Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober
2022
HAK ASUH DAN NAFKAH ANAK PASCA PERCERAIAN
Rahimah Syamsi, Yeni Salma Barlinti
Universitas Indonesia, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Dalam masyarakat, seringkali ditemukan suatu perkawinan dilakukan ketika kondisi perempuan dalam kondisi hamil. Perkawinan yang dilakukan tentu diharapkan memberikan kebahagiaan bagi suami, isteri, dan anaknya kelak, sebagaimana tujuan dari suatu perkawinan itu sendiri. Namun, perceraian tidak dapat dihindari ketika pasangan suami istri itu sudah dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk hidup harmonis. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kedudukan anak yang lahir kurang dari 180 hari setelah tanggal perkawinan atas hak-haknya setelah terjadinya perceraian. Metode penelitian yang digunakan untuk membahas permasalahan pemeliharaan dan pembiayaan anak pasca perceraian dalam tulisan ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Apabila suatu perkawinan putus, ibu dan bapak masih memiliki hak dan kewajiban untuk mendidik dan memelihara anak-anaknya dengan sebaik-baiknya demi kepentingan anak. Dalam hal pembiayaan anak pasca perceraian, bapak memiliki tanggung jawab untuk membayar biaya pemeliharaan anak sesuai dengan kemampuannya. Jika bapak tidak mampu, maka pengadilan dapat menyuruh ibunya untuk ikut membiayai pemeliharaan anak. Anak yang lahir kurang dari 180 hari setelah tanggal perkawinan adalah anak sah berdasarkan UU Perkawinan. Oleh karena itu, ia berhak atas pemeliharaan dan pendidikan dari kedua orang tuanya.
Kata kunci: Hak asuh, pemeliharaan anak, pembiayaan anak, perceraian, perkawinan.
Abstract
In society, it
is often found that a marriage is carried out when the woman's condition is
pregnant. The marriage that is carried out is certainly expected to provide
happiness for the husband, wife and children in the future,
as the purpose of a marriage itself. However, divorce is unavoidable when the
husband and wife are in conditions that do not allow them to live in harmony.
The problem is how the position of children born less than 180 days after the
date of marriage regarding their rights after the divorce. The research method
used to discuss post-divorce child care and financing issues in this paper is
normative juridical with a qualitative approach. If a marriage breaks up, the
mother and father still have the right and obligation to educate and care for
their children as well as possible for the benefit of the child. In the case of
post-divorce child financing, the father has the responsibility to pay child
maintenance costs according to his ability. If the father is unable, then the
court can order the mother to participate in paying for the maintenance of the
child. Children born less than 180 days after the date of marriage are legal
children under the Marriage Law. Therefore, he has the right to care and
education from his parents.
Keywords: Custody, child care, child financing,
divorce, marriage.
Pendahuluan
Perkawinan
seharusnya dapat membentuk keluarga yang bahagia berlandaskan Ketuhanan Yang
Maha Esa dan untuk
selamanya. Namun banyak juga perkawinan yang berakhir dengan
perceraian. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi ekonomi yang tidak stabil,
kekerasan dalam rumah tangga, atau adanya perselingkuhan dalam perkawinan. Suatu
perceraian dapat berdampak pada pemeliharaan dan pembiayaan anak pasca
perceraian.
Berdasarkan Pasal 1 UU Perkawinan,
perkawinan adalah �ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa�. Dalam hal ini terlihat,
perkawinan tidak hanya mengenai pemenuhan hawa nafsu tetapi dipandang juga
untuk mewujudkan kehidupan yang bahagia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Keluarga yang terwujud dari perkawinan ini memegang peran penting dalam
struktur kelompok terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, dan
anak.
Pengertian anak diatur dalam beberapa peraturan. Dalam Pasal 330 KUHPerdata, anak merupakan anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin. Menurut Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) UU Perkawinan, batasan untuk disebut anak adalah yang belum pernah
mencapai 18 (delapan belas) tahun atau yang belum pernah melangsungkan
perkawinan. Dalam hukum keluarga terdapat
beberapa jenis status hukum bagi anak yaitu anak sah, anak luar kawin, dan anak
angkat atau adopsi. Namun, pada UU Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
UU Perkawinan tidak mengatur secara terperinci mengenai status anak dalam
perkawinan. Dalam UUP hanya mengatur mengenai anak sah dan anak luar kawin,
sedangkan anak angkat atau adopsi tidak diatur. Sehingga, untuk masalah status
anak dan hak-hak anak tidak hanya merujuk pada UU Perkawinan tetapi juga
peraturan lainnya seperti UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU
No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Akibat hukum perkawinan adalah menimbulkan hak dan kewajiban bagi orang tua
terhadap anak. Setiap anak berhak atas hak-hak asasi dan perlindungan terhadap
dirinya terlepas ia merupakan anak sah atau luar kawin. Dalam Pasal 1 Angka 2
UU Perlindungan Anak disebutkan perlindungan anak adalah �segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
tetap hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi�. Dari hal ini dapat disimpulkan� bahwa setiap anak memiliki hak yang sama atas
perlindungan diri dari orang tuanya, baik kedua orangtuanya masih dalam
perkawinan maupun sudah bercerai. Perceraian adalah penghapusan perkawinan
dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu (Subekti, 2010).
Berdasarkan
Pasal 38 UU Perkawinan, hal-hal yang dapat memutus hubungan perkawinan adalah kematian, perceraian,
dan atas keputusan pengadilan. Suatu perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan pasangan suami dan istri tersebut. Perceraian juga hanya dapat
dilakukan dengan cukup alasan yaitu antara suami istri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Terjadinya perceraian mengakibatkan
keluarga terpecah. Keluarga yang pecah tidak hanya karena terjadi perceraian,
tetapi juga dapat dikarenakan �ketiadaan
salah satu dari orang tua akibat adanya kematian, suami dan istri hidup
berpisah untuk masa yang tak terbatas, ataupun suami atau istri meninggalkan
keluarga tanpa kabar (Trizakia, 2005).
Pada dasarnya, orang tua merupakan orang pertama bagi anak untuk menjadikannya tumbuh dan berkembang. Sehingga, orang tua wajib bertanggung jawab atas kesejahteraan anak baik secara jasmani maupun rohani. Bentuk pertanggungjawaban orang tua terhadap anak adalah
pemeliharaan dan pembiayaan kehidupan anak. Pemeliharaan anak dari orang tua merupakan
kegiatan menjaga dan mengawasi kesejahteraan anaknya yang belum dapat
diperolehnya sendiri (Al Barry, 1977). Bagi anak yang belum dewasa,
ia tidak dapat melakukan perbuatan hukum dan masih di bawah kekuasaan orang
tuanya. Kondisi ini berkaitan dengan penguasaan dan
pemeliharaan anak oleh orang tua yang antara
lain bertanggung jawab dalam pemberian nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan pendidikan.
Pasal
45 UU Perkawinan menentukan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak
dengan sebaik-baiknya yang berlaku hingga anak itu dewasa atau kawin dan akan
tetap berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tuanya tersebut telah
putus. Kekuasaan orang tua terhadap anak dibatasi oleh Pasal 48 UU Perkawinan
agar tidak terjadi kesewenang-wenangan yaitu tidak diperbolehkan memindahkan
hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum
berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya (Luthfita, 2016).
Dalam
kasus perceraian, pertimbangan hakim sangat penting dalam memutuskan hak asuh
anak dan tanggung jawab biaya kehidupan anak. Pertimbangan hakim tidak hanya secara hukum, namun
penting juga
mempertimbangkan dalam aspek perkembangan kejiwaan dan kepribadian
anak dalam kehidupan bermasyarakat (Sari et al, 2021). Adanya hukum, tidak cukup sebagai alat
menertibkan masyarakat, tetapi juga sebagai alat perlindungan masyarakat
(termasuk individu) yang dirugikan. Anak dari orang tua yang bercerai biasanya akan menanggung beban
psikologis karena ketidakhadiran salah satu atau kedua orangtuanya. Terlebih
lagi bagi anak yang belum dewasa masih memerlukan biaya untuk pertumbuhan dan
perkembangan dirinya secara jasmani dan rohani. Hakim perlu memutuskan
pemeliharaan dan pembiayaan bagi anak pasca perceraian untuk mengurangi
penderitaan anak. Dalam memutuskannya, hakim harus mengacu pada keadilan semua
pihak, baik suami, istri, maupun anak.
Apabila
dilihat dari salah satu kajian terdahulu yang berjudul Pemenuhan Hak Anak Pasca
Perceraian Orang Tua yang ditulis oleh Nyoto, Budi Kisworo, Rifanto bin Ridwan,
dan Hasep Saputra, melakukan penelitian di Kabupaten Rejang Lebong untuk
mengamati fakta yang terjadi di masyarakat terkait pemenuhan hak anak pasca
perceraian. Dalam penelitian ini ditemukan masih banyak orang tua yang tidak
memberikan nafkah penuh kepada anaknya atau ada juga yang tidak memenuhi nafkah
kepada anaknya sama sekali. Kemudian, dalam masyarakat ditemukan fakta walaupun
seorang ayah telah diputuskan oleh pengadilan untuk menanggung hak nafkah
anaknya, tetapi masih banyak ibu yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan
anak-anaknya. Padahal, sebagai orang tua seharusnya dapat bertanggung jawab
pada anaknya.
Berdasarkan
hal tersebut, dalam tulisan ini membahas salah satu kasus perceraian dalam
Putusan No. 60/Pdt.G/2019?PN.SMN mengenai pemberian hak asuh anak yang masih di
bawah umur dan penetapan kewajiban nafkah untuk anak tersebut setelah
terjadinya perceraian.
Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana hak asuh dan
nafkah anak pasca perceraian apabila anak lahir kurang dari 180 hari setelah
tanggal pernikahan. Berdasarkan Pasal 272 KUHPerdata, anak yang lahir kurang
dari 180 hari setelah tanggal pernikahan tersebut termasuk anak sah, sehingga
hak asuh ada pada ibu dan hak nafkah dibebankan kepada bapak. Dengan demikian,
tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan anak tersebut dalam
kaitannya dengan hak asuh dan nafkah anak apabila orang tuanya bercerai.
Metode Penelitian
Dalam menjawab masalah penelitian, digunakan metode penelitian yuridis normatif. Data utama yang dikaji adalah kasus yang terdapat dalam Putusan No.
60/Pdt.G/2019/PN.SMN. Kasus ini dianalisis menggunakan peraturan-peraturan
antara lain UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 16 Tahun 2019), UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2003), PP
Pelaksanaan UU Perkawinan (PP No. 9 Tahun 1975), dan KUHPerdata. Analisis secara kualitatif dilakukan dengan mengkaji hak
asuh dan nafkah anak pasca perceraian berkaitan dengan status anak.
Hasil dan Pembahasan
Alasan Perceraian
����������������������� Suatu perkawinan dapat putus yang salah
satunya karena perceraian (bentuk lainnya adalah kematian atau atas keputusan
pengadilan). Perceraian hanya dapat dilakukan melalui proses di pengadilan
dengan prosedur tertentu dengan menyampaikan alasannya. Terdapat enam alasan
yang dapat digunakan oleh salah satu pasangan yang ingin mengajukan perceraian.
Alasan-alasannya adalah salah satu pihak (1) berzina, pemabok, pemadat,
penjudi, atau perbuatan merugikan lainnya yang sulit untuk disembuhkan, (2)
meninggalkan pasangan lainnya dua tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan,
(3) mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat, (4)
menganiaya berat dan membahayakan, (5) mendapat cacat badan atau penyakit yang
menyebabkan dirinya tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri,
dan (6) bertengkar dengan pasangannya secara terus menerus sehingga tidak ada
harapan untuk hidup rukun dalam perkawinan (Pasal 19 PP 9/1975).
Dalam kasus Putusan No. 60/Pdt.G/2019/PN.SMN, Penggugat (suami) mengajukan gugatan perceraian ke
Pengadilan Negeri dengan alasan pertengkaran terus menerus dengan Tergugat
(istri) sehingga rumah tangganya tidak dapat harmonis lagi. Penggugat dan
Tergugat dikaruniai seorang anak. Dalam rekonvensi, istri memperkuat alasan
perceraian tersebut dengan menambahkan penyebab pertengkaran tersebut yang
salah satunya adalah adanya kekerasan psikis dan fisik, serta perselingkuhan Penggugat
dengan perempuan lain. Kedua pihak mengemukakan kebenaran dan tidak menyangkal
terjadinya pertengkaran di antara mereka dalam waktu yang cukup lama. Tindakan
suami yang mengajukan perceraian dan tindakan istri yang tidak menolak untuk
bercerai dan meminta hak asuh anak menunjukkan bahwa di antara keduanya tidak
ingin melanjutkan perkawinan mereka sehingga sulit untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang harmonis. Apabila mengacu pada Pasal 39 UU Perkawinan dan Pasal 19 huruf f dan b PP 9/1975, suami istri yang terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran,
maka tidak akan ada harapan lagi untuk bisa hidup rukun lagi. Hubungan
perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak baik-baik saja. Oleh
karena itu, majelis hakim mengabulkan permohonan perceraian mereka.
������������������������������������������������ Akibat Perceraian
terhadap Anak
Terjadinya perceraian sangat merugikan anak dari perkawinan tersebut karena ia harus hidup terpisah dari salah satu atau kedua orang
tuanya sehingga tidak dapat memperoleh perhatian dari kedua orang tuanya secara
bersamaan. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi perkembangan kejiwaan dan
pribadi anak. Meskipun demikian, perceraian tidak melepas kedudukan dan memutus hubungan sebagai orang tua terhadap anak. Orang tua tetap
diberikan kewajiban untuk melakukan pemeliharaan dan pendidikan terhadap anak.
Perceraian yang terjadi antara suami dan istri memberi
akibat terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU Perkawinan. Akibat
perceraian terhadap anak adalah (a) kewajiban atas pemeliharaan dan pendidikan
anak adalah pada bapak dan ibu, dan (b) tanggung jawab biaya pemeliharaan dan pendidikan anak adalah pada bapak, ibu
dapat diberi tanggung jawab biaya tersebut apabila bapak tidak dapat memenuhi
kewajibannya. Kewajiban bapak dan ibu dalam pemeliharaan dan pendidikan anak ini
adalah sampai anak itu menikah atau telah mampu berdiri sendiri atau mandiri
(Pasal 45 UU Perkawinan). Penentuan kewajiban-kewajiban ini dalam proses
perceraian di pengadilan dilakukan dengan adanya permohonan dari suami atau istri
untuk menentukan biaya nafkah dan hal-hal yang menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak (Pasal 24 ayat (2) PP 9/1975).
Suami, dalam kasus ini, hanya mengajukan perceraian tanpa
pengajuan persoalan pemeliharaan dan pendidikan anak. Pihak yang mengajukannya
adalah istri, yaitu mengajukan hak asuh anak dengan batas waktu sampai anak
berusia 17 tahun, kewajiban nafkah anak sebesar minimal Rp500.000,00 dan
kewajiban biaya pendidikan anak dibebankan kepada suami. Majelis Hakim hanya
mengabulkan hak asuh ada pada istri dan kewajiban nafkah anak sebesar
Rp500.000,00 per bulan ada pada suami.
Sesuai dengan Pasal 47 UU Perkawinan, anak yang dapat dikatakan sudah dewasa
adalah yang telah berumur 18 tahun atau yang telah melangsungkan perkawinan.
Hal ini berarti anak dalam kasus ini masih dalam penguasaan orang tuanya,
sehingga masih ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh orang tuanya
yaitu kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak dengan
sebaik-baiknya, termasuk menjaga harta benda anak dan mendampinginya di dalam
maupun di luar pengadilan. Ketika terjadi perceraian, maka anak tersebut tidak dapat tinggal bersama dengan kedua orang tuanya dalam satu rumah. Berdasarkan
Putusan MARI No. 27 K/A/AG/1982 tanggal 30 Agustus 1983, anak yang berumur
dibawah 12 tahun berada dalam kekuasaan ibunya untuk diasuh dan dipelihara
sampai anak tersebut berumur 12 tahun atau dalam artian anak tersebut sudah
dapat membedakan baik atau buruk, sehingga ia berhak untuk memilih apakah ingin
tinggal bersama bapaknya atau ibunya.
Dalam penyelesaian kasus cerai hidup, penentuan perwalian bergantung pada pandangan hakim dengan mempertimbangkan
siapakah (bapak atau ibu) yang paling layak dan sanggup untuk menjadi wali dari
anak tersebut. Penetapan wali ini dapat ditinjau kembali
oleh hakim atas permintaan bapak/suami atau ibu/istri berdasarkan perubahan keadaan (Subekti,
1992). Apabila merujuk pada Pasal 298, Pasal 300, dan Pasal 301
KUHPerdata maka terdapat
persamaan konsep dengan Pasal 41 UU Perkawinan yang mana
orang tua tetap berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak mereka. Dalam hal ini ayah yang bertanggung jawab untuk membiayai biaya pemeliharaan
dan pendidikan anak. Menurut Subekti kekuasaan orang tua
dimiliki oleh kedua orang tua bersama, tetapi lazimnya dilakukan oleh ayah.
Jika ayah berada di luar kemungkinan melakukan kekuasaan (terhadap anak), maka
yang melakukan kekuasaan adalah ibu (Subekti, 1992).
Adapun putusnya perkawinan
tidak menghilangkan kewajiban orang tua untuk memberikan nafkah kepada
anak-anaknya yang belum dewasa setiap minggu, setiap bulan, bahkan setiap tiga
bulan (Pasal 301 KUHPerdata). Merujuk pada Pasal 213 KUHPerdata, istri berhak
menuntut tunjangan nafkah anak. Apabila Hakim telah mengabulkan dan menetapkannya, suami harus membayar nafkah tersebut. Namun, tuntutan nafkah ini tidak dapat
dilakukan dalam kondisi tertentu yaitu apabila tidak mempunyai penghasilan yang
cukup (Pasal 225 KUHPerdata) atau meninggal (Pasal 227 KUHPerdata).
Selain pemberian nafkah untuk
anak pasca perceraian, tuntutan pemberian nafkah kepada suami untuk istri juga dapat
dilakukan di mana mantan suami wajib untuk memberikan biaya penghidupan kepada mantan
istri (Pasal 41 huruf c UU Perkawinan). Jika dibandingkan dengan ketentuan
dalam KUHPerdata, ketentuan dalam UU Perkawinan ini lebih menjamin kepentingan
mantan istri. Dalam KUHPerdata, mantan istri harus memenangkan kasus perceraian
agar dapat menuntut nafkah dari mantan suaminya. Artinya, jika istri terbukti
bersalah dalam proses perceraian, maka ia tidak memiliki hak untuk menuntut
nafkah (Madania, 2020). Dengan demikian, pemberian nafkah
dalam KUHPerdata ditentukan berdasarkan ada tidaknya kesalahan pada diri istri
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 225 KUHPerdata, sedangkan dalam UU
Perkawinan tidak terdapat rumusan yang menggantungkan pemberian nafkah kepada
mantan istri berdasarkan ada tidaknya kesalahan istri (Sardjono, 2004). Berbeda
dengan nafkah untuk anak, UU Perkawinan menentukan kewajiban memikul pembiayaan
dibebankan kepada kedua orang tua jika dianggap perlu, sedangkan dalam
pengaturan di KUHPerdata pada asasnya pembiayaan itu hanya dibebankan kepada
orang tua yang menjadi wali anak tersebut (Sardjono, 2004).
Ada kalanya istri mengajukan
gugatan cerai kepada suaminya tanpa mengajukan tuntutan biaya pemeliharaan anak
karena keadaan finansialnya sudah cukup baik. Pada putusan Mahkamah Agung yang
telah menjadi yurisprudensi yaitu Putusan No. 276/K/AG/2010, istri sama sekali
tidak menuntut apapun melainkan hanya diputusnya hubungan perkawinan mereka
saja. Akan tetapi, majelis hakim secara ex-officio membuat putusan yang dalam
amarnya menyatakan istri tersebut berhak atas nafkah dari mantan suaminya (Luthfita, 2016). Hal ini menandakan jika untuk mantan istri saja majelis
hakim mewajibkan mantan suami untuk membayar nafkah kepada istrinya, meskipun
tidak diminta dalam gugatan, apalagi kewajiban mantan suami untuk menafkahi
anak-anak mereka.
Pada gugatan yang memuat
tuntutan biaya pemeliharaan anak, dapat dibedakan berdasarkan prosedur
pembayarannya yang biasanya sering diajukan dalam gugatan perceraian yaitu biaya
pemeliharaan anak yang dibayar sekaligus, biaya pemeliharaan anak yang dibayar
secara berkala dengan jumlah yang tetap, atau biaya pemeliharaan anak yang
dibayar secara berkala dengan jumlah yang meningkat setiap tahunnya (Luthfita,
2016). Tentu tidak semua gugatan perceraian yang berisi tuntutan pembiayaan
pemeliharaan anak akan dikabulkan, karena Hakim perlu memberi pertimbangan
terlebih dahulu demi kepentingan anak tersebut. Menurut Neng Djubaedah,
beberapa faktor yang mempengaruhi pertimbangan majelis hakim dalam memutus kasus
dengan biaya hadhanah (biaya pemeliharaan) yaitu kemampuan finansial bapak
dan kebutuhan anak (Luthfita, 2016). Selain dua faktor tersebut, perilaku mantan
istri maupun mantan suami dipertimbangkan juga dalam membuat putusan mengenai
biaya pemeliharaan anak. Misalnya, apakah mantan istrinya tersebut merupakan orang
yang dapat dipercaya atau tidak apabila dititipkan uang untuk biaya
pemeliharaan anak-anak tersebut yang dibayar secara sekaligus. Apakah mantan
suaminya adalah seorang yang tidak bertanggung jawab sehingga apabila ia diberi
kewajiban untuk membayar biaya pemeliharaan anak setiap bulan kemungkinan besar
ia tidak melaksanakannya (Luthfita, 2016). Selain itu, dengan belum adanya
pengaturan mengenai acuan atau parameter penentuan besaran nafkah pasca cerai,
maka salah satu alternatif acuan yang dapat digunakan oleh Majelis Hakim adalah
Upah Minimum Regional (UMR).
Dalam kasus ini, Tergugat menuntut agar hak asuh anak sepenuhnya
diberikan kepada Tergugat, setelah anak berumur 17 tahun ia bebas memilih tinggal bersama siapa.
Majelis hakim merujuk ke Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 239/K/SIP/1968 yang
menyatakan perceraian dengan anak-anak yang masih kecil dan membutuhkan kasih
sayang dan perawatan ibu, maka perwaliannya patut diserahkan kepada ibunya.
Selain itu, terdapat fakta sebelum gugatan perceraian
diajukan ternyata anak tersebut tinggal bersama Tergugat. Kemudian, sesuai
dengan keterangan Penggugat semenjak ia merantau, ia
jarang menghubungi istri maupun anaknya. Sehingga, kedekatan Tergugat menandakan� Tergugat tidak melalaikan kewajibannya
sebagai ibu dan tidak berkelakuan buruk (Pasal 49 UU Perkawinan).
Meskipun kedua orang tua telah
bercerai, ini tidak mengurangi hak dan kewajiban orang tua terhadap anak,
karena ini akan berlangsung hingga anak tersebut telah dewasa menurut hukum
atau telah melakukan perkawinan. Sehingga, baik bapak atau ibu wajib mendidik
dan memelihara anaknya. Dalam Pasal 26 ayat (1) UU Perlindungan Anak,� orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk mengasuh, memelihara, merawat, dan melindungi anak dengan memperhatikan
kemampuan orang tua untuk mengasuh dan memelihara anak. Kemampuan di sini juga termasuk dalam segi finansial orang tua
tersebut. Apabila seorang bapak secara finansial tidak sanggup untuk memenuhi
kewajibannya untuk membayar biaya pemelihara anak, maka mantan istri diwajibkan
untuk turut serta membantu demi kepentingan dan kesejateraan anak.
Dalam kasus ini, Tergugat menuntut agar Penggugat memberikan nafkah kepada anak mereka setiap bulannya minimal sebesar
Rp500.000,00 di luar biaya sekolah/SPP perbulan.
Selain itu juga memerintahkan kepada Penggugat untuk membiayai seluruh biaya
akademik/sekolah anak mereka dari TK sampai dengan Perguruan Tinggi. Dalam hal
ini juga Tergugat tidak menjelaskan alasannya
secara rinci kenapa ia mengajukan tuntutan biaya nafkah tersebut. Apabila dilihat dari pekerjaan dari Penggugat ia baru
kehilangan pekerjaannya dan merantau ke Bali untuk menggantikan sementara
pekerjaan kakaknya yang sakit sebagai pengawas proyek renovasi interior,
setelah itu ia bekerja sebagai contributor dan photographer freelance.
Sedangkan Tergugat bekerja di SGM, kemudian
sebagai training koordinator, lalu bekerja di coffe shop, dan lalu sekarang
Tergugat membuka usaha sendiri di bidang kerajinan. Dari hal ini terlihat� para pihak belum memiliki pekerjaan yang
tetap karena masih terus berganti-ganti sehingga untuk pendapatan perbulannya masih
tidak menentu atau tidak memiliki gaji yang stabil setiap bulannya.
Mengenai tuntutan nafkah, sebaiknya disesuaikan dengan keadaan dan semata-mata demi
kepentingan anak di masa depan. Mengenai biaya pemeliharaan anak yang
dibayarkan secara berkala dengan jumlah yang tetap pada setiap bulannya hingga
anak tersebut dewasa, tidak disarankan karena mengingat kebutuhan anak setiap
tahun berubah dan semakin meningkat kebutuhannya. Apalagi anak dari para pihak
tersebut masih di bawah umur dan akan melewati jenjang pendidikan yang berbeda (SD,
SMP, SMA, Perguruan Tinggi), yang mana perubahan jenjang pendidikan tersebut
menjadi faktor yang mempengaruhi perbedaan kebutuhan hidup anak tersebut.
Selain perbedaan kebutuhan yang terus meningkat juga karena nilai harga-harga
kebutuhan yang sudah tidak sebanding lagi. Sehingga, untuk menuntut biaya
pemeliharaan anak dibayarkan dengan jumah tetap, menggunakan nilai mata uang
yang cenderung stabil untuk jangka waktu lama misalnya emas karena dapat
menjaga stabilitas mata uang, terutama terhadap pertukaran dengan valuta asing.
Apabila dilihat dari pertimbangan Majelis Hakim berdasarkan Pasal 24 ayat (2)
PP No. 9/1975 yang menyatakan selama berlangsungnya gugatan perceraian atas
permohonan penggugat atau tergugat, maka pengadilan dapat menentukan nafkah yang
harus ditanggung oleh suami dan menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
pemeliharaan dan pendidikan anak.
Majelis Hakim memandang adil
dan patut jika Penggugat menanggung nafkah dan biaya
pendidikan untuk anak hasil perkawinan Penggugat
dan Tergugat sesuai dengan kemampuan Penggugat
dengan besaran
yang harus dibayarkan sebesar Rp500.000,00 perbulan dan dibayarkan Penggugat sebagai biaya hidup anak, melalui Tergugat. Dalam hal ini, pertimbangan yang diberikan Majelis Hakim telah tepat,
karena harus merujuk lagi kepada kemampuan dari bapak dari anak tersebut,
walaupun memang itu merupakan kewajibannya untuk memberikan nafkah kepada anak,
tetapi apabila tidak mampu atau masih dalam keadaan yang belum stabil, Majelis
Hakim dapat menambahkan� tidak hanya
bapaknya saja yang menafkahi, namun ibunya juga. Hal ini karena mengingat
istrinya juga memiliki usaha sendiri.
Kedudukan Anak yang Lahir
dalam Perkawinan
����������� Anak sah
adalah anak yang lahir dalam perkawinan atau sebagai akibat dari perkawinan
yang sah (Pasal 42 UU Perkawinan). Dalam hal ini, UU Perkawinan mengondisikan
anak sah ke dalam dua hal yaitu anak yang pembuahannya dilakukan dalam
perkawinan yang sah dan anak yang dilahirkan dalam perkawinan meskipun
pembuahannya di luar perkawinan. Namun demikian, pada kondisi terakhir
disyaratkan oleh Pasal 272 KUHPerdata bahwa sebelum ibu dan bapak biologis itu
menikah mereka melakukan pengakuan.
����������� Dalam
kasus ini, anak Penggugat dan Tergugat lahir 120 hari setelah tanggal
pernikahan mereka. Majelis Hakim menentukan bahwa anak tersebut adalah anak
sah. Sehingga anak tersebut memiliki hak asuh dan nafkah dari orang tuanya
setelah perceraian, termasukan hak pemeliharaan dan pendidikan.
Kesimpulan
Anak yang lahir dalam waktu kurang dari 180 hari setelah
tanggal pernikahan adalah anak sah. Selain itu, anak ini adalah sah karena
lahir dalam perkawinan (Pasal 42 UU Perkawinan). Sahnya anak ini disyaratkan
oleh Pasal 272 KUHPerdata dengan adanya pengakuan dari ibu dan bapaknya sebelum
kawin. Dengan demikian, ibu dan bapak memiliki kewajiban baik dalam perkawinan
maupun setelah putusnya perkawinan untuk memelihara dan mendidik anak mereka
sampai anak menikah atau mandiri (Pasal 45 UU Perkawinan).
Dengan putusnya perkawinan dalam
bentuk perceraian, bapak bertanggung jawab untuk membayar biaya
pemeliharaan anak sesuai dengan kemampuannya. Jika bapak tidak mampu,
pengadilan dapat memerintahkan ibu untuk ikut membiayai
pemeliharaan anak. Pertimbangan yang digunakan Majelis Hakim dalam menentukan
besaran biaya pemeliharaan anak dapat dilihat dari kemampuan mantan suami dan
disesuaikan dengan kebutuhan anak.
BIBLIOGRAFI
Al Barry,
Zakaria A. (1977). Hukum Anak-Anak
Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Daud,
Mohd Kalam dan Ridha Saputra. (2017).
Problematika
Penyelesaian Perkara Kumulasi Gugatan Perceraian dan Harta Bersama (Studi Kasus
di Mahkamah Syar�iyah Banda Aceh). Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam. 1(2),
436-458.
Indonesia.
Undang-Undang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974.
Indonesia,
Undang-Undang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2003.
Indonesia,
Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 4 Tahun 1979.
Indonesia,
Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio. Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013.
Luthfita,
Cendikia. (2016). Biaya
Pemeliharaan Anak Pasca Perceraian (Studi Putusan-Putusan Pengadilan). Skripsi, Universitas Indonesia.
Madania,
Rahma. (2020). Tinjauan
Yuridis Atas Penentuan Besaran Nafkah Anak Pasca Perceraian di Indonesia dan
Singapura (Analisis Putusan No. 359/PDT.G/2018/PN.JKT.PST). Skripsi, Universitas
Indonesia.
Munawar,
Akhmad. (2015). Sahnya
Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku Di Indonesia. Al�Adl, 7(130, 209-220.
Raudhatunnur.
(2016). Eksekusi Putusan
Kewajiban Ayah Atas Nafkah Anak Pasca Perceraian (Studi Kasus Pada Mahkamah
Syar�iyah Idi). Gender Equality: International Journal of Child and Gender
Studies, 2(2),
43-50.
Rodliyah,
Nunung. (2014). Akibat Hukum
Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan. Keadilan
Progresif. 5(1), 121-136.
Sanger,
Juliana Pretty. (2015). Akibat Hukum
Perkawinan Yang Sah Didasarkan Pada Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Lex Administratum. 3(6),
196-204.
Santoso.
Hakekah. (2016). Perkawinan
Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam Dan Hukum Adat. Yudisia. 7(2), 413-434.
Sardjono, H.R. (2004). Perbandingan Hukum
Perdata Masalah Perceraian. Jakarta: Gitama Jaya.
Sari,
Hani Regina, Liza Prihandini,
Surastini Fitriasih. (2021). Pemberian
Hak Asuh Anak Di Bawah Umur Kepada Orang Tua Laki-Laki (Ayah) Yang Terjadi Akibat
Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 203/Pdt.G/2018/Pn. Dpk.
Indonesian Notary.
Soekanto,
Soerjono. (1986). Pengantar
Penelitian Hukum. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Subekti.
(1992). Pokok-Pokok Hukum
Perdata. Jakarta: PT. Intermasa.
Trizakia,
Yani. (2005). Latar Belakang
dan Dampak Perceraian. Semarang: UNS.
Waluyo,
Bing. (2020). Sahnya Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jurnal
Media Komunikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. 2(1), 193-199.)
������������������������������������������������
Copyright holder: Rahimah Syamsi,
Yeni Salma Barlinti (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |