anak sebagai pelaku tindak pidana, pada hakikatnya adalah produk yang berasal dari kebijakan hukum. Artinya, double track
system dan Pasal 70 UU SPPA lahir
karena adanya kebutuhan atau keperluan hukum mengenai penjatuhan sanksi terhadap Anak sebagai pelaku tindak pidana, sehingga kebijakan mengenai penjatuhan sanksi terhadap Anak yang menjadi pelaku tindak pidana memiliki
dasar yuridis di dalam penegakkannya. Oleh karena itu, double track system
dan Pasal 70 UU SPPA tidak hanya menjadi dasar
yuridis penjatuhan sanksi terhadap Anak sebagai pelaku tindak pidana, tetapi juga disebut sebagai kebijakan hukum pidana (penal policy).
Pembaruan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana
(penal policy). Esensi dan substansi
pembaruan hukum pidana terkait erat dengan latar
belakang dan urgensi yang mendasari pembaruan hukum pidana tersebut.
Hal ini bertujuan� agar hukum pidana dapat
menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang sangat dinamis.
Kebijakan legislatif dibuat untuk memperbarui
hukum pidana agar tidak tertinggal dengan perkembangan zaman yang cepat. Hal ini penting untuk memastikan
penerapan hukum yang relevan, akurat, dan efektif, sehingga menghasilkan produk hukum yang baik dan tepat dalam kehidupan
nyata.
Kebijakan legislatif yang menghasilkan Pasal 70 UU SPPA dan double track system merupakan bagian dari pembaruan hukum pidana (penal reform) yang bertujuan untuk menegakan peraturan dan keadilan, seta sebagai landasan yuridis dalam penjatuhan sanksi terhadap Anak sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini bertujuan untuk
menciptakan kesejahteraan
dan perlindungan dalam masyarakat. Dalam upaya menegakkan hukum terkait Anak sebagai pelaku tindak pidana, double track
system dan Pasal 70 UU SPPA dapat
dianggap sebagai solusi dan tiang dalam memberlakukan penjatuhan sanksi yang mempertimbangkan (kondisi) keadaan pribadi anak sebagai pelaku
tindak pidana.
Hal
ini terjadi karena hanya Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai satu-satunya regulasi yang mengatur proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, dari
tahap penyelidikan hingga tahap pembimbingan
setelah menjalani pidana. Double track system dan Pasal
70 UU SPPA dalam implementasinya
dapat dijadikan dasar bagi para penegak hukum seperti
polisi, jaksa, hakim, dalam menjatuhkan sanksi yang adil terhadap Anak yang melakukan tindak pidana. Double track
system dan Pasal 70 UU SPPA diciptakan
karena dianggap relevan dan efektif sebagai dasar pengaturan
penjatuhan sanksi dalam bentuk Tindakan dan Pidana terhadap Anak di masa kini dan masa yang akan datang.
Kepastian hukum dari keadaan
pribadi Anak sebagai penjatuhan sanksi Tindakan menjadi penting untuk memberikan keadilan terhadap Anak yang menjadi pelaku tindak pidana, bahwa Anak yang memiliki (kondisi) keadaan pribadi pada waktu dilakukan perbuatan dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan
sanksi pidana dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Dengan adanya adigium
"summum ius, summa injuria, summa lex, summa
crux" yang berarti hukum
yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya (Dominikus,
2010). Dengan demikian
keadilan bukanlah tujuan hukum yang satu-satunya akan tetapi tujuan hukum
yang paling substantif adalah
keadilan.
Gustav
Radbruch scorang filsuf hukum mengemukakan
bahwa idelanya hukum memiliki tiga nilai dasar,
yaitu keadilan (gerechtigheit), kemanfaatan (zweckmatigheid), dan kepastian hukum (rechtmatigheid) (Rahardjo, 2000). Gustav Radbruch menyatakan bahwa kepastian hukum harus terkandung dalam berbagai peraturan hukum dan juga dalam setiap putusan
hakim, agar tercipt konsistensi
dalam putusan pengadilan antara satu dengan putusan
yang lainnya.
Peraturan hukum dianggap memiliki kepastian hukum apabila peraturan
tersebut tidak dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Hal ini diharapkan akan memberikan kepastian bagi setiap subjek hukum,
karena hukum adalah sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu dan dapat dijadikan sebagai pedoman yang jelas bagi individu
yang dikenakan peraturan tersebut (Santandrea
& Adiasih, 2019).� Oleh karena itu, kepastian
hukum akan terwujud apabila hukum diterapkan secara konsisten, tepat, jelas, dan tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat subjektif.
Kepastian hukum sejatinya menjadi salah satu tujuan utama yang harus diwujudkan oleh lembaga hukum (termasuk putusan hakim). Terlebih lagi, dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengakui dan melindungi hak konstitusi warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, yang dalam bidang hukum
pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas
yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas tersebut merupakan
satu tuntutan akan kepastian hukum di mana seseorang hanya dapat dituntut
dan diadili berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
tertulis (lex scripta) yang telah
ada sebelumnya.
Memang disadari bahwa seorang Hakim dalam mengadili suatu perkara memiliki kebebasan untuk memutuskan atau menjatuhkan suatu putusan yang diyakini adil bagi Anak atau Terdakwa. Prinsip kebebasan hakim merupakan suatu kebebasan yang dimiliki oleh lembaga peradilan agar terciptanya suatu putusan yang bersifat objektif dan tidak memihak (imparsial).
Namun, kebebasan yang dimiliki Hakim haruslah kebebasan yang bertanggungjawab, dan masih berada dalam batasan
peraturan yang berlaku tanpa dipengaruhi oleh faktor subjektif. Hal ini juga berarti bahwa seorang Hakim ketika mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya, Hakim tersebut harus memiliki kemampuan intelektual yang cukup terkait perkara yang ditanganinya, sehingga dapat menerapkan peraturan perundang-undangan dengan sebaik-baiknya.
Menurut Hadi Utomo,
seorang Pemerhati Perlindungan Anak, bahwa anak yang berhadapan dengan hukum, negara harus mengatur peraturan yang mengatur Anak berhadapan dengan hukum. Hal ini tercantum dalam UU SPPA Nomor 11 Tahun 2012, dimana idealnya aturan tersebut harus berpedoman pada pedoman PBB, sebagai pedoman pencegahan Anak agar tidak berhadapan dengan hukum. Sedangkan
Dr. Eva Achjani Zulfa,
S.H., M.H. sebagai pidana menyatakan bahwa dalam UU SPPA tidak hanya melihat sebuah
perbuatan pada saat dilakukan tetapi juga melihat kondisi sebelum dilakukan dan kondisi setelah dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memahami motif Anak sebagai pelaku tindak pidana
saat melakukan tindak kejahatan.
Dari
pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penegak hukum
terhadap Anak yang melakukan
tindak pidana tidak hanya berdasarkan
pengenaan Pidana semata. Seorang Hakim diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sistem dalam peradilan pidana Anak ketika menangani kasus yang melibatkan Anak sebagai pelaku tindak pidana.
Hal ini disebabkan karena Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah mengatur dengan jelas dan rinci kapan dan dalam situasi apa seorang
Anak dapat dikenai
Tindakan, dengan mempertimbangkan
keadaan pribadi anak pada waktu dilakukan perbuatan berupa Post Traumatic Syndrome Disorder.
Oleh
karena itu, jika seorang Anak sebagai pelaku tindak pidana mengalami
Post Traumatic Syndrome Disorder atau trauma masa lalu yang menyebabkan kelainan perilaku, Hakim wajib mempertimbangkan keadaan pribadi anak, bahwa Anak sebagai pelaku tindak pidana layak
dikenakan Tindakan tanpa dikenakan sanki Pidana. Terlebih lagi, dalam Pasal
70 UU SPPA telah jelas dinyatakan bahwa keadaan pribadi anak dapat dijadikan
dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan
sanksi pidana.
�
Kesimpulan
Dalam Pasal 70 UU SPPA telah diatur mengenai penjatuhan tindakan dan/ Pidana terhadap Anak yang melakukan tindak pidana, bahwa anak
yang dapat dijatuhkan
Tindakan adalah Anak yang memiliki
keadaan pribadi berupa Post Traumatic Syndrome Disorder atau
trauma masa lalu yang menyebabkan
kelainan perilaku. Maka terhadap Anak, Hakim wajib mempertimbangkan keadaan pribadi anak, bahwa Anak sebagai pelaku tindak pidana layak
dikenakan Tindakan tanpa dikenakan sanki Pidana. Hal tersebut dinyatakan secara jelas dalam Pasal
70 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan bahwa keadaan pribadi anak dapat dijadikan
dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan
sanksi pidana.
BIBLIOGRAFI
Arief, Barda Nawawi. (1996). Kebijakan legislatif
dalam penanggulangan kejahatan dengan pidana penjara. Badan Penerbit,
Universitas Diponegoro.
Arief,
Barda Nawawi. (2011a). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:(Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru).
Arief,
Barda Nawawi. (2011b). Perkembangan sistem pemidanaan di Indonesia.
Program Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Undip.
Djamil, Nasir. (2017). Anak Bukan untuk
dihukum. Sinar Grafika.
Dominikus,
Rato. (2010). Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum. Yogyakarta:
Laksbang Pressindo.
Henny
Nuraeny, S. H. (2022). Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum
Pidana dan Pencegahannya. Sinar Grafika.
Marselino,
Rendy. (2019). PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES) PADA
PASAL 49 AYAT (2) KUHP. Universitas Airlangga.
Marzuki, Peter Mahmud. (2005). Penelitian
Hukum, Kencana. Jakarta.
Marzuki,
Peter Mahmud. (2013). Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Mertokusumo,
Sudikno.
Moeljatno, S. H. (2002). Asas-asas Hukum
Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.
Muladi,
Perlindungan Korban Melalui Proses Pemidaaan. (1992). dalam Muladi dan Barda
Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya.
Rahardjo,
Satjipto. (2000). Ilmu hukum. Citra Aditya Bakti.
Santandrea,
Jonathan, & Adiasih, Ning. (2019). Kepastian Hukum Dari Penerapan Ketentuan
Batas Waktu Pengajuan Upaya Hukum Verzet (Studi Terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Barat Nomor 9/Pdt. Plw./2017/PN.. JKT. BRT. Jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Dki Jakarta Nomor 107/Pdt/2018/PT. DKI). Jurnal Hukum
Adigama, 2(2), 215�240.
Sholehuddin, Muhammad. (2003). Sistem sanksi dalam
hukum pidana: Ide dasar double track system & implementasinya.
Soekanto, Soerjono. (2007). Penelitian
hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.
Utrecht,
Ernst. (1966). Pengantar dalam hukum Indonesia. (No Title).
Copyright holder: Delviola Azhara, Ade Adhari (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |