Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

PEMBELAAN TERPAKSA SEBAGAI ALASAN PEMBENAR DALAM RANGKA PEMBELAAN DIRI

 

Chatarina Dwi Agista, Ade Adhari

Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Alasan penghapus pidana adalah alasan-alasan yang memungkinkan tidak dijatuhi pidana bagi orang yang melakukan tindak pidana. Terdapat dua kategori alasan penghapus pidana, yaitu, alasan pemaaf dan alasan pembenar. Pembelaan terpaksa (Noodweer) termuat dalam Pasal 49 Ayat (1) KUHP merupakan bagian dari alasan pembenar. Seseorang yang melakukan suatu pembelaan terpaksa, tidak dapat dipidana. Dalam penelitian ini akan dipaparkan mengenai penerapan dari alasan pembenar sebagai alasan penghapus pidana dalam rangka pembelaan diri terhadap pelaku pembunuhan. Penelitian ini didasarkan pada metode yang bersifat deskriptif dengan menggunakan jenis pendekatan kualitatif, dan dilakukan dengan menggunakan metode kajian pustaka. Pada dasarnya perbuatan seseorang yang dikategorikan sebagai perbuatan pembelaan terpaksa haruslah memenuhi unsur-unsur yang ditentukan, yaitu: harus ada serangan atau ancaman serangan, bersifat melawan hukum, serangan ditujukan terhadap diri, kehormatan, kesusilaan atau harta benda sendiri atau orang lain, dan terpaksa dilakukan. Untuk dapat memenuhi unsur yang dimaksud, terdapat 2 (dua) syarat yang penting, yakni terpenuhinya syarat proporsionalitas (keseimbangan) dan dilakukan dengan cara yang sudah paling ringan. Namun, pada praktiknya masih banyak aparat penegak hukum yang belum berani dalam memutus seorang yang melakukan tindak pidana dengan menggunakan alasan penghapus pidana.

 

Kata kunci: Alasan Penghapus Pidana, Alasan Pembenar, Pembelaan Terpaksa.

 

Abstract

Reasons for abolishing punishment are reasons that allow people who commit criminal acts not to be sentenced to punishment. There are two categories of reasons for criminal abolition, namely, excuses and justification reasons. Noodweer is contained in Article 49 Paragraph (1) of the Criminal Code is part of the justification. In this research, it will be explained about the application of justification reasons as reasons for abolishing crimes in the context of self-defense against perpetrators of murder. The research is based on a descriptive method using a qualitative type of approach, and is carried out using a literature review method. Basically, the actions of a person categorized as an act of defense must fulfill the specified conditions, namely: there must be an attack or threat of attack, is unlawful, the attack is aimed at oneself, honor, decency or one's own or other people's property, and is forced to do so. In order to fulfill the intended elements, there are 2 (two) important conditions, namely the fulfillment of the requirements of proportionality (balance) and carried out in the lightest way. However, in practice there are still many law enforcement officers who are not brave enough to decide on someone who has committed a crime using the excuse of a criminal offense.

 

Keywords: Reasons for Criminal Offenses, Justification Reasons, Noodweer.

 

Pendahuluan

Hukum diciptakan dengan maksud untuk menjaga masyarakat agar terciptanya rasa tertib dan sejahtera dihidupnya. Hukum sudah menjadi bagian dari masyarakat yang tidak dapat dipisah, sehingga terus tumbuh dan berkembang. Sebuah adigium terkenal yang sangat mencerminkan tidak dapat dipisahkannya hukum dengan masyarakat adalah ubi societas ibi ius, yang berarti dimana ada masyarakat disitulah hukum berada, dan apabila ada keduanya, maka disitu timbul sebuah kejahatan (Ibi Crimen) (Utrecht, 1966).

Hukum pidana merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan hukum yang hidup dan berjalan dalam masyarakat. Hukum ini mendatangkan dasar serta aturan yang nantinya memberikan penderitaan bagi siapa saja yang tidak patuh akan larangan dari aturan yang telah ditetapkan tersebut. Aturan yang dimaksud ini adalah apabila pelanggaran yang dilakukan telah mengganggu kepentingan publik (masyarakat umum), sehingga harus mampu bertanggungjawab atas ancaman pidana yang ditetapkan (Moeljatno, 2002).

Tindak pidana hanyalah merujuk pada larangan dan ancaman atas perbuatan yang merugikan publik. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana nantinya akan mendapatkan sanksi pidana, hal ini juga bergantung pada bagaimana perbuatan yang dilakukan tersebut terdapat suatu kesalahan (Nurita, 2019). Jika orang tersebut terbukti melakukan kesalahan, maka ia patut melakukan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Lain halnya apabila dalam tindakan yang dilarang tersebut dinilai terdapat suatu alasan-alasan penghapus pidana.

Konsep demikian itu membentuk keseimbangan antara hak mendakwa dan menuntut dari Penuntut Umum, dan hak menyangkal dan mengajukan pembelaan dari terdakwa. Sementara itu terdakwa dapat mengajukan pembelaan, atas dasar adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk dapat menghindar dari pengenaan pidana, terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus pidana ketika melakukan tindak pidana (Lewokeda, 2018). Alasan penghapus pidana adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, tidak dipidana.

M.v.T mengemukakan dua hal sebagai alasan yang membuat seseorang tidak dapat dipidana dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, yakni sebagai berikut: 1)����� Alasan pemaaf, hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan terletak pada diri orang yang berbuat. 2) Alasan pembenar, hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan ada di luar orang yang berbuat.

Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang di lakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.

Alasan pembenar yaitu alasan yang meniadakan sifat melawan hukum suatu perbuatan. Perbuatan melawan hukum akan dihapuskan meskipun segala perbuatan yang dimaksud tersebut sudah memenuhi rumusan delik yang diatur dalam undang-undang.

Salah satu alasan pembenar adalah suatu pembelaan terpaksa (noodweer) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu pada Pasal 49 ayat (1) yang menyebutkan:

Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk bertahan atas diri sendiri maupun orang lain mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh di hukum.�

Pembelaan diri atau dikenal dengan noodweer dipakai sebagai alasan pembenar, namun bukanlah sebagai alasan yang mampu membenarkan diri dalam melakukan pelanggaran hukum. Maksud dari noodweer adalah seseorang yang terpaksa melakukan perbuatan pidana dapat dimaafkan karena ada pelanggaran hukum yang mendahului perbuatan tersebut. Sampai saat ini noodweer masih tetap ada sebagai bagian dari alasan peniadaan pidana. Dalam hukum pidana sendiri, suatu bentuk pembelaan terpaksa, pada dasarnya diakui, sehingga seorang tersebut memiliki hak dalam melakukan suatu tindakan.

Namun, pada kenyataanya alasan pembenar yakni noodweer ini masih belum diaplikasikan pada hasil suatu putusan dengan baik oleh para aparat penegak hukum. Masih banyak hakim yang belum berani memutus seseorang karena adanya suatu pembelaan terpaksa. Untuk itu, peneliti bermaksud untuk membahas mengenai penerapan alasan pembenar sebagai alasan penghapusan pidana dalam rangka pembelaan terpaksa pada Pasal 49 ayat (1) KUHP.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan yang akan ditelaah secara ilmiah, adalah bagaimana penerapan pembelaan terpaksa dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP sebagai alasan pembenar terhadap pelaku pembunuhan dalam rangka pembelaan diri?

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dijalankan dengan metode mengkaji bahan literatur (Soekanto, 2007). Sehingga didapatkan melalui bacaan dan analisis bahan-bahan yang tertulis. Sifat penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya (Soerjono, 1986).

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah memperoleh data-data yang diperlukan serta dirasa relevan dengan permasalahan yang diteliti. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan metode kajian pustaka. Bahan-bahan yang dapat membantu mendeskripsikan penelitian, berupa dokumentasi kepustakaan, didapat dari rancangan perundang-undangan, pendapat ahli, buku, hasil penelitian lain yang tujuannya untuk memperoleh, mengkaji, dan meneliti data yang berkaitan dengan upaya pembelaan diri sebagai alasan pembenar.

 

Hasil dan Pembahasan

Hukum pidana mengharuskan setiap orang yang melakukan tindak pidana untuk bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut (Chairul Huda, 2015). karena menurutnya setiap individu berkedudukan sama di mata hukum. Kesamaan proporsional yang terdapat di dalam pengertian keadilan menurut Aristoteles dimaksudkan agar dapat memberikan kepada setiap individu apa yang telah menjadi bagiannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki olehnya (Hyronimus Rhiti, 2018).

Penataran terhadap sistem hukum pidana secara keseluruhan yang meliputi bidang susbtansi, struktur dan budaya hukum yang disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat merupakan bentuk penanganan terhadap maraknya tindak pidana yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Kebijakan hukum pidana memegang kedudukan penting dalam melakukan pembangunan hukum pidana modern (dalam Muladi, 2002).

Marc Ancel menggambarkan penal policy sebagai ilmu dan seni yang memberikan ruang dan kesempatan agar dilakukan perumusan hukum positif secara lebih maksimal sehingga penal policy, criminal law policy diartikan sebagai upaya mewujudkan peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana baik untuk saat ini maupun untuk masa depan yang dapat memenuhi keadilan dan berdaya guna.

Politik hukum pidana berkaitan erat dengan upaya menanggulangi kejahatan hukum pidana dan upaya untuk melakukan penegakan hukum (law enforcement) (Arief, 2011). Criminal law policy adalah suatu kebijakan dalam bidang hukum pidana yang digunakan untuk menentukan hal-hal sebagai berikut (Arief, 2011):a) Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui. b) Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. c) Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana yang harus dilaksanakan.

Hukum pidana mengatur beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana.

Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakah terdapat suatu keadaan khusus pada diri pelaku (Hamdan, 2012).

Alasan penghapus pidana pada dasarnya digunakan hakim untuk mempertimbangkan penjatuhan hukuman bagi pelaku perbuatan pidana yang diajukan ke pengadilan. Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan penuntutan, alasan penghapus pidana diputuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya dihapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat. Aturan mengenai alasan penghapus pidana ini merumuskan mengenai keadaan pelaku yang sebenarnya sudah memenuhi rumusan delik sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang. Sehingga, pelaku yang seharusnya dapat dipidana, menjadi tidak dipidana.

Dalam hal ini hak melakukan penuntutan dari Jaksa tetap ada, tidak hilang, namun terdakwanya yang tidak dijatuhi pidana oleh hakim. Dengan kata lain, undang-undang tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan tersangka pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan dalam hal adanya alasan penghapus pidana. Hakim yang menentukan apakah alasan penghapus pidana itu dapat diterapkan kepada tersangka pelaku tindak pidana melalui vonisnya. Sedangkan dalam alasan penghapus penuntutan, undang undang melarang sejak awal Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan/menuntut tersangka pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan. Dalam hal ini tidak diperlukan adanya pembuktian tentang kesalahan pelaku atau tentang terjadinya perbuatan pidana tersebut (Hakim tidak perlu memeriksa tentang pokok perkaranya).

Pada Bab III KUHP, alasan penghapusan pidana diperjelas dengan ketentuan yang menjadi acuan hakim dalam memutus apakah pelaku dapat bebas dari pidana, hal yang dimaksud adalah sebagai berikut; 1) Ketidakmampuan pelaku untuk bertanggungjawab (ontoerekeningsvatbaarheid, Pasal 44 Ayat 1 KUHP). 2) Terdapat daya paksa pada diri pelaku saat melakukan tindak pidana (overmacht, Pasal 48 KUHP). 3) Pembelaan terpaksa, pelaku terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang (noodweer, Pasal 49 ayat 1 KUHP). 4) Pembelaan terpaksa yang dilakukan telah melampaui batas (noodwerexes, Pasal 49 ayat 2 KUHP). 5) Sebab menjalankan perintah Undang-undang (Pasal 50 KUHP). 6) Menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 Ayat 1 KUHP). 7) Melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (Pasal 51 Ayat 2 KUHP).

Menurut doktrin hukum pidana, ketujuh penyebab tersebut dibedakan dan dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Lubis & Siregar, 2020);

1) Alasan pemaaf, bersifat subjektif dan melekat pada orang tersebut, berkenaan dengan sikap pikiran sebelum atau saat bertindak. Pada kelompok ini para ahli memasuki ketidakmampuan dalam bertanggungjawab, noodweer exces, serta menjalankan perintah yang tidak sah dengan itikad baik. Alasan pemaaf ini berarti terdapat alasan yang menghapuskan keasalan si pembuat sehingga tidak ada lagi pemidanaan terhadap orang yang berbuat tersebut.

2) Alasan pembenar, bersifat objektif dan terkait dengan perbuatan serta hal lain di luar pikiran pelaku. Dalam alasan ini, perbuatan melawan hukum akan dihapuskan meskipun segala perbuatan yang dimaksud tersebut sudah memenuhi rumusan delik yang diatut dalam undang-undang. Golongan ini adalah adanya noodweer, keadaan darurat (noodtoestand), daya paksa, menjalankan perintah undang-undang, dan perintah jabatan yang sah.

Pasal 49 ayat (1) KUHP menentukan bahwa, tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa, untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum. Dari rumusan pasal tersebut dikemukakan sebagai unsur-unsur pembelaan terpaksa (noodweer) yaitu (Lakoy, 2020):

1) Terdapat serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.

Menurut unsur ini pembelaan diri dapa dilakukan terhadap suatuseranganatau terhadap suatuancaman serangan�. Mengenai pengertianserangan seketika (ogenblikkelijk aanranding) diberikan penjelasan oleh Moeljatno sebagai berikut: Apakah arti �menyerangkiranya tak perlu dijelaskan.

Penjelasan yang diperlukan ialah saat dimulainya serangan dan tentunya juga saat berhentinya serangan. Tentang saat dimulainya serangan dalam pasal tadi ditentukan harusseketika itu�, yaitu antara saat melihatnya ada serangan dan saat mengadakan pembelaan harus tidak ada jarak waktu yang lama.Jadi, Moeljatno menafsirkan bahwa serangan itu dimaksud dari sudut jarak waktu antara serangan dan pembelaan diri. Serangan nseketika itu berarti antara saat melihat adanya serangan dengan saat mengadakan pembelaan harus tidak ada jarak waktu yang lama.

2) Serangan itu bersifat melawan hukum

Serangan atau ancaman serangan, yang terhadapnya dapat dilakukan pembelaan diri, haruslah bersifat melawan hukum (wederrechtelijk). Jika serangan itu tidak melawan hukum, maka orang yang melakukan pembelaan diri terhadap serangan itu tidak dapat mengajukan alasan telah melakukan suatu pembelaan terpaksa dalam arti Pasal 49 ayat (1) KUHP.

3) Serangan itu terhadap diri, kehormatan, kesusilaan atau harta benda sendiri atau orang lain

Pasal 49 ayat (1) KUHP telah menentukan secara terbatas mengenai skala sesoramg dapat melakukan suatu pembelaan untuk atau dasar kepentingan-kepentingan apa yang dapat dibela dalam rangka pembelaan terpaksa. Kepentingan yang dimaksud pada Pasal 49 ayat (1) KUHP adalah sebagai berikut: a) Pembalaan bagi diri sendiri maupun orang lain. b) Demi kehormatan kesusilaan sendiri atau orang lai. c) Dilakukan atas harta benda sendiri atau orang lain. 4) Pembelaan harus terpaksa.

Suatu pembelaan diri untuk dapat dimasukkan sebagai pembelaan terpaksa dalam arti Pasal 49 ayat (1) KUHP, haruslah terpaksa dilakukan. Jadi, tidak pembelaan diri merupakan pembelaan terpaksa, melainkan pembelaan diri itu harus terpaksa (noodzakelijk).

Noodweer adalah kata digunakan untuk menggambarkan pembelaan yang perlu dilakukan terhadap ancaman serangan yang bersifat langsung dan melawan hukum, noodweer sebagai dasar pembenaran bukanlah sesuatu hal yang baru dikenal pada hukum pidana, karena pembelaan telah sudah ada sejak lama dikenal masyarakat, yaitu dikenal saat zaman balas dendam pribadi atau perorangan dahulu kala, berupa perbuatan perang yang memiliki sifat defensif pada sejarah dalam berkembangnya hukum pidana, masih dipertahankan masyarakat hingga saat ini (Lamintang, 1997). Unsur kekerasan atau ancaman kekerasan bila dikaitkan dengan pembelaan terpaksa memiliki korelasi yang sangat erat, yaitu kekerasan atau ancaman kekerasan dapat memunculkan perbuatan membela dari korban (Sanjaya et al., 2022).

Untuk dapat dikategorikan sebagai pembelaan yang terpaksa, seseorang yang melakukan pembelaan diri harus memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Para hakim yang menentukan adanya suatu pembelaan diri ini melihat adanya keseimbangan dan dilakukan dengan cara yang sudah paling ringan. Maksud dari adanya keseimbangan ini berarti kepentingan orang lain yang dikorbankan dalam suatu pembelaan terpaksa haruslah seimbang dengan kepentingan yang dilindungi. Sebagai contoh, sangat tidak masuk akal bagi seseorang penjual yang melakukan penembakan hingga menyebabkan kematian akibat dari melindungi beberapa butir jambu yang dijualnya. Hal ini tidak dapat memenuhi syarat keseimbangan karena kepentingan orang yang dikorbankan yaitu nyawa orang yang telah mencuri, tidak seimbang dengan kepentingan yang dilindungi, yaitu beberapa butir jambu.

Tindak pidana yang mengakibatkan kematian merupakan jenis tindak pidana yang sangat berat karena akibat dari kejahatan ini adalah hilangnya hak hidup seseorang yang diambil secara paksa oleh seseorang baik itu dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja. Namun, naluri untuk membela diri saat terjadi serangan, pada dasarnya merupakan sifat dasar manusia untuk dapat mempertahankan kehidupannya. Hukum pidana melihat, bahwa sifat alamiah ini perlu dilembagakan, sehingga mendapatkan kejelasan dan perlindungan bila tindakan ini diperlukan.

Dalam hal ini, hakim yang memutus pidana dengan alasan tidak adanya unsur pembelaan terpaksa (noodweer) terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan, memang harus benar-benar berdasarkan atas pertimbangan yang sangat matang, karena menyangkut dan mempengaruhi kelangsungan hidup seseorang, dan juga pengaruhnya di dalam masyarakat, di mana kode etik pedoman perilaku hakim, merupakan sesuatu yang menjadi dasar perilaku hakim di dalam persidangan maupun di luar persidangan. Sehingga perlu diimplementasikan agar masyarakat merasakan tujuan hukum itu seperti adil, tertib, manfaat, dan kepastian hukum.

 

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum pidana mengharuskan setiap orang yang melakukan tindak pidana untuk bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut. Namun lain halnya apabila seseorang tersebut memiliki alasan penghapus pidana dalam melakukan tindakannya. Pengaturan tindak pidana pembelaan terpaksa (noodweer) dalam tindak pidana pembunuhan menurut KUHP, ketika seseorang dalam keadaan jiwanya terguncang hebat akibat terdapat suatu ancaman atau serangan yang bersifat melawan hukum. Pengaturan pembelaan terpaksa dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP sebagai suatu alasan penghapus pidana merupakan pembelaan menghadapi serangan melawan hukum terhadap diri, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain; dengan tidak memasukkan kehormatan dalam arti nama baik dan ketenteraman ke dalam kepentingan yang dapat dibela dengan pembelaan terpaksa.

Seseorang yang dapat dikategorikan melakukan suatu pembelaan terpaksa harus memenuhi unsur-unsur pembelaan terpaksa yaitu, harus ada serangan atau ancaman serangan, bersifat melawan hukum, serangan ditujukan terhadap diri, kehormatan, kesusilaan atau harta benda sendiri atau orang lain, dan harus terpaksa dilakukan. Selain memenuhi unsur yang dimaksud, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, yakni terpenuhinya syarat proporsionalitas (seimbang) dan dilakukan dengan cara yang sudah paling ringan. Namun, pada kenyataanya, masih banyak para penegak hukum di negara ini yang belum berani dalam memutus seseorang karena adanya alasan penghapus pidana.

 

BIBLIOGRAFI

Arief, B. N. (2011). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru).

 

Chairul Huda, S. H. (2015). Dari�Tiada Pidana Tanpa Kesalahan�, Menuju�Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan�. Kencana.

 

dalam Muladi, M. S. W. (2002). Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta.

 

Hamdan, H. M. (2012). Alasan-Alasan Penghapusan Pidana Teori dan Studi Kasus. Bnadung: PT. Refika Aditama.

 

Hyronimus Rhiti, S. H. (2018). Mengenal Filsafat Hukum. PT Kanisius.

 

Lakoy, R. E. K. (2020). Syarat Proporsionalitas Dan Subsidaritas Dalam Pembelaan Terpaksa Menurut Pasal 49 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lex Crimen, 9(2).

 

Lamintang, P. A. F. (1997). Dasar-Dasar untuk mempelajari Hukum Pidana Yang berlaku di Indonesia, cetakan ketiga. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

 

Lewokeda, M. D. (2018). Pertanggungjawaban pidana tindak pidana terkait pemberian delegasi kewenangan. Mimbar Keadilan, 14(28).

 

Lubis, F., & Siregar, S. A. (2020). Analisis Penghapusan Pidana Terhadap Perbuatan Menghilangkan Nyawa Orang Lain Karena Alasan Adanya Daya Paksa (Overmacht). JURNAL RETENTUM, 1(1), 9�17.

 

Moeljatno, S. H. (2002). Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.

 

Nurita, C. (2019). Penerapan Sanksi Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pecurian Hewan Ternak. Jurnal Hukum Kaidah: Media Komunikasi Dan Informasi Hukum Dan Masyarakat, 18(3), 1�13.

 

Sanjaya, I. G. W. M., Sugiartha, I. N. G., & Widyantara, I. M. M. (2022). Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (Noodweer Exces) dalam Tindak Pidana Pembunuhan Begal Sebagai Upaya Perlindungan Diri. Jurnal Konstruksi Hukum, 3(2), 406�413.

 

Soekanto, S. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.

 

Soerjono, S. (1986). Pengantar penelitian hukum. Universitas Indonesia, Jakarta.

Utrecht, E. (1966). Pengantar dalam hukum Indonesia. (No Title).

Copyright holder:

Chatarina Dwi Agista, Ade Adhari (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: